HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM MASA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
‘Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa
mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita. sedangkan
ssecara istilah, ‘’ iddah mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi
wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceaian dengan suaminya, baik
cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau
untuk berfikir bagi suami.1
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan
seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu
dilarang untuk di nikahkan.2
Dengan redaksi yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi ‘iddah
dengan, jenjang waktu yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari
pengaruh hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal mati suami,
yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan karena
dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau yang
sesamanya seperti bermesra-mesraan(dengan pria lain jika ia segera menikah).3
Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata ‘iddah daat di lihat dari dua sudut pandang :
Pertama, di lihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat
rujuk kepada istrinya. Dengan demikan, kata ‘iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah

hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak
suami dapat rujuk kepada istrinya.
, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa ’iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang
waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak lakiKedua laki lain.4

1 Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: Icktiar Baru Van
Hoeve, 1996), hlm. 637.
2 Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-fqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-fkr, 1996)
3 Ahmad Al-Ghundur, al-Thalaq al-syari’at al-Islamiyyah wal al-Qanun, (Mesir: Dar alMa’arif, 1997), h. 291.
4 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 122.

1

Penting di catat, masa ‘iddah ini hanya berlaku bagi yang telah di dukhul. Sedangkan
bagi isrti yang belum yang di dukhul (qabla al-dukhul) dan putusnya bukan karena
kematian suami maka tidak berlaku baginya masa ‘iddah.
Menyankut ayat-ayat tentang ‘iddah ini dapat dilihat firman Allah SWT. Yang
artinya :


َ
‫م ؤ‬
‫م‬
ِ َ ‫من‬
ِ ‫ؤ‬
ِ َ ‫ها ال‬
‫منُوا إِذَا نَك َ ؤ‬
َ ُ ‫يَا أي‬
َ ‫ذ‬
َ ُ ‫ات ث‬
ُ ‫م ال ؤ‬
ُ ُ ‫حت‬
َ ‫ين آ‬
َ
َ ‫ن‬
َ ‫ن‬
‫طَل َ ؤ‬
‫م‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫مو‬

ِ ‫ن‬
‫لأ ؤ‬
ُ ‫م‬
َ ‫ه‬
‫م ؤ‬
َ ‫ه‬
‫ما لَك ُ ؤ‬
َ ‫ف‬
َ َ‫ن ت‬
ُ ُ ‫قت‬
ِ ‫قب ؤ‬
َ
َ ‫ها‬
‫ن‬
ُ ‫حو‬
ُ ‫عو‬
ِ ‫ن‬
ٍ َ ‫عد‬
ِ ‫ن‬
ُ ‫س ِر‬

ُ ِ ‫مت‬
‫ة تَ ؤ‬
َ ‫و‬
َ َ ‫عتَدُون‬
َ ‫ه‬
َ ‫ه‬
‫م ؤ‬
َ ‫ه‬
َ ‫ف‬
َ ‫ن‬
ِ ‫عَلي ؤ‬
‫ميل‬
ِ ‫ج‬
َ ‫حا‬
ً ‫س َرا‬
َ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ebelum kamu mencamprinya, maka sekali-kali
tidak wjib atas mereka “iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS.

Al-ahzab/33:49).

َ ‫قات يتَربصن بأ‬
ُ ‫ة‬
ُ
‫ء‬
ٍ ‫ق ُرو‬
‫س‬
‫ف‬
‫ن‬
َ َ ‫ن ثَلث‬
‫ؤ‬
ِ
َ ‫ه‬
ُ ‫وال ؤ‬
ِ َ ‫مطَل َ َ ُ َ َ َ ؤ‬
َ
ِ

Wanita-wanita yang talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali (quru’) (QS. Albaqarah/2:228).


Berkenaan masalah quru’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih.
Wanita ygtidak yang mengandung dan masih termasuk dalam kategori orang-orang maih
haid, masa ‘iddahnya di atur menurut aqra’. Dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan
ulama malikiyah dan ulama Syafi’iyyah. Bagi ulama Malikiyah makna salasata quru’
adalah tiga kali haid, sedangkan Syafi’i memahaminya tiga kali suci. Kendati demikian
jika di konvesi ke dalam hitungan hari sebenarnya hampir sama yaitu lebih kurang 3
bulan. Bagi wanita yang belum atau tidak haid lagi, masa ‘iddahnya selama tiga bulan.
Selanjutnya mengenai ‘iddah putusnya pekawinan dengan sebab kematian terdapat
pada ayat berikut ini:

َ
َ ‫و‬
‫ن‬
ِ ‫ن‬
ِ َ ‫وَال‬
َ ‫ويَذَ ُر‬
َ ‫و‬
ً ‫وا‬
َ ‫ص‬

َ ‫ذ‬
‫منؤك ُ ؤ‬
‫جا يَت َ َرب َ ؤ‬
َ ‫ون أ ؤز‬
َ ‫م‬
‫ف ؤ‬
َ َ ‫ين يُت‬
َ
َ‫ة أ‬
َ ‫فسهن أ‬
َ ‫بأ‬
َ ‫ن‬
َ ‫َش ًرا‬
ُ
‫وع ؤ‬
‫ؤ‬
‫فل‬
‫ر‬
‫ه‬
‫ش‬

‫ع‬
‫ب‬
‫ر‬
‫ن‬
َ
‫ؤ‬
ِ
َ ‫ؤن أ‬
َ
َ
ُ َ ‫جل‬
ُ
َ ‫ه‬
َ ‫فإِذَا بَلَغ‬
َ
ِ
َ
‫ؤ‬
ٍ
ِ

َ
ُ ‫في أن ؤ‬
َ ‫ما‬
‫وف‬
‫ع ُر‬
ِ ‫ن‬
ِ ‫م‬
ِ ‫ف‬
ِ
‫م ؤ‬
َ ‫ف‬
َ ‫جنَا‬
ُ
َ ‫ه‬
َ ‫عل ؤ‬
َ ‫ن بِال ؤ‬
َ ‫في‬
‫ح عَلَيؤك ُ ؤ‬
ِ ‫س‬
‫ير‬

َ ُ ‫مل‬
‫ما ت َ ؤ‬
َ ‫ع‬
َ ِ‫ه ب‬
ُ َ ‫والل‬
ٌ ِ ‫ون خَب‬
َ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri tesebut) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh
hari. (QS. Al-Baqarah/2:234).
2

Berangkat dari ayat-ayat di atas, menurut kalangan Fuqaha ‘iddah itu terbagi ke
dalam dua kategori utama. Pertama, ‘iddah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal
mati oleh suaminya. Kedua, ‘iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati suami.
Kondisi orang yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam keandaan
mengandung dan adakalanya sedang kosong (bara’aturahmina). Apabila dalam keadaan
mengandung, masa ‘iddahnya adalah a menungu sampai kandungannya lahir.Apabila
dalam keadaan tidak mengandung, dalam pengertian tidak ada benih di dalamnya, masa
‘iddahnya 4 bulan sepuluh hari.

Agaknya yang menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih adalah menyangkut ‘iddah
wanita yang hamil yang di tinggal mati oleh suaminya. Baginya berlaku dua masa ‘iddah;
‘iddah melahirkan dan ‘iddah wafat. Jumhur ulama fikih menyatakan masa ‘iddahnya
adalah sampai ia melahirka, sekalian kelahiran itu belum mencapai waktu empat bulan
epuluh hari. Bahkan menurut mereka, sekalipun wanita tersebut melahirkan beberapa saat
kematian suami. Alasan-nya adalah firman Allah surah ath- talaq ayat 4 di atas.5
Akan tetapi menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, ‘iddah yang pakai adalah
yang terlama. Jika wanita tersebut melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh hari,
maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari, jika setelah lewat empat bulan sepuluh
hari, tetapi wanita tersebut belum juga melahirkan maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan.
Dalil yang mereka gunakan adalah surah Al-Baqarah/2:234.6
Dengan asumsi bahwa dewasa ini khususnya masyarakat awam terkadang yang
menyangkut urusan syariat dalam hal ini mengenai bagaimana hak dan kewajiban
seorang suami terhadap istrinya dan begitupun sebaliknya pada saat telah jatuhnya talak
(masa iddah) mereka hanya berlandaskan pada kebiasaan-kebiasaan yang kemudian
berkembang di lingkungan domisili mereka. Padahal sama kita pahami bahwa dalam hal
semacam ini ajaran (Islam) kita telah menguraikannya secara jelas dan bahkan dalam UU
No. 1 1974 tentang perkawinan juga telah dijelaskan tentang hal tersebut. Memang tidak
ada salahnya ketika kita juga mempergunakan adat (kebiasaan) yang selama ini
berkembang di dalam masyarakat akan tetapi alangkah sempurnanya pemahaman kita
ketika kita mampu mensingkrongkan antara hukum Islam, hukum perdata dan hukum
adat. Berangkat dari dasar tersebut sehingga kami berinisiatif untuk menyuguhkan
5 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t) h. 72. Lihat juga
A. Rafq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 313.
6 Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 639.

3

makalah ini yang memuat penjelasan “Iddah dalam Perspektif Islam” (Hak dan
kewajiban Suami Istri dalam Masa Iddah).
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini ialah bagaimanakah hak
dan kewajiban suami istri dalam masa iddah?

