PENGARUH TERAPI PSIKOSPIRITUAL TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE OPERASI DI RUANG MELATI III RSUP DR SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

PENGARUH TERAPI PSIKOSPIRITUAL TERHADAP TINGKAT KECEMASAN
PADA PASIEN PRE OPERASI DI RUANG MELATI III RSUP DR SOERADJI
TIRTONEGORO KLATEN
Endang Sawitri*
Abstract
Background: Treatment preoperasi is an early stage of preoperasi care. The success of
the surgery starts this phase. Preoperasi treatment includes preoperasi integral assessment
of the patient's functions include physical function, biological and psychological. Patients
who will have surgery experience anxiety due to surgery is a potential or actual threat to
the integrity of someone who can evoke physiological and psychological stress. To
overcome the patient's anxiety experienced so that patients will undergo surgery psycho
spiritual therapy can be given before surgery.
Objectives: This study generally aims to find out whether there is influence of psycho
spiritual therapy with the anxiety level of preoperasi patient in Ruang Melati III RSUP
Dr, Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Method : This research is an experimental research with comparative research design
approach statistical group (Pre-test - Post test With the Control Group), which aims to
know the effect psycho spiritual therapy with anxiety levels at preoperasi's patient in
Bangsal Bedah RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. The population in this research is
patients admitted in Bangsal Bedah and will undergo moderate to major surgery. Sample
in this study were 30 people divided into two groups namely the treatment group and

control group respectively - the groups consisting of 15 people.
Result : The results showed that patients experienced stress when he knew would be
operated and stress experienced by the patient cause anxiety in patients. In the treatment
group after getting the psycho spiritual therapy, patients had decreased anxiety when will
the surgery while the control group who did not get psycho spiritual therapy most patients
have increased anxiety.
Conclusion : There is the influence of psycho spiritual therapy with anxiety levels of
patients preoperasi, in this study anxiety influenced by several factors namely sex, age,
education and employment.
Keywords: level of anxiety, psycho spiritual therapy and preoperasi.
*Dosen Keperawatan Stikes Muhammadiyah Klaten

A. Latar Belakang
Keperawatan

preoperatif

merupakan

tahapan


awal

dari

keperawatan

perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung
pada fase ini. Hal ini disebabkan karena fase ini merupakan awalan yang menjadi
landasan untuk kesuksesan tahapan-tahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan
pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap berikutnya. Pengkajian secara integral
dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan
untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi. Persiapan mental merupakan hal
yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien
yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan
pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang
yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis (Long,1989)
Masalah psikososial khususnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap
orang dalam menghadapi pembedahan. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin
dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti :

meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan yang tidak
terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama
berulang kali, sulit tidur, sering berkemih (Carpernito,2000). Perawat perlu mengkaji
mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres.
Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu
pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya
orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung atau support sistem
(Long,1989).
Menurut Pooter and Perry (2005) ada berbagai alasan yang dapat menyebabkan
ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain adalah
takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa
dan tidak berfungsi normal (body image), takut akan keganasan bila diagnosa yang
ditegakan belum pasti, takut mempunyai kondisi yang sama dengan orang lain yang
mempunyai penyakit yang sama, takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan
pembedahan dan petugas, takut mati pada saat dibius atau tidak akan sadar lagi, takut
operasi akan gagal. Salah satu tindakan untuk mengurangi tingkat kecemasan adalah
dengan cara mempersiapkan mental dari pasien. Persiapan mental yang kurang
memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya.
Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan


biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke
rumah sakit setelah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang
mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan
mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh
keluarga/orang terdekat pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan
keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung
persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum
operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata yang menenangkan
hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi (Maramis,
2004).
Keperawatan spiritual merupakan suatu elemen perawatan kesehatan berkualitas
dengan menunjukkan kasih sayang pada klien sehingga terbentuk hubungan saling
percaya dan rasa saling percaya diperkuat ketika pemberi perawatan menghargai dan
mendukung kesejahteraan spiritual klien (Potter and Perry, 2005). Perawat sebagai
orang yang pertama yang secara konsisten selama 24 jam menjalin kontak dengan
pasien, berperan dalam memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual bagi pasien.
Salah satu implementasi atau pelaksanaan dari perawatan spiritual adalah dengan
mengusahakan kemudahan seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan yang
diyakini klien, memberi privasi untuk berdoa, ataupun memberi kelonggaran bagi
klien untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman (Hamid, 2000).

