PERHATIAN MUHADDISIN TERHADAP KRITIK HAD

AMPEL SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN

Urgensi hadis nabi —baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya —bukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam ( al- Tashri>’ al-Islami>) setelah al- Qur’a>n. 1

Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al- 2 Qur’an, hadis membentuk hubungan simbiosis mutualismdengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam

peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.Bersama al- Qur’an, hadis merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitabdan mempublikasikannya, menjabarkan cabang- cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan

riset-riset untuk meneliti validitas hadis. 3 Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik

hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif terhadap pengembangan metodologinya.

1 Abdullah Hasan al-Hadi>thi, Athar al-H{adi>th al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> (Beirut : Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3

2 Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan ( manzilah ) sunnah dalam adillah ash- shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubu>t ,

sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t , sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny , (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas

( al-baya>n ) adalah ta>bi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan ( al-mubayyan ), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H), 37-38

3 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al- Ri’asah al- ‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),

5-6

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Kritik Hadis (Naqd al-Hadi>th)

1. Tinjauan Etimologis

Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al- hadi>th. 4 Kata naqd secara bahasa adalah meneliti dan membedakan (tingkat

kualitas) dirham (mata uang perak) dan memisahkan yang palsu darinya ( زييتم وه اهنم فيزلا جارخإو مهاردلا 5 ). Sehingga, dari hasil naqd atau tamyi>z, uang dirham

tersebut sah atau valid untuk diserahterimakan kepada seseorang atau dapat

digunakan dalam transaksi keuangan ( 6 ). Dalam اهُذْخأو انامسْنإ اهؤاطعإو .مِهامرَّدلا زيِيْمتم proses naqd ini, ditampakkan mana yang cacat dan mana yang baik ( اممهيف امم رهظأ

Jika dirangkum, naqd secara etimologis antara lain mencakup arti to examine critically (menguji secara kritis), to criticize (mengecek), find fault (menemukan kesalahan), take exception (mengambil sikap pengecualian atau keberatan), to show up the shortcomings (menunjukkan suatu kelemahan atau

4 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, cet.2, 2013), 275 5 Ibnu Manzhur, Lisa>n al- ‘Arab , Vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H), 425 6 Muhammad bin Ahmad al-Azhary al-Harawy, Tahdhi>b al-Lughah . Vol. 9 (Beirut: Dar ihya’ al-

Turath, cet. 1, 2001), 50, Al-Murtada al-Zabidy, Ta>j al- ‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s .Vol. 9 (t.t.: Dar al-Hidayah, t.th.), 230, Zain al-din Abu Abdillah al-Razi, Mukhta>r al-Shiha>h (Beirut: al- Maktabah al- ‘Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M), 317. Di kalangan ulama hadis generasi awal (mutaqaddimi>n), penggunaan istilah naqd secara etimologis untuk kritik hadis dapat ditemui dalam ungkapan mereka seperti al- Auza’y (w. 156 H) sebagai berikut:

.امنْكمرم ت اوُرمكْنمأ امممو ،امنْذمخمأ ُهْنِم اوُفمرمع امممف ،ُفْيَّزلا ُممهْرِّدلا ُضمرْعُ ي امممك امن ِبامحْصمأ ىملمع ُهُضِرْعم نم ف مثيِدمْلْا ُعممْسمن اَّنُك “Kami mendengar suatu hadis maka kami paparkan kondisinya kepada teman-teman kami (ahli

hadis) sebagaimana dirham yang palsu disingkap kepalsuannya. Apabila mengetahui (validitas) hadis tersebut, maka hadisnya kami ambil, apabila mereka mengingkari maka kami buang”. Al- Baihaqi>, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atha>r . Vol.

1.ed. ‘Abd al-Mu’thi Amin Qal’ajy. (Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M), 143 7 Ibrahim Musthafa, et.all. Mu’ja>m al-Wasi>th, Vol. 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th.), 944.

kekeliruan). 8 Selaras dengan makna te rsebut, kata “kritik” dalam Bahasa Indonesia berkonotasi pada sifat tidak lekas percaya, tajam dalam menganalisa,

ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu karya. 9 Dengan demikian, secara etimologis kritik ( naqd) bisa diartikan sebagai

suatu upaya untuk menentukan mana yang benar (asli) dan mana yang salah (palsu/tiruan).Kandungan maknanya mencakup kritik atau penilaian positif ( al- naqd al-ijabi>) dan makna kritik negatif (al-naqd al-salabi>).

