59856658 Cedera Medula Spinalis Non Progresif

Judul Text Book Reading
BAB 20. Cedera Medula Spinalis Non-Progresif

Cedera Medula Spinalis Non-progresif
Cedera dan penyakit yang melibatkan medula spinalis dapat menganggu
kehidupan penderita dan keluarganya. Sebab dalam waktu sekejap mampu
membuat suatu perbedaan dari penderita yang sebelumnya mandiri menjadi
tergantung pada orang lain dan peralatan mekanik untuk melakukan kegiatan
sehari-hari. Angka kejadian cedera medula spinalis (CMS) secara statistik masih
rendah dibandingkan dengan diagnosis penyakit lain, tetapi beban keuangan yang
dialami penderita sangat tinggi.
Terdapat kira-kira 247.000 orang di Amerika Serikat (AS) yang
mengalami CMS dan hampir 11.000 orang di AS atau setara dengan 40/1.000.000
orang didiagnosis setiap tahunnya dengan CMS. Kelompok tersebut termasuk
penderita dari semua golongan usia dan etnis. Trauma adalah penyebab tersering
dari CMS, walaupun banyak juga yang disebabkan oleh non-traumatik.
Data populasi CMS traumatik di AS dikumpulkan oleh the National
Spinal Cord Injury Database (NSCID) dan diproses oleh Nation Spinal Cord
Injury Statistical Center (NSCISC). Data tersebut diperoleh dari kasus lama dan
kasus baru oleh NSCID dan NSCISC.
Kecelakaan bermotor merupakan persentase terbesar penyebab CMS, yaitu

hampir setengah kasus CMS. Penyebab CMS lain termasuk jatuh, aksi kekerasan,
dan cedera olahraga. Proporsi cedera ditampilkan pada tabel 20-1. Meskipun
kejadian CMS karena penyebab primer relatif konstan selama 30 tahun terakhir,
namun ada beberapa perubahan penting dalam distribusi keseluruhan. Proporsi
CMS karena cedera olahraga telah berkurang, karena teknik olahraga yang lebih
baik, pelayanan kedaruratan, dan peningkatan alat pelindung diri. Seiring dengan

populasi usia lanjut di AS, persentase CMS karena jatuh meningkat. Dibawah usia
45 tahun, jatuh memimpin mekanisme cedera. Tindak kekerasan telah menurun
dari puncaknya 21% pada 1990-1992 tetapi masih proporsional lebih tinggi di
antara Afrika-Amerika dan Hispanik dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.

PATOLOGI
Defisit neurologis pada CMS terjadi karena adanya suatu kekuatan yang
menyebabkan kerusakan saraf pada medula spinalis. Kekuatan tersebut bisa
langsung maupun tidak langsung. Tekanan langsung dapat terjadi bila suatu benda
atau tonjolan tulang yang masuk langsung ke dalam kanalis spinal sehingga
menganggu beberapa saraf medula spinalis. Tekanan yang paling sering terjadi
adalah yang tidak langsung, misal adanya trauma fisik yang mengganggu
komponen saraf akibat kerusakan sekunder dari tempat cedera dan jaringan

sekitar.
Mekanisme cedera mempengaruhi tipe awal dari kerusakan mekanik spina,
medula spinalis, dan struktur disekitarnya. Fleksi atau hiperfleksi cedera terjadi
saat tekanan menyebabkan pergeseran anterior dari satu segmen spina dengan
yang lainnya (contoh; trauma pada bagian bawah tubuh dengan benda yang tidak
bergerak menyebabkan fleksi yang berat pada segmen tubuh yang lebih tinggi)
dan hasilnya adalah gangguan pada ligamen posterior, posterior intervertebral
disk herniation or tear, serta fraktur dan atau dislokasi corpus vertebra. Ekstensi
atau hiperekstensi terjadi saat tekanan langsung pada bagian posterior tubuh
(contoh; trauma pada bagian belakang tubuh dengan benda yang tidak bergerak)
dapat menyebabkan robekan pada ligamen anterior longitudinal, robekan atau
herniasi anterior dari intervertebral disk, dan fraktur elemen spina posterior
dengan kompresi dan atau subluksasi. Cedera fleksi dan ekstensi paling sering
terjadi karena spina bersifat sangat fleksible. Contohnya pada spina servikalis
yang mempunyai gerakan fleksi terbesar pada C5-6 dan ekstensi terbesar pada C45, sehingga membuat segmen tersebut paling sering cedera fleksi dan ekstensi.

Kompresi vertebra dengan tekanan vertikal yang kuat dari arah kranial
maupun kaudal atau keduanya, mampu menyebabkan burst satu atau lebih korpus
vertebra. Burst fracture menghasilkan suatu fragmen tulang yang mampu merusak
jaringan di sekitar dan sering melibatkan medula spinalis. Cedera rotasional

terjadi ketika satu bagian tubuh berputar kuat secara longitudinal pada bagian
tubuh lain yang stabil atau bergerak dengan arah yang berlawanan. Gerakan yang
berlawanan membuat suatu tekanan rotasional yang dapat menyebabkan tarikan
dan robekan pada jaringan saraf, robekan ligamen, dan fraktur vertebra.
Kerusakan primer medula spinalis diklasifikasikan sebagai benturan keras
(concussion)jika terdapat cedera yang disebabkan oleh aksi kekerasan atau benda
tajam sehingga terjadi kehilangan fungsi sementara. Perbedaannya, luka memar
(contusion)terjadi ketika permukaan medula spinalis dan pelapisnya tetap
utuhtetapi terdapat kehilangan jaringan saraf (subtansia nigra dan alba) dari
bagian tengah medula spinalis. Cedera dianggap suatu laserasi atau maserasi jika
glia terganggu dan terdapat suatu gangguan langsung pada jaringan medula
spinalis.
Kerusakan sekunder medula spinalis adalah kerusakan yang terjadi setelah
kerusakan struktural secara primer sehingga menimbulkan kerusakan yang lain.
Kerusakan sekunder terjadi ketika tempat lesi primer dan sekelilingnya menyebar
ke segmen spinal yang berada di atas atau di bawah lesi awal. Awalnya, terdapat
nekrosis pada akson yang rusak akibat trauma. Diikuti oleh cedera jaringan yang
progresif yang patofisiologinya belum dimengerti, namun sering kali dihubungkan
dengan respon vaskular dan sistem imun.
Perubahan aliran darah karena iskemik atau perdarahan menyebabkan

suatu kerusakan sel saraf lokal. Pada tempat cedera, perdarahan intraparenkim
mampu menyebabkan kerusakan jaringan dengan cepat karena terdapat stressor
pada pembuluh darah yang berlokasi pada substansia nigra dan batas dari subtansi
alba. Pembuluh darah perifer medula spinalis relatif terhindari dari kerusakan dini,
sebagimana greater compliance pada substansi alba. Kerusakan mikrovaskular
dari substansi nigra menyebabkan kehilangan aliran darah ke medula spinalis dan
gangguan autoregulasi. Iskemik pada regio tersebut juga dapat menyebabkan

edema vasogenik (secara sekunder mampu merusak sawar darah medula spinalis)
melalui tekanan langsung dari jaringan seikitar atau hasil dari vasospasme lokal.
Hal ini juga mampu memicu sel imun untuk merangsang respon
peradangan pascatraumatik yang berkontribusi pada patogenesis sekunder akut
dan kronik CMS. Perdarahan dan kerusakan pada sawar pembuluh darah medula
spinalis menyebabkan sel peradangan meinfiltrasi bagian medula spinalis yang
cedera, bermula pada jam pertama setelah cedera dan berlanjut selama beberapa
minggu. Sel tersebut dikaitkan dengan kematian neuron, demielinisasi, dan
perubahan lain pada substansi alba termasuk Wallerian degeneration. Kerusakan
lain juga dikatikan dengan perubahan kadar ion dan produksi radikal bebas pada
medula spinalis.
Beberapa aspek dari respon imun mungkin mempromosikan pemulihan

