Makalah politik pendidikan diskusi. docx

1
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu hak penting dan mendasar yang harus dimiliki
oleh setiap warga negara Indonesia, oleh karena itu pendidikan harus dapat diupayakan
sebaik mungkin. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 31 alinea ke-4, bahwa pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa untuk meningkatkan peradaban manusia demi kesejahteraan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Pendidikan bukanlah suatu hal yang dapat ditawar-tawar
lagi, karena pendidikan merupakan salah satu tujuan negara yang akan menunjukan
eksistensi negara.
Pendidikan adalah ujung tombak suatu negara, maju dan tertinggalnya suatu negara
sangat tergantung pada kondisi pendidikannya, karena semakin berkembangnya
pendidikan suatu negara maka semakin besar dan majulah negara tersebut, artinya
pendidikan menjadi kunci akan maju dan berkembangnya suatu negara. Namun yang
menjadi pertanyaan besar adalah pendidikan yang bagaimana yang akan menjadi kunci
akan berkembangnya suatu negara?
Apa yang kita lihat dan saksikan pada kondisi sekarang ini, bahwa mayoritas
masyarakat memilki pemahaman bahwa mutu pendidikan itu hanya diukur sebatas nilai
UN dan US, artinya apabila si anak memiliki nilai UN dan US yang tinggi, dan sekolah
meluluskan siswanya 100 persen dengan nilai rata-rata yang tinggi maka pendidikan di
sekolah tersebut telah berhasil. Apakah yang demikian hakikat dan tujuan dari

pendidikan?. Hakikat dan tujuan pendidikan tidak hanya berorientasi pada hasil yang
dicapai siswa melalui US dan UN, melainkan hakikat keberhasilan pendidikan
sebenarnya apa yang sudah menjadi cita-cita dan fungsi pendidikan nasional yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat

dalam

rangka

mencerdaskan

kehidupan

bangsa

yang

bertujuan


mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Namun realita yang ada, bahwa sistem pendidikan nasional masih menyisakan
keterpurukan di sektor pendidikan, membentuk Sumber Daya Manusia yang sarat
dengan ilmu pengetahuan, kaya ilmu, intelektual, berwawasan, dan menciptakan
manusia superior. Dengan kata lain sistem pendidikan kita selama ini lebih
menitikberatkan dan menjejalkan pada penguasaan kognitif akademis, sementara afektif
dan psikomotorik seolah-olah dinomorduakan. Apa yang terjadi? Terbentuknya pribadi
1

Isjoni, Pendidikan Sebagai Investasi Masa Depan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 42

2
yang miskin tata krama, sopan santun, dan etika moral. Maka dari itu pada makalah ini
penulis mencoba menyajikan makalah dengan tema pendidikan karakter, yang mana
pendidikan karakter merupakan salah satu upaya untuk membantu perkembangan jiwa
anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban yang
manusiawi dan lebih baik. Sebagai contoh anak dianjurkan untuk bersih badan dan
pakaian, hormat terhadap orang tua, menolong teman, menghormati yang lebih muda,

dan masih banyak contoh yang lain yang itu merupakan proses dari pendidikan karakter.
Sehubungan dengan itu Dewantara (1967), dalam Mulyasa pernah mengemukakan
beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam pendidikan karakter, yakni ngerti-ngerosongelakoni (menyadari, menginsyafi, dan melakukan).2
Pendidikan karakter merupakan proses yang berkelanjutan dan tidak pernah
berakhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang
berkesinambungan yang ditujukan pada terwujudnya sosok manusia masa depan, dan
berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. Istilah
pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberikan awalan “pe” dan akhiran “an”
yang mengandung arti “perbuatan”, hal cara dan sebagainya. 3 Istilah pendidikan semula
berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak, yang kemudian istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan
“education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini
sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.4
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan
yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi
dewasa atau bisa diartikan usaha yang dijalankan oleh seorang atau sekelompok orang
yang mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau

mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi. Dengan demikian
pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah dewasaan yang mana dalam

2
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, cet ke-4, 2012), h. 1
3
Sudirman. N, et.al. Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1987), h. 4
4
Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 83

