TUJUAN HUKUMAN DAN TERAPI SOSIAL
TUJUAN HUKUMAN DAN TERAPI SOSIAL
Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
FIQIH II
Dosen pengampu:
Abbas Sofwan LL.M
Oleh:
Hana Nur Fikriyah
(932132714)
Binti Azifatul Fuadah
(932134014)
Fadhilah Tamimi
(932136914)
Muhammad Roziqin
(932143214)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN KEDIRI)
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat
tanpa ketentuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan
demikian, untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak diketahui apa
tujuan dari ketentuan itu.
Lebih jauh, kita tidak dapat menghilangkan ketidaksesuaian antara
ketentuan yang bertentangan kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuatan
hukum. Singkatnya, adalah mutlak bagi yang mempelajari hukum Islam untuk
mengetahui maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian
yang memerlukan turunnya wahyu suatu ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa syarat dijatuhkannya hukuman?
3. Apa tujuan dari hukuman dan bagaimana terapi sosial dari adanya
hukuman?
4. Apa asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan dari hukuman?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari hukuman.
2. Mengetahui syarat dijatuhkannya hukuman.
3. Mengetahui tujuan dari hukuman dan terapi sosial dari adanya hukuman.
4. Mengetahui asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan hukuman.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz 'uqubah menurut
bahasa berasal dari kata: ( )عقبyang sinonimnya: (وجاء
)بعقبه.
خلفه
Artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi
perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan
sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben
Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa Abdullah,
pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana berarti yang
dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak seharihari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil
intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh
badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah
melakukan perbuatan atau peristiwa.1
B. Syarat Dijatuhkannya Hukuman
1 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 140-141.
2
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (Syar'iyah) apabila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara’. seperti Alquran, As-Sunnah. Ijma’ atau
undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)
seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukurnan ditetapkan oleh Ulil
amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuanketentuan syara’. Apabila bertentangan tentu hukuman tersebut menjadi
batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia
berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama
daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyariatkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini
mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak
bersalah. Syarat ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah
pertanggung jawaban.
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan
harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang
tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status dan
kedudukannya. Didepan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada
perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa,
antara bangsawan dengan rakyat jelata.2
C. Tujuan Hukuman dan Terapi Sosial
2 Ibid., 141.
3
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari hukum
syari’at Islam sebagai berikut.
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan
tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini
merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila
kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan
ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer,
dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqashid
al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan
sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi
ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan
kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai
fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan
ketidaktertiban,
akan
tetapi
dapat
menambah
kesulitan
bagi
masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari
berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan
membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuiat
perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan
sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan
hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikanperbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan
kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu
untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi
mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan
membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.3
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah
pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wattahzib).4
3 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 18-20.
4 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 279.
4
1. Pencegahan ()الردع والزجر
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia
tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan
juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikutikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang
dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang
juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian. kegunaan
pencegahan adalah rangkap. yaitu yang menahan orang yang berbuat itu
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain
untuk tidak berbuat seperti
itu serta menjauhkan diri dari lingkungan
jarimah.5
Oleh
karena
perbuatan-perbuatan
yang
diancamkan
hukuman
adakalanya berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan
kewajiban, maka arti pencegahan pada keadaan pertama ialah larangan
memperbuat dan arti pencegahan pada keadaan kedua ialah agar pembuat
menghentikan peninggalannya terhadap kewajiban, dimana ia dijatuhi
hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut, seperti halnya
terhadap orang yang meninggalkan salat atau meninggalkan zakat atau
orang yang tidak mau memberikan makan kepada anaknya yang masih
dibawah umur.
