NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN docx

1

NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN
ESAI-ESAI KEBUDAYAAN (2)
Oleh Aprinus Salam
Daftar Isi
(1)NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN
(2)KEBUDAYAAN DAN INOVASI
(3)KEBUDAYAAN DAN ENERGI
(4)RISET DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
(5)KONTESTASI JANJI BUDAYA
(6)BUDAYA KETOKOHAN
(7)PENELITIAN KEBUDAYAAN
(1)

NEGOSIASI AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Masalah hubungan agama dan kebudayaan merupakan masalah
besar dan klasik yang tidak pernah selesai. Ada masa ketika
kebudayaan memegang dan mengontrol agama, demikian pula
sebaliknya. Di Indonesia, kontestasi itu terus berlangsung.
Kontestasi

di
setiap
wilayah
(berbasis
kebudayaan)
memperlihatkan kadar persaingan yang berbeda-beda. Namun,
secara umum belakangan ini terdapat gejala ketika agama
memperlihatkan gelagatnya untuk mengambil kembali peranperan penting dalam kebudayaan.
Dalam sejarahnya, agama telah banyak memberi inspirasi bagi
proses dan pembentukan kebudayaan. Artinya, banyak hal yang
pada mulanya merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh agama,
kemudian menjadi kebudayaan suatu lokal tertentu. Di beberapa
negara, agama berpengaruh dan menjadi nilai-nilai dominan bagi
satu negara atau bangsa. Akan tetapi, terdapat pula beberapa
negara yang secara relatif memisahkan persoalan dan nilai
keagamaan dengan pesoalan kehidupan bernegara/berbangsa.
Dalam konteks relasi itu, tentu persoalan di Indonesia menjadi
sangat menarik karena terjadi berbagai keragaman dalam relasi
antara agama dan kondisi kelenturan budaya lokal-lokal. Di
beberapa tempat di Indonesia, proses-proses “Islamisasi”,

misalnya, begitu merasuk, sehingga masyarakatnya memilih nilainilai Islam secara dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilainilai dan budaya lokal mengalami proses Islamisasi.

2

Beberapa daerah mengalami Kristenisasi atau Katholikisasi secara
signifikan. Ritual budayanya bersatu-padu dan saling mengisi
dengan ajaran agama tersebut. Sementara itu, masyarakat di
Jawa, karena kondisi budayanya demikian lentur, maka proses
agamaisasi mengalami osmosis dengan budaya lokal.
Itulah
sebabnya, wajah budaya di sejumlah daerah di Jawa jauh lebih
kental daripada wajah agamanya. Akan tetapi, tentu saja kondisi
tersebut tidak bisa dipukul rata. Proses osmosis tersebut
tergantung karakter agama yang mana yang beradaptasi dan dan
daya lentur budaya lokal itu sendiri.
Seperti telah disinggung, hal itu juga terjadi di beberapa tempat
lain di daerah Indonesia di belahan Timur. Ketika proses
Kristenisasi demikian kuat, budaya lokal diadaptasi untuk
disesuaikan dengan nilai-nilai agama. Untuk kasus agama Budha
atau Hindu di beberapa tempat di Indonesia juga demikian. Budaya

lokal mengalami osmosis yang tinggi dengan nilai dan rukun-rukun
keagamaan bersangkutan, sehingga, sebagai contoh, Hindu dan
Bali merupakan satu identitas dan integritas yang sulit dipisahkan.
Proses-proses tersebut, dulunya, berjalan secara damai. Memang,
di beberapa tempat terjadi beberapa konflik dan pertentangan,
baik atas nama agama, atau atas nama budaya (lokal
bersangkutan). Beberapa catatan sejarah, seperti perang
Diponogoro, perang Padri, dsb., kadang kita mengalami kerancuan
apakah itu perang atas nama agama atau atas nama persoalan
budaya (harga diri) bagi masyarakat setempat.
Menurut catatan yang bisa saya jangkau, biasanya konflik itu tidak
murni atas nama agama atau kebudayaan, tetapi ketika agama
atau kebudayaan masuk dalam perangkap politisasi kekuasaan.
Cuma dalam mekanisme konsolidasi perangnya, agama jelas lebih
unggul dalam mengikat emosi rakyat/pengikut, sehingga aroma
agama jauh lebih bisa dirasakan.
Situasi Baru
Masalahnya, penduduk dunia terus bertambah, penduduk
Indonesia juga meningkat padat. Sementara itu, sumber-sumber
ekonomi semakin kesulitan untuk mengakomodasi peningkatan

jumlah penduduk. Maka, munculah berbagai rasionalisasi, dalam
berbagai bentuk, tujuan, dan cara, baik atas nama agama itu
sendiri, ataupun atas nama budaya-budaya lokal bersangkutan.
Pada awalnya, rasionalisasi yang canggih itu bisa berbentuk
teknologi, tetapi bisa juga dalam bentuk paham atau sesuatu yang