CMS. Respon imun yang bermanfaat mampu memulihkan debris selular dan
pelepasan faktor pertumbuhan saraf. Hal ini dan tindakan lainnya memiliki fungsi
neuroprotektif dan dapat meningkatkan regenerasi saraf.
Meskipun kekuatan destruktif mendominasi, beberapa jaringan saraf
medula spinalis dapat terhindar, terutama pada regio perifer. Jumlah jaringan saraf
yang sehat digabungkan dengan intervensi medis dini mampu mengurangi
kerusakan primer dan sekunder dan dapat meningkatkan derajat fungsi sensorik
dan motorik.
Trauma fisik merupakan penyebab primer CMS, akan tetapi terdapat juga
cedera lain yang dapat menyebabkan CMS. Berdasarkan laporan dari NSCID
tahun 1985-1995 terdapat 29% penderita mengalami fraktur dan 29% mengalami
penurunan kesadaran. Pneumotoraks traumatika atau hemotoraks terjadi sebanyak
18% kasus. Cedera otak berat juga menganggu fungsi kognitif dan emosi
sebanyak 11,5% pada penderita CMS.
Walaupun trauma adalah penyebab tersering CMS, terdapat patologi lain
yang dapat menyebabkan kerusakan medula spinalis. Penyebab non-traumatik
termasuk cedera atau penyakit yang mampu menimbulkan kerusakan komponen
saraf medula spinalis, seperti transverse myelitis dan sklerosis multipel. Medula
spinalis juga bisa dirusak oleh tekanan tumor, degenerasi spinal, atau distensi


intervertebral disk. Kerusakan pembuluh darah juga dapat menyebakan iskemi
atau perdarahan pada medula spinalis atau kolumna spinalis. Malformasi
kongenital spina atau kanalis spina, seperti spina bifida atau skoliosis berat
mampu menyebabkan kerusakan medula spinalis.
Cedera medula spinalis dijelaskan berdasarkan pola dan derajat fungsi
sensorik dan motorik yang tersisa setelah cedera. The International Standards for
Neurological Classification of Spinal Cord Injury mengatur klasifikasi CMS
secara internasional. Berdasarkan sistem tersebut, skeletal level mengarah pada
kerusakan vertebral terbesar pada medula

spinalis.

Neurological

level

didefinisikan sebagai segmen paling bawah dari medula spinalis yang memiliki
fungsi normal sensori dan motorik pada kedua bagian tubuh. Jika segmen yang
memiliki fungsi normal hanya pada satu bagian tubuh, maka dibagi menurut
fungsinya. Neurological level dideskripsikan sebagai R-sensory, L-sensory atau Rmotor, L-motor, dengan spinal level yang menyertai masing-masing hal tersebut.

Sensory level mengarah pada segmen paling bawah dari medula spinalis dengan
fungsi sensorik normal pada kedua sisi tubuh, sedangkan motor level hampir sama
hanya menggambarkan fungsi motorik normal. Motor level kadang dibagi menjadi
upper extremity motor scores (UEMS) dan lower extremity motor scores (LEMS),
dan sebaliknya pada sensory level.
Cedera medula spinalis tak sempurna adalah suatu keadaan hilangnya
sebagian fungsi normal sensorik dan motorik dari segmen sakralis terbawah.
Sedangkan CMS sempurna didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi normal
sensorik dan motorik.
SYOK SPINAL
Faktor utama yang berkontribusi terjadinya komplikasi pada CMS fase
akut

disebut

sebagai

fenomena

syok


spinal

(areflexia).

Syok

spinal

dikarakteristikkan sebagai hilang total dari kontrol sensorik, motorik, dan
autonom di bawah level lesi. Hal ini terjadi segera setelah cedera dan berakhir
dalam beberapa hari hingga minggu setelah cedera. Selama periode ini, terdapat

flaccid paralysis dari semua otot di bawah level lesi, termasuk otot polos dari
organ visceral.
Bila upper motor neuron (UMN) terlibat, maka penyembuhan syok spinal
ditandai dengan kembalinya refleks tendon dalam dan onset spastik pada otot
skeletal dan visceral. Namun, bila lower motor neuron (LMN) terlibat, maka otot
skeletal dan visceral kembali flaccid setelah penyembuhan syok spinal.
Karena syok spinal, banyak penderita CMS mengalami hipotonus dan

fleksibilitas yang baik dibawah level lesi pada pase akut, namun kemudian
berkembang menjadi hipertonus, spastik, dan kontraktur sebagai kemajuan
rehabilitasi dan syok spinal sembuh.
AUTONOMIC DYSREFLEXIA
Autonomic dyreflexia (AD; juga dikenal sebagai autonomic hyperreflexia)
adalah suatu keadaan serius atau mengancam nyawa yang disebabkan oleh
episode hipertensi yang tidak terkontrol pada penderita CMS atau di atas level T6.
AD terjadi setelah periode syok spinal, yaitu saat respon refleks dan autonomik
kembali. Survei pada CMS (1996-1998) menunjukkan bahwa 7,9% pasien
mengalami AD selama rehabilitasi. Pada pasien dengan tetraplagia sempurna,
insiden menjadi lebih tinggi yaitu 29%. Karena frekuensi dan bahayanya AD,
maka penting bagi dokter untuk mengetahui penderita CMS yang beresiko
terjadinya AD dan dapat menatalaksana dengan tepat apabila CMS terjadi.
AD merupakan hasil dari respon autonomik yang tidak terkontrol terhadap
rangsangan noxious dari internal maupun eksternal. Penyebab AD paling sering
adalah distensi vesika urinaria atau usus, walaupun terdapat penyebab lain, seperti
blocked catheter, bowel impaction, atau infeksi saluran kemih. Secara normal
Noxious stimulus

menyebabkan respons simpatetik yang berakibat terjadinya


vasokomntriksi dan meningkatkan tekanan darah. Pada penderita tanpa CMS,
tubuhnya mampu mengkompensasi fenomena ini dengan impuls penghambat
sehingga terjadi vasodilatasi dan normalisasi tekanan darah. CMS dapat
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi tubuh normal di bawah level
cedera, yang berakibat escalating BP. Jika tidak ditangani dengan segera,

peningkatan tekanan darah dapat merusak otak, ginjal, mata dan jantung yang
mengarah pada perdarahan subaraknoid, kejanga, perdarahan ginjal dan retina,
serta infark myokardial.
Terdapat periode aritmia jantung dan bradikardia akibat kompensasi
terhadap peningkatan tekanan darah. Penderita mungkin mengalami gelisah.
Semua tim pengobatan (khususnya penderita CMS dan keluarga) harus diajarkan
untuk mengenali gejala tersebut dan menganggap AD sebagai suatu kedaruratan
medik.
ULKUS DEKUBITUS
Ulkus dekubitus atau pressure ulcers adalah masalah tersering yang terjadi
setelah CMS atau merupakan penyebab utama pasien kembali dirawat di rumah
sakit. Ulkus dekubitus dikarakteristikkan sebagai ulserasi iskemik jaringan lunak
akibat tekanan yang lama.

