Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (Prt)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

090200224

MARIO BORNEO TARIGAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

090200224

MARIO BORNEO TARIGAN

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KHUSUS HUKUM PERBURUHAN

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP. 196002141987032002

SURIA NINGSIH, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Suria Ningsih, SH., M.Hum

NIP. 196002141987032002 197608162002122002

Dr. Agusmidah, SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia? Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)?Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya

Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Dalam Hukum Kerja di Indonesia. PRT secara definitif adalah diakui kedudukan hukumnya sebagai Pekerja yang disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa: “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungn atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja, (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.“Penyelesaian Kasus-Kasus Yang Dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak Perlunya Pengaturan Khusus Pekerja Rumah sebagai pekerja rumah tangga (PRT) merupakan sumber penting mata pencaharian bagi perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara. Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya, dan akibatnya sering tidak diperhatikan. Ini adalah sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial, karena pekerjanya rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal. Makalah ini merangkum masalah utama yang dihadapi PRT, begitu pula hambatan-hambatan yang dialami untuk mendapatkan hak-hak mereka


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.


(5)

6. Ibu Dr. Agusmidah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini. 7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Ir. Pujin Tarigan dan Ibunda Rosa Rita br. Sebayang, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

9. Abangda Irja Breba Tarigan, SE dan kedua adik penulis Yessi Giovanni Tarigan dan Paul Ramon Tarigan yang memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

10.Bapak TR. Arif Faisal, SH selaku Koordinator Eksekutif LSM SAHDAR dalam memberikan data-data kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini

11.Teman-Teman stambuk 2009 yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini.

12.Buat Ikatan Mahasiswa Karo Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (IMKA Erkaliaga) yang telah menjadi wadah penulis dalam berorganisasi selama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum USU.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena


(6)

keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan.

Medan, Oktober 2013 Hormat Saya


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA ... 16

A. Sejarah Perkembangan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Di Indonesia ... 16

B. Pekerja Rumah Tangga (PRT) Wajib Dilindungi Berdasarkan Kajian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Negara Hukum ... 19

C. Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang pernah Ada di Indonesia ... 20

BAB III MEKANISME PENYELESAIAN TERHADAP KASUS- KASUS YANG DIALAMI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) ... 29

A. Penyelesaian Secara Hukum ... 29

B. Penyelesaian Secara Kekeluargaan melalui Lembaga Kepolisian atau Swadaya Masyarakat (LSM) ... 37


(8)

BAB IV PERLU ADANYA PENGATURAN KHUSUS PEKERJA

RUMAH TANGGA (PRT) DALAM UNDANG-UNDANG ... 55

A. Perlunya Pengaturan Khusus Mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) ... 55

B. Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi DPR ... 55

C. Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi LSM ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia? Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)?Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya

Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (Prt) Dalam Hukum Kerja di Indonesia. PRT secara definitif adalah diakui kedudukan hukumnya sebagai Pekerja yang disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa: “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungn atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja, (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.“Penyelesaian Kasus-Kasus Yang Dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak Perlunya Pengaturan Khusus Pekerja Rumah sebagai pekerja rumah tangga (PRT) merupakan sumber penting mata pencaharian bagi perempuan dan laki-laki di Asia Tenggara. Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya, dan akibatnya sering tidak diperhatikan. Ini adalah sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial, karena pekerjanya rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal. Makalah ini merangkum masalah utama yang dihadapi PRT, begitu pula hambatan-hambatan yang dialami untuk mendapatkan hak-hak mereka


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan pekerja rumah tangga atau yang lebih dikenal sebagai pembantu rumah tangga sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik di kota-kota maupun di desa-desa. Banyak keluarga mempunyai pekerja rumah tangga (PRT). Menurut SUSENAS BPS 1999 di Jakarta terdapat 168.319 orang PRT.1 Jumlah tersebut mencakup baik PRT dewasa dan juga yang masih tergolong anak-anak (PRT Anak) yang berusia antara 10-18 tahun. Jumlah PRTA sebesar 29,9% dari seluruh PRT di Jakarta.2

PRT melaksanakan tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak majikan dan berbagai tugas lain yang diberikan oleh majikan. Dengan perkataan lain, pekerjaan yang harus dilakukan oleh PRT sangatlah banyak dan bervariasi tergantung dari kehidupan rumah tangga majikan.

Besarnya jumlah pekerja tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya keberadaan PRT di Jakarta harus mendapatkan perhatian yang serius.

3

Sebagai imbalan atas pekerjaannya PRT menerima upah dari majikan. Besarnya upah tergantung dari perjanjian antara PRT dengan majikan yang seringkali didasarkan pada harga pasaran di suatu wilayah tertentu. Dalam

1

Dhevy Setya Wibawa & Laurike Moelino, Laporan Penelitian: Profil Pekerja Rumah Tangga Anak di Dua Wilayah Jakarta Selatan: Studi untuk Peningkatan Kesadaran Masyarakat.

Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya, 2002, hlm 5

2 Ibid. 3


(11)

beberapa kasus, upah didasarkan pula pada kondisi keuangan majikan.4 Di samping upah, PRT juga menerima berbagai fasilitas lain seperti kamar, sabun, sikat gigi dan pasta gigi, dan bentuk-bentuk fasilitas lain yang disediakan oleh majikan berdasarkan kesepakatan mereka.5

Melihat fenomena tersebut di atas, muncul pertanyaan apakah PRT termasuk pekerja yang pantas mendapat kedudukan yang sama dengan pekerja yang lain. Sebutan dan penerimaan PRT sebagai pekerja tentunya akan memberikan status yang baru kepada PRT sebagai pekerja formal. Status baru tersebut memungkinkan PRT untuk memperjuangkan haknya secara lebih terbuka.6 Pengalaman di beberapa negara tetangga memperlihatkan hal ini. Malaysia, Thailand dan Singapura telah memiliki suatu ketentuan perundang-undangan yang mengakui keberadaan PRT dan memberikan perlindungan hukum sebagaimana mestinya walaupun terbatas terhadap PRT warga negara mereka sendiri.7

Memang harus diakui bahwa sampai saat ini keberadaan PRT sebagai pekerja tidak diterima oleh semua pihak. PRT tidak diakui sebagai tenaga kerja yang sama dengan tenaga kerja lainnya seperti pekerja pabrik, perusahaan, dll. Bahkan harus diakui bahwa dewasa ini sebutan sebagai “pekerja” pun belum diterima oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat lebih menerima untuk menyebut PRT sebagai “pembantu”. Oleh karena itu, PRT dimasukkan dalam

4

Dwi Astuti, et al. Jejak Seribu Tangan, Yogyakarta: 1999.