2. Tinjauan Terminologis Naqd secara terminologis, menurut Abubakar Ka>fi> adalah studi tentang

perawi dan apa yang diriwayatkannya dengan tujuan untuk menyeleksi perawi

dan periwayatan yang berkualitas baik dari yang berkualitas rendah ( ةاورلا ةسارد اهئيدر نم اهديج زييمتل تايورلماو 10 ). Senada dengan itu Mustafa al- A’zami>

mendefinisikan naqd ialah membedakan dan menyaring atau menyeleksi hadis- hadis yang sahih dari hadis-hadis yang d{a’i>f dan menghukumi (menilai) para perawi dengan nilai positif atau negatif ( مكلْاو ةفيعضلا نم ةحيحصلا ثيداحلأا زييتم

Sebagai disiplin ilmu, kritik hadis adalah :

“Ilmu yang membahas tentang cara menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang d}a’i>f dan menjelaskan ‘illat-nya serta menetapkan status hukum atas para

8 Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen & Unwin Ltd., 1970), 990 9 Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988), 466

10 Abubakar Ka>fy, Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ry fi Tashi>hi al- Aha>di>th wa Ta’li>liha . (Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M), 37

11 Muhammad Mustafa al- A’zamy , Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al- ‘Ummariyah, 1982), 5 11 Muhammad Mustafa al- A’zamy , Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al- ‘Ummariyah, 1982), 5

“Penetapan status cacat atau adil pada periwayat hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail”. 13

B. Tujuan, Objek dan Nilai Guna Penelitian (Kritik) Hadis Pada dasarnya, kritik hadis tidak diorientasikan untuk menguji kapasititas

dan otoritas hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang telah disepakati ( al- mujma’ ‘alaihi) sebagai sumber ajaran Islam utama dan terpenting setelah al-Quran. Merujuk definisi terminologis naqd al-h}adi>th, maka naqd al-h}adi>th bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah secara historis suatu hadis

dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak. 14 Dengan demikian, penelitian (kritik) hadis diorientasikan untuk menguji otentitas dan validitas

informasi hadis dalam proses periwayatannya. 15 Sementara objek kajiannya adalah sanad ( al-ruwa>t) dan matan hadis (al-

marwiya>t). 16 Kritik sanad disebut kritik eksternal ( al-naqd al-kha>riji>).Sementara kritik matan disebut juga kritik internal ( al-naqd al-da>khili>).

Adapun nilai guna penelitian hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk pendalilan hukum( istidla>l) dan

12 Muh}ammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary. Dirasa>t fi Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al- Nafa’is, tth), 11

13 Muh}ammad T{ahir al-Jawabi , Juh}ud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f (Tunisia: Mu’assasah Abd al-Karim, 1986), 94

14 Idri, Studi Hadis , 276 15 Hal ini karena kegiatan transfer informasi (riwayat) hadis melibatkan banyak orang dengan

berbagai kualitasnya dalam mata rantai periwayatan yang relatif panjang dengan proses kodifikasi dalam kurun waktu yang relatif lama.

16 Muhammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary , Dirasa>t fi Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al- Nafa>’is, t.th.), 20 16 Muhammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary , Dirasa>t fi Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al- Nafa>’is, t.th.), 20

dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah, 17 (4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan ( tah}ri>f) dan perubahan

( tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis. 18

C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian (Kritik) Hadis Kritik hadis bukan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk

memuaskan hasrat ilmiah semata.Akan tetapi ada latar belakang dan motivasi yang lebih dalam dan kuat.Dalam hal ini dorongan nilai spiritual dan orientasi transcendental sangat berperan. Penjagaan terhadap otentitas dan orisinalitas serta validitas sumber referensi keagamaan menjadi hal utama karena akan menjadi landasan bagi pemahaman dan pengamalan syari’at. Hal ini membutuhkan upaya penelitian dan kecermatan dalam transfer sumber referensi

tersebut. 19 Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pentingnya kritik

hadis adalah:

1. Pertimbangan teologis Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem

hukum Islam ( al- Tashri>’ al-Isla>mi>) setelah al-Qur’a>n. Hal ini berbeda dengan

17 Mustafa al-Khan, al-Manhal al-Ra>wy min Taqri>b al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al- Taba’ah wa al-Nashr, ttt), 18

18 Nur al- Di>n ‘Itr, Manhaj al- Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M) , 29-30

19 Muhammad Mustafa al- A’zamy , Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al- ‘Ummariyah, 1982), 6 19 Muhammad Mustafa al- A’zamy , Manhaj al- Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al- ‘Ummariyah, 1982), 6

marja> ’ (rujukan) bagi ajaran Islam, antara lain sebagai berikut;

1. Dalil Al-Quran

1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan ( 21 tabyi>n) al-Quran. Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu

dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT ( al- h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri. 22 Kalau al- Qur’an adalah wahyu matluw, maka sunnah merupakan 23 wahyu ghair al-matluw.

2) Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri>’) kepada Rasulullah disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya. 24 Perintah untuk berhukum kepada

keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan 25 Keputusan hukum Nabi yang tidak memberi ruang alternatif pilihan lain bagi orang yang

beriman untuk menyelisihi keputusan ( 26 qad}a >’) itu. Penegasan otoritas hukum pada diri Rasulullah ini disertai ancaman penegasian iman 27 dan penetapan sifat hipokrit ( 28 nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya, serta ancaman keras

20 Mereka adalah orang-orang yang skeptis baik secara secara totalitas ataupun parsial terhadap otoritas hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam. Di antara tokohnya di India; Ahmad

Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di Indonesia misalnya; Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di Malaysia, seperti Kassim Ahmad. Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114

21 Al- Qur’an, 16: 44 22 Imam al- Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Qur’an dan al-

hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu Al- Qur’an, 4: 113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-S ha>fi’i, Al-Risalah . ed. Ahmad Shakir (Mesir: Maktabah al-H{alaby, Cet. 1, 1358 H/1940 M) 73-76

