BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPO

BAB II
KERANGKA TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori
1. Pola Asuh Orang Tua
a) Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28B
menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Secara rinci bagaimana perlindungan negara terhadap anak
dapat dilihat dalam Undangundang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014,
pasal 1 ayat 2 menyebutkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pihak-pihak seperti orang tua, keluarga, masyarakat, lembaga
pendidikan, negara dan pemerintah berkewajiban melindungi anak dari
kekerasan maupun diskriminasi.
Perilaku orang tua akan sangat menentukan perilaku anak-anaknya,
baik dan buruknya perilaku anak bisa dipengaruhi oleh perilaku kedua orang
tuanya. Didalam keluarga perilaku orang tua menjadi model bagi anakanaknya untuk berperilaku, setiap saat anak mengamati perilaku orang tuanya
lalu anak tersebut meniru tindakan yang dilakukan orang tuanya dan

menerapkan tindakan tersebut dalam kehidupan sosialnya. Bandura dalam
teori belajar sosial (social learning theory) mengemukakan “children observe

their caretakers performing certain action and then imitate those action
themselves”.1
Oleh sebab itu orang tua harus berhati-hati dalam mendidik putra dan
putrinya, karena orang tua-lah yang akan menentukan perilaku anak baik
maupun buruk. Dalam satu hadits Rasulullah SAW bersabda “Setiap anak
sebenarnya dilahirkan di atas fitrah (Islam). Kedua orang tuanyalah yang akan
membuatnya menjadi Yahudi, Majusi atau Nasrani”

‫قال النبي صلى الله عليه و سلم كل مولود يولد‬
‫“ على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه‬
Bedasarkan hadist tersebut jelas bahwa anak-anak akan tumbuh
berdasarkan kebiasaan yang dilakukan orang tuanya didalam keluarga.
Kebiasaan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak didalam sebuah
keluarga biasa disebut dengan istilah pola asuh.
Menurut

Baumrind,


ada

4

(empat)

gaya

pola

asuh

yaitu

“Authoritarian, Authoritative, Neglectful parenting, Indulgent parenting”.2
Masing-masing dari pola asuh tersebut memiliki konsekuensi yang berbedabeda terhadap perilaku anak. Kesalahan dalam menerapkan pola asuh dapat
memberikan efek buruk terhadap perilaku anak. Efek pola asuh permissive
misalnya “perilaku anak diantaranya menjadi agresif”.3 Begitu pula anak yang
di asuh dengan otoriter (Authoritarian), “anak tersebut akan berperiaku

1 Ann Jon Brewer, Introduction to Early Children Educationn Education sixth edition,
(United State : Person, 2007), hal. 12
2 John W., Santrock, Life Span Development, Thirteenth edition, (New York: McGraw
Hill: 2010), hal. 404-405
3Carol Brown, Developmental Psychology, (Singapore: Sage, 2008), hal. 88

agresif”.4 Orang tua tentunya tidak mengharapkan bahwa anaknya berperilaku
negatif, semuanya menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, dan selalu
mengharapkan agar anaknya terhindar dari perilaku maupun sifat-sifat
negatif.
Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya yang suci adalah
subtansi yang berharga. Jika dibiasakan dengan kebaikan, ia akan tumbuh
dalam kebaikan dan bahagia di dunia dan akhirat. Adapun jika ia dibiasakan
dengan kejelekan dan diabaikan begitu saja seperti binatang maka ia akan
sengsara dan celaka, maka dari itu, menjaga anak adalah dengan mendidik,
mendisiplinkan, dan mengajarkannya akhlak terpuji. 5 Ini tentu mengingatkan
peranan orang tua yang mungkin disaat sekarang ini banyak yang tidak
menyadari bahwa anak adalah sebagai titipan Tuhan yang harus di asuh
dengan sebaik-baiknya.
Jika orang tua sudah sadar betul bahwa anak merupakan titip Tuhan,

mungkin tidak ada lagi tindakan-tindakan yang dilakukan orang tua yang
berakibat buruk pada perkembangan anak. Tindakan berakibat buruk yang
dimaksud adalah bentuk tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap
anaknya baik fisik maupun psikis, bahkan tidak jarang disaat sekarang ini
tindakan kekerasan tersebut berujung pada kematian seperti yang sering kita
saksikan di media televisi maupun media massa lainya.
Orang tua yang seharusnya menjadi pelindung dan memberikan rasa
aman pada anak-anaknya justru ini sebalikanya orang tua menjadi ancaman
4 Santrock., Ibid
5 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Solo: Insan Kamil, 2012), hal.
548

bagi anak. Tentunnya hal ini menjadi preseden buruk yang harus dijadikan
pelajaran bagi para orang tua dalam mengasuh para buah hatinya.
Interaksi dalam keluarga salah satunya terwujud dalam bentuk proses
pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Hanya saja bagi
budaya tertentu membahas persoalan pangasuhan tidak dapat dilakukan
secara terbuka. Terkait dengan hal ini, Casmini menyatakan bahwa
“persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengasuhan dalam keluarga
menurut tradisi budaya masyarakat Indonesia (khususnya Jawa) merupakan

persoalan “tabu / aib” ketika didengar oleh keluarga lain di sekitarnya”.6
Pola asuh orang tua merupakan sebuah proses interaksi berkelanjutan
yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan pengarahan orang tua
terhadap anak dalam rangka perkembangan anak.7 Lebih lanjut Idrus
menjelaskan bahwa, sebagai sebuah interaksi maka akan dengan sendirinya
terjadi proses saling pengaruh-mempengaruhi.8 Artinya, perilaku yang
ditunjukkan oleh orang tua akan dengan sendirinya mempengaruhi perilaku
anaknya, dan sebaliknya perilaku yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya
akan pula mempengaruhi perilaku orang tua. Casmini mengemukakan pola
asuh orang tua merupakan upaya pemeliharaan seorang anak yakni
bagaimana orang tua memperlakukan, mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak yang meliputi cara orang tua