Ada gambaran penelitian yang dilakukan oleh Larson (1992) terhadap pasienpasien yang akan dilakukan operasi, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
pasien-pasien lanjut usia dan religius (banyak berdoa dan berzikir) kurang
mengalami rasa ketakutan dan kecemasan terhadap operasi yang dijalaninya. Mereka
tidak merasa takut mati serta tidak menunda-nunda jadwal operasi. Temuan ini
berbeda dengan pasien-pasien usia muda dan tidak religius dalam menghadapi
operasi, mereka mengalami ketakutan, kecemasan, dan takut mati serta seringkali
menuda-nunda operasi. Penelitian lainnya berjudul ”Religious Commitment and
Health” (APA,1992) menyimpulkan bahwa komitmen beragama amat penting dalam
pencegahan agar seseorang tidak jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorang
dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit, serta mempercepat proses
penyembuhan selain terapi medis yang diberikan (Hawari,2002).
Dalam studi pendahuluan di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten dari
wawancara yang dilakukan peneliti dari 10 orang pasien yang akan dilakukan

operasi, ternyata didapatkan kurang lebih 60% mengalami kecemasan dari tingkat
yang ringan sampai berat, dengan rincian cemas ringan sebanyak 3 orang, cemas
sedang 2 orang, cemas berat 1 orang, dan 10% diantaranya ada yang sampai
mengalami penundaan operasi karena mengalami kecemasan yang berat dan kurang
lebih 30% tidak mengalami kecemasan. Ternyata penyebab utama kecemasan yang
dialami pasien adalah ketakutan pasien terhadap proses pelaksanaan operasi dan

proses sesudahnya.
Beberapa pasien masih merasa kurang diperhatikan masalah psikososial
kecemasan karena orang yang paling dekat dengan pasien yaitu perawat, kurang
memberikan pemenuhan kebutuhan mental spiritual terutama menjelang operasi
yang sering diperhatikan hanya masalah fisik saja. Berdasarkan hal tersebut, peneliti
tertarik untuk mengetahui “ Adakah Pengaruh Terapi Psikospiritual Dengan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Di Ruang Melati III RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten
B.

Metode
Penelitian tentang pengaruh terapi psikospiritual terhadap tingkat kecemasan ini
merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan pendekatan rancangan
penelitian perbandingan kelompok statis (Pre test-Post test with Control Group).
Bentuk rancangan ini sebagai berikut
Perlakuan

Kontrol

O


O

X



O

O

Keterangan :
O

: Pengukuran Tingkat Kecemasan

X

: Perlakuan (Terapi Psikospiritual)




: Tidak Mendapat Perlakuan

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang akan menjalani operasi
sedang sampai besar di Bangsal Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten. Sampel dari penelitian ini diambil 30 responden. Teknik
pengambilan sampel ini menggunakan sistem sampling insidental yaitu pengambilan
sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan (Sugiyono,
2009). Dimana setiap pasien preoperasi yang ada mempunyai kesempatan untuk
terpilih sebagai sampel dari penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi.
Kriteria inklusi : pasien berumur lebih dari 15 tahun, jenis kelamin laki-laki /
perempuan, pasien dapat membaca dan menulis, bersedia menjadi responden secara
tertulis, pasien yang akan menjalani operasi sedang sampai besar dan dirawat
dibangsal bedah di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten, pasien yang beragama
islam. Kriteria Eksklusi penelitian : klien pre operasi cito atau segera, klien pre
operasi dengan komplikasi (diabetes, hipertensi, IHD/HHD.
Adapun terapi psikospiritual yang dilakukan bagian kerohanian atau orang
yang ahli dalam bidangnya berupa terapi psikospiritual dengan relaksasi dalam