3

ideologis, apakah itu kapitalisme atau modernisme. Kenyataannya,
rasionalisasi yang tajam tersebut, rangkaian teknologi, kapitalisme,
dan modernisme, mempelihatkan kekuatan yang dominan. Agama
dan kebudayaan lokal mengalami kegamangan dan “kebingungan”
bagaimana mengatasi atau mengantisipasi kondisi baru tersebut.
Kemudian, munculkan berbagai gerakan, aksi, mungkin juga
pemikiran, dengan cara, tujuan, dan kepentingan yang berbeda.
Salah satu yang cukup menonjol adalah “kegelisahan” atas nama
agama untuk menghadapkan dirinya dengan kapitalisme dan
modernisme (sebagai konsekuensinya sekularisme). Masalahnya
adalah tidak seluruh aksi, gerakan, dan pemikiran atas nama
agama tersebut berkesesuaian dengan nilai-nilai kebudayaan

lokalnya.
Kondisi itu menyebabkan ruang negosiasi, mengalami kerancuan
“segitiga” posisi. Segitiga posisi itu adalah menjadi tidak jelasnya
posisi-posisi ketika teknologi dan kapitalisme, yang seharusnya
dalam satu kategori posisi, tetapi dengan tangkas bermetamorfosis
baik di posisi agama, atau di posisi budaya lokal. Pemahaman
tersebut yang secara relatif tidak cukup dipahami oleh kita pada
umumnya.
Saat ini, kita menjadi tidak jelas sedang berhadapan dengan
kegelisahan atas nama agama, atau kekuatan teknologi dan
kapitalisme, atau sedang menyuarakan kelenturan budaya lokal.
Akan tetapi, melihat kegaduhan di ruang negosiasi, hal yang
terjadi adalah bahwa gerakan, aksi, dan pemikiran atas nama
agama sedang berhadapan dengan daya tahan budaya lokal.
Ketika dua hal tersebut terus bertengkar, teknologi dan kapitalisme
semakin metangkring.

(2)
KEBUDAYAAN DAN INOVASI
Kita semakin menyadari bahwa persoalan kehidupan yang kita

hadapi semakin kompleks, rumit, dan massif. Jumlah penduduk
dunia yang terus bertambah menjadikan persaingan terhadap
sumber-sumber kehidupan semakin tinggi. Untuk itu, tuntutan
terhadap berbagai inovasi yang efektif, efisien, berbiaya murah,
tepat guna, dan tepat sasaran menjadi wacana dan paradigma
baru yang dituntut oleh berbagai kepentingan dan konteks
persoalan.
Dalam tulisan pendek ini saya hanya akan menjawab dua
persoalan. Pertama, apakah kebudayaan kita menyediakan ruang

4

untuk munculnya berbagai inovasi. Kedua, dalam konteks yang
bagaimana inovasi perlu dipahami dalam persaingan global ini.
Sejarah Kebudayaan
Kebudayaan tidak bisa dilihat dalam ukuran-ukuran yang sama
sebagai satu pencapaian peradaban. Terdapat perbedaan konteks
yang saling bersinergi, antara kondisi geogragis dan alam,
historisitas masyarakat dan agen-agen di dalamnya, serta berbagai
kemungkinan

pertemuan
atau
percampuran
pengalaman/
pengetahuan dan kapasitas masyarakatnya dalam mengelola
pengalaman tersebut.
Itulah sebabnya, anggaplah di mulai abad ke-7, di beberapa
tempat di Indonesia terdapat masyarakat yang sudah bisa
membangun candi sekelas Borobudur, tetapi di tempat lain ada
masyarakat yang masih bertarung menghadapi kehidupan di hutan
belantara. Pada abad ke-7 hingga abad ke-9, kerajaan Sriwijaya
telah menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan agama (Budha)
di dunia.
Pada masa berikutnya, Indonesia memiliki kerajaan besar sekelas
Singosari, Majapahit, Mataram, dan beberapa kerajaan besar di
Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan sebagainya. Artinya, secara
kesejarahan dan kebudayaan, Indonesia telah memiliki satu
tatanan masyarakat (bernegara), ilmu pengetahuan, dan teknologi,
yang tinggi pada konteks zamannya.
Kemudian, negara-negara di Nusantara mengalami masa-masa

penjajahan dan kolonisasi. Sumber daya masyarakat Indonesia
terkuras menghadapi satu kekuatan ilmu pengetahuan yang
“tampaknya lebih tinggi dan kuat”, atau apa yang kemudian
disebut intervensi kapitalisme kolonial dan modernisme.
Pemahaman bangsa Barat lebih tinggi dan kuat itu karena kita
menyadari bahwa hampir di berbagai tempat di Indonesia dapat
dikuasai.
Mulailah Indonesia berkiblat ke Barat dan modernisme. Segala
sesuatu dari Barat dianggap unggul dan lebih hebat. Sebagai
akibat lebih jauh, kita mulai “menyepelekan” pengetahuan tradisi
dan kebudayaan sendiri. Dalam hal ini, budaya dan pengetahuan
beragama tentu selalu mencoba untuk melakukan semacam
resistensi. Akan tetapi, di berbagai negara, dalam sejarahnya,
kapitalisme dan modernisme terlihat lebih unggul dan
memenangkan pertarungan.

5

Yang ingin disampaikan dalam catatan tersebut adalah bahwa
budaya ilmu pengetahuan dan inovasi yang pernah diperlihatkan

nenek moyang kita, terlindas karena kemudian orang Indonesia
hanya mengadopsi berbagai temuan ilmu pengetahuan yang
dipenetrasikan ke Indonesia yang sangat mungkin tidak semuanya
cocok dengan kebutuhan lokal. Hal yang menyedihkan, tampaknya
hal itu masih terjadi hingga sekarang.
Dalam konteks kapitalisme, modernisasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan modern itu, Indonesia tidak lebih cuma menjadi
pengekor dan peniru. Artinya, semodern dan secanggih apapun
inovasi yang bisa kita lakukan, akan sangat jarang diakui. Kalau
toh diakui, lebih dalam pengertian terbatas dan dalam konteks
kepentingan dunia modern sebagai satu politik citra. Hal yang
hampir pasti, dalam dunia modern itu, kita bukan bangsa yang
dikenal sebagai inovator (pelopor) terutama dalam dunia ilmu dan
teknologi.
Inovasi Lokal
Berangkat dari berbagai kondisi historis itu, hal yang mendesak
untuk digerakkan adalah membuka ruang yang seluas-luasnya
bagi pengembangan inovasi berbasis budaya-budaya lokal.
Mungkin hal itu sebagian (masih) tersimpan dalam pengetahuan
membangun candi dan tata ruangnya, pengetahuan bertani dan

