KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN perdapita

1

KEMISKINAN DAN
KESENJANGAN PENDAPATAN
A. Permasalahan Pokok
B. Hubungan antara Pertumbungan Ekonomi dan Distribusi
Pendapatan
C. Hubungan Antara Pertumbungan Ekonomi dan Kemiskinan
D. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
E. Apakah Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Menurun?
F. Pertanian Sumber Utama Kemiskinan
G. Kebijakan Anti-Kemiskinan
A. PERMASALAHAN POKOK
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (yang
dimaksud dengan kesenjangan ekonomi) dan tingkat
kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak NSB,
tidak terkecuali di Indonesia. Dikatakan besar karena jika dua
masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada
akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan social
yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena
amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi

mengahadapi kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedy Mei
1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga sekarang:
andaikan tingkat kesejahteraan masyarat di Indonesia sama
seperti misalnya di Swiss, mungkinkah mahasiswa akan begitu
ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rezim
Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998?
Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade tahun 1970an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh
pemerintahan
Soeharto
lebih
berorientasi
kepada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pembangunan terpusat di Pulau Jawa, dengan harapan akibat
dari pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan
wilayah Indoneisa lainnya.
Konsep pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa yang
diharapkan akan membawa efek menetes ke seluruh tanah air,
terbukti tetesannya sangat lambat.
Akibat dari strategi

pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa adalah terjadinya

2

krisis ekonomi pada tahun 1997,
Indonesia memang
menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun
yang tinggi, tetapi tingkat kesenjangan dalam pembagian PN
juga semakin besar dan jumlah orang miskin tetap banyak,
bahkan meningkat tajam sejak krisis ekonomi.
Sejak pelita III strategi pembangunan mulai diubah, tidak lagi
hanya
terfokus
pada
pertumbuhan
ekonomi,
tetapi
peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama
daripada pembangunan.
Usaha yang dilakukan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah lewat
pembanguan industri-isndustri padat karya, pembanguan
pedesaan, dan modernisasi sector pertanian.
Sayangnya,
krisis ekonomi tiba-tiba muncul yang diawali oleh krisis nilai
tukar rupiah pada pertengahan kedua tahun 1997 dan sebagai
salah satu akibat langsungnya, jumlah orang miskin dan gap
dalam distribusi pendapatan di tanah air membesar, bahkan
menjadi jauh lebih buruk dibandingkan dengan kondisi
sebelum krisis.
B. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI
PENDAPATAN.
Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak NSB, terutama
Negara-negara yang proses pembangunan ekonominya sangat
pesat dan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
seperti Indonesia, menunjukkan seakan-akan ada suatu
korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi
dengan
tingkat

kesenjangan
dalam
distribusi
pendapatan: smakin tinggi pertumbuhan PDB atau
semakin besar pendapatan per kapita semakin besar
perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya.
Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan
bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi
pendapatan di Negara-negara (Sweden, Inggris, AS dan
beberapa Negara lainnya di Eropa Barat) disebabkan oleh
pergeseran-pergeseran demografi, perubahan pasar buruh,
dan perubahan kebijakan-kebijakan publik.

3

Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan
pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya
saham pendapatan dari istri di dalam
total pendapatan
keluarga merupakan dua fackor penyebab penting.

Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan
pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut
hipotesis Kuznets. Dengan memakai data lintas Negara dan
data deret waktu dari sejumlah survey/obsevasi di setiap
Negara, Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi
antara
kesenjangan
pendapatan
dan
tingkat
pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik. Hasil
ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan
dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan ke suatu
ekonomi perkotaan, atau dari ekonomi pertanian (tradisional)
ke ekonomi industri-industri (modern):
pada awal proses
pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar
sebagai akibat dari proses urbansisasi dan industrialisasi,
tetapi setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi
atau “akhir” dari proses pembangunan ketimpangan menurun,

yakni pada saat sector industri di perkotaan sudah dapat
menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang dari
perdesaan (sector pertanian), atau pada saat pangsa
pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan
pendapatan.
Sebagian besar studi-studi hipotesis Kuznets menunjukkan
bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dalam distribusi PN pada periode jangka panjang
hanya terbuktu nyata untuk kelompok NM.

