KEUNTUNGAN DAN TANTANGAN KEIKUTSERTAAN I

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM

Makalah
Untuk melengkapi Persyaratan dalam Menempuh
Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional
KEUNTUNGAN DAN TANTANGAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM
KONVENSI ORGANISASI PERBURUHAN INTERNASIONAL (ILO) NO. 183
TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (2000) DALAM KAITANNYA
DENGAN KESETARAAN GENDER DALAM DUNIA KERJA
Diajukan Oleh :
Mazia Rizqi Izzatika
10/302744/HK/18540
Konsentrasi Hukum Internasional

YOGYAKARTA
2013
1

Daftar Isi


Halaman Judul .................................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................................................
Bab I Pendahuluan ........................................................................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................................................
B. Perumusan Masalah......................................................................................................
Bab II Tinjauan Pustaka..............................................................................................................
A. Perjanjian Internasional .............................................................................................

B. Konsep Gender dalam Kaitannya dengan Maternitas........................
C. Peraturan Nasional Tentang Perlindungan Maternitas dalam

1
2
3
3
4
5
5
6

7

Dunia Kerja............................................................................................................
D. Tinjauan Umum Mengenai Konvensi tentang Perlindungan Maternitas

11

(2000)..........................................................................................................
Bab III Pembahasan ......................................................................................................................
A. Keuntungan Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan

13
13

Maternitas (2000).............................................................................
B. Tantangan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan Maternitas

17

(2000)..........................................................................................................

Bab IV Penutup ..............................................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................... ..............
B. Saran ...................................................................................................................................
Daftar Pustaka.................................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

2

20
20
21
22

Perlindungan maternitas merupakan hak asasi manusia yang fundamental.
Perlindungan maternitas mendukung perkembangan kesehatan individu bagi ibu dan
anak, generasi anak yang sehat adalah aset bagi setiap masyarakat. Perlindungan
maternitas adalah hak buruh perempuan seperti yang tertuang dalam Kovenan

ECOSOC (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), salah satu instrumen bill of rights
PBB, yang mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi dan menjamin hakhak buruh, Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas (2000), Undangundang Ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 82, 83, 84, dan Undang-undang
Jamsostek No. 3/1992.
Buruh perempuan terutama buruh perempuan yang sedang hamil, yang
bekerja di sektor industri rentan menjadi korban eksploitasi. Maka, jika terjadi
pengabaian terhadap perlindungan maternitas, diasumsikan akan berdampak pada
kesehatan ibu dan anak yang buruk hingga pada kematian. Kondisi dimana
perusahaan mengabaikan perlindungan maternitas, maka diasumsikan telah terjadi
pelanggaran terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan No.13/2003 dan Undangundang Jamsostek. Dalam kondisi-kondisi yang demikian diasumsikan telah terjadi
diskriminasi terhadap buruh perempuan.
Oleh karena itu buruh perempuan perlu mendapatkan perlindungan
kesehatan, terutama kesehatan reproduksinya. Buruh perempuan yang hamil perlu
mendapatkan perlindungan maternitas, yakni perlindungan pada saat dia mulai
hamil, melahirkan dan menyusui. Buruh perempuan yang hamil juga perlu
mendapatkan hak cuti yang dibayar, dalam rangka melindungi janin dan bayi yang
dilahirkannya, dan kembali bekerja dengan posisi dan upah yang sama seperti ketika
dia belum mengambil cuti melahirkan. Untuk mendapatkan haknya, buruh
perempuan, Serikat Buruh, LSM dan pengambil kebijakan perlu memperjuangkan
agar Indonesia meratifikasi KILO No. 183 (Konvensi Organisasi Perburuhan

Internasional (ILO) No. 183) tentang Perlindungan Maternitas.
Diskriminasi terhadap buruh perempuan merupakan isu penting yang
menjadi perhatian bagi serikat buruh dan pejuang kaum perempuan di Indonesia. Di
banyak tempat kerja, ada aturan diam-diam dimana pekerja perempuan harus keluar
dari pekerjaan mereka dalam kasus kehamilan. Berdasarkan penelitian Serikat buruh
di Indonesia menunjukkan bahwa 11 persen dari kontrak pekerja perempuan

3

‘dihentikan ketika mereka menjadi hamil’1. Beberapa faktor yang melatarbelakanginya adalah tidak adanya kepastian hukum.
Sejak pertama kali diadopsi tahun 1919, Indonesia belum pernah meratifikasi
Konvensi ILO tentang perlindungan maternitas. Inilah yang menyebabkan
pemahaman masyarakat Indonesia menjadi kurang. Demikian pula pemahaman
buruh perempuan di Indonesia yang masih kurang terhadap isu perlindungan
maternitas. Pemahaman mereka terhadap perlindungan maternitas hanyalah sebatas
pada periode cuti melahirkan dan hak atas upah selama cuti melahirkan. Padahal
pemahaman perlindungan maternitas lebih luas dari itu, misalnya terjadinya
pemecatan terhadap buruh perempuan yang hamil dan berubahnya status kerja
mereka dari buruh tetap menjadi buruh kontrak, dan dengan demikian upah mereka
tetap