Boleh jadi dalam keadaan kedua tersebut hukuman yang dijatuhkan
lebih berat daripada dalam keadaan pertama, karena tujuan penjatuhan
hukuman pada peninggalan kewajiban ialah memaksa pembuat untuk
mengerjakan kewajiban. Karena itu bisa sebentar-sebentar dijatuhi
hukuman sehingga ia mau memperbuat kewajibannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya
hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut,
5 Wardi Muslich, Pengantar dan Asas., 143.
5
tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan
demikian dapat terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
2. Perbaikan dan Pendidikan (والتهديب
)الصألحا
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk
memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi
pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan
tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena
takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannnya
terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar
mendapatkan ridha Tuhan. Kesadaran yang demikian keadaannya tentu
merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena
seseorang sebelum memperbuat jarimah ia akan memfikirkan bahwa Tuhan
tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik
diketahui orang atau tidak. Baik ia dapat ditangkap oleh penguasa negara,
kemudian dijatuhi hukuman didunia, atau ia dapat meloloskan diri dari
kekuasaaan dunia, namun ia tidak akan dapat menghindarkandiri dari
hukuman akhirat. Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idamidaman sarjana-sarjana positif dan psara penguasa pula.
Syari’at
Islam,
dalam
menjatuhkan
hukuman
juga
bertujuan
membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui
batas-batas hak dan kewajibannya. Karena sesuatu jarimah pada
hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak
keadilan
serta
membangkitkan
kemarahan
masyarakat
terhadap
pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap
korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain
merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat
terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan
merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu
dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh
pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian dapat
6
terwujud rasa bkeadilan. Tujuan-tujuan tersebut kita dapati dengan jelas
dengan kata-kata para fuqoha dan dari jiwa aturan-aturan Syari’at Islam
beserta nas-nasnya. 6
D. Asas Kemanfaatan pada Hukum Pidana Islam
Agar tujuan dari hukuman dapat tercapai, Islam memiliki asas-asas yang
mengaturmya.
1. Legalitas Hukuman
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan
ketentuan
perundang-undangan
pidana
yang
telah
ada
sebelumnya” dan dalam kitab pidana Belanda “Nullum dellictum nulla
poena sine pravia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada hukuman yang
tidak didahului hukum terlebih dahulu). Asas ini sejalan dengan Surah AlIsra’ ayat 15:
هضتدي ل هن ض ف
دىَ ض
ضضض ل
ل
نَ ا ف
مضضنَ ض
س ه
ف ه
هت ض ض
ما ي ض ف
و ض
فإ هن ل ض
ل
ه ض
م ه
ض
ض ل
َخضضضرى
وفزضر أ أ ف
ل ض
ما ي ض ه
عل ضي ف ض
فإ هن ل ض
زأر ض
ها ض
زضرةة ه
ول ض ت ض ه
وا ه
-١٥- سوُل ل
ع ض
حلتىَّ ن ضب ف ض
نَ ض
م ض
ث ضر أ
عذذهبي ض
ما ك ألنا أ
و ض
ض
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul” (QS. Al-Isra’:15)
Ayat diatas relevan dengan asas legalitas sebab Allah menurunkan
Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk memberikan peringatan berupa
6 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum., 279-281.
7
aturan-aturan hukum, termasuk dalam bentuk ancaman hukuman. Oleh
sebab itu, sanksi hukum bersifat legal sebab sebelum dijatuhkan telah ada
ayat atau hadits yang mengatur tentang masalah terkait.7
Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenangwenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang
boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya
tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan
asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan
selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana
hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan
sebelumnya sebagai tindak pidana.
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatankejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang
pasti. Prinsip trersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat
dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam
terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi
juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak
individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan
sanksinya.8
2. Tidak Berlaku Surut
Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, yaitu
kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Dengan kata lain, hukum
pidana
harus
berjalan
kedepan.
Pelanggaran
terhadap
asas
ini
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas ini pada
kenyataannya merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Syariat Islam
7 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 15-16.
8 Santoso, Membumikan Hukum., 10-12.
8
sangat kaya dengan bukti yang menegaskan asas tidak berlaku surut.