23 Al- Qur’an, 53: 3-4, Abu Muhammad ‘Ali Ibn Hazm al-Andalusy. Al-Ihka>m fi Us}u>l al-Ahka>m. Ed. Ahmad Muhammad Shakir. Vol. 1(Beirut: Dar al-A<fa>q al-Jadi>dah, T.tp), 97

24 Al- Qur’an, 24: 63, 4: 65, 59: 7 25 Ibid., 4: 59 26 Ibid., 33:36. Menurut Imam al- Shafi’i, al-hikmah adalah keputusan ( qad}a>’ ) Rasulullah dalam

bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Ibid, 83 27 Ibid., 3: 65

28 Al- Qur’an,3: 61 28 Al- Qur’an,3: 61

3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT. 30 Tentunya, menaati

Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.

4) Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan diikuti perikehidupannya, 31 disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi

agung yang layak diteladani. 32 Mengikutinya merupakan manifestasi cinta kepada Allah . 33

2. Dalil Hadis

1) Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang teguh.

“Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah

dan sunnah Nabi-Nya ” . 34

2) Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum ( tashri>’). Hal ini untuk membantah pendapat munki>r al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan muncul.

29 Ibid., 3:115 30 Lihat al-

31 Qur’an, 3: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. Ibid., 33:21 32 Ibid., 68:4

33 Ibid., 3: 31 34 Ma>lik bin Anas al-Madany, al-Muwa>t}a, Vol. 3, ed. Muhammad Must}afa al- A’z}amy (Abu> Z{aby:

Muassasah Za>yid bin Sult}a>n A<lu Mihya>n, Cet. 1, 1425 H/2004 M), 3338. Hadis ini disahihkan al- Albani.m erujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly , Hujjiyah Khabar al-A<had fi al-Aqa >’id wa al- Ahka>m (Kairo: Dar al-Minhaj, Cet. 1, 2005 M) , 15

“Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian berkata “Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah yang diharamkan”. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang diharamkan Allah 35 ”.

3) Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu Allah.

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah) 36 ”.

4) Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran (sunnah) Rasulullah SAW.

“Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; ‘Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?’. Rasulullah

35 Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan al-Tirmidhi , Vol. 5. Ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qy (Mesir: Sharikah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby,

Cet. 2, 1395 H/1975 M), 38. Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Majah, Vol. 1, ed. Shu’aib al-Arnauwt} (Beirut: Da>r al-Risalah al- ‘Ilmiyah, 1430 H/2009 M), 9. Hadis nomor 21. Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 28. Ed. Shu’aib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risalah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 429. Sahih ,m erujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al- Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15

36 Ibn Ma>jah, SunanIbn Ma>jah. Vol. 7, 13.Hadis nomor. 4604. Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 4, ed. Muhammad Muh{yi al- Di>n ‘Abd al-Humai>d (Beirut: al-Maktabah

al- ‘As}riyah, t.th), 200 al- ‘As}riyah, t.th), 200

5) Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada

sunnahnya dan sunnah para al-khulafa> ’ al-Ra>shidin. ىمرم يمسمف يِدْعم ب ْمُكْنِم ْشِعمي ْنمم ُهَّنِإمف اًّيِشمبمح اادْبمع ْنِإمو ِةمعاَّطلامو ِعْمَّسلامو ِهَّللا ىموْقم تِب ْمُكيِصوُأ

“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam). Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bid’ah

dan setiap bid’ah adalah sesat”. 38

3. Dalil Al-Ijma>’

Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat Islam. 39 Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan al- 40 Qur’an dalam penetapan hal dan haram. Dalam tataran realitas,

terdapat ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak

masa sahabat, 42 tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.

37 Al-Bukhari, Al-Ja> mi’ al-S{ahi>h , Vol. 9, 92. Hadis terdapat dalam Kitab al- I’tis}a>m hadis no. 7280. 38 HR. Abu Dawud no. 3991. Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m

Ahmad bin Hanbal. Vol. 36. Ed. Shu’aib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risa>lah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 561

39 S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al- ‘Ilm al- Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 291

40 Ash-Shaukany. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqi>q al- Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, vol. 1 (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000), 187

41 Al- Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan

para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa inzal , Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan

4. Dalil Logika (al-Ma’qu>l) Dalil al- Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah

dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al- Qur’an tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan pembacaan al- Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain. 43 Bahkan, menurut al- Auza’y (w. 157 H) 44 , al- Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya ( 45 al-Kita>b ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b). Yahya bin Abi Kathi>r (w. 129 H) 46 menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran ( 47 al- Sunnah qa>d}iyatun ‘ala> al-Kita>b). (2) Jika perbuatan Nabi

mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati

( 48 ikht}iya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban, (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-

sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka

meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan. 49 Otoritas hadis sebagai sumber syari’ah (al-adillah al- shar’iyyah) semakin

bertambah dengan kuatnya relasi fungsional antara hadis dengan al-Quran dalam

melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihka>m fi Usu>l al-Ahka>m , Vol. 1, ed. Abdul Razzaq al- ‘Afify (Riya>d} : Dar Al- S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 206

