PENGARUH PERBEDAAN BAHAN DAN KONSENTRASI FIKSATOR PADA PEWARNAAN KAIN MORI BATIK MENGGUNAKAN ZAT WARNA ALAMI BIJI PINANG (Areca catechu L.) Effect of Materials and Concentration Fixator At Fabric Mori Batik Dyeing Using Natural Dyes Betel Nut (Areca catec

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

PENGARUH PERBEDAAN BAHAN DAN KONSENTRASI FIKSATOR PADA
PEWARNAAN KAIN MORI BATIK MENGGUNAKAN ZAT WARNA ALAMI
BIJI PINANG (Areca catechu L.)
Effect of Materials and Concentration Fixator At Fabric Mori Batik Dyeing
Using Natural Dyes Betel Nut (Areca catechuL.)
Nur Lailatul Rahmah1*, Susinggih Wijana1, Siti Susanti1
1

Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian, UB
Jl. Veteran No. 1 Malang 65145
*Email: cahyalaila22@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perbedaan bahan dan konsentrasi fiksator terhadap
intensitas warna dan ketahanan luntur warna kain mori batik menggunakan pewarna alami biji pinang.
Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama
adalah bahan fiksator yaitu tawas, kapur tohor, dan tunjung. Faktor kedua adalah konsentrasi fiksator yaitu
10%, 15%, dan 20% (b/v). Hasil perlakuan terbaik menggunakan Multiple Attribut, yaitu perlakuan

fiksator kapur tohor dengan konsentrasi 15% (b/v) dengan rerata nilai intensitas warna yaitu nilai L*
(tingkat kecerahan) sebesar 40.2, nilai a* (warna merah) sebesar 19.55, dan nilai b* (warna kuning)
sebesar 15.9. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses fiksasi atau penguncian warna memberikan
pengaruh besar terhadap nilai intensitas warna (L*, a*, dan b*). Rerata nilai uji ketahanan luntur warna
terhadap gosokan kering dan gosokan basah menunjukkan nilai penodaan warna sebesar 8 (cukup) dan
21.5 (kurang). Rerata uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian nilai stainning scale dan grey scale
menghasilkan nilai yang sama sebesar 2.4 (cukup baik). Semakin rendah nilai GS dan SS maka ketahanan
luntur warnanya semakin bagus (tidak mudah pudar).
Kata kunci: Fiksasi, Intensitas warna, Ketahanan luntur.

Abstract
Knowing the effect of different materials and fixator concentration for color intensity and color
fastness by mori batik cloth using natural dyes betel nut are the purposes in this research. The research
method use Factorial Randomized Design Block with 2 factors. The first factor is material of fixator,
alum, calcium oxide, and ferro sulphate. The second factor is concentration of fixator, 10%, 15%, and
20% (w/v). The best treatment of research use Multiple Attributes, is reached by calcium oxide with
concentration 15% (w/v) with a mean value of the intensity of the color: L* value (brightness) amounted
to 40.2, a* value (red) by 19.55, and b* value (yellow) by 15.9. It showed that the process of fixation or
locked colors give a major influence on the value of the intensity of the color (L*, a*, and b*). The mean
value of the test color fastness to dry and rub resistance showed the staining scale value (desecration

color) by 8 (enough) and 21.5 (less). The mean value test color fastness to laundering staining scale and
grey scale on the same value that was equal to 2.4 (good enough). As lower value of GS and SS then the
color fastness is better (not fade easily).
Keywords: Fixation, Color intensity, Fade resistance

PENDAHULUAN
Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang telah berkembang, baik lokasi
penyebarannya, teknologi dan desainnya. Seiring dengan kemajuan zaman dan
teknologi, pewarna sintetis masuk ke Indonesia awalnya digunakan pada perusahaanperusahaan tekstil, sehingga berkembang menjadi pewarna batik (Wilujeng, 2009). Zat
warna sintetis lebih baik dibandingkan zat warna alami karena lebih mudah diperoleh
dipasaran, ketersediaan warna terjamin, dan mempunyai ketahanan luntur yang baik.

