Analisa Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Non Perokok dengan Uji Sakharin

(1)

PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN

Laporam Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

DISUSUN OLEH:

Arvionita Utami

NIM: 1112103000037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1437 H/ 2015 M


(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan

untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Oktober 2015


(3)

iii

Analisa Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Non Perokok Dengan Uji Sakharin

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh

Arvionita Utami

NIM: 1112103000037

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL dr.Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D NIP: 197701022005012007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/2015 M


(4)

iv

TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEROKOK DAN NON

PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN yang diajukan oleh Arvionita Utami

(NIM: 1112103000037), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada Oktober 2015. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Ciputat, 15 Oktober 2015

DEWAN PENGUJI Ketua Sidang

dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL

Pembimbing 1

dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL

Pembimbing 2

dr.Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D NIP: 197701022005012007

Penguji 1

dr. Devy Ariany, M.Biomed NIP: 197304052011012002

Penguji 2

dr. Fikri Mirza P, Sp.THT-KL

PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes NIP: 196508081988031002

Kaprodi PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT NIP: 197805072005011005


(5)

v

Puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah membeikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasullah SAW yang telah memberi teladan bagi penulis untuk menjalani kehidupan. Laporan penelitian ini terselesaikan karena adanya bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama penulis menjadi mahasiswa dari semester 1 hingga semester 6 yang telah memberi arahan bagi penulis selama menempuh pendidikan di PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. dr. Ahmad Zaki, Sp. OT, M. Epid selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dari awal tahun ini menjabat dan memberikan banyak inspirasi kepada banyak mahasiswa PSPD akan kecintaannya terhadap profesi dokter dan PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp. THT-KL selaku pembimbing 1 yang telah memberikan waktu dan tenaga untuk membantu penulis menyelesaikan penelitian ini

4. dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D selaku pembimbing 2 yang telah sabar mendengarkan keluh kesah saya selama bimbingan dan telah memberikan banyak masukkan hingga terselesaikannya laporan penelitian ini

5. dr. Fikry Mirza P, Sp.THT-KL dan dr. Devy Ariany, M. Biomed selaku penguji yang telah memberikan koreksi dan memudahkan terselesaikannya proses revisi

6. Mas Yasin dan Pak Masduki yang telah banyak membantu selama saya mempersiapkan alat pemeriksaan di gedung Clinical Skill Unit (CSU)


(6)

vi

banyak membuat penulis banyak belajar dari pengalamannya

9. UNO, teman-teman yang banyak membantu di waktu-waktu kritis penulis 10. Teman-teman sekontrakan Puri Laras 2

11. Putri Junita Sari, yang rela bolos kuliah untuk membantu mengambil data 12. Semua responden penelitian

13. BRAINS (PSPD 2012), calon teman sejawat yang sangat penulis sayangi. Terima kasih sudah menjadi keluarga bagi penulis selama pendidikan di PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

14. Sahabat-sahabat sejak SMP dan SMA, yang banyak mendukung dalam doa untuk terselesaikannya laporan penelitian ini

Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat bermanfaat untuk banyak pihak.

Ciputat, 15 Oktober 2015


(7)

vii

Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Non Perokok dengan Uji Sakharin

Latar belakang: Sistem transportasi mukosiliar (TMS) hidung merupakan sistem pertahanan primer saluran respirasi yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi. Fungsi abnormal dari sistem mukosiliar ditemukan pada perokok, yang nantinya berhubungan dengan terjadinya inflamasi dan infeksi di mukosa saluran respirasi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung antara perokok dan non perokok. Metode: Penelitian ini melibatkan 40 subjek penelitian yang terdiri dari 20 subjek perokok dan 20 subjek non perokok (kelompok kontrol). Pada subjek dilakukan wawancara untuk melihat kriteria inklusi dan kemudian dilakukan pemeriksaan fisik telinga, hidung, dan tenggorok. Setelah itu dilakukan nasoendoskopi untuk melihat kriteria eksklusi, jika tidak ditemukan kriteria eksklusi pada subjek kemudian dilakukan tes untuk menguji waktu TMS hidung dengan uji sakharin. Hasil: Terdapat perbedaan rerata waktu TMS hidung antara perokok dan non perokok sebesar 0,9 menit. perbedaan tersebut berupa pemanjangan waktu TMS pada perokok, tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar hidung yang bermakna antara kelompok perokok (5,89 ± 1,95 menit) dan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).

Kata kunci: perokok, waktu transportasi mukosiliar, uji sakharin

ABSTACT

Arvionita Utami. Medical Education Study Program. Analysis Of Nasal Mucociliary Transport Time Difference In Smokers And Non-Smokers

Background: Nasal mucociliary transport (NMT) system is the primary defense of respiratory tract that influence by many conditions. Abnormal function of mucociliary tansport found in smoker, later on related infalamation and infection event in the mucosa of respiratory tract. Objective: The main of this study is to know the difference of nasal mucociliary transport (NMT) time between smokers and non-smokers. Methods: The study involved 40 subjects consisted of 20 subjects were smokers and 20 non-smokers subjects (control group). The subjects was interviewed to see the inclusions criteria and then conducted a physical examination of ear, nose, and throat. After that, on the subjects conducted nasoendoscopy to see the exclusions criteria, if there are no exclusion criteria on the subjects then tested the NMT time with saccharin test. Results: There was difference between the mean of NMT time of smokers and non-smokers is 0,9 minutes. The difference in the form of lengthening the NMT time in smokers, but the difference was not statistically significant (p>0,05). Conclusions: There was no significant diferrence between the mean NMT time of smokers (5,89 ± 1,95 minutes) and non-smokers (4,99 ± 1,62 minutes) group.


(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Landasan Teori ... 5

2.1.1 Anatomi Hidung ... 5

2.1.1.1 Struktur Hidung ... 5

2.1.1.2 Pendarahan Hidung ... 7

2.1.2 Histologi Mukosa Hidung ... 7

2.1.2.1 Epitel ... 8

2.1.2.1.1 Struktur Silia ...8

2.1.2.1.2 Komponen Struktur: Dinein ... 9

2.1.2.1.3 Gerak Silia ... 10

2.1.2.2 Palut Lendir ... 10

2.1.2.3 Membran Basal ... 11

2.1.2.4 Lamina Propia ... 11

2.1.3 Sistem Transportasi Mukosiliar (TMS) ... 12

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi TMS ... 13

2.1.4.1 Kelainan Kongenital ... 13

2.1.4.2 Alergi dan Infeksi ... 14

2.1.4.3 Lingkungan ... 14

2.1.4.4 Fisiologis atau Fisik ... 15

2.1.4.5 Obat-obatan ... 15

2.1.4.6 Struktur Hidung ... 15

2.1.5 Kandungan Rokok ... 16

2.1.6 Indeks Merokok ... 16

2.1.6.1 Indeks Brinkman ... 17

2.1.6.2 Pack-Years of Smoking ... 17

2.1.6.3 Klasifikasi Proenca ... 17


(9)

ix

2.1.9 Uji Sakharin ... 19

2.2 Kerangka Teori ... 21

2.3 Kerangka Konsep ... 21

2.4 Definisi Operasional ... 22

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Desain Penelitian ... 24

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3 Sampel Penelitian ... 24

3.4 Alat dan Bahan ... 27

3.5 Cara Kerja Penelitian ... 28

3.6 Managemen Data ... 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil Penelitian ... 32

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 32

4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung... 33

4.2 Pembahasan ... 37

4.3 Aspek Keislaman ... 39

4.4 Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulam ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(10)

x

kartilago dan tulang ... 5

Gambar 2.2 Anatomi respirasi bagian atas dilihat dari medial pada potongan sagital ... 6

Gambar 2.3 Lapisan penyusun lapisan hidung ... 7

Gambar 2.4 Sel-sel penyusun mukosa respirasi, m sel kolumnar dengan mikrovilli; s sel Goblet; t sel kolumnar bersilia; b sel basal; bm basal membran ... 7

Gambar 2.5 Potongan melintang silia yang menunjukkan struktur pembentuknya. A mikrotubul A; B mikrotubul B; C central sheath; H spoke head; I inner dynein arm; M membran siliar; N nexin link; Oouter dynein arm; P central pair of microtubules; S spoke ... 8

Gambar 2.6 Gerak silia. Silia tipis menunjukkan active stroke, sedangkan silia tebal (warna hitam) menunjukkan recovery stroke untuk memulai kembali siklus baru ... 9

Gambar 3.1 Pembimbing melakukan pemeriksaan telinga ... 24

Gambar 3.2 Pembimbing melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior ... 25

Gambar 3.3 Pembimbing melakukan nasoendoskopi pada subjek ... 25

Gambar 3.6 Peneliti mencatat hasil pemeriksaan ke dalam berkas medik subjek 26 Gambar 3.4 Sakharin padat yang diwarnai dengan methylene blue ... 26

Gambar 3.5 Pembimbing meletakkan sakharin ... 27

Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar Pada Perokok dan Non Perokok ... 34

Gambar 4.2 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman ... 35


(11)

xi

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian ... 32 Tabel 4.2 Waktu TMS hidung dan nilai distribusinya berdasarkan kelompok .... 33


(12)

(13)

xiii


(14)

1 1.1Latar Belakang

Kenyataan bahwa merokok masih menjadi masalah utama di berbagai penjuru dunia adalah benar adanya. Diperkirakan 1, 25 miliar orang dewasa di dunia adalah perokok, dan data internasional menemukan bahwa 20% anak usia sekolah saat ini adalah perokok. Di banyak negara industri di Amerika Utara dan Eropa Utara serta Barat telah terjadi penurunan jumlah pengguna produk tembakau, tetapi hal itu berbanding terbalik dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Tahun 1999, dilaporkan sebesar 80% perokok ada di negara berkembang. Hammond (2009) pun memprediksi bahwa dua dekade lagi laporan kematian akibat rokok 70% akan ada di negara berkembang, termasuk Indonesia.1-5