C. HUBUNGAN ANTARA PERTUMBUHAN EKONOMI DAN
KEMISKINAN.
Dasar terori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per
kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus
pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan, seperti yang telah dibahas di atas. Mengikuti
hipotesis Kuznets, pada awal dari proses pembangunan, tinkat
kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati

4


tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsurangsur berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan antara
lain: -Pertumbuhan pendapatan, -derajat pendidikan tenaga
kerja, -dan struktur ekonomi.
Dasar persamaan untuk menggambarkan relasi antara
pertumbuhan output agregat dan kemiskinan dapat diambil
dari persamaan berikut:
Log Gkt = a + bLogWkt + ak + Skt

(4.1)

Dalam persamaan tersebut, elastisitas dari ketidakmerataan
dalam
distribusi
pendapatan
terhadap
pertumbuhan
pendapatan adalah suatu komponen kunci dari perbedaan
antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (ada

efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan
pendapatan terhadap kemiskinan.
Apabila elastisitas neto dan bruto dari kemiskinan terhadap
pertumbuhan pendapatan dinyatakan masing-masing dengan
g dan l, elastisitas dari ketimpangan terhadap pertumbuhan
dengan b, dan elastisitas dari kemiskinan terhadap
ketimpangan dengan d, maka di dapat persamaan sebagai
berikut:
1 = g + bd
(4.2)
Untuk mendapatkan elastisitaas bruto dari kemiskinan
terhadap pertumbuhan dan elastisitas dari kemiskinan
terhadap ketimpangan (pertumbuhan sebagai variable yang
dapat dikontrol) digunakan persamaan sebagai berikut:
Log Pkt = w + Log Wkt + LogGkt + wk + vkt
(4.3)
Dimana Pkt = kemiskinan untuk wilayah k pada periode t; W kt
dan Gk seperti di persamaan (4.1), wk = efek-efek yang tetap
atau acak; dan vkt = term kesalahan.
Sudah cukup banyak studi empris dengan pendekatan analisis

lintas Negara yang menguji relasi antara pertumbuhan
ekonomi dan kemiskinan, dan hasilnya menunjukkan bahwa

5

memang ada suatu korelasi yang kuat antara kedua variable
ekonomi makro tersebut.
Akhir-akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba
membuktikan adanya pengaruh dari pertumbuhan output
sektoral terhadap pengurangan jumlah orang miskin. Dengan
kata lain, kemiskinan tidak hanya berkorelasi dengan
pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN, tetapi juga
dengan pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara
individu.
Studi dari Ravlon Datt (1996a,b) dengan memakai data dari
India menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor
primer, khususnya pertanian, jauh lebih efektif terhadap
penurunan kemiskinan dibandingkan seckor-sektor sekunder.
Sektor-sektor sekunder tidak punya efek yang berarti terhadap
penurunan kemiskinan di perdesaan maupun di perkotaan.

Kakwani (2001) juga melaporkan hasil yang sama dari
penelitiannya untuk kasus Filipina.
Dikatakan di dalam
studinya bahwa, sementara peningkatan 1% output di sektor
pertanian mengurangi jumlah orang yang hidup di bawah
garis kemiskinan sedikit di atas 1%, persentase pertumbuhan
yang sama dari output di sector industri dan di sector jasa
hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan 1/4% hingga
1/3%.
Studi dari ADB (1997) mengenai Negara-negara industri baru
di Asia Tenggara (NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, dan
Singapura, yang hasil studinya menunjukkan bahwa
pertumbuhan output di sector industri manufaktur mempunyai
dampak positif yang sangat besar terhadap
peningkatan
kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan.
Hasan dan Quibria(2002) juga melakukan studi untuk menguji
secar empris dampak dari pola pertumbuhan output menurut
sektor terhadap penurunan kemiskinan dengan menggunakan
data panel dari 45 negara di Asia Timur dan Selatan, Amerika

