Kasus Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan M

Kasus Pelanggaran HAM Berat
(Pembunuhan Marsinah)
A. Pendahuluan
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)
pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut
Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada
para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok.
Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan
pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan
himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993
seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian.
Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data
tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah
perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang
hendak mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan
unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift
serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk
diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik
menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga
mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para
pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.

Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum
aksi berlangsung.
Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus
PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut,
sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak
mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum
dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai
dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah
perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama. Namun,
pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum
berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo.
Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar
atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu
menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena
tekanan fsik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8
buruh di-PHK di tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat mendatangi
Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,
Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada

kawan-kawannya.
Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan
melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut
kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan
membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal
6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai
akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993. Mayatnya
ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993.

Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang.
Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua
pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat.
Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di selasela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan
benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran
darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
B. Analisis Kasus Hukum
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda
Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan
Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim
dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan

penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT
CPS (Ys, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Ya, 33 tahun,
pemimpin pabrik PT CPS Porong; Su, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS
Porong; Spt, 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bw, 37 tahun, karyawan
PT CPS Porong; Wd, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Ap, 57
tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Kw, 37 tahun, kepala bagian produksi PT
CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mtr, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan
yang ditangkap, mengalami siksaan fsik maupun mental selama diinterogasi di
sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap
orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan
menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di
tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.
Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa
oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang
yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang
dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus

Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga
165 KUHP jo Pasal 56 KUHP. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Spt
(pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki
Carry putih ke rumah Ys di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah
disekap, Sw (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Mtr divonis 7
bulan penjara, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Mtr
dinyatakan bersalah dan divonis 6 bulan penjara. Dalam proses selanjutnya
pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para
terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.
Selanjutnya, dalam melakukan pemeriksaan penyidik dengan segala
rekayasa yang dituangkan dalam Berkas Acara Perkara telah menunjukkan
ketidak-profesionalannya yaitu dengan melakukan pemaksaan terhadap
terdakwa guna mengejar sebuah pengakuan. Padahal dari fakta hukum yang
tersedia dikatakan bahwa penyidik bukanlah mengejar pengakuan melainkan
pembuktian sebagaimana dimaksud pada pasal 184 KUHAP mengenai alat
bukti. Pada saat melakukan pemeriksaan kepada seorang tersangka, maka


penyidik harus tetap berpedoman pada asas praduga tidak bersalah, tugas
penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP adalah guna membuat terang
suatu perkara pidana dengan menunjukkan alat bukti yang cukup. Yang tidak
kalah penting adalah apa yang disebut sebagai “Miranda Rule”, dimana
seorang tersangka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum selama
proses penyidikan berlangsung. Dalam hal pencabutan berkas, hal tersebut
pun tidak perlu dikhawatirkan oleh pihak penyidik selama alat bukti yang
dimiliki oleh penyidik adalah cukup dan diperoleh sesuai dengan ketentuan.
Dalam perkara pembunuhan sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP
serta hukum Formal yang berlaku di Indonesia, maka ada beberapa fakta
Hukum yang harus diperhatikan terkait dengan kasus pembunuhan Marsinah
dengan terdakwa Mtr, yaitu :
a. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP
menyatakan
bahwa
dalam
hal
pemeriksaan,

seorang
tersangka/terdakwa dapat memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik dan hakim.
b. Dalam kaitannya pemeriksaan dihadapan penyidik, maka seorang
tersangka memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-undang seperti
hak untuk tidak diperiksa dalam keadaan tertekan/disiksa dimana hal ini
selaras dengan asas praduga tidak bersalah serta pasal 117 KUHAP,
selanjutnya seorang tersangka berhak untuk didampingi oleh penasihat
hukum seperti halnya dijelaskan pada pasal 54 UU Nomor 8 tahun 1982
tentang KUHAP.
c. Sebagaimana dimaksud pada pasal 185 ayat (1) menyatakan bahwa
keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi sampaikan
dalam sidang pengadilan dan keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah atas dakwaan yang
dipersangkakan kepadanya atau “satu saksi bukan saksi”.
d. Sebuah Berkas Acara Pemeriksaan setelah diserahkan dari pihak penyidik
kepada pihak penuntut umum maka pihak penuntut umum segera
mempelajari dan meneliti berkas tersebut untuk kemudian menentukan
apakah berkas tersebut telah lengkap atau belum lengkap. Manakala
berkas tersebut telah lengkap (P21) maka penuntut umum segera