kesehatan yang masih tersimpan di naskah-naskah tua, atau
berbagai hal tentang permainan (tradisi) yang bisa dilombakan
sebagai satu yang khas Nusantara.
Hal ini bukan dimaksudkan sebagai satu bentuk resistensi terhadap
berbagai inovasi ilmu pengetahuan modern, tetapi lebih sebagai
satu bentuk alternatif bahwa ilmu pengetahuan bisa dikembangkan
dalam berbagai cara yang berbeda. Tidak masalah kita
mengadopsi hal modern yang kita miliki sekarang, untuk kemudian
dengan cara modern itu menginovasikan kembali sesuatu tradisi
khas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hal penting yang ingin digarisbawahi adalah bahwa ini berkaitan
dengan strategi dan politik kebudayaan. Dengan cara itu, mungkin
identitas dan kekuatan budaya Indonesia jauh lebih diakui daripada
yang sekarang kita lakukan.

(3)
KEBUDAYAAN DAN ENERGI

6


Apapun yang kita raih hingga hari ini, secara keseluruhan
merupakan produk kebudayaan. Peraihan itu akan terus berubah
dan berkembang sesuai dengan dialektika berbagai hal seperti
perkembangan ilmu pengetahuan, SDM dan SDA-nya, dan berbagai
sumber daya ekonomi ataupun kultural yang berjalan secara
paralel. Satu hal yang mengubah sistematika dan pola kebudayaan
adalah temuan dan pengelolaan terhadap berbagai energi, baik
energi yang tak terbarukan maupun energi yang terbarukan.
Temuan terhadap bahan bakar, atau sumber energi dari air, api,
angin, ataupun sinar matahari, telah mengubah pola kehidupan
manusia untuk terus menerus mengeksplorasi energi sehingga
energi pun menjadi primadona, diperebutkan dan lebih dari itu
menjadi proyek yang sangat besar. Kita menjadi masyarakat
konsumtif energi.
Masalahnya adalah ada energi yang tidak dikelola, tidak
dieksplorasi dengan maksimal, tidak dipraktikkan dengan baik,
sehingga energi dalam pengertian konvesional nyaris menjadi
dominan
tanpa
tanding.
Energi
konvensional
tersebut
mengkooptasi kita menjadi rakus energi, tanpa kontrol energi
tandingan. Energi tandingan yang saya maksud adalah energi cinta
dan benci.
Energi Cinta dan Benci
Kalau pengertian energi konvensional bersifat eksternal, maka
energi cinta bersifat internal. Energi itu ada dalam diri kita. Apakah
cinta itu sesuatu yang bisa disebut energi. Energi adalah sesuatu
materi yang bisa dipakai untuk menghidupkan, menggerakkan,
menjadikan sesuatu bertenaga, sehingga berbagai hal yang
“dihidupkan” itu dapat berguna atau berfungsi dalam kehidupan
kita. Tentu pengertian tersebut bukan sesuatu yang sangat teknis.
Dengan demikian, cinta adalah energi karena cinta adalah suatu
“materi” yang membuat kita hidup, yang membuat kita bergairah,
yang membuat kita mau melakukan apa saja demi cinta itu sendiri.
Di luar pengeritan ruh, atau nyawa, cintalah yang menggerakkan
hidup kita untuk menuju sesuatu yang mulia.
Persoalannya adalah bahwa keberadaan cinta tidak cukup
mendapat perhatian sebagai energi. Cinta lebih dipahami sebagai
satu sifat kemanusiaan, sesuatu yang abstrak. Sebagai akibatnya,
kesifatan cinta diumbar untuk dan sebagai kepuasan-kepuasan
duniawi, cinta kecantikan, cinta keindahan, cinta ketampanan,
cinta kekayaan, cinta kesuksesan, dan cinta keberhasilan.

7

Termasuk di dalamnya kepuasan mencintai dan menikmati energi
eksternal.
Berkebalikan dengan cinta, apakah benci juga sebuah materi yang
bisa disebut energi. Tidak berbeda dengan cinta, benci juga
menjadi sesuatu yang menggerakkan kita, menjadikan kita bisa
melakukan apa saja karena kita membenci. Mungkin kita
melakukan tindak atau aksi protes tertentu karena kita membenci
korupsi. Mungkin kita membenci seorang penipu, membenci orang
yang kerjanya menyebar fitnah. Artinya, energi benci juga
diperlukan agar selalu ada kontrol terhadap keserakahan,
ketamakan, dan kerakusan.
Karena tidak dipergunakan dan didayagunakan dengan cukup baik,
energi benci dimanipulasi sebagai satu sifat buruk kemanusiaan.
Kita tidak mengeksplorasi energi kebencian dan dimodifikasi,
ditransformasi, sebagai materi yang berdaya positif. Kita mampu
mengubah sampah dan berbagai jenis limbah lainnya menjadi
energi. Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama sehingga
energi benci bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat.
Kebudayaan dalam Ketegangan
Hal yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa kebudayaan berjalan
dalam ketegangan antara energi cinta dan benci, mencintai atau
membenci sesuatu. Kita tidak bisa menolak keberadaan dan
kekuatan cinta dan benci. Menerima cinta dan menolak benci juga
hampir tidak mungkin. Cinta dan benci merupakan kekuatan
rahasia (kalau bukan kekuatan Illahiah) yang ada dalam diri kita.
Manusia tidak lain merupakan citra yang Maha Mengada di muka
bumi dengan segala energi yang dititipkan-Nya pada kita.
Negara, bangsa, masyarakat, dan segala hal yang ada di muka
bumi ini, hadir dalam dua resiko; dicintai atau dibenci. Sebagai
misal, kita membenci pembangunan yang merusak lingkungan dan
kemanusiaan, tapi kita menikmati hasil pembangunan. Kita
membenci kapitalisme, tapi kita mencintai kekayaan. Kita
mencintai suatu periode masa lalu kita yang jaya, tapi kita
membenci masa lalu sebagai bangsa yang terjajah. Kita mencintai
diri kita yang baik, tapi kita membenci diri kita yang kotor. * * *
(4)
RISET DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Riset kita (masih) dalam rezim teknologi(sasi) dan ekonomi(sasi).
Segalanya dihitung atau dianalisis dalam mekanisme, prosedur,
dan ruang teknologis dan ekonomis. Kelebihannya, perubahan

