LAPORAN PRAKTIKUM PAKAN DAN NUTRISI RUMI

LAPORAN PRAKTIKUM
PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA
BAHAN PAKAN SUMBER ENERGI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING (KBK), KECERENAAN BAHAN
ORGANIK (KBO), VFA, NH3,
DAN GAS TEST.

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Bentar Wicaksono
Nur Laely
Atin
Dwi Eka Julia
Putri Septiasih

D1E010001
D1E010041
D1E010113
D1E010154
D1E010259


Asisten: Mita Tyas Melviyanti

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012

LAPORAN PRAKTIKUM
PAKAN DAN NUTRISI RUMINANSIA

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Bentar Wicaksono
Nur Laely
Atin
Dwi Eka Julia
Putri Septiasih

D1E010001

D1E010041
D1E010113
D1E010154
D1E010259

Diterima dan disetujui
Pada tanggal :......................
Kordinator Asisten

Asisten pembimbing

Hery Suprapto
D1E009190

Mita Tyas Melviyanti
D1E009054

I.
I.1.


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi

keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan makanan ternak akhirakhir ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh
meningkatnya harga bahan baku makanan ternak, dan semakin menyusutnya
lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan lahan untuk
keperluan pangan dan tempat pemukiman. Oleh karena itu, perlu dicari sumber
daya baru yang potenisal untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif yang
mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan serta dapat mengurangi
ketergantungan kepada penggunaan bahan konsentrat yang sudah lazim
digunakan.
Nutrien yang terkandung dalam pakan merupakan prekursor produksi
susu dan daging pada ternak ruminansia karena dapat mempengaruhi pola
fermentasi rumen. Keseimbangan dan ketersediaan nutrien dalam ransum penting
diperhatikan selain harga yang murah agar dapat terjangkau oleh peternak. Pakan
yang diberikan peternak seringkali mengalami defisiensi nutrien sehingga
mempengaruhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok maupun produksi karena
peternak kekurangan biaya. Selain itu, minimnya pengetahuan peternak dapat

membuat kerugian yang besar karena produksi ternak untuk kualitas susu dan
daging yang tidak memenuhi standar maupun jumlah mikroba yang melebihi
batas normal. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisiensi nutrien
pada sapi perah yaitu dengan pemberian ransum komplit berkualitas.
Teknik in vitro pada prinsipnya adalah meniru proses pencernaan dalam
rumen. Steel (1993) menyatakan bahwa tehnik in vitro dapat digunakan untuk
penelitian terhadap beberapa masalah diantaranya mengukur hilangnya bahan
kering, bahan organik, VFA dan produksi gas, N-NH 3 yang digunakan sebagai
parameter in vivo. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tehnik
fermentasi ini adalah:

a. Suhu fermentasi berkisar antara 39-400C, suhu ini harus diusahakan tetap
karena bakteri rumen sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Perbedaan suhu
0,50C dapat menyebabkan proses fermentasi terganggu.
b. pH optimum berkisar 6,7-7,0 agar aktivitas mikroba rumen dapat berlangsung
normal.
c. Pemberian gas CO2 secepatnya bersama dengan pengadukan secara mekanik
dilakukan dalam fermentasi anaerob, yang prinsipnya pengadukan meniru
keadaan rumen hewan hidup yang selalu bergerak, gerakan rumen ditiru
dengan menempatkan tabung fermentor dalam shaker waterbath.

d. Media fermentasi in vitro berupa cairan rumen sebagai sumber inokulum.
e. Periode atau waktu fermentasi tergantung dari bahan yang diuji, karbohidrat
yang mudah larut seperti gula sederhana lebih mudah difermentasi dibanding
dengan makanan lain.
I.2. Tujuan
a. Mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik;
b. Mengetahui kecernaan protein melalui analisis NH3 dan VFA;
c. Mengetahui produksi gas total melalui analisis gast-test.
I.3. Waktu dan Tempat
Praktikum Pakan dan Nutrisi Ruminansia dilaksanakan pada Senin-Jum’at,
tanggal 15 Oktober - 19 Oktober 2012 pukul 15.00 WIB-selesai. Praktikum ini
bertempat di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

I.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan
(KBO)