203

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Akan tetapi, zat warna sintetis berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia,
karena bersifat karsinogenik yang mengandung logam berat seperti arang batu bara atau
minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti

benzena, naftalena, dan antrasena (Isminingsih, 1978). Kristijanto dan Hertanto (2013)
menyatakan salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut dengan
menggunakan zat warna alami yaitu zat yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya
bagi kulit.
Pinang (Areca catechu L) merupakan salah satu tanaman palma yang dapat
menghasilkan warna. Pemanfaatan pinang untuk konsumsi dalam negeri masih sedikit.
Penyebaran terbesar dan sekaligus sebagai pengekspor biji pinang di Indonesia adalah
Pulau Sumatera antara lain Propinsi Aceh dan Jambi (Bogoriani, 2010). Selama ini
pinang digunakan sebagai obat tradisional dan ramuan, tetapi belum banyak diolah
menjadi pewarna industri (Heyne, 1987).
Secara kimia biji pinang mengandung 0,3-0,6% alkaloid, arekolidine, arekain,
guvakolin, guvasine dan isoguvasi-ne, dan biji pinang mengandung red tannin 15%,
lemak 14%. Biji pinang mengandung tanin terkondensasi, tanin terhidrolisis dan
glukosida. Kandungan tanin pada biji pinang dapat dijadikan sebagai pewarna alami
dengan kenampakan warna coklat kemerahan (Bogoriani, 2010). Biji pinang yang
digunakan pada penelitian ini yaitu jenis pinang putih (varietas alba) yang diperoleh dari
pasar. Kelebihan zat warna alami yaitu beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak
berbahaya bagi kesehatan manusia, sedangkan kekurangan zat warna alami yaitu
memiliki daya tahan luntur warna yang rendah, sehingga memerlukan bahan tambahan
untuk meningkatkan ketahanan luntur yaitu dengan melakukan proses fiksasi

(Wilujeng, 2009).
Fiksasi merupakan proses penguncian warna agar warna menjadi tidak mudah
pudar. Ada 3 jenis bahan fiksasi yang sering digunakan yaitu tawas, kapur tohor, dan
tunjung, bahan tersebut dapat menguatkan ikatan zat warna alam dengan kain dan
memberikan arah warna yang berbeda (Ruwana, 2008). Eko dkk., (2014) menyatakan
ion Fe²+ pada tunjung memberikan arah warna paling gelap, tawas dengan ion Al³+
mengarah pada warna paling terang dan ion Ca²+ pada kapur tohor memberikan arah
warna lebih tua dari pada tawas. Ion-ion tersebut dapat membentuk kompleks logam
yang berguna untuk memperbaiki ketahanan luntur warna pada kain. Eko dkk., (2014)
menyatakan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka ketahanan luntur warnanya
semakin baik. Oleh karena itu pada penelitian ini akan diteliti mengenai pengaruh
perbedaan bahan fiksator dan konsentrasi fiksator terhadap intensitas warna dan
ketahanan luntur hasil pewarnaan biji pinang pada kain mori batik.
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAK Faktorial)
yang terdiri dari dua faktor yaitu bahan fiksator (tawas, kapur tohor, dan tunjung) dan
konsentrasi fiksator (10%, 15%, dan 20%).
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu biji pinang (Areca catechu L) varietas pinang alba

(pinang putih), kain mori Primissima, air, tawas (KAl(SO4)2.12H2O), kapur tohor
(CaO), dan tunjung (FeSO4).