Latin dan Karibian, dan Afrika Sub-Sahara.
Model yang
digunakan untuk mengestimasi pengaruh dari pertumbuhan
PDB terhadap tingkat kemiskinan pada prinsipnya sama
seperti persamaan (4.3). Sedangkan untuk mengukur relasi

6

antara kemiskinan dan pertumbuhan
mengestimasi persamaan berikut ini:

sektoral,

LnP = a + b1LnY1 + b2LnY2 + b3LnY3 + u + R

mereka
(4.4)

Di mana P adalah kemiskinan yang didefinisikan sebagai suatu
fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi di
bawah suatu tingkat pengeluran minimum tertentu yang telah
diterapkan sebelumnya atau garis kemiskinan; Y mewakili
tingkat output per kapita di tiga sektor; pertanian, industri
pengolahan, dan jasa; sedangkan u dan R adalah term
kesalahan.
Hasan dan Quibria (2002) dengan modelnya memberi kesan
bahwa ada korelasi negative antara tingkat pendapatan dan
kemiskinan: Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita
semakin rendah tingkat kemiskinan, dengan kata lain, Negaranegara dengan tingkat PN per kapita yang leblih tinggi
cenderung mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih rendah
dibandingkan Negara-negara yang tingkat PN per kapitanya
lebih rendah. Nilai dari koefisien korelasi tersebut menurut
empat wilayah tersebut dijabarkan di table 4.1. Dapat dilihat
bahwa elestisitas pertumbuhan pendapatan dari kemiskinan
untuk Asia Timur adalah tertinggi, disusul kemudian oleh
Amerika Latin, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara. Jadi,
menurut hasil ini, 1% kenaikan PN per kapita akan mengurangi
kemiskinan 1,6% di Asia Timur dan 0,7% di Afrika Sub-Sahara.
Tabel 4.1
Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi menurut Wilayah:
Estimasi Efek-Efek yang tetap

LNC
LnY

Asia
Timur
-0,03
(-0,76)
-1,60**
(-9,36)
0,84
70

Amerika
Latin
0,26*
(1,79)
-1,13**
(-6,11)
0,68
107

Asia
Afrika
Selatan S-S
0,31***
0,17*
(3,31)
(1,72)
-0,82** -0,71**
(-10.12) (-4,53)
0,83
0,93
67
48

Adj R2
Observa
si
Keterangan:
Uji t statistik didasarkan pada kesalahankesalahan
standar
yang
konsisten
dengan

7

heteroskedastic, ada di dalam kurung *: berbeda nyata
dari 0 pada 100% tingkat kepercayaan**: berada nyata
dari 0 pada 1% tingkat kepercayaan.
Sumber Gambar I di Hasan dan Quibria (2002)
Penemuan-penemuan dari Ravallion dan Dautt (1996a.b) dan
Kakwani (2001) memberi kesan bahwa ada suatu drajat yang
besar dari variasi menurut negara dalam dampak terhadap
kemiskinan dari pertumbuhan output sektoral.
Hasan dan Quiriba juga mencoba menganalisis fenomena
tersebut dengan memakai data dari Negara-negara di dalam
sampel mereka. Hasilnya dapat dilihat pada table 4.2.
Tabel 4.2
Kemiskinan dan Komposisi Sektoral dari Pertumbuhan:
Estimasi Efek-Efek yang tetap

Asia
Timur
LNC
0,05
(0,66)
LnYpertan
0,40
ian
(0,75)
LnY
-1,31**
industri
(-4,28)
LnY jasa
0,02
(0,08)
Adj R2
0.84
Observasi
70