BAB II
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM MASA IDDAH
Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah
memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang
telah di talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari
suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak
penuh lagi.
Menurut hukum Islam kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan
dalam al-Qur’an surah al-Thalaq ayat (1) yang artinya:

َ
ُ ِ ‫فطَل‬
َ َ‫ساء‬
‫ي إِذَا طَل َ ؤ‬
‫ن‬
ُ ‫قو‬
َ ِ ‫م الن‬
َ ُ ‫يَا أي‬
َ ‫ه‬
ُ ُ ‫قت‬
ُ َ ِ ‫ها النَب‬
ُ َ ‫وات‬
‫مل‬
ِ ‫صوا ال ؤ‬
ِ ِ‫ل‬
‫وأ ؤ‬
َ ‫ه‬
‫ه َربَك ُ ؤ‬
َ َ ‫قوا الل‬
ُ ‫ح‬
َ َ‫عدَة‬
َ ‫ن‬
ِ ِ ‫عدَت‬
‫ؤ‬
َ
‫ين‬
ُ ‫جو‬
ِ ‫ن‬
‫ن إِل أ ؤ‬
‫ؤر ؤ‬
ُ ‫ؤر‬
َ ِ ‫ن يَأت‬
َ ‫ج‬
َ ‫ه‬
‫م ؤ‬
َ ‫ه‬
ُ ‫ول يَخ‬
َ ‫ن‬
ِ ‫تُخ‬
ِ ِ ‫ن بُيُوت‬
َ ‫وتِل ؤ‬
َ ِ‫ب‬
َ ‫ح‬
‫ه‬
ِ ‫فا‬
ِ َ ‫حدُودَ الل‬
ِ َ ‫حدُودُ الل‬
ٍ َ ‫مبَيِن‬
ٍ ‫ش‬
ُ َ ‫عد‬
َ َ ‫ن يَت‬
ُ ‫ك‬
‫م ؤ‬
َ ‫و‬
ُ ‫ة‬
َ ‫ه‬
َ ‫ة‬
َ ِ ‫عدَ ذَل‬
‫م نَ ؤ‬
َ ‫ف‬
َ
َ ‫ع‬
‫ك‬
ُ ‫د‬
ِ ‫ح‬
‫ث بَ ؤ‬
‫ه يُ ؤ‬
َ َ ‫ري ل‬
َ ‫ف‬
َ َ ‫ل الل‬
ُ ‫س‬
َ َ ‫قدؤ ظَل‬
ِ ‫ه ل تَدؤ‬
َ
‫م ًرا‬
‫أ ؤ‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah. Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu
hal yang baru.

Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan
hadis, ayat inilah yang menjadi pegangan ulama dalam membagi talak menjadi talak
sunnah dan bid’ah. Talak sunnah (sunny) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Sedangkan yang dimaksud talak bid’ah (bi’di) adalah talak yang dilarang yaitu talak

4

yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi
sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat.
a)

Bahwa menalak istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri,
ini berarti talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam keadaan haid atau
dalam keadaan suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya haram atau
dilarang.

b) Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama
mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat lain
kecuali mereka bersikap yang tidak baik.
c)

Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.

d) Tidak boleh dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak
aman.
Selanjutnya dalam surah Ath-Talaq ayat 6 disebutkan:

َ
‫ول‬
‫ن‬
ُ ‫حي ؤ‬
ُ ‫سكِنُو‬
ِ ‫ج‬
ِ ‫م‬
ِ ‫ن‬
‫و ؤ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ث‬
‫أ ؤ‬
‫م ؤ‬
‫م ؤ‬
َ ‫ه‬
‫دك ُ ؤ‬
‫سكَنؤت ُ ؤ‬
َ ‫م‬
ُ
ُ ‫قوا عَلَيهن وإن كُن أ‬
ُ ِ ‫ضي‬
‫ل‬
ُ ‫ارو‬
َ ُ ‫ن لِت‬
َ ُ‫ت‬
ِ
‫ؤ ِ َ َ ِ ؤ‬
َ ‫ولت‬
َ
َ ‫ه‬
‫ح ؤ‬
ٍ ‫م‬
ُ ‫ض‬
َ
َ ‫ن‬
ُ ‫ف‬
َ
‫ن‬
ِ ‫فأَن ؤ‬
َ ‫ن أ ؤر‬
َ َ ‫حتَى ي‬
‫فإ ِ ؤ‬
‫ض ؤ‬
َ ‫ن‬
‫ض ؤ‬
َ ‫ن‬
‫قوا عَلَي ؤ‬
ُ َ ‫مل‬
َ ‫ع‬
َ ‫ه‬
َ ‫ع‬
َ ‫ه‬
‫ح ؤ‬
ِ
‫هن ؤ‬
ُ
َ ‫م‬
‫وف‬
‫ع ُر‬
ُ ‫فآتُو‬
ِ َ ‫وأت‬
ٍ
‫م ؤ‬
ُ ‫نأ‬
َ ‫ه‬
َ ِ‫م ب‬
‫م ُروا بَيؤنَك ُ ؤ‬
‫لَك ُ ؤ‬
َ َ ُ ‫ور‬
َ ‫ج‬
ُ َ ‫فستُرضع ل‬
‫ؤرى‬
‫وإ ِ ؤ‬
َ َ‫ن ت‬
َ ‫ع‬
ُ ُ ِ ‫م َ َ ؤ‬
‫اس ؤرت ُ ؤ‬
َ ‫ه أخ‬
َ

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati
mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka
berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.