42 Wahbah al-Zuhaily, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al- Mu’as}ir, 1419 H/1999 M), 40

43 Ibid,. 44 Abu ‘Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya

menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al- Zuhry, Abu Ja’far al-Ba>qir, ‘At}a bin Abi Raba>h}, Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al- Thaury, Syu’bah dan Imam Malik. Lihat Siyar A’la>m Nubala> . vol. 7, ed. Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405), 107-108

45 Mustafa al- Siba’i, Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Tashri> ’ al-Isla>mi> (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387

46 Seorang imam ha>fiz}. Yang menjadi muridnya antara lain al- Auza’y, Ma’mar bin Rasyid, Aban bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim)

di Kota Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy. Mausu’ah Mawa>qif al-Salaf fi al-‘Aqi>dah., vol. 2(Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), 219 47

Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, 189 48 Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat

fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 49 Al-Amidy, Al-Ihka>m , vol. 1, 237-238. Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul , Vol.1, 203-207 fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 49 Al-Amidy, Al-Ihka>m , vol. 1, 237-238. Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul , Vol.1, 203-207

1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,

saksi palsu, durhaka kepada orang tua 50 menegaskan dan memperkuat larangan tersebut dalam Al-Quran. 51

2- Hadis sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global ( mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan

52 sholat 53 yang diperintahkan dalam Al-Quran , (b) mengkhususkan ( lex specialis) petunjuk yang bersifat umum ( ‘a>m) dari Al-Quran. Seperti

hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa 54 sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an- 55 Nisa’ ayat 24 . Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyi>d kata ‘yadd ’ dalam Al-Quran 5:38. (d)

3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis

“La was{iyyah li wa>rith” sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180. 56

50 Muh}ammad bin Isma> ’il al-Bukha>ry, Al- Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>l Allah S{alla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayya>mih. Vol. 3, ed. Muhammad Zuhair

bin Na>s}ir al-Na>s}ir (t.t. : Da>r T{uruq al-Naja>h, cet. 1, 1422 H), 171, hadis no. 2653 ;

51 ِروُّزلا ُةمدامهمشمو ِسْفَّ نلا ُلْتم قمو ِنْيمدِلاموْلا ُقوُقُعمو ِهَّللاِب ُك Sebagai contohal- امرْشِْلإا ملامق ِرِئامبمكْلا ْنمع ممَّلمسمو ِهْيملمع ُهَّللا ىَّلمص ُِّبَِّنلا ملِئُسملامق ُهْنمع ُهَّللا ميِضمر ٍسمنمأ ْنمع Qur’an, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa.

52 Lihat hadis-hadis dalam Muh}ammad bin Is ma>’il al-Bukha>ry, Al- Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h pada juz 1 mulai Kitab al- Wudhu’ sampai Kitab al-Sahwi

53 al- Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 54 Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al- Ja>mi’…., Vol. 7, 12.Hadis no. 5108 dan 5109

امهِتملامخ Di antara penggalan ayatnya :

ْمُكِلمذ مءامرمو امم ْمُكمل َّلِحُأمو Wahbah al-Zuhaily. Al-Waji>z …, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-

Shafi’i

4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al- Qur’an (h}adi>th tashri> ’). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati oleh para ulama menurut Ash-Sha>tiby. Contohnya; hukuman rajam bagi pezina muhs}an, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll. 57 Dalilnya;

secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan sifat ma’shu>m dan tugas menyampaikan syari’at. Adapun secara nash, Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum

termasuk terhadap 58 sunnah istiqla>liyyah (independen)-nya.

Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya adalah hal yang sangat penting. Imam Al-Nawawi rah}imahullah menjelaskan posisi strategis studi hadis ini sebagai berikut:

“Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.” Al-Nawawi berargumen bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah- sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum- hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas ( muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini —menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT

yang paling mulia 59 —yaitu Nabi Muhammad SAW.

Generasi salaf al-s}a>leh memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal

kitab-kitab dan

57 Muhammd bin ‘Ali al-Shauka>ny, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q al- Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, ed. Shaikh Ahmad ‘Azw ‘Ina>yah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, cet. 1, 1419 H/1999 M),96 58 Al- Qur’an., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Siba’i, al-Sunnah, 382

59 Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al- Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim , Vol. 1 (Kairo: Al- Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M),3-4 59 Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al- Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim , Vol. 1 (Kairo: Al- Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M),3-4

cabang-cabang keilmuannya, menga plikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at, menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan

menjabarkan

berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya. 60 Dalam konteks ini, para ulama hadis mengambil tanggung jawab utama

dan peran khusus dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman ke zaman. Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan

kandungan hukum dan hikmahnya. 61

2. Pertimbangan Historis-Dokumenter Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.

Hal ini berbeda dengan status periwayatan al-Quran yang mutawa>tir dan qat}’iy al-wuru>d. 62 Pada masa Nabi SAW, metode pemeliharan atau penjagaan hadis (al-

hifz}) yang dilakukan oleh sahabat dilakukan dengan tiga cara yaitu penjagaan secara hafalan ( hifz} fi al-s}udu>r) dan penjagaan secara tertulis (hifz} fi al-sutu>r) serta penjagaan secara praktik ( hifz} fi al-tat}bi>q al- ‘amali>). Ketiga metode tersebut saling menunjang dan saling menyempurnakan.

