Transfer Of Undertaking Protection Employment (Tupe), dan Jaminan Perlindungan Hukum pada Pekerja Outsourcing

  TRANSFER OF UNDERTAKING PROTECTION EMPLOYMENT (TUPE), DAN JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM PADA PEKERJA OUTSOURCING

  Agusmidah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

  

Pengaturan terkait pengalihan pekerjaan pada pihak lain (populer dengan

istilah outsourcing) pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 menetapkan dua

pola/model perlindungan terhadap pekerja/buruh yang diikat dengan hubungan

kerja ini. Satu di antaranya diambil dari model yang telah diterapkan di negara

Eropah khususnya, yaitu Transfer Of Undertaking Protection Employment

(TUPE). TUPE dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum,

utamanya jaminan atas kelangsungan bekerja di suatu perusahaan. Menteri

tenaga kerja dan transmigrasi telah pula mengeluarkan Peraturan No. 19 Tahun

2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan

Kepada Perusahaan Lain yang menguatkan adanya kewajiban setiap perusahaan

untuk menerapkan TUPE. Tulisan ini akan mengkaji apakah TUPE mampu

memberikan jaminan perlindungan hukum pada pekerja outsource dan hal apa

saja yang harus ada untuk terselenggaranya TUPE sesuai maksud dan tujuan

pembentukannya. Kajian menggunakan studi kepustakaan dengan bahan hukum

primer, skunder dan tertier sebagai sumber data utamanya.

  Kata Kunci : Transfer Of Undertaking Protection Employment (TUPE), Jaminan kelangsungan kerja, outsourcing.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

1 Outsourcing masih menjadi isu yang krusial dan membutuhkan

  pemikiran-pemikiran akademis yang cerdas untuk menuntaskannya. Pola hubungan kerja yang pada sisi permintaan (capital) dianggap sebagai sistem kerja yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan usaha kekinian yang cenderung mengikuti mekanisme pasar, pada sisi lain (labor) dianggap sebagai sistem hubungan kerja yang tidak memberi jaminan kepastian kelangsungan kerja (job security) sehingga outsourcing masih menjadi masalah yang membuat pemerintah, pelaku usaha dan buruh/pekerja pusing.

  Akar persoalan yang menjadi keberatan buruh/pekerja terhadap sistem outsourcing menurut mantan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan, dalam sebuah wawancara oleh sebuah stasiun televisi yaitu perasaan gelisah dari buruh/pekerja (beliau mengistilahkan dengan karyawan , pen.) akan ketidakpastian apakah tahun depan masih dipakai lagi atau tidak. Persoalan lain juga menyangkut besar-kecilnya gaji, namun yang utama menurutnya adalah ketidakpastian itu. Persoalan lainnya adalah status. Mereka menginginkan status

  2 kekaryawanan yang jelas. Bukan sekadar menjadi tenaga cabutan.

  Bagi serikat pekerja/ serikat buruh (selanjutnya akan disingkat dengan serikat) berharap masalah outsourcing di perusahaan-perusahaan BUMN secepatnya diselesaikan, ini dikarenakan banyaknya pelanggaran hak-hak

  1 Menggunakan istilah ini, yang dari sisi bisnis sebenarnya outsourcing adalah salah satu hasil

samping dari businesss process reengineering (BPR). BPR adalah perubahan yang dilakukan secara

mendasar oleh suatu perusahaan dalam proses pengelolaannya, bukan hanya sekedar melakukan perbaikan.

  

BPR adalah pendekatan baru dalam manajemen yang bertujuan meningkatkan kinerja, yang sangat berlainan

dengan pendekatan lama yaitu continuous improvement process. Richardus Eko Indrajit dan Richardus

Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, REI ebook-outsourcingmanajement.pdf, hlm. 4. 2 Nurseffi Dwi Wahyuni, Liputan6.com, Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3): Outsourcing yang

  3 normative seperti pengupahan, dan pemberangusan kebebasan berserikat.

  Ancaman yang dikemukakan serikat adalah mogok massal apabila pemerintah

  4 sampai Oktober tahun ini tidak menuntaskan permasalahan ini.

  Persoalan yuridis menyangkut outsourcing marak sejak diundangkannya UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang mengatur secara eksplisit praktek pengalihan pelaksanaan pekerjaan pada pihak lain (istilah yang kemudian kalah poluper disbanding outsourcing), tercatat beberapa kali diajukan permohonan yudisial review, pertama sekali, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan permohonan yudicial review terhadap legalisasi sistem outsourcing dan PKWT khususnya Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003, dengan alasan tak memberikan jaminan kepastian bekerja. Permohonan ini ditolak dengan alasan Pasal yang dimaksud tidak mengarah pada perbudakan modern (modern slavery).