Tingginya jumlah perokok di negara berkembang juga dipengaruhi oleh perkembangan sektor industri rokok. WHO (World Health Organization) tahun 2013 dalam WHO report global tobacco epidemic, menyatakan bahwa target industri rokok adalah negara berpenghasilan rendah - sedang, dan Indonesia adalah satu target marketnya. Indonesia menjadi bukti target industri rokok yang berhasil. Berdasarkan data Riskesdas, terjadi lonjakan jumlah perokok usia 15 tahun ke atas dari 34,2% menjadi 36,3%, sebesar 64,9% laki-laki dan 2,1% adalah perempuan, dengan rerata jumlah batang rokok perhari adalah 12,3 batang.6 Kondisi tersebut memprihatinkan mengingat status kesehatan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dengan riwayat alokasi APBN kesehatan tidak pernah mencapai angka 5% hingga tahun 2015 sekarang.7

Beberapa studi penelitian telah membuktikan bahwa rokok adalah faktor risiko berbagai penyakit mematikan. Meskipun peringatan tentang bahaya rokok bagi kesehatan sudah tercetak di setiap bungkus rokok yang beredar di Indonesia, akan tetapi jumlah perokok masih sangat tinggi. Selain itu tidak adanya larangan iklan rokok di televisi dan radio menjadi faktor penting masih


(15)

tingginya jumlah perokok. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya perokok di Indonesia adalah rendahnya tingkat pendidikan.8

Rokok mengandung lebih dari 5000 bahan kimia dengan lebih dari 600 diantaranya adalah bahan aditif dan 69 diantaranya adalah karsinogenik.9 Merokok merupakan penyebab berbagai penyakit tidak menular, seperti kanker primer, diabetes melitus, serta penyakit jantung dan paru kronik, dan terhitung 63% penyebab kematian di dunia.8 Sebuah studi menyatakan bahwa 87-90% kanker paru disebabkan oleh rokok, dengan mortalitas penderita kanker paru dengan merokok meningkat hingga 22 kali dibanding yang tidak merokok. Penyakit lain yang berhubungan erat dengan rokok adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan dilaporkan bahwa penyebab utama PPOK di Amerika adalah rokok.10

Dari beberapa penyakit diatas, sudah terbukti bahwa erat sekali efek rokok pada kesehatan sistem respirasi. Salah satu yang menarik minat peneliti adalah hubungan antara efek rokok dengan sistem transportasi mukosiliar (TMS) hidung. Mekanisme TMS ini berfungsi untuk pertahanan sistem respirasi bagian atas maupun bagian bawah dengan cara membentuk gelombang sapuan pada benda-benda asing seperti debu dan bahkan mikroorganisme yang terperangkap di palut lendir.11 Sebelumnya telah dilakukan beberapa penelitian di negara Barat tentang topik ini. Salah satunya penelitian oleh Stanley dkk (1986) di London, menyimpulkan bahwa ada perbedaan bermakna antara waktu TMS merokok dibanding dengan non-perokok. Dalam studinya, rerata waktu TMS pada 29 perokok adalah 20,9 menit dengan salah satunya lebih dari 60 menit yang signifikan berbeda (p<0,0001) dibanding rata-rata waktu TMS non-perokok sebesar 11,1 menit.12 Di Indonesia pun sudah dilakukan penelitian ini oleh Dermawan R (2010) dengan hasil ada pemanjangan waktu TMS pada perokok.13 Penelitian lain dilakukan oleh Proenca (2012) di India dan ditemukan pemanjangan waktu TMS pada kelompok perokok.14 Maka dari itu, peneliti akan mencoba melakukan penelitian ulang dengan uji sakharin yang ditambahkan pewarna Methylene blue pada sakharin. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari subjektivitas


(16)

dari pasien. Penelitian ini lalu ditujukan untuk menganalisa hubungan antara merokok dengan pemanjangan waktu TMS.

1.2Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan non perokok?

1.3Hipotesis

Terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan non perokok.

Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan non perokok

1.3.2 Tujuan Khusus

- Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung antara non perokok dan perokok sesuai derajat merokoknya menurut klasifikasi Brinkman

- Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung antara non perokok dan perokok sesuai derajat merokoknya menurut klasifikasi Proenca et al

1.4Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

 Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran  Sebagai pengalaman awal untuk menjadi peneliti

b. Bagi masyarakat

 Memberikan informasi tentang bahaya merokok terhadap pertahan sistem pernapasan yaitu mekanisme transportasi mukosiliar


(17)

 Sebagai sumber referensi tentang hubungan merokok dengan sistem transportasi mukosiliar


(18)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Anatomi Hidung

2.1.1.1 Struktur Hidung

Hidung adalah tempat masuk primer udara untuk sistem respirasi. Secara anatomi dibagi menjadi bagian eksterna dan interna. Hidung eksterna atau luar (Gambar 1) merupakan bagian dari hidung yang terlihat dari luar dan berbentuk piramid, dibentuk oleh tulang dan kartilago hialin yang dilapisi otot, jaringan ikat, dan kulit. Kerangka tulang dibentuk oleh os nasal, os maxilla, dan os frontal. Sedangkan kerangka kartilago terdiri dari kartilago septum nasal tepi anterior, sepasang kartilago nasal lateral superior yaitu di inferior os nasal, dan sepasang kartilago nasal lateral inferior atau disebut juga kartilago alar nasalyang membentuk dinding lateral dari nostril (Gambar 1). Nostril disebut juga nares eksterna yang merupakan lubang hidung luar yang menjadi dasar bawah dari hidung luar.15-17


(19)

Hidung bagian interna atau dalam anteriornya dibatasi oleh hidung luar dan posteriornya dibatasi oleh nasofaring dengan melewati dua lubang hidung belakang disebut nares interna atau choanae.15,17

Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi dibawah alar nasi disebut vestibulum yang memiliki banyak rambut panjang (vibrise) dan kulit bagian luar yang banyak mengandung kelenjar sebasea.15-17

Terdapat 4 dinding di setiap kavum nasi yaitu 1) septum nasi di dinding medial; 2) konka di dinding lateral; 3) dasar rongga hidung yang dibentuk os maksila dan os palatum di dinding inferior; dan 4) atap hidung yang dibentuk oleh os sphenoid dan lamina kribriformis di dinding superior posterior dan anterior. Septum nasi dibentuk oleh kartilago hialin di anteriornya, sisanya dibentuk oleh vomer dan lapisan tulang os ethmoid, os maxillae, serta os palatine. Sedangkan di dinding lateral terdapat 3 konka, yaitu konka superior, medial, dan inferior.15-17 Disebutkan juga terdapat satu buah konka tambahan diatas konka superior yaitu konka suprema yang biasanya rudimenter. Di atap hidung, lamina krbriformis berasal dari lempeng os ethmoid yang berlubang-lubang (kribosa= saringan) sebagai tempat masuk serabut saraf olfaktorius.17


(20)

2.1.1.2 Pendarahan Hidung

Setiap dinding dan bagian hidung mendapatkan pendarahan dari berbagai percabangan arteri. Atap rongga hidung dipendarahi a.ethmoid anterior (cabang a.oftalmika) dan posterior (cabang a.karotis interna). Dasar rongga hidung mendapat pendarahan dari ujung a.palatina an a.sfenopalatina yang merupakan cabang dari a.maksila interna. Sedangkan bagian depan dipendarahi dari cabang-cabang a.fasialis. bagian lain, di bagian depan dinding medial yaitu septum terdapat pleksus Kiesselbach. Pleksus ini merupakan anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor.16

Selain arteri, terdapat vena yang berjalan seiringan dengan arteri dengan nama sesuai dengan arterinya. Muara aliran darah balik dari vestibulum dan hidung luar adalah v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.16

2.1.2 Histologi Mukosa Hidung

Mukosa hidung terbagi menjadi mukosa olfaktorius dan mukosa respiratoriu. Mukosa olfaktorius terletak di atap kavum nasi. Disini akan dibahas lebih lanjut tentang mukosa bagian respiratorius. Dari permukaan, mukosa hidung disusun oleh palut lendir, epitel, membran basal, dan bagian paling dalam yaitu tunika propria.


(21)

2.1.2.1 Epitel

Gambar 2.4. Sel-sel penyusun mukosa respirasi, m sel kolumnar dengan mikrovilli; s sel Goblet; t sel kolumnar bersilia; b sel basal; bm basal membran 19

Epitel hidung bagian respirasi terdiri dari 4 tipe sel yaitu 1) sel kolumnar (disebut juga silindris atau torak) berlapis semu bersilia, 2) sel kolumnar tidak bersilia dengan mikrovili disebut juga brush cell, 3) sel goblet, dan 4) sel basal (Gambar 3).Tetapi tidak semua bagian dilapisi oleh epitel silindris berlapis semu, pada vestibulum nasi pembetuk epitel kebanyakan adalah sel skuamosa dan tepat pada bagian belakangnya terdiri dari sel epitel transisional. Mitokondria sebagai sumber energi epitel kolumnar kebanyakan berada di apeks sel. Selain itu, terdapat sel goblet yang merupakan kelenjar sekretori tunggal yang memproduksi protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.19-22

2.1.2.1.1 Struktur silia

Silia meupakan bagian ramping yang menonjol dari epitel menyerupai rambut atau sikat. Terdapat 2 jenis silia yaitu silia motil dan non-motil. Silia non-motil merupakan silia primer yang mentransmisikan sinyal sendiri ke


(22)

bagian bawah sel. Sedangkan silia motil berperan penting dalam transportasi mukosiliar. Silia motil ini berada di permukaan apikal epitel. Satu buah epitel dapat memiliki silia 100-200 buah atau 6-8 silia/ μm2 dengan panjang sekitar 2-6 μm dan diameter 0,1-0,γ μm. Kavum nasi bagian inferior konka inferior 1 cm dari tepi nares depan memiliki kepadatan silia yang jarang yaitu sebanyak 10% dari total permukaan. Stuktur silia terdiri dari 2 mikrotubulus sentral dan 9 pasang mikrotubulus di luarnya. Setiap pasang mikrotubulus luar terkoneksi dan masing-masing membentuk spoke ke mikrotubulus sentral, kompleks 9 pasang + 2 mikrotubulus ini yang kemudian disebut aksonema. Bagian luar mikrotubul dan mikrotubul sentral dilapisi oleh membran. Gambar 4 menunjukkan secara lengkap struktur dalam silia. Setiap pasang mikrotubulus terdiri dari subfiber A dan B, A terdiri dari 13 protofilamen yaitu mikrotubulus komplit, sedangkan B hanya terdiri dari 10 protofilamen dan merupakan mikrotubulus inkomplit. Serat A menopang lengan dinein di dalam dan luarnya dengan aktivitas ATPase. Dinein merupakan protein yang berfungsi untuk pergeseran mikrotubulus.19-22