8

yang bersifat fisik dan ekonomi seharusnya dapat diperkirakan.
Kelemahannya, ruang yang menjadi “objek” riset tidak melulu
ruang teknologi dan ruang ekonomi.
Contoh yang cukup penting disinggung, misalnya, adalah riset
pariwisata.
Sekarang,
hampir
semua
daerah
ingin
mengembangkan daerahnya menjadi tujuan wisata. Tujuannya
meningkatkan pemasukan daerah. Titik kalkulasi terpenting adalah
peningkatan indeks ekonomi. Implikasinya diharapkan adanya
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kita tidak bisa menyalahkan paradigma itu. Itu soal pilihan dan
strategi. Yang bermasalah adalah pilihan ideologis banyak daerah
untuk memodernkan wisata yang sepenuhnya dikendalikan oleh
kekuatan teknologi dan ekonomi kapitalisme. Di beberapa daerah
wisata yang menonjol, yang terjadi adalah teknologisasi dan
kapitalisasi wisata (budaya) yang hanya dinikmati oleh segelintir
orang. Masyarakat kebanyakan daerah bersangkutan tidak lebih
menjadi penonton dan pekerja rendahan. Tanpa disadari, banyak
riset mendukung ke arah itu.
Memaket Lokalitas
Kembali ke persoalan, bagaimana menempatkan riset dalam
perspektif kebudayaan. Hal penting yang perlu dipahami bersama
bagaimana kita mengkonsepsikan kebudayaan. Kita harus
mengakui bahwa selama ini yang terjadi adalah bahwa
kebudayaan merupakan proses negosiasi banyak hal, banyak
kepentingan. Negosiasi banyak hal dan banyak kepentingan itu
adalah bahwa pada akhirnya kita harus menyesuaikan diri
dan/atau kalah dengan modernisme.
Kemudian, kita berlomba untuk menjadi modern. Ternyata, dalam
perjalanannya, orang modern merindukan sesuatu yang “alamiah”,
yang tradisi, dan keunikan lokal. Kemudian, kita memaket-maket
tradisi dan lokalitas untuk layak ditonton orang modern. Tradisi dan
keunikan lokal pun menjadi komoditas, bukan tradisi dan keunikan
itu sendiri. Komoditasi itu yang saya maksud sebagai budaya
tradisi yang dijual dalam kalkulasi ekonomi (dan sebagian di
antaranya kalkulasi teknologi).
Artinya, secara ideologis riset-riset juga telah memberikan
keberpihakan
pada
proses-proses
modernisasi,
yang
dibelakangnya secara langsung di dominasi oleh rezim teknologi
dan ekonomi yang sekuler. Masyarakat digiring ke dalam suatu
ruang yang sebetulnya bukan habitus budayanya yang asli. Yang
paling merepotkan adalah bila masyarakat tidak masuk ke dalam

9

rezim yang sedang dominan itu, maka mereka akan terpinggirkan,
akan terkalahkan terus.
Menurut pengamatan saya, ini juga berkaitan bahwa peneliti yang
mempertahankan posisi kelas ekonomi mereka. Mereka seolah
berposisi sebagai seorang yang netral, tetapi sebetulnya tidak
lebih sebagai instrumen pihak penguasa ekonomi dan teknologi.
Peneliti akhirnya hanya menjadi legitimasi bagi langgengnya
kekuasaan yang tidak berpihak pada kondisi nilai-nilai masyarakat.
Kalkulasi Keseimbangan
Persoalannya, bagaimana riset yang memposisikan dirinya dalam
ruang yang bersandar pada nilai-nilai kebudayaan. Artinya, konsep
kebudayaan perlu dibebaskan dari determinasi teknologis dan
ekonomis. Di dalam Pembukaan UUD ’45 sebetulnya kita telah
mendapat pegangan konseptual yang memadai. Kalau Pembukaan
itu dicatat di sini, tentu memakan tempat. Prinsipnya, Pembukaan
UUD ’45 mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan antara
nilai-nilai
spritualitas,
emosionalitas,
dan
intelegensi/intelektualitas.
Memetakan keseimbangan berdasarkan Pembukaan UUD ’45,
maka didapatlah hal berikut. Aspek Spritualitas, meliputi
pengertian pengakuan terhadap kekuasaan dan keberadaan Allah
(atas berkat Rahmat Allah). Dimensi spritualitas berimplikasi pada
kontrol atau tujuan perjalanan hidup kita ke depan; apa sudah
benar atau belum. Hal ini penting berkaitan dengan keyakinan diri
(dan keluarga, masyarakat, bangsa, manusia sedunia), tentang
keberadaan kita di dunia/bumi.
Emosi/perasaan, atau segala hal yang berkaitan dengan dunia
perasaan, sesuatu yang bersifat “psikologis”, berkaitan dengan
dimensi pemahaman dan perasaan bersama, meliputi konsep atau
pengertian
kemerdekaan,
keadilan
(sosial),
kemakmuran,
berbahagia (kebahagiaan, selamat sentosa, kemakmuran, dan
kebebasan. Dimensi emosi, sesuatu yang dipersepsi sebagai
“perasaan bersama”
Aspek Intelegensi dan/atau intelektual, atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan kecerdasan, pencerdasan. Hal ini berkaitan
langsung dengan strategi pendidikan dan kependidikan, juga
berkaitan dengan segala sesuatu yang secara inheren adalah
ideologi riset, yang berpegang pada strategi kebudayaan yang
terdapat dalam Pembukaan UUD ’45 tersebut.