rangka pencerahan dan pengarahan yang meliputi bimbingan berdoa dan berzikir
kepada Allah SWT, konsep sehat dan sakit menurut Islam, diajarkan oleh terapis 1
kali selama kurang lebih 20 menit dan dilakukan satu hari sebelum pasien
menjalankan operasi. Alat atau intrumen yang digunakan untuk terapi psikospiritual
berupa buku yang berisi terapi psikospiritual sebanyak 1 buah dan sudah teruji
validitasnya. Buku ini digunakan di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten sebagai
buku panduan berdoa bagi pasien yang di rawat di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro
Klaten dan akan disebarkan lifleat yang merupakan ringkasan dari buku bimbingan
doa. Pada penelitian ini untuk kecemasan pada pasien preoperasi sebelum dan
sesudah terapi psikospiritual akan dilakukan pengukuran kecemasan. Diukur
menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan Model Hamilton Rating Scale for
Anxiety (HRS-A) yang merupakan alat untuk mengukur tingkat kecemasan yang
isinya terdiri dari lembaran yang berisi identitas subyek penelitian, petunjuk dan
butir pertanyaan yang terdiri dari 13 jenis pertanyaan dan dilakukan observasi.
Semua jawaban dari responden ditulis dengan tanda check list (√) pada jawaban
yang telah tersedia.
C.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a. Tingkat Kecemasan Berdasarkan Karekteristik Pasien

Tingkat kecemasan responden dapat distratifikasikan berdasarkan karakteristik
responden yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan

Tabel 1 Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Umur
No

1
2
3
4

41-65

Tingkat

15-21

22-40

kecemasan


(remaja)

(dewasa awal)

0

3

6

9

3

7

8

18

1

2

0

3

0

0

0

0

4

12

14

30

0-58
(ringan)
59-116
(sedang)
117-174
(berat)
175-232
(panik)
Total

(dewasa

Total

tengah)

Dari 30 responden yang diteliti ada sebanyak 8 responden yang mengalami
kecemasan sedang dengan persentase 26,7 % dari 100 %
Tabel 2 Distribusi Tingkat Kecemasan Responden Berdasarkan Jenis kelamin
No

Tingkat Kecemasan

Laki-laki

Perempuan

Total

1

0-58 (Ringan)

3

6

9

2

59-116 (Sedang)

7

11

18

3

117-174 (Berat)

2

1

3

4

175-232 (Panik)

0

0

0

12

18

30

Total

Dari 30 responden yang diteliti ada 11 pasien yang mengalami kecemasan sedang
dengan presentasi 37,7% dari 100%. Responden yang mengalami kecemasan
sedang dengan jenis kelamin perempuan.
Tabel 3 Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No

Tingkat

Tidak

Kecemasan

Sekolah

SD

SMP

SMA

Total

1

0-58

0

5

2

2

9

5

8

4

1

18

0

3

0

0

3

0

0

0

0

0

5

16

6

3

30

(Ringan)
2

59-116
(Sedang)

3

117-174
(Berat)

4

175-232
(Panik)
Total

Dari 30 responden yang diteliti ada 8 responden yang mengalami kecemasan
sedang dan 3 responden kecemasan berat dengan tingkat pendidikan SD dengan
presentase 26,7% dan 10% dari 100%.
Tabel 4 Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Pekerjaan
No
1

Tingkat

Tidak

Tani

Swasta

Dagang

Total

kecemasan

Bekerja

0-58 (Ringan)

2

3

2

2

9

3

8

5

2

18

1

0

2

0

3

0

0

0

0

0

6

11

9

4

30

59-116
2

(Sedang)
117-174

3

(Berat)
175-232

4

(Panik)
Total

Dari 30 responden yang diteliti yang mengalami cemas sedang ada 8 orang
dengan pekerjaan sebagai petani dengan persentase 26,7% dari 100%. Responden
yang mengalami kecemasan berat ada 2 orang dengan pekerjaan swasta dengan
persentase 6,7% dari 100%.
b. Tingkat Kecemasan Pasien dari Hasil Uji Statistik Parametrik Paired Sampel t
Tabel 5 Hasil Uji Statistik Paired Sampel t Kelompok Perlakuan

T

P

Keterangan

6,205

0,000

Signifikan

Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan sebelum dan sesudah pada
responden yang diberi terapi psikospiritual yang ditunjukkan dengan t hitung
(6,205) > t tabel (2,045) dengan p = 0,000 (p < 0,05) sehingga menolak Ho dan
menerima Hα.
Tabel 6 Hasil Uji Statistik Paired Sampel t kelompok Kontrol
T

P

Keterangan

-5,292

0,000

Signifikan

Berdasarkan hasil uji statistik terdapat perbedaan sebelum dan sesudah pada
responden yang tidak diberi terapi psikospiritual yang ditunjukkan dengan t
hitung (-5,292) < t tabel (2,045) dengan p = 0,000 (p < 0,05) sehingga menolak
Hα dan menerima Ho
Tabel 7 Tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan dan tidak perlakuan
ANOVA
Kecemasan
Sum of Squares
Between

df

Mean Square

6.533

1

Within Groups

10.267

28

Total

16.800

29

Groups

F

6.533 17.818

Sig.