Amerika
Latin
0,30*
(2,32)
-0,33

Asia
Selatan
0,36**
(3,95)
-1,17**

Afrika
S-S
0,08
(0,76)
-0,32**

(-1,47)
0,28

(-4,29)
-0,03

(-3,05)
-0,03

(1,12)
-1,21**
(-4,88)
0,71
107

(-0,20)
-0,22
(-1,30)
0,87
67

(-3,31)
-0,16
(-1,55)
0,93
48

Penemuan utama dari studi mereka adalah bahwa
pertumbuhan output di sektor industri pengolahan mempunyai
suatu dampak positif yang besar terhadap penurunan
kemiskinan hanya terbukti di Asia Timur. Pertumbuhan output
industri 1% mengurangi kemiskinan 1,3%.
Sebaliknya,
pertumbuhan output industri di Amerika Latin dan Karibian
berkorelasi positif dengan kemiskinan: semakin besar output di
sektor tersebut semakin anyak orang miskin; walaupun efek
ini secara statistic tidak signifikan. Sama seperti di Asia Timur,
pertumbuhan output industri di Asia Selatan dan Afrika SubSahara juga mempunyai efek positif terhadap penurunan

8

kemiskinan, tetapi efeknya tidak signifikan. Pengaruh utama
dari penurunan kemiskinan di Asia Selatan dan Afrika SubSahara adalah pertumbuhan output di sektor pertanian, sama
seperti penemuan Ravallion dan Datt (1996a,b) untuk India.
Hasil penelitian dari World Bank (2005) dilakukan terhadap 14
NSB di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Hasilnya adalah
sebagai berikut:
Tren-tren dasar dalam kemiskinan dan pertumbuhan
PDB di 14 NSB
Laju
Perubahan
pertumbuhan
Kemiskinan
Survei Survei
PDB/kapita
rata-rata per
tahun tahun
rata-rata per
tahun (%)
Negara
1
2
tahun (%)
Bangladesh
1992
2000
3,09
-2,78
Bolivia
1989
2002
1,17
-1,03
Brazil
1993
2001
1,47
-2,27
Burkina Faso
1994
2003
2,25
-1,80
El Salvador
1991
2000
2,54
-5,39
Gana
1992
1999
1,63
-3,85
India
1994
2000
4,18
-3,84
Indonesia
1996
2002
-0,81
0,67
Romania
1996
2002
0.20
6,05
Senegal
1994
2001
2,47
-2,46
Tunisia
1990
2000
3,03
-3,76
Uganda
1992
2002
3,34
-3,90
Vietnam
1993
2002
5,70
-7,76
Zambia
1991
1998
-2,26
1,29
Sampel median
2,36
-2,62
Keterangan:
data kemiskinan di Negara-negara tersebut
didasarkan pada survey-survei pengeluaran rumah
tangga/konsumsi, terkecuali untuk Brazil, dan El
Salvador, yang didasarkan pada survey-survei
pendapatan rumah tangga.
Sumber: World Bank (2005)
Seperti dugaan umum, penelitan ini menemukan adanya suatu
korelasi positif dan signifikan secara statistic antara perubahanperubahan dalam kemiskinan dan perubahan-perubahan dalam

9

pertumbuhan (perbedaan-perbedaan dalam log) dengan
koefisien regresi -1,7. (lihat gambar di bawah). Ini artinya,
secara rata-rata, untuk setiap kenaikan PDB per kapita 1%,
kemiskinan berkurang 1,7% selama periode tersebut.

• Romania



Zambia
Indonesia

-4


Bolivia
Brazil •
Ghana•

Bangladesh


• Burkina Faso
• Senegal
Tunisia •



Uganda •
• El Salvador

Vietnam•
Dari korelasi tersebut bisa dihitung elastisitas kemiskinan, yang
umum digunakan di dalam literature mengenai pembangunan
ekonomi di NSB untuk mendapatkan variasi-variasi di dalam
sensitivitas dari penurunan kemiskinan terhadap pertumbuhan.
Elastisitas ini biasanya diinterpretasikan sebagai persentase
perubahan kemiskinan untuk suatu kenaikan 1% dalam laju
pertumbuhan ekonomi.
Dalam teori, elastisitas-elastisitas
kemiskinan memaberi kesan suatu pola peartumbuhan yang lebih
efektif dalam mengurangi kemiskinan karena kesenjangan yang
berkurang dalam distribusi pendapatan dan tingkat-tingkat yang
rendah dari kesenjangan awal.