204

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan, kompor, panci,
gelas ukur, kain saring, gunting, blender, termometer, pisau, canting, baskom, dan
pengaduk.color reader, laundrymeter, dan crockmeter.
Prosedur Penelitian
Proses mordanting awal kain mori batik
Kain mori batik ukuran 20cm x 10cm dimasukkan dalam panci perebusan yang
telah ditambahkan 6 gram tawas dan 3 liter air, direbus pada suhu 85-90°C selama 45
menit dan diaduk-aduk. Kain mori batik diangkat dan dikeringkan (tanpa diperas)
ditempat yang teduh atau tidak terkena sinar matahari langsung.
Proses pembuatan larutan zat warna alami biji pinang dan pencelupan kain mori
Biji pinang dibelah/dikupaskemudian diambil bijinya dan ditimbang sebanyak

40gr biji pinangsetelah itu diblender selama 2 menit hingga biji pinang menjadi halus.
Biji pinang yang sudah halus (40 g) dimasukkan dalam panci perebusan dan dicampur
dengan air sebanyak 400 ml (perbandingan bahan dan pelarut yaitu 1:10) kemudian
direbus atau diekstraksi selama 15 menit atau sampai volume setengahnya agar
dihasilkan larutan yang lebih pekat. Larutan zat warna disaring menggunakan kain
saring kemudian didiamkan selama 12-24 jam agar endapan dan kotoran yang terikut
dapat dipisahkan. Kain dicelupkan pada larutan biji pinang selama 15 menit,
dikeringkan 10 menit, dan diulang senmayak 15 kali pencelupan, kemudian dikeringkan
(tanpa diperas) ditempat yang teduh atau tidak terkena sinar matahari langsung.
Proses fiksasi
Disiapkan pelarut air sebanyak 500ml pada setiap bahan fiksasi (tawas, kapur
tohor, dan tunjung). Bahan ditimbang sesuai dengan konsentrasi yaitu 10%, 15%,dan
20%(b/v) dari volume air. Misalnya jika konsentrasi yang digunakan 10%(b/v) artinya
berat tawas, kapur tohor, dan tunjung yang digunakan sebanyak 50 gram dalam 500 ml
air (1:10). Kain mori batik kering terwarnai selanjutnya dilakukan proses fiksasi yaitu
penguncian warna pada kain mori batik sesuai dengan perlakuan dengan menggunakan
tawas, kapur tohor, dan tunjung selama ±15 menit, kemudian kain yang telah difiksasi
dikeringkan tanpa diperas ditempat yang teduh atau tidak terkena sinar matahari
langsung. Kain mori batik kering terfiksasi kemudian dilakukan uji intensitas warna dan
uji ketahanan luntur dari setiap perlakuan.

Pengujian Kain Hasil Pewarnaan
Pengujian Intensitas Warna (Nilai L*, a* dan b*) (Hutching, 1999)
Nilai L*, a* dan b* kain berwarna dapat dilihat dengan menggunakan Color
Reader.
Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian (SNI ISO 105C06:2010)
Contoh uji yang sudah diberi kain pelapis dicuci dalam larutan pencuci dengan
kondisi tertentu, dibilas dan dikeringkan. Perubahan warna pada contoh uji dinilai
dengan menggunakan standar abu-abu (Grey Scale), sedangkan penodaan warna pada
kain pelapis dinilai dengan menggunakan standar skala penodaan (Stainning Scale).
Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan (SNI 0288-2008)
Pengujian ini dibedakan atas uji gosokan kering dan gosokan basah menggunakan
alat crockmeter.

205

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Analisis Statistik
Hasil data uji intensitas warna yang diperoleh kemudian dilakukan uji dengan

menggunakan analisis ragam (ANOVA). Apabila dari analisa ragam antar perlakuan
terdapat beda nyata maka dilanjutkan dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
Apabila dari analisis ragam antar perlakuan terdapat tidak beda nyata maka dilanjutkan
dengan BNT (Beda Nyata Terkecil) pada setiap faktor dengan selang kepercayaan 5%.
Hasil data uji ketahanan luntur warna yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Penentuan perlakuan terbaik menggunakan metode Multiple Attribute (Zelleny, 1982).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Nilai L* (tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan jenis
fiksator dan konsentrasi bahan fiksator tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
nilai L*. Jenis fiksator berpengaruh secara signifikan terhadap nilai L*, sedangkan
konsentrasi fiksator tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini disebabkan
kemampuan larutan fiksator pada masing-masing bahan fiksator dalam mengunci dan
merubah warna berbeda-beda.Grafik rerata nilai L* pada berbagai jenis fiksator dapat
dilihat pada Gambar 1.
80
58.35