6 Casmini, Pola Asuh Orang Tua Ditinjau Dari Penghayatan Ayat-ayat Al-Quran &
Hadist Yang Bernuansa Pendidikan, Jenis Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan. Tesis.
(Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 2002)
7 M. Idrus, Kepercayaan Eksistensial Remaja Jawa, Disertasi. (Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada, 2004)
8 Ibid


memberikan peraturan, hukuman, hadiah, kontrol dan komunikasi untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang diharapkan masyarakat.9
Hetherington & Parke memaknai pola asuh orang tua sebagai suatu
interaksi antara dua dimensi perilaku orang tua. Dimensi pertama adalah
hubungan emosional antara orang tua dan anak. Dimensi kedua, adalah caracara orang tua dalam mengontrol perilaku anak-anaknya. 10 Dimensi ini
merupakan kontrol orang tua yang bersifat perlakuan orang tua terhadap anak
yang diekspresikan.
Menurut Supartini, tujuan utama pengasuhan orang tua adalah
mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya,
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan
tahapan

perkembangannya

dan

mendorong

peningkatan


kemampuan

berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. 11 Setiap
orang tua memiliki gaya yang unik dalam mendidik maupun mengasuh anakanak mereka.
Keunikan setiap orang tua dalam mengasuh atau mendidik anak
didalam

keluarga

disebabkan

oleh

beberapa

faktor

yang

dapat


mempengaruhinya yaitu seperti usia orang tua, keterlibatan ayah, pendidikan
orang tua, pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak, stress orang tua,
dan hubungan suami istri.12
9 Casmini., Ibid
10 Hetherington, E. M., & Parke, R. D., Child Psychology A Contemporary Viewpoint.
Fourth Edition. (Tokyo: Mc Graw-Hill: 1989), hal. 123
11 Supartini, Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak, (Jakarta: EGC, 2004), hal.
35
12 Supartini, Ibid., hal. 36-38

Berdasarkan faktor-faktor tersebutlah maka terjadi adanya perbedaan
dalam gaya pola asuh orang tua terhadap anak. Baumrind dalam Santrock
mengidentifikasi ada empat gaya pola asuh yaitu “Authoritarian parenting,
Authoritative parenting, Neglectful parenting, Indulgent parenting”.13
Baurmind

dalam Arnet

(ed),


menyatakan;

“authoritative

parenting,

Authoritarian parents, Permissive parents, neglectful parents”.14 M. Presley
dan McCormick dalam bukunya Child and Adolescent Development for
Educators

mengungkapkan;

“Authoritative

parenting,

Authoritarian

parenting, Permissive parenting, uninvolved parenting”.15 Sementara itu,

Fathi menyebutkan 3 macam pola asuh, yakni “Authoritarian, Authoritative
dan Permissive”.16
Menurut Fathi, ketiga gaya pola asuh Baurmind, hampir sama dengan
pola asuh menurut Hurlock, Hardy, dan Heyes yaitu “pola asuh otoriter, pola
asuh demokrasi dan pola asuh permisif”. Baurmind membagi karakteristik
gaya pola asuh menjadi dua dimensi yaitu “the degree of parental
responsiveness dan the degree of demand”.
Pola asuh authoritative menjadi pola asuh yang paling ideal
dibandingkan dengan ketiga pola asuh lainnya, hal ini disebabkan karena
adanya keseimbanganan antara tingginya permintaan orang tua yang
dibarengi dengan tinggainya respon yang diberikan orang tua terhadap anak.
13 Santrock., op.cit.
14 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Encycolpedia of Children Adolescents and the Media,
(London : Sage Publications, 2007), hal 643
15 Michael Pressley dan Christine B. McCormick., Child and Adolescent Development
for Educators, (New York: Guilford, 2007), Hal. 305
16 Bunda Fathi, Mendidik Anak dengan Al – Qur’an Sejak Janin, (Jakarta: Grasindo,
2011), hal. 35

Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative sangat senang dan

mendukung dengan perilaku konstruktif anak, serta berharap anak bisa lebih
matang, mandiri, dan berperilaku sesuai dengan usia perkembangannya.
Menurut Santrock Anak-anak yang diasuh dengan gaya authoritative
akan memiliki ciri seperti “often cheerful, self-controlled and selfreliant, and
achievement oriented; they tend to maintain friendly relations with peers,
cooperate with adults, and cope well with stress”.17 Gaya pola asuh
Autoritarian. a restrictive, punitive style in which parents exhort the child to
follow their directions and respect their work and effort. The authoritarian
parent places fi rm limits and controls on the child and allows little verbal
exchange. For example, an authoritarian parent might say, “You do it my way
or else”.18
Pola asuh authoritarian atau otoriter lebih berorientasi pada adanya
permintaan yang tinggi dari orang tua terhadap anak dan tidak dibarengi
dengan tingginya respon orang tua terhadap anak, hal ini cenderung
memperilihatkan kekuatan (power) orang tua terhadap anak. Pola asuh ini
menerapkan disiplin keras yang sesuai dengan kehendak orang tua dan serta
membatasi kebabasan anak untuk mengungkapkan perasaannya, hal ini akan
memberikan efek buruk terhadap perilaku anak.
Menurut Santrock, efek dari gaya pola asuh authoritarian (otoriter)
terhadap perilaku anak yaitu “often unhappy, fearful, and anxious about
comparing themselves with others, fail to initiate activity, and have weak
17 Santrock, Ibid., hal. 305
18 Santrock, Ibid., hal. 404

communication skills. Ditambahkan oleh Hart & dkk. Sons of authoritarian
parents may behave aggressively”.19
Menurut Arkoff dalam Fathi, menyebutkan bahwa “anak yang dididik
secara