Metode yang umum dipakai oleh mayoritas sahabat adalah metode hafalan dan praktek. Namun demikian, para sahabat yang menggunakan metode tulisan atau catatan tidaklah sedikit. Menurut ‘Itr, jumlah para sahabat yang mencatat hadis jumlahnya mencapai status 63 muta>watir. Dalam penelitiannya,

A’zamy menyampaikan data sebanyak 99 orang sahabat yang menulis hadis serta catatan hadis yang diriwayatkan dari mereka. 64

Pencatatan hadis di masa Nabi SAW secara umum ada dua macam, yaitu:

60 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al- Ri’asah al- ‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),

5-6. 61 Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad

Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muhaddithu>n (al-Riyadh: al-Riasah al- ’ammah li idarah al-buhuth al- ‘Ilmiyah wa al-ifta’, 1404 H/1984 M), Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd , 51-80.

62 Idri, Studi Hadis , 281 63 ‘Itr, Manhaj al-Naqd … , 40 64 Lihat A’zamy, Dirasa>t…. , 92-142

Pertama, pencatatan dibawah perintah Nabi yaitu berupa dokumen resmi dan formal kenegaraan seperti kontrak sosial ( al-wathi>qah), surat perjanjian (al- mu’a>hadah), surat kenegaraan yang dikirim kepada raja-raja (al-risa>lah). 65 Diantara contohnya adalah piagam Madinah ( Wathi>qah al-Madi>nah) yang merupakan dokumen kenegaraan yang memuat aturan hubungan antarwarga negara di atas prinsip toleransi beragama dan kerjasama sosial. Piagam perjanjian dengan kaum Nasrani Najran Demikian pula tata aturan hukum pidana, keuangan

negara, dll. 66 Demikian pula catatan tentang khutbah Nabi saat Fath al-Makkah untuk salah seorang penduduk Yaman yang hadir yang bernama Abu Shah. 67

Kedua, pencatatan berdasarkan ijin Nabi SAW. Diantara mereka yang mendapatkan ijin adalah; (a) Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (w. 63 H). Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash adalah sahabat yang biasa menemani Rasulullah SAW karena beliau juga termasuk salah seorang pencatat wahyu (al- Qur’an). Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash meminta ijin kepada Rasulullah untuk menulis hadis dan Nabi mengijinkannya. Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash menulis langsung dihadapan Nabi setiap hadis yang didengarnya sehingga ditegur salah seorang tokoh tetapi setelah dikonfirmasi kepada Rasulullah, sikap Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dibenarkan oleh beliau. Bahkan banyaknya catatan Ibn Amr bin al-Ash diakui oleh Abu Hurairah. Catatan hadis yang dikumpulkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dikenal dengan nama al- S{ahi>fah al-S{a>diqah. 68

(b) ‘Ali bin Abi T{alib RA yang mendokumentasikan hadis dalam s}ah}i>fah kecil yang berkaitan dengan masalah diyat dan tawanan perang.

65 Sebagaimana yang diteliti oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmu’ah al-Watha>’iq al- Siyasiyah li al- ‘Ahd al-Nabawy (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 6, 1987), 57. Ta>rikh Tadwi>n al-

Sunnah , 35. Itr, Manhaj al-Naqd , 47-48

66 Bukhari, Vol. 1, 449. Hadis no. 1454 mengenai aturan zakat di zaman Abubakar yang merujuk ketentuan Rasulullah SAW. Demikian pula sahifah Amr bin Hazm yang memuat tentang aturan

zakat yang dicatat saat beliau diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Ta>rikh Tadwi>n ….. , 37 67 Telah ditakhri>j di muka

68 ‘Itr, Manhaj …… , 45-46

(c) S{ah}i>fah Sa’ad bin ‘Ubadah yang berisi tentang keputusan hukum yang ditetapkan saat bertugas di Yaman. Sebagaimana hal ini tersebut oleh al-

Tirmidzi dalam sunannya. 69 Terkait sejarah awal pencatatan hadis ini, muncul polemik tentang hukum

mencatat hadis di masa Nabi SAW karena adanya beberapa hadis yang dinilai kontradiktif antara melarang dan membolehkan.Di antara hadis yang melarang adalah hadis dari Abu Sa’id al-Khudry RA bahwa Nabi SAW bersabda:

“Janganlah kalian menulis dariku (selain al-Qur’an).Barangsiapa yang menulis

al- Qur’an, hendaklah menghapusnya.Sampaikan hadis dariku dan tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku —Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda

—maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. 70

Sementara hadis lain yang menunjukkan kebolehan adalah hadis dari Abu Hurairah RA:

“Tidak ada seorang sahabat Nabi SAW pun yang lebih banyak hadisnya dari padaku selain Abdullah bin ‘Amr, karena dia menulis (hadis)

sementara saya tidak menulis ”. 71

Juga hadis dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA:

Dulunya saya menulis semua (hadis) yang saya dengar dari Rasulullah SAW yang ingin saya jaga dan hafalkan. Tetapi orang-orang Qurays