10

Berdasarkan hal itu, apapun riset kita, jika tidak memposisikan
“ideologi” dalam titik keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah
seperti yang selama ini kita kerjakan.
(5)
KONTESTASI JANJI BUDAYA
Budaya itu mengandung ideologi. Setiap ideologi, dengan peranan
aparatusnya,
berusaha
menguasai
warga
agar
warga
mempraktikkan kehidupan sesuai tuntutan ideologis budaya
bersangkutan. Dalam masyarakat Indonesia, paling tidak ada
empat ideologi budaya yang saling berkontestasi memperebutkan
pengaruhnya, yakni budaya lokal, budaya agama, budaya nasional,
dan budaya massa/populer.
Hal menarik adalah janji budaya apa di balik persaingan tersebut.
Budaya lokal menjanjikan kedamaian dan harmoni, budaya agama
mengutamakan keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia,
dan alam untuk menuju alam pasca-duniawi. Sementara itu, janji
budaya nasional adalah kesatuan dan persatuan (bangsa),
sedangkan janji budaya populer adalah apakah sesuatu menghibur
dan bisa dijual atau tidak.
Melihat persaingan janji tersebut, budaya lokal lebih adaptif
terhadap budaya agama dan nasional. Namun, dalam sejarahnya,
budaya nasional sering tidak cocok dengan budaya agama. Budaya
nasional dan budaya massa dianggap sekuler dan duniawi oleh
budaya agama. Akan tetapi, janji budaya massa/populer
menempatkan diri di posisi yang berbeda di banding budaya
nasional. Bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari?
Kekuatan Budaya Populer
Di antara ke empat ideologi budaya tersebut, yang paling heboh,
menyenangkan, dan menguntungkan adalah budaya populer.
Memang, setiap budaya dapat memanfaatkan teknologi massa
sehingga sosialisasi dan peluang setiap budaya relatif sama.
Masalahnya terdapat pada perbedaan janji sehingga kita dengan
mudah mengadopsi budaya populer.
Budaya populer, sebagai anak kandung kapitalisme, jelas sedang
menguasai kehidupan dunia. Segala aktivitas kita harus
diperhitungkan berdasarkan kapital, karena berkaitan dengan
modal untuk hidup senang. Kita dituntut harus kreatif menyiasati
hidup dan menyesuaikan diri kalau tidak ingin terseok atau
terlindas.

11

Akan tetapi, di atas semua itu, kekuatan utama budaya pupuler
adalah bahwa budaya itu mendatangkan rasa kepuasan duniawi.
Karena itu, budaya populer mampu mengkonstruksi cara, gaya,
dan selera hidup sehingga jika kita merasa tidak mampu
mengakses atau menjadi bagian dari budaya populer maka kita
merasa ketinggalan zaman. Kita merasa hidup ini demikian pahit
dan menderita. Di samping itu, produksi dan reproduksi budaya
populer yang setiap hari dipompa media massa membuat kita,
mau tidak mau, ikut menikmati budaya populer.
Daya Tahan Budaya
Terpaan budaya populer, tentu saja mendapat hadangan terutama
dari budaya lokal dan budaya agama. Hadangan utamanya juga
dari sisi janji ideologis itu sendiri. Terutama budaya agama
menyerang sisi sekularisme budaya populer. Budaya agama
mungkin tidak cukup manjanjikan duniawi, tapi dia melihat bahwa
sekularisme tidak menjanjikan kehidupan pasca-duniawi. Ini
senjata utama ideologi agama.
Di samping janji kedamaian, perlawanan budaya lokal terhadap
budaya populer lebih pada ideologi identitas. Budaya populer
dianggap mengaburkan hakikat identitas seseorang atau
sekelompok masyarakat. Bukan berarti budaya populer tidak
menjanjikan identitas, tapi identitas budaya populer dianggap
palsu dan semu oleh budaya lokal. Akan tetapi, perlawanan budaya
lokal tidak frontal, bahkan di beberapa sisi relatif kompromis. Hal
itu terlihat dari kemampuan budaya lokal memodifikasi dirinya
sehingga dalam banyak hal juga tampil populer.
Lemahnya Budaya Nasional
Di antara ke empat kekuatan budaya tersebut, budaya nasional
dapat dikatakan yang paling lemah. Hal itu disebabkan basis
historis dan konteks kulturalnya juga dipaksakan secara politik.
Terbukti janji persatuan dan kesatuan justru sering dicabik oleh
berbagai kerusuhan yang disebabkan adanya perbedaan etnis atau
agama.
Artinya, memang orang hidup dalam budaya nasional para aras
umum atau permukaan. Akan tetapi, di berbagai tempat di
Indonesia, orang hidup dengan budaya agama dan lokalnya
masing-masing, ditambah dengan hidup bergaya budaya populer.
Ketidakterikatan historis dengan budaya nasional menyebabkan
budaya nasional hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang
bersifat seremoni nasionalitas.