Enam puluh hingga 80% penderita dengan CMS dapat mengalami ulkus
dekubitus selama masa hidupnya. Dan 30% penderita dapat mengalami lebih dari
satu ulkus. Hampir 30% penderita mengalami ulkus dekubitus pertama kali saat
dirawat di rumah sakit dan berlanjut selama hidupnya, dengan penelitian terhadap
populasi dengan CMS menunjukkan hampir 20% atau lebih mengalami ulkus
dekubitus pascacedera. Di Amerika Serikat, the Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) mengestimasi bahswa biaya perawatan CMS dengan ulkus
dekubitus per tahun adalah 1,2 milyar dolar. Biaya medis tersebut termasuk biaya
ekonomi, vokasional, sosial, dan psikologis terhadap penderita yang memerlukan
perawatan luka.
Faktor risiko ulkus dekubitus adalah kehilangan fungsi sensorik, tekanan
yang lama, immobilitas, shearing forces, maserasi kulit, dan nutrisi yang
inadekuat. Faktor tersebut dapat didukung oleh tindak kekerasan, obesitas,
merokok, higiene yang buruk, stresor psikososial, dan kepatuhan yang buruk
(misal; posisi tidur yang baik). Bagian tubuh dengan penonjolan tulang juga
berisiko untuk terjadi ulkus dekubitus, seperti regio sakrum, tumit, dan skapula

yang sering terjadi karena posisi berbaring terlalu lama. Atau penderita yang
sering duduk pada kursi roda juga dapat menyebabkan ulkus pada daerah iskia.
Pencegahan ulkus dekubitus melibatkan banya tim medis. Jika ulkus
dekubitus terjadi, maka intervensi dini seperti menjaga bagian tubuh yang terkena
tetap bersih dan merubah posisi tubuh sesering mungkin.Terapi fisik penunjang
dan perawatan luka juga dapat melengkapi proses penyembuhan. Terapi fisik
memiliki peranan untuk membantu mobilitas dan posisi yang mampu melindungi
kulit selama proses penyembuhan luka.

PEMERIKSAAN
RIWAYAT PASIEN
Riwayat pasien yang diperoleh dari rekam medis dan wawancara pasien
digunakan untuk membantu memandu pengujian dan pengukuran porsi
pemeriksaan. Untuk populasi cedera medula spinalis, rekam medis harus ditinjau
untuk informasi latar belakang, termasuk tetapi tidak terbatas pada demografi
pasien (umur, jenis kelamin, dan lain-lain) kondisi kesehatan sebelumnya dan
intervensi, riwayat perkembangan, dan riwayat keluarga. Hubungan yang spesifik
terhadap cedera yang sekarang harus meliputi kondisi medis yang secara langsung
dan tidak langsung terkait dengan cedera medula spinalis, pengobatan, dan
laboratorium klinis serta tes diagnostik lainnya. Hal ini penting untuk meninjau
riwayat medis dan pembedahan yang berhubungan dengan cedera medula spinalis
(mekanisme cedera, patah tulang, operasi stabilisasi, dan lain-lain) karena hal
tersebut akan mengindikasikan kemungkinan gangguan primer dan sekunder yang
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dan juga akan memperingatkan tindakan
pencegahan yang mungkin dibutuhkan untuk diobservasi.
Wawancara terhadap pasien dan keluarganya menghimpun informasi yang
mengarahkan terapis untuk mengembangkan ide mengenai gaya hidup pasien
sebelum terjadi cedera medula spinalis. Informasi yang diperoleh selama
wawancara harus mencakup lingkungan tempat tinggal, tingkat fungsional
sebelumnya, tingkat pendidikan, keadaan sekolah dan/atau pekerjaan, kebiasaan
sosial,

kebiasaan

kesehatan

sebelumnya,

hobi/kesenangan,

karakteristik

kepribadian secara umum, dan tujuan hidup. Informasi ini akan menjadi petunjuk

untuk evaluasi, intervensi, dan perencanaan pulang. Pasien juga harus dinilai
untuk memahami kondisi mereka saat ini dan prognosis medis yang terkait.
Bagian akhir dari wawancara pasien adalah diskusi mengenai tujuan pasien dan
hasil yang diharapkan untuk rehabilitasi dan peran yang mereka harapkan atas
terapi untuk kesembuhan mereka. Terapis harus jelas mengenai apa yang pasien
harapkan dari terapi, terapi apa yang diharapkan oleh pasien, dan bagaimana
fungsi tim rehabilitasi interdisiplin.
TINJAUAN SISTEM
Tinjauan sistem digunakan untuk menargetkan daerah-daerah yang membutuhkan
pemerikasaan lebih lanjut dan untuk menentukan daerah yang dapat menyebabkan
komunikasi atau mengindikasikan suatu pencegahan selama pemeriksaan dan
proses intervensi.
Terapis fisik dapat membuat keputusan klinis yang lebih baik tentang
perawatan pasien, jika mereka mengerti pengaruh cedera medula spinalis pada
fungsi tubuh. Selama peninjauan sistem, hal yang penting adalah mengenali
bagaimana perubahan fungsi sistem dapat mempengaruhi partisipasi individu
dalam proses rehabilitasi. Berikut adalah penjelasan dari pengaruh cedera medula
spinalis terhadap beberapa sistem tubuh.
Sistem Gastrointestinal
Saat terjadi cedera medula spinalis, komplikasi gastrointestinal jarang
terjadi dan jarang timbul keparahan dibandingkan komplikasi sistem lainnya,
tetapi bila terjadi dapat berbahaya dan memerlukan pertimbangan yang cermat.
Ileus (motilitas usus sangat menurun) dapat terjadi selama periode shock spinal,
dengan menghilangnya bising usus selama 24-72 jam setelah cedera. Perdarahan
gastrointestinal terjadi pada 3% sampai 5% pasien dengan cedera medula spinalis.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi akut dan cedera sekunder
di tempat cedera medula spinalis dapat meningkatkan resiko perdarahan
gastrointestinal. Profilaksis sering digunakan untuk mengurangi kejadian
perdarahan

gastrointestinal.