otoriter

atau

ditolak

akan

memiliki

kecenderungan

untuk

mengungkapkan agresivitasnya dalam bentuk yang merugikan”. 20 Menurut
Priyatna (2010: 51) pola asuh otoriter kelak cenderung memicu anak menjadi
anak nakal saat dia mulai memasuki bangku sekolah. Gaya pola asuh
Permissive (permisif). “in opposition to authoritarian parents. Permissive
parents demonstrate a great deal of warmth and acceptance toward children
but low levels of parent-child involvement and discipline”.21 Ditambahkan
penjelasan menurut Presley dan McCormick. “Permissive parents allow
children to make up their own mind about most daily events: snacks, tv
viewing, going to bed, and so on. Permissive parent tend to be mildly warm
to neutral in the effect they direct toward their children.22
Dalam gaya pola asuh permissive orang tua cenderung untuk
mengikuti semua keinginan anak atau dalam istilah lain mungkin yang tepat
yaitu memanjakan anak. Orang tua yang memiliki pola asuh permisif menurut
Widyarini yaitu berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap
impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya
sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi pada anak, hanya sedikit
memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak mengatur
19 Santrock, Ibid
20 Fathi, Ibid., hal. 56
21 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Ibid., hal 643
22 Michael Pressley dan Christine B. McCormick, Ibid., hal. 305

aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu
dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan.23
Gaya pola asuh neglectful. “a style in which the parent is very
uninvolved in the child’s life”.24 “These parents stress neither responsiveness
nor demandingness and exhibit low levels of all parenting practices. The style
is characterized by high indifference to children’s needs and behaviors”.25
Kata lain pola asuh ini yaitu uninvolved, sesuai dengan artinya bahwa
dalam pola asuh ini keterlibatan orang tua maupun respon orang tua terhadap
anak sangat rendah. Orang tua cenderung mengabaikan atau membiarkan
anak berkembang dengan sendiri. Anak dalam proses perkembanganya tentu
membutuhkan pendamping untuk mengarahkan setiap perilaku dalam
kehidupanya, namun tentu jika hal tersebut tidak terjadi maka ini akan
mendorong terbentuknya perilaku buruk pada diri anak.
Berikut ini menurut Santrock efek anak yang mendapatkan pola asuh
neglectful yaitu socially incompetent, poor self-control and don’t handle
independence well. low self-esteem, are immature, and may be alienated from
the family. In adolescence, they may show patterns of truancy and
delinquency”.26
Orang tua dapat dikatakan sebagai pembentuk kepribadian dari
seorang anak, karena sejak dari lahir orang tua lah yang bertanggung jawab
bagaimana anak itu bertingkah laku. Ada pepatah yang mengatakan “Buah tak
23 M. Nilam Widyarini, Seri Psikologi Populer : Kunci Pengembangan Diri, (Jakarta :
PT Elex Media Komputindo, 2009), hal. 11
24 Santrock, Ibid., hal. 405
25 Jeffrey Jensen Arnett, Ed)., Ibid
26 Santrock, Ibid

jauh dari akarnya” yang sering diartikan bahwa tingkah laku dan sikap orang
tua akan menurun kepada si anak. Maka dari itu sebagai orang tua maka
haruslah dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi anaknya. Orang tua juga
harus memperhatikan perkembangan jasmani anaknya yang menyangkut
kesehatan dan kekuatan badan, ketrampilan otot, memberi pendidikan yang
baik agar anak memiliki akal yang cerdas serta pandai, dan berkewajiban
untuk menyekolahkan anak.
Kata pola asuh terdapat dua kata yaitu “pola” yang artinya adalah
“pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap,
sedangkan “asuh” yang artinya adalah dapat berati menjaga (merawat dan
mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan
memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.
Pengertian pola asuh menurut Hetherington & Whiting menyatakan
bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak,
seperti: proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi
dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. 27 Sugihartono dkk
menyatakan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan untuk
berhubungan dengan anak-anak.28 Semenara itu Chabib Thoha seperti yang
dikutip oleh Metha S. mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah
suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak
sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. 29 Jadi dapat
27 Heterington,M.E & Porke,R.D. (1999). Child Psychology A Contemporaryn New
Point 4th. New York: Mc Graw Hill.inc. hal 281
28 Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Hal. 31
29 Metha Silvana Yudha,” Pemgaruh Pola Asuh Orang Tua Tunggal Terhadap Perilaku
Moral Remaja”.S1, fakultas Ilmu Pendidikan Sosial dan Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung, 2011. Hal. 16

dikatakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi
antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi
anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang
dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan
berkembang secara sehat dan optimal. Maka sebagai orang tua harus dapat
memberikan contoh-contoh serta norma yang baik kepada si anak. Karena
bagaimanapun tingkah laku orang tua sangat mempengaruhi tumbuh
kembang anak itu sendiri.
b) Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Tiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan pola
asuh atau cara mendidiknya. Sugihartono dkk merumuskan tiga macam pola asuh
orang tua, sebagai berikut:30

(1) Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter disini adalah suatu bentuk pola asuh yang
menekankan pada pengawasan orang tua agar si anak tersebut taat
dan patuh pada apa yang dikatakan orang tua. Pada pola asuh
otoriter ini orang tua bersikap tegas, jika anak melakukan
kesalahan langsung dihukum dan mengekang keinginan anak.
Sehingga pada pola asuh otoriter ini anak tidak dapat
mengembangkan kreatifitasnya.
(2) Pola asuh permissif
Pola asuh permissif disini merupakan suatu bentuk pola asuh
dimana orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk
mengatur dirinya sendiri tetapi anak tidak dituntun tanggung
jawab dan orang tua disini tidak banyak mengontrol tingkah laku
anak. Dan dapat dikatakan orang tua tidak tahu bagaimana
pergaulan si anak dengan teman-temannya.
(3) Pola asuh autoritatif
Pola asuh autoritatif disini adalah suatu bentuk pola asuh orang
tua yang didalam pola asuh tersebut ada hak serta kewajiban dari
orang tua dan anak itu sendiri dimana didalamnya orang tua dan
anak saling melengkapi satu sama lain. Anak diajarkan untuk
30 Sugiharto, Ibid