  Kali kedua Mahkamah Konstitusi kembali disibukkan dengan pemerikasaan terkait outsourcing, dikarenakan Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dalam register permohonan No. 27/PUU-IX/2011. Bedanya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan, secara eksplisit MK menyatakan kedua Pasal itu tidak bertentangan denga

3 Hukum Online, Pemerintah Diultimatum Selesaikan Masalah Outsourcing di BUMN, Hukumonline.com, 22 Agustus 2013, Akses Tanggal 2 September 2013.

  Putusan MK, khususnya pada bagian Pertimbangan Hukum, mengajukan dua cara dalam pelaksanaan outsourcing. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian k erja waktu tidak tertentu”. Kedua, dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of

  

Employment atau TUPE) bagi mereka yang bekerja pada perusahaan yang

  melaksanakan pekerjaan outsourcing. Model pertama, bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya.

  Tulisan ini berusaha untuk tidak mengulang pembahasan yang telah dilakukan oleh banyak penulis lain terkait outsourcing dan upaya perlindungan hukumnya terhadap para pekerja/buruh. Penulis tertarik untuk mengupas seperti apa sesungguhnya TUPE atau kita bahasakan menjadi pengalihan perlindungan terhadap pekerja/buruh yang terikat dalam hubungan kerja outsourcing. Pada poin ini yang dipermasalahkan adalah TUPE yang notabene merupakan prinsip yang dikenal di Negara barat (Eropah) apakah sesuai dengan prinsip Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia yang memiliki landasan filosofis yang berbeda khususnya dalam menjalankan sistem ekonomi, bisnis, dan industrialisasi?. Apabila nantinya ditemukan hal-hal positif dalam prinsip TUPE bagaimana cara memberlakukannya, bukankah hubungan kerja tidak hanya berkaitan dengan hukum public (perlindungan Negara atas hak dan kewajiban warganegara) namun juga berkaitan dengan hukum keperdataan yang menyangkut perjanjian dan perikatan kerja yang berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak?.

  Data yang digunakan merupakan data sekunder, sehingga tulisan ini merupakan penelitian yang bentuknya yuridis normative. Tulisan ini disusun dan diuraikan secara deskriptif analitis, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik berupa buku, makalah, jurnal, putusan Mahkamah Konstitusi, dan media massa cetak maupun online.

B. PEMBAHASAN a. Prinsip Perlindungan Dalam Hubungan Kerja di Indonesia

  Perlindungan merupakan keadaan dimana siapa saja akan merasa nyaman dengan hak dan kewajiban yang imbal balik, termasuk dalam suatu hubungan kerja. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa dalam hubungan kerja yang cirinya sub ordinasi, dengan posisi tawar yang tidak seimbang, mudah sekali menimbulkan masalah social yang dapat memicu pada permasalahan yang lebih dalam. Jika hal ini terjadi jelas bukan perlindungan yang didapat melainkan keresahan dan ketidaknyamanan.

  Hubungan kerja yang berciri subordinasi membutuhkan campur tangan Negara agar tercapai titik keseimbangan antar pihak yang berkepentingan, bahkan di negara liberal sekalipun bentuk campur tangan Negara dengan membuat aturan umum (regulasi) yang dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan social (social equilibrium), termasuk pula mengatasnamakan Hak Asasi Manusia. Konon di negara Indonesia yang menerapkan ideologi Pancasila yang berketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi rakyat dan keadilan social. Sudah tentu peran aktif negara sangat dimungkinkan agar tujuan hidup bersama dapat tercapai.

  Bukan hanya Ideologi Indonesia yang memberi dasar Negara campur tangan dalam segala urusan warga, sistem hukum yang berkiblat pada civil law sistem menjadikan model hukum ketenagakerjaan Indonesia adalah model korporatis, yang ditandai kuatnya Negara mengatur permasalahan ketenagakerjaan. Paradox dengan perkembangan global dewasa ini adalah menguatnya paham ekonomi pasar yang merupakan ruang di mana ketenagakerjaan itu berada. Tenaga kerja erat dengan produksi, produktivitas, sumber daya manusia yang kesemuanya dikaji dalam ilmu ekonomi.