Organik

Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka harus diketahui terlebih
dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang terdapat dalam pakan dan
jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila pakan telah mengalami
proses pencernaan (Tillman et al., 1991).
Pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha
menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap
dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang
diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat
selisih antara jumlah nutrien yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan
dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan
sebagai nilai yang dicerna dan diserap (Anggorodi, 1979).
Komposisi ransum yang berbeda-beda akan menghasilkan nilai kecernaan
yang berbeda pula. Nilai kecernaan sangat bergantung pada keserasian nutrien di
dalamnya. Proporsi hijauan dan konsentrat yang berbeda juga berpengaruh
terhadap kecernaan. Pada ternak sapi perah, rasio hijauan–biji-bijian sebesar 75%
dan 25% akan menghasilkan KBK sebesar 68,7%, rasio hijauan–biji-bijian
sebesar 50% dan 50% menghasilkan nilai KBK sebesar 70,2 % dan rasio hijauan

– biji-bijian sebesar 25% dan 75% menghasilkan nilai KBK sebesar 70,0%
(Maynard et al.,1979).
Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik maka
semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen. Nilai kecernaan yang tinggi
menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi dari bakteri selulolitik. Nilai
kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan nilai kecernaan bahan
organik(Anggorodi, 1979).
I.2. Pengukuran Konsentrasi VFA Total (Volatil Fatty Acids)
VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia yang
dihasilkan dari pemecahan karbohidrat dalam rumen, yaitu asam asetat, asam
propionat dan asam butirat (Arora, 1995). Karbohidrat yang terdiri dari

polisakarida seperti selulosa dan pentosan-pentosan yang tidak dapat dicerna
enzim pencernaan induk semang, akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi
VFA, CO2, H2 (Orskov, 1998). VFA sebagai produk akhir pencernaan fermentasi
microbial karbohidrat dalam rumen digunakan sebagai sumber energi dan karbon
untuk pertumbuhan mikroba rumen (Thalib dkk, 1999). Konsentrasi VFA
dipengaruhi oleh tipe pakan, pengolahan, komposisi pakan, keberadaan mikroba
dan perbedaan teknik percobaan. Tingginya konsentrasi VFA total akan
memberikan keuntungan bagi hewan inang (Suhartati, 2004).

Hasil akhir fermentasi anaerobik karbohidrat di dalam rumen berupa VFA
dan gas metana. Selain itu proses fermentasi tersebut juga membebaskan
Adenosin Triphospat (ATP). VFA dan metana akan bergabung dengan NBP
(Nitrogen Bukan Protein) membentuk protein mikroba, sedangkan ATP berfungsi
sebagai tenaga penggeraknya. Orskov (1998) menyatakan bahwa antara proses
fermentasi dengan produksi protein mikroba telah terjadi saling ketergantungan.
Tenaga penggerak digambarkan sebagai ATP yang diperoleh dari fermentasi
anaerobik karbohidrat. Hasil akhir fermentasi tersebut berupa VFA dan gas metan
yang kemudian akan bergabung dengan NBP kedalam sel mikroba.
I.3. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3)
N-NH3 merupakan sumber N utama untuk sintesis protein mikroba ,
konsentrasi N-NH3 yang optimal berkisar 508 mg/100 ml cairan rumen.
Kekurangan sumber N dapat menurunkan produksi mikroba per unit karbohidrat
tercerna. Apabila konsentrasi N-NH3 melebihi batas optimal untuk sintesis protein
mikroba maka N-NH3 diserap melalui dinding rumen dan dibawa ke hati untuk
diubah menjadi urea (Susanti, 2001).
Protein atau asam amino yang terdapat dalam bahan pakan ternak
ruminansia tidak semuanya dapat dicerna dan diserap usus halus, tetapi
dihidrolisis menjadi peptide, asam organic, CO 2 dan amonia di dalam rumen (Mc
Donald et al., 2002). Kandungan N-NH3 minimal dalam rumen untuk kebutuhan

pertumbuhan mikroba yang diberi pakan berserat tinggi minimal 50 mg/l (Thalib
et al., 1999).
Menurut Susanti (2001) NH3 merupakan sumber N utama untuk sintesis
protein mikroba, konsentrasi N-NH3 yang optimal berkisar 5-8 mg/100 ml cairan