12

Juga budaya nasional tidak melakukan perlawanan signifikan
terhadap budaya populer. Secara kesejarahan budaya nasional dan
budaya populer memang tidak bertentangan. Budaya nasional
yang diadopsi dari modernisme memiliki akar kesejarahan yang
sama dengan budaya populer. Di samping itu, memang budaya
populer tidak merugikan budaya nasional.
Bahkan identitas-identitas yang dibangun budaya nasional berjalan
seiring dengan budaya populer terutama dengan adanya
komodifikasi simbolik budaya lokal yang dinasionalkan. Terlepas
dari itu semua, kita tidak dapat memungkiri bahwa seseorang
hidup secara serempak dengan mempraktikkan keempat budaya
tersebut. Persoalannya adalah soal struktur dan komposisi dari
praktik budaya tersebut. Hal itu ditentukan oleh lokasi kulturalnya,
pengalaman, dan konteks historis masyarakat bersangkutan. * * *

(6)
BUDAYA KETOKOHAN
Ketokohan seseorang ditentukan seberapa jauh dia berperan,
berfungsi, dan berjasa bagi dan dalam masyarakatnya. Hal yang
tak kalah pentingnya adalah bagaimana peran, fungsi, dan jasa
tersebut diakui, dan siapa yang bisa mengakuinya.
Kita tahu bahwa tidak mungkin seseorang bisa berperan,
berfungsi, dan berjasa dalam segala level dan ruang kehidupan.
Seseorang hanya bisa berperan, berfungsi, dan berjasa hanya
dalam satu ruang tertentu, dalam satu konteks dan urusan
tertentu, dan dalam skala tertentu.
Berdasarkan ruangnya, seseorang bisa disebut sebagai tokoh
agama, tokoh politik, tokoh ekonomi, atau tokoh seni, dsb. Mungkin
seseorang bisa menjadi tokoh agama dan tokoh politik, atau tokoh
politik dan tokoh seni. Tapi keberadaan tokoh ganda itu sangat
jarang. Biasanya masyarakat akan memberi ruang yang lebih
besar pada satu konteks tertentu terhadap ketokohannya.
Ketokohan juga tidak bisa terlalu banyak menembus skala. Ada
seseorang yang ditokohkan dan sangat dihormati oleh masyarakat
desanya, tetapi orang tadi bahkan di luar desanya tidak dikenal.
Ada seseorang yang dikenal ketokohannya secara lebih luas,
mungkin skala nasional, tetapi secara relatif tidak memiliki peran,
fungsi, dan jasa bagi masyarakat lokalnya.

13

Artinya, ketokohan itu bersifat sangat relatif. Media massa
mengambil peranan penting bagaimana seseorang menjadi tokoh.
Itulah sebabnya, istilah tokoh nasional, menyangkut skala,
sebetulnya tidak cukup jelas. Jika media massa berskala nasional
mengekspose terus menerus seseorang, maka ia akan menjadi
tokoh nasional. Padahal, sangat mungkin di lokalnya tokoh tadi
tidak memiliki basis peranan, fungsi, dan jasa yang penting.
Dengan demikian, sebetulnya masalah ketokohan itu soal wacana
media massa. Bukan soal realitas yang sesungguhnya. Banyak
orang
yang
berjasa,
berfungsi,
dan
berperan
dalam
masyarakatnya, terutama di lingkungan terdekatnya, tapi karena
tidak terjangkau atau tidak diketahui oleh media massa, orang
tersebut tidak pernah bisa dikenal sebagai tokoh.
Legitimasi
Persoalan lain, siapa yang paling berhak melegitimasi ketokohan
seseorang secara spesifik. Ini memang masalah yang masih perlu
diperdebatkan. Akan tetapi saya akan memberikan gambaran
sebagai berikut.
Di dunia seni, sastra, atau bahkan budaya, negara tidak memiliki
legitimasi apapun untuk mengklaim seseorang merupakan tokoh
seni atau tokoh sastra. Memang, bisa saja negara memberi
penghargaan, sertifikat, hadiah dalam bentuk material, sehingga
seolah-olah dia tokoh seni yang telah berjasa. Negara ketika
memberi penghargaan atau sertifikat tersebut tentu dengan
berbagai pertimbangan atau laporan “resmi” dari masyarakat. Itu
tidak masalah sejauh bahwa seseorang tersebut diakui peran,
fungsi, dan jasanya untuk versi negara.
Yang jadi masalah, negara bukan lembaga legitimator untuk
penyebutan sastrawan, seniman, atau budayawan. Masyarakatlah
yang menilai penyebutan predikat tersebut. Penilaian itu
berdasarkan pengakuan diam, tidak ada formulasinya, dan hanya
dalam hati masyarakat yang mengetahuinya. Dengan bagitu, bisa
saja negara seolah mengakui ketokohan seseorang dalam bidang
seni tertentu. Akan tetapi, sangat mungkin di masyarakatnya, dan
kita tahu sama tahu, dia tidak dianggap sebagai seniman atau
sastrawan.
Ilustrasi lain, demikian halnya dengan penyebutan tokoh agama,
khususnya untuk penyebutan kiyai. Tidak atau formulasi khusus
bagaimana seseorang bisa diakui kekiyaiannya. Negara juga tidak
bisa mengklaim ketokohan seorang tokoh agama, misalnya dalam
pengertian kekiyaiannya. Paling karena orang tersebut beritanya

14

sering dimuat di media massa. Tapi apakah tokoh agama itu tokoh
yang berperan, berfungsi, dan berjasa dalam masyakatnya seperti
halnya kiyai-kiyai lokal? Belum tentu. Setiap ruang memiliki rule of
the game-nya masing-masing.
Mungkin negara bisa menjadi legitimator ketokohan seseorang
untuk tokoh politik. Hal itu disebabkan ruang negara adalah ruang
politik. Negara memiliki mandat dan aturan untuk memposisikan
seseorang tokoh politik penting atau tidak. Akan tetapi, negara
tidak bisa mengklaim siapa yang disebut politisi, apalagi
negarawan.
Artinya, negara bisa saja memilih mana yang disebut tokoh dan
mana yang tidak. Tentu klaim itu dalam kepentingan politik
kekuasaan tertentu. Akan tetapi, tokoh seni, tokoh sastra, tokoh
agama, tokoh politik, bukan lantas dia seorang seniman,
sastrawan, kiyai, atau politisi, apalagi negarawan. Mandat tertinggi
untuk penyebutan itu hanya ada dalam hati masyarakat.