3
konteks ini orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada kedewasaan pisik belaka,
akan tetapi bisa pula dipahami pada kedewasaan psikis.5
Adapun istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada
term al-tarbiyah, dan al-tadib, dan al-ta’lim, yang mana dari ketika istilah tersebut yang
lebih populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah al-tarbiyah.6
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri,
kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat, bangsa, dan negara.7 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu proses mendidik, mengajar, membimbing dan melatih yang
dilakukan secara sadar serta terencana dalam rangka mempengaruhi peserta didik
supaya mampu untuk mengembangkan potensi diri baik dari segi koqnitif (intelektual),
afektif (sikap), dan psikomotorik (prilaku yang baik atau akhlaqul karimah).
Adapun karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 445) berarti sifatsifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan satu dengan yang lain. 8
Menurut Simon Philips (2008) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. 9 Bila
disimpulkan karakter adalah sikap mental yang telah menjadi watak, tabiat dan bawaan
seseorang yang menjadi dasar dari tindakan ataupun perilaku seseorang dalam
kehidupan sehari-hari.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 3 tentang sistem pendidikan
dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi anak
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.10


5
Ibid, h. 83
6
Ibid, h. 84
7
qoqoazroqu.blogspot.com/2013/01/undang-undang-republik-indonesia-nomor-html, (diambil,
18/10/2013, 17.05)
8
Zainal Aqib, & Sujak, Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter, (Bandung: Yrama Widya, 2011),
h. 2
9
Mu’in, Fatchul, Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, Cet. I,
2011, h. 160

10

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 76

4

Sedangkan Wynne (1991) dalam Mulyasa, mengemukakan bahwa karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada
bagaimana menerapan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku seharihari. Oleh sebab itu seseorang yang berprilaku tidak jujur, curang, kejam dan rakus
orang tersebut dikatakan orang yang memiliki karakter jelek, tapi sebaliknya ketika
seseorang memiliki prilaku baik, jujur, dan suka menolong maka dikatakan orang itu
memiliki karakter yang baik/mulia.11
Terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan sejak tahun 1990-an.
Thomas Lickona adalah orang yang dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya
“The Retrun of Character Education” yang begitu memukau yang menyadarkan dunia
barat secara khusus dimana tempat Licona hidup dan seluruh dunia pendidikan secara
umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan, dan inilah awal
kebangkitan pendidikan karakter.12 Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih
tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang baik
dan mana yang buruk melainkan pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu
merasakan, dan mau melakukan dengan baik.
Menurut Ratna Megawangi moral adalah pengetahuan seseorang tentang hal
yang baik dan buruk, sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di drive
oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan
karakter datang sebagai kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral

selama ini, itulah karenanya terminologi yang ramai dibicarakan sekarang adalah
pendidikan karakter (charakter education) bukan pendidikan moral (moral education),
walau secara subtansialnya keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipial.13
Daniel Goleman yang terkenal dengan bukunya Multiple Intelligences, dan
Emosional Intelligence (1999), menyebutkan bahwa pendidikan karakter merupakan
pendidikan nilai yang mencakup sembilan nilai dasar yang saling terkait, yaitu:
responsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), fairness (keadilan), courage
(keberanian), honesty (kejujuran), citizenship (rasa kebangsaan), selp-discipline (disiplin
diri), caring (peduli), dan perseverance (ketekunan).14
Melalui uraian panjang diatas, disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik,
11
12
13
14

Mulyasa, Opcit, h. 3
htpp://www.marfu78.com/antara-karakter-moral-dan-akhlak.html, (diambil, 18/10/2013, 18.35)
ibid
Sutarjo Adususilo, Opcit, h. 79-80