rumen. Kekurangan sumber N dapat menurunkan produksi mikroba per unit
karbohidrat tercerna. Apabila konsentrasi N-NH3 melebihi batas optimal untuk
sintesis protein mikroba maka N-NH3 diserap melalui dinding rumen dan dibawa
ke hati untuk diubah menjadi urea.
I.4. Teknik Pengukuran Gas In Vitro (Gas Test)
Organisme di dalam rumen akan menghidrolisa pakan sumber karbohidrat
menjadi gula sederhana yang kemudian difermentasi menjadi VFA (Vollatile fatty
acids) yang merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan juga gasgas yang merupakan hasil dari proses fermentasi, gas-gas di dalam rumen terdiri
dari metan (32 %), CO2 (56 %), N2 (8,5 %) dan O2 (3,5 %).
Menurut McDonald at el, (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan gas-gas di dalam rumen yaitu dari jenis bahan yang diberikan ke
ternak tersebut. Umumnya didalam pakan ternak ruminansia harus tersedia
nitrogen dan energi, unsur N di dapat dari pakan sumber protein., penggunaan
protein pakan yang dicerna oleh ruminansia: (1). Protein pakan didegradasi
menjadi peptida oleh protease di dalam rumen. Peptida dikatabolisasi menjadi

asam amino bebas lalu menjadi ammonia, asam lemak, dan CO2. (2). Produk
degradasi yang terbentuk dalam rumen, terutama ammonia, digunakan oleh
mikroba bersama sumber energi untuk mensintesis protein dan bahan-bahan sel
mikroba seperti bahan sel yang mengandung N dan asam nukleat. (3). Bagian
ammonia bebas akan diserap masuk ke pembuluh darah ternak dan
ditransformasikan menjadi urean di dalam liver. Sebagian besarnya tidak dapat
digunakan oleh ternak dan dieksresikan ke dalam urin. (4). Sel-sel mikroba
(bakteri dan protozoa) mengandung protein sebagai komponen utama, bersama
protein pakan melalui omasum dan abomasum dan usus halus. Sel-sel pakan yang
dicerna mengandung protein 70-80%, 30-40% adalah protein kurang larut.

III.

MATERI DAN CARA KERJA

2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik
(KBO)
a. Alat dan Bahan
Alat-alat : a. Sentrifuse
b. Shaker water batch (penangas air bergoyang)

c. Kertas saring Whatman No.41
d. Pompa vakum
e. Oven (1050C)
f. Tanur listrik (6000C)
g. Timbangan analitik
Bahan

: a. Cairan rumen (sumber inokulum)
b. Gas CO2
c. Larutan McDougalls pH 6.8 tersusun dari :


19.8 g NaHCO3



14

g

Na2HPO4.7.H2O

(9,2985

g

Na2HPO4.2.H2O)


1,14 KCL



0,9433 g MgSO4.7.H2O



0,08 g CaCL



bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan
aquades dalam labu Erlenmeyer hingga 2 liter, pH di tera
hingga 6,8 dan untuk menurunkan pH dengan cara dialiri
gas CO2 hingga pHnya mencapai 6,8

d. Larutan HgCL jenuh atau H2SO4 pekat
e. Larutan pepsin-HCL 0.3%


HCL 0,1 N 1 liter ditambah pepsin 3 g



Cara membuat HCL 0,1 N yaitu : 8,33 ml HCL 37% (pekat)
ditambah aquades hingga 1 liter sambil diaduk.

b. Cara Kerja
Tahap I (percobaan fermentatif)
a. Menimbang sampel (media) yang telah digiling halus seberat 2 g BK dan
menempatkannya dalam tabung atau Erlenmeyer.
b. Kemudian menambah larutan McDougalls 24 ml dan menginkubasinya
dalam shaker water batch pada suhu 39 0C selama 10 menit. Menambahkan
cairan rumen sebanyak 16 ml setelah suhunya 39 0C, kemudian menutup
tabung dan menginkubasinya selama 24 jam sehingga terjadi pencernaan
fermentatif. Menggoyangkan shaker water batch pada kecepatan 60-70
rpm, untuk menjaga suasana tetap anaerob dan setiap 4 jam dialiri gas
CO2.
c. Setelah inkubasi selama 24 jam, mengambil keranjang tabung dari shaker
water batch dan membuka tutup tabung, kemudian menambah HgCL2
sebanyak 2 tetes untuk menbunuh mikroba.
d. Melakukan sentrifus pada kecepatan 12.000 rpm, untuk memisahkan
residu endapan dengan supernatan. Supernatan yang diperoleh ditampung
untuk pengukuran VFA total dan N-NH3
Tahap II (percobaan hidrolitis)
a.

Menambahkan 40 ml larutan pepsin-HCL 0,3% pada setiap residu
endapan dari setiap tabung, kemudian menginkubasinya lagi selama 24
jam sehingga terjadi pencernaan hidrolitis dalam suasana aerob (tidak
ditutup), shaker water bath tetap pada suhu 390C dan tidak digoyang.

b.