rendah;

terjadinya

pembagian

diimplementasikannya kesehatan dan

kerja

berdasarkan

gender;

tidak

keselamatan kerja (K3) dengan standar

internasional; serta kewajiban buruh untuk melaksanakan program keluarga

berencana. Kesemua contoh ini semakin menunjukkan telah terjadi eksploitasi, baik
eksploitasi kapitalis maupun eksploitasi patriarki terhadap buruh perempuan,
terutama buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui.
Bagi buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, praktekpraktek yang dilakukan oleh beberapa perusahaan telah mengakibatkan kerugian
secara fisik maupun materi. Sedangkan bagi bayi, kerugian yang dideritanya adalah
kehilangan hak asasinya untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh.
Atau dengan kata lain, kekejaman tidak adanya perlindungan maternitas terhadap
bayi adalah merampas hak asasinya untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam
bulan penuh.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB
yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara,
aman, bermartabat. Tujuan-tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja,
memperluas kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan
memperkuat dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja2.
Organisasi ini memiliki 183 negara anggota dan bersifat unik di antara badan-badan
PBB lainnya karena struktur tripartit yang dimilikinya menempatkan pemerintah,

1 http://www.icem.org/en/71-Gender-Issues/4287-100th-Anniversary-of-International-Women’s-Day
diakses 20 Mei 2013

2 Sekilas Pandang tentang Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

4

organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh pada posisi yang setara dalam
menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.
Standar-standar ILO berbentuk Konvensi dan Rekomendasi ketenagakerjaan
internasional. Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk
pada ratifikasi negara-negara anggota. Rekomendasi tidak bersifat mengikat—
kerapkali membahas masalah yang sama dengan Konvensi yang memberikan pola
pedoman bagi kebijakan dan tindakan nasional. Hingga akhir 2009, ILO telah
mengadopsi 188 Konvensi dan 199 Rekomendasi yang meliputi beragam subyek:
kebebasan berserikat dan perundingan bersama, kesetaraan perlakuan dan
kesempatan, penghapusan kerja paksa dan pekerja anak, promosi ketenagakerjaan
dan pelatihan kerja, jaminan sosial, kondisi kerja, administrasi dan pengawasan
ketenagakerjaan, pencegahan kecelakaan kerja, perlindungan kehamilan dan
perlindungan terhadap pekerja migran serta kategori pekerja lainnya seperti para
pelaut, perawat dan pekerja perkebunan. Lebih dari 7.300 ratifikasi Konvensikonvensi ini telah terdaftar. Standar ketenagakerjaan internasional memainkan
peranan penting dalam penyusunan peraturan, kebijakan dan keputusan nasional.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas dapat dirumuskan bahwa isu
sentral dari penulisan hukum ini yaitu, “Bagaimana Keuntungan dan Tantangan
Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Perlindungan Maternitas (2000) dalam
kaitannya dengan Kesetaraan Perempuan Dalam Dunia Kerja?”

5

Bab II
Tinjauan Pustaka
A. Perjanjian Internasional
Pengertian perjanjian internasional sangat beraneka ragam. Hal ini karena banyak
ahli ketatanegaraan dan sarjana hukum internasional yang memberikan definisi
dengan sudut pandang atau tinjauan yang berbedabeda. Beberapa pendapat tentang
definisi dan batasan perjanjian internasional seperti berikut.
a.

Mochtar

Kusumaatmadja,


ahli

hukum

internasional,

mendefinisikan

perjanjian internasional sebagai berikut. “Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.”
b.

Oppenheim dan H. Lauterpacht, ahli kenegaraan dari Amerika, memberi
batasan hukum internasional sebagai berikut. ”Perjanjian internasional
adalah konvensi atau kontrak antardua negara atau lebih mengenai beberapa
macam kepentingan”.

c.


Batasan perjanjian internasional dalam Konvensi Wina Tahun 1986 terdapat
dalam pasal 2 ayat (1a) sebagai berikut. “Perjanjian internasional berarti
suatu persetujuan internasional yang diatur dengan hukum internasional
dan ditandatangani dalam bentuk tertulis, baik antarsatu negara atau lebih
maupun antarorganisasi internasional”.

d.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
menjelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk
dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik. Itulah beberapa pengertian dan batasan perjanjian internasional.
Berdasarkan beberapa pengertian dan batasan perjanjian internasional

tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut. Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.