Demikianlah hukum Islam telah Islam telah menentukan dengan tegas tentang istri
yang ditalak suaminya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat
tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas
tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan biaya
untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar
bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu
5

memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya,
kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau

benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul;
b) Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri

telah dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al

dhukul mahar dibayar setengahnya;
d) Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21

tahun.7
Bagi pegawai negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan
oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983 yang telah
diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan “Apabila
perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia wajib menyerahkan
sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya”
Untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya
talak raj’i diantarannya ialah:
a) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia
boleh dipinang dengan sindiran.
b) Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila

tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali
kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan

dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.8
7 Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata
Islam di indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.
8 Menurut abdurrahman I do’i, wanita yang sedang dalam mas iddah juga dilarang keluar
rumah baik pada siang hari terlebih lagi pada malam hari. Ulama Hanaf mengatakan,
perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, talak dua atau talak tiga
tidak diperbolehkan keluar rumah baik siang maupun malam hari. Tentu saja berbeda
bagi seorang janda yang telah resmi bercerai. Sedangkan menurut Ulama Hambali,
membolehkan wanita keluar rumah pada siang hari, baik dia dalam iddah karena cerai
ataupun ditinggal amati suaminya. Semuanya ini diberlakukan tidak saja untuk

6

c) Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
d) Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak

mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya
tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
e) Wanita tersebut wajib berihdad9 (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu

tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan
sepuluh hari.
f) Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari

suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak
mendapatkanya.
Sedangkan menurut Muhammad Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang
berada dalam masa iddah:
a) Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan
nafkah,10 mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya tetap
telah memiliki hak-hak sebagai istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal
yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar kewajiban taat kepada suaminya) maka ia
tidak berhak apa-apa.
b) Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang tidak mungkin rujuk)
apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah
seperti di atas.

keselamatan wanita tersebut untuk menghindari ftnah. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan
Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di indonesia, studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 samapai KHI, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 250. Lihat juga Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafi (Terjemahan St
Tahdziib), (CV Bintang Pelajar, 1978), h. 414.
9 Ihdad berasal dari kata ahadda dan terkadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil
dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam makna istilah
ihdad bermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak
wangi. Ada juga yang mendefenisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri
atau bersolek. Lihat, wahbah al-zuhaili, op.cit, h. 659. Lihat juga masalah yang cukup
menarik yang menyangkut ihdad wanita karir dalam, Hafz Anshary, “Ihdad wanita
karir”, dalam, Problematika Hukum Islam kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan hafz
Anshary (ed), (Jakarta: Firdaus, 2002), h. 11-34.
10 Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafi (Terjemahan St Tahdziib), (CV Bintang Pelajar,
1978), h. 413.

7

8

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami dalam masa iddah (talak raj’i) yaitu
memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya. Dan jika dia punya seorang anak
maka dia juga berkewajiban membiayai anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan
kewajiban seprang istri dalam masa iddah ialah:
1) Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia
boleh dipinang dengan sindiran.
2) Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila
tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali
kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan

dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3) Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4) Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak
mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya
tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5) Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu
tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan
sepuluh hari.
6) Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari
suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak
mendapatkanya.
B. Saran

Kami sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala ini
9

mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah Dalam
Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) . Terkhusus dalam
menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam
mengenai masalah iddah khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa
iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar hukumnya bagi
masyarakat awam merupakan hal yang lazim di telinga mereka, tentunya untuk
mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar dalam
pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita keliru dalam
menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah. Mudah-mudahan dengan
adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam proses pengamalannya.

10

DAFTAR PUSTAKA
Doktor mustofa Diil Bigha, Fiqih Syafii (Terjemah St Tahdziib), (CV bintang

Pelajar,

1978).
Dr. H. Amiur nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2006).
Drs. Murni Djamal (Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam Depag), Ilmu Fiqig jilid II
cet. II, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTA IAIN, 1984).
H. Sulaiman Rasyid, fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954).
Mohd. Idris Ramulyo, hukum perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Muhammad sayyid Sabiq, fiqih sunnah Jilid III, (Jakarta: Pena pundi Aksara, 2009).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al- Kamil,
(Jakarta: Darus Sunnah, 2011).
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983).

11