Diantaranya:
ؤ أ
ح آضبا أ
ما
ما ن ضك ض ض
ول ض ضتنك ه أ
نَ الن ذ ض
م ض
ساء إ هل ل ض
كمُ ذ
حوُا ف ض
ض
ه ض
م ف
ن ض
ض
ح ض
ساء
ش ل
فا ه
سل ض ض
كا ض
و ض
قد ف ض
و ض
ف إ هن ل أ
قتا ل ض
ة ض
٢٢- سهبيل ل
ض
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)” (QS. An-Nisa’: 22)
Dalam ayat diatas terdapat larangan menikahi wanita yang telah
pernah dinikahi oleh ayah kandung, kecuali apa yang pernah terjadi pada
masa lampau.
Hal ini menunjukkan bahwa asas tidak berlaku surut ada dalam
hukum perdana Islam. Sanksi pidana terhadap pelaku zina, pencurian,
meminum khamr, dan kejahatan-kejahatan lain yang ada dlam suatu ayat
atau hadits tidak bisa diberlakukan sebelum ayat dan hadits terkait
diturunkan atau disabdakan.9
Menurut Osman Abdul Malik As-Saleh, kebanyakan ahli hukum
Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya
asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan
dibanding hukum yang ada pada waktu perbuiatan dilakukan. Dalam kasus
seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.
Suatu pendapat yang berbeda diajukan oleh ahli hukum Mesir
Abdul Qadir ‘Audah. Menurutnya, ada dua pengecualian dari asas yang
tidak berlaku surut, yaitu:
a. Bagi kejahatan-kejahatan berbahaya yang membahayakan
kemanan dan ketertiban umum
9 Nurul Irfan, Hukum Pidana., 16-17.
9
b. Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang
penerapan
berlaku
surutnya
adalah
bagi
kepentingan
masyarakat.10
3. Kesamaan di Hadapan Hukum
Pada masa Jahiliyah, tidak ada kesamaan di antara manusia. Tidak
ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa,
antara si kaya dan si miskin, antara pria dan wanita. Dengan datangnya
Islam, semua pembedaan atas dasar ras, warna, seks, bahasa, dan
sebagainya dihapuskan.
Syariat memberi tekanan yang besar pada prinsip equality before
the law. Rasulullah saw. bersabda: :”Wahai manusia! Kalian menyembah
Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab
tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari
hitam, kecuali dalam ketakwaan.”
Prinsip kesamaan tidak hanya terkandung dalam teori dan filosofi
hukum Islam, tetapi dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah saw. dan
para khalifah penerus beliau. Pernah terjadi di masa Rasulullah saw.
seorang wanita dari satu suku yang kuat didakwa kasus pencurian.
Beberapa anggota keluarga wanita itu pergi menjumpai Rasulullah saw.
meminta pembebasan si wanita tadi dari hukuman yang ditentukan.
Rasulullah saw. dengan tegas menolak permintaan itu dengan menyatakan:
“Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, ikatan kekeluargaannya
tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd.”
Syariat Islam juga tidak mengakui pengistimewaan kepada orangorang tertentu. Abdul Qadir ‘Audah menyebut beberapa pembedaan
(diskriminasi) yang dilakukan oleh sistem hukum pidana modern.
Keistimewaan itu antara lain diberikan kepada para kepala negara asing,
diplomat asing, anggota-anggota parlemen, orang-orang kaya dan anggota
masyarakat terhormat. Apabila mereka melakukan suatu tindak pidana,
maka perlakuan yang diterima akan berbeda dengan anggota masyarakat
10 Santoso, Membumikan Hukum., 12.
10
biasa. Sebliknya, syariat Islam menerapkan suatu equality before the law
yang lengkap sejak empat belas abad yang lalu; sementara ia baru dikenal
dalam hukum modern pada akhir abad delapan.11
Asas ini didasarkan atas firman Allah swt dan sabda Nabi saw.