6

B. Konsep Gender dalam Kaitannya dengan Maternitas
Gender menurut Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender dan
Transformasi Sosial” adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Atau dengan kata lain,
gender adalah atribut sosial terhadap sifat-sifat maskulinitas dan femininitas. Adat,
tradisi, kebudayaan, agama, kelas, kasta, ras, media dan sebagainya yang menentukan
bagaimana perempuan dan laki-laki berperilaku. Gender adalah perilaku yang
dipelajari dan berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Jadi, identitas laki-laki dan
perempuan dibangun oleh masyarakat yang didasarkan pada karakteristik biologis.
Jadi, gender dibangun secara sosial.
Buku tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan identitas gender, berbagai
peran gender dan pembagian kerja berdasarkan gender dibedakan untuk laki-laki dan
perempuan. Masyarakat mengorganisasi dan melegitimasi peran yang dimainkan oleh
laki-laki dan perempuan maupun menentukan tugas-tugas yang mereka tampilkan.
Peran dan tugas-tugas gender ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki yang juga
menentukan hubungan kekuasaan yang ada diantara mereka.
Peran reproduktif yang berhubungan dengan masalah keluarga biasanya
ditampilkan oleh perempuan. Tugas-tugas reproduksi seperti merawat dan
membesarkan anak berhubungan dengan tugas-tugas domestik. Sebagian besar
perempuan menampilkan peran reproduktif mereka tanpa pertanyaan dan
menganggapnya normal.

Sebagian besar perempuan juga menampilkan peran

produktif. Seluruh pekerjaan dilakukan dalam rangka memenuhi peran-peran
produktif, yakni mencari nafkah. Tetapi beberapa perempuan yang menghabiskan
sebagian

besar

waktunya

untuk

melakukan

peran-peran

domestik

tidak

menghasilkan pendapatan atau penghargaan yang sama dengan laki-laki, sehingga
produktivitas perempuan menjadi tidak atau kurang bernilai di masyarakat.
Di dalam suatu masyarakat dengan sistem patriakal, laki-laki memiliki
kekuasaan untuk membuat keputusan dan perempuan hanya mematuhinya.
Pekerjaan laki-laki menjadi lebih penting, lebih produktif dan memiliki nilai lebih
dibanding perempuan. Laki-laki lebih diterima masyarakat, lebih memiliki kontrol,
kekuasaan dan otoritas dibanding perempuan. Pasar juga melestarikan dan
mempertahankan distribusi kekuasaan ekonomi dan politik. Antara gender,
kepemilikan dan kontrol atas sumber-sumber apapun lebih dikonsentrasikan kepada
laki-laki. Pembagian kerja berdasarkan gender dilestarikan, sebagaimana yang
mendiskriminasi pasar tenaga kerja yang menentukan jenis-jenis pekerjaan dan
7

khususnya industri dimana laki-laki dan perempuan bekerja, dan dimana tingkat
upah antara laki-laki dan perempuan relatif dapat diterima.
Di dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa di sebagian besar negara,
dimana masyarakatnya didominasi oleh laki-laki dan dimana negara mengontrol
peran-peran reproduktif perempuan, negara juga memainkan peranan yang berarti
dalam memperkuat pembagian kerja berdasarkan gender.
Sebagai perempuan yang memasuki pasar tenaga kerja untuk mendapatkan
uang, ini artinya mereka melakukan peran produktif. Tetapi mereka juga tidak
mengabaikan peran-peran reproduktif, sehingga mereka tidak dapat mendedikasikan
dirinya secara penuh dalam peran-peran reproduktif mereka. Tenaga kerja
perempuan, dengan demikian dipandang memiliki nilai kurang dan dianggap inferior
dibanding laki-laki.

C. Peraturan Nasional Tentang Perlindungan Maternitas dalam Dunia Kerja
Jika memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman prakemerdekaan,
tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja ini. Perbudakan,
perhambaan, rodi, dan poenale sanksi yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu
menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda akan kesehatan
kerja3. Hal yang dicari pada saat itu adalah pengeksplotasian tenaga kerja secara
penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan tenaga kerja tidak
diperhatikan sama sekali. Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah
kemerdekaan dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa
peraturan termasuk peraturan keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu
Veiligheids Reglement telah dicabut dan diganti dengan Undag-undang Keselamatan
Kerja No.1 Tahun 19704.
Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian pemerintah
adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Indonesia masih berbentuk serikat beribu
kota di Yogyakarta pada tannga 20 April 1948 mengundangkan Undang-undang No.12
Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk Negara kesatuan UU No.12
tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah Indonesia dengan UU No.2 Tahun
1951. Undang-undang pokok kerja ini memuat aturan dasar mengenai 5:
3 Zaeni, Asyhadie. 2007. Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Raja
Grafindo. hlm. 80
4 Website Departemen Tenaga Kerja
5 Zaeni Asyhadie,SH.,M.Hum, Op.Cit, hlm.83

8

1. Pekerjaan anak
2. Pekerjaan orang muda
3. Pekerjaan wanita
4. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso
5. Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membedabedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di
perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.
Sejak pertama terbit, Undang-undang Tenaga Kerja Indonesia sudah berbicara
masalah hak dan kesehatan reproduksi buruh perempuan. Salah satunya adalah
mengenai perlindungan maternitas. Undang-undang Tenaga Kerja pertama mengenai
perlindungan maternitas adalah UU No. 12 / 1948 pasal 13 ayat (2), (3) dan (4).
1. Ayat (2) berisi tentang periode cuti melahirkan selama tiga bulan (satu
setengah bulan sebelum saatnya menurut perhitungan akan melahirkan dan
satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan).
2. Ayat (3) berisi tentang waktu istirahat yang dapat diperpanjang selama tiga
bulan jika menurut keterangan dokter diperlukan.
3. Ayat (4) berisi tentang kesempatan bagi buruh perempuan untuk menyusukan
anaknya selama jam kerja.
Undang-undang Tenaga Kerja kedua, yakni

UU RI No. 22 / 1957 juga

memperhatikan masalah perlindungan maternitas yang dituangkan di dalam pasal 86
huruf (d); pasal 99; pasal 101; pasal 104 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6); pasal 105; ayat
(1) dan (2); sanksi bagi pelanggarnya tercantum dalam pasal 180 huruf (c); pasal 183
huruf a, b, c, dan d. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pasal-pasal yang memuat
mengenai perlindungan maternitas6:
1.