.000

.367

Berdasarkan hasil uji statistik F hitung (17,818) > F tabel (4,1830) dengan p =
0,000 (p < 0,05) sehingga rata-rata kecemasan pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol berbeda.

D. Pembahasan
Hasil penelitian terhadap 30 responden pasien preoperasi diperoleh melalui
kuesioner dengan pertanyaan tertutup menggunakan instrument penelitian HRS-A
(Hamilton Rating Scale For Anxiety) untuk menilai tingkat kecemasan pasien.
Berdasarkan karakteristik responden, untuk tingkat pendidikan terbanyak adalah SD.
Dengan dominasi tingkat pendidikan responden pada tingkat rendah maka
diperlukan seni atau strategi tersendiri dalam menyampaikan informasi agar yang
bersangkutan mampu memahami informasi yang diterima. Menurut Dahlan (1999)
informasi perlu disampaikan dengan memperhatikan tingkat pendidikan dari orang
yang berhak menerimanya. Data lain didapatkan sebagian besar responden belum
pernah menjalani operasi sebelimnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sahabuddin cit
Mulyanti (2002) yang mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang juga
dipengaruhi oleh pengalaman, usia dan latar belakang pendidikan.
Pasien yang akan menjalani operasi dapat mengalami kecemasan
sehubungan dengan kondisi penyakit dan tindakan atau terapi yang mereka terima.
Kecemasan ini merupakan respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang
dianggap pasien sebagai ancaman terhadap peran dalam kehidupan, integritas tubuh
bahkan kehidupannya, sehingga bisa memunculkan berbagai respon yaitu respon
fisiologis, respon perilaku, kognitif dan efektif. Respon ini akan timbul bervariasi
tergantung derajat dari kecemasan yang dialami. Hasil pengukuran responden pasien
terhadap kecemasan yang dialami seperti ditunjukkan pada tabel 5.5, dari 30
responden , sebanyak 21 orang (70%) mengalami kecemasan sedang sampai berat.
Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Nurhidayat (2005) yang menyatakan bahwa
87 % pasien preoperasi mengalami kecemasan.
Bervariasinya tingkat kecemasan responden bisa disebabkan persepsi yang
berbeda terhadap stressor yang menimpa antara individu satu dengan

individu

lainnya. Sedangkan Maramis (1994) juga memperkuat dengan pendapat bahwa
kecemasan yang ditimbulkan oleh adanya stressor pada orang belum tentu sama
karena tergantung pada somatopsikososial orang tersebut. Kaplan & saddock (1995)
menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan,
perubahan dan pengalaman terhadap sesuatu yang baru dan belum dicoba. Perubahan
dalam kehidupan seseorang merupakan stres yang bagi individu tertentu
mengakibatkan timbulnya kecemasan (Hawari, 1983). Kecemasan atau ansietas
adalah perasaan yang dialami manusia sepanjang hidupnya, yang dapat muncul