Setelah pencernaan 24 jam pencernaan hidrolitis, isi tabung disaring
dengan menggunakan kertas saring, untuk membantu penyaringan
digunakan pompa vakum.

c. Mengeringkan residu dalam oven (1050C), untuk menetapkan berat kering
residu.
d.

Memasukkan bahan kering tersebut dalam cawan untuk
ditanur, untuk menetapkan bahan organik.

2.2. Pengukuran Konsentrasi VFA total
a.

Alat dan Bahan
Alat-alat : a. Pipet
b. 1 set alat destilasi uap
c. Labu Erlenmeyer
d. Buret makro(25-50 ml)
Bahan

: a. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
b. H2SO4 15% (15 ml H2SO4 pekat dilarutkan dalam aquades
hingga volumenya 100 ml)
c. NaOH 0.5 N (20 g NaOH dilarutkan dalam aquades hingga
volume 1 liter).
d. HCL 0.5 N (41.667 ml HCL pekat dilarutkan dalam aquades
hingga volumenya 1 liter)

b.

Cara Kerja

a. Setelah alat destilasi uap pada labu godok mendidih, tempat sampel dicuci
dengan aquades.
b. Cairan rumen di pipet sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ketempat
sampel dari alat deestilasi uap dan ditambah 1 ml H2SO4 15%
c. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer 250 ml yang telah berisi 5 ml
NaOH 0.5 N hingga volume destilat mencapai 100 ml
d. Kedalam destilat ditambah indikator phenolphthalein sebanyak 2 tetes.
e. Destilat dititrasi dengan HCL 0.5 N sampai terjadi perubahan warna
f. Sebagai blangko dititrasi dengan 5 ml NaOH 0.5 N dengan HCL 0.5 N
2.3. Pengukuran Nitrogen Amonia (N-NH3)
a. Alat dan Bahan
Alat-alat : a. Cawan Conwey
b. Pipet
Bahan

: a. Cairan rumen (supernatan dari percobaan fermentatif)
b. Asam borat berindikator MR dan BCG

c. Na2CO3 jenuh (larutkan Na2CO3 dalam aquades 50 ml hingga
tidak larut).
d. H2SO4 0.01 N (0.27 ml H2SO4 pekat dilarutkan ditambah
aquades hingga 1 liter)
e. Vaselin
b. Cara Kerja
a. Cawan Conwey dan tutupnya diolesi dengan vaselin agar dapat menutup
dengan rapat
b. 1 ml asam borat berindikator di pipet kemudian dimasukkan kedalam
cawan kecil yang ada ditengah cawan Conwey
c. 1 ml cairan rumen dipipet kemudian diteteskan pada sekat sebelah kanan
cawan
d. Cawan sedikit dimiringkan, kemudian 1 ml Na2CO3 jenuh dimasukkan
pada bagian kiri sekat (diusahakan jangan sampai tercampur sebelum
cawan ditutup)
e. Cawan Conwey ditutup
f. Cawan digerakkan dari kiri kekanan dengan pelan-pelan, sehingga cairan
rumen bercampur dengan Na2CO3 jenuh, dibiarkan selama 24 jam pada
suhu ruang
g. Setelah 24 jam, N-NH3 cairan rumen yang diikat oleh ion hydrogen dari
asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.01 N sampai terjadi perubahan warna
dari warna biru menjadi merah jambu.
2.4. Gas Test
a. Alat dan Bahan
Alat-Alat : a. Tabung menkey
b. Erlenmeyer
c. Pipet
d. Oven
Bahan

: a. Air
b. Vaseline
c. Sampel JPA dan Blanko

b. Cara Kerja
a. TJA 1 = 4,2331 g.
b. TJA 2 = 4,2330 gram sampel
c. Tabung menke nomor 6.
d. di (+) 30 ml medium + larutan preduksi
e. diberi CO2
f. di stirer sampai berwarna pink
g. diamkan 10 menit
h. di (+) 100 ml cairan rumen
i. volume = 29 ml untuk tabung 10 dan 31 ml untuk tabung 3
j. oven 39 0C sesuai dengan suhu di dalam rumen.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil perhitungan KBK dan KBO dengan rumus sebagai berikut didapatkan
hasil seperti pada Tabel 1.
% KBK = BK awal (gram) – BK residu bersih
BK awal (gram)

x 100%

%KBO = BO awal (gram) – BO residu bersih
BO awal (gram)
Tabel 1. Hasil Pengukuran KBK dan KBO

x 100%

Sampe
l
k1jpa1
k1jpa2
k2jpa1
k2jpa2
k3jpa1
k3jpa2
k4jpa1
k4jpa2
k5jps1
k5jps2
k6jps1
k6jps2
k7jps1
k7jps2