Pasal 86 huruf d berisi tentang larangan kepada pengusaha memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja yang menikah, hamil, melahirkan atau
gugur kandungan.

2.

Pasal 99 berisi tentang larangan mempekerjakan perempuan hamil dan/atau
menyusui pada waktu tertentu, seperti malam hari untuk menjaga kesehatan
dan keselamatannya.

3.

Pasal 101 berisi tentang pengaturan lebih lanjut mengenai perempuan hamil.

6 Soepomo, Iman. 2003. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.

9

4.

Pasal 104 ayat (2) berisi tentang hak buruh perempuan untuk mendapatkan
kesempatan menyusui bayinya pada jam kerja.

5.

Pasal 104 ayat (3) berisi tentang periode cuti melahirkan (satu bulan
sebelum saatnya menurut perhitungan dokter / bidan melahirkan anak dan
dua bulan sesudah melahirkan).

6.

Pasal 104 ayat (4) berisi tentang waktu yang diberikan untuk buruh
perempuan yang mengalami gugur kandungan adalah selama satu setengah
bulan.

7.

Pasal 104 ayat (5) berisi tentang waktu perpanjangan istirahat selama tiga
bulan jika dalam suatu keterangan dokter dinyatakan bahwa hal itu perlu
untuk menjaga kesehatannya.

8.

Pasal 104 ayat (6) berisi tentang ketentuan pelaksanaan waktu istirahat bagi
buruh perempuan yang diatur oleh Menteri.

9.

Pasal 105 ayat (1) berisi tentang fasilitas bagi buruh perempuan yang
menyusui bayinya.

10. Pasal 105 ayat (2) berisi tentang ketentuan mengenai fasilitas untuk
menyusui bayi yang diatur oleh Menteri.
11. Pasal 180 huruf (c) berisi tentang sanksi bagi perusahaan yang
mempekerjakan buruh perempuan hamil dan / atau menyusui pada malam
hari.
12. Pasal 183 berisi tentang sanksi bagi perusahaan yang tidak memberikan
kesempatan menyusukan bayinya pada jam kerja, tidak memberi istirahat
kepada buruh perempuan sebelum dan/atau sesudah melahirkan, tidak
memberikan istirahat kepada buruh perempuan yang mengalami gugur
kandungan, dan tidak memberikan perpanjangan istirahat kepada buruh
perempuan sebelum saat melahirkan anak.
Undang-undang

Tenaga

Kerja

ketiga

yang

merevisi

undang-undang

sebelumnya adalah Undang-undang Ketenaga-kerjaan No. 13 / 2003. Masalah
perlindungan maternitas diatur di dalam pasal 76 ayat (2); pasal 82 ayat (1) dan (2);
pasal 83, pasal 84 dan pasal 153 huruf (e).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pasal demi pasal mengenai perlindungan
maternitas sebagai berikut:
1. pasal 76 ayat (2) berisi tentang larangan mempekerjakan perempuan hamil
pada jam 23.00 sampai dengan jam 07.00.

10

2. Pasal 82 ayat (1) berisi tentang periode cuti melahirkan (satu setengah bulan
sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan setelah melahirkan
anak).
3. Pasal 82 ayat (2) berisi tentang istirahat gugur kandungan selama satu
setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan.
4. Pasal 83 berisi tentang hak buruh perempuan menyusui.
5. Pasal 84 berisi tentang upah yang berhak diperoleh secara penuh oleh buruh
perempuan selama menyusui.
6. Pasal 153 huruf (e) berisi tentang larangan pemutusan hubungan kerja
kepada buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan dan
menyusui.
Dari ketiga Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilihat bahwa:
pertama, UUK II paling banyak dan lengkap membahas perlindungan maternitas.
Kedua, UUK I hanya berisi tiga aspek yang berkaitan dengan perlindungan maternitas,
yakni: periode cuti melahirkan, perpanjangan cuti melahirkan dan kesempatan
menyusui. Sedangkan UUK II mencakup hampir semua aspek secara detil, yakni:
larangan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh perempuan hamil, melahirkan
dan gugur kandungan; larangan mempekerjakan buruh perempuan hamil dan/atau
menyusui pada waktu tertentu / malam hari; hak menyusukan bayinya selama jam
kerja; periode cuti melahirkan; waktu istirahat untuk buruh perempuan yang
mengalami gugur kandungan; perpanjangan istirahat / cuti melahirkan; fasilitas
untuk buruh perempuan yang menyusui bayinya di tempat kerja serta sanksi-sanksi
bagi pelanggarnya. Sementara UUK III berisi 6 aspek, yakni: larangan mempekerjakan
buruh perempuan hamil pada malam hingga pagi hari; periode cuti melahirkan;
istirahat gugur kandungan; hak buruh perempuan untuk menyusui bayinya di tempat
kerja; hak buruh perempuan memperoleh upah penuh selama menyusui dan larangan
pemutusan hubungan kerja kepada buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur
kandungan dan menyusui.
Ketiga, terdapat perbedaan antara UUK pertama, kedua dan ketiga mengenai
periode/waktu istirahat di luar periode cuti melahirkan. UUK pertama tidak mengatur
mengenai gugur kandungan. Masalah gugur kandungan terdapat dalam UUK kedua
(pasal 86, 104) dan ketiga (pasal 82 ayat 2 dan pasal 153 huruf e). Sementara itu
masalah yang berkaitan dengan waktu perpanjangan sebelum melahirkan disinggung
dalam UUK pertama (pasal 13 ayat 3) dan UUK kedua (pasal 104 ayat 5). Sementara
UUK ketiga tidak mengatur mengenai hal tersebut. Dari segi waktu, UUK kedua
11