5

Wibawa & Moeliono, Op. Cit hlm. 8

6

Astuti, Op.Cit. hlm xiii

7

Tim LBH Apik, Kertas Posisi, Usulan Revisi Perda DKI Jakrta No 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma, Jakarta: 2002


(12)

lingkup pekerjaan sektor informal.8

Penyebutan PRT sebagai pekerja sebenarnya sudah tercakup dalam pengertian buruh atau pekerja yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.Undang-undang terbaru tentang ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun 2003) mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 butir 3). Berdasarkan pengertian tersebut nampak bahwa seharusnya PRT termasuk dalam pekerja sektor formal yang dilindungi oleh ketentuan undang-undang. Akan tetapi, pandangan tentang PRT sebagai bukan pekerja formal sudah tertanam dalam pandangan masyarakat.

Dengan memasukkan PRT dalam lingkup sektor informal, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak pekerja terbatas. Hal ini karena persoalan-persoalan PRT tidak tercakup dalam ketentuan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan yang berlaku. PRT tidak mendapatkan perlindungan hukum yang menjamin pekerjaan mereka sama seperti rekan-rekan mereka yang bekerja di pabrik, perusahaan, dll.

9

Kelemahan atau kekurangan acuan yuridis ini memberikan dampak bahwa PRT kurang mendapatkan perlindungan hukum. Seperti telah dilihat di atas, pengakuan PRT sebagai pekerja yang sama derajatnya dengan sektor formal pun masih kurang. Pengakuan keberadaan PRT sebagai pekerja merupakan langkah Di samping itu, tidak disebutnya secara langsung istilah PRT sebagai pekerja dalam ketentuan undang-undang telah memperkuat pandangan masyarakat dan selanjutnya dalam praktek PRT tetap tidak dimasukkan dalam lingkup hukum perburuhan.

8

Syarief Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga: Kasus Jakarta, Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya 2000. hlm 6

9


(13)

awal untuk mendapatkan pengakuan secara sosial dan secara hukum.10

Keberadaan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada para PRT dalam memperoleh hak-hak mereka dan melaksanakan kewajiban mereka. Tentunya hal ini berlaku juga bagi para pengguna jasa yang mempekerjakan PRT. Kedua belah pihak dapat terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan kerja di antara PRT dan pengguna jasanya.

Adanya pengakuan secara sosial dan hukum tentunya akan memudahkan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang secara langsung memberikan perlindungan kepada para PRT. Maka, acuan yuridis pun menjadi jelas bagi PRT dan pengguna jasa PRT serta masyarakat.

11

Berdasarakan uraian di atas penulis merasa tertarik untuk lebih menulis skripsi berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga(PRT).

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia

2. Bagaimana Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)

10

Komnas Perempuan & Solidaritas Perempuan/CARAM, “Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga Indonesia (TKW-PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT” dalam Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Jakarta 2003.

11


(14)

3. Bagaimana perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :

a. Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia

b. Untuk mengetahui Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT)

c. Untuk mengetahui perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang

2. Manfaat Penulisan

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat memberikan masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap


(15)

ilmu hukum pada umumnya dan ilmu Hukum Ketenagakerjaan pada khususnya.

b. Manfaat praktis

Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelursan dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menemukan judul skripsi antara lain :

1. Theresia Septria Tobing (030200037) perlindungan hukum terhadap pekerja anak berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesi (Studi Pekerja anak pada PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk Asahan.

2. Iwan Ginting (980200075) Eksistensi Serikat Pekerja dalam Pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara Buruh dan Majikan di PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia.

3. Soraya Fadilah (060200173) Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam Perjanjian Kerja dengan Sistem Outsoursing di Indonesia.

4. Rico Rinaldi Tarigan (070200221) Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja / buruh yang terkena PHK akibat efisiensi dalam suatu perusahaan (Tinjauan terhadap Keputusan MA No. 37 K /PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)


(16)

Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul tentang Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Jadi penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain. Kajian pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis mengkaji dan mengambil perumusan masalah tentang kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Hukum Kerja di Indonesia, Penyelesaian Kasus-kasus yang dialami pekerja Rumah Tangga (PRT) dan perlunya Pengaturan khusus pekerja rumah tangga (PRT) dalam undang-undang Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya, maka penulis tertarik mengambil judul ini sebagai judul skripsi. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Perlindungan Hukum

Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian Perlindungan hukum adalah tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalambidang hukum.12

12

WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), hlm. 224.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang dimaksud perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga,


(17)

advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pelaksana lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah atau adapt yang berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara). Sedangkan, hukum dasarnya merupakan perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat dipenuhi secara teratur agar tujuan-tujuan kebijaksanaan publik dapat terwujud di dalam masyarakat. Berbicara perlindungan hukum berarti membahas tentang hak dan kewajiban tenaga kerja. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di kapal merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan hak bekerja dalam perusahaan, apalagi mengingat resiko bahayanya, maka pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja haruslah sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja tersebut, maka perlu dilakukan upaya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja tanpa terkecuali. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dituangkan dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

Dalam hal ini pengusaha/ perusahaan harus memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja sesuai dengan jenis pekerjaannya. Meskipun hanya seorang pelayan akan tetapi juga harus tetap diperhatikan. Mengingat peranan tenaga kerja sangat penting demi kelancaran perusahaan. Tenaga kerja harus


(18)

memperoleh hak-hak mereka secara penuh, begitu juga sebaliknya tenaga kerja juga harus memenuhi kewajibannya dengan baik pula. Sehingga, akan tercipta hubungan kerja yang dinamis antara perusahaan dengan pihak tenaga kerja. Jadi perlindungan hukum tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan

2. Ruang lingkup hukum ketenagakerjaan

Hukum perburuhan (ketenagakerjaan) merupakan spesies dari genus hukum umumnya. Berbicara tentang batasan pengertian hukum, hingga saat ini para ahli belum menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum, disebabkan karena hukum itu sendiri mempunyai bentuk serta segi yang sangat beragam. Ahli hukum berkebangsaan Belanda, J. van Kan, sebagaimana dikutip oleh Lalu Gusni, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.13 Pendapat lainnya menyatakan bahwa hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, menyebutkan 9 (sembilan) arti hukum yakni:14

a. Ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran,

b. Disiplin, yakni sebagai sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala- gejala yang dihadapi,

13

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 13.