69 Ibid,. 70 Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal dengan Sa>h}ih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Turath al-‘Araby, t.th.), 2298. Hadis no. 3004. 71 Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al- Ja>mi’ al-Musnad , Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam Kitab al- ‘ilm Bab Kitabah al-‘Ilm , hadis no. 113 69 Ibid,. 70 Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal dengan Sa>h}ih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Turath al-‘Araby, t.th.), 2298. Hadis no. 3004. 71 Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al- Ja>mi’ al-Musnad , Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam Kitab al- ‘ilm Bab Kitabah al-‘Ilm , hadis no. 113

marah atau senang. Maka akupun menahan diri (untuk tidak menulis) hingga aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian sambil berisyarat menunj uk bibirnya, Beliau bersabda: “Tulislah, maka demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar darinya

selain kebenaran”. 72

Juga hadis tentang permintaan seorang pria dari Yaman yang bernama Abu Shah yang meminta catatan teks pidato Nabi SAW saat Fath al-Makkah kemudian Nabi bersabda:

“Tulislah untuk Abu Fulan (yaitu Abu Syah)” 73

Sejalan dengan pendapat ‘Itr, bahwa keberadaan hadis-hadis baik yang menetapkan larangan mencatat hadis ataupun sebaliknya yang memberikan ijin, sama-sama valid, sehingga dari aspek thubu>t keduanya tidak diragukan kesahihannya. 74

Secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh sejumlah ulama hadis adalah metode al- jam’u wa al-tawfiq (kompromi) dan metode na>sikh wa al- mansu>kh (abrogasi). 75 Namun, pendekatan yang paling tepat dalam masalah ini adalah 76 al- jam’u wa al-tawfiq (mengkompromikan). Dengan melihat bahwa masalah ini bukan terkait dengan ubudiyah dan larangan penulisan itu bukanlah keharaman pada substansi perbuatannya. Jika larangan menulis bersifat substansial, maka tidak akan ada ijin dipihak lain untuk menulisnya. Oleh karena itu, larangan dan ijinbersifat kondisional berkaitan dengan faktor sebab ( illat) tertentu. Sementara hukum itu yadu> ru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman. Menurut pendapat yang dipilih oleh ‘Itr sebabnya adalah kekhawatiran terhadap melemahnya perhatian dan konsentrasi kepada penjagaan dan periwayatan al-

72 Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 3, 318. Hadis ini terdapat dalam Kitab al- ‘Ilm bab Kitabah al-‘Ilm no. 3646.

73 Al-Bukhari. Al-Jami al-Sahih. Vol.1, 56. Hadis nomor 112

74 Itr, Manhaj al-Naqd , 41. Muhammad Ajaj al-Khatib.menyebut 3 hadis tentang larangan menulis hadis dan 8 hadis tentang ijin dan kebolehan menulis. Lihat Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 303-305

75 Metode tarjih tidak ditempuh oleh para ulama hadis karena dari aspek thubut setara validitasnya.

76 Lihat ‘Itr, Manhaj al-Naqd..

43, A’z}amy, Dira>sat.. 79

Qur’an. 77 A’zamy juga menguatkan sebab larangan pendapat ini dengan menyebut bahwa illat-nya adalah masalah iltibas catatan selain al-Qur’an dengan

al- Qur’an.Agumennya adalah; (a) Adanya penulisan al-Qur’an dan hadis yang berlangsung dengan imla>’ (dikte) dari Nabi. Aktivitas penulisan hadis berlangsung secara mutawa>tir di kalangan sahabat, seperti ketika Nabi meng- imla> ’-kan surat-surat dan dokumen administrasi kenegaraan. Ini menunjukkan bahwa larangan tidak bersifat umum untuk seluruh penulisan hadis, tetapi hanya bentuk peringatan untuk tidak menulis sesuatu bercampur dengan penulisan al- Quran seperti catatan berkaitan dengan tafsirnya agar tidak terjadi iltibas.(b) Adanya pembolehan pencatatan hadis oleh Nabi dalam sejumlah hadis sahih. 78

Pendapat kedua pakar tersebut dapat dibenarkan melihat perbedaan ijtihad para sahabat dan ulama berikutnya dalam menetapkan adanya illat ini pada realitas ( wa> qi’) setelah Rasul wafat. Para ulama yang tidak setuju penulisan apa saja selain al- Qur’an agar berkosentrasi sepenuhnya difokuskan kepada penulisan dan penjagaan al-Quran dan agar tidak terjadi percampuran teks al-

Qur’an dengan teks lainnya dalam catatan naskah yang sama. 79 Pada masa Nabi, para sahabat mencatat untuk keperluan pribadi dan diwariskan kepada

keluarganya serta tidak dipublikasikan secara umum. Setelah, masa kodifikasi al- Qur’an sukses dan telah menyebar secara massif, mulailah sahabat yang mencatat hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum. 80

Setelah Nabi SAW wafat (11 H/632 M), sejarah perkembangan periwayatan hadis memasuki era pencermatan dan pembatasan periwayatan ( al- tathabbut wa al-iqla>l min al-riwa>yah) pada masa Khulafa’ al-Rasyidin (sekitar 11