%KB Rataan
K
KBK
32,5
33,5
33
31,55
31,55
34,19
36,31
35,25
35,93
4
33,61
5
34,7745
40,1
44,2
42,15
44,91
45,21
45,06
38,08
36,17
37,125

Ratarata

%KB
Rataan
O
KBO
35,54
37,06
36,3
26,73
26,73
36,95
38,74 37,845
27,978

33,6436
3

41,445

24,098
43,8
48,19
60,34
60,29
41,96
40,11

4.1.2 Pengukuran Konsentrasi VFA
Kadar VFA total = ((y-z) x N HCl x (1000/5)) mM
y = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko
z = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi destilat
Table 2. Hasil VFA
sampel VFA
k1jpa1
35
k1jpa2
95
k2jpa1
k2jpa2
-505
k3jpa1
-20

Ratarata

26,038

31,7282
5

45,995
60,315
41,035

49,115

k3jpa2
k4jpa1
k4jpa2
k5jps1
k5jps2
k6jps1
k6jps2
k7jps1
k7jps2

110
5
-250
35
120
115
75
75
120

4.1.3 Pengukuran Nitroge Amonia (N-NH3)
Kadar N-NH3 = ( Ml titran x N H2SO4 x (1000/1)) mM
Table 3. Hasil N-NH3
Sampel N-NH3
k1jpa1
47
k1jpa2
104
k2jpa1
k2jpa2
17,5
k3jpa1
4,4
k3jpa2
6
k4jpa1
8
k4jpa2
3
k5jps1
6,5
k5jps2
0
k6jps1
66,2
k6jps2
32,5
k7jps1
0
k7jps2
0
4.1.4 Gas test
Tabel 4. Hasil Gas test
kelompok/ja
m
11.30
15.30
19.30
23.30
03.30
07.30
Blangko
30
30
31
31
31
31
1
30,5
37
43
48
52
55
2
36
41,5
46
50,5
50,5
52,5
3
30,5
37,5
43,5
48
52
55
4
32
39,2
46
50
54
57
5
29,5
42
50
54
58
61
6
30
40
50
54,5
58
61
7
30
41,5
49
52,5
55,5
58,5

80
70
60
50
40
30
20
10
0
4 jam

8 jam

12 jam

16 jam

20 jam

24 jam

Grafik perubahan gas yang diproduksi sampel kelompok 2 (jerami padi amoniasi)
selama 24 jam.
3.2. Pembahasan
3.2.1. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik
(KBO)
Tingginya serat kasar dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya
waktu pencernaan sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya
menurunkan konsumsi pakan. peningkatan konsumsi pakan bagi ternak selaras
dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan, sedang
kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu
dimanfaatkan ternak (Bata, 1996). Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering
dan bahan organik maka semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen.
Nilai kecernaan yang tinggi menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi
dari bakteri selulolitik. Nilai kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan
nilai kecernaan bahan organik. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh laju pencernaan
pakan dan tergantung pada bobot badan ternak dan kualitas pakan. Salah satu sifat
limbah

organik

yang

berkualitas

rendah

adalah

tingginya

kandungan

lignosellulose yang sulit dicerna ruminansia, (Arora, 1989).
Hasil praktikum menunjukan konsumsi pakan baik KBK dan KBO pakan
berbeda. Hal ini memberikan informasi bahwa palatabilitas pakan percobaan
berbeda; semakin tinggi penggunaan organ isi rumen sapi maka palatabilitas
pakan bagi sapi maupun kambing mengalami penurunan meskipun bahan pakan
sudah difermentasi. Adanya respon konsumsi pakan yang berbeda disebabkan
karena kandungan dan kualitas gizi pakan menurun terutama serat kasar
meningkat dan nutrisi tercerna dan aroma menurun sehingga palatabilitas rendah