Gambar 2.5. Potongan melintang silia yang menunjukkan struktur pembentuknya. A mikrotubul A; B mikrotubul B; C central sheath; H spoke head; I inner dinein arm; M membran siliar; N nexin link;

Oouter dinein arm; P central pair of microtubules; S spoke19

2.1.2.1.2 Komponen Struktur: Dinein

Lengan dinein Chalmydomonas tersusun dari 3 heavy chains (α; ; dan ), 2 intermediete chains, 9 light chains, 3 docking complex protein, dan 2


(23)

associated proteins. Bagian yang berat adalah tempat hidrolisis ATP yang nantinya digunakan untuk motilitas silia.19

2.1.2.1.3 Gerak Silia

Seluruh proses gerak siliar dikenal dengan istilah ciliary beat cycle yang terdiri dari 2 komponen gerak (Gambar 5). Pertama yaitu active stroke atau effective stroke, gerakan cepat yang tiba-tiba untuk mendorong palut lendir (mucous blanket). Kedua yaitu recovery stroke, gerakan silia yang lebih lambat untuk kembali ke posisi awal. Perbandingan waktu gerak keduanya adalah 1:2-3. Gerak silia ini mempunyai pola seperti efek domino yaitu gerak yang berurutan seperti gelombang (methacronical waves). Keseluruhan gerak ini nantinya akan mendorong palut lendir untuk ke arah faring.19-20

Gambar 2.6. Gerak silia. Silia tipis menunjukkan active stroke, sedangkan silia tebal (warna hitam) menunjukkan recovery stroke untuk memulai kembali siklus baru19

2.1.2.2 Palut Lendir

Palut lendir (mucous blanket) adalah lapisan lendir yang merupakan gabungan produk dari sel goblet, kelenjar seromukosa, dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan superfisial dan lapisan perisiliar.20,26-28

Lapisan superfisial merupakan lapisan yang menyelubungi silia, bersifat adhesif, lengket (gel layer), dan nonhomogen. Lapisan ini tebal, mengandung air, karbohidrat, protein, dan lipid yang disekresi oleh sel Goblet dan kelenjar submukosa. Mukoglikoprotein disini berfungsi menangkap partikel asing


(24)

yang terinhalasi seperti debu, alergen, substansi toksik, virus, dan bakteri. Selain itu, lapisan ini melindungi dari suhu dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol, dan menginaktivasi virus yang terjebak.19-20,25-28

Lapisan lain yaitu lapisan perisilia, lapisan tipis yang menopang lapisan superfisial, sifatnya kurang lengket dan berkesinambungan. Cairan disini mengandung mukoglikoprotein, protein serum, protein sekresi yang berat molekulnya rendah. Sebagian besar struktur silia terendam di lapisan ini, sehingga lapisan ini berperan penting untuk pergerakan silia. Selain itu, denyutan silia juga terjadi di lapisan ini. Lapisan perisilia yang tebal akan menghambat gerak silia dan bahkan bisa menghambat ujung silia mencapai palut lapisan superfisial. Sehingga fungsi bersihan mukosiliar akan menurun. Sebaliknya jika lapisan ini dangkal, lapisan superfisial yang lengket akan masuk ke ruang perisiliar. Jadi ketinggian lapisan ini menentukan interaksi antara silia dan palut lendir yang berkaitan dalam bersihan dan transportasi mukosiliar.20,25-28

2.1.2.3 Membran basal

Membran basal merupakan lapisan ketiga dari mukosa hidung setelah palut lendir dan epitel. Lapisan ini terdiri dari membran tipis rangkap.23

2.1.2.4 Lamina propria

Lapisan di bawah membran basalis ini kaya akan vaskular, jaringan ikat, saraf, kelenjar mukosa, dan kelenjar limfoid. Tersusun dari 4 bagian, yaitu lapisan subepitel, kelenjar superfisial, lapisan media dengan banyak sinus kavernosusnya, dan kelenjar profunda. Sel-sel plasma dalam lamina propria menghasilkan IgA yang nanti akan berdifusi keluar untuk mencapai lapisan mukus. Selain itu juga ada albumin serum, IgE, dan IgG dari kapiler yang berdifusi ke kelenjar submukosa lalu ke epitel sebagai perlindungan lokal terhadap infeksi. Pleksus vena besar di lapisan ini juga berfungsi untuk meghangatkan udara yang terinhalasi.20,23


(25)

2.1.3 Sistem Transportasi Mukosiliar

Sistem mukosiliar adalah hasil akhir koordinasi struktur dan fungsi dari silia yang dibedakan menjadi 4 level:19

- Level pertama: silia tunggal

Ini terdiri 9 pasang + 2 mikrotubulus atau aksonema. Pemeriksaan untuk melihat morfologi level ini dengan transmission electron microscopy (TEM). Ciliary beat frecuency (CBF) adalah yang paling sering digunakan untuk melihat fungsi level ini.

- Level kedua: koordinasi dan orientasi silia

Fungsi ini terbentuk dari sel kolumnar bersilia dan sel-sel diantaranya yang menghasilkan transportasi mukosiliar. Aktivitas silia dikoordinasikan pada fase dan arah gerak yang sama. Koordinasi ultrastruktural intra- dan interseluler dapat dipelajari denegan menggunakan TEM dan scanning electron microscopy (SEM).

- Level ketiga dan keempat: bentukan gelombang metakromal dan perjalanan transportasi mukosiliar

Hasil akhir dari koordinasi diatas menghasilkan bentukan gelombang metakromal yang dapat dengan mudah dilihat melalui SEM. Bentuk gelombang metakromal dan CBF diregulasikan oleh mekanisme intrasiliar, intraselular, dan interselular yang berbeda.

Transportasi mukosiliar (TMS) intinya bergantung pada fungsi gerak silia di jalan napas yang mendorong palut lendir menuju faring. Mekanisme ini merupakan sistem pertahanan lokal mukosa hidung dengan sistem kerja menyapu partikel-partikel asing yang tersangkut dalam palut ke arah nasofaring. Setelah di nasofaring, palut lenir akan turun untuk ditelan atau dibatukkan. Transportasi mukosiliar ke arah faring ini merupakan sistem pertahanan terpenting untuk saluran respirasi atas maupun bawah. Tarnsport mukosiliar juga sering disebut dengan bersihan mukosiliar (mucociliary


(26)

clearance). Kecepatan transportasi mukosiliar di hidung 4,5-7 mm/menit, sekitar 10-24 mm/menit di trakea, dan 0,5-2 mm/menit di bronkiolus. Kecepatan tersebut sangat bervariasi, tergantung masing-masing individu.19,21

Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase) yang mirip struktur imunoglobulin A (IgA) dan dapat merusak beberapa bakteri. Selain itu, juga terdapat IgG dari sekresi sel. Zat imnuologik yang lain seperti interferon juga dapat ditemukan pada infeksi akut virus.20-21

Penyakit saluran napas dapat merusak mekanisme bersihan ini dengan mengubah jumlah dan kekentalan dari mukus dan cairan perisiliar atau mengubah jumlah, struktur, dan aktivitas dari silia. Perubahan tersebut bisa bersifat primer dan non-reversibel atau sekunder dan reversibel.19

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi TMS

Penyakit yang berhubungan adalah yang berefek pada fungsi silia, perubahan sifat dari mukus, atau obstruksi ostia (misalnya bukaan sinus paranasal). Hal itu memicu infeksi dan perubahan pada keefektivan transportasi mukosiliar.19

2.1.4.1 Kelainan Kongenital

Diskinesia silia primer (PCD) merupakan penyakit kongenital berupa kekurangan atau tidak adanya lengan dinein silia, ketiadaan jari-jari radikal, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia yang abnormal, sel basal abnormal, atau aplasia silia yang berakibat immotilnya silia secara sistemik. Pasien mungkin infertil dan tidak dapat mengeluarkan mukus saluran sinorespirasi secara efektif. Keadan stasisnya mukus mengakibatkan rhinosinusitis kronik, bronkiektasis, dan infeksi saluran napas rekuren. Tingkat kejadiaan kasus ini rendah, yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Uji sakharin pasien ini menunjukkan waktu TMS sebesar lebih dari 60 menit19,29

Fibrosis kistik (CF) merupakan gangguan autosomal resesif dari gen CFTR yang mengakibatkan transportasi elektrolit abnormal. Secara klinis,


(27)

ditemukan meningkatnya viskositas mukus akibat fungsi abnormal sel goblet. Pasien CF mempuyai cacat bersihan mukosiliar dengan tidak adekuatnya gerak silia pada mukus tebal yang berujung pada bronkiektasis dan infeksi paru berat. Biarpun begitu, pasien memiliki keluhan gangguan sinus dengan berbagai keparahan walaupun jelas memiliki mutasi pada gen CFTR. Kelainan lain yang dihubungkan dengan sinusitis kronik atau rekuren adalah sindrom Young.19,21

Sindrom Kartagener, yaitu kelainan bawaan yang diturunkan secara genetik. Sindrom ini meliputi bronkiektasis, sinusitis, dan sinus inversus. Terdapat kekurangan sebagian atau seluruh lengan dinein luar atau dalam.21

2.1.4.2 Alergi dan Infeksi

Semua yang menyebabkan inflamasi dan edema mukosa juga berefek negatif pada sistem transportasi mukosiliar. Diantaranya adalah iritasi, alergi, dan infeksi akut saluran napas. Infeksi saluran napas akut mengubah komposisi dari mukus, menurunkan motilitas silia, dan mengakibatkan edema mukosa.19

Pada beberapa penelitian, adanya pemanjangan waktu transportasi mukosiliar pada pasien atopi yang dirangsang dengan alergen spesifik akibat edema mikroskopik pada sitoplasma hidung manusia. Alergi meningkatkan level transudat di mukus hidung. Sebagai hasilnya, kedalaman lapisan perisiliar meningkat dan merendam silia sehingga ujung atas silia tidak dapat menyentuh gel layer. Edema pada rhinitis alergi juga menyumbat ostium sinus yang berasosiasi pada buruknya ventilasi dan terjadinya mukostasis. Kegagalan untuk mengenali faktor penyebab alergi hidung ini akan menurunkan prognosis terapi intervensi bedah.19-20

2.1.4.3 Lingkungan

CBF bekerja optimal pada pH 7-9. Selain itu fungsi silia sangat tergantung pada palut lendir. Keadaan lainnya adalah paparan berkepanjangan suatu substansi iritan. Pada tahun 2002, penelitian Elynawati et al menunjukkan


(28)

perbedaan bermakna rata-rata waktu transport mukosiliar pada pekerja pabrik kayu dibanding kontrol.30

2.1.4.4 Fisiologis atau Fisik

Suhu tubuh <10°C dan >45°C juga terbukti berpengaruh menghambat sistem mukosiliar.39 Perbedaan jenis kelamin, dan posisi saat dilakukan uji tidak mempengaruhi waktu transportasi mukosiliar. Tetapi ada efek dari penambahan usia pada pemanjangan waktu TMS.