58.2


38.4
40.85

40.2
40.8

Nilai L*

60
40

56.65
40.1
40.95

20

Tawas
Kapur tohor
Tunjung


0
10%
15%
20%
Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 1.Grafik Rerata Nilai L* Pada Berbagai Jenis Fiksator
Pada Gambar 1 terlihat fiksator tawas menghasilkan kecerahan paling tinggi
dibandingkan fiksator tunjung dan kapur tohor. Fiksator tawas memberikan kecerahan
paling tinggi disebabkan tawas dimanfaatkan sebagai bahan pengunci warna pada kain
yang memberikan arah warna cerah seperti warna aslinya, berbeda dengan tunjung dan
kapur tohor yang menghasilkan arah warna lebih gelap. Dapat diperjelas oleh Ruwana
(2008) bahwa reaksi fiksator tawas (Al3+) tidak menghasilkan garam kompleks maka
ikatan antara serat kain dan tanin kurang kuat, sehingga tawas menunjukkan arah
warna paling muda dibandingkan fiksasi tunjung dan kapur tohor.
Hasil Uji Nilai a* (Intensitas Warna Merah)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan jenis
fiksator dan konsentrasi bahan fiksator tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
nilai a*. Jenis fiksator berpengaruh secara signifikan terhadap nilai a*, sedangkan

konsentrasi fiksator tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini disebabkan
kemampuan larutan fiksator pada masing-masing bahan fiksator dalam mengunci dan

206

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

merubah warna berbeda-beda.Grafik rerata nilai a* pada berbagai jenis fiksator dapat
dilihat pada Gambar 2.
25

19.1

19.55

19.35

15.6
9.1

16.95
9.1

16.05
8.95

10%

15%

20%

Nilai a*

20
15
10
5

Tawas
Kapur tohor
Tunjung

0

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 2. Grafik Rerata Nilai a* Pada Berbagai Jenis Fiksator
Pada Gambar 2 dapat dilihat fiksator kapur tohor menghasilkan intensitas warna
merah paling tinggi dibandingkan fiksator tawas dan tunjung. Fiksator kapur
memberikan intensitas warna merah paling tinggi disebabkan kapur dimanfaatkan
sebagai bahan pengunci warna pada kain akan memberikan intensitas warna merah
kecoklatan. Fiksator tunjung memberikan nilai a* terkecil, sebab tunjung merupakan
ferro sulfat digunakan sebagai bahan pengunci warna pada tekstil mengarah pada warna
kuning kehitaman. Hal ini didukung oleh penelitian Sachan dan Kapoor (2007) bahwa
pencelupan kain dari hasil pewarnaan kunyit dengan fiksator kapur menghasilkan warna
merah kecoklatan, sedangkan fiksator tunjung menghasilkan warna kuning kunyit
kehitaman. Hal ini disebabkan tunjung merupakan unsur FeSO4 atau ferro sulfat jika
bereaksi dengan kurkumin (senyawa fenol) mengakibatkan kurkumin kurang stabil dan
menghasilkan intensitas warna kuning kehitaman (Saxena dan Raja, 2014).
Hasil Uji Nilai b* (warna kuning jika + dan biru jika -)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan jenis
fiksator dan konsentrasi bahan fiksator tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
nilai b*. Jenis fiksator berpengaruh secara signifikan terhadap nilai b*, sedangkan
konsentrasi fiksator tidak berpengaruh secara signifikan. Grafik rerata nilai b* pada
berbagai jenis fiksator dapat dilihat pada Gambar 3.