5
yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
2. Hakikat Pendidikan karakter
Sebagaiman yang telah penulis jelaskan diatas, bahwa pendidikan karakter
memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter
tidak hanya berkaitan dengan masalah benar atau salah, tetapi bagaimana menanamkan
kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga anak didik
memiliki pemahaman, dan kesadaran yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk
menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara
bermoral yang diaplikasikan dalam tindakan nyata melalui perilaku terpuji, tanggung
jawab dan nilai-nilai karakter mulia lainnya.
Istilah karakter sangat erat kaitannya dengan kepribadian (personality),
seseorang, sehingga ia bisa disebut orang yang berkarakter (personality of character)
jika perilakunya sesuai dengan etika atau kaidah norma. Meskipun demikian, kebiasaan
berbuat baik tidak selalu menjamin seseorang secara sadar menghargai pentingnya nilainilai karakter, hal ini dimungkinkan karena boleh jadi perbuatan tersebut dilakukan atas

dasar atau dilandasai oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya
penghargaan akan nilai-nilai karakter, sebagai contoh ketika seseorang berbuat jujur
yang dilakukan karena takut dinilai oleh orang lain dan lingkungannya bukan karena
dorongan yang tulus untuk menghargai kejujuran. Oleh karena itu, dalam pendidikan
karakter diperlukannya aspek perasaan (emosi), yang oleh Lickona (1992) disebut
“desiring the good” atau keinginan untuk melakukan kebajikan15, maka dari itu karakter
yang baik harus melibatkan “desiring the good” atau “loving the good” dan “acting
the good” bukan hanya aspek “knowing the good”, sehingga manusia tidak berprilaku
seperti robot yang diindoktrinasi oleh faham tertentu.
Melengkapi uraian diatas, Megawangi, pencetus pendidikan karakter di
Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan sebagai
acuan dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Adapun 9
pilar tersebut yaitu:
a.
15

Cinta Allah dan kebenaran

Mulyasa, Opcit, h. 4


6
b.

Tanggung jawab, disiplin dan mandiri

c.

Amanah

d.

Hormat dan santun

e.

Kasih sayang, peduli, dan bekerja sama

f.

Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah

g.

Adil dan berjiwa kepemimpinan

h.

Baik dan rendah hati

i.

Toleran dan cinta damai16

Dalam konteks pemikiran islam karakter berkaitan dengan iman dan ihsan, dan
dalam perspektif islam bahwa pendidikan karakter secara teoritik sebenarnya telah ada
sejak Islam diturunkan di dunia, seiring dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW
untuk memperbaiki dan meyempurnahkan akhlaq (karakter) manusia. Ajaran Islam
sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek
keimanan, ibadah, dan muammalah, tetapi juga akhlaq. Pengamalan ajaran Islam secara
utuh merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan
model karakter Rasulullah SAW yang memiliki sifat Shiddiq, Tabligh, Amanah, dan
Fathonah.
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan untuk mengingkatkan mutu proses dan hasil
pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik
secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada
setiap satuan pendidikan. Melalui pendidikan karakter siswa diharapkan mampu secara
mandiri

meningkatkan

dan

menggunakan

pengetahuannya,

mengkaji

dan

menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan

karakter

pada

tingkat

satuan

pendidikan

mengarah

pada

pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktikan oleh warga sekolah dan
masyarakat sekitarnya. Pendidikan karakter yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
proses dan hasil pendidikan umumnya menekankan pada keteladanan dan pembiasaan.
Dengan demikian apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta
didik merupakan metode pendidikan yang utama, penciptaan iklim dan budaya serta
lingkungan yang kondusif juga turut dalam pembentukan karakter peserta didik. Oleh
16

Mulyasa, Opcit, h. 5

7
karena itu keteladan dan pembiasaan dari pendidik dalam hal kebaikan haruslah dimiliki
oleh para pendidik, karena dengan keteladan akan berpengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan karakter peserta didik, bukankah satu keteladanan itu lebih baik daripada
seribu nasehat?.
Adapun penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan dengan melalui
berbagai variasi metode, diantaranya:
a.

Penugasan

b.

Pembiasaan

c.

Pelatihan

d.

Pembelajaran

e.

Pengarahan, dan

f.