memberikan waktu selama satu setengah bulan bila terjadi gugur kandungan.
Demikian pula pada UUK ketiga, menentukan waktu istirahat selama satu setengah
bulan bila terjadi gugur kandungan. Waktu perpanjangan istirahat sebelum
melahirkan pada UUK pertama ditentukan selama tiga bulan. Demikian pula pada
UUK kedua adalah tiga bulan.
Keempat, dari ketiga UUK tersebut tidak ada satupun yang menyinggung
masalah pemindahan buruh perempuan hamil ke tempat yang jenis pekerjaannya
lebih ringan dan masalah diskriminasi, yang berkaitan dengan hak buruh perempuan
untuk kembali bekerja pada posisi dan upah yang sama setelah cuti melahirkan.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa UUK kedua (UU RI No. 22 /
’57) mengalami kemajuan setelah UUK pertama (UU RI No. 12 / ’48) mengalami
revisi. Namun setelah mengalami revisi untuk kedua kalinya, UUK ketiga (UUK No.
13 / 2003) mengalami kemunduran dalam hal melindungi kepentingan buruh
perempuan dan merupakan UUK yang paling tidak melindungi kepentingan buruh
perempuan.

D. Tinjauan Umum Mengenai Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)
Adanya Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas (2000) adalah
karena beberapa alasan. Pertama, kebutuhan buruh perempuan akan perlindungan
kesehatan reproduksi, terutama perlindungan maternitas, yakni perlindungan sejak
buruh perempuan pertamakali diketahui hamil, melahirkan dan menyusui. Kedua,
kebutuhan akan keadilan dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Ketiga,
kebutuhan untuk memperbaiki kualitas fisik dan mental bayi yang dikandung dan
dilahirkannya sebagai generasi penerus.
Konvensi ILO No. 183 ini mencakup semua perempuan yang bekerja,
termasuk mereka yang berada di sektor informal yang memiliki majikan. Ketentuan
baru tentang perlindungan kesehatan ibu hamil dan menyusui telah ditambahkan,
cuti hamil minimum dilaksanakan dari 12 sampai 14 minggu sementara dalam
Konvensi ILO No. 183 ini dari 14 sampai 18 minggu. Konvensi ini memungkinkan
negara untuk mengubah direktif ini jika pekerja, pengusaha, dan pemerintah semua
setuju untuk mempersingkat cuti wajib atau tidak sama sekali. Untuk periode setelah
cuti melahirkan, wanita yang tidak bisa dipecat karena dia sedang menyusui. Jika
seorang wanita menyusui dipecat dan mengajukan keluhan, majikannya memiliki
beban untuk membuktikan bahwa menyusui bukanlah penyebab penghentiannya. Di
dalam Konvensi ILO No. 183, istirahat menyusui diakui sebagai hak perempuan. Ada
12

juga mengenai ketentuan yang menyediakan untuk istirahat menyusui pada waktu
yang dibayar, dihitung sebagai waktu kerja. Dalam hal kesehatan juga dianjurkan
untuk mendapatkan sertifikat medis untuk memenuhi syarat agar mendapatkan
istirahat menyusui, agar tidak ada kesulitan bagi wanita jika menggunakan akses
dokter.
Namun Konvensi ILO No. 183 ini juga memiliki ketidakjelasan terkait dengan
perlindungan perempuan dari pemecatan karena alasan apapun selain cuti hamil.
Konvensi ILO No. 183 memberikan perlindungan lebih lama, tetapi memungkinkan
pemecatan karena alasan yang tidak terkait dengan kehamilan. Lamanya hak wanita
untuk istirahat menyusui diserahkan kepada hukum dan praktek nasional.
Sebelumnya tidak ada durasi yang ditentukan.