H sampai 40 H). Para sahabat yang diamanahi kepemimpinan umat yaitu Abubakar As-S}iddiq (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 23 H), Usman bin ‘Affan (w. 35 H) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) menerapkan kebijakan tersebut didasari pertimbangan antara lain; fokus dan perhatian utama pada pembukuan dan otentitas periwayatan al- Qur’an, peringatan bagi para sahabat yang menjadi guru (nara sumber) hadis untuk bersikap waspada dalam aktivitas

77 Ibid., 43 78 A’z}amy, Dira>sat, 79 79 Rishwan,

146-147 80 Kita>bah, Itr, Manhaj al-naqd, 45 146-147 80 Kita>bah, Itr, Manhaj al-naqd, 45

Setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin masa kodifikasi al-Qur’an sukses dan telah menyebar secara massiv, mulailah sahabat yang mencatat hadis

mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum. 82 Dalam masa pascakhalifah al-Rasyidin, muncu l para tabi’in senior (kiba>r al- Tabi’i>n) yang

bekerja sama dengan para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat yang masih hidup setelah periode al- Khulafa’ al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis di antaranya 'Ais‘ah RA (w. 68 H), Abu Hurairah (w. 58 H), Abdullah bin Abbas RA (w. 68), Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H), dan Jabir bin Abdullah (w. 78 H).

Penyebaran hadis tersebut seiring dengan penyebaran sahabat secara geografis mengikuti perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di antara beberapa kota yang menjadi pusat periwayatan hadis dan menjadi tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis ( rihlah li talab al-h}adi>th) yaitu Madinah al-Munawwarah, Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib, Yaman dan Khurasan. Masa ini disebut juga dengan masa penyebaran periwayatan hadis ( Intis}a>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r).

Kebutuhan terhadap penulisan atau dokumentasi hadis semakin meningkat pada masa ini karena semakin luasnya Daulah Islamiyah dan semakin meningkatnya kekhawatiran terhadap hilangnya sunnah Rasulullah SAW dengan meninggalnya para sahabat yang menjadi saksi mata, nara sumber periwayatan dan para pelaku sejarah yang pernah hidup dan berjuang bersama Rasulullah SAW. Terlebih lagi dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap usaha-usaha orang-orang fasik yang ingin menyusupkan hadis-hadis palsu dalam kondisi

81 Lihat Abu Zahu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n , 63-79. Patut diakui bahwa kebijakan tersebut sangat penting sebagai upaya penjagaan dan pemeliharaan otentisitas hadis. Bahkan, sikap

memuliakan hadis Nabi, kecermatan dan hati-hati dari kekeliruan periwayatan dan menjaganya dari upaya pemalsuan yang dicontohkan oleh para sahabat tersebut diteladani dan diwariskan oleh murid-murid mereka yang thiqa>t pada generasi ta>bi’in dan seterusnya. Walaupun demikian, di sisi lain sikap tersebut berdampak negatif terhadap periwayatan hadis yaitu mayoritas sanad hadis berstatus ahad pada

82 t}abaqa>t perawi di era sahabat dan tabi’in ini. Itr, Manhaj al-naqd, 45 82 t}abaqa>t perawi di era sahabat dan tabi’in ini. Itr, Manhaj al-naqd, 45

nasehat 84 targhi>b wa tarhi>b. Sementara itu, pada abad awal kedua Hijriyah, kodifikasi ( tadwi>n) baru

dimulai secara formal atas perintah dari Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz (w. 101/7\19). Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz meminta Abubakar bin Muhammad bin Hazm, seorang Qa>d}i yang bertugas di Madinah untuk menuliskan untuknya hadis- hadis yang diriwayatkannya dari gurunya ‘Amrah binti ‘Abdurrahman al- Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar (w. 106 H):

- ملسو هيلع للها ىلص ِملعلا مسورد ُتفخ نِّإف ُهبتكاف - ِللها ِلوسر ِثيدح نم مناك ام رظنا ءاملعلا مباهذو

“Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan catatlah. Saya khawatir hilangnya ilmu itu dan wafatnya ulama (pakar yang menguasainya) 85 ”.

Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz memerintahkan para pegawai dan ulama seluruh dunia Islam supaya mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah.

“Kalian Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan kumpulkanlah. 86 ”

Perhatian besar jugadiberikan oleh Umar bin ‘Abdul Aziz dalam penyebaran naskah catatan hadis. Umar bin Abdul ‘Aziz meminta kepada pakar hadis terkemuka di zaman tersebut yaitu Ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H) untuk mengkodifikasifan hadis untuk disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Al-Zuhri berkata:

83 Seperti firqoh Khowarij, syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dll yang memproduksi hadis palsu untuk kepentingan aliran ideologinya.

84 DR. Yasir al-S{amaly, Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhadithi>n (Oman: Maktabah al-Hamid, cet. 2, 2006 M), 19

85 Mustafa al- Siba’i, al-Sunnah wa Maka>natuha fi al- Tasyri’ al-Islamy (Beirut: al-Maktab al- Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Burhanuddin Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’I , Al-nukat al-

Wafiyah bima fi Syarh Alfiyah . Ed. Mahir Yasin al-Fahl. Vol. 2 (Maktabah al-Rusyd Nasyirun, cet. 1, 1428 H/2007 M), 129, Abu Zahu.