10

Dalam akhir 1990-an, term “pertumbuhan yang prokemiskinan”
(disebut PPG) ini menjadi terkenal saat banyak ekonom mulai
menganalisis paket-paket kebijakan yang dapat mencapai
penurunan kemiskinan. PPG secara umum didefinisikan sebagai
pertumbuhan ekonomi yang membuat penurunan kemiskinan
yang signifikan. Dalam usaha memberikan relevansi analisis dan
operasional terhadap konsep tersebut, di dalam literature muncul
dua pendekatan.
1. Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa
orang-orang miskin pasti mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi walaupun tidak proporsional. Artinya,
pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin jika
dibarengi dengan suatu pengurangan kesenjangan; atau
dalam perkataan lain, pangsa pendapatan dari kelompok
miskin meningkat bersamaan dengan peratumbuhan ekonomi.
2. Pendekatan kedua focus pada percepatan laju pertumbuhan
pendapatan dari kelompok miskin lewat perumbuhan ekonomi
yang lebih cepat dan dengan memperbesar kesempatankesempatan bagi orang-orang miskin untuk berpartisipasi
dalam pertumbuhan, yang hasilnya memperbesar laju
penurunan kemiskinan. Mempercepat laju PPG (pertumbuhan
yang pro kemiskinan)
mengharuskan tidak hanya
pertumbuhan yang lebih besar, tetapi juga upaya-upaya untuk
memperbesar kemampuan-kemampuan dari orang-orang
miskin untuk mendapatkan keuntungan dari kesempatankesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi.
Dengan
penekanan
pada
akselesari
laju
pengurangan
kemiskinan, pendekatan ini konsisten dengan komitmen
masyarakat dunia terhadap tujuan pertama dari Mellinium
Development Goals (MDG), yakni pengurangan setengah dari
proporsi dari masyarakat di dunia yang hidup kurang dari 1 dolar
AS per hari (disebut kemiskinan ekstrem) antara tahun 1990 dan
2015.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output
dan kemiskinan menghasilkan suatu dasar kerangka pemikiran,
yakni efek trickle-down dari pertumbuhan ekonomi dalam bentuk
peningkatan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran
dan peningkatan upah/pendapatan dari kelompok miskin, (lihat
gambar)

11

Pertumbuhan
ekonomi
(peningkatan output)

Peningkatan
kesempatan kerja

Pengurangan
kemiskinan (jumlah
orang miskin

Peningkatan
upah/gaji riil

D.
BEBERAPA
KEMISKINAN

INDIKATOR

KESENJANGAN

DAN

Ada dua kelompok cara mengukur tingkat kesenjangan dalam
distribusi pendapatan yakni:
Axiomatic dan Stochastic
dominance
Klompok Axiomatic terdiri dari tiga alat ukur:
a) The Generalized Entropy (GE)
b) Atkinson
c) Koefisien Gini.
Rumus GE dapat diuraikan sebagai berikut:
n
2
GE (α) = (1/( α - α)│(1/n) ∑ (yi/Y)α – 1│
i=1
dimana n adalah jumlah individu (orang) di dalam sample, y i
adalah pendapatan dari individu (I = 1,2,….n) dan Y = (1/n ∑y i
adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara
0 sampai x. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata
(pendaptan dari semua individu di dalam sample sama) dan 4
berarti kesenjangan yang sangat besar.
Parameter α
mengukur
besarnya
perbedaan-perbedaan
antara
pendapatan-pendapatan
dari
kelompok-kelompok
yang
berbeda di dalam distribusi tersebut, dan mempunyai nilai riil.
Dari rumus di atas, didapat cara mengukur ketimpangan dari
Atkinson sebagai berikut:
A=1-

12

dimana ɛ adalah parameter ketimpangan, 0