Bab III
Pembahasan

13

A. Keuntungan Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan
Maternitas (2000)
Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000) pada dasarnya sangat
berkaitan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The United Nations Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women - CEDAW) adalah kunci dari
keseluruhan instrumen PBB untuk mempromosikan kesetaraan gender. Konvensi ini
diadopsi pada tahun 1979 untuk memerangi diskriminasi yang masih terus
berlangsung terhadap perempuan sebab instrumen hak asasi manusia (HAM)
terdahulu

lebih

merefleksikan

perspektif

dan

perhatian

laki-laki.

CEDAW

mengidentifikasi banyak wilayah yang dikenal banyak terdapat diskriminasi terhadap
perempuan, sebagai contoh dalam hal hak politik, perkawinan dan keluarga serta
pekerjaan.
Konvensi tersebut menyebutkan tujuan jangka panjang yang spesifik dan
menetapkan langkah yang harus dilakukan untuk memfasilitasi terciptanya sebuah
masyarakat global di mana perempuan menikmati kesetaraan dengan laki-laki, dan
karenanya, realisasi hak asasi mereka terjamin secara sepenuhnya.
Kesehatan reproduksi merupakan hak perempuan. Salah satu bentuk hak
reproduksi adalah perlindungan maternitas perempuan pekerja atau buruh
perempuan. Perlindungan maternitas perempuan pekerja yang diterbitkan ILO dalam
bentuk Konvensi No. 183 / 2000 dan Rekomendasi No. 191 / 2000 dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya diskriminasi terhadap pekerja perempuan, seperti yang
ditegaskan dalam pasal 11 (f) CEDAW. Perlindungan maternitas juga dibutuhkan
untuk melindungi kesehatan perempuan dan janin yang dikandungnya dan / atau bayi
yang dilahirkan dan disusuinya dari kondisi kerja yang tidak aman (berbahaya) dan
tidak sehat.
Keuntungan keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi ini juga sebagai
tambahan untuk hak-hak mendasar perempuan di tempat kerja seperti yang telah
dijelaskan di depan, dua standar internasional ketenagakerjaan lainnya penting untuk
mengatasi diskriminasi yang terjadi secara luas dan karenanya merupakan hambatan
utama bagi para pekerja perempuan :
1) Perlindungan atas fungsi biologis perempuan sebelum, selama dan
setelah melahirkan (maternity protection)

14

2) Pemberian kesempatan yang sama untuk pekerja dengan tanggung jawab
keluarga yakni tugas-tugas reproduktif di masyarakat di mana di banyak
masyarakat hampir semuanya diberikan kepada perempuan dan anak
perempuan.
Bagian ini akan menguraikan implementasi perlindungan maternitas pada
fase kehamilan (sebelum melahirkan), ketika melahirkan (cuti melahirkan) dan
setelah melahirkan dengan berpedoman pada Konvensi ILO No. 183 / 2000 dan
Rekomendasi ILO No. 191 / 2000.

1.

Fase Kehamilan (Sebelum Melahirkan):
Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 berbicara tentang perlindungan

kesehatan, bahwa perempuan hamil dan menyusui tidak harus melakukan pekerjaan
yang telah ditentukan oleh penguasa berwenang yang merugikan kesehatan ibu dan
anak, atau dimana penilaian telah ditetapkan risiko signifikan bagi kesehatan ibu dan
anaknya.
Rekomendasi No. 191 / 2000 pasal 6 pada intinya menyatakan bahwa
perempuan hamil dapat dipindahkan ke jenis pekerjaan yang lebih ringan untuk
menghindari bahaya atau risiko terhadap ibu dan bayinya. Sementara itu, di Indonesia
UUK No. 13 / 2003 pasal 76 ayat (2) pada intinya melarang pengusaha
mempekerjakan buruh perempuan hamil yang akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan dirinya dan kandungannya. Sementara peraturan perusahaan tidak
mengatur mengenai hal ini.
2.

Cuti Melahirkan
Konvensi ILO No. 183 / 2000 menetapkan periode cuti melahirkan selama 14

minggu atau 3,5 bulan. Sementara itu Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 menetapkan
periode cuti melahirkan selama 18 minggu atau 4,5 bulan. UUK No. 13 / 2003 masih
menetapkan periode cuti melahirkan selama 3 bulan.
Maka jika suatu peraturan perusahaan menentukan periode cuti melahirkan
selama 3 bulan, semua buruh perempuan, baik buruh tetap maupun buruh kontrak
mengambil cuti melahirkan sampai usia kandungan hampir ke sembilan, atau
sebelum menurut perhitungan dokter akan melahirkan. Alasan mereka adalah agar
15