bertanggung jawab sehingga orang tua dapat memberi kebebasan
dan kepercayaan kepada anak.
Pola asuh yang dikemukakan oleh oleh Agus Dariyo seperti yang
dikutip oleh Metha Silvana Yudha (2011:16) membagi bentuk pola asuh
orang tua menjadi empat, yaitu:
(1) Pola Asuh Otoriter (parent oriented)
Ciri-cri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua
harus ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa
dapat dikontrol oleh anak.
(2) Pola Asuh Permisif (children centered)
Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di
tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang
tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak.
(3) Pola Asuh Demokratis
Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan
diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak.
Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang
dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua
dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral.
(4) Pola Asuh Situsional
Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe
pola asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan
pola asuh secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang berlangsung saat itu.
Pola asuh orang tua memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam
pembentukan pribadi anak seperti yang diharapkan oleh setiap orang tua.
Sementara itu, Idrus membedakan tiga macam cara pola pengasuhan orang
tua, yaitu meliputi:
a) Pola asuh yang mendorong, dengan ciri-ciri sebagai berikut;
(1) Membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, yaitu orang
tua Jawa membimbing anak-anak mereka dengan cara
mengalihkan perhatian anak 7 dari hal-hal yang menurut orang
tua belum layak disaksikan, ataupun tidak pantas dilihat anak.
(2) Menunda kebutuhan sesaat, yaitu orang tua Jawa kerap
menunda pemenuhan kebutuhan terhadap keinginan-keinginan
anak yang menurut orang tua mereka belum saatnya dipenuhi.

(3) Mengajarkan kepatuhan, yaitu orang tua Jawa sudah mulai
mengenalkan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak-anak
mereka sejak bayi.
(4) Mengajarkan kesopanan, yaitu orang tua Jawa mengajarkan
anak mereka untuk berlaku sopan baik terhadap orang tua,
orang yang lebih tua, ataupun dengan orang lain sejak anak
mereka masih bayi, meskipun anak tersebut belum sepenuhnya
mengerti tingkah laku serta kata-kata orang yang ada di
sekitarnya. Salah satu adat kesopanan yang diajarkan oleh
orang tua Jawa adalah dengan mengajarkan kepada anak
mereka sejak bayi untuk menerima maupun memegang sesuatu
hanya dengan tangan kanan.
(5) Memberi perintah terperinci tanpa emosional, yaitu orang tua
Jawa memberikan perintah terperinci, dan tidak emosional
serta tanpa ancaman. Meskipun perintah yang diberikan
dilakukan dengan rinci namun tidak didasari rasa emosi
ataupun ancaman hukuman jika perintah-perintah tersebut
tidak dilakukan oleh anak.
(6) Memberi hadiah, yaitu pemberian hadiah digunakan sebagai
strategi orang tua Jawa untuk membiasakan perilaku yang
diharapkan oleh mereka dan orang sekitar mereka.
b) Pola asuh yang menghambat, dengan ciri-ciri sebagai berikut;
(1) Menakut-nakuti anak, yaitu orang tua Jawa menaku-nakuti
anak mereka melalui ancaman tentang nasibnya yang
mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus. Namun
model pengasuhan dengan menakut-nakuti ini didorong oleh
keinginan orang tua agar anaknya berperilaku baik, dan orang
asing akan berbuat jahat kepadanya jika dirinya tidak
menunjukkan sikap dan perilaku yang baik.
(2) Memberi hukuman, yaitu dalam pemberian hukuman ini orang
tua Jawa jarang memberi hukuman yang akan menghilangkan
kasih sayang. Hukuman ini akan diberikan ketika anak sudah
melakukan kesalahan atau tidak mematuhi perintah secara
berulang, dan benar-benar telah membuat marah orang tua,
orang tua tidak akan memberi hukuman ketika pertama kali
anak melakukan kesalahan tetapi menuggu sampai datang
kesempatan baru yang tepat untuk memberinya hukuman.
Hukuman yang diberikan orang tua Jawa tidak selamanya
berupa hukuman fisik, ataupun ungkapan verbal yang kasar
lainnya, melainkan dengan tidak mengajak bicara atau disebut
dengan disatru.
(3) Memusuhi (menyatru), yaitu makna harfiahnya adalah
dimarahi atau dimusuhi biasanya dengan tidak diajak bicara.
c) Pola asuh yang membiarkan, dengan ciri sebagai berikut;
(1) Mengumbar, yaitu membiarkan atau membebaskan atau tidak
membatasi anak untuk bermain dengan teman sebayanya.

(2) Ngelulu, yaitu membiarkan anak atau seseorang untuk
melakukan sesuatu yang diinginkannya, namun dengan
maksud memberi kesadaran bahwa hal itu sebenarnya tidak
diinginkan atau tidak disenangi oleh orang yang memberi
ijin.31
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ada
bermacam-macam pola asuh seperti: pola asuh demokratis, pola asuh otoriter,
pola asuh permissif, pola asuh autoritatif, dan pola asuh situsional.
Baumrind seperti dikutip Maccoby membagi pola asuh orang tua
menjadi dua dimensi control (Kontrol) dan Warmith (kehangatan).32
a) Dimensi kontrol
Dimensi

ini

berhubungan

dengan

sejauhmana

orang

tua

mengharapkan dan menuntun kematangan serta tingkah laku yang
bertanggung jawab dari anak. Tingkah laku dari orang tua yang bervariasi
pada dimensi ini, ada yang menuntut ( restriktif) dan banyak berharap dari
anak, sementara yang lain kurang menuntut dan permissif. Menurut Maccoby
pengertian kontrol dapat mencakup aspek-aspek:

(1) Restrictiveness (pembatasan-pembatasan)
Maccoby menggambarkan pembatasan ini sebagai
pencegahan bagi sesuatu yang ingin dilakukan oleh anak.
Keadaan ini ditandai dengan banyaknya larangan yang
dikenakan terhadap anak. Orang tua cenderung untuk banyak
mengenakan pembatasan atau kekangan terhadap tingkah
laku atau kegiatan anak tanpa disertai penjelasan yang
memadai mengapa tidak boleh, apa yang harus dilakukan,
harus bagaimana dan sebagainya.
(2) Demang dingness (tuntutan-tuntunan)
31 Idrus., Ibid, hal.74
32 E.E. Maccoby, Social Development: Psychological Growth and The Parent-Child
Relationship, (USA: Harcourt Brace Javanovich, 1980), hal 252