(7)
PENELITIAN KEBUDAYAAN
Pengantar
Secara historis Raymond Williams memberikan catatan tentang
sejarah pengertian (dan penggunaan kata) kebudayaan. Pertama,
hal yang mengacu pada perkembangan intelektual, spritual, dan
estetis dari seseorang, suatu kelompok, atau masyarakat. Kedua,
yang mengacu pada khazanah kegiatan intelektual dan artistik dan
produk-produk yang dihasilkannya. Dalam pengertian ini biasanya
disebut kesenian. (Cukup banyak yang memakai pengertian ini).
Ketiga, yang menggambarkan cara hidup, berkegiatan, keyakinankeyakinan, dan adat-istiadat sejumlah orang, kelompok, atau
masyarakat.
Namun, saya mengikuti posisi dan pengertian kebudayaan secara
deskriptif dan normatif. Secara deskriptif kebudayaan sebagai
totalitas komprehensif yang mengatur dan menyusun kehidupan
sosial dan yang menunjukkan berbagai ranah di dalamnya.
Sementara itu, secara normatif kebudayaan cenderung dipahami
dalam dua bentuk; pertama, budaya adalah aturan atau jalan
hidup yang membentuk pola-pola prilaku, dan kedua, yang
menekankan peran gugus nilai.
Dengan demikian, kebudayaan adalah juga suatu konstruksi sosial.
“Tidak ada masalah” ketika kebudayaan dilihat seolah berjalan

15

natural. Akan tetapi, di luar hal kodrati, tidak ada sesuatu yang
natural, demikianlah hakikat kebudayaan. Kadang kita tidak
melihat persoalan-persoalan kebudayaan sebagai masalah, karena
demikianlah hidup berjalan.
Masalah baru muncul ketika kita melihat ada ketidakadilan, ada
perendahan terhadap martabat kemanusiaan, ada kejadiankejadian yang “membingungkan”, ada kejadian-kejadian yang
“aneh”, atau ada banyak kezaliman, kejahatan, dan ketimpangan,
dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping hal pertama, tidak
kalah pentingnya, terdapat semacam kebuntuan dalam mengatasi
masalah tersebut, terdapat stagnasi pemikiran dalam menjawab
berbagai persoalan yang sedang terjadi. Dalam posisi itulah
sebetulnya kita ditantang untuk melakukan penelitian kebudayaan,
untuk
menjawab
sejumlah
persoalan
dalam
berbagai
perspektifnya.
Penentuan Objek Material
Bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat banyak
ketidakadilan, perendahan terhadap martabat kemanusiaan,
berbagai kejahatan lainnya, atau kejadian-kejadian yang
“membingungkan”, atau kejadian yang mungkin “aneh”. Hal
tersebut merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Akan
tetapi, kita tidak bisa menganalisis fakta-fakta tersebut. Hal
tersebut dikarenakan yang bisa kita analisis adalah data. Inilah
yang biasa disebut sebagai objek material.
Dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud merujuk untuk
mengembangkan suatu persoalan tertentu. Beberapa hal yang
disebut hanya sebagai ilustrasi saja.
Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana memverifikasi
berbagai fakta tersebut menjadi data. Misalnya, kita melihat
berbagai kecenderungan bahwa di negara kita, kapitalisme
semakin kuat. Kondisi kecenderungan tersebut belum bisa
dianalisis. Karena kita harus menurunkannya ke dalam berbagai
indikator apa yang disebut sebagai kapitalisemem dan bagaimana
fenomana faktual itu terjadi. Data seperti apa yang terkait dengan
gejala tersebut. Namun, pertanyaan riset tidak harus sesuatu yang
besar (bukan tidak boleh), karena toh juga akan ada pembatasan
tertentu.
Ada juga riset dengan pertanyaan yang “menengah”. Kita melihat
fenomena perkawinan, yang biasanya cenderung satu suku dan
satu ras, bahkan mungkin “satu kelas”. Dari itu akan muncul
pertanyaan.

16

Hal yang menarik adalah bagaimana melihat sesuatu dari kejadian,
atau peristiwa yang seperti biasa-biasa saja, suatu fenomena yang
cenderung sepele, tetapi di balik itu mungkin menyembunyikan
sesatu yang besar. (Itulah sebabnya dibutuhkan penelitian).
Misalnya, kita melihat kejadian yang seolah-olah sepele, fenomena
booming akik. Kenapa banyak orang tiba-iba suka akik, bagaimana
orang tersebut memperlakukan akik, berapa biaya yang
dikeluarkan untuk kesenangan itu, dan sebagainya.
Istilah riset “besar”, “menengah”, “kecil” itu cuma untuk menandai
apa yang biasa saya sebut sebagai “pintu masuk”. Kita sulit
melakukan penelitian kebudayaan kalau pintu masuknya tidak
jelas.
Besar kecil riset bukan ditentukan oleh pintu masuk, tetapi
seberapa jauh dan seberapa luas kita mengekplorasi dalam
menjawab persoalan. Masalah akik bisa sampai ke masalah
masyarakat sedunia. Masalah itu bisa berkaitan dengan berbagai
ideologi, nilai-nilai, dan berbagai persoalan politik atau ekonomi
masyarakat yang lebih laus.
Penentuan Objek Formal
Objek formal ditentukan oleh objek material. Seperti diketahui, jika
sudah memiliki data dan masalah, maka sangat mungkin
dibutuhkan teori untuk menjawabnya. Perspektif lain bisa saja teori
tidak dibutuhkan, tetapi dalam menjaring fakta untuk menjadi
data, sebetulnya kita telah menggunakan teori tertentu dalam
pikiran kita.
Saat ini, telah berkembang sedemikian rupa teori-teori
kebudayaan, yang bisa jadi bertumpang tindih dengan teori-teori
sosial. Keberadaan masalah, tujuan penelitian (dan mungkin
manfaat penelitian) ikut mengondisikan mau kita analisis dengan
cara bagaimana data yang kita dapatkan.
Kalau kita tertarik untuk membongkar konstruksi sosial
kebudayaan, maka teori-teori kebudayaan (terutama Cultural
Studies) adalah jagonya. Seperti telah disinggung, banyak teori
kebudayaan, sosial, sastra, dan bahasa terkesan tumpang tindih.
Itu tidak masalah. Dalam konteks ini telah tersedia berbagai teori
apakah itu antropologi ekonomi, antropologi politik, teori-teori
hegemoni dan ideologi, teori poskolonial, psikoanalisis, feminisme,
sosiologi
budaya,
realisme
magis,
resepsi,
teori-teori
posmodernisme dan postrukturalisme, dan sebagainya.