Komplikasi

perdarahan

gastrointestinal

yang

berhubungan dengan cedera medula spinalis meliputi peningkatan kejadian

penyakit batu empedu, penyakit esofagus, nyeri abdomen, distensi abdomen,
disrefleksi autonom yang terkait dengan traktus gastrointestinal, dilatasi lambung
(dengan atau tanpa keterlibatan ileus) dan sindrom arteri mesentrika.
Cedera medula spinalis juga dapat mengganggu motilitas normal dan
pengosongan usus besar. Pasien dengan perubahan fungsi usus sekunder akibat
cedera medula spinalis di deskripsikan sebagai usus neurogenik. Efek cedera
medula spinalis pada fungsi usus besar dan anorektal bergantung pada tingkat
cedera. Terdapat dua pola disfungsi secara umum. Cedera medula spinalis
lengkap/total diatas segmen medula spinalis sakralis menyebabkan UMN atau
refleksik usus dimana sfingter anal eksternus relaksasi. Dengan kondisi ini,
koneksi saraf secara utuh pada dinding usus besar (dari regio medula spinalis yang
lebih tinggi) memungkinkan untuk refleks mendorong feses. Kombinasi dorongan
yang utuh tanpa disertai relaksasi sfingter menghasilkan retensi feses dan dapat
menyebabkan beberapa gangguan gastrointestinal lainnya. Cedera medula spinalis
lengkap/total pada segmen sakralis (atau cauda equina) menyebabkan LMN atau
arefleksive usus. Dengan kondisi ini, peristaltik menurun dan denervasi tonus
sfingter rendah. Kombinasi ini menghasilkan pergerakan feses yang lambat dan
meningkatkan resiko inkontinensia feses sekunder akibat sfingter hipotonus.
Intervensi primer yang digunakan untuk mengendalikan disfungsi usus
neurogenik adalah program usus reguler yang dimulai sejak masuk rumah sakit.
Program tersebut selalu meliputi diet dan manajemen cairan dan pengosongan
usus dijadwalkan secara rutin. Pengosongan dapat dibantu atau dikendalikan
dengan stimulasi kimiawi atau mekanik, posisi, obat-obatan, atau perangkat
eliminasi. Tujuan dari program usus tersebut adalah untuk mencegah usus yang
terjepit atau gerakan usus yang tidak diinginkan. Program usus ini harus
dilanjutkan seumur hidup atau sampai ada perbaikan neurologis fungsi usus.
Penatalaksanaan Kandung Kemih
Menetapkan metode pengosongan kandung kemih secara konsisten dan
efektif adalah salah satu dari tindakan rutinitas pertama yang dibutuhkan untuk
dikembangkan setelah cedera medula spinalis. Kegagalan pengosongan kandung
kemih secara teratur dan lengkap dapat menyebabkan infeksi saluran kemih

(komplikasi terbanyak diantara korban cedera medula spinalis), disfungsi ginjal,
batu ginjal, dan gangguan genitourinari lainnya.
Gangguan yang berhubungan dengan fungsi kandung kemih memiliki pola yang
sama seperti fungsi usus yang telah disebutkan sebelumnya. Lesi cedera medula
spinalis di atas conus medularis (cedera UMN) akan menyebabkan kandung
kemih neurogenik refleksif, dengan kemungkinan spastisitas, kesulitan berkemih,
hipertrofi otot detrusor dan refluks uretra. Lesi dibawah conus medularis (cedera
LMN) menyebabkan kandung kemih nonrefleksif yang ditandai dengan flaksiditas
dengan penurunan tonus otot sfingter dan ketidakmampuan pengosongan secara
spontan.
Pemeriksaan fungsi kandung kemih setelah cedera medula spinalis
meliputi beragam test, yang secara umum diperintahkan atau dilakukan oleh
urologis untuk menentukan pola dan tingkat masalah pengendalian kandung
kemih. Tes tersebut meliputi scans ginjal ultrasound, urinalisis, pielogram
intravena (IVPs), test urodinamik, dan berbagai macam scan kandung kemih
(misal, cystourethrograms dan cystoscopy). Setelah fungsi kandung kemih
dievaluasi,

program

penatalaksanaan

kandung

kemih

dengan

tujuan

mengosongkan secara efektif, minimalisasi risiko infeksi, dan mencegah
inkontinensia diantara berkemih perlu dilakukan.
Intervensi utama untuk penatalaksanaan kandung kemih pada fase akut
cedera medula spinalis (selama periode shock spinal) adalah kateterisasi (baik
yang menetap atau intermiten). Selama fase rehabilitasi cedera medula spinalis,
intervensi untuk kandung kemih refleksif (UMN) meliputi waktu berkemih
dengan stimulasi manual (menekan pada area suprapubik, dan lain-lain), waktu
berkemih refleksif, dan kateterisasi intermiten yang secara bertahap akan
meningkatkan interval berkemih. Pada beberapa kasus, kateter menetap jangka
panjang dapat digunakan. Kandung kemih nonrefleksive (LMN) dapat di
tatalaksana dengan kateter intermiten dan/atau dengan teknik seperti manuver
Valsalva (menciptakan tekanan intraabdomen yang tinggi) dan metode Crede
(pemijatan secara tidak langsung pada area kandung kemih) untuk membantu
pengosongan. Untuk kedua lesi UMN dan LMN, obat dapat digunakan untuk

membantu mengendalikan kandung kemih atau tonus sfingter dan membantu
dengan pelatihan kandung kemih.

Perubahan Pada Kepadatan Tulang dan Pembentukan Tulang
Perubahan utama pada metabolisme tulang yaitu dimulai dalam beberapa
hari setelah cedera medula spinalis yang menyebabkan penurunan tetap densitas
mineral tulang (BMD). Kehilangan mineral tulang akan memicu osteoporosis dan
meningkatkan risiko fraktur. Mekanisme pasti dari fenomena ini belum diketahui,
tapi mungkin berhubungan dengan neurologis, sistem sirkulasi, dan/atau
perubahan hormonal, kombinasi dari efek imobilisasi setelah terjadi cedera. Hal
yang diketahui adalah terdapat kehilangan BMD secara signifikan pada banyak
area tubuh dibawah tingkat cedera medula spinalis dengan kehilangan BMD yang
lebih hebat pada trabekular daripada tulang kortikal. Hasil dari sebuah studi
komprehensive menyatakan bahwa BMD pada LEs berkurang sampai 22% dalam
3 bulan setelah cedera medula spinalis total dan sekitar 32% dalam 14 bulan
setelah cedera. Garland dkk memeriksa BMD pada populasi yang merupakan
pasien cedera medula spinalis dengan fraktur lutut (tempat fraktur terbanyak pada
cedera medula spinalis kronik) dan menemukan bahwa individu yang mempunayi
BMD hanya 49% dari sebuah analog dapat bertubuh kelompok kontrol.
Penelitian yang berhubungan dengan pencegahan kehilangan mineral
tulang pada pasien dengan cedera medula spinalis telah menemukan berbagai
hasil. Beberapa studi melaporkan penurunan tingkat kehilangan mineral tulang
dengan aktivitas seperti berdiri, cara berjalan yang dibantu atau stimulasi elektrik
yang diinduksi bersepeda. Studi lain tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara

aktivitas

tersebut

dengan

perubahan

BMD.

Teknologi

terbaru

memungkinkan pengukuran BMD yang lebih efektif dan kurang invasive yang
seharusnya mambantu usaha untuk menemukan teknik untuk minimalisasi
kehilangan mineral tulang setelah cedera.