  Kembali pada persoalan perlindungan tenaga kerja, apakah memang hal ini tidak layak lagi dibincangkan mengingat sistem ekonomi yang saat ini berkembang adalah mekanisme pasar dengan mengedepankan fleksibilitas ketenagakerjaan. Benarkah perlindungan yang diwajibkan terhadap komunitas tertentu akan merusak jalannya fleksibilitas. Tentu saja tidak, oleh karena antara sisi fleksibilas dan perlindungan memang harus beriringan agar mekanisme pasar membawa pada keadilan dan kemanfaatan umat

  • – kita sebut sebagai moral keadilan pasar.

b. TUPE Solusi untuk Membangun Moral Keadilan Pasar

  TUPE telah dipraktekkan di banyak negara maju. Uni Eropah salah satunya telah mengeluarkan pengaturan berupa Directive yang dikenal sebagai Transfer of Undertakings for Protection of Employment, Regulations 2006 (TUPE).

  From a business perspective for employers, the goal of EU Directive for transfer of undertakings is to prevent unfair dismissals or unfair terminations as a result of a legal transfer or merger of companies

  5 and entities.

  Ketentuan di atas menunjukkan adanya upaya …to prevent unfair

  dismissals or unfair terminations

  • – perbuatan yang merusak moral
  • 5 keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan. Boleh dikata bahwa ini adalah

      Alice Wang, The European Union: Compliance With Transfer of Undertaking dalam situs Cross Border Employer, posting 19 September 2012, akses 14 September 2013. dasar filosofi dan landasan fundamen bahwa tidak hanya karena alasan beralihnya bisnis ke perusahaan lain maka pekerja/buruh harus kehilangan pekerjaanya. Moral keadilan pasar harus dibangun di atas realitas bahwa manusia perlu jaminan hak atas kelangsungan pekerjaan.

      Peran ekonomi setiap manusia memang berbeda sesuai dengan kedudukan yang diembannya, perusahaan berperan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan barang dan jasa, mengubah SDA atau bahan mentah menjadi barang jadi, dalam konteks makro, perusahaan menentukan tingkat pertumbuhan pembangunan suatu Negara.

      Selama ini tanggungjawab social perusahaan hanya sebatas pada tanggungjawab untuk melakukan produksi dengan tepat seperti menghindarkan polusi, barang produksi aman bagi konsumen, menjaga kearifan masyarakat local, melestarikan SDA, andil dalam kegiatan social kemasyarakatan, termasuk beasiswa pendidikan, dan lain-lain.

      Tanggung jawab social perusahaan yang dilupakan dan tidak kalah pentingnya adalah memberi jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja yang meliputi hak ekonomis, hak social-politis, dan hak dasar lainnya. Hal ini merupakan pengejawanthan dari realitas, bahwa perusahaan adalah bagian dari masyarakat, maka secara etis perusahaan harus mempertimbangkan harapan-harapan masyarakat, baik yang bersifat non-

      6 normatif maupun normative adanya.

      Belajar dari Negara lain, sesungguhnya kebijakan pengalihan perlindungan pekerja dalam EU Directive ini dari perspektif bisnis kaum pengusaha justru bertujuan untuk mencegah pemecatan/penghentian yang tidak adil sebagai akibat dari perubahan hukum atau merger suatu perusahaa. Peraturan ini menjangkau semua pengusaha yang beroperasi di negara yang merupakan anggota Uni Eropa (UE) yang saat ini ada total dua puluh tujuh (27) negara anggota. Directive yang dikeluarkan Uni Eropah mendorong Negara-negara anggota untuk memuat dalam hukum nasionalnya mengenai pengaturan pengalihan perlindungan pekerja, sebaliknya jika Negara anggota tidak aktif dan dianggap mengabaikan ketentuan ini Directive Uni Eropah memiliki kekuatan hukum agar Negara anggota melaksanakan ketentuan/standart yang dimuat dalam peraturan tersebut, hal ini dimaksudkan agar tercapai praktek bisnis

      

    7

    terbaik (the best business practice).