14

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, (Bandung, Alumni, 1986), hlm. 2-4.


(19)

c. Norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan,

d. Tata hukum, yakni struktur dan perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis,

e. Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law inforcement officer), f. Keputusan penguasa, yakni hasil-hasil proses diskripsi,

g. Proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur- unsur pokok dari sistem kenegaraan,

h. Sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan

i. Jalinan nilai, yakni jalinan dari konsepsi tentang apa yang dianggap baik dan buruk.

Pendapat di atas menunjukkan bahwa hukum itu mempunyai makna yang sangat luas, namun demikian secara umum, hukum dapat dilihat sebagai norma yang mengandung nilai tertentu. Jika hukum dalam kajian ini dibatasi sebagai norma, tidak berarti hukum identik dengan norma, sebab norma merupakan pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma hukum merupakan salah satu dari sekian banyak pedoman tingkah laku selain norma agama, kesopanan dan kesusilaan.


(20)

3. Tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja

Tujuan Perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Mengingat pentingnya peran tenaga kerja atau pekerja dalam sebuah perusahaan, maka tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tanpa harus membedakan satu dengan yang lain karena pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan. Selain itu, dengan mengingat tenaga kerja memiliki resiko, dengan begitu jika adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban makahubungan kerja dapat berjalan dengan lancar.

Pada dasarnya dalam hubungan antara tenaga kerja danpengusaha, secara yuridis pekerja dipandang sebagai orang yang bebas karena prinsip negara Indonesia, tidak seorangpun boleh diperbudak. Secarasosiologis, pekerja itu tidak bebas sebagai orang yang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun memberatkan bagi pekerja itu sendiri, lebih-lebih saat sekarang ini dengan banyaknyajumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan yangtersedia. Akibatnya tenaga kerja sering kali diperas oleh pengusaha dengan upah yang relatif kecil dan tidak ada jaminan yang diberikan. Selain itu, tenaga kerja memiliki resiko dalam pekerjaannya. Mengingat hal tersebut perusahaan harus memberikan kepastian hukumkepada tenaga kerja atau pekerja.


(21)

Dengan adanya kejelasan tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dalam pelaksanaannya sehingga tenaga kerja tidak dirugikan.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.15

1. Jenis penelitian

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.16

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku tentang Perlindungan Hukum terhadap tenaga kerja Indonesia.

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

15

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004, hlm 1.

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007, hlm. 57.


(22)

2. Sumber data

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.17

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui Undang-undang Dasar 1945 Pasca amandemen, khususnya Pasal 27 yang mengatur tentang hak setiap warga Negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari

17

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 19.


(23)

media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA

Bagian ini akan membahas sejarah perkembangan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia, Pekerja rumah tangga (PRT) wajib dilindungi berdasarkan kajian hak asasi manusia (HAM) dan Negara Hukum serta Peraturan tentang pekerja rumah tangga (PRT) yang pernah ada di Indonesia.


(24)

BAB III PENYELESAIAN KASUS-KASUS YANG DIALAMI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

Pada bab ini akan membahas tentang penyelesaian secara hukum, penyelesaian secara kekeluargaan melalui mediasi lembaga kepolisian atau swadaya masyarakat (LSM) dan beberapa kasus yang menyangkut pekerja rumah tangga.

BAB IV PERLUNYA PENGATURAN KHUSUS PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM UNDANG-UNDANG

Bagian ini akan membahas perlunya pengaturan khusus mengenai pekerja rumah tangga (PRT), rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi DPR dan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga Versi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian akhir ini akan membahas tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian


(25)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) DALAM HUKUM KERJA DI INDONESIA

A. Sejarah perkembangan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia

Pembantu rumah tangga adalah suatu posisi dalam kehidupan yang bersifat temporer dalam artian kehadiran pembantu rumah tangga bukan suatu hal yang mutlak dalam suatu keluarga, namun kehadiran pembantu rumah tangga pada satu sisi dapat dikatakan penting karena bagi sebahagian keluarga, dimana ibu dan ayah masing-masing memiliki pekerjaan dan perlu bantuan pihak lain untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga.

Pada awalnya pembantu rumah tangga dapat dilihat sekilas dari proses perkembangan kebudayaan di Indonesia pada umumnya, seperti dalam kebudayaan Kraton Jawa, di mana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak memiliki seorang pengasuh yang bekerja tidak hanya sekedar mengasuh dan menjaga anak selama kedua orang tua bekerja, melainkan juga memiliki pekerjaan memasak, mencuci dan lain sebagainya pada kebudayaan lainnya posisi pengasuh juga memiliki arti penting dalam keluarga.18

Seiring perkembangan zaman, secara harfiah kata pengasuh tidak relevan lagi karena terbatas pada artian mengasuh sehingga perkataan pengasuh bergeser pada penggunaan kata pembantu yang berkonotasi sebagai individu yang memiliki

18


(26)

pekerjaan membantu dalam suatu keluarga dengan jenis pekerjaan yang berbeda-beda.

Pekerjaan pembantu rumah tangga pada awal perkembangannya merupakan suatu posisi pekerjaan yang diisi individu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang menggunakan jasanya dengan harapan agar timbul rasa kepercayaan yang tinggi karena posisi kerja pembantu rumah tangga adalah posisi kerja yang memerlukan tingkat kepercayaan tinggi.