20
Nilai b*

15

17.25
15.15
12.8

18.2
15.9

15.8
16.4

11.95

11.3

10%

15%

20%

10

Tawas
Kapur tohor
Tunjung

5
0
Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 3. Grafik Rerata Nilai b* Pada Berbagai Jenis Fiksator

207

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Pada Gambar 3 dapat dilihat fiksator tawas menghasilkan intensitas warna kuning
paling tinggi dibandingkan fiksator kapur tohor dan tunjung. Hal ini disebabkan tawas
termasuk garam lengkap alumunium sulfat yang mengakibatkan terbentuknya
alumunium hidroksida (Al(OH)3) yang berupa endapan gelatin berwarna putih, sehingga
tawas menghasilkan warna kuning cerah (keputihan) (Kechi dkk., 2013). Hal ini
diperjelas oleh Fatikhin dkk., (2015) pada larutan asam yang bereaksi dengan senyawa
tanin maka akan menghasilkan warna yang lebih cerah (kuning), sedangkan larutan
bersifat basa bereaksi dengan senyawa tanin, maka akan menghasilkan warna yang
semakin gelap. Perubahan warna yang dihasilkan terjadi karena adanya reaksi antara
tanin dengan logam Al3+ pada tawas, Ca2+ pada kapur tohor dan Fe2+ pada tunjung
sehingga memberikan arah warna yang berbeda (Handayani dan Maulana, 2013). Hal
ini terbukti bahwa kain hasil pewarnaan biji pinang dengan fiksator tawas menghasilkan
warna kuning paling kuat dibandingkan fiksator kapur tohor dan tunjung.
Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan
Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan terdapat dua jenis
pengujian yaitu gosokan kering dan gosokan basah. Hasil pengujian gosokankering dan
gosokan basah dilakukan secara visual dengan melihat perubahan warna menggunakan
alat stainning scale (standar skala penodaan). Nilai tahan luntur warna (data deskriptif)
yang dihasilkan akan dikonversikan dalam suatu nilai CD (Color Difference). Stainning
Scale (SS) digunakan sebagai standar penilaian, sebab kain yang diuji adalah kain putih
yang telah ternodai oleh bahan uji (kain mori batik) menggunakan alat Crockmeter.
Semakin tinggi nilai SS, maka penilaian ketahanan luntur warnanya semakin baik,
namun sebaliknya semakin rendah nilai CD, maka penilaian ketahanan luntur warnanya
semakin baik.

Nilai CD dari Stainning Scale

Nilai Gosokan Kering
Rerata nilai gosokan kering menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan
jenis fiksator dan konsentrasi fiksator berpengaruh secara signifkan terhadap nilai
gosokan kering. Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang berbeda-beda pada masingmasing bahan dan konsentrasi fiksator.Grafik rerata nilai uji gosokan kering dapat
dilihat pada Gambar 4 sedangkan kain mori batik hasil uji gosokan kering ditunjukkan
pada Gambar 5.
11.3
12
10
8
6
4
2
0

8

8

9.1
8

5.6
4
2

10%

15%

Tawas
Kapur tohor
Tunjung

20%

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 4. Grafik Rerata Nilai Uji Gosokan Kering Pada Berbagai Jenis fiksator

208

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Gambar 5. Kain Mori Batik Hasil Uji Gosokan Kering
Pada Gambar 4 dapat dilihat fiksator tawas menghasilkan nilai CD terendah
dibandingkan fiksator kapur tohor dan tunjung. Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD pada
masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator serta hasil kain yang lebih putih pada
fiksator tawas (Gambar 5).. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sulaiman (2000) bahwa
adanya Al3+ dari larutan tawas, Ca2+ dari larutan kapur dan Fe2+ dari larutan tunjung
akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di
dalam serat berikatan dengan serat, sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di
dalam serat menjadi lebih besar sehingga zat warna tetap berada di dalam serat dan
tidak mudah keluar atau luntur.
Nilai Gosokan Basah
Rerata nilai gosokan basah menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan
jenis fiksator dan konsentrasi fiksator berpengaruh secara signifkan terhadap nilai
gosokan basah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang berbeda-beda pada masingmasing bahan dan konsentrasi fiksator. Grafik rerata nilai uji gosokan basah dapat
dilihat pada Gambar 6 sedangkan kain mori batik hasil uji gosokan basah ditunjukkan
pada Gambar 7.