Dalamhukum pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat,
antara orang kaya dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan
kelompok yang lain. Adapun yang membedakan adalah ketakwaan
seseorang dihadapn Tuhan. Perhatikan firman Allah berikut:
خضلقن ىضك أضضمُ مضضنَ ذضك ضضضر أ
ض
َّى
س إ هن لضضا ض
ي ىضأي ل ض
ذ
ها ٱلن لضضا أ
ض
وأنث ضضض ى
عضضضاضر أ
و ض
قضبائ هضضض ض
علن ىضك أضضضمُ أ
ن
فوُا ف إ ه ل
ل ل هت ض ض
شضضض أ
ج ض
و ض
عوُبا ض
ض
ض
ه ضأت ض
ُم
ه ض
مك أضضمُ ه
عنضضدض ٱلل لضض ه
قى ىك أضضمُ إ ه ل
عهليضض ة
ن ٱلل لضض ض
أكضر ض
١٣ -خهبير
ض
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Hukum pidana Islam memiliki asas kesamaan di depan hukum
serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya, hukum
pidana Islam menerapkan prinsip mulia equality before the law yaitu
semua orang sama, sepadan dan sejajar didepan hukum.12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum, syari’at memiliki tujuan melindungi hak perseorangan dan
juga melindungi hak orang lain. Dalam hal ini, terdapat tiga klasifikasi terhadap
11 Ibid., 17-18.
12 Nurul Irfan, Hukum Pidana., 23-24.
11
tujuan hukum pidana Islam. Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhankebutuhan hidup yang merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at.
Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam islam dirumuskan dalam maqashid
syari’ah. Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut
hajiyat. Dan yang ketiga adalah membuiat perbaikan.
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah
pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wattahzib). Pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah
tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung
arti
mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan
perhatiannya
terhadap
diri
pembuat.
Bahkan
memberi
pelajaran
dan
mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama.
Dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut, dalam hukum Islam
terdapat asas-asas yang mendukung, diantaranya: asas legalitas hukuman,
hukuman tidak berlaku surut, dan persamaan hak didepan hakim.
12
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2016.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah.
Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani. 2003.
13
Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
FIQIH II
Dosen pengampu:
Abbas Sofwan LL.M
Oleh:
Hana Nur Fikriyah
(932132714)
Binti Azifatul Fuadah
(932134014)
Fadhilah Tamimi
(932136914)
Muhammad Roziqin
(932143214)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN KEDIRI)
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat
tanpa ketentuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan
demikian, untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak diketahui apa
tujuan dari ketentuan itu.
Lebih jauh, kita tidak dapat menghilangkan ketidaksesuaian antara
ketentuan yang bertentangan kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuatan
hukum. Singkatnya, adalah mutlak bagi yang mempelajari hukum Islam untuk
mengetahui maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian
yang memerlukan turunnya wahyu suatu ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa syarat dijatuhkannya hukuman?
3. Apa tujuan dari hukuman dan bagaimana terapi sosial dari adanya
hukuman?
4. Apa asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan dari hukuman?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari hukuman.
2. Mengetahui syarat dijatuhkannya hukuman.
3. Mengetahui tujuan dari hukuman dan terapi sosial dari adanya hukuman.
4. Mengetahui asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan hukuman.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz 'uqubah menurut
bahasa berasal dari kata: ( )عقبyang sinonimnya: (وجاء
)بعقبه.
خلفه
Artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi
perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan
sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben
Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa Abdullah,
pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana berarti yang
dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak seharihari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil
intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh
badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah
melakukan perbuatan atau peristiwa.1
B. Syarat Dijatuhkannya Hukuman
1 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 140-141.
2
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (Syar'iyah) apabila ia didasarkan
kepada sumber-sumber syara’. seperti Alquran, As-Sunnah. Ijma’ atau
undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)
seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukurnan ditetapkan oleh Ulil
amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuanketentuan syara’. Apabila bertentangan tentu hukuman tersebut menjadi
batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia
berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama
daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyariatkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini
mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak
bersalah. Syarat ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah
pertanggung jawaban.