Studi oleh James et al di Hong Kong pada 90 voluntir subjek penelitian usia 11-90 tahun menunjukkan adanya kolerasi positif antara CBF dan waktu TMS hidung (dengan uji sakharin) dengan penambahan usia. Seluruh subjek juga diperiksa ultrastruktur silianya dengan mikroskop elektron transmisi. Secara signifikan, subjek >40 tahun memiliki penurunan CBF, semakin memperlihatkan adanya mikrotubulus sentral tunggal, dan peningkatan waktu TMS (p<0,05).40

2.1.4.5 Obat-obatan

Beberapa obat yang menurunkan aktivitas mukosiliar adalah obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur, terutama dalam penggunaan dengan konsentrasi tinggi. Hal itu telah diteliti oleh Gosepath et al, yaitu dengan menggunakan bahan betadine, H2O2, ofloksasin, dan itrakonazol.29

Obat-obatan seperti antihisamin, adrenalin, asetilkolin, dan kortikosteroid juga memiliki efek terhadap durasi TMS.37 Antikolinergik, aspirin, anastetik, dan benzodiazepin berefek menurunkan TMS. Sedangkan obat yang meningkatkan TMS antara lain kolinergik, methilxantine, sodium cromaglyeate, dan topikal salin hipertonik ataupun saline normal.41

2.1.4.6 Struktur hidung

Fungsi transportasi mukosiliar bisa terganggu secara lokal akibat kelainan struktur hidung. Sebagai contoh jika mukosa hidung yang saling berhadapan mendekat dan menempel, maka silia akan berhenti bergerak. Kelainan


(29)

struktur yang menghambat transportasi nasal mukosiliar antara lain adalah deviasi septum, polip hidung, konka bulosa, dan kelainan lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus.19,28

2.1.5 Kandungan Rokok

Rokok tembakau mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 69 diantaranya adalah karsinogenik. Beberapa kandungan yang memiliki efek buruk terhadap sistem respirasi adalah:11

- Tar, merupakan penyusun primer dari tembakau. Zat ini memicu terjadinya kanker paru.

- Karbonmonoksida (CO), merupakan gas yang mirip seperti gas yang dikeluarkan oleh knalpot mobil. Gas CO ini berbahaya karena afinitasnya dengan Hb adalah 100x dibanding O2, sehingga

penyerapan O2 oleh Hb nantinya akan terganggu.

- Karbondioksida (CO2), terbentuk dari reaksi-reaksi kimia tubuh yang

harus segera dikeluarkan oleh paru.

- Nikotin, zat ini tidak berefek langsung terhadap sistem respirasi. Nikotin merupakan zat adiktif yang memberikan efek candu pada perokok. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek adiksi dari nikotin mirip seperti heroin dan kokain. Nikotin menyebabkan vasokonstriksi sistemik yang berujung pada hipertensi dan menurunnya perfusi jaringan ke seluruh tubuh.

Zat beracun lain antara lain: amonia (terdapat juga di pembersih lantai), benzene, nitrohistamin, naftalen (kapur barus), hidrogen sianida (toksin), radon, aseton (penghapus cat kuku), toluen (pelarut), metanol (bahan bakar roket), arsenik (toksin untuk semut putih), butan (bahan bakar korek api), kadmium (bahan pembuat aki mobil), DDT (bahan pembuat racun serangga), dan vini klorida (bahan pembuat plastik).11

2.1.6 Indeks Merokok

Indeks merokok merupakan metode formulasi yang digunakan untuk menghitung derajat berat perokok. Terdapat dua yang sering secara luas


(30)

digunakan dan terakhir merupakan klasifikasi perokok dengan pengaruhnya pada waktu TMS, yaitu:

2.1.6.1 Indeks Brinkman13

Derajat berat merokok menurut indeks Brinkman adalah:

o 0-199 = perokok ringan o 200-599 = perokok sedang o ≥600 = perokok berat

2.1.6.2 Pack-Years of Smoking13

Perbedaan metode hitung ini dengan indeks Brinkman hanya terletak pada kuantitas merokok dari jumlah batang menjadi jumlah bungkus. Yang mana satu bungkus disini diasumsikan memuat 20 batang rokok, jumlah yang umum ditemukan di negara-negara barat. Tetapi jumlah batang rokok dalam sebungkus ini tidak lazim ada di negara Indonesia.

Selain derajat berat merokok, terdapat juga klasifikasi yang menggambarkan derajat berat merokok dengan waktu TMS

Derajat berat merokok menurut pack-years of smoking adalah:

o 0-20 = perokok ringan o 20-30 = perokok sedang o >30 = perokok berat

2.1.6.3 Klasifikasi Proenca10

Klasifikasi ini dibuat oleh Proenca et al dalam penelitiannya di Brazil mengenai pengaruh derajat berat rokok dengan waktu TMS. Klasifikasi ini ∑ rokok yang dikonsumsi per hari (bungkus) x lama merokok (tahun) ∑ rokok yang dikonsumsi per hari (batang) x lama merokok (tahun)


(31)

dihitung dengan melihat jumlah rokok yang dihisap per hari, yaitu sebagai berikut:

o 0-15 batang per hari = perokok ringan o 16-25 batang per hari = perokok sedang o >25 batang per hari = perokok berat

2.1.7 Efek Rokok Pada Sistem TMS

2.1.7.1 Efek Rokok Pada Epitel

Lamanya paparan dan banyaknya konsentrasi ekstrak rokok berkolerasi dengan penurunan waktu hidup sel epitel kolumnar bersilia. Hal itu dibuktikan pada penelitian Lan et al yang mengultur epitel kolumnar bersilia yang kemudian memaparkannya pada konsentrasi ekstrak rokok yang berbeda-beda. Perlakuan tersebut memicu apoptosis epitel yang terlihat secara morfologis.32

Komposisi rokok seperti hidrogen sianida, akrolein, formaldehid, amoniak, dan fenol terbukti toksik pada epitel mamalia yang diuji secara in vitro.33 Selain itu dalam 2 penelitian lain, pemberian kuantitas yang sedikit dari rokok utuh atau ekstrak encernya mengakibatkan siliostasis pada epitel respirasi manusia dalam studi in vitro.34,35 Penelitian Tamashiro et al juga semakin membuktikan bahwa asap rokok yang dipaparkan ke kultur sel kolumnar bersilia menurunkan frekuensi denyut silianya. Hal lain yang dibuktikan oleh Tamashiro et al adalah adanya penurunan tumbuh silia yang berkolerasi positif dengan penambahan frekuensi paparan asap rokok.34

2.1.7.2 Efek Rokok Terhadap Palut Lendir

Banyak data yang telah membuktikan bahwa merokok meningkatkan produksi mukus saluran pernapasan. Selain itu rokok tembakau juga berpengaruh pada komponen viskoelastik mukus menjadikannya lebih lengket sehingga menghambat TMS.36


(32)

2.1.8 Efek Merokok Terhadap TMS

Penelitian oleh Stanley et al (1986) merupakan penelitian pertama yang secara detail menunjukkan efek rokok terhadap TMS dan frekuensi denyut silia. Subjek penelitian adalah perokok yang minimal 5 tahun merokok dengan jumlah >10 batang per hari dan non-perokok sebagai kontrol. Penilaian TMS menggunakan metode sakharin dengan modifikasi oleh Rutland dan Cole yang dilakukan pada 29 perokok dan 27 perokok. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya pemanjangan waktu TMS yang signifikan pada perokok dengan mean 20,8 menit dibanding non-perokok yaitu 11,1 menit. Salah satu perokok bahkan menunjukkan waktu TMS sebesar >60 menit.38

Penelitian lokal tentang efek buruk rokok terhadap sistem mukosiliar juga dilakukan. Salah satunya oleh Dermawan pada tahun 2010, menyimpulkan bahwa ada perbedaan spesifik waktu TMS antara peokok dan bukan perokok dengan perbedaan rerata 7,58 menit.14

Hampir mirip dengan penelitian sebelumnya, Hidayat AM (2014) juga mendapatkan data adanya perbedaan rerata sebesar 2,3 menit antara perokok dan non-perokok. Perbedaan yang tidak cukup jauh didapat antara perokok ringan dan non-perokok yaitu sebesar 1,28 menit. Sedangkan perbedaan rerata perokok berat dengan non-perokok adalah 4,35 menit. Kedua hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Proenca et al yaitu adanya perbedaan waktu TMS non-perokok dengan perokok ringan dan berat adalah sebesar 1 menit dan 4 menit.44

2.1.9 Uji Sakharin

Sakharin salah satu tes skrining fungsi TMS yang sering digunakan di klinik. Uji sakharin termasuk uji yang murah, non-invasif, dan sederhana untuk dilakukan. Tes ini dilakukan dengan menggunakan sakharin granule berdiameter ±1 mm (5 mg) yang dimasukkan ke dalam rongga hidung

dibawah konka inferior bagian medial sejauh 1 cm dari batas anterior konka inferior atau 1,5 cm dari tepi nares anterior. Waktu yang diukur adalah waktu


(33)

setelah sakharin diletakkan hingga pasien merasakan manis. Selama pengukuran, pasien dilarang untuk menghirup, bersin, batuk, merokok, makan atau minum selama tes. Pasien dengan rhinorea cair dan obstruksi nasal harus diekslusi. Kebanyakan orang dewasa normal akan merasakan manis setelah 10-15 menit setelah aplikasi. Tetapi jika dalam waktu 60 menit pasien tidak merasakan manis, pemeriksaan dihentikan kemudian pemeriksa meletakkan sakharin ke lidah untuk membuktikan bahwa pasien tidak merasakan manis tersebut selama waktu pengukuran tadi. 42,43

Metode uji sakharin ini dirasa masih subjektif, karena konfirmasi waktu TMS sangat bergantung pada pasien. Persepsi rasa manis berbeda tiap orangnya dan persepsi tersebut tidak dapat dinilai oleh pemeriksa. Maka dari itu beberapa penelitian dan sumber mulai mencampurkan partikel sakharin ini dengan methylene blue atau charcoal.42,43 Cara ini kemudian digunakan untuk mengonfirmasi secara visual oleh pemeriksa persepsi manis yang dirasakan pasien dengan inspeksi pada orofaring adanya warna biru atau hitam.