Pembantu rumah tangga juga mengalami stagniantasi karena posisi pembantu rumah tangga dalam paradigm masyarakat bagaikan hal penting namun cepat terlupakan, hal ini terlihat dari sedikitnya literature mengenai pembantu rumah tangga

Pada saat sekarang ini pembantu rumah tangga tidak hanya terbatas pada suatu kemampuan dalam tingkat bekerja secara sederhana, seperti mencuci, memasak dan menjaga rumah, melainkan sudah menjadi kompleks dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Permintaan terhadap pembantu rumah tangga juga meningkat tajam seiring kehidupan masyarakat perkotaan yang kompleks dan membutuhkan ketepatan waktu yang tinggi, untuk menyiasati hal tersebut diperlukan individu yang dapat membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga, hal ini ditandai dengan munculnya agen-agen penyalur pembantu rumah tangga hingga pada pengiriman pembantu rumah tangga dengan label tenaga kerja keluar negeri.

Pekerjaan pembantu rumah tangga pada saat sekarang ini sudah mengalami pergeseran menjadi suatu pekerjaan yang pada awalnya mengisi ruang


(27)

privat keluarga menjadi ruang publik dengan artian individu yang menjadi pembantu rumah tangga tidak lagi diisi oleh individu yang memiliki hubungan kekerabatan melainkan individu yang memiliki keahlian khusus dalam pekerjaan rumah tangga.

Menurut dari beberapa pengertian yang sudah di sampaikan dapat disimpulkan bahwa pekerja rumah tangga adalah seseorang pekerja yang menjual jasanya melalui pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan. Menurut dari pengertian pekerja rumah tangga dapat disimpulkan bahwa pekerja rumah tangga adalah orang selain anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga atau suatu keluarga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan.

Pembantu rumah tangga dapat dibagi atas dua bagian, yaitu individu yang memiliki pekerjaan membantu dalam rumah tangga dan individu yang memiliki keahlian khusus dalam bekerja/membantu suatu pekerjaan rumah tangga. Berdasarkan dua bagian tersebut maka muncul jenis-jenis pembantu rumah tangga berdasarkan keahlian khusus, seperti :

1. Supir, yang bertugas mengemudikan mobil majikan 2. Tukang cuci, yang memiliki pekerjaan mencuci pakaian

3. Tukang masak, adalah yang bertugas untuk memasak makanan bagi suatu keluarga, bahkan pada saat sekarang ini, hal ini mengalami perkembangan dimana suatu keluarga mengambil keputusan untuk berlangganan makanan pada suatu pihak yang biasa dikenal dengan sebutan rantangan.


(28)

4. Tukang jaga rumah, bertugas untuk menjaga rumah beserta isinya. 5. Tukang potong rumput, yang bertugas merapihkan di halaman rumah

B. Pekerja rumah tangga (PRT) wajib dilindungi berdasarkan kajian hak asasi manusia (HAM) dan Negara Hukum

Perlindungan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) mutlak harus diberikan. Berdasarkan Sasaran Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) 2008, data dari Migrant Care dan estimasi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) tahun 2009, saat ini terdapat lebih dari 3 juta PRT di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Bahkan, pekerjaan sebagai PRT menempati posisi teratas sebagai tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Namun sayangnya, mereka rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan sosial sehingga hidup dalam situasi pekerjaaan yang tidak layak. Oleh sebab itulah diperlukan perlindungan bagi PRT dan anggota keluarganya.

Kejanggalan kebijakan di Indonesia justru terjadi di kalangan pengambil keputusan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), yang menolak adanya konvensi perlindungan PRT. Padahal, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat mendukung lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.19

Dalam rapat koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat pada 11 Agustus lalu, salah satu hasil yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang

19

http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=63 9


(29)

Yudhoyono adalah mendukung dan membangun konsultasi untuk lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.20

Alasan yuridis mengenai perlindungan PRT sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 point 12 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara, serta Pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

21

C. Peraturan tentang pekerja rumah tangga (PRT) yang pernah ada di Indonesia.

Tidak ada undang-undang khusus di Indonesia tentang PRT, tetapi beberapa undang-undang lain memberikan perlindungan. Akan tetapi, sikap budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia enggan membuat peraturan formal tentang pekerjaan rumah tangga dan, apabila ada, mereka enggan untuk menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para PRT. Kenyataannya, para pekerja rumah tangga jarang

20 Ibid 21

Emiarti Fuad, staf Deputi Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan


(30)

sekali disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sebagai pembantu (helper).

Praktik menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pembantu memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan para majikannya, yang banyak di antaranya berasal dari keluarga jauh atau desa seasal. Sebagai gantinya, para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan paternalistik, di mana mereka melindungi, member makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. (Di Jawa, praktik ini disebut ngenger.22

Aspek paternal dari hubungan kerja ini, yang dipadukan dengan fakta bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah keluarga dan tidak dianggap produktif secara ekonomi,

23

berarti bahwa budaya Indonesia secara umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat pribadi.24

22

Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005 , hlm 4.

Di satu sisi masyarakat Indonesia mendukung tingkat keterlibatan pemerintah yang cukup besar diberbagai aspek perekonomian dan kehidupan, namun, disisi lain, rumah dinilai bersifat personal dan berada di luar batas jangkauan intervensi negara.

23

Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma

[Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers] (LBH APIK Jakarta, 2002), hlm 3.

24

Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma

[Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers] (LBH APIK Jakarta, 2002), hlm 1-2


(31)

Karena sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antara PRT dan majikan, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajibanpun biasanya dilakukan secara informal. Ini artinya PRT tidak memiliki akses terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri, yang saat ini sedang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para pekerja di sektor formal.25

Sebagai gantinya, PRT mungkin mencari bantuan untuk menyelesaikan perselisihan dari seorang anggota keluarga, rukun tetangga, rukun warga, atau kepala desa/lurah. Di Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK) telah mulai menerima kasus-kasus yang melibatkan pelecehan serius, pemerkosaan dan pembunuhan.