yang mengakibatkan konsumsi pakan menurun baik KBK dan KBO. Selain itu,
keragaman konsumsi pakan disebabkan oleh status ternak dan bobot badan
bervariasi dengan ternak yang lebih besar mengkonsumsi pakan lebih banyak; hal
ini berhubungan dengan kapasitas tampung lambung berbeda.
Sampel JPA (jerami padi amoniasi) memiliki kecernaan bahan kering yang
rendah yaitu 31,55 % jika dibandingkan dengan jerami padi yang tanpa perlakuan
sama sekali. Hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Arora (1989), konsumsi
pakan dipengaruhi oleh laju pencernaan pakan dan tergantung pada bobot badan
ternak dan kualitas pakan. Salah satu sifat limbah organik yang berkualitas rendah
adalah tingginya kandungan lignoselulose yang sulit dicerna ruminansia.
Tingginya serat kasar dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya waktu
pencernaan sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya
menurunkan konsumsi pakan. peningkatan konsumsi pakan bagi ternak selaras
dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan, sedang
kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu
dimanfaatkan ternak (Firsoni, 2005). Semakin tinggi nilai kecernaan bahan kering
dan bahan organik maka semakin tinggi pula aktivitas mikroba dalam rumen.
Nilai kecernaan yang tinggi menyebabkan aktivitas bakteri amilolitik lebih tinggi
dari bakteri selulolitik. Nilai kecernaan bahan kering berbanding lurus dengan
nilai kecernaan bahan organik.
Menurut Preston (1987) bahwa kecernaan bahan kering (KBK) dan
kecernaan bahan organik (KBO) menggambarkan nilai efisiensi kandungan zat
makanan dalam ransum untuk dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Besar
nilai kecernaan bahan kering maupun bahan organik berkorelasi positif dengan
kecernaan ransum dalam tubuh ternak. Hal ini juga diungkapkan oleh Hungate
(1966), bahwa pakan dengan nilai kecernaan rendah memiliki kecernaan pakan
yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi aktifitas fermentasi dalam
rumen. Hal tersebut berpengaruh terhadap rendahnya pertumbuhan mikroba dalam
rumen. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi nilai
kecernaan bahan kering dan bahan organik suatu ransum akan semakin tinggi pula
jumlah ransum yang tertinggal dalam tubuh ternak untuk dimanfaatkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Sutardi (1980), laju kecernaan bahan

organik berhubungan erat dengan laju kecernaan bahan kering, karena sebagian
besar bahan kering terdiri atas bahan organik. Perbedaan diantara keduanya adalah
pada kandungan abu masing-masing bahan.
3.2.2. Pengukuran Konsentrasi VFA
VFA merupakan produk fermentasi yang berasal dari bahan yang
mengandung karbohidrat maupun protein (Sutardi, 1980). VFA akan digunakan
sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia. VFA yang terdiri atas asam asetat,
propionat dan butirat berperan dalam menyumbang energi berupa ATP pada jalur
perubahan komponen pakan menjadi VFA serta perubahan propionat menjadi
glukosa

pada

proses

glukoneogenesis.

Selain

itu,

VFA

juga

dapat

menyumbangkan kerangka karbon bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba
rumen (Preston dan Leng, 1987). Pengukuran VFA dilakukan dengan
memasukkan 1 ml supernatan ditambah 1 ml H2SO4 ke dalam tabung destilasi.
NaOH 5 ml 0,05 N ditambah 2 tetes PP dimasukkan dalam tabung erlenmeyer
untuk menampung hasil destilasi. Volume destilasi setelah mencapai 100 ml
dititrasi dengan 0,5 N HCl sampai berwarna bening.
Mudah tidaknya karbohidrat dicerna dan difermentasi dapat diindikasikan
dengan tinggi rendahnya VFA yang dihasilkan. Makin tinggi VFA yang diproduksi
maka makin mudah karbohidrat tersebut dicerna atau difermentasikan maka
makin fermentable bahan tersebut. Konsentrasi VFA pada praktikum ini diukur
setelah inkubasi selama 48 jam. Oleh karena itu, konsentrasi VFA yang berada
dibawah kisaran optimal pertumbuhan mikroba dapat disebabkan oleh
penggunaan VFA sebagai sumber kerangka karbon untuk membantu pertumbuhan
mikroba selama waktu inkubasi dalam sintesis protein mikroba (Sutardi, 1980).
Pada waktu inkubasi 48 jam diduga jumlah komponen sumber energi yang relatif
mudah dicerna seperti BETN dan lemak untuk diubah menjadi VFA telah
berkurang karena telah terlebih dahulu diubah menjadi VFA pada waktu inkubasi
3-24 jam, sehingga yang tersisa pada jam ke-48 adalah sumber energi dalam
bentuk serat kasar untuk diubah menjadi VFA oleh mikroorganisme rumen
pencerna serat. Selain itu, menurut oleh Parakkasi (1999), semakin lama waktu
inkubasi akan terjadi penurunan populasi bakteri amilolitik akibat fase
pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dan adanya persaingan dengan protozoa