Nilai CD dari Stainning
Scale

.
30
20

20.4
14.4
12.9

10

21.5
12.9
6.4

16
11.3
9.1

Tawas
Kapur tohor
Tunjung

0
10%

15%

20%

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 6. Grafik Rerata Nilai Uji Gosokan Basah Pada Berbagai Jenis Fiksator

209

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Gambar 7. Kain Mori Batik Hasil Uji Gosokan Basah
Pada Gambar 6 dapat dilihat fiksator tawas menghasilkan nilai CD terendah
dibandingkan fiksator tunjung dan kapur tohor. Fiksator tawas juga menghasilkan noda
gosokan paling muda dibandingkan fiksator tunjung dan kapur tohor (Gambar 7). Hal
ini disebabkan oleh Al3+ pada larutan tawas lebih kuat melapisi permukaan pada kain
sehingga molekul zat warna alami terkunci dan tidak mudah lepas dari serat. Pernyataan
ini didukung oleh penelitian Rosyida dan Zulfiya (2013) bahwa pencelupan kain katun
menggunakan fiksator tawas menghasilkan nilai gosokan basah yaitu baik (4-5). Hal ini
disebabkan pigmen pada kayu nangka (morin) yang telah masuk kedalam serat telah
bereaksi dan berikatan dengan serat kapas (sellulosa), sehingga sulit lepas atau keluar
lagi dari serat walaupun dilakukan gosokan secara mekanik pada permukaan kain atau
serat. Hasanudin (2001) menyatakan jika serat kain dicelupkan pada air, hal ini akan
menyebabkan penggembungan pada serat sehingga molekul zat warna akan mudah
keluar saat penggosokan.
Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian dibagi menjadi dua yaitu
standar skala abu-abu (Grey Scale) dan standar skala penodaan (Stainning Scale)
menggunakan alat Grey Scale dan Stainning Scale. Pada alat standar skala penodaan
(Stainning Scale) digunakan untuk menguji kain putih yang telah ternodai oleh kain
mori batik (bahan uji) hasil dari uji pencucian menggunakan Laundrymeter. Semakin
rendah nilai CD (Color different) penilaian ketahanan luntur warnanya semakin baik.
Nilai tersebut dapat dibandingkan secara visual sesuai warna kain mori batik putih yang
ternodai (Gambar 8).

Gambar 8. Kain Mori Batik Ternodai

210

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Nilai CD dari Grey Scale

Nilai Grey Scale (standar skala abu-abu)
Rerata nilai grey scale menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan jenis
fiksator dan konsentrasi fiksator berpengaruh secara signifkan terhadap nilai perubahan
warna pada Grey Scale. Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang berbeda-beda pada
masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator.Grafik rerata nilai uji grey scale dapat
dilihat pada Gambar 9.

14
12
10
8
6
4
2
0

12

12

7.7

12

6.8

Tawas
Kapur tohor

2.1

3.8
2.4

2.4

10%

15%

20%

Tunjung

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 9. Grafik Rerata Nilai Uji Grey Scale Pada Berbagai Jenis Fiksator.
Pada Gambar 9 dapat dilihat fiksator kapur tohor menghasilkan nilai CD paling
rendah dibandingkan fiksator tawas dan tunjung.Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang
berbeda-beda pada masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator. Hal ini menunjukkan
fiksator kapur tohor sebagai bahan pengunci warna bersifat melapisi dan memperbesar
molekul zat warna alam pada kain hasil pewarnaan biji pinang, sehingga zat warna alam
tidak mudah lepas dari serat dan tidak mudah luntur. Berdasarkan pernyataan
Ratyaningrum dan Giari (2005) bahwa zat warna alam merupakan zat yang dalam
proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan komplek logam sehingga zat
warna tidak mudah luntur. Kapur tohor merupakan kelompok kompleks logam yang
berguna untuk memperbaiki ketahanan luntur dari pewarna alam.
Nilai Stainning Scale (skala penodaan)
Rerata nilai stainning scale menunjukkan bahwa interaksi kombinasi perlakuan
jenis fiksator dan konsentrasi fiksator berpengaruh secara signifkan terhadap nilai
perubahan warna pada stainning scale. Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang berbedabeda dari masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator. Grafik rerata nilai uji stainning
scale dapat dilihat pada Gambar 10.