26

Faktor-faktor budaya yang diuraikan di atas mengurangi kapasitas masyarakat Indonesia untuk membuat undang-undang bagi perlindungan PRT maupun untuk menegakkan undang-undang yang sudah ada. Sebagai contoh, ketika seseorang melapor ke kepolisian, ia seringkali dituduh tidak mengambil Akan tetapi, PRT umumnya akan menyandarkan diri pada kemurahan hati sang majikan dan berusaha membangun hubungan yang diatur berdasarkan saling mempercayai.

25

Diskusi dengan Dr Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 Oktober 2005.

26

Di tahun 2001, LBH APIK telah menangani 15 kasus yang melibatkan pelecehan serius terhadap para pekerja rumah tangga, 13 kasus yang melibatkan pembunuhan pekerja rumah tangga, dan 3 kasus yang melibatkan pemerkosaan pekerja rumah tangga. Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma [Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers ] (LBH APIK Jakarta, 2002), hlm 4.


(32)

langkah-langkah yang memadai untuk menghindari kekerasan atau eksploitasi, atau bahkan memancing terjadinya hal tersebut.27

Interpretasi pemerintah saat ini dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati “pekerja” didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain”, masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan di dalam UU tersebut. “Pengusaha” (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan UU, sedangkan “pemberi kerja” hanya menanggung sebuah kewajiban umum untuk memberikan “perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik” (Pasal 35).

Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut. Hal ini sebagai imbalan atas kontribusi ekonomi yang diberikan para PRT terhadap para majikannya dengan memberikan mereka kebebasan untuk terlibat di dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menguntungkan. Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan oleh UU terhadap pekerja lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian

27

“Minim, Perlindungan Hukum terhadap PRT”, Suara Karya Online, 17 January 2004, <http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=78569>. Poin ini ditegaskan di dalam diskusi dengan Dr Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 October 2005.


(33)

perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Interpretasi yang diberikan oleh pemerintah sebagian berlandaskan pada keputusan Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di tahun 1959, yang menyatakan bahwa perselisihan yang melibatkan para PRT berada di luar yurisdiksi sistem penyelesaian perselisihan kerja formal. Namun keputusan ini tidak lagi menjadi yurisdiksi yang berlaku karena:28

1. P4P tidak lagi memiliki dasar hukum dan sedang dalam proses penggantian dengan pengadilan Industrial, seiring pemberlakuan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

2. UU yang digunakan sebagai dasar oleh P4P dalam mencapai keputusan (UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) dicabut dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dengan demikian tidak lagi bisa menjadi dasar bagi yurisprudensi yang mengikat. 3. Penjelasan bagian 10 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara

khusus menyebutkan para PRT memiliki hak untuk berserikat, sehingga dengan demikian memberikan bukti persuasive tentang niat parlemen menjangkau para PRT dalam mengupayakan tersedianya UU Ketenagakerjaan.

4. Kondisi sosial-ekonomi sudah banyak berubah sejak tahun 1959.

28

Putusan Panita Penyelesaian Persengketaan Perburuhan Pusat No. 70/59/111/02/C tanggal 19 Desember 1959.


(34)

Pada 2005, setelah adanya sebuah laporan tentang PRT anak yang disinyalir oleh Human Rights Watch,29 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris menegaskan bahwa departemennya akan mengusulkan sebuah UU tentang PRT untuk mendapat persetujuan DPR. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi turut mendukung, termasuk penyebutan para pekerja domestik di dalam UU Ketenagakerjaan, meski sekadar menyebutkan bahwa para PRT akan diatur berdasarkan keputusan menteri yang akan dirumuskan kemudian. Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mendesak perlunya UU nasional terpisah tentang PRT.30

Sementara sistem UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT, sejumlah UU nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski dengan masih secara terpisah dan terbatas. UU ini meliputi:

Praktik terbaik menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi cara paling efektif memberikan perlindungan bagi PRT (lihat di bawah).

1. Pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

2. Pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera dan Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT bahwa Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup

29

Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005.

30

Muryanti, “Upaya Perlindungan PRT” [Efforts to Protect Domestic Workers], Jurnal Perempuan, Vol 39, January 2005, hlmaman 15. See also “Activists Call for Ruling to Protect Domestic Workers”, The Jakarta Post, 10 March 2005.


(35)

rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

3. Pasal 1 point 12 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara.

4. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan National (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

5. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

Selain UU ini, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan untuk mengesahkan beberapa norma hukum internasional terkait , termasuk:

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Righ

2. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)


(36)

3. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) 4. Kovenant tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan (Convenants on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW)

5. Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 6. Konvensi untuk menekan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi

Lain

7. Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (Konvensi ILO No. 87)

8. Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama, 1949, (Konvensi ILO No. 98)

9. Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (Konvensi ILO No. 29)

10.Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa,1957 (Konvensi ILO No. 105)

11.Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138)

12.Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999 (Konvensi ILO No. 182)

13.Konvensi ILO tentang Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100) 14.Konvensi ILO tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi

ILO No. 111)

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah daerah


(37)

(Kotamadya/Kabupaten) untuk membuat peraturan tentang semua sektor di luar dari pertahanan dan keamanan, kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, kehakiman dan keagamaan. Hal ini berarti, meskipun tidak ada ketidaksesuaian dengan UU nasional, pemerintah daerah saat ini dapat secara independen mengeluarkan undang-undang tentang masalah-masalah seperti hubungan industrial, perdagangan manusia, hak asasi manusia, kesetaraan jender, dan masalah lain bagi para PRT. Sejumlah pemerintah daerah saat ini memiliki UU atau RUU yang terkait degan para PRT.


(38)

BAB III

MEKANISME PENYELESAIAN TERHADAP KASUS-KASUS YANG DIALAMI PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

A. Masalah-Masalah Hukum Pembantu Rumah Tangga

PRT semula adalah singkatan dari Pembantu Rumah Tangga, kini telah digeser menjadi Pekerja Rumah Tangga. Istilah ini ingin menguatkan dan memberi pengakuan terhadap orang yang berkerja pada suatu rumah tangga. Istilah ini dimunculkan mengganti istilah pembantu, pelayan, pramuwisma, atau babu.