dalam mencerna pati. Penurunan populasi bakteri amilolitik ini juga dapat
mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan pada waktu inkubasi 48 jam.
Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangatlah bervariasi yaitu
antara 200 – 1500 mg/100 ml cairan rumen. Hal ini tergantung pada jenis ransum
yang dikonsumsi (McDonald et al; 2002). Peningkatan konsentrasi VFA
mencerminkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat pakan yang
mudah larut (Davies, 1982). VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber
energi bagi

ternak dan sumber kerangka karbon untuk pembentukan protein

mikroba. Hasil pengukuran VFA pada praktikum yaitu -505 hal ini berbeda jauh
dari kadar VFA normal seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1980), bahwa kadar
VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba

rumen yang

optimal adalah 80 – 160 mM VFA yang dapat menggambarkan fermentabilitas
suatu pakan sebab VFA dapat mencerminkan peningkatan karbohidrat dan protein
yang mudah larut.
3.2.3. Pengukuran NH3
Protein pakan pertama kali dihidrolisis oleh mikroba rumen dengan enzim
proteolitik menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti oligopeptida dan asam
amino (Arora, 1989). Kemudian dilanjutkan dengan kecernaan menjadi amonia
dan menghasilkan produk samping berupa gas CH4, CO2, asam keto alfa dan
VFA. Menurut Sutardi (1980), amonia berfungsi sebagai sumber N yang
digunakan dalam sintesis protein mikroba, sehingga dibutuhkan 5-17,65 mM
amonia untuk mendukung pertumbuhan mikroba (McDonald et al., 2002).
Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil pengukuran N-NH3 yang kami lakukan
saat praktikum yaitu sebesar 17,5 mM.
Susanti (2001) menyatakan NH3 merupakan sumber N utama untuk sintesis
protein mikroba, konsentrasi NH3 yang optimal berkisar 5-8 mg/100 ml cairan
rumen. N-NH3 juga merupakan salah satu tolak ukur nilai nutrisi dan manfaat
bahan pakan serta aktifitas mikroba dalam rumen. Kekurangan sumber N dapat
menurunkan produksi mikroba per unit karbohidrat tercerna. Apabila konsentrasi
NH3 melebihi batas optimal untuk sintesis protein mikroba maka NH 3 diserap
melalui dinding rumen dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi urea. Faktorfaktor yang menyebabkan rendahnya konsentrasi N-NH3 antara lain:

1. Sumber protein ransum sangat tahan degradasi mikroba rumen,
2. Tingginya sintesis protein mikroba sehingga sisa N-NH 3 yang tidak
dimanfaatkan akan semakin kecil,
3. Rendahnya taraf energi pakan,
4. Nisbah C dan N serta
5. Rendahnya pertumbuhan mikroba.
Pengukuran NH3 dilakukan dengan memasukkan 1 ml supernatan cairan
rumen di bagian kanan cawan conwey dan di bagian kiri ditambahkan 1 ml larutan
Na2CO3 jenuh serta di bagian tengah ditambahkan 1 ml larutan asam borat. Cawan
digoyang agar supernatan dan larutan Na2CO3 jenuh bercampur. Setelah 24 jam
dalam suhu ruang dilakukan titrasi dengan H2SO4 0,01 N sampai berubah menjadi
warna merah muda. Hasil titrasi dilakukan perhitungan dengan rumus:
Kadar N-NH3 = (ml titran x N H2SO4 x (1000/1)) mM.
3.2.4. Gas Test
Produksi gas menunjukkan adanya proses fermentasi pakan oleh mikroba
yang terjadi dalam rumen. Proses fermentasi tersebut akan mengubah komponen
pakan menjadi senyawa yang berbeda dari molekul awal, seperti perubahan
karbohidrat menjadi VFA (volatile fatty acids) dan protein pakan menjadi amonia
(McDonald et al., 2002). Produksi gas juga dapat digunakan sebagai indikator
fermentabilitas in vitro suatu ransum. Volume gas yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai indikator proses fermentasi yang terjadi dalam rumen.
McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa gas yang terdiri atas CO2 40% dan
CH4 30-40% sisanya berupa hidrogen dan nitrogen merupakan produk sampingan
pada proses hidrolisis karbohidrat menjadi VFA (Arora, 1989).
McDonald (2002), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan gas-gas di dalam rumen yaitu dari jenis bahan yang diberikan ke
ternak tersebut. Umumnya di dalam pakan ternak ruminansia harus tersedia
nitrogen dan energi, unsur N di dapat dari pakan sumber protein. Penggunaan
protein pakan yang dicerna oleh ruminansia :
a. Protein pakan didegradasi menjadi peptida oleh protease di dalam rumen.
Peptida dikatabolisasi menjadi asam amino bebas lalu menjadi ammonia, asam
lemak, dan CO2.