Keteladanan17

4. Peran Pendidikan Karakter di Sekolah
Sekolah adalah salah satu lembaga yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan karakter pribadi anak (caracter builing), oleh karena itu peran dan
kontribusi guru sangat dominan. Sebagai suatu lembaga, sekolah memiliki tanggung
jawab moral untuk menjadikan anak didik menjadi pintar dan cerdas sesuai dengan yang
diharapkan oleh para orang tua anak didik.
Guru beperan sebagai pemberi ilmu pengetahuan (resaurse knowledge), tentunya
kemampuan yang dimiliki oleh guru harus disampaikan sebaik mungkin kepada anak
didik. Keberhasilan anak didik dalam memperoleh prestasi merupakan suatu
kebanggaan tersendiri bagi seorang guru, hal ini menunjukan akan keberhasilan
metodologi dan keterampilan mengajar seorang guru yang patut dihargai, karena telah
mampu membawa anak didiknya menjadi manusia cerdas, pintar, dan berwawasan luas.
Dengan demikian, sekolah sudah menjalankan perannya sebagai institusi yang memiliki
amanah dari orang tua atau wali murid dalam mendidik anaknya. Akan tetapi terkadang
guru terlupakan akan unsur mendidik, guru hanya berperan sebagai pengajar bukan
sebagai pendidik, alhasil seorang anak didik mejadi cerdas dan pintar namun tidak
memiliki hati nurani, angkuh, sombong, dan tidak memiliki akhlakul karimah.
Realita yang ada, sumber Litbang Kompas telah mengemukakan bahwa, pada
periode (1999-2004), 30 anggota DPR terlibat kasus suap pemilihan DGS BI, pada
kurun waktu (2008-2011), 42 anggota DPR terseret korupsi, sepanjang (2004-2011),
158 kepala daerah tersangkut korupsi, belum lagi kasus korupsi yang terjadi diberbagai
17

Mulyasa, Opcit, h. 10

8
lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Dirjen Pajak, BI dan BKPM 18, bahkan yang lebih
menghebokan lagi baru-baru ini bangsa Indonesia dikagetkan dengan prilaku yang tidak
bermoral yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari data diatas, menggambarkan betapa sangat buruknya pendidikan karakter di
Indonesia ini. Bisakah kita bayangkan bagaimana kondisi bangsa Indonesia 5 tahun
kedepan bahkan 10 tahun kedepan, jika peserta didik kita tidak kita didik dengan
pendidikan karakternya sedini mungkin?. Oleh karena itu, peran pendidikan karakter
untuk anak didik sangatlah penting untuk membentuk karakter mereka agar menjadi
peserta didik yang tidak hanya berintelektual tinggi namun juga mempunyai kepribadian
dengan karakter yang baik. Teringat akan kata-kata hikmah yang pernah disampai oleh
almarhum KH. Zainudin, MZ dalam satu ceramahnya yang mengatakan “kita memang
butuh orang yang pintar, tapi kita lebih butuh orang yang benar”, artinya, bangsa
Indonesia memang sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki intelektual tinggi,
namun bangsa Indonesia lebih membutuhkan orang-orang yang benar yang memiliki
akhlakul karimah, karena begitu banyak orang-orang yang memiliki intelektual yang
tinggi namun dengan kepintarannya hanya digunakan untuk hal-hal yang akan
merugikan bangsa, seperti korupsi dan lain-lain.
Pendidikan karakter untuk sekarang ini sangat mutlak diperlukan. Tidak hanya
sekolah saja tapi dirumah dan dilingkungan sosial, bahkan sekarang ini peserta
pendidikan karakter bukan lagi untuk anak pada usia dini hingga remaja, tetapi juga
untuk usia remaja demi untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Coba kita bayangkan
bagaimana persaingan yang akan muncul pada 10 tahun kedepan?, yang jelas itu akan
menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai seorang pendidik sekaligus sebagai
orang tua dalam membentuk karakter anak dalam menghadapi persaingan dimasa
mendatang.
Karakter adalah kunci keberhasilan individu, sebagaimana sebuah penelitian di
Amerika yang menyatakan bahwa 90% kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku
buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang
buruk. Selain itu terdapat juga penelitian yang mengindikasikan bahwa 80%
keberhasilan seseorang dimasyarakat ditentukan oleh emotional quotient,19 lantas
bagaimana dengan bangsa kita, dan apakah orang-orang yang sekarang yang sedang

18
http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-dunia-pendidikan/,
(diambil, 18/10/2013, 20.35)
19
http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-dunia-pendidikan/,
(diambil, 18/10/2013, 20.40)