Osifikasi heterotipik (HO) neurogenik didefinisikan sebagai pertumbuhan
tulang abnormal dalam jaringan extraartikular. Osifikasi heterotipik yang
progresif menyebabkan keterbatasan gerakan otot dan sendi yang parah.
Walaupun patofisiologi HO yang pasti belum diketahui dengan baik, secara umum
dianggap bahwa mikrotrauma dan stres mekanik pada musculotendinous
apparatus menginduksi osifikasi secara langsung dengan melepaskan osteoblaststimulating factors atau secara tidak langsung dengan adanya respon inflamasi
lokal.
HO pada umumnya terjadi pada sendi distal pada cedera medula spinalis
dan paling sering terjadi pada pinggul dan lutut. Pada beberapa kasus yang hebat,
HO menyebabkan keterbatasan yang cukup parah sampai keterbatasan gerak,
komplikasi higienitas, dan predisposisi untuk individu mengalami ulkus. HO telah
dilaporkan terjadi pada 16%-53% individu dengan cedera medula spinalis baru.
Individu dengan cedera medula spinalis total, dengan spastisitas hebat, dan
dengan ulkus karena tekanan memiliki risiko yang besar untuk mengalami HO.
HO biasanya berkembang dalam 6 bulan pertama setelah cedera dan stabil dalam
18-24 bulan setelah serangan.
Intervensi untuk HO meliputi pengobatan profilaksis dan mobilisasi otot
dan sendi secara gentle. Hati-hati pada range of motion (ROM) pasif dan latihan
mobilisasi sendi untuk mencegah pemendekan jaringan harus diperhatikan dan
dilakukan segera setelah pasien stabil dan seharusnya dilakukan secara konsisten
selama rehabilitasi. Penundaan aktivitas ROM meningkatkan risiko terhadap
jaringan yang memendek akan trauma oleh aktivitas ROM selanjutnya dan latihan
ROM secara agresif yang dimulai pada saat tersebut akan menimbulkan
mikrotrauma dan pembentukan HO. Pada beberapa kasus HO yang hebat,
pembedahan mungkin diindikasikan untuk membuang kelebihan tulang dan
mencoba untuk mendapatkan kembali gerakan sendi yang dibutuhkan untuk
pergerakan fungsional.
Pertimbangan Pernapasan

Individu dengan cedera medula spinalis berisiko untuk mengalami
komplikasi pernapasan. Pneumonia adalah penyebab pemicu kematian untuk
semua individu dengan cedera medula spinalis dan emboli pulmonal adalah
penyebab kematian kedua dalam satu tahun pertama setelah cedera. Dalam waktu
satu tahun setelah cedera, individu dengan cedera medula spinalis memiliki
kemungkinan 80 kali lipat unutk mengalami pneumonia atau influenza daripada
orang lain pada populasi umum. Risiko tetap meningkat dibandingkan populasi
umum mengenai sisa waktu hidup bagi individu yang menggunakan bantuan
ventilator. Setelah rehabilitasi lengkap, jika stabil, pernapasan tanpa bantuan
tercapai, tingkat kematian terkait dengan pendekatan norma pada populasi dengan
penyakit pernapasan. Insiden komplikasi paru juga ditemukan secara langsung
berhubungan dengan usia (lebih tinggi pada usia yang lebih tua) dan dengan
tingkat dan kelengkapan cedera medula spinalis (lebih hebat dengan tingkat
cedera yang lebih tinggi dan dengan cedera total).
Untuk individu dengan tetraplegi, kerja sistem pernapasan meningkat
karena beberapa faktor, diantaranya parese atau paralysis otot inspirasi,
berkurangnya gerakan dinding dada, parese atau paralysis otot ekspirasi,
perubahan posisi diafragma, perubahan postural, dan berkurangnya gerakan
fungsional. Bergantung pada tingkat cedera, juga terdapat kehilangan total atau
sebagian otot pernapasan secara primer dan sekunder.
Lesi medula spinalis total pada atau diatas C3 menyebabkan paralisis total
pada diafragma dan membutuhkan resusitasi segera dan bantuan ventilator
mekanik sepanjang hidup untuk bertahan hidup. Ventilator mekanik mungkin juga
dibutuhkan sementara atau dalam janka waktu lama untuk individu dengan acute
ascending edema pada cedera medula spinalis segmen cervical bawah, untuk
pasien dengan penyakit paru, atau untuk pasien dengan trauma pada paru atau
abdomen.
Untuk individu dengan cedera medula spinalis segmen cervical bawah atau
thoraks atas, cedera dapat menyebabkan paralisis total atau sebagian pada
diafragma, otot intercosta, dan otot abdomen. Hal ini dapat mengurangi aliran
inpirasi dan ekspirasi, volume tidal, dan kapasitas vital. Kelemahan otot-otot

inspirasi menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipoksemia, dan hiperkapnia,
sehingga membuat individu rentan mengalami atelektasis dan infeksi paru.
Dengan berkurangnya fungsi otot abdomen, bantalan untuk isi lapisan visceral
hilang, yang akan mengurangi sokongan diafragma dan menyebabkan posisi
istirahat diafragma menjadi ke bawah sehingga cenderung menurun dan
mengakibatkan penyimpangan dan penurunan yang nyata pada kapasitas inspirasi.
Perubahan dinamika pernapasan ini menyebabkan pernapasan paradoxical,
dimana abdomen terangkat naik serta dada tertarik masuk saat inspirasi dan
abdomen turun serta dada mengembang saat ekspirasi. Perubahan pola pernapasan
ini menyebabkan pendataran pada dinding dada bagian atas, pengembangan
dinding abdomen, dan pada akhirnya perubahan muskuloskeletal pada tulang
belakang. Volume ekspirasi pasif menurun pada individu tersebut karena
hilangnya elastic recoil dari tonus rendah dinding abdomen dan ekspirasi paksa
terbatas karena hilangnya fungsi otot-otot intercosta dan abdomen. Dapat juga
terjadi paralisis atau batuk yang lemah, dengan berkurangnya kemampuan untuk
mengeluarkan sekret dan meningkatkan risiko infeksi paru.
Dalam beberapa bulan setelah cedera terjadi, kekuatan dan mobilitas
meningkat, kapasitas vital meningkat pada pasien dengan diafragma yang utuh.
Kapasitas vital dapat dibantu dengan memberi sokongan pada dinding abdomen
dengan alat eksternal (misal, pengikat abdomen) atau dengan mengembangkan
spastisitas ringan tulang belakang. Bagaimanapun juga spastisitas thorak yang
hebat dapat menurunkan compliance dinding dada dan meningkatkan kerja
pernapasan.
Intervensi

heterotopic

ossification

(HO)

melibatkan

pengobatan,

pencegahan, dan mobilisasi otot dan sendi. Latihan ROM pasif dan mobilisasi
persendian berguna mencegah terjadinya pemendekan jaringan pada pasien
immobilisasi dan hal ini dilakukan selama proses rehabilitasi. Penundaan waktu
aktivitas ROM dapat meningkatkan resiko pemendekan jaringan oleh keadaan
imobilisasi. Jaringan tersebut akan terluka oleh latihan ROM secara agresif pada
waktu berikutnya yang memicu terjadinya mikrotrauma dan pembentukan HO.
Pada kasus HO yang berat, pembedahan diindikasikan untuk memindahkan