      EU Directive mengenai TUPE dikenal sebagai Directive (2001/23/EC). Directive (2001/23/EC) ini adalah kodifikasi dari Directive sebelumnya ( 77/187/EEC ) yang pernah diubah melalui Directive (98/50/EC). Tahun 1977 EU atau Uni Eropah (pada saat itu dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi Eropah/MEE) melalui Council/ Dewan Masyarakat Eropah telah menerbitkan aturan dalam bentuk Directive yang isinya memuat standart yang harus dipenuhi Negara anggota dalam hal terjadi peristiwa hukum atau merger usaha yang menyebabkan tenagakerja mengalami kerugian. Paraturan ini diterbitkan dengan memperhatikan usulan dari Komisi, Parlemen Eropa dan Komite Ekonomi dan Sosial, yang memperhatikan kecenderungan/trend ekonomi masyarakat industi, baik di tingkat nasional maupun internasional, terjadinya perubahan struktur usaha, pengalihan usaha, bisnis atau bagian dari bisnis sebagai akibat dari perubahan hukum perusahaan atau merger maka perlu memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam hal perubahan majikan, khususnya, untuk memastikan bahwa hak-hak mereka

      8 dilindungi.

      Bagian II dari Directive 77/187/EEC mengatur tentang Perlindungan hak-hak pekerja/buruh khususnya dalam Pasal 3 menyebut tentang Hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau dari hubungan kerja yang ada akibat beralihnya usaha pada pihak lain. Dalam

      Pasal ini juga ditegaskan bahwa majikan awal akan terus bertanggung jawab dalam hal kewajiban yang timbul dari kontrak kerja atau hubungan kerja sampai kemudian dibuat kesepakatan yang baru dengan perusahaan yang menerima pengalihan.

      Hal penting lainnya dalam peraturan ini adalah sebagaimana dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan pemindahan suatu usaha, bisnis atau bagian dari bisnis tidak dengan sendirinya menjadi alasan untuk pemecatan oleh perusahaan. Kecuali dapat dibuktikan bahwa ada alasan ekonomi, teknis atau organisasi yang mengharuskan timbulnya PHK. Hal tersebut juga masih dimuat dalam Directive 2001/23/EC yang menyebutkan bahwa tidak boleh ada pemecatan pekerja/buruh, atau pengurangan ketentuan/syarat dan kondisi pekerja/buruh hingga pengusaha dapat membuktikan bahwa ada alasan ekonomis, teknis atau organisasi yang relevan.

      Directive 2001/23/EC memuat kembali Perlindungan hak-hak pekerja (Safeguarding of employees' rights) yang dengan ketentuan ini prinsip perlindungan hak pekerja/buruh dalam hal terjadi pengalihan usaha maka pengusaha/majikan sebaiknya telah memuat sejak awal dalam 8 kontraknya, walaupun begitu pengusaha/majikan juga diikat oleh UU

      Council Directive 77/187/EEC

      14 Februari 1977, Ketenagakerjaan. Artinya bahwa dalam hal ini/perlindungan bukan bersifat kontraktual/privat semata melainkan juga bersifat umum/public yaitu dalam bentuk regulasi Negara (UU).

      Di Indonesia munculnya legalitas terhadap sistem outsourcing pekerja/buruh di tahun 2003 tidak dibarengi dengan model perlindungannya, sehingga yang muncul adalah pemanfaatan sistem hubungan kerja yang berprespektif pada pandangan bisnis/ekonomis semata yaitu efisiensi, produktifitas, dengan mengesampingkan keadilan ekonomi pada pelaku bisnis yang lain yaitu pekerja/buruh. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan mekanisme perlindungan terhadap pekerja outsource dalam hal terjadinya pengalihan usaha pada perusahaan lain, dengan cara mewajibkan adanya kontrak tertulis antara pekerja/buruh dengan perusahaan penempat baik berjangka waktu (PKWT) maupun tidak berjangka waktu/permanen (PKWTT). Hal seperti ini bukan merupakan „barang‟ baru oleh karena UU Ketenagakerjaan pada Pasal 66 ayat (2) b yang lahir pada 2003 sudah menegaskannya.

      Sedangkan model perlindungan lain dengan cara mengalihkan perlindungan pekerja pada perusahaan lain (TUPE) merupakan „barang‟ baru.