Masalah yang satu ini, harus diakui masih kurang mendapat perhatian, baik dalam konteks PRT yang menjadi TKW/migran, PRT anak, maupun persoalan PRT di dalam negeri. Di daerah perkotaan di Indonesia terjadi permintaan yang tinggi akan pekerja rumah tangga (PRT). Kehadiran dan permintaan yang tinggi ini terhadap PRT telah memunculkan persoalan hak asasi manusia. Pertama, jumlah PRT cukup besar sehingga potensi pelanggaran hak-haknya sebagai pekerja juga besar. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang hubungan kerja dan perlindungan hukum bagi para PRT tersebut. Menurut survei Organisasi Buruh Internasional, ILO-IPEC, yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Bekasi dan Jakarta Timur, yang kemudian dihitung hasilnya untuk mendapatkan jumlah PRT yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah seluruh PRT di Indonesia adalah sebanyak 2.593.399 orang, dan jumlah pekerja anak rumah tangga (PART) sebanyak


(39)

688.132 anak. Kedua, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa PRT sangat rentan mendapatkan perlakukan yang tidak adil seperti ketidakpastian dalam hal upah, perlakuan yang tidak manusiawi, dan jam kerja yang tidak menentu. Ketiga, bahwa sebagian besar PRT adalah perempuan dan banyak di antara PRT perempuan yang juga mendapatkan perlakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual sampai pada perkosaan.31

Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT sering dilaporkan dalam media massa. Pada banyak kasus, PRT tidak mampu melarikan diri dari siksaan majikan karena mereka tidak memiliki uang dan mereka tidak mengenal lingkungan tempat tinggal mereka. Karena sampai saat ini tidak ada ketentuan hukum yang mengatur proses penerimaan, standar lingkungan kerja, beban kerja dan kondisi kerja untuk PRT, maka PRT rentan mengalami tindak kekerasan.

Masalah PRT memang cukup rumit. Masalah ini semakin rumit karena tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya. Masalah ini tidak berhenti pada agen-agen penyalur tenaga kerja yang tidak mengikuti peraturan resmi, namun meluas ke sistem ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Oleh karena itu, masalah PRT adalah masalah struktural dan kondisi kerja yang sangat berkaitan dengan kemiskinan dan pemiskinan.

Pekerjaan PRT berkaitan erat dengan fenomena feminisasi kemiskinan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan miskin, terutama dari perdesaan dan diberi upah rendah. Pekerjaan ini juga tidak memiliki jenjang karir serta tidak dilindungi hukum. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi PRT bersifat struktural,


(40)

yakni berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Untuk menanggulangi masalah struktural ini, diperlukan perubahan mendasar, terutama di bidang sosial dan ekonomi pada tingkat nasional. Ada dua masalah struktural utama yang dihadapi oleh PRT :32

(1) Kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga PRT telah menyebabkan mereka kehilangan kesempatan bersekolah, yang juga menyebabkan mereka tidak mampu memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk terjun ke pasar kerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka terjebak ke dalam kondisi kerja yang tidak layak, yang dapat menjadi kerja paksa. Upah yang rendah menyebabkan mereka pun kelak tidak bisa menyekolahkan anaknya pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga anaknya pun tidak akan jauh kondisinya dengan orang tuanya. Mengurangi kemiskinan akan membantu mengurangi kondisi kerja dan hidup PRT yang tidak layak.

(2) Diskriminasi. Diskriminasi yang dialami PRT perempuan dilandasi oleh konstruksi gender dan kelas sosial. Sebagai perempuan miskin yang menawarkan jasa yang dianggap tidak membutuhkan keahlian khusus, menyebabkan PRT tidak mempunyai kekuatan tawarmenawar ketika berhadapan dengan majikan mereka. Konstruksi gender dan kelas sosial juga membuat mereka pasif dan menerima keadaan begitu saja, dan konstruksi gender juga membuat mereka dibayar lebih rendah dari pekerjaan rumah lainnya, misalnya supir. Mengorganisasi PRT agar dapat

32

Edriana Noerdin, Situasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia, RUMPUN Tjoet Njak Dien. 2004. hlm 24


(41)

menumbuhkan kekuatan mereka untuk menolak diskriminasi gender dan kelas sosial akan membantu mengurangi posisi PRT yang lemah.

Masalah struktural di atas telah menyebabkan PRT berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak seperti masalah struktural lain yang memerlukan solusi jangka panjang dan perubahan yang lebih luas di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, masalah kondisi kerja ini dapat antara lain ditanggulangi dengan solusi jangka menengah melalui advokasi perlindungan hukum PRT. Masalah-masalah kondisi kerja yang dihadapi oleh PRT adalah sebagai berikut:33

1. Dipekerjakan pada usia muda; kemiskinan menyebabkan mereka meninggalkan rumah pada usia muda karena orang tua tidak mampu lagi menanggung biaya hidupnya.

2. Tidak adanya penghargaan dan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja; jam kerja yang panjang, upah yang rendah, tidak adanya tunjangan sosial dan kesehatan, serta bentuk eksploitasi lainnya yang dilakukan oleh majikan. 3. Keluarga dianggap sebagai lingkup pribadi yang tidak dapat diganggu oleh

pihak luar, sehingga setiap perlakukan kekerasan yang dialami oleh PR tersebut selalu dianggap sebagai persoalan dalam lingkup keluarga dan orang luar enggan terlibat.

4. Eksploitasi oleh agen penyalur PRT; agen selalu menarik uang dari hasil jerih payah PRT setiap bulannya. Penarikan tersebut bervariasi antara satu agen dengan agen lainnya.

33 Ibid


(42)

5. Kekerasan seksual; banyak kasus menunjukkan bahwa PRT sering menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasaan seksual lainnya oleh majikannya atau keluarga majikannya.

6. Rendahnya atau tidak adanya akses untuk mendapatkan informasi; PRT dilarang atau diberi kesempatan sedikit untuk bergaul di luar rumah sehingga tidak mempunyai kerabat yang bisa dihubungi apabila terjadi masalah.