9
duduk manis dikursi penting pemerintahan yang mengelola perekonomian negara ini
sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita?.
Karaktek merupakan nilai-nilai perilaku yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap perasaan, perkataan, dan perbuatan yang berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Bagi Indonesia sekarang ini,
pendidikan karakter harus dilakukan secara sungguh-sungguh, sitematik, dan
berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan bangsa
Indonesia, bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan
menguatkan karakter bangsa Indonesia. Artinya tidak akan ada masa depan yang lebih
baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa disiplin diri, kegigihan, semangat
belajar yang tinggi, tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah
kebinekaan, semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta rasa percaya diri dan
optimisme. Sebagaimana dikatakan Theodore Roosevelt “mendidik seseorang dalam
aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada
masyarakat”.20
Pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah
dimengerti dan difahami oleh siswa dan individu yang bekerja dalam lingkup
pendidikan itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip tersebut sebagaimana yang dikemukakan
Koesoema (2010:218-220), sebagai berikut:
1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu
katakan atau kamu yakini.
2. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa
dirimu.
3. Karakter yang baik itu dilakukan dengan cara yang baik, bahkan seandainya pun
kamu harus membayarnya secara mahal dan mengandung resiko.
4. Jangan mengambil prilaku buruk yang dilakukan orang lain sebagai patokan
bagi dirimu, kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.
5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif.
6. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah menjadi pribadi yang
lebih baik.21

20
http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-dunia-pendidikan/,
(diambil, 18/10/2013, 18.40)
21
Koesoema, Doni A, Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Globa,
(Jakarta:Grasindo, 2010), h. 218-220

10
5. Mewujudkan Pendidikan Karakter yang Berkualitas
Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangatlah menjanjikan dalam
menjawab persoalan di Indonesia, namun dalam praktiknya seringkali bias dalam
penerapannya. Sebagai sebuah upaya pendidikan karakter haruslah terprogram yang
terukur pencapaiannya yaitu observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator
perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama
pelajaran tertentu. Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan
cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk
membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan
aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif, serta diperlukan sejumlah
waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak
atau tabiat seseorang.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk
menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak
dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di
indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral
terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan
bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang
berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence
plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah
tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).22
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di
sekolah, karena konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu,
dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan
tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai
sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam
contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di
sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan
pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di
sekolah sebenarnya tujuannya dapat dicapai dengan baik, terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia. Pembinaan karakter juga termasuk
22
http://www.pendidikankarakter.com/mewujudkan-pendidikan-karakter-yang-berkualitas/, (diambil,
22/10/1013, 0: 11)

11
dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahnya adalah dikarenakan pendidikan karakter di
sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai,
dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter
untuk setiap jalur, jenjang dan jenis satuan pendidikan. Undang-undang no 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13 ayat 1 menyebutkan bahwa
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal, yang mana
semuanya ini saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal sesungguhnya
memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan dalam
hal ini yaitu pendidikan keluarga dan lingkungan, karena pendidikan formal (sekolah)
hanya 7 jam perhari atau kurang dari 30%, sedangkan 70% nya berada dalam keluarga
dan lingkungan, artinya pendidikan disekolah hanya berkontribusi sebesar 30% terhadap
keberhasilan pendidikan peserta didik sedangkan selebihnya ditentukan oleh keluarga
dan lingkungannya.
Akan tetapi pendidikan informal (lingkungan keluarga) selama ini belum
memberikan kontribusi yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik, hal ini disebabkan kesibukan dan aktivitas kerja
orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan, serta pengaruh media elektronik yang bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Adapun salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui
pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan
pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku
kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah
dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah
membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai
terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru,
keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil
selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan
yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang

12
memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya
pendidikan di masyarakat, karena lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk
pembentukan karakter.
Melalui paparan panjang diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam mewujudkan
pendidikan karakter yang berkualitas, maka kuncinya adalah, harus memiliki alat ukur
yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, serta adanya tiga
komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan
pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi.
Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan
semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi
pekerti yang luhur, dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di
berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.
6. Wajah Sistem Pendidikan Indonesia
Dunia pendidikan semakin hari semakin berkembang, dan itu dapat kita rasakan
dengan makin banyak dan berkembangnya lembaga pendidikan formal baik itu yang
bertaraf standar, unggulan sampai ke taraf internasional. Dengan berkembangnya dunia
pendidikan formal memicu para pemikir-pemikir pendidikan bahkan para konglemerat
untuk ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan lembagalembaga yang bersifat non formal.
Sebagai orang tua yang menginginkan anaknya memiliki kemampuan yang lebih
dan unggul maka seringkali orang tua mengikutkan anaknya keberbagai macam les atau
private tambahan di luar sekolah, seperti les matematika, bahasa inggris, dan lain-lain
yang terkadang ini lakukan atas kemauan orang tua bukan datang dari anak itu sendiri.
Memang sekarang ini kita menganggap tidak cukup jika anaka hanya belajar di sekolah
saja kita mengikutkan anak kita ke berbagai macam les (private) degan harapan anak
kita akan menjadi pintar, mahir dan memiliki kemampuan kognitif yang baik. Namun
tanpa disadari terkadang kita lupa dan mengabaikan bahwa ada lain yang tak kalah
pentingnya yang harus diberikan dan dimiliki anak, yaitu pendidikan karakter pada anak
didik. Saya mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan kognitif tidak penting, akan
tetapi pendidikan karakter sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.
Beberapa kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya
raya justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada tetangganya yang

13
kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak
mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya
keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter. Ada sebuah kata
bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama
juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta.
Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun
berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya,
pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah
disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya untuk tidak
mengabaikan pendidikan karakter anak didik.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia, karena pendidikan
karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa,
yang

tidak

mengabaikan

nilai-nilai

sosial

seperti

toleransi,

kebersamaan,

kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan
karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan
kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan
seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang
lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20
persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill, dan, kecakapan soft skill ini
terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.23
Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter, kita bisa menerapkannya
dalam pola pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan
pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan
kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya
serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan
mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada
anak didik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode
pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga
dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan
begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan
karakter.
23

www.pendidikan-karakter.com

14
7. Pendidikan Karakter yang Berhasil
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian
indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam standar kompetensi kelulusan
yang antaralain meliputi:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Menunjukan sikap percaya diri
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras dan golongan sosial
ekonomi
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber
lain secara logis, kritis dan kreatif
7. Menunjukan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif
8. Menunjukan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang
dimiliki
9. Mampu menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial
11. Memanfaatkan lingkungan secara tanggung jawab
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan
13. Menghargai karya seni dan budaya
14. Memiliki kemampuan untuk berkarya
15. Menerapkan hidup bersih dan sehat, bugar, dan aman
16. Berkomunikasi secara efektif dan santun
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain
18. Menunjukan kegemaran membaca dan menulis
19. Terampil dalam menyimak, berbicara, membaca dan menulis
20. Menguasai pengetahuan
21. Memiliki jiwa kewirausahaan24
Adapun pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter di sekolah
dapat diketahui dari berbagai perilaku sehari-hari yang tampak dalam setiap aktivitas
sebagai berikut:
1. Kesadaran
2. Kejujuran
3. Keikhlasan
24

Opcit, Mulyasa, h. 10-12

15
4. Kesederhanaan
5. Kemandirian
6. Kepedulian
7. Kebebasan dalam bertindak
8. Kecermatan/ketelitian, dan
9. Komitmen25
C. KESIMPULAN
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilainilai karakter pada anak didik, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku
kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah
dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah
membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai
terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru,
keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil
selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan
yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang
memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya
pendidikan di masyarakat, karena lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat
mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk
pembentukan karakter.
Tentunya menjadi hrapan kita bersama akan keberhasilan dari pendidikan karakter
ini, karena bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan maka tidak diragukan
lagi kalau masa depan bangsa Indonesia akan mengalami perubahan menuju kejayaan,
namun sebaliknya jika pendidikan karakter ini gagal maka sudah pasti dampaknya akan

25

Logcit, h. 12

16
sangat besar bagi bangsa ini dan tentunya negara kita akan mengalami ketertinggalan
dari negara-negara lain.