membuat surat dakwaan untuk kemudian memajukannya untuk
disidangkan. Manakala berkas tersebut dinyatakan belum cukup/belum
lengkap (P18) maka penuntut umum segera mengembalikan berkas
tersebut kepada pihak penyidik beserta petunjuk yang harus dilengkapi
penyidik (P19).
e. Dalam sebuah persidangan, Hakim Ketua Sidang dan Hakim Anggota dapat
meminta segala keterangan kepada saksi dimuka persidangan yang
dipandang perlu dan penting dalam mengungkap sebuah kebenaran dari
suatu perkara pidana. Hal ini selaras dengan pasal 165 ayat (1) UU Nomor 8
tahun 1981 tentang KUHAP sebagai bahan masukan kepada Hakim
sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana benar-benar
didasarkan kepada dua alat bukti yang sah serta hakim memperoleh
keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana sebagaimana
yang didakwakan kepadanya (Pasal 183 KUHAP).
C. Uji Syarat
1. Dalam kasus ini, tindakan Mtr,pada hari Rabu tanggal 5 Mei 1993
sekitar pukul 16.30 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu hari di bulan

Mei 1993 bertempat di Kantor PT.Catur Putra Surya Desa Siring
Kecamatan Porong Sidoarjo sengaja memberi keterangan untuk

melakukan kejahatan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain. Perbuatan tersebut ditujukan kepada korban atas nama
Marsinah (20 tahun) yang dimana korban meninggal dunia akibat dari
pendarahan dalam rongga perut sebagaimana hasil Visum et
Repertum
yang
dibuat
oleh
RSU
Nganjuk
Nomor
:
370/1245/44733/1993 tanggal 11 Mei 1993. Atas perbuatan tersebut
terdakwa diancam pidana Pasal 340 KUHP jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
Namun, Mtr sengaja memberi keterangan untuk melakukan kejahatan
penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu
mengakibatkan mati, yang dilakukan dengan cara sebagaimana
dimaksud pada dakwaan primer sesuai keterangan dalam Visum et
Repertum juga sebagaimana dimaksud. Atas perbuatan tersebut
terdakwa diancam pidana Pasal 335 ayat (2) KUHP jo Pasal 56 ke-2e

KUHP. Pada dakwaan yang disampaikan oleh pihak penuntut umum ini
terdapat beberapa kejanggalan, kepada terdakwa Ys terlebih dahulu
(diduga sebagai pelaku utama), seharusnya penuntut umum dapat
memberikan keputusan pengadilan mengenai persidangan terdakwa
Ys. Sedangkan dalam hal ini, persidangan atas terdakwa Mtr telah
dilaksanakan terlebih dahulu daripada persidangan terdakwa Ys yang
notabenenya diduga sebagai otak pembunuhan sebagaimana
dimaksud dalam Berkas Acara Perkara. Selain itu, sebagaimana
kejanggalan yang dijumpai pada dakwaan terhadap Mtr ini akan
diuraikan pada 3 point besar sebagai berikut :
 Sebenarnya kepada Jaksa Penuntut Umum Ialah diberi petunjuk
agar tidak mendakwakan pasal 340 KUHP jo 58 KUHP karena
perbuatan Ny. Mtr atas pembunuhan berencana terhadap Marsinah
tidak secara nyata nampak dalam kasus Ini demikian juga halnya
dengan dakwaan subsidair dan lebih Subsidair. Dengan atasan
bahwa tolah dilakukan pendekatan dengan Majelis Hakim, Ketua
Pengadilan Negeri bahkan telah mendapat persetujuan Ketua
Pengadilan Tinggi, rencana dakwaan tersebut tetap dipertahankan.
 Pada waktu regulator Jaksa hanya menuntut hukuman 22 bulan
penjara dengan alasan ada pasien dari Majelis Hakim agar jangan

menuntut tinggi tinggi.
 Penerapan pasal 56 jo pasal 340 KUHP sebenarnya hanya untuk
menjustifkasi penahanan terhadap terdakwa oleh Penyidik (dalam
kasus ini Panyidik di Praperadilan)
2. Dalam hal pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa Mtr oleh
penasehat hukum terdakwa diantaranya adalah :
a. Perkara terdakwa tidak dapat dipertimbangkan secara sendiri
tetapi harus ditinjau secara bersama. Dalam perkara tersebut turut
terdakwa lainnya dalam perkara yang sama. Sementara dalam
pemeriksaan ternyata perbuatan yang didakwaankan kepada
terdakwa-terdakwa dan turut terdakwa didakwa oleh penuntut
umum dilakukan sendiri-sendiri.
b. Para terdakwa serta para turut terdakwa dalam perkara sendiri
sebagai terdakwa dan dalam perkara turut terdakwa sebagai saksi
(kecuali dalam perkara ini) secara konsisten, mencabut
keterangannya dalam BAP dengan alasan keterangan tersebut

tidak benar karena diberikan dalam keadaan tertekan fsik dan
atau psikis.
c. Para saksi (Ys,Bw,Ap,Wd,Spt dan Sw) dalam perkara sendiri