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan
yang dimaksud orang tua bisa bermacam-macam: ada orang
tua yang mengharapkan anak membantu tugas-tugas orang
tua menuntut kesopanan dalam relasi interpersonal dan
sebagainya. Tuntutan-tuntutan yang dibuat orang tua itu ada
yang sedikit ada yang banyak.
(3) Strictness (keketatan)
Stricness dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan
tegas dalam menjaga agar anak selalu mematuhi semua
aturan atau memenuhi tuntutan. Orang tua yang menerapkan
disiplin keras, tidak konsisten dan sewenang-wenang akan
menimbulkan rasa sentimen, kekerasan dan kecemasan pada
anak.
(4) Intrusiveness (campur tangan)
Intrusiveness ini memperlihatkan suatu keadaan dimana
orang tua melakukan intervensi terhadap anak dalam
rencanarencananya, hubungan-hubungan ataupun dalam
kegiatan lain. Campurtangan tersebut mengakibatkan sense
of control, yaitu perasaan bahwa dirinya mempunyai control,
yang tercermin melalui rasa optimistis dan percaya diri. Anak
yang selalu mendapat campur tangan orang tua akan
memperlihatkan rasa tidak berdaya, berupa sifat pasif, kurang
inisiatif dan kehilangan motivasi.
Sebaliknya anak yang memiliki cence of control yang kuat
akan merasa mampu mempengaruhi lingkungan dalam usaha
mencapai tujuannya sehingga ia akan lebih aktif berinisiatif
dan mandiri.
(5) Arbitrary vs Power assertion (penggunaan kekuasaan
sewenang-wenang).
Orang tua yang menggunakan kekuasaan sewenangwenang,
memiliki control yang tinggi dalam menegakkan aturanaturan
dan batasan-batasan. Orang tua mungkin akan menggunakan
hukuman bila tingkah laku anak menyimpang dari yang
diharapkannya. Dalam menghukum anak, orang tua tidak
memberikan penjelasan-penjelasan. Orang tua merasa ia
memiliki hak khusus untuk menentukan sesuatu yang
menyangkut anak dan anak pun harus mengakui hak tersebut.
b) Dimensi warmth
Dimensi ini berhubungan dengan tingkat responsiveness orang tua
terhadap kebutuhan anak dalam penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat
dan menerima, ada pula yang tidak resvonsif dan menolak. Orang tua yang

responsif adalah orang tua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat
diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.
Maccoby menyebutkan beberapa ciri lain yang menunjukkan adanya
wartmth (kehangatan), yaitu Orang tua yang menerima anak, memiliki
perhatian yang besar terhadap anak serta memberikan kasih sayangnya.
Orang tua juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengembangkan
kemampuan serta minatminat anak.
(1) Memperhatikan kesejahteraan, meliputi:
a. Pemenuhan afeksi dan rasa memiliki atau dimiliki;
b. Memberikan rasa aman dan pengakuan;
c. Mendorong kemandirian;
d. Memberikan perhatian; dan
e. Memberikan kesempatan untuk berprestasi.
(2) Cepat tanggap materi; seperti pangan, sandang, tempat
tinggal, kesehatan, waktu istirahat, dan aktivitas.
(3) Bersedia meluangkan waktu untuk bekerja sama dalam
suatu kegiatan.
(4) Siap untuk menanggapi kecakapan atau keberhasilan secara
antusias dan siap menolong apabila diperlukan.
(5) Peka terhadap keadaan emosi.
Orang tua yang tergolong hangat (responsif) ditunjukkan dengan
keramahan, memberikan pujian dan semangat ketika anak menghadapi
masalah. Tingkah laku yang ditampilkan orang tua membuat anak merasa

nyaman. Anak akan menerima kesan yang tegas bahwa ia diterima dan diakui
sebagai individu oleh orang tua. Sebaliknya orang tua yang tidak hangat
sering kali mengkritik, menghukum atau mengabaikan anak. Orang tua
tersebut jarang sekali menunjukkan pada anak bahwa ia mampu diterima.
Dari kedua dimensi tersebut kemudian berkembang menjadi tiga pola
asuh orang tua seperti dikutip oleh Richard M Lerner dan David F Hultsch,
yaitu:33
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah jenis pola asuh yang memiliki ciri-ciri: orang
tua berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku dan
sikap anak sesuai dengan standar mutlak perilaku. Orang tua jenis ini
menekankan nilai ketaatan kepada anak-anaknya. Suka menghukum dengan
hukuman fisik, sering terjadi konplik antara anak dan orang tua karena
perbedaan sudut pandang, memperlakukan anak seperti bawahan, lebih
menganut sruktur sosial tradisional, dan disiplin keras.
Orang tua yang otoriter tidak mendorong anak untuk mengemukakan
pendapatnya, dan tidak menerima pendapat anak. Sebaliknya orang tua yang
otoriter memperlakukan anak harus tunduk dan patuh pada aturan yang telah
ditetapkannya.
Orang tua yang bersikap masa bodoh, kaku, kurang mempengaruhi
kesejahteraan anak, dan menampilkan sikap permusuhan atau dominasi
terhadap anak.
33 Richard M Lerner dan David F Hultsch, Human Development, A Lifespan.
Perspective, (New York: McGraw-Hill Book Company, 1983), hal. 283