Tabel 2.2. Waktu transportasi mukosiliar43

Normal ≤β0 menit

Memanjang 21 – 30 menit

Memanjang sekali 31 – 60 menit


(34)

2.2 Kerangka Teori


(35)

2.4 Definisi Operasional

Variabel Definisi Pengukuran Skala

Waktu transportasi mukosiliar hidung Waktu yang diperlukan dalam sistem bersihan mukosiliar hidung Alat ukur: Sakharin, methylen blue, dan stopwatch Pengukur:

Dokter spesialis THT-KL (pembimbing) dan peneliti Cara Ukur: Sakharin serbuk dicampur dengan methylen blue, kemudian diambil dengan stik kayu. Campuran tersebut kemudian dimasukkan 1 cm dari batas anterior konka inferior dengan sebelumnya melalui inspeksi nasoendoskopi tidak ada obstruksi yang sesuai dengan kriteria eksklusi. Subjek diminta untuk

memfleksikan kepala sebesar 10˚. Waktu dikur dari mulai campuran sakharin itu diletakkan hingga pasien merasakan

Numerik - rasio


(36)

manis. Pernyataan subjek kemudian dikonfirmasi dengan inspeksi adanya warna methylene blue pada faring posterior Status merokok Dikatakan

merokok jika telah merokok ≥5 tahun dengan jumlah konsumsi rokok ≥10 batang per hari Dikatakan tidak merokok jika tidak pernah merokok aktif secara reguler selama hidupnya Alat ukur: Kuesioner Pengukur: Peneliti Cara Ukur: Wawancara Kategorik nominal

Indeks merokok Jumlah rokok yang dikonsumsi dan lama merokok, dalam penelitian ini digunakan indeks Brinkman dan Proenca untuk mengukurnya Alat ukur: Kuesioner Pengukur: Peneliti Cara Ukur: Wawancara Kategorik ordinal


(37)

24 BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan metode potong lintang.

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

a) Lokasi penelitian

Sebelum uji, dilakukan wawancara di sekitar kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Uji sakharin dilakukan di gedung Clinical Skill Unit FKIK UIN SH Jakarta. Sebelumnya, studi pendahuluan dilakukan di Rumah Sakit Khusus THT Proklamasi BSD, Kota Tangerang.

b) Waktu

Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - September 2015. Sedangkan pengambilan data studi pendahuluan dilakukan pada Agustus – September 2014.

3.3Sampel Penelitian

a) Sampel

Sampel penelitian adalah perokok dan non-perokok yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

b) Jumlah Sampel

Sebelumnya dilakukan penghitungan nilai simpang baku gabungan (Sg) dengan rumus:


(38)

Keterangan:

 Sg = simpang baku gabungan

 (sg)2 = varian gabungan

 S1 = simpang baku kelompok 1 pada penelitian sebelumnya

 N1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya

 S2 = simpang baku kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

 N2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang digunakan adalah penelitian Stanley dkk38

√ = 7,19

Nilai S gabungan diatas kemudian dimasukkan ke dalam rumus sampel:

[ ]

Keterangan:

 Zα : kesalahan tipe I sebesar 20% = 0,842  Z : kesalahan tipe II sebesar 5% = 1,645

 S : standar deviasi. Pada penelitian ini besar standar deviasi dicari menggunakan rumus SD gabungan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Stanley dkk38

 x1−x2 : perbedaan rerata outcome minimal yang dianggap

bermakna


(39)

[ ] [ ]

[ ] = 20,03

Jadi, sampel minimal untuk penelitian ini adalah 20 orang tiap kelompok.

c) Cara pengambilan sampel

Metode pengambilan sampel yang dipilih oleh peneliti adalah jenis non-probability yaitu consecutive sampling dan sampel dari studi pendahuluan.

d) Kriteria Sampel  Kriteria inklusi

- Bersedia menjadi subjek penelitian - Berusia <40 tahun

- Tidak mengalami radang saluran napas akut 2 minggu terakhir - Tidak memiliki rhinosinusitis kronik

- Tidak pernah didiagnosis oleh dokter mempunyai kelainan kongenital yang mengganggu TMS seperti diskinesia silia primer, sindrom Kartagener, fibrosis kistik, dan sindrom Young

- Sejak 1 bulan sebelum uji sakharin, subjek tidak meminum obat yang mempengaruhi waktu transportasi mukosilier, antara lain: obat-obatan topikal seperti steroid; dekongestan; hypertonic saline atau saline nasal spray; anti biotik, dan anti jamur atau konsumsi obat sistemik seperti anti-kolinergik; antihistamin; asetilkolin; adrenalin; beta adrenergik, narkotik; etil alkohol; aspirin; kortikosteroid; benzodiazepin; kolinergik; metilxantine; dan sodium kromagikolat,


(40)

- Tidak terpapar debu kayu secara reguler selama minimal 3 tahun

- Kriteria subjek perokok: telah merokok minimal 5 tahun dengsn jumlah minimal 10 batang rokok per hari

- Kriteria subjek non-perokok: tidak pernah merokok aktif secara reguler

 Kriteria ekslusi

- Adanya kelainan rongga hidung, seperti deviasi septum dan polip pada rongga hidung (dilihat saat pemeriksaan nasoendoskopi)

- Adanya inflamasi berupa sekret mukopurulen dan warna konka dan atau nasofaring hiperemis

- Adanya tanda alergi beupa warna konka livid dan atau post nasal drip di nasofaring

3.4Alat dan Bahan

a) Alat Penelitian

- Stik kayu kecil yang ditandai 1 cm dari ujung - Lampu kepala

- Stopwatch - Nasoendoskopi - Otoskopi - Spatel lidah - Alcohol swab

- Kursi untuk pemeriksaan

b) Bahan Penelitian

- Sakharin padat berdiameter 0,5 – 1 mm - Methylene blue cair


(41)

3.5Cara Kerja Penelitian

1. Mencari subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi melalui wawancara langsung oleh peneliti

2. Melakukan informed consent kepada subjek, menjelaskan segala prosedur pemeriksaan dan uji sakharin

3. Melakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok yang dilakukan oleh pembimbing dan dicatat oleh peneliti

Gambar 3.2 Pembimbing melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior

4. Melakukan nasoendoskopi untuk menilai struktur rongga hidung. Pasien yang memiliki kelainan rongga hidung berupa penyempitan rongga hidung akan tereksklusi


(42)

Gambar 3.3 Pembimbing melakukan nasoendoskopi pada subjek

Gambar 3.6 Peneliti mencatat hasil pemeriksaan ke dalam berkas medik subjek

5. Meminta pasien memfleksikan kepala 10°, kemudian melakukan uji sakharin sesuai metode uji sakharin yang telah dimodifikasi oleh Rutland dan Cole42

6. Menempatkan sakharin sejauh 1 cm dari batas anterior konka inferior dengan menggunakan stik kayu. Partikel sakharin sudah dicampur methylene blue sebelumnya.


(43)

Gambar 3.4 Sakharin padat yang diwarnai dengan methylene blue

Gambar 3.5 Pembimbing meletakkan sakharin

7. Setelah sakharin diletakkan, subjek penelitian diminta untuk bernapas normal (tidak boleh melakukan pernapasan paksa) dan tidak boleh bersin, batuk, berbicara, makan, minum, merokok, mengubah posisi kepala, atau memasukkan benda apapun ke lubang hidung.

8. Menghitung waktu dari mulai partikel sakharin diletakkan hingga pasien merasakan rasa manis

9. Setelah pasien merasakan rasa manis, pemeriksa melakukan nasoendoskopi untuk melihat jalur sakharin dengan adanya warna biru dari methylene blue di dasar hidung menuju nasofaring dan juga


(44)

sebagai konfirmasi bahwa persepsi manis yang dirasakan pasien bukan palsu

3.6Managemen Data

Seluruh data yang diperoleh dicatat dalam formulir berkas pasien. Data kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS 18. Pertama, data diolah secara deskriptif untuk melihat karakteristik subjek penelitian dan melihat rerata waktu TMS pada kelompok perokok dan non perokok, serta kelompok di tiap klasifikasi Brinkman dan Proenca.

Uji normalitas yang dilakukan untuk analisa rerata waktu TMS kelompok perokok dan non perokok pada penelitian ini adalah uji Shapiro-Wilk karena jumlah data <50. Jika distribusi data bernilai normal, uji analisis numerik 2 kelompok (perokok dan non perokok) menggunakan t-independent test. Jika distribusi data tidak normal, dilakukan transformasi untuk menormalkan, jika hasil distribusi data tetap tidak normal maka uji analisis yang dilakukan adalah uji Mann-Whitney.

Analisis lain yang peneliti lakukan adalah uji analisis perbedaan waktu TMS pada >2 kelompok berdasarkan klasifikasi Brinkman dan Proenca dengan one way analysis on variance (ANOVA) jika distribusi data normal dan dilakukan uji Kruskal-Wallis jika distribusi data tidak normal.