Berikut adalah masalah yang dihadapi PRT secara lebih rinci: a. Upah Rendah

Upah yang diterima PRT jauh di bawah standar upah yang layak dibandingkan dengan jam kerja dan bentuk pekerjaan. Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan standar upah minimum untuk buruh perempuan di sektor formal, namun standar itu tidak mencakup PRT karena mereka dianggap sebagai pekerja domestik di sektor informal. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan upah pekerja lain dan standar hidup secara regional, upah yang diterima PRT paling rendah dengan waktu kerja yang paling panjang. Lebih dari itu, mereka seringkali menerima upah yang lebih rendah daripada yang disepakati sebelumnya. Seharusnya, ada upah standar untuk PRT yang dihitung berdasarkan pengalaman kerja, jenis dan beban kerja, jumlah orang dalam keluarga yang dilayaninya, dan standar hidup regional. Sebenarnya, upah yang layak bukanlah upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan pengalaman kerja.


(43)

b. Ketiadaan Standar Jam Kerja

Tidak adanya batas yang ditetapkan untuk beban kerja PRT membuat mereka bekerja lebih lama dari masa kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu selama delapan jam dalam satu hari. Dalam diskusi yang dilakukan bersama-sama dengan para PRT di kantor LSM Rumpun Tjut Nyak Dien (TND), di Yogjakarta, PRT mengemukakan perlunya standar jam kerja untuk menghindari jam kerja yang sangat panjang, yaitu antara 10-16 jam sehari, mulai jam 05.00 pagi sampai sekitar jam 08.00 hingga 10.00 malam. Standar jam kerja seharusnya mengikuti ketentuan yang lazim, yaitu delapan jam per hari. Terlebih lagi, PRT sulit memperoleh waktu istirahat rutin seperti istirahat mingguan, cuti haid, cuti tahunan, dan cuti melahirkan.

c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya

PRT tidak mendapatkan jaminan sosial karena mereka tidak dianggap sebagai pekerja “formal”. Dengan demikian, mereka juga tidak menerima tunjangan kesehatan dan tunjangan lain yang seharusnya diterima oleh pekerja. Jaminan sosial dan tunjangan kesehatan merupakan prasyarat bagi lingkungan kerja yang layak. Karenanya, PRT yang sakit sangat tergantung pada kebaikan majikannya, apakah akan membawanya ke dokter atau hanya mau membelikannya obat di warung. Kalau mendapatkan majikan yang baik, PRT yang sakit juga akan mendapatkan biaya perawatan. Karena hal ini tidak dibakukan, maka semua ini sangat bergantung pada budi baik sang majikan. Berkaitan dengan hal di atas, perawatan kesehatan PRT membutuhkan perhatian khusus. Sebagaimana diuraikan di bawah, kasus-kasus yang ditangani oleh LSM


(44)

TND memperlihatkan bahwa banyak masalah yang dihadapi PRT berkaitan dengan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental atau psikologis. Oleh karena itu, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan kesehatan, selain hak untuk memperoleh informasi, harus menjadi prioritas di dalam agenda advokasi PRT. Dalam hal ini, kesehatan reproduksi PRT memerlukan perhatian khusus karena sebagian besar PRT adalah perempuan tetapi mereka tidak berhak mendapatkan cuti haid dan ada juga yang mengalami perkosaan.

d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT

Penelitian lapangan yang dilakukan oleh LSM TND (2003) memperlihatkan bahwa PRT mudah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual disebabkan beberapa hal berikut:

1. Hubungan antara PRT dengan majikan didasarkan pada kekuasaan dan dominasi, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau intimidasi, ancaman, perintah, dan penghinaan yang dilandasi oleh perbedaan kelas sosial dan gender.

2. Majikan melihat PRT sebagai orang yang sangat membutuhkan uang tetapi tidak memiliki keterampilan dan pendidikan, sehingga posisi tawar mereka rendah.

3. Ketiadaan kontrol sosial dan anggota keluarga lain yang dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap PRT. Jika seorang PRT hamil akibat hubungan seksual yang dilakukan oleh majikannya, ia akan diminta meninggalkan rumah dan dipandang rendah oleh masyarakat. Sanksi sosial itu menyebabkan beban fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial pada PRT. Terlebih


(45)

lagi, PRT korban kekerasan seksual harus menanggung rasa bersalah sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain masalah psikologis, PRT perempuan menderita sakit fisik akibat kekerasan seksual, termasuk kemungkinan terjangkit virus penyakit kelamin. Untuk mengurangi kerentanan PRT, harus dilakukan usaha-usaha yang sekaligus akan menanggulangi masalah struktural dan masalah kondisi kerja PRT. Namun demikian, hingga saat ini tidak ada perlindungan hukum atas hak-hak PRT, sementara upaya mengorganisasi PRT ternyata lebih sulit jika dibandingkan dengan mengorganisasi pekerja di sektor formal. Adanya kendala-kendala ini telah berkontribusi pada meningkatnya kekerasan fisik dan seksual terhadap PRT.

4. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi

Akses PRT untuk mendapatkan informasi, komunikasi, pendidikan, dan hubungan sosial lainnya sangat terbatas. Perlakuan tidak layak dimulai dengan dirampasnya kebebasan PRT oleh majikan mereka, yang menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Situasi semakin parah dengan adanya nilai sosial yang beranggapan bahwa kehidupan keluarga tidak boleh dicampuri, sehingga semakin sulit untuk menawarkan bantuan kepada PRT yang mengalami kekerasan.

5. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga

Dengan keterbatasan akses untuk memperoleh informasi, sangat sulit bagi PRT untuk mendapatkan keterangan tentang pembentukan organisasi yang dapat membela hak mereka sebagai perempuan, pekerja, dan warga negara.


(46)

Perlindungan hukum terhadap PRT seharusnya menjadi agenda yang paling penting bagi organisasi semacam itu. Masalah ini telah menjadi lingkaran setan. Tanpa perlindungan hukum, hak-hak PRT untuk dapat berkumpul, bersatu, dan membentuk organisasi sangat terbatas. Sebaliknya, ketidakmampuan mereka untuk membentuk organisasi menjadikan mereka sulit untuk memperoleh bantuan untuk melindungi hak, keinginan, dan kebutuhan mereka. Pada masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan PRT itu rendah, PRT mengalami tekanan dari majikan dan juga dari PRT lain ketika mereka ingin membicarakan masalah, kebutuhan, dan minat mereka, serta tidak digubris ketika membicarakan pembentukan organisasi yang dapat mewadahi minat mereka.34

B. Penyelesaian Secara Kekeluargaan Melalui Mediasi Lembaga Kepolisian atau Swadaya Masyarakat (LSM)

Kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Kota Medan hingga saat ini belum mendapat perhatian yang serius dari aparat Pemerintah setempat. Hal ini disebabkan belum ada pedoman yang secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Perlindungan PRT, sehingga respon Pemda dalam hal ini SKPD yang menangani bidang ketenagakerjaan terhadap pengaduan kasus PRT masih sangat rendah. Termasuk di sini adalah Peraturan Daerah yang belum mengatur tentang Perlindungan terhadap PRT. Selama ini Pemerintah daerah hanya menerima pengaduan PRT korban trafficking.