Pola pengasuhan jenis ini mengakibatkan perilaku anak menjadi
agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh atau keras kepala, suka bertengkar,
dan nakal), kurang dapat melaksanakan tugas, pemalu, suka mengasingkan
diri, mudah tersinggung, penakut, sulit bergaul, pendiam, sadis, inklusif, tidak
dapat mengambil keputusan, nakal, dan selalu bersipat bermusuhan atau
agresif.
b. Pola Asuh Permissif
Pola asuh ini adalah jenis pola asuh yang memiliki ciri-ciri:
memberikan kebebasan untuk berfikir atau berusaha, selalu menerima
gagasan atau pendapat, membuat anak merasa diterima dan merasa kuat,
toleran dan memahami kelemahan anak, cenderung lebih suka memberi yang
diminta anak dari pada menerima, orang tua selalu berkonsultasi dengan anak
dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam keluarga, dalam
menerapkan aturan selalu dijelaskan alasan-alasan tentang peraturan tersebut.
Tetapi orang tua yang permissif tidak menjadikan dirinya sumber yang aktif
dengan tanggungjawab untuk membentuk prilaku anak pada waktu sekarang
dan yang akan datang. Orang tua memberikan kebebasan dalam perilaku
anak, orang tua kurang mengontrol perilaku anak sehingga kadang-kadang
perilaku anak tidak sesuai dengan standar sosial yang berlaku, orang tua
selalu memberikan sesuatu yang diminta anak, dan membiarkan anak
berperilaku semaunya di rumah.
Pola Asuh jenis ini mengakibatkan anak berperilaku pandai mencari
jalan keluar, dapat bekerja sama dengan siapapun, memiliki perasaan percaya

diri yang bagus, tetapi menjadi penuntut tidak sabaran, perilaku anak menjadi
tidak patuh, tidak bertanggung jawab, agresif, teledor, bersikap otoriter dan
terlalu percaya diri.
c. Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh jenis ini memiliki ciri-ciri: Orang tua berusaha untuk
mengarahkan anaknya atau aktipitas anaknya yang berorientasi rasional,
melalui penjelasan dan sesuai dengan daya nalar anak. Ada upaya orang tua
untuk mempengaruhi perilaku anak, yaitu melalui penalaran dan penjelasan.
Orang tua yang otoritatif berusaha mengendalikan anak, mendorong anak
untuk mengemukakan pendapatnya karena itu memunginkan orang tua
menerima pendapat anaknya dalam mengambil kebijakan. Walaupun orang
tua melakukan kontrol yang kuat kepada anaknya tetapi tidak membebani
anaknya sebaliknya kepentingan kebutuhan dan tahap perkembangan anak
menjadi hal yang penting dalam memperlakukan anak.
Orang tua tetap menjaga hak sebagai orang tua dan hak anak sebagai
anak. Orang tua selalu memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus
kepada anak, menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah,
orang tua selalu mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak
bersipat respek terhadap anak, mendorong anak untuk menyatakan
perasaannya, dan pendapatnya, dan orang tua selalu berkomunikasi dengan
anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya.
Pola pengasuhan jenis ini mengakibatkan perilaku anak mau bekerja
sama (kooperatif), bersahabat atau (Friendly), loyal, emosinya stabil, ceria

dan bersipat optimis mau menerima tanggung jawab, bersikap jujur, dapat
dipercaya, memiliki perencanaan yang jelas untuk masa depan, dan bersikap
realistik (memahami kekuatan dan kelemahan dirinya secara obyektif).
Dari ketiga cara pola asuh diatas, pola asuh otoritatif merupakan pola
asuh yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan oleh orang tua. Pola
asuh seperti ini ternyata memberikan kontribusi kepada perkembangan
kepribadian anak yang sehat.
Mengkaji hal yang sama, Yusuf dan Nurihsan mengemukakan lima
prinsip affective parenting, yaitu:34
a. Hendaknya orang tua menyusun standar (aturan perilaku) yang
tinggi, namun dapat dipahami oleh anak. Dalam hal ini anak dapat
diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan
usianya.
b. Hendaknya orang tua selalu menaruh perhatian terhadap perilaku
anak yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini
perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada
umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada
anak

pada

saat

anak

berperilaku

menyimpang.

Namun

membiarkannya ketika melakukan yang baik.
c. Hendaknya orang tua menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika
meminta anak untuk mengerjakan sesuatu.

34 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 183-184

d. Hendaknya orang tua mendorong anak untuk menelaah dampak
perilakunya terhadap orang lain.
e. Hendaknya orang tua menegakkan aturan secara konsisten.
Maccoby telah membandingkan pola asuh kelas menengah dan atas
dengan pola asuh kelas pekerja, hasilnya menunjukkan bahwa orang tua kelas
bawahan atau pekerja cenderung: (a) sangat menekankan kepatuhan dan
respek terhadap otoritas, (b) lebih restritif (keras) dan otoriter, (c) kurang
memberikan alasan kepada anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberi
kasih sayang kepada anak.35
Pikunas mengemukakan pendapat tentang kaitan dengan kelas sosial
dengan cara atau teknik orang tua dalam mengelola atau mengasuh anak
yaitu:
a. Kelas bawah (lower class): cenderung lebih keras dalam toilet
training, dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan
orang tua dari golongan kelas menengah.Anak-anak dari kelas bawah
cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman
seksual;
b. Kelas menengah (middle class): cenderung lebih memberikan
pengawasan, dan perhatiannya sebagai orang tua. Para ibunya merasa
bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya, dan menerapkan
kontrol yang lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status
yang lebih tinggi, dan menekankan anak untuk mengejar statusnya melalui
pendidikan atau lahan profesional;
35 Ibid

c. Kelas atas (upper class): cenderung lebih memanfaatkan waktu
luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang
yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi
estetikanya. Anak-anak cenderung memiliki sikap manipulasi aspek realitas.36
Sejalan dengan hal diatas, David dalam Moh. Shohib, mengatagorikan
keluarga atau pola asuh keluarga kedalam beberapa jenis yaitu; keluarga
seimbang, keluarga kuasa, keluarga protektif, keluraga kacau, dan keluarga
simbotis.37
a) Kelurga seimbang
Keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan
hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan
anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus
diminta. Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif.
Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena didalam keluarga
terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak akan merasa aman
walaupun tidak selalu disadari. Diantara keluarga saling mendengarkan jika
bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah
dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.
b) Keluarga Kuasa

36 Justin Pikunas, Human Development: an Emergent Science, 3rd edition, (Tokyo: Mr.
Grow Hill Inc, 1976), hal. 209
37 Moh. Shohib, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Mengembangkan Disiplin
Diri, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 19-20