mereka memiliki cukup waktu untuk menyusui dan mengasuh bayi mereka. Mereka
tidak tahu bahwa mereka memiliki hak menyusui pada jam kerja dengan tetap
memperhitungkan waktu menyusui itu sebagai jam kerja. Artinya, jika buruh
perempuan sudah bekerja kembali tetapi harus menyusui, maka waktu menyusui
mereka tetap dibayar.
3. Setelah Melahirkan
Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 8 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000
pasal 5 pada intinya merupakan larangan terhadap terjadinya diskriminasi terhadap
buruh perempuan yang bekerja kembali setelah cuti melahirkan. Buruh perempuan
yang bekerja kembali setelah cuti melahirkan berhak menduduki kembali posisinya
dan mendapatkan upah yang sama dengan upah ketika sebelum cuti melahirkan.
4. Masa Menyusui
Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 10 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000
pasal 8 dan 9 berisi tentang ibu menyusui, bahwa pekerja atau buruh perempuan
yang sedang menyusui berhak menggunakan jam kerjanya untuk menyusui, minimal
satu jam sehari dengan tetap mendapat upah. Di Indonesia, masalah menyusui diatur
di dalam UUK No. 13 / 2003 pasal 83 dan 84.
5. Jam Kerja dan Kerja Lembur
Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000
pasal 6 berbicara tentang perlindungan kesehatan bagi pekerja / buruh perempuan
hamil dan menyusui. Pada UUK No. 13 / 2003 pasal 76 ayat (2) lebih khusus lagi
berbicara tentang larangan kerja malam bagi perempuan hamil, Peraturan
Perusahaan tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Peraturan mengenai jam kerja dan kerja lembur bagi buruh perempuan hamil
sangat dibutuhkan, karena perempuan hamil mengalami perubahan pola tidur yang
disebabkan terjadinya perubahan pada beberapa bentuk tubuh. Hal ini menyebabkan
fisik perempuan menjadi cepat lelah. Itulah sebabnya perempuan hamil tidak boleh
bekerja terlalu letih.
6. Jenis Pekerjaan
16

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 berisi tentang jenis pekerjaan yang tidak
wajib dilakukan oleh buruh perempuan hamil dan menyusui. Rekomendasi ILO No.
191 / 2000 pasal 6 ayat 2 (a), (b) dan (c), ayat 3 dan ayat (4) berisi tentang
pemindahan buruh perempuan hamil ke tempat-tempat yang jenis pekerjaannya lebih
ringan.
Pada fase ini sangat sulit jika perempuan hamil membawa barang berat,
karena beban tidak dapat diangkat oleh tubuh. Oleh karena itu, jenis pekerjaan seperti
mengangkat barang berat, mendorong-dorong gerobak yang berat harus dihindari,
karena perempuan yang melakukan pekerjaan berat di akhir kehamilannya akan
membutuhkan pemulihan yang lebih panjang setelah kelahiran bayinya.
7.

Waktu Menyusui
Masalah ibu menyusui diatur dalam Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 10,

Rekomendasi No. 191 / 2000 pasal 8 dan 9. Di Indonesia, masalah menyusui diatur di
dalam UUK No. 13 / 2003 pasal 83 dan 84.
8.

Keguguran
Bagi pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak untuk

istirahat 1,5 (satu setengah) bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan. Selama menjalankan istirahat/cuti pekerja tetap berhak menerima upah
atau gaji penuh. Pasal 85 Undang-undang No.13 tahun 2003 menentukan beberapa
hal lain yang berkaitan dengan cuti/libur :
1. pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi
2. pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada harihari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan harus dilaksanakan tau
dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan
kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
3. pengusaha

yang

mempekerjakan

pekerja/buruh

yang

melakukan

pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud wajib membayar
upah kerja lembur.
4. ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

17

Pada dasarnya dari beberapa undang-undang yang mengatur tentang
Maternitas di Indonesia sudah memiliki keselarasan dengan Konvensi tentang
Perlindungan Maternitas (2000). Akan tetapi belum adanya pengaturan mendasar
dari pemerintah menyebabkan adanya aturan-aturan yang kabur dalam menguraikan
implementasi perlindungan maternitas di mulai dari fase kehamilan (sebelum
melahirkan) hingga setelah melahirkan.

B. Tantangan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)
Hak asasi manusia yang diuraikan dalam deklarasi-deklarasi dan konvensi
internasional berlaku untuk siapa saja dan pemerintah tidak dapat menyangkal hakhak ini bagi warganegaranya tanpa alasan. Namun, penerapan dari hak asasi manusia
yang tertera dalam peraturan internasional dan nasional sering problematik karena
hak-hak hanya dapat dipenuhi jika terdapat perangkat perbaikan (remedy) misalnya
sebuah undang-undang, peraturan hukum atau prosedur dan sistem hukum yang
berjalan (pengadilan dan perangkat penerapannya). Hal ini menjadi masalah di
banyak negara. Salah satu dari mekanisme baru yang melindungi kelompok rentan
dalam arti melindungi hak asasi mereka adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia di banyak negara.
Kadang-kadang terdapat konflik kepentingan dalam menghormati hak.
Sebagai contoh, ‘hak untuk berkembang’ dan ‘bebas dari kemiskinan’ untuk seluruh
warganegara, tidak dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah karena perbedaan politik
dari banyak pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemerintahan tersebut
serta kurangnya kesadaran dan ketrampilan di antara kelompok marjinal tersebut
untuk menyuarakan hak mereka. Hak asasi perempuan dan hak asasi anak yang
terdapat dalam instrumen hak asasi manusia internasional dan hukum nasional
seringkali dilanggar karena norma budaya dan sosial memberikan status yang lebih
rendah bagi mereka dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam struktur masyarakat yang cukup patriaki di Indonesia, ini merupakan
suatu tantangan tersendiri untuk memulai untuk membangun perspektif yang tidak
bias gender. Hak asasi perempuan dalam perlindungan maternitas juga berkaitan
dengan perkembangan generasi bangsa Indonesia. Sebab perempuan-perempuan
inilah yang nantinya akan mendidik dan mengurus para penerus bangsa. Kovenan
ECOSOC tentang kewajiban negara menghormati, melindungi dan mengupayakan hak
18