(45)

32 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan 40 subjek penelitian, dengan masing-masing jumlah kelompok perokok dan non-perokok adalah 20 subjek. Data demografi dasar subjek penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Karakteristik Perokok (n= 20) Non Perokok (n= 20)

Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)

Kelompok usia <24 tahun 25 - 34 tahun >35 tahun 8 4 8 40,0 20,0 40,0 20 100,0 Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi 2 6 12 10,0 30,0

60,0 20 100,0

Pekerjaan Pelajar/ Mahasiswa Office boy Petugas Taman Buruh Satpam Tukang Parkir Wiraswasta 6 6 4 1 1 1 1 30,0 30,0 20,0 5,0 5,0 5,0 5,0 20 100,0 Klasifikasi Brinkman Non perokok Perokok Ringan Perokok Sedang Perokok Berat 14 4 2 70,0 20,0 10,0 20 100,0

Klasifikasi Proenca dkk Non perokok Perokok Ringan Perokok Sedang Perokok Berat 17 1 2 85,0 5,0 10,0 20 100,0


(46)

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek penelitian sebesar 80% berusia dibawah 35 tahun dengan rerata 25,34 ± 7,34 tahun. Dengan perincian usia

subjek perokok berkisar antara 21 sampai 38 tahun dengan rerata sebesar 29,57 ±

8,47 tahun. Sedangkan kelompok non perokok memiliki rerata lebih rendah yaitu 21,11 ± 1,07 tahun. Data demografis lain berupa pekerjaan dari subjek penelitian

didominasi oleh pelajar atau mahasiswa (65%,).

Spesifik pada kelompok perokok, peneliti membagi berdasarkan kriteria Brinkman dan Proenca. Didapatkan data berdasarkan klasifikasi Brinkman, yaitu sebanyak 70% perokok pada penelitian ini adalah perokok ringan, 20% adalah perokok sedang, dan perokok berat dengan persentase terendah yaitu 10%. Sedikit berbeda dengan Brikman, berdasarkan klasifikasi Proenca data kelompok perokok pada penelitian ini adalah 85% perokok ringan, 5% perokok sedang, dan 10% perokok berat.

4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung

Setelah uji sakharin dilakukan kepada kelompok perokok dan non perokok, didapatkan hasil rerata waktu transportasi mukosiliar (TMS) hidung sebagai berikut:

Tabel 4.2 Waktu TMS hidung dan nilai distribusinya berdasarkan kelompok


(47)

Rerata waktu transportasi mukosiliar hidung pada subjek perokok didapatkan memanjang dibanding pada subjek non perokok., yaitu 5,89 ± 1,95

menit. Sedangkan pada subjek non perokok adalah lebih pendek sebesar 4,99 ±

1,62 menit. Pada data kemudian dilakukan tes normalitas data dengan Shapiro-Wilk. Distribusi data pada kelompok perokok dan non perokok memiliki nilai p>0,05 yang menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Analisa dilanjutkan dengan uji statistik unpaired t-test yang menghasilkan nilai p>0,05 (p= 0,122; IK 95% = (-0,25) – 2,05). Hasil tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna rerata waktu TMS hidung padaperokok dan non perokok secara statistik. Rerata waktu TMS hidung kelompok perokok dan non perokok ditunjukkan oleh Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar Pada Perokok dan Non Perokok

Data kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan klasifikasi Brinkman menjadi kelompok non perokok, perokok ringan, perokok sedang, dan perokok berat. Gambaran rerata waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman ada pada Gambar 4.2.


(48)

Gambar 4.2 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman

Berdasarkan klasifikasi Brinkman pada Tabel 4.2. terlihat bahwa terdapat perbedaan rerata waktu TMS hidung antara tiap kelompok. Uji one way anova sebagai uji analitik untuk kelompok lebih dari 2 pada hal ini tidak dilakukan karena distribusi kelompok perokok berat tidak normal dan jumlah subjek pada kelompok sedang dan berat tidak memenuhi syarat uji (<10). Akhirnya, analisa hanya dilakukan secara unpaired t-test antara kelompok non perokok dengan kelompok perokok ringan dan perokok sedang. Perbandingan perokok ringan dan non perokok menunjukkan beda rerata waktu TMS hidung sebesar 0,876 menit (p= 0,1). Sedangkan beda rerata waktu TMS hidung pada kelompok perokok sedang dan non perokok adalah 0,810 (p= 0,344). Secara deskriptif pada perokok berat jika dibandingkan dengan non perokok, terdapat beda rerata 4,469 menit.

Pengklasifikasian selanjutnya adalah berdasarkan klasifikasi Proenca. Data dibagi menjadi kelompok non perokok, perokok ringan, perokok sedang, dan perokok berat. Gambaran rerata tiap kelompoknya terdapat pada Gambar 4.3.


(49)

Gambar 4.3 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Proenca

Pada data rerata waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca (Tabel 4.2) terlihat perbedaan rerata waktu TMS hidung antar kelompok. Semua perbedaan menunjukkan bahwa tiap derajat perokok memiliki waktu TMS yang lebih panjang dibanding kelompok non perokok. Tetapi uji one way anova untuk menganalisa perbedaan pada klasifikasi ini tidak dilakukan karena distribusi data yang tidak normal pada kelompok perokok sedang dan berat. Analisa hanya dilakukan pada kelompok perokok ringan dan non perokok menggunakan unpaired t-test yang mneunjukan beda rerata sebesar 0,438 menit (p= 0,420). Dan secara deskriptif, beda rerata waktu TMS kelompok perokok berat dengan non perokok adalah 4,469 menit.


(50)

4.2 Pembahasan

Penelitian ini menggunakan 40 responden laki-laki, dengan proporsi 20 perokok dan 20 non perokok sebagai kelompok kontrol. Penelitian ini dari awal hanya mamasukkan responden laki-laki karena sesuai riset kesehatan dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2013 bahwa proporsi penduduk usia ≥15 tahun yang merokok di Indonesia didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar 64,9%. Data juga menunjukkan usia perokok terbanyak ada pada usia<35 tahun, hal tersebut sesuai dengan data Riskesdas tahun 2013. Sedangkan dari segi pendidikan, kelompok perokok lebih banyak yang tamat SMA yang sesuai dengan studi dari Riskesdas tahun 2013 yang menunjukkan bahwa perokok setiap hari terbanyak adalah tamat SMA (28,7%).

Melalui uji sakharin, didapatkan rerata waktu trasnportasi mukosiliar hidung pada kelompok perokok sebesar 5,89 ± 1,95 menit. Rerata tersebut sesuai

dengan penelitian Stanley, Proenca, dan Dermawan yang menyatakan bahwa rerata waktu TMS hidung tidak lebih dari 30 menit.14,38,10

Dari analisis deskriptif didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar hidung antara kelompok perokok dan non perokok yaitu sebesar 0,9 menit. Ada pemanjangan waktu TMS pada kelompok perokok. Pemanjangan waktu TMS hidung pada perokok juga didapatkan pada penelitian Proenca, Stanley, dan Dermawan. Penelitian Proenca menunjukkan perbedaan rerata waktu TMS hidung sebesar 2 menit. Penelitian Stanley dkk mendapatkan hasil perbedaan waktu TMS hidung 9,7 menit. Penelitian Dermawan menunjukkan selisih rerata waktu TMS hidung 7,58 menit. semua hasil penelitian diatas menguatkan teori bahwa rokok memiliki efek buruk terhadap sistem TMS pada perokok dengan ditemukannya pemanjangan waktu TMS hidung. 14,38,10

Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan waktu TMS hidung yang ditemukan pada penelitian ini tidak bermakna statistik yang ditunjukkan oleh nilai p= 0,122 pada uji t tidak berpasangan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Proenca, Stanley, dan Dermawan yang memperlihatkan ada perbedaan bermakna antara rerata waktu TMS pada perokok dengan non perokok. 14,38,10 Hal


(51)

ini kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya proporsi subjek perokok berdasarkan kriteria Brikman maupun Proenca. Kelompok perokok pada penelitian ini didominasi oleh kelompok perokok ringan yaitu sebesar 70% berdasarkan klasifikasi Brinkman dan 85% berdasarkan klasifikasi Proenca. Banyak subjek yang merupakan perokok ringan mempunyai waktu TMS yang tidak berbeda jauh dengan kelompok non perokok. Alasan ini dibuktikan dalam penelitian Proenca dkk bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p=0,08) antara perokok ringan dengan non perokok. Perbedaannya, pada penelitian Proenca tersebut menunjukkan bukti bahwa ada perbedaan bermakna antara kelompok perokok dan non perokok. Kebermaknaan itu dikarenakan meratanya proporsi derajat berat merokok berdasarkan klasifikasi Proenca dkk. Sampel Proenca dkk sebanyak 13 orang perokok berat, 22 orang perokok sedang, dan 17 orang perokok ringan. Total sampel pada penelitian itu adalah 52 orang, dengan proporsi kelompok perokok ringan hanya 32,69% dari total sampel.10

Sesuai dengan tujuan khusus penelitian, peneliti mencoba mencari perbedaan rerata TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman dan Proenca. Peneliti awalnya melihat distribusi kelompok data dengan Spahiro-Wilk. Pada klasifikasi Brinkman didapatkan kelompok data yang tidak normal pada kelompok perokok berat. Sedangkan pada klasifikasi Proenca kelompok data berdistribusi tidak normal adalah kelompok data perokok berat dan perokok sedang. Karena hal tersebut uji statistik untuk lebih dari 2 kelompok, one way anova tidak dapat dikerjakan. Selain distribusi data yang tidak semua normal, jumlah kelompok data yang kecil pada perokok sedang dan berat (<10) juga menyebabkan uji one way anova tidak dapat dilakukan.

Walaupun uji one way anova tidak dikerjakan, peneliti mencoba melihat perbedaan secara deskriptif. Ditemukan beda rerata pada semua kelompok derajat perokok dibandingkan kelompok non perokok. Peneliti memakai uji unpaired t-test untuk melihat signifikansi perbedaan antara perokok ringan dengan non perokok dan perokok sedang dengan non perokok. Perbandingan perokok ringan dan non perokok menunjukkan beda rerata waktu TMS hidung sebesar 0,876 menit (p= 0,1). Sedangkan beda rerata waktu TMS hidung pada kelompok


(52)

perokok sedang dan non perokok adalah 0,810 (p= 0,344). Kemudian, secara deskriptif pada perokok berat jika dibandingkan dengan non perokok, terdapat beda rerata 4,469 menit.