86 Al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n , 244 Mustafa al- Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha .., 104

“Kami diperintah oleh Umar bin ‘Abdul Aziz untuk mengumpulkan sunah-sunnah Nabi. Maka kamipun menulisnya dalam naskah-naskah catatan. Kemudian, masing-masing naskah tersebut dikirimkan kepada seluruh pelosok negeri dibawah pemerintahannya.” 87

Setelah era al-Zuhri, kodifikasi hadis oleh ulama generasi berikutnya semakin menyebar luas. Di antara para ulama yang terkemuka adalah Ibnu Jurai>j (w. 150 H) dan Ibnu Ish}a>q (w. 156 H) di Kota Makkah, Sa’i>d bin ‘Arubah (w. 156 H), al- Rabi>’ bin S{abi>h (w. 160 H) dan Imam Ma>lik (w. 179 H) di Kota Madinah. Di Kota Basrah, dipelopori oleh Hama>d bin Salamah (w. 167 H). Di Kota Kufah, di antaranya Sufya>n al- Tsaury (w. 161 H), di Syam Abu ‘Amr al- Auza’y (w. 157 H), di Wasit} ada Husyaim (w. 173 H), di Khurasan ada Abdullah bin al- Mubarak (w. 181 H), Ma’mar (w. 154 H) di Yaman, Jarir bin ‘Abd al- Hamid (w. 188 H) di Ray. Demikian pula terdapat tokoh-tokoh hadis seperti Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Syu’bah bin al-

Hajjaj (w. 160 H). 88 Kebanyakan buku (kitab hadis) dalam periode ini belum diberi judul

atau nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Hampir semua buku- buku mereka pada periode ini kini sudah tidak ada lagi. Yang tinggal adalah isi kandungan dan nama-nama mereka dalam isna>d hadis yang terdapat dalam buku- buku (kitab hadis) yang ada kemudian. 89

Dengan demikian, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi SAWtelah memakan waktu yang sangat panjang.Dalam konteks periodesasi penulisan hingga era kodifikasi yang massif dan sempurna telah melewati tiga periode. Pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke akhir abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n ; kira-kira dari awal abad kedua sampai pertengahan abad itu. Dan ketiga, periode Tas}ni>f ; kira-kira dari

87 Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abd al-Barr al-Qurt}uby, Ja>mi’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lih, Vol. 1, ed. Abu Ashba>l al-Zuhairy (Al-Mamlakah al- ‘Arabiyah al-Su’udiyah: Da>r Ibn al-Jauzy, Cet. 1, 1414

H/1994 M), 331 88 Must}afa al-Siba> ’I, Al-Sunnah wa Maka>natuha .., 105

89 Ugi Suharto, “ Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith ”, Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004), 83 89 Ugi Suharto, “ Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith ”, Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004), 83

kemungkinan masuknya para perawi “bermasalah” dalam silsilah sanad. Realitas ini menjadi semakin kompleks dengan fenomena pemdokumentasian hadis ke dalam kitab-kitab hadis ternyata menggunakan berbagai metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi. Memasuki abad ke-3 H, gerakan massif di bidang pendokumentasian hadis dalam kitab-kitab hadis membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-mus}annafa>t, al- jawa>mi’, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al- Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis- hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu. Beragamnya metode dan pendekatan pengumpulan, penyusunan dan kodifikasi sunnah ini melahirkan upaya penelitian dan kritik terhadap kualitas hadis-hadis dalam berbagai kitab hadis tersebut. Pada abab ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang kritik hadis, kritik hadis beriringan dengan lahirnya produk-produk keilmuan yang unggul berupa kutub al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama bagi para ulama di bidang keilmuan Islam lainnya. 91

3. Pertimbangan Praktis Fenomena munculnya pemalsuan hadis merupakan pertimbangan penting yang melatarbelakangi upaya para ulama hadis melakukan penelitian dan kritik hadis. Fenomena pemalsuan hadis ini mulai semarak di saat perpecahan politik di

90 Periode taqyi>d adalah periode ketika hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah; booklet) oleh para Sahabat dan Tabi’in. Jumlah risalah dan catatan kecil mengenai hadis mencapai ratusan

jumlahnya. Periode tadwi> n, dimulai dengan perintah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz (w. 101 H) yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis Rasulullah SAW. Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Adapun periode tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al- Muwat}t}a’ susunan Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}annaf oleh ‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi’ al-S{{ah}i>h} oleh Imam Bukhari (w. 256 H). Ugi Suharto, “ Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”, 82-84

91 Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al- Mu’as{iri>n- wa yali>hi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah

(Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26 (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26

sunnah Rasulullah dengan menyebarkan hadis palsu. 92 Tidak sedikit hadis yang dibuat oleh pemalsu hadis yang dapat

meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam sehingga bila tidak dilakukan koreksi, klarifikasi dan dokumentasi khusus, dapat berakibat pada kehancuran ajaran Islam.Para ahli hadis berperan penting melalui ilmu kritik hadis untuk menjaga eksistensi sumber syariat dalam “matan-matan riwayat”. Rasulullah SAW bersabda:

“Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan yang disisipkan ( intih{a>l) dari para pendusta (al- mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bid’ah dan interpretasi ( ta’wi>l) dari orang- 93 orang bodoh”.