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan
harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang
tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status dan
kedudukannya. Didepan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada
perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa,
antara bangsawan dengan rakyat jelata.2
C. Tujuan Hukuman dan Terapi Sosial
2 Ibid., 141.
3
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari hukum
syari’at Islam sebagai berikut.
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan
tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini
merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila
kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan
ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer,
dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqashid
al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan
sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi
ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan
kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai
fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan
ketidaktertiban,
akan
tetapi
dapat
menambah
kesulitan
bagi
masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari
berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan
membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuiat
perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan
sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan
hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikanperbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan
kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu
untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi
mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan
membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.3
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah
pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wattahzib).4
3 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), 18-20.
4 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 279.
4
1. Pencegahan ()الردع والزجر
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia
tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan
juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikutikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang
dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang
juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian. kegunaan
pencegahan adalah rangkap. yaitu yang menahan orang yang berbuat itu
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain
untuk tidak berbuat seperti
itu serta menjauhkan diri dari lingkungan
jarimah.5
Oleh
karena
perbuatan-perbuatan
yang
diancamkan
hukuman
adakalanya berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan
kewajiban, maka arti pencegahan pada keadaan pertama ialah larangan
memperbuat dan arti pencegahan pada keadaan kedua ialah agar pembuat
menghentikan peninggalannya terhadap kewajiban, dimana ia dijatuhi
hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut, seperti halnya
terhadap orang yang meninggalkan salat atau meninggalkan zakat atau
orang yang tidak mau memberikan makan kepada anaknya yang masih
dibawah umur.
Boleh jadi dalam keadaan kedua tersebut hukuman yang dijatuhkan
lebih berat daripada dalam keadaan pertama, karena tujuan penjatuhan
hukuman pada peninggalan kewajiban ialah memaksa pembuat untuk
mengerjakan kewajiban. Karena itu bisa sebentar-sebentar dijatuhi
hukuman sehingga ia mau memperbuat kewajibannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya
hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut,
5 Wardi Muslich, Pengantar dan Asas., 143.
5
tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan
demikian dapat terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
2. Perbaikan dan Pendidikan (والتهديب
)الصألحا
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk
memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi
pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan
tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena
takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannnya
terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar
mendapatkan ridha Tuhan. Kesadaran yang demikian keadaannya tentu
merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena
seseorang sebelum memperbuat jarimah ia akan memfikirkan bahwa Tuhan
tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik
diketahui orang atau tidak. Baik ia dapat ditangkap oleh penguasa negara,
kemudian dijatuhi hukuman didunia, atau ia dapat meloloskan diri dari
kekuasaaan dunia, namun ia tidak akan dapat menghindarkandiri dari
hukuman akhirat. Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idamidaman sarjana-sarjana positif dan psara penguasa pula.
Syari’at
Islam,
dalam
menjatuhkan
hukuman
juga
bertujuan
membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui
batas-batas hak dan kewajibannya. Karena sesuatu jarimah pada
hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak
keadilan
serta
membangkitkan
kemarahan
masyarakat
terhadap
pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap
korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain
merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat
terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan
merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu
dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh
pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian dapat
6
terwujud rasa bkeadilan. Tujuan-tujuan tersebut kita dapati dengan jelas
dengan kata-kata para fuqoha dan dari jiwa aturan-aturan Syari’at Islam
beserta nas-nasnya. 6
D. Asas Kemanfaatan pada Hukum Pidana Islam
Agar tujuan dari hukuman dapat tercapai, Islam memiliki asas-asas yang
mengaturmya.