Analisa lain dilakukan antara kelompok perokok ringan dan kelompok non perokok menurut klasifikasi Proenca. Didapatkann beda rerata sebesar 0,438 menit (p= 0,420). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Proenca bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p= 0,08) antara kelompok perokok ringan dan non perokok yaitu sebesar 1 menit. Sedangkan untuk kelompok perokok sedang tidak dianalisa karena jumlah subjek yang termasuk perokok sedang menurut klasifikasi ini hanya berjumlah 1 orang sehingga tidak bisa dicari reratanya. Sedangkan kelompok berat hanya dilihat perbedaannya dengan kelompok non perokok secacara deskriptif tanpa dilakukan uji unpaired t-test karena distribusi data yang tidak normal. Beda rerata antara kelompok perokok berat dengan non perokok adalah sebesar 4,46 menit. Hasil perbandingan ini sesuai dengan penelitian Proenca dkk yang menunjukkan adanya perbedaan rerata TMS yang bermakna antara kelompok data perokok berat dengan non perokok yaitu sebesar 4 menit (p=0,04).Penelitian Proenca dkk juga menunjukkan perbedaan yang bermakna (p= 0,002) rerata waktu TMS hidung antara kelompok perokok berat dan perokok sedang dengan perokok ringan. Data perbandingan rerata TMS hidung pada subjek menurut klasifikasi Proenca ini menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat merokok, semakin buruk derajat kerusakan pada sistem TMS yang ditunjukkan oleh makin memanjangnya waktu transportasi mukosiliarnya.

4.3 Aspek Keislaman

Penelitian ini menunjukkan efek buruk rokok terhadap sistem transportasi mukosiliar hidung pada perokok. Kerusakan yang ditimbulkan pada sistem TMS ditunjukkan pdengan adanya pemanjangan waktu TMS hidung. Fungsi TMS sebagai sistem pertahanan saluran nafas primer dengan mekanisme sapuan terhadap partikel asing yang bisa menyebabkan gangguan pada saluran nafas, baik inflamasi, infeksi, ataupun aktivitas sitotoksik dan karsinogenik sehingga meningktkan risiko terjadinya penyakit saluran napas. Oleh karena itu, peneliti menyarankan pada perokok untuk berhenti atau paling tidak mengurangi frekuensi


(53)

merokok untuk menghilangkan atau mengurangi dampak buruk dari rokok terhadap kesehatan tubuh khususnya pada sistem TMS terkait kesehatan sistem pernapasan. Perilaku konsumsi rokok disini juga tidak bisa dipandang baik dalam segi pengeluaran dari perokok sendiri, seperti disampaikan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

Yang artinya, “Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

Ayat diatas jelas menerangkan bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membelanjakan harta untuk hal yang bermanfaat. Dalam konteks ini, rokok jelas tidak memiliki manfaat bagi tubuh dan jauh lebih banyak mengandung mudaratnya. Mengingat juga bahwa rokok merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskular, penyebab nomor satu kematian (kebinasaan) di seluruh dunia.

4.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:

− Proporsi derajat perokok yang tidak sama

Kelompok perokok pada penelitian ini didominasi oleh perokok ringan yaitu sebesar 85% menurut klasifikasi Proenca dan 70% menurut klasifikasi Brinkman, sehingga kemungkinan membuat perbedaan rerata waktu TMS hidung antara perokok dan non perokok masih belum signifikan

− Asal populasi penelitian

Asal sampel penelitian ini tidak diambil dari suatu populasi, sehingga hasil penelitian tidak menggambarkan suatu populasi dan memungkinkan terjadinya bias


(54)

41 BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

− Tidak didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar hidung secara statistik antara perokok (5,89 ± 1,95 menit) dan non perokok (4,99 ±

1,62 menit).

− Berdasarkan klasifikasi Brinkman, tidak didapatkam perbedaan rerata waktu transportasi pada analisa antara kelompok perokok ringan (5,87 ± 1,58 menit)

dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit) dan antara perokok sedang (4,18 ±

0,81 menit) dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).

− Berdasarkan klasifikasi Proenca, tidak didapatkam perbedaan rerata waktu transportasi pada analisa antara kelompok perokok ringan (5,43 ± 1,62 menit)

dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).

5.2 Saran

 Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan jumlah yang lebih banyak, minimal sesuai dengan penelitian yang bermakna sebelumnya agar tidak terjadi kesulitan dalam penghitungan statistik. Penelitian lanjutan juga harus menyamakan proporsi jumlah subjek perokok berdasarkan derajat merokoknya (minimal 10 subjek/ kelompok) agar pemanjangan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dibandingkan non perokok dapat dibuktikan lebih baik dan untuk dapat dilakukan analisa untuk membuktikan adanya perburukan pada semakin tingginya derajat merokok.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Shafey O et.al [internet]. The tobacco atlas, 3rd edn. American Cancer Society. 2010. (cited April 24 2015). Available from:

http://www.cancer.org/AboutUs/GlobalHealth/CancerandTobaccoControlRes ources/the-tobacco-atlas

2. Warren C et.al. Patterns of global tobacco use in young people and implications for future chronic disease burden in adults. The Lancet. 2006 Mar 4;367(9512):749-53.

3. Warren C et.al. Global youth tobacco surveillance 2000-2007. Morbidity and Mortality Weekly Report 2008;57(SS01):1-21.

4. World Health Organization [internet]. The world health report 1999: making a difference. Geneva: WHO. 1999. Available from: http://www.who.int/whr/en

5. Hammond SK. Global patterns of nicotine and tobacco consumption. Handbook of Experimental Pharmachology 2009(192):3-28. Available from:

http://www.springerlink.com/content/t353k255747342h6/

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Depkes RI; 2013:hal 5,.169-175.

7. Departemen Keuangan Republik Indonesia [internet]. Seputar APBN, anggaran kesehatan 2009-2014. Available from: http://www.depkeu.go.id/

8. World Health Organization. WHO global report on tobacco epidemic. Luxenburg: WHO. 2013.

9. Action on Smoking and Health (ASH). Tobacco additives. Imperal Cancer Research Fund. Available from: http://www.ash.org.uk/files/documents/ 10. Tobing NH [internet]. Rokok dan kesehatan respirasi. (updated Mei 2001

cited March 9 2015). Available from: http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/rokok/

11. Nungtjik AK, Mangunnegoro H, and Yunus F. Efikasi pemberian kombinasi inhalasi salmeterol dan fluktikason propionat melalui alat diskus pada PPOK. Maj Kedokt Indo. 2010; 60(12): 546-53.

12. Stanley PJ, Wilson R, Greenstone MA, et al. Effect of cigarette smoking on nasal mucociliary clearance and ciliary beat frequency. Thorax. 1986;41(7):519-23.


(56)

13. Dermawan R. Perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok dan bukan perokok. Medan: FK USU. 2010. p.1-55.

14. Proenca et al. Mucociliary clearance and its relation with level the level of physical activity in daily life in healthy smokers and nonsmokers. Revista Por de Pneumologia. 2012; 18: 133-8.

15. Martini FH and Nath JL. Anatomy & physiology 9th edition. USA: Pearson Edu. 2012.

16. Tortora GJ & Derickson B. Principles of anatomy and physiology 12th edition. USA: John Wiley & Sons, inc. 2009.

17. Soetjipto D & Wardani RS. Hidung.Dalam Soepardi EA et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. p.96-100

18. Levy et al. Berne and Levy principles of physiology 4th edition. Canada: Elsevier. 2006.

19. Onerci MT, editor. Nasal physiology and nasal pathophysiology of nasal disorder. Heidelberg NY: Springer. 2013. p.10-31

20. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus

Paranasal dalam Penyakit Telinga,Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi 13 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1994. p.1-25

21. Weir N, Golding-Wood DG. Infective rhinitis and Sinusitis.in : mackay IS, Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology (Rhinologi) 6th ed. Oxford, Boston, Singappore:Butterworth-Heinemann.1997:4/8/1-49

22. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan, dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. p.89-173

23. Bloom & Fawcett. Buku ajar histologi edisi 12. Jakarta: EGC. 2002.

24. Soekardono S. Transport mukosiliar hidung penderita rhinitis kronik sesudah dan sebelum gurah. Artikel Ilmiah Dosen Ilmu THT FK UGM. 2004. p.2-8 25. Steven M. Anatomy of The Nose and Sinuses. In : Nasal and Sinus Surgery.

WB Saunders Company, Philadhelpia: 2000. p.13-15

26. Sakakura Y. Mucociliary transport in rhinologic disease. In: Bunnag C, Muntarbhorn K, editors. Asean rhinological practice. Bangkok: Siriyot Co, Ltd, 1997. p.43-137


(57)

27. Lindberg S. Mucociliary Transport. In: Rhinologic Diagnosis and Treatment. McCaffrey TV. Thieme Medical Publishers, USA: 1997 p.155-173

28. Waguespack R. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic SinusSurgery. Laryngoscope (supplement). 1995;105: p.1-40

29. Al-Rawi MM, Edelstein DR, Erlandson RA. Changes in nasal epithelium in patients with severe chronic sinusitis; a clinicopathologic and electron microscopic study. Laryngoscope. 1998. 108: p.1816-23

30. Elynawati N, Roestiniadi, Hoetomo. The influence of air polutant on mucociliary transport in wood factory worker. 7 th ARSR 2002,pp.119

31. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus diseases. Dalam: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich editors. Diseases of the sinus diagnosis and management. London: BC Decker Inc. 2001. pp.8-155

32. Soedarjatni & Djoko SS. Nasal mucociliary clearance (NMC) dan nasal pH pada 30 penderita diabetes melitus (NIDDM tipe II WHO). Dalam: Kumpulan naskah ilmiah PIT Perhati. Bukit Tinggi. 1993.

33. Lan MY, Ho CY, Lee AH. Cigarette smoke extract induces cytotoxicity on human airway epithelial cells bu comparative gene and cytokine expressions studies. Toxicological Sciences. 2010;114(1):79-89

34. Kensler GJ, Battista SP. Component of cigarette smoke with ciliary depresant activity. N Engl J Med. 1963;269:1161-6

35. Ballenger JJ. Experimental effect of cigarette smoke on human respiratory cilia. N Eng J Med. 1960;263:832-5

36. Dalhamn T. The effect of cigarette smoke on ciliary activity in the upper respiratory tract. Arch Otolaringol. 1959;70:166-7

37. Cohen NA et al. Cigarette smoke condensate inhibits transepithelial chloride transport and ciliary beat frecuency. Laringoscope. 2009; 119: 2269-74. 38. Baby MK et al. Effect of cigarette smoking on nasal mucociliary clearance: A

comparative analysis using saccharin test. Lung India. 2014;31:39-42.