b. Produk degradasi yang terbentuk dalam rumen, terutama ammonia, digunakan
oleh mikroba bersama sumber energi untuk mensintesis protein dan bahanbahan sel mikroba seperti bahan sel yang mengandung N dan asam nukleat.
c. Bagian ammonia bebas akan diserap masuk ke pembuluh darah ternak dan
ditransformasikan menjadi urin di dalam liver. Sebagian besarnya tidak dapat
digunakan oleh ternak dan dieksresikan ke dalam urin.
d. Sel-sel mikroba (bakteri dan protozoa) mengandung protein sebagai komponen
utama, bersama protein pakan melalui omasum dan abomasum dan usus halus.
Sel-sel pakan yang dicerna mengandung protein 70-80%, 30-40% adalah
protein kurang larut

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang sudah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut, diantaranya:
a. Tongkol jagung amoniasi memiliki tingkat keecernaan yang lebih tinggi
dibanding dengan tongkol jagung yang belum mendapat perlakuan.
b. Suhu fermentasi berkisar antara 39-400C, suhu ini harus diusahakan tetap
karena bakteri rumen sangat sensitif terhadap perubahan suhu.
c. Kecepatan sentrifuse 12.000 rpm, untuk memisahkan residu endapan dengan
supernatan. Supernatan yang diperoleh ditampung untuk pengukuran VFA total
dan N-NH3.
4.2. Saran
Alat- alat laboratorium yang akan digunakan untuk praktikum sebaiknya
dicek dulu supaya tidak mempengaruhi hasil analisis dan waktu yang diperlukan
tidak terlalu lama.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Jakarta.
Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. UGM Press.Jogjakarta.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia.
Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Bata, M. dkk. 1996. Pengaruh Suplementasi Ampas Tahu Pada Onggok Terhadap
Produk Fermentasi Rumen, Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik
Secara In Vitro. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Unsoed.
Purwokerto.
Firsoni. 2005. Manfaat tepung daun kelor (Moringa oleifera, Lam) dan glirisidia
(Gliciridia sepium, Jacq) sebagai sumber protein dalam urea molases blok
(UMB) terhadap metabolisme pakan secara in vitro dan produksi susu sapi
perah. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Malang.
Hungate, R. E. 1966. The Rumen and It’s Microbes. Academic Press. New York.
Maynard, L.A., J.K. Loosli, H.F. Hintz and R.G. warner. 1979. Animal Nutrition.
Mc Graw Hill Book Co. Ithaca, New York.
McDonald, P., Edwards, R., dan Greenhalgh, J. 2002. Animal Nutrition. Sixth
Edition. New York.
Menkee, K. H. dan W. Close. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition.
University Hohenheim. Stuttgart.
Orskov, E.R. 1988. Protein Nutrition in Ruminants. Second Edition. Academic
Press. London.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Preston, T. R. dan R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production and Systems
with Available Resources in the Tropics and SubTropics. Penambul Books,
Armidale.

Setiani, E. 2002. Evaluasi in vitro kombinasi ampas teh (Camellia sinensis)
dengan daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) sebagai pakan
domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta Sutardi, T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui
penggunaan ransum berbasis limbah perkebunan dan suplemen mineral
organik. Dalam: Irawan, B. 2002. Suplemen Zn dan Cu organik pada
ransum berbasis agroindustri untuk memacu pertumbuhan domba. Tesis.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Susanti, Sri., Siti Chuzaemi, Soebarinoto. 2001. Pengaruh Pemberian Konsentrat
yang mengan-dung bungkil biji kapuk terhadap kecernaan ransum, produk
fermentasi dan jumlah protozoa rumen sapi perah PFH Jantan. BIOSAIN.
Vol.1 (3) :42-49
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D. Suherman. 1999. Pengaruh
Perlakuan Silase Jerami Padi dengan Mikroba Rumen Kerbau terhadap
Daya Cerna dan Ekositem Rumen Sapi. J. Ilmu Ternak dan Veteriner.
Vol.5: 1-6.
Tillman. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press. Yogyakarta.