      12 Januari 2012 tercatat sebagai sejarah penting dalam ketenagakerjaan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI No. 27/PUU-IX/2011 majelis hakim MK dalam pertimbangannya menegaskan bahwa untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh, salah satunya adalah menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang

      9 bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

      Sebagai suatu hal yang baru, maka tentu saja dibutuhkan penyesuaian hukum atas Putusan lembaga yudikatif tersebut. Tugas ini ada di pundak legislative dan atau eksekutif agar aplikasi dari prinsip perlindungan tersebut menjadi konkrit, sayangnya hingga saat ini belum mampu diwujudkan. Memang pasca Putusan MK pemerintah (Kemenakertrans) mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 sebagai reaksi atas putusan tersebut, namun jika ditelaah, isi

      10 Permenakertrans tersebut belum memuat TUPE ini secara rinci.

    c. Pengaturan dan Pelaksanaan TUPE dalan Hukum Ketenagakerjaan, Sebuah Sumbangan Pemikiran

      Sebagaimana telah disinggun

      g, TUPE masih menjadi „barang‟ baru di Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Pencarian serius dan mendalam haruslah dilakukan, bagaimana dan seperti apa Indonesia memahamkan dan akan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan ini.

      Belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih awal melaksanakan, TUPE sesungguhnya diberlakukan saat terjadi perubahan hukum suatu perusahaan seperti misalnya merger, dalam hal tersebut ada perubahan siapa yang menjadi majikan. Ada satu hal yang penulis anggap 9 sebagai dasar pijakan dalam setiap kebijakan yang akan dibuat dalam 10 Putusan MK RI No. 27/PUU-IX/2011, hlm. 44.

      Hukum Online, Permenaker Outsourcing ‘Diskriminatif, Kamis, 29 November 2012,

      Hukum Ketenagakerjaan ini, termasuk salah satunya TUPE, yaitu prinsip keseimbangan kepentingan antara para pelaku hubungan industrial, utamanya pengusaha dan pekerja/buruh. Aturan yang memuat hal tersebut adalah UE Directive tentang TUPE. Directive ini meletakkan perlindungan atas pekerja/buruh baik secara kontraktual maupun melalui regulasi Negara dengan catatan bahwa kesinambungan usaha menjadi poin penting juga.

      Telah dikatakan di atas bahwa TUPE yang berlaku di UE lebih pada peristiwa terjadinya perubahan kepemilikian usaha/pengusaha baik dikarenakan merger atau pun peristiwa hukum lainnya. Setelah ditentukan bahwa akan terjadi transfer, maka si penerima pengalihan/transferee menjadi majikan dari pekerja/buruh sebelumnya. Sesuai dengan tujuan dan sasaran dari Directive, hak dan kewajiban dari karyawan terhadap majikan baru harus tetap sama, misalnya menyangkut jumlah jam kerja, tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan, dan jenis kontrak kerja atau hubungan kerja (jangka waktu yang tetap atau sementara).

      Khusus di Indonesia TUPE akan diterapkan dalam hal terjadi pengalihan usaha dalam hubungan kerja outsourcing, tentu konteks nya menjadi berbeda, jika dalam peristiwa merger bisa saja pekerjaan tetap ada yang berubah hanya pengusaha, sedangkan dalam hal outsourcing sesungguhnya pekerjaan yang awalnya dikerjakan oleh perusahaan tertentu kemudian dialihkan pada pengusaha lain, sehingga sesungguhnya pekerjaan lah yang terhenti/beralih.

      Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain mengaktualisasikan prinsip TUPE dalam beberapa pasal: a.

      Pasal 19 poin b menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

      b.

      Pasal 32 ayat (1) dan (2) dikutip penuh: 1. Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.

      2. Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

      c.

      Pasal 31 memberi ruang bagi pekerja/buruh untuk dalam hal pekerja/buruh mengajukan gugatan pada PHI apabila tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja. Hal ini menurut penulis masuk sebagai gugatan hak.

      Urgensi pengaturan tentang TUPE demikian besar mengingat praktek outsoucing akan terus ada manakala kondisi ekonomi dan pasar kerja yang saat ini masih belum baik. Tidak hanya perusahaan swasta baik nasional maupun asing mempraktekkan ini namun juga terjadi di BUMN

      11 11 semisal di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sudah sepantasnya jika Jenis pekerjaan penunjang tenaga listrik antara lain adalah jasa engineering, jasa pendidikan dan

    pelatihan, jasa produksi, jasa manajemen konstruksi, jasa penelitian dan pengembangan ketenagalistrikan,

    jasa konsultasi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan, menjadi sector yang dapat diserahkan pada pihak

    lain untuk dikerjakan., Walujo, Supervisor Administrasi Umum PT PLN Area Mojokerto, Power Point : pengaturan tentang hal ini berada pada level undang-undang, tidak cukup peraturan menteri.