17

Kadang-kadang, kita agak terkondisi dengan hal-hal yang kita
pelajari, termasuk teori. Kalau bahasa kerennya, seseorang (kita)
tidak bisa keluar dari diri kita sendiri. Itulah sebabnya, hal-hal yang
bersifat reflektif juga perlu dikembangkan.
Merumuskan Masalah
(1)Masalah terutama diharapkan berdasarkan data-data yang
telah kita verifikasi.
(2)Dalam perspektif teori tertentu, sebaiknya masalah
dikembangkan dalam satu kategori teoretik tertentu.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
(1)Tujuan penelitian adalah menjawab persoalan/masalah
(2)Manfaat penelitian tergantung dalam koridor apa
menganalisis masalah/persoalan.

kita

Berdasarkan pengalaman, paling tidak ada tiga tujuan penelitian.
Pertama, penelitian yang bersifat pragmatif dalam rangka mencari
solusi tertentu. Hal ini biasanya kita lakukan kalau mendapatkan
proyek riset dari pendana tertentu (terutama pemerintah daerah).
Kedua, riset-riset yang tergolong normatif, dan biasanya juga ada
pendana resmi. Riset-riset tentang pembentukan karakter, revolusi
mental, dan kepribadian bangsa, biasanya bisa terjebak ke dalam
riset seperti ini.
Riset yang bersifat aplikatif dan berusaha mencari aplikasi-aplikasi
atau temuan-temuan baru untuk membantu dan mengatasi
berbagai masalah kehidupan. Riset-riset teknologis, farmasi
(kesehatan), dll, yang biasanya bekerja dengan membutuhkan
laboratorium khusus, biasanya masuk ke dalam riset seperti ini.
Riset yang bersifat “pecapaian” akademis. Biasanya riset dengan
mendayagunakan
pendekatan teoretis yang handal, dengan
bantuan berbagai teori lain, apakah itu semiotik, kewacanaan, atau
hermeneutik.
Perlu ditekankan bahwa setiap riset tentu bersifat akademis, cuma
bedanya pada kadar “keilmiahannya. Kalau tidak terlalu keberatan,
saya ingin mengatakan bahwa kadar keilmiahan riset pertama dan
kedua tidak terlalu tinggi, bahkan riset kedua bisa terjebak pada
sesuatu yang normatif dan tidak ilmiah. Kelebihannya untuk riset
jeis
pertama,
kadar
kemanfaatannya
bisa
lebih
cepat
dimanfaatkan. Untuk riset hal kedua, menurut saya sangat
meragukan.
Metode dan Analisis

18

(1)Prinsip penting dalam metode adalah prosedur mendapatkan
fakta untuk dijadikan data (dan menjadi persoalan)
(2)Data dalam bentuk apa
(3)Bagaimana kita memperlakukan/menganalisis data. Datadata dikategorisasi, kemudian dianalisis, atau bisa juga
dimaknai, sesuai dengan koridor/alur pemikiran penelitian.
Menarik Kesimpulan
(1)Kesimpulan bukan ringkasan. Kesimpulan merupakan
“abstrasksi” dari hasil analisis.
(2)Sangat mungkin kesimpulan “hanya berlaku” untuk konteks
penelitian (berdasarkan objek material dan formalnya).
(3)Akan
tetapi,
sangat mungkin
jika
akurasi
dalam
mendapatkan masalah dan dengan analisis yang mendalam,
akan mendapatkan “abstraksi” yang memadai dan bisa
menjadi suatu teori tertentu.
Catatan Tambahan
Perlu kesepakatan untuk menyebut suatu riset disebut ilmiah atau
kurang/tidak ilmiah. Berdasarkan pengalaman, sejumlah riset
masih banyak ditemukan kalimat yang menggunakan kata
seharusnya, sebaiknya, atau komen-komen yang bersifat opini. Hal
tersebut menyebabkan tulisan menjadi kurang ilmiah.
Seperti telah disinggung, riset pemikiran/teori masih belum cukup
banyak kita lakukan. Riset ini membutuhkan pengalaman, refleksi
yang tinggi, dan mendalam. Beberapa buku penting Gramsci dia
tulis ketika dia di penjara. Bourdieu menulis sejumlah bukunya
yang membuat dia terkenal, lebih sebagai refleksi diri terhadap
berbagai fenomena dan peristiwa yang dia alami. Foucault
menemukan teorinya yang hebat setelah dia menenggalamkan
dirinya di perpustakaan lebih dari lima tahun.
Sebagai akademisi, kita perlu (sedikit) asketik.
Terimakasih.