sebagai gejala normal tetapi dapat juga sebagai gejala gangguan jiwa
(Prawirohusodo, 1998).
Adanya responden yang mengalami kecemasan berat tetapi masih dapat
mengisi kuesioner tidak sesuai dengan pendapat Peplau (1996) yang menyatakan
bahwa orang yang mengalami kecemasan berat akan cenderung memusatkan pada
sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran. Teori tentang respon
kecemasan pada aspek kognitif pada kecemasan berat adalah lapangan persepsi yang
sangat, menyangkut sulitnya memecahkan masalah, perhatian selektif (berfokus
hanya pada satu hal), tidak perhatian selektif (menghambat stimulus yang
mengancam), distorsi waktu (sesuatu nampak lebih lambat atau lebih cepat dari
kenyataan) dan disosiasi tendensi, vigilambulism (perilaku otomatis).
Kemungkinan masalah ini terjadi karena adanya beberapa kelemahan atau
kekurangan dari alat ukur tingkat kecemasan yang menggunakan Hamilton Rating
Scale For Anxiety (HRS-A), responden yang mempunyai intelegensi kurang atau
rendah karena tidak atau kurang mampu memahami isi dari pertanyaan yang ada
sehingga dampaknya responden akan cenderung melebih-lebihka gejala yang
dirasakan dan akibatnya jawaban yang diberikan tidak cocok atau kurang sesuai
dengan teori yang ada. Menurut Soewadi (1988) bahwa tingkat kecemasan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain potensi stressor, maturitas, status
pendidikan dan sosial ekonomi, keadaan fisik, tipe kepribadian, sosial budaya,
lingkungan atau situasi, umur dan jenis kelamin.
Tingkat kecemasan berdasarkan Umur menunjukkan bahwa sebagian
responden yang mengalami rentang respon cemas ringan sampai cemas berat berusia
41-65 tahun sebanyak 14 orang (46,7 %). Pada usia tersebut merupakan tahap
seseorang mengalami maturitas, kedewasaan dan kematangan kepribadian. Hal ini
didukung oleh kriteria inklusi penelitian ini bahwa syarat untuk bisa diteliti adalah
pasien berusia 15 tahun keatas. Tingkat kecemasan berdasarkan Jenis kelamin
menunjukkan bahwa kebanyakan responden yang mengalami kecemasan ringan
sampai berat adalah perempuan dengan jumlah 18 orang (60 %) dan dari jumlah
tersebut ada 11 perempuan yang mengalami kecemasan sedang dengan persentase
37,7% dari 100%. Hal ini bisa disebabkan Karena wanita dalam menghadapi segala
masalah cenderung mengutamakan perasaan dibandingkan rasionya. Pendapat ini

didukung oleh Abraham (1997) yang menyatakan bahwa karekteristik feminim yang
dimiliki perempuan cenderung sensitife dalam hubungan formal, sedangkan
karekteristik maskulin pada laki-laki cenderung untuk dominan, aktif dan bebas
seperti percaya diri, terus terang, asertif dan penuh keyakinan. Perempuan sering
mengalami kecemasan bisa disebabkan karena pengaruh hormon tiroid, berdasarkan
pendapat Brunner & Sudarth (2000) perempuan lima kali lebih banyak mengalami
hipertiroid dari pada laki-laki dan ini menyebabkan perempuan sering mengalami
kecemasan, panik, dan gangguan konsentrasi.
Tingkat kecemasan berdasarkan Tingkat Pendidikan menunjukkan bahwa
kebanyakan responden yang mengalami cemas ringan sampai berat adalah
pendidikan SD yaitu sebanyak 16 orang (53,3 %). Menurut Soewardi (1998), tingkat
pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih
mudah mengalami stres dibanding dengan mereka dengan tingkat pendidikan yang
tinggi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah
terdapat ketidaktahuan akan penyakitnya sehingga bisa menimbulkan kecemasan
yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan diatasnya. Sebab semakin
tinggi tingkat pendidikan dimungkinkan semakin banyak dan lebih mudah menerima
serta memahami informasi dan pengetahuan yang didapat sehingga dapat
mempengaruhi pola pikir yang realistis dan konstrutif dalam menghadapi kecemasan
sehingga akan lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Prawirohusodo
(1998) menyatakan bahwa berbagai faktor dapat mempengaruhi kecemasan
diantaranya stres psikososial termasuk didalamnya tingkat pendidikan.
Tingkat kecemasan berdasarkan Pekerjaan menunjukkan bahwa responden
yang mengalami cemas berat terbanyak adalah swasta sebanyak 2 orang (6,7 %). Hal
ini bisa disebabkan karena adanya persaingan yang ketat diantaranya pekerja swasta
sehingga bisa meningkatkan ketegangan pikiran. Disamping itu mungkin adanya
ketidakpastian penghasilan dan resiko tergeser oleh orang lain dampak berhenti
bekerja akibat sakit yang diderita juga bisa menambah kecemasan pasien. Namun
secara umum responden yang cemas ringan sampai berat dalam menghadapi operasi
berhubungan dengan pekerjaan terdistribusi merata. Artinya pekerjaan responden
tidak berpengaruh atau hanya punya pengaruh yang kecil terhadap tingkat
kecemasan. Hal ini bisa dilihat dari responden yang bekerja sebagai petani tidak
menjamin tingkat kecemasannya akan berat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sebelum dan
sesudah terapi ada perbedaan p = 0,000 (p