211

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017

Nilai CD dari Stainning Scale

Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

12.9

14
12
10
8
6
4
2
0

10.2

10.2

5.1

5.1
4

2

10%

Tawas
Kapur tohor
Tunjung

3.9
4

15%

20%

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 10. Grafik Rerata Nilai Uji Stainning Scale Pada Berbagai Jenis Fiksator
Pada Gambar 10 dapat dilihat fiksator kapur tohor menghasilkan nilai CD paling
rendah dibandingkan fiksator tawas dan tunjung.Hal ini ditunjukkan oleh nilai CD yang
berbeda-beda dari masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator.Berdasarkan
penyataan Hasanudin dan Widjiati (2000) bahwa sifat tahan luntur warna pencucian
ditentukan oleh kuat lemahnya ikatan yang terjadi antara serat dan zat warna.Kapur
tohor mampu memperbesar molekul zat warna pada kain sehingga zat warna tidak
mudah lepas dari kain dan tidak mudah luntur.
Perbandingan Perlakuan Terbaik dengan Kontrol (tanpa bahan fiksator)
Hasil uji dengan metode Multiple Attribute menunjukkan perlakuan terbaik yaitu
bahan fiksator kapur tohor dengan konsentrasi 15% (b/v). Hasil perlakuan terbaik
dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan fiksator). Beberapa parameter tersajikan
pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai L* pada perbandingan fiksator kapur
tohor lebih tinggi dibandingkan kontrol, sehingga warna yang dihasilkan cenderung
lebih gelap dibandingkan kontrol.Nilai a* pada fiksator kapur tohor memberikan arah
warna merah cenderung lebih gelap dibandingkan kontrol, sedangkan nilai b* pada
fiksator kapur tohor memberikan arah warna kuning menjadi berkurang, sehingga
kecenderungan warnanya menjadi lebih gelap sesuai dengan nilai L* yang menurun.
Hal ini diperkuat dengan penelitian Hasanudin (2001) yang dilakukan di Balai Besar
dan Kerajinan Yogyakarta pada pewarna alami daun jati, kayu nangka, dan daun
mangga menggunakan bahan fiksator tawas memberikan warna coklat cerah atau
mendekati warna aslinya, kapur tohor mengarah pada warna coklat kemerahan dan
tunjung memberikan warna cenderung gelap atau coklat tua.
Tabel 1.Perbandingan perlakuan terbaik dengan kontrol (tanpa bahan fiksator).
Uji

Intensitas
Warna

Parameter

Nilai L*
Nilai a*

Perbandingan
Kapur tohor
15% (b/v)

Kontrol
(tanpa proses
fiksasi)

Keterangan
(perlakuan
yang lebih
baik)

40,2
19,55

56,5
18,4

Kapur tohor
Kapur tohor

212

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Ketahanan
Luntur

Nilai b*
Gosokan kering
Gosokan basah
Stainning
Scale
Grey
Scale

15,9
8
(Cukup)
21,5
(Jelek)
2,4
(Cukup baik)
2,4
(Cukup baik)

21
5,6
(Cukup baik)
7,2
(Cukup)
2,1
(Cukup baik)
8,5
(Jelek)