39. Indrayan A, Kumar R, and Dwivedi S. A simple index of smoking. COBRA. 2008; 40: 1-20.

40. Rusznak et al. The aseesment of nasal mucociliary clearance and the effect of drugs. Respir Med. 1994; 88: 89-101.


(58)

41. James et al. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am J of Respir and Critical Care Med vol 163. 2001.

42. Houtmeyers E et al. Effects of drugs on mucus clearance. Eur Respir J. 1999; 14: 452-467.

43. Chang CC, Incaudo GA, and Gershwin ME, editors. Diseases of the sinuses 2st edition. New York: Springer. 2014.

44. Prathibha KM et al. Measurement of nasal mucociliary clearance. Clin Res Pulmonal 2(2): 1019 (2014).

45. Hidayat AM. Perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan bukan perokok. Tangerang: FK UIN Jakarta. 2014.


(59)

LAMPIRAN

Lampiran 1: olahan data Statistik usia subjek penelitian

Statistik usia subjek penlitian berdasarkan kelompok perokok dan non perokok

Descriptives

status merokok Statistic Std. Error

usia perokok Mean 29,576849 1,8951512

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 25,610252


(60)

5% Trimmed Mean 29,660731

Median 31,500000

Variance 71,832

Std. Deviation 8,4753739

Minimum 17,5151

Maximum 40,1288

Range 22,6137

Interquartile Range 17,2575

Skewness -,209 ,512

Kurtosis -1,632 ,992

non perokok Mean 21,110274 ,2403238

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 20,607271

Upper Bound 21,613277

5% Trimmed Mean 21,139269

Median 21,030137

Variance 1,155

Std. Deviation 1,0747606

Minimum 18,0740

Maximum 23,6247

Range 5,5507

Interquartile Range ,5055

Skewness -,503 ,512

Kurtosis 3,662 ,992

Statistik tingkat pendidikan subjek penelitian

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD 2 5,0 5,0 5,0

SMP 6 15,0 15,0 20,0


(61)

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD 2 5,0 5,0 5,0

SMP 6 15,0 15,0 20,0

SMA 32 80,0 80,0 100,0

Total 40 100,0 100,0

Statistik subjek penelitian berdasarkan klasifikasi Brinkman

Klasifikasi Brinkman 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid bukan perokok 20 50,0 50,0 50,0

perokok ringan 14 35,0 35,0 85,0

perokok sedang 4 10,0 10,0 95,0

perokok berat 2 5,0 5,0 100,0

Total 40 100,0 100,0

Statistik subjek penelitian berdasarkan klasifikasi Proenca

Klasifikasi Proenca

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid bukan perokok 20 50,0 50,0 50,0

perokok ringan 17 42,5 42,5 92,5

perokok sedang 1 2,5 2,5 95,0

perokok berat 2 5,0 5,0 100,0

Total 40 100,0 100,0

Gambaran waktu TMS hidung pada perokok dan non perokok

Descriptives

status merokok Statistic Std. Error

waktu TMS (menit) perokok Mean 5,8940 ,43640


(62)

Interval for Mean Upper Bound 6,8074

5% Trimmed Mean 5,8139

Median 5,6250

Variance 3,809

Std. Deviation 1,95166

Minimum 3,23

Maximum 10,00

Range 6,77

Interquartile Range 2,23

Skewness ,732 ,512

Kurtosis -,200 ,992

non perokok Mean 4,9952 ,36425

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 4,2328

Upper Bound 5,7576

5% Trimmed Mean 5,0252

Median 5,0850

Variance 2,654

Std. Deviation 1,62898

Minimum 1,35

Maximum 8,10

Range 6,75

Interquartile Range 2,05

Skewness -,342 ,512

Kurtosis ,640 ,992

Gambaran waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman

Descriptives Klasifikasi Brinkman 1

Statistic Std. Error


(63)

(menit) 95% Confidence Interval for Mean L o w e r B o u n d 4,2328 U p p e r B o u n d 5,7576 5% Trimmed Mean 5,0252

Median 5,0850

Variance 2,654

Std. Deviation 1,62898

Minimum 1,35

Maximum 8,10

Range 6,75

Interquartile Range

2,05

Skewness -,342 ,512

Kurtosis ,640 ,992


(64)

ringan 95% Confidence Interval for Mean

4,9576

6,7867

5% Trimmed Mean

5,8322

Median 5,8750

Variance 2,509

Std. Deviation 1,58396

Minimum 3,38

Maximum 9,08

Range 5,70

Interquartile Range

1,23

Skewness ,639 ,597

Kurtosis ,683 1,154


(65)

sedang 95% Confidence Interval for Mean L o w e r B o u n d 2,8896 U p p e r B o u n d 5,4804 5% Trimmed Mean 4,1872

Median 4,2050

Variance ,663

Std. Deviation ,81406

Minimum 3,23

Maximum 5,10

Range 1,87

Interquartile Range

1,57

Skewness -,112 1,014

Kurtosis -1,647 2,619


(66)

berat 95% Confidence Interval for Mean L o w e r B o u n d 2,6672 U p p e r B o u n d 16,2628 5% Trimmed Mean .

Median 9,4650

Variance ,572

Std. Deviation ,75660

Minimum 8,93

Maximum 10,00

Range 1,07

Interquartile Range

.

Skewness . .


(1)

Gambaran waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca

Descriptivesa

Klasifikasi Proenca Statistic Std. Error

waktu TMS (menit)

0 Mean 4,9952 ,36425

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 4,2328 Upper Bound 5,7576

5% Trimmed Mean 5,0252

Median 5,0850

Variance 2,654

Std. Deviation 1,62898

Minimum 1,35

Maximum 8,10

Range 6,75

Interquartile Range 2,05

Skewness -,342 ,512

Kurtosis ,640 ,992

perokok ringan Mean 5,4335 ,39397

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 4,5983 Upper Bound 6,2687

5% Trimmed Mean 5,3532

Median 5,4600

Variance 2,639

Std. Deviation 1,62440

Minimum 3,23

Maximum 9,08

Range 5,85

Interquartile Range 2,07

Skewness ,918 ,550

Kurtosis ,909 1,063

perokok berat Mean 9,4650 ,53500


(2)

Interval for Mean Upper Bound 16,2628

5% Trimmed Mean .

Median 9,4650

Variance ,572

Std. Deviation ,75660

Minimum 8,93

Maximum 10,00

Range 1,07

Interquartile Range .

Skewness . .

Kurtosis . .

a. waktu TMS (menit) is constant when Klasifikasi Proenca = perokok sedang. It has been omitted.

Statistik Analitik

1. Waktu TMS hidung: perokok & non perokok

Uji normalitas data waktu TMS hidung dengan status merokok menggunakan uji Shapiro-Wilk: nilai p>0,05  distribusi data normal

Tests of Normality

status merokok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. waktu

TMS (menit)

perokok ,202 20 ,032 ,915 20 ,079

non perokok ,154 20 ,200* ,956 20 ,471

a. Lilliefors Significance Correction


(3)

Unpaired t-test untuk menguji rerata waktu TMS perokok dan non perokok: dilihat pada equal variance not assumed. p>0,05  tidak ada perbedaan bermakna waktu TMS kelompok perokok dan non perokok

2. Waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman

Distribusi data berdasarkan klasifikasi Brinkman menggunakan Shapiro-Wilk  perokok berat memiliki distribusi data tidak normal

Tests of Normality

Klasifikasi Brinkman 1

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. waktu

TMS (menit)

0 ,154 20 ,200* ,956 20 ,471

perokok ringan ,221 14 ,062 ,912 14 ,170

perokok sedang ,173 4 . ,986 4 ,935

perokok berat ,260 2 .

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Unpaired t-test perokok ringan (Brinkman) – non perokok  p= 0,127 (tidak bermakna)


(4)

Unpaired t-test perokok sedang (Brinkman) – non perokok  p= 0,173 (tidak bermakna)

Unpaired t-test perokok berat (Brinkman) – non perokok  p= 0,017 (tidak bermakna)

3. Waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca

Uji normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk perokok sedang hilang karena df-nya hanya 1 dan perokok berat berdistribusi tidak normal


(5)

Tests of Normalityb

Klasifikasi Proenca

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. waktu

TMS (menit)

dimension1

0 ,154 20 ,200

*

,956 20 ,471

perokok ringan

,216 17 ,033 ,903 17 ,077

perokok berat ,260 2 . a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

b. waktu TMS (menit) is constant when Klasifikasi Proenca = perokok sedang. It has been omitted.

Unpaired t-test perokok ringan (Proenca) – non perokok  p= 0,420 (tidak bermakna)


(6)

Lampiran 2: Riwayat Penulis Identitas Diri

 Nama : Arvionita Utami

 Jenis Kelamin : Perempuan

 Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 8 Januari 1995

 Agama : Islam

 Alamat : Jl. Citarum kel. Taman, kec. Taman, kota Madiun,

Jawa Timur

 E-mail : arvionitaultra@gmail.com

Riwayat Pendidikan

 1999 – 2000 : TK Pertiwi Geger, Madiun

 2000 – 2006 : SDN 2 Glonggong, Madiun

 2006 – 2009 : SMPN 1 Dolopo, Madiun

 2009 – 2012 : SMAN 1 Geger, Madiun

 2012 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Riwayat Organisasi

 2007 – 2008 : anggota Dewan Penggalang Pramuka SMPN 1 Dolopo

 2010 – 2011 : anggota pengurus OSIS SMAN 1 Geger

 2010 – 2011 : anggota pengurus Petugas Penyelenggara Upacara SMA Negeri 1 Geger

 2013 – 2014 : anggota pengurus BEMJ Pend. Dokter FKIK UIN SH Jakarta

 2014 – 2015 : kepala departemen Kesejahteraan Sosial BEMJ Pend. Dokter FKIK UIN SH Jakarta

 2013 – 2015 : active member of Center for Indonesian Medical Student’s

Activities (CIMSA) UIN SH Jakarta

 2015 – 2016 : sekretaris bidang Community Empowerment Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) wilayah 2