buruh perempuan; mengimplementasikan pasal 11 CEDAW tentang penghapusan
diskriminasi; dan meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO No. 183 /
2000 tentang perlindungan maternitas, hal ini perlu ditinjau ulang sebab
mengimplementasikan

Konvensi

ILO

No.

183

/

2000

sama

dengan

mengimplementasikan UUK No. 13 / 2003 dan UU Jamsostek No. 3 / 1992 tentang
perlindungan terhadap buruh perempuan ketika hamil, melahirkan dan menyusui
secara lebih universal.
Oleh karena itu sebagai bangsa besar yang ikut menjunjung HAM dan
menghormati kaum perempuan, maka penting bagi buruh perempuan mendapatkan
perlindungan kesehatan, terutama kesehatan reproduksinya. Buruh perempuan yang
hamil perlu mendapatkan perlindungan maternitas, yakni perlindungan pada saat dia
mulai hamil, melahirkan dan menyusui.

Bab IV
Penutup

19

A. Kesimpulan
Beberapa hal penting yang dapat menguntungkan bagi Indonesia dengan
meratifikasi KILO No. 183 (Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No.
183) tentang Perlindungan Maternitas adalah untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah

dalam

memperjuangkan

hak-hak

kolektif

buruh,

seperti

hak

perlindungan terhadap PHK, dalam konteks penelitian ini adalah PHK terhadap buruh
perempuan hamil yang kemudian menjadi buruh kontrak. Bagi buruh perempuan, isu
maternitas ini berdampak pada pembagian kerja mereka untuk menjalani kehidupan
sehari-hari.
Bagi buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, ketidak adanya
konvensi ini menimbulkan kerugian dari segi finansial karena harus keluar dari
pekerjaan dan masuk kembali dengan status baru sebagai buruh kontrak dengan upah
yang tetap rendah. Dengan dipecatnya buruh perempuan yang hamil, dia tidak
memiliki penghasilan dan akan membuatnya tetap miskin. Kalaupun dia kembali
bekerja sebagai buruh kontrak dengan upah yang rendah, mereka tidak dapat
memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk merawat kesehatan dirinya dan
janin yang dikandungnya dan untuk mempersiapkan kelahiran bayinya.
Untuk memenuhi segala kebutuhan, buruh perempuan yang hamil dan
menyusui bersedia bekerja dengan jam kerja yang panjang dengan kondisi kerja yang
tidak memenuhi standar K3. Akibatnya, mereka melahirkan bayi dengan berat badan
yang kurang atau keadaan bayi yang kurang sehat. Dan, akibat bagi buruh perempuan
yang menyusui, mereka tidak memiliki waktu untuk menyusui bayinya di rumahnya.
Selama bekerja dengan jam kerja yang panjang di pabrik (mereka tidak tahu bahwa
mereka memiliki hak menyusui bayi dengan tetap mendapat upah).

B. Saran
Secara umum, penelitian ini merupakan masukan bagi pemerintah agar
meratifikasi Konvensi ILO No. 183 / 2000 tentang perlindungan maternitas. Negara
dalam hal ini perlu meninjau kembali perundang-undangan yang berkaitan dengan

20

buruh perempuan dan perlindungan maternitas serta jaminan atau tunjangantunjangan yang menjadi hak buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui.
Maka sangat direkomendasikan bahwa buruh perempuan mendapatkan
waktu kerja yang fleksibel dan cuti menyusui, disamping cuti hamil dan melahirkan.
Badan Kesehatan Dunia menganjurkan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam
bulan. Maka sangat direkomendasikan pula bahwa buruh perempuan mendapat cuti
menyusui adalah selama enam bulan. Cuti hamil (tiga bulan pada fase pertama
kehamilan), melahirkan dan menyusui perlu didukung hukum positif.

DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

21

Prinst, Darwis. 1994. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Soepomo, Iman. 2003. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.
Soepomo, Iman. 1988. Hukum Perburuhan bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan
Hukum). Jakarta: Djambatan.
Zaeni, Asyhadie. 2007. Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta
: Raja Grafindo.

Dokumen-dokumen:
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, 2000.
Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas
Konvensi Wina Tahun 1986
Undang-undang No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-undang Republik Indonesia No. 3 / 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang-undang No. 12/1948 tentang Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
Undang-undang Republik Indonesia No. 25/1997 tentang Tenaga Kerja Indonesia.
Undang-undang Ketenaga-kerjaan No. 13 / 2003.
Undang-undang RI No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW).

22