(masing-masing) sebagai terdakwa secara eksplisit mencabut
keterangannya yang diberikan sebagai saksi dalam perkara ini.
d. Judex Factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian,
karena para saksi yang dimintai keterangan adalah para terdakwa
dalam
perkara
dengan
dakwaan
yang
sama.
Atas beberapa point keberatan yang disampaikan oleh pihak kuasa
hukum terdakwa Mtr sebagai bentuk pembelaan terhadap
terdakwa Mtr, maka selayaknya kita berpedoman pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta asas-asas
dalam hukum formal di Indonesia.
Dalam hal ini terutama mengenai hak-hak daripada
tersangka/terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Miranda Rule.
Miranda Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari
tersangka / terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas
pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana
dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak
dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat
proses peradilan. Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda
principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak
tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981
tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda rule atau
miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi sebagai berikut, “Dalam hal tersangka atau terdakwa
disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau
lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat
bagi mereka”.
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau
ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam
pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan
yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa,
sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi ,
membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari
proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan
dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan
terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman yang
dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi
Manusia (pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17,
pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia ] di samping itu adanya kontrol oleh Penasihat Hukum
terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses
persidangan di pengadilan.
Atas apa yang terjadi pada putusan pengadilan Negeri dan
putusan Pengadilan Tinggi pada persidangan dengan terdakwa Mtr

terdapat sedemikian banyak asas pembuktian yang telah
dilewatkan oleh Hakim bahkan cenderung untuk menselaraskan
jalan cerita persidangan dengan dakwaan dari penuntut umum.
Setidaknya hal ini terlihat dari hasil putusan Mahkamah Agung
terhadap terdakwa Mtr pada kasus yang sama dimana hakim pada
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang jauh berbeda
dengan apa yang diputuskan oleh hakim pada Pengadilan Negeri
maupun oleh Hakim pada Pengadilan Tinggi pada kasus ini
terhadap terdakwa Mtr.

D. Kesimpulan
Melalui beragam analisa pada kasus pembunuhan Marsinah
dengan terdakwa Mtr, saya mencoba menarik beberapa point kesimpulan
yang juga sekaligus sebagai wujud atau titik kelemahan atau mungkin
juga kegagalan dalam sebuah skenario/rekayasa kasus dalam suatu
bingkai konspirasi yang telah terjadi dalam penanganan kasus
pembunuhan Marsinah pada Mei 1993, yaitu :
a. Kelemahan Penyidikan :
 Masih adanya pemaksaan dalam penyidikan baik fsik maupun non
fsik untuk mengejar pengakuan, sehingga tersangka mencabut
keterangannya dengan alasan keterangan yang dia berikan
tersebut tidak benar karena pada saat pemeriksaan berada dalam
tekanan fsik / psikis.
 Kurangnya pemahaman penyidik dalam melakukan penyidikan
sehingga asas-asas dalam penyidikan tersebut dilanggar (dua asas:
praduga tak bersalah & pemberitahuan untuk didampingi
penasehat hukum).
 Tidak melakukan penyidikan secara cermat guna mengidentifkasi
peran terdakwa, apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan,
membantu melakukan, atau hanya sebagai saksi (pasal 55-56
KUHP).
 Tidak berupaya mendapatkan alat bukti yang kuat didahului
pemeriksaan yang cermat. Dalam hal ini penyidik menggunakan
keterangaan saksi yang saksi tersebut juga merupakan tersangka.
Sehingga saksi-saksi tersebut mencabut keterangannya dalam
sidang pengadilan.
 Tidak mengusahakan penyusunan resume yang baik dan
pemberkasan. Kecenderungan penyidik melakukan pemisahan
KUHP berkas perkara (Splitzing) bagi masing masing tersangka,
atau saksi-saksi, mereka-reka yang menjadi tersangka pada berkas
perkara lain yang di kenal dengan saksi mahkota.
b. Kelemahan Penuntutan :
 Menerima berkas tanpa meneliti berkas tersebut dan tidak
mempelajari dengan cermat sehingga tidak mengetahui
kekurangannya.
 Kurang cermat dalam menyusun surat dakwaan.
c. Kelemahan Peradilan :

 Tidak mengindahkan penasehat hukum terdakwa guna dimintai
keterangan ulang, yang mana sehubungan dengan saksi-saksi
telah mencabut keterangannya dalam BAP yang diberikan dalam
keadaan terpaksa dan tertekan secara fsik maupun psikis.
 Tidak menggali secara mendalam alasan-alasan mengapa para
saksi mencabut keterangan dalam BAP. Penggalian secara
mendalam dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan –
pertanyaan termasuk mempertanyakan mengapa saksi tidak
memanfaatkan prosedur yang ada (minta didampingi penasehat
hukum, menolak penandatanganan BAP, praperadilan, melaporkan
ketidakberesan petugas kepada atasannya).

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TAX PLANNING TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG PADA PERUSAHAAN PT. IER (Studi Kasus Pada PT. IER)

16 148 78