Keluarga kuasa adalah keluarga yang lebih menekankan kekasaan dari
pada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu
mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak
pernah habis.Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawasan tertinggi.
Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau
peluang agar dirinya “didengakan”.
c) Keluarga Protektif
Keluarga Protektif adalah keluarga yang lebih menekankan pada tugas
dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidak
cocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap
orang tua itu lebih banyak pada upaya memberikan dukungan, perhatian dan
garis-garis pedoman sebagai rujukkan kegiatan. Esensi dinamika keluarga
adalah komunikasi dialogis yang didasarkan pada kepekaan dan rasa hormat.
d) Keluarga Kacau
Keluarga kacau adalah keluarga yang kurang teratur dan selalu
mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul komplik (masalah) dan kurang
peka memenuhi kebutuhan anak-anak.
Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam karena
kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Keluarga kacau
selalu tidak rukun. Orang tua sering berperilaku kasar terhadap anak. Orang
tua menggambarkan kemarahan satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi
antara orang tua dengan anaknya. Anak merasa terancam dan tidak sayang.

Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapat
kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga.
Dinamika keluarga banyak hal sering menimbulkan kontradiksi
karena pada hakikatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal
dan tempat berteduh oleh individu-individu.
e) Keluarga Simbiotis
Keluarga simbiotis adalah keluarga yang ditandai oleh orientasi dan
perhatian kelurga yang kuat dan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak.
Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua sering merasa
terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan
“demi keselamatan”.
Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan
memenuhi keinginan anak-anaknya. Anak dewasa ini dalam keluarga ini
belum memperlihatkan perkembangan sosialnya. Dalam kesehariannya
dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja. Rumah dalam keluarga
mendominasi para anggota keluarga.
Maurice Bolson mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan
orang tua dalam mengasuh anak-anaknya, yaitu adanya tiga perubahan dalam
peran pengasuhan yang terbukti sangat sulit bagi orang tua, yang
menyebabkan sebagian kita sulit menerima perubahan itu adalah karena kita
cenderung memandangnya sebagai kekalahan dan bukan perubahan.38

38 Maurice Bolson, Bagaimana Menjadi Orang Tua yang baik, (Jakarta: Bumi Aksara,
1993), hal. 123

Jika kita bisa memandang perubahan ini lebih positif dan lebih
memahami mengapa penting bagi orang tua untuk membiarkannya terjadi,
kita akan lebih mudah menerima dan menyesuaikan diri. Ketiga hal itu
adalah: (a) Perubahan itu menjadi pusat perhatian dalam kehidupan anak
menjadi hanya salah seorang dari banyak orang yang hanya dipedulikan anak,
(b) Saat kita harus berubah dari mengendalikan kehidupan anak menjadi
membantunya mengendalikan kehidupannya sendiri, dan (c) Perubahan dari
berusaha membantu anak menjadi membiarkan anak menjadi dirinya sendiri.
Jelasnya semua perilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat-sifat
tersebut diakui dipengaruhi oleh pendidikan atau pola asuh dalam keluarga.
Dengan kata lain, pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan
jiwa anak. Pola asuh orang tua bersentuhan langsung dengan tipe-tipe
kepemimpinan

orang

tua

dalam

keluarga.

Tipe-tipe

kepemimpinan

bermacam-macam, sehingga pola asuh keluargapun bermacam-macam. Pada
garisnya besarnya tipe kepemimpinan itu adalah otoriter, demokratis dan
campuran antara otoriter dan demokratis, sehingga pola asuh pun ada yang
otoriter, permissif (demokratis), dan otoritatif (campuran antara otoriter dan
demokratis).
Ada banyak sifat yang harus dimiliki oleh orang tua sebagai seorang
pemimpin dalam keluarga, yaitu energy jasmani dan mental, kesadaran akan
tujuan dan arah pendidikan anak, antusiasme (semangat, kegairahan, dan
kegembiraan yang besar), keramahan dan kecintaan, integritas kepribadian

(keutuhan, kejujuran, dan ketulusan hati), pengusaan teknis mendidik anak,
ketegasan dalam mengambil keputusan, cerdas, memiliki kepercayaan diri.
c) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh mempunyai sejarah
sendiri-sendiri dan latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda.
Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda
terhadap anak. Menurut Maccoby & Mc loby ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu: sosial ekonomi.
Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau
pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan
sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak
pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh
status ekonomi.
Pendidikan: Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia
menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat memengaruhi
pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga
berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya.
Nilai-nilai agama yang dianut orang tua: Nilai-nilai agama juga
menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang tua pada anak
dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan juga
turut berperan didalamnya.

Kepribadian: Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu
mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan
membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak.39 Pendapat tersebut
merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu
pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun
sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang
kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang
sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di
dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
Jumlah anak: Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan memengaruhi
pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam
keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan
pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya
terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.40
Menurut Hurlock ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh,
yaitu:41
(1) Pendidikan orang tua
Hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan orang tua
mempengaruhi dalam menetapkan pola asuh.
(2) Kelas sosial
Orang tua yang berada dalam kelas sosial menengah lebih
menetapkan pola asuh permissif dibandingkan dengan orang tua
yang memiliki kelas sosial bawah.
(3) Konsep tentang peran

39 Riyanto Bambang, Dasar-dasar pembelanjaan perusahaan, edisi 4, (Yogyakarta:
BPFE, 2002), hal. 18
40 Okta Sofia, Pengaruh pola asuh orangtua, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 91
41 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1993), hal. 74