Kontrol
Kontrol
Kontrol
Sama
Kapur tohor

Pada Tabel 1 nilai ketahanan luntur warna terhadap gosokan kering maupun
gosokan basah pada fiksator kapur tohor menghasilkan nilai yang kurang bagus
dibandingkan kontrol. Pada nilai Stainning Scale (SS) perbandingan kapur tohor dengan
kontrol menghasilkan nilai cukup baik, namun pada nilai Grey Scale (GS) fiksator
kapur tohor menghasilkan nilai yang cukup baik dibandingkan kontrol. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Sulaiman dkk., (2000) bahwa adanya Ca2+ dari larutan kapur akan
menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada didalam
serat menjadi lebih besar, sehingga akan menyebabkan molekul zat pewarna alam akan
sukar keluar dari pori-pori serat dan akan memperkuat ketahanan luntur.
KESIMPULAN
Perbedaan bahan fiksator (tawas, kapur tohor, dan tunjung) memberikan pengaruh
nyata terhadap nilai intensitas warna (L*, a*, dan b*). Perbedaan konsentrasi fiksator
(10%, 15%, dan 20%) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai intensitas warna
(L*, a*, dan b*). Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian
menunjukkan bahwa ketahanan luntur warna terkuat sampai terlemah secara berurutan
pada fiksator kapur tohor, tawas dan tunjung yang ditunjukkan oleh nilai CD terendah
pada masing-masing bahan dan konsentrasi fiksator.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan
Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian Rumah Tangga 105 C06:2010.
Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan
Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan 0288-2008.
Bogoriani, N.W. 2010. Ektraksi Zat Warna Alami Campuran Biji Pinang, Daun Sirih,
Gambir, Dan Pengaruh Penambahan KMnO4 Terhadap Pewarnaan Kayu Jenis
Albasia. Skripsi.Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana. Bukit Jambaran.
Eko, R., Wijana, S., dan Dewanti, B.S.D. 2014. Pengaruh Bahan Fiksasi Terhadap
Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan
Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Skripsi.Teknologi Industri Pertanian.
Universitas Brawijaya Malang. Malang.
Fatkhin, K., Kusumaningsih, T., Asrilya, N. J., Wulandari, S., dan Wardani, D. R.T.
2015.Pengurangan Kadar Tanin Pada Ekstraksi Stevia Rebaudiana Dengan
Menggunakan Karbon Aktif. Jurnal Penelitian Kimia. Vol 11 (1). 81-89.
Handayani, P. A., dan Maulana, I. 2013. Pewarna Alami Batik Dari Kulit Soga Tingi
(Ceriops tagal) Dengan Metode Ekstraksi. Jurnal Pangan dan
Agroindustri.Vol 2 (2).1-6.

213

Prosiding Seminar Nasional FKPT-TPI 2017
Kendari, Sulawesi Tenggara, 20-21 September 2017

Hasanudin.2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya Pada
Produk Batik.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan
Batik.Yogyakarta.
Hucthing, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc. Maryland.
Isminingsih. 1987. Pengantar Kimia Zat Warna. STTT. Bandung.
Kechi, Abera., Chavan, R.B., dan Moeckel, Reinhart. 2013. Dye Yield, Color Strength
and Dyeing Properties of Natural Dyes Extracted from Ethiopian Dye Plants.
Textile and Light Industrial Science and Technology. 2(3). Germany
Kristijanto, A., dan Hertanto, S. 2013.Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan
Ketahanan Luntur Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau.
Jurnal MIPA 4(1).
Ratyaningrum, F. dan Giari N. 2005.Kriya Tekstil. Unesa University Press. Surabaya.
Ruwana, L. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses
Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu
Jati (Tectona grandis).Skripsi.Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Sachan, K., dan Kapoor, V.P. 2007. Optimalization of Extracting and Dyes on Textile.
Indian
Journal
of
Vibre
and
Textile
Research
34
: 384 - 399.
Samanta, A.K., dan Agaral,P. 2009. Application of Natural Dyes on Textile. Indian
Journal of Vibre and Textile Research, 34:384-399
Saxena, Sujata dan Raja, A.S.M. 2014.Natural Dyes: Sources, Chemistry, Aplication
and Sustainability Issues. Centrale Institute For Research on Cotton
Technology Mumbai. India
Sulaiman. 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Warna Alam Dengan Cara Pengerjaan
Iring. Laporan Kegiatan Penelitian. Balai Besar Kerajinan dan Batik.
Yogyakarta
Wilujeng, R.A. 2009. Ekstraksi Dan Karakterisasi Zat Warna Alami Dari Daun Mangga
(Mangifera indica LIIN) Serta Uji Potensinya Sebagai Pewarna
Tekstil.Skripsi.Universitas Negeri Malang. Malang.
Zelleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw-Hill Co. New York.

214

Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25