kelebihan tulang dan mencoba untuk mendapatkan kembali pergerakan sendi
untukfungsi mobilisasi.
Pertimbangan pernapasan
Individu dengan gangguan medula spinalis adalah resiko terjadinya
komplikasi pernapasan. Pneumonia adalah penyebab kematian penderitaCMS dan
emboli paru sebagai faktor pencetus kedua dari kematian pada tahun pertama
setelah cedera. Dalam tahun pertama setelah cedera, penderita CMS lebih dari 80
kali lebih sering meninggal dengan pnuemonia atau influenza dibandingkan
penyakit lain pada populasi umum. Risiko-risiko ini meningkat dibandingkan
dengan populasi yang menggunakan bantuan ventilator. Setelah rehabilitasi, jika
tetap maka angka kematian akan tergantung pada penyakit pernapasan yang akan
dideritanya. Angka kejadian dari komplikasi pernapasan diemukan juga
berhubungan dengan usia (lebih tinggi terjadi pada usia lebih tua) dan dengan
tingkat dari CMS.
Pada individu dengan tetraplegi, kerja pernapasan meningkat karena
beberapa faktor meliputi parese dan atau paralisis otot-otot pernapasan, penurunan
mobilitas dinding dada, parese atau paralisi otot-otot ekspirasi, perubahan posisi
diafragma, perubahan postural, dan penurunan mobilisasi fungsional. Tergantung
pada tingkat perlukaan sehingga terdapat total atau sebagian hilangnya kerja otototot pernapasan primer dan sekunder (tabel 20-2).
Lesi total pada medula spinalis pada atau diatas C3 menyebabkan paralisis
total dari diafragma dan dibutuhkan segera resusitasi dan ventilator mekanik
untuk memperpanjang hidup. Ventilasi mekanik juga disediakan untuk sementara
atau waktu yang panjang pada individu dengan kenaikan edema akut pada CMS
cervikal yang lebih bawah, pada pasien dengan riwayat penyakit paru, atau pada
pasien dengan trauma langsung pada paru atau abdomen.

Tabel 20-2.

Inervasi Otot Pernapasan

Otot-otot
INSPIRASI

Tingkat inervasi

Diafragma

C3, C4, C5

Intercosta eksterna

T1-T2

Sternokleidomastoidea

Saraf Kranial 11

Scalenes

C1, C2

Otot-otot

aksesorius:

Trapezius,

pektoralis minor, seratus anterior
EKSPIRASI
Intercosta interna

T1-T2

Abdominalis

T7-L1

Pada individu dengan CMS servikal bawah dan thorakal atas, cedera akan
menyebabkan paralisis total atau sebagian dari diafragma, interkosta, dan otot-otot
abdomen. Hal ini dapat menurunkan aliran udara ekspirasi dan inspirasi, volume
tidal, dan kapasital vital paru. Kelemahan otot-otot inspirasi menyebabkan
hipoventilasi alvoli, hipoksemia, dan hiperkapnia, yang membuat individu
cenderung untuk terjadi atelektaksis dan infeksi paru. Pada penurunan fungsi otototot abdomen, maka akan hilang kekuatan diafragma untuk kontraksi mendatar
sehingga terjadi penurunan kapasitas inspirasi. Perubahan ini akan menghasilkan
paradoxical breathing, yaitu abdomen naik dan dada terdorong pada saat inspirasi
serta abdomen turun dan dada mengembang pada saat ekspirasi. Perubahan pola

ini menyebabkan pendataran pada dada atas, pengembangan dinding abdomen,
dan akhirnya perubahan muskuloskeletal pada tubuh. Volume ekspirasi pasif
menurun pada beberapa individu karena kehilangan elastisitas dan tonus dinding
abdomen, dan kekuatan ekspirasi menjadi berkurang akibat hilangnya fungsi otot
intercosta dan abdomen. Adapun terdapat paralisis atau batuk lemah, yang mana
kurangnya kemampuan untuk mengeluarkan sekret dan meningkatkan resiko
infeksi pulmonal.
Dalam beberapa bulan setelah cedera, sebagai kekuatan dan peningkatan
mobilitas, kapasitas vital seharusnya meningkat pada pasien dengan diafragma
yang utuh. Kapasitas vital juga dapat dibantu dengan penyediaan alat bantu pada
dinding abdomen dengan alat eksternal (contoh: pengikat abdomen) atau dengan
pengembangan mild trunk spasticity yang dapat menurunkan keluhan dinding
dada dan meningkatkan kerja pernapasan.
Kardiovaskular
Tiga kondisi mayor kardiovaskular akut berhubungan dengan CMS.
Disrefleksi autonom dan emboli paru telah disebutkan sebelumnya. Deep vein
thrombosis (DVT) adalah komplikasi ketiga yang harus diperhatikan terutama
sejak awal manajemen setelah luka.
Faktor yang berpengaruh untuk DVT pada populasi CMS meliputi
penurunan fungsi mobilisasi dan hilangnya inervasi simpatetik. Kombinasi ini
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah. Kegagalan menyadari dan
mengobati DVT dapat menyebabkan emboli paru dan kematian. Green et al
menyebutkan dalam riwayat rehabilitasi 243 pasien CMS ditemukan bahwa
tromboemboli lebih banyak berkembang pada pasien usia lanjut, kegemukan, dan
yang memiliki paralisis atau kanker. Gejala klinis DVT dapat ditemukan edema,
panas, atau kemerahan pada ekstremitas yang terkena, nyeri pada betis dengan
penegangan otot, dan demam. Karena gejala klinisnya memiliki sensitivitas dan
spesivisitas yang rendah terhadap DVT, maka skrining medis dapat diindikasikan
untuk pasien CMS. DVT aktif diterapi dengan pengobatan aintikoagulan dan
adakalanya dengan bedah pemindahan vaskular. DVT and emboli paru harus

sangat diperhatikan selama terapi CMS akut (dalam 7-10 hari setelah cedera) dan
memiliki angka kejadian yang rendah pada CMS kronik (kurang dari 1% per
tahun setelah perlukaan).
Terdapat pertentangan fakta tentang efek CMS terhadap risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, dan penyakit
jantung koroner. Pertanyaan muncul tentang berapa banyak yang telah diobservasi
tentang perubahan kardiovaskular secara langsung yang berhubungan dengan
perubahan metabolik dan sistemik yang dihasilkan dari CMS dan atau seberapa
banyak hal-hal tersebut berhubungan dengan perubahan gaya hidup dan tingkat
aktivitas setelah perlukaan. Contohnya, pada individu dengan paraplegi, total
kolesterol, LDL, dan trigliserid yang mana kesemuanya ditemukan lebih tinggi
hampir pada semua orang yang tertekan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengidentifikasi hubungan antara CMS dan faktor risiko kardiovaskular dan
untuk mengembangkan panduan untuk meminimalkan risiko tersebut.
Fungsi seksual
Pertanyaan tentang fungsi seksual akan sering muncul pada laki-laki dan
perempuan dengan CMS selama proses rehabilitasi. Karena seksual adalah
masalah yang sensitif, beberapa pasien boleh melakukan pendekatan subjek
dengan peserta lain pada tim terapi yang memiliki kepercayaan terutama PI primer
mereka. Untuk alasan ini, Penting bagi pemberi terapi untuk memiliki dasar-dasar
bagaimana CMS mempengaruhi fungsi seksual dan kemampuan pencarian
informasi untuk menjawab pertanyaan langsung dari pasien. Semua pasien
seharusnya didorong untuk mencari terapi dan konseling untuk pemecahan
tentang masalah fungsi seksual.
Fungsi seksual laki-laki
Fungsi seksual laki-laki setelah CMS berubah sesuai dengan tingkat
lukanya. Fungsi sensori sering hilang atau terganggu setelah luka, menghasilkan
hilang atau berubahnya respon stimulus taktil. Fungsi ereksi dapat berubah pada
dua tingkat. Ereksi psikogenik (ereksi dihasilkan dari input sensori yang