1. Legalitas Hukuman
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan
ketentuan
perundang-undangan
pidana
yang
telah
ada
sebelumnya” dan dalam kitab pidana Belanda “Nullum dellictum nulla
poena sine pravia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada hukuman yang
tidak didahului hukum terlebih dahulu). Asas ini sejalan dengan Surah AlIsra’ ayat 15:
هضتدي ل هن ض ف
دىَ ض
ضضض ل
ل
نَ ا ف
مضضنَ ض
س ه
ف ه
هت ض ض
ما ي ض ف
و ض
فإ هن ل ض
ل
ه ض
م ه
ض
ض ل
َخضضضرى
وفزضر أ أ ف
ل ض
ما ي ض ه
عل ضي ف ض
فإ هن ل ض
زأر ض
ها ض
زضرةة ه
ول ض ت ض ه
وا ه
-١٥- سوُل ل
ع ض
حلتىَّ ن ضب ف ض
نَ ض
م ض
ث ضر أ
عذذهبي ض
ما ك ألنا أ
و ض
ض
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul” (QS. Al-Isra’:15)
Ayat diatas relevan dengan asas legalitas sebab Allah menurunkan
Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk memberikan peringatan berupa
6 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum., 279-281.
7
aturan-aturan hukum, termasuk dalam bentuk ancaman hukuman. Oleh
sebab itu, sanksi hukum bersifat legal sebab sebelum dijatuhkan telah ada
ayat atau hadits yang mengatur tentang masalah terkait.7
Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenangwenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang
boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya
tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan
asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan
selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana
hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan
sebelumnya sebagai tindak pidana.
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatankejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang
pasti. Prinsip trersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat
dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam
terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi
juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak
individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan
sanksinya.8
2. Tidak Berlaku Surut
Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, yaitu
kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Dengan kata lain, hukum
pidana
harus
berjalan
kedepan.
Pelanggaran
terhadap
asas
ini
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas ini pada
kenyataannya merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Syariat Islam
7 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 15-16.
8 Santoso, Membumikan Hukum., 10-12.
8
sangat kaya dengan bukti yang menegaskan asas tidak berlaku surut.
Diantaranya:
ؤ أ
ح آضبا أ
ما
ما ن ضك ض ض
ول ض ضتنك ه أ
نَ الن ذ ض
م ض
ساء إ هل ل ض
كمُ ذ
حوُا ف ض
ض
ه ض
م ف
ن ض
ض
ح ض
ساء
ش ل
فا ه
سل ض ض
كا ض
و ض
قد ف ض
و ض
ف إ هن ل أ
قتا ل ض
ة ض
٢٢- سهبيل ل
ض
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)” (QS. An-Nisa’: 22)
Dalam ayat diatas terdapat larangan menikahi wanita yang telah
pernah dinikahi oleh ayah kandung, kecuali apa yang pernah terjadi pada
masa lampau.
Hal ini menunjukkan bahwa asas tidak berlaku surut ada dalam
hukum perdana Islam. Sanksi pidana terhadap pelaku zina, pencurian,
meminum khamr, dan kejahatan-kejahatan lain yang ada dlam suatu ayat
atau hadits tidak bisa diberlakukan sebelum ayat dan hadits terkait
diturunkan atau disabdakan.9
Menurut Osman Abdul Malik As-Saleh, kebanyakan ahli hukum
Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya
asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan
dibanding hukum yang ada pada waktu perbuiatan dilakukan. Dalam kasus
seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.
Suatu pendapat yang berbeda diajukan oleh ahli hukum Mesir
Abdul Qadir ‘Audah. Menurutnya, ada dua pengecualian dari asas yang
tidak berlaku surut, yaitu:
a. Bagi kejahatan-kejahatan berbahaya yang membahayakan
kemanan dan ketertiban umum
9 Nurul Irfan, Hukum Pidana., 16-17.
9
b. Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang
penerapan
berlaku
surutnya
adalah
bagi
kepentingan
masyarakat.10
3. Kesamaan di Hadapan Hukum
Pada masa Jahiliyah, tidak ada kesamaan di antara manusia. Tidak
ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa,
antara si kaya dan si miskin, antara pria dan wanita. Dengan datangnya
Islam, semua pembedaan atas dasar ras, warna, seks, bahasa, dan
sebagainya dihapuskan.