      Berdasarkan spesifikasi kondisi dan keadaan dalam sistem outsourcing di Indonesia maka TUPE sebagai model perlindungan bagi pekerja/buruh hendaknya dilakukan dengan : 1. Kontrak kerja tertulis dengan perusahaan pengerah-nya; dengan ketentuan terhadap pekerjaan penunjang yang sifatnya terus-menerus maka kontrak sebaiknya dilakukan untuk 2 tahun dengan kesempatan memperpanjang selama setahun dan pembaharuan sesudahnya untuk 2 tahun maksimal, sehingga jika hubungan kerja akan dilanjutkan akan menjadi hubungan kerja tetap/permanen.

      2. Tender pekerjaan yang dioutsource-kan minimal 5 (lima) tahun dengan alasan kepastian kelangsungan usaha bagi pengusaha juga merupakan hak asasi yang harus diperhatikan.

      3. Kontrak atau perjanjian kerjasama antara perusahaan pelaksana pekerjaan dengan perusahaan pengguna hendaknya memuat klausul keharusan perusahaan penerima tender untuk menerima pengalihan perlindungan atas pekerja/buruh yang telah menjalankan pekerjaan penunjang, dengan menetapkan mekanisme dan prosedur yang jelas manakala pekerja/buruh akan tetap melakukan pekerjaan tentunya dengan perusahaan baru.

      4. Guna efektifitas dan daya guna sebaiknya sanksi administrative dirumuskan dan dilaksanakan secara konsisten agar tujuan prinsip perlindungan dalam TUPE ini dapat tercapai.

      Area Mojokerto.

    C. PENUTUP

      Indonesia dibangun di atas nilai spiritual, humanis, unity, demokrasi, dan keadilan sosial, jika ditelaah asal istilah TUPE yang ditemukan dalam literature hukum Uni Eropah keberadaan TUPE adalah untuk mencapai perlindungan social, menghindarkan pemecatan pekerja/buruh secara sewenang-wenang dengan alasan beralihnya perusahaan, maka sesungguhnya hal ini sesuai dengan nilai fundamental Negara Republik Indonesia.

      TUPE sebagai sarana memberi perlindungan, bentuknya lebih pada upaya preventif

    • – mencegah munculnya ketidakadilan terhadap pekerja/buruh, sehingga lebih tepat merupakan prinsip yang sebaiknya dikonkritkan dengan aturan-aturan praksis dan aplikatif.

      TUPE merupakan model perlindungan yang dihantarkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 27/PUU-IX/2011, yang sebelumnya tidak ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Selain memerlukan pengaturan teknis lebih lanjut dan lebih tinggi jenjangnya (sebaiknya dalam level undang-undang), Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain hanya mengatur dalam beberapa pasal yang isinya hanyalah himbauan oleh karena tidak ada muatan sanksi.

      Norma hukum berbeda dengan norma yang lain karena kekuatan sanksinya, bentuk sanksinya, dan daya laku sanksinya, khusus pasal yang isinya mengandung perintah, larangan, kewajiban seyogyanya disertakan sanksi. TUPE yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja justrumtidak memuat sanksi apapun sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 19, dan 32, padahal isinya adalah perintah dan kewajiban.

    DAFTAR PUSTAKA

      Council Directive 77/187/EEC

      14 Februari 1977, Akses tanggal 14 September 2013.

      Hukum Online, Pemerintah Diultimatum Selesaikan Masalah Outsourcing di BUMN, hukumonline.com, 22 Agustus 2013,

      Hukum Online, Permenaker Outsourcing

      ‘Diskriminatif, Kamis, 29

      November 2012, kses tanggal 12 September 2013.

      Indrajit, Richardus Eko dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, REI ebook-outsourcingmanajement.pdf. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 27/PUU-IX/2012 Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138.

      Putusan MK RI No. 27/PUU-IX/2011.pdf. SJ, A. Suryawasita, Asas Keadilan Sosial, Kanisius, 1989, Jogyakarta, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran

      Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). Wahyuni, Nurseffi Dwi, Liputan6.com, Wawancara Khusus Dahlan Iskan (3): Outsourcing yang Bikin Pusing, 10 Juli 2013.

      Wang, Alice, The European Union: Compliance With Transfer of Undertaking dalam situs Cross Border Employer, posting 19 September 2012, akses 14 September 2013. Revision of The Transfer of Undertakings (Protection of Employment Regulation)

      2006, Impact Assessment