menghasilkan emosi erotis) yang dimediasi oleh T10-T12. CMS pada atau di atas
tingkat ini akan menghasilkan hilangnya ereksi psikogenik, yang mana luka di
bawah tingkat ini tidak akan menghilangkan fungsi ereksi tersebut. Refleks ereksi
(ereksi yang tejadi tanpa sadar dan bukan hasil dari input ke otak) terjadi melalui
aktivasi saraf sensorik di S2-S4. Kebanyakan laki-laki dengan CMS memiliki
refleks ereksi jika tidak ada kerusakan langsung pada segmen spinal tersebut.
Pada beberapa kemampuan ereksi yang sering terjadi, kualitas, dan durasi
ereksi bisa ataupun tidak bisa untuk bersenggama. Untuk individu dengan
disfungsi ereksi sekunder dari CMS, terdapat beberapa pilihan intervensi untuk
meningkatkan fungsi seksualnya, meliputi terapi oral, injeksi, atau disisipkan pada
penis, penanaman penil, dan alat vakum dengan tegangan cincin. Psikiatrik dan
ahli urologi seharusnya mendiskusikan keuntungan dan kerugian dari macammacam terapi dengan individu yang mengalami gangguan tersebut.
Meskipun dengan kemampuan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual,
sebanyak 90% laki-laki dengan CMS tidak dapat ejakulasi selama bersenggama.
Masalah ini berhubungan dengan rangakaian sinergi dari otak untuk memicu
respon input sensorik, dari T10-T12 untuk emisi dan S2-S4 untuk ejakulasi, dapat
menjadi kekacauan fungsi ejakulasi, yang mana perubahan kontrol spinkter dari
sistem genitalurinaria

dalam produksi semen yang dikeluarkan lewat kandung

kemih lebih cepat dibandingkan melalui uretra. Meskipun ejakulasi dapat terjadi,
kematian dari sperma pada laki-laki dengan CMS adalah 20%.
Fungsi ejakulasi yang jelek dikombinasikan dengan kematian sperma yang
tinggi dan kosentrasi sperma yang rendah menyebabkan fertilitas yang sangat
rendah pada laki-laki dengan CMS. Oleh karena itu, sejumlah dari intervensi yang
dilakukan untuk membantu laki-laki dengan CMS dan untuk laki-laki yang telah
punya anak. Beberapa teknik meliputi stimulasi penil vibrator, rectal probe
ejaculation, dan penuaian semen. Beberapa teknik ini dikombinasikan dengan
inseminasi intrauteri atau fertilisasi in vitro untuk membantu terjadinya
kehamilan. Meskipun teknik-teknik ini sangat baik dalam peningkatan
keberhasilan kehamilan, namun teknik ini memerlukan biaya yang sangat mahal
dan waktu yang panjang serta stress pada pasangan tersebut.

Fungsi seksual wanita
Pengaruh pada fungsi seksual wanita dengan CMS lebih sedikit
dibandingkan laki-laki. Pada 60% lebih dari wanita, terdapat periode amenore
kira-kira selama 5 bulan setelah perlukaan. Meskipun melebihi periode
normalnya, tidak terdapat perubahan psikologis yang besar yang mengubah fungsi
reproduksi, perubahan yang buruk lainnya tidak terjadi.
CMS dapat mengurangi atau menghilangkan pelumasan sekunder vagina
sebagai ketidakmampuan respon input seksual dari otak untuk mencapai regio
sakral (hampir sama dengan efek pada psikogenik respon ereksi pada laki-laki).
Pelumasan dapat membantu untuk mengkompensasi masalah ini. Tergantung pada
tingkat dan kelengkapan CMS, hilangnya kontrol otot di regio genital dan
penurunan fungsi otot yang mengakibatkan kurangnya pergesekan selama
bersenggama. Perubahan pada posisi seksual dapat membantu meminimalkan efek
tersebut.
Hilangnya sensori dapat mengubah kepuasan orgasme setelah CMS. Pada
penelitian pada sistem bentuk CMS, 54 % dari wanita seksual aktif dilaporkan
mengalami orgasme.
Kehamilan masih mungkin pada wanita dengan sebuah tingkat perlukaan
spinal. Oleh karena itu, wanita dengan CMS penting untuk memperhatikan
tentang kontrasepsi sama halnya seperti wanita tidak dengan CMS. Jika seorang
wanita dengan CMS memilih untuk hamil, terdapat beberapa faktor yang
membawanya ke dalam kategori hamil risiko tinggi: yaitutekanan dari janin dapat
mengkomplikasi usus dan kandung kemih; kenaikan berat badan mempengaruhi
mobilisasi dan peningkatan risiko ulkus; peningkatan risiko infeksi saluran
urinaria; mengubah pola kekuatan otot; penurunan kapasitas pernapasan dari
penekanan janin pada diafragma; perubahan kardiovaskuler; dan perubahan
perasaan dan respon terhadap tenaga selama kontraksi. AD juga terjadi lebih
sering pada hampir setiap tingkat kehamilan. Meskipun faktor-faktor komplikasi
ini pada wanita dengan CMS dapat aman pada proses kelahiran anaknya dengan
panduan dari psikiatrik dan ahli kebidanan.

TES DAN PENGUKURAN
Riwayat pasien dan sistem pemeriksaan seharusnya dipandu oleh klinisi
dengan spesifik tes dan pengukurang tiap individu. Tujuan komponen ini dalam
pemeriksaan adalah untuk memberikan identifikasi yang lebih akurat dari
keluhan, mengidentifikasi keterbatasan daerah yang akan digunakan untuk tujuan
fungsi akhir, rencana intervensi, dan aspek rencana perawatan lainnya. Pada
bagian ini akan meringkas tes dan pengukuran yang sering digunakan pada
populasi dengan CMS. Ini berguna sebagai panduan umum untuk menentukan
aplikasi yang akan diberikan pada pasien.
Muskuloskeletal
Sikap badan/postur
Observasi posisi duduk seharusnya fokus pada kemampuan untuk tegak
melawan gravitasi, simetris, skapula posisi, penggunaan lengan untuk membantu
mempertahankan posisi tubuh, dan posisi dari tubuh dan pelvis. Ketidaksimetrisan
mengindikasikan perbedaan dari fungsi motorik kanan dan kiri. Asimetris juga
mengindikasikan perbedaan dari pendistribusian berat tubuh, meningkatkan resiko
gangguan kulit. Posisi skapula lebih awal mengindikasikan keseimbangan otot
dan kontrol pada daerah skapula. Penggunaan bantuan lengan dan atau
kemiringan yang ekstrem pada anterior dan posterior pelvik untuk memelihara
kontrol tubuh sebagai kompensasi yang sering mengindikasikan kontrol tubuh
yang jelek.
Karakteristik antropometer
Komposisi dan proporsi tubuh telah tercatat. Hubungan panjang tungkai
dan tubuh sangatlah penting, pada tungkai yang lebih panjang akan mendapat