Syariat memberi tekanan yang besar pada prinsip equality before
the law. Rasulullah saw. bersabda: :”Wahai manusia! Kalian menyembah
Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab
tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari
hitam, kecuali dalam ketakwaan.”
Prinsip kesamaan tidak hanya terkandung dalam teori dan filosofi
hukum Islam, tetapi dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah saw. dan
para khalifah penerus beliau. Pernah terjadi di masa Rasulullah saw.
seorang wanita dari satu suku yang kuat didakwa kasus pencurian.
Beberapa anggota keluarga wanita itu pergi menjumpai Rasulullah saw.
meminta pembebasan si wanita tadi dari hukuman yang ditentukan.
Rasulullah saw. dengan tegas menolak permintaan itu dengan menyatakan:
“Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, ikatan kekeluargaannya
tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd.”
Syariat Islam juga tidak mengakui pengistimewaan kepada orangorang tertentu. Abdul Qadir ‘Audah menyebut beberapa pembedaan
(diskriminasi) yang dilakukan oleh sistem hukum pidana modern.
Keistimewaan itu antara lain diberikan kepada para kepala negara asing,
diplomat asing, anggota-anggota parlemen, orang-orang kaya dan anggota
masyarakat terhormat. Apabila mereka melakukan suatu tindak pidana,
maka perlakuan yang diterima akan berbeda dengan anggota masyarakat
10 Santoso, Membumikan Hukum., 12.
10
biasa. Sebliknya, syariat Islam menerapkan suatu equality before the law
yang lengkap sejak empat belas abad yang lalu; sementara ia baru dikenal
dalam hukum modern pada akhir abad delapan.11
Asas ini didasarkan atas firman Allah swt dan sabda Nabi saw.
Dalamhukum pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat,
antara orang kaya dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan
kelompok yang lain. Adapun yang membedakan adalah ketakwaan
seseorang dihadapn Tuhan. Perhatikan firman Allah berikut:
خضلقن ىضك أضضمُ مضضنَ ذضك ضضضر أ
ض
َّى
س إ هن لضضا ض
ي ىضأي ل ض
ذ
ها ٱلن لضضا أ
ض
وأنث ضضض ى
عضضضاضر أ
و ض
قضبائ هضضض ض
علن ىضك أضضضمُ أ
ن
فوُا ف إ ه ل
ل ل هت ض ض
شضضض أ
ج ض
و ض
عوُبا ض
ض
ض
ه ضأت ض
ُم
ه ض
مك أضضمُ ه
عنضضدض ٱلل لضض ه
قى ىك أضضمُ إ ه ل
عهليضض ة
ن ٱلل لضض ض
أكضر ض
١٣ -خهبير
ض
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Hukum pidana Islam memiliki asas kesamaan di depan hukum
serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya, hukum
pidana Islam menerapkan prinsip mulia equality before the law yaitu
semua orang sama, sepadan dan sejajar didepan hukum.12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum, syari’at memiliki tujuan melindungi hak perseorangan dan
juga melindungi hak orang lain. Dalam hal ini, terdapat tiga klasifikasi terhadap
11 Ibid., 17-18.
12 Nurul Irfan, Hukum Pidana., 23-24.
11
tujuan hukum pidana Islam. Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhankebutuhan hidup yang merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at.
Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam islam dirumuskan dalam maqashid
syari’ah. Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut
hajiyat. Dan yang ketiga adalah membuiat perbaikan.
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah
pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wattahzib). Pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah
tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung
arti
mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan
perhatiannya
terhadap
diri
pembuat.
Bahkan
memberi
pelajaran
dan
mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama.
Dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut, dalam hukum Islam
terdapat asas-asas yang mendukung, diantaranya: asas legalitas hukuman,
hukuman tidak berlaku surut, dan persamaan hak didepan hakim.
12
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2016.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah.
Jakarta: Sinar Grafika. 2004.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani. 2003.
13