Orang tua yang memiliki konsep tradisional cenderung
menetapkan pola asuh yang ketat terhadap anak dibandingkan
dengan orang tua yang memiliki konsep nontradisional atau lebih
modern dapat lebih memberi kebebasan kepada anak untuk
melakukan kegiatan yang disenanginya tapi masih masuk dalam
kegiatan yang positif.
(4) Kepribadian orang tua
Dalam hal ini kepribadian oran tua mempengaruhi dalam
menetapkan pola asuh orang tua.
(5) Kepribadian anak
Tidak hanya kepribadian orang tua yang mempengaruhi pola asuh
orang tua tetapi juga keprbadian anak. Anak yang berpikiran
terbuka akan lebih mudah menerima kritik, saran dan rangsangan
dari luar sehingga lebih mudah untuk dikendalikan daripada anak
yang bersifat tertutup.
6) Usia anak
Usia anak juga mempengaruhi bagaimana orang tua menetapkan
pola asuh, terutama pada anak pra sekolah yang masih sangat
membutuhkan perhatian dari orang tua tentu saja pola asuhnya
akan berbeda dengan anak yang sudah remaja yang perlu sedikit
kebebasan dalam bergaul dengan teman seusianya.
Pada kesempatan lainnya, Horlock berpendapat beberapa faktor yang
memengaruhi pola asuh orang tua, yaitu:
a) Tingkat sosial ekonomi
Orang tua yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah
lebih bersikap hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari
sosial ekonomi yang rendah.
b) Tingkat Pendidikan
`Latar belakang pendidikan orang tua yang lebih tinggi dalam
praktek asuhannya terlihat lebih sering membaca artikel ataupun
mengikuti perkembangan pengetahuan mengenai perkembangan
anak. Dalam mengasuh anaknya mereka menjadi lebih siap
karena memiliki pemahaman yang lebih luas, sedangkan orang
tua yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas, memiliki
pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan
dan perkembangan anak sehingga kurang menunjukan pengertian
dan cenderung akan memperlakukan anaknya denga ketat dan
otoriter.
c) Kepribadian.
Kepribadian orang tua dapat mempengaruhi penggunaan pola
asuh. Orang tua yang konservatif cenderung akan memperlakukan
anaknya dengan ketat dan otoriter.
d) Jumlah anak
Orang tua yang memiliki anak hanya 2-3 orang (keluarga kecil)
cenderung lebih intensif pengasuhannya, dimana interaksi antara

orang tua dan anak lebih menekankan pada perkembangan
pribadi dan kerja sama antar anggota keluarga lebih dperhatikan.
Sedangakan orang tua yang memiliki anak berjumlah lebih dari
lima orang (keluarga besar) sangat kurang memperoleh
kesempatan untuk mengadakan kontrol secara intensif antara
orang tua dan anak, karena orang tua secara otomatis berkurang
perhatiannya pada setiap anak.42
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock dapat diambil
kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh oran
tua seperti pendidikan orang tua, kelas sosial orang tua, konsep tentang peran,
kepribadian orang tua, kepribadian anak serta usia anak.
Dalam pola pengasuhan sendiri terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan pola
pengasuhan pada anak-anaknya. Menurut Manurung beberapa faktor yang
memengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua adalah:
1) Latar belakang pola pengasuhan orang tua Maksudnya para orang
tua belajar dari metode pola pengasuhan yang pernah didapat dari
orang tua mereka sendiri.
2) Tingkat pendidikan orang tua Orang tua yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi berbeda pola pengasuhannya dengan orang tua
yang hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
3) Status ekonomi serta pekerjaan orang tua Orang tua yang
cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang menjadi
kurang memperhatikan keadaan anak-anaknya. Keadaan ini
mengakibatkan fungsi atau peran menjadi “orang tua” diserahkan
42 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Masa.
Edisi kelima. (Jakarta: Erlangga, 1997), hal. 19

kepada pembantu, yang pada akhirnya pola pengasuhan yang
diterapkanpun sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh
pembantu.43
Sedangkan Santrock menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain:
1) Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya. Orang tua
menerapkan pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola
pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.
2) Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat
antara dulu dan sekarang.44
Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi terbentuknya pola asuh
orang tua dalam keluarga, diantaranya:
a. Budaya setempat Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma,
adat dan budaya yang berkembang di dalamnya.
b. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua Orangtua yang
mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung untuk
menurunkan kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa nantinya
nilai dan ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembangkan oleh
anak dikemudian hari.
c. Letak geografis dan norma etis. Penduduk pada dataran tinggi tentu
memiliki perbedaan karakteristik dengan penduduk dataran rendah

43 Manurung, Manajemen Keluarga, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1995),
hal. 53
44 Jhon Santrock, Perkembangan Masa Hidup Edisi ke-5 Jilid 1. (Jakarta: Erlangga,
2002), hal. 240

sesuai tuntutan dan tradisi yang dikembangkan pada tiap-tiap
daerah.
d. Orientasi religius Orangtua yang menganut agama dan keyakinan
religius tertentu senantiasa berusaha agar anak pada akhirnya nanti
juga dapat mengikutinya.
e. Status ekonomi Dengan perekonomian yang cukup, kesempatan
dan fasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang
mendukung cenderung mengarahkan pola asuh orangtua menuju
perlakuan tertentu yang dianggap orangtua sesuai.
f. Bakat dan kemampuan orangtua Orangtua yang memiliki
kemampuan komunikasi dan berhubungan dengan cara yang tepat
dengan anaknya cenderung akan mengembangkan pola asuh yang
sesuai dengan diri anak.
g. Gaya hidup Gaya hidup masyarakat di desa dan di kota besar
cenderung memiliki ragam dan cara yang berbeda dalam mengatur
interaksi orangtua dan anak.
Soekanto secara garis besar menyebutkan bahwa “ada dua faktor yang
mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu faktor eksternal serta
faktor internal.” Faktor eksternal adalah lingkungan sosial dan lingkungan
fisik serta lingkungan kerja orang tua, sedangkan faktor internal adalah model
pola pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.45

45 Sarjono Soekanto, Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja
dan Anak, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal. 43

Secara lebih lanjut pembahasan faktor-faktor yang ikut berpengaruh
dalam pola pengasuhan orang tua adalah:
1) Lingkungan sosial dan fisik tempat dimana keluarga itu tinggal.
Pola pengasuhan suatu keluarga turut dipengaruhi oleh tempat dimana
keluarga itu tinggal. Apabila suatu keluarga tinggal di lingkungan yang
otoritas penduduknya