keuntungan dari lebih panjangnya lengan dalam menutup rantai aktivitas lengan
tetapi juga akan meningkatkan kontrol untuk terapi kelemahan dan spastik.
Obesitas akan meningkatkan kerja ekstrimitas selama mobilisasi dan mengurangi
ROM dari pelvis dan pinggul untuk mobilisasi. Individu yang sangat kurus atau
yang mengalami kehilangan berat tubuh secara cepat selama masa perawatan
lebih memiliki kerentangan terhadap terjadinya ulkus.
Batas gerakan
Evaluasi total dari semua gerakan yang mungkin pada semua persendian
sangat penting dalam penilaian pasien dengan CMS karena ROM yang ekstrem
sering memiliki peran penting dalam kompensasi kekurangan kekuatan. Tes
standar genometer dianjurkan tetapi akan sulit dengan tindakan pencegahan,
kehadiran alat stabilisasi spinal, atau dengan pasien dengan ketidakmampuan
mentoleransi beberapa posisi tes yang standar. Variasi dari posisi tes yang standar
atau tatacara seharusnya tercatat.
Daya guna otot
Tes manual otot (MMT) ditunjukkan pada semua kelompok-kelompok
otot. The American Spinal Injury Association (ASIA) dan International Medical
Society of Paraplegi mengembangkan sebuah sistem pemeriksaan SCI yang
diketahui sebagai the International for Neurological Classification of SCI. ASIA
merekomendasikan tes kekuatan dirancang pada kelompok otot pada masingmasing 10 pasang myotomemenggunakan rangkaian rostral dan kaudal. Kekuatan
otot direkam menggunakan skala MMT 0-5. Skor-skor motorik ini dijumlahkan
untuk menentukan total skore motorik. Dokter juga melakukan tes untuk menilai
kekuatan otot pada spinkter ani dan mencatat hasilnya memiliki kontaksi atau
tidak pada pemeriksaan tersebut. Skor ini dikombinasikan dengan skor sensorik
dan informasi lain untuk membantu menentukan diagnosis dan prognosis pada
individu dengan CMS.
Karena orang-orang dengan kelemahan otot akan menggunakan otot lain
untuk melakukan suatu pergerakan yang mungkin, perabaan adalha penting dalam

tes otot pada penderita CMS. Karena sendi-sendi proksimal dan stabilisasi segmen
tubuh sering terganggu akibat kerusakan saraf, stabilisasi eksternal dari daerahdaerah proksimal dibutuhkan selama proses tes untuk menilai kekuatan pada
bagian distal secara akurat. Contohnya, pada seorang dengan tetraplegi tidak dapat
menahan kekuatan pada tes otot bisep kecuali trunkus eksternal membantu pasien
selama tes. Seperti pada pengukuran ROM, komplikasi dicegah dengan
penggunaan tes standar posisi. Penggunaan posisi alternatif seharusnya tercatat
dan menjaga konsistensi untuk pemeriksaan berikutnya.
Integritas dan mobilitas sendi
Integritas dan mobilitas sendi selalu dinilai dalam pemeriksaan sendi
menggunakan palpasi dan observasi, pergerakan aktif, dengan bantuan dan
pergerakan pasif. Karena peningkatan permintaan untuk lengan selama mobilisasi
pasien-pasien dengan CMS, integritas dari skapulotorak, bahu, siku, dan
pergelangan tangan adalah hal yang penting diperhatikan pada populasi tersebut.
Neuromuskular
Kognitif
Penilaian dasar kognitif, seperti Mini Mental State Examination (MMSE)
sering digunakan untuk menentukan potensi pasien untuk dilakukan rehabilitasi.
Karena hasil laporan NSCID bahwa hilangnya kesadaran pada 28,2% pasien
dengan SCI dan cedera kepala memberikan efek pada fungsi kognitif dan emosi
pada 11,5% kasus. Penting untuk menyadari tanda-tanda trauma cedera otak dan
kemungkinana yang dibutuhkan untuk tes neurologis.
Nyeri
Angka kejadian nyeri setalah CMS cukup bervariasi, tetapi nyeri akan
sangat mempengaruhi proses rehabilitasi, fungsi mobilitas, kualitas hidup, dan
psikologis penderita CMS. Pada suatu penelitian terhadap penderita CMS yang
mendapatkan penilaian kesehatan yang teratur. Budh et al menemukan bahwa
63,7% pasien dilaporkan mengalami nyeri, dengan 32,3% melaporkan bahwa

nyeri yang dirasakan cukup berat untuk memberikan efek negatif dari kualitas
hidup mereka. Sebuah survei pasien selama rehabilitasi memiliki hasil yang
hampir sama (79% dengan 37,9%

yang menggangu hidup mereka). Nyeri

biasanya tiimbul segera setelah cedera tetapi dapat juga timbul lama setelahnya.
Kuantitas dan kualitas nyeri setelah CMS sangat rumit karena metode
yang digunakan untuk mempelajari nyeri pada pasien CMS bermacam-macam,
secara luas diterima dengan metode pengklasifikasian nyeri setelah CMS. The
McMaster University Evidence-Based Practice Center mempelajari literatur untuk
melihat hubungan CMS dengan nyeri neuropatik dan menemukan 132 penelitian
yang mencari hubungan tersebut, 6 dari penelitian dengan randomized controlled
trials (RCTs), dan banyak yang kekurangan yang melaporkan keterbatasan
validitas penilaian mereka, relevansi, kecermatan, dan aplikasi klinisnya.
Neuromuskular
Kognitif
Skrining kognitif dasar, misalnya dengan Mini Mental State Examination
(MMSE), sering digunakan untuk menentukan kemampuan pasien selama
menjalani rehabilitasi. Karena laporan penyakit-penyakit medulla spinalis
nonprogresiv (NSCD) dengan penurunan kesadaran sebanyak 28,2% dari pasien
NSCD, dan 11,5% cedera kepala berdampak pada fungsi kognitif dan emosional,
maka penting untuk mengenali tanda-tanda trauma kepala dan kemungkinan
membutuhkan pemeriksaan neurologic lebih lanjut.
Nyeri
Insiden nyeri setelah CMSbermacam-macam, tapi nyeri bisa secara
signifikan berdampak pada proses rehabilitasi fungsi gerak, kualitas hidup dan
memperbaiki psikologisnya. Berdasarkan penelitian pasien CMS yang sedang
mengikuti penilaian kesehatan reguler, Budh dkk menemukan bahwa 63,7%
pasien dilaporkan mengalami nyeri, dengan 32,3% nyeri hebat yang cukup
menimbulkan dampak negatif pada kualitas hidup mereka. Sebuah survey
terhadap pasien-pasien selama menjalani rehabilitasi menunjukkan hasil yang

sama (79% dan 37%, berturut-turut). Nyeri biasanya muncul segera setelah cedera
tapi bisa juga muncul belakangan.
Penilaian kuantitas dan kualitas nyeri setelah CMSsulit karena metodemetode yang digunakan selama penelitian ini bermacam-macam dan karena bukan
satu, secara luas menerima atau mengesahkan metode pengklasifikasian nyeri
setelah CMS. The McMaster University Evidence-Based Practice Center
melakukan pencarian literatur secara luas mengenai hubungan CMS dengan nyeri
neuropatik, dan menemukan 132 studi yang sesuai dengan criteria pencarian
mereka, hanya 6 dari 132 dengan randomized con