34


(47)

Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap PRT, sepenuhnya diserahkan kepada pihak kepolisian.

Masyarakat selama ini telah berperan serta secara langsung dalam penanganan terhadap PRT yang menjadi korban kekerasan oleh Pemberi Kerja. Hal ini terlihat dari kasus yang dialami oleh PRT bernama Yani (PRT tuna runggu-wicara) yang sudah bekerja sejak 4 November 2007, yang sering mendapat perlakuan kasar dari Pemberi Kerja. Ketika masyarakat sekitar mengetahui adanya penyiksaan yang dilakukan oleh Pemberia Kerja, mereka berusaha melindunginya dengan melaporkan kepada kepala lingkungan setempat. Namun tidak ada koordinasi antar-aparat Pemerintah terhadap penyelesaian kasus PRT tersebut, mulai dari tahap pelaporan sampai ke tahap penyelesaian perselisihan.35

Proses pelaporan kasus PRT dirasakan masih terlalu berbelit-belit. Hal ini disebabkan karena belum adanya undang-undang yang mengatur Perlindungan bagi PRT, sehingga masyarakat dan aparat Pemerintah tidak mengetahui jelas mekanisme prosedur pelaporan atau pengaduan terkait kasus penyiksaan atau pelanggaran terhadap PRT. Penyelesaian kasus PRT di Kota Medan baru beberapa kasus saja yang masuk ke tingkat pengadilan. Sampai saat ini, baru kasus PRT Mariani Sambas yang telah diputus oleh pengadilan dimana pelaku (Pemberi Kerja) dihukum percobaan selama 1 (satu) bulan.

Sebagian besar kasus diselesaikan dengan cara damai. Hal ini disebabkan ketidakjelasan mekanisme penyelesaian kasus PRT, sehingga ditempuh upaya

35


(48)

secara damai oleh kepolisian yang diketahui oleh masyarakat dan pengurus RT/RW. Dengan demikian kasus tersebut berhenti di tengah jalan, mengingat cara damai tersebut tidak menyentuh hak-hak yang seharusnya diterima oleh PRT. Hampir seluruh kasus PRT yang ditangani oleh LSM Sahdar gagal dibawa ke proses sengketa mediasi dan peradilan PPHI, karena pihak kepolisian yang menangani kasus PRT tanpa melihat konteks sengketa keperdataan, menyelesaikannya melalui jalan damai.

Terkait dengan data tentang PRT dan yayasan Penyedia Jasa PRT di Kota Medan, hingga saat ini LSM Sahdar tidak memiliki data tersebut. Bahkan aparat setempat pun tidak pernah menerima laporan adanya PRT dan yayasan di wilayahnya. Selain itu, tidak ada prosedur yang jelas di kelurahan mengenai pendataan keberadaan PRT yang tinggal di rumah Pemberi Kerja. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi LSM untuk mendata PRT yang bekerja pada Pemberi Kerja, jika tidak ada surat pengantar dari kantor kelurahan setempat seperti yang diinginkan oleh majikan.

Selama ini PRT dianggap sebagai pekerja informal, sehingga tidak ada mekanisme pendataan yang jelas dari aparat setempat. Tidak ada inisiatif dari aparat untuk mendata keberadaan PRT yang bekerja di wilayahnya. Terkait PRTA, masih ada PRTA yang dipekerjakan tanpa sepengetahuan aparat setempat. Keberadaan PRTA baru diketahui setelah terjadi permasalahan dengan Pemberi Kerja. Adapun terkait dengan Upah PRT, Penyedia Jasa PRT banyak melakukan


(49)

pemotongan Upah yang disalurkan kepada Pemberi Jasa. Beberapa masukan atau rekomendasi bagi pembuatan NA dan draft RUU PRT, yaitu: 36

1. Organisasi PRT perlu mendapat porsi yang layak dalam Undang-undang, karena selain dapat memfasilitasi PRT untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada Pemberi Kerja, juga sangat membantu Pemerintah dalam hal pengawasan pelaksanaan kesepakatan antara Pemberi Kerja dengan PRT; 2. Ada kewajiban untuk melapor bagi penduduk setempat terhadap setiap

kedatangan tamu di rumahnya kepada RT/RW setempat;

3. Setiap kedatangan atau keberadaan PRT yang bekerja di wilayahnya perlu dilaporkan oleh yayasan melalui surat pemberitahuan kepada aparat setempat sampai pada tingkat yang lebih rendah, untuk didata oleh kepala RT/RW, dan diketahui oleh Lurah atau Camat. Pendataan tersebut harus bekerjasama dengan kepala lingkungan;

4. Kelurahan membentuk kelompok yang diketuai oleh kepala lingkungan dalam hal pendataan PRT di wilayahnya.

5. Terhadap penyiksaan dan tindakan semena-mena yang dialami oleh PRT, perlu adanya upaya perlindungan bagi PRT dari semua pihak yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

6. Perlu melibatkan peran Pemerintah daerah dalam mengawasi proses pemulihan korban kekerasan PRT.

7. Dalam hal tidak dibayarnya Upah PRT oleh Pemberi Kerja, perlu ada perjanjian secara tertulis antara majikan dan PRT mengenai hak dan

36

www.lbh-apik.or.id/prt%20-%20ruu%20versi%20jala.htm l, diakses tanggal 16 Oktober 2013


(50)

kewajiban masing-masing pihak dalam suatu perjanjian kerja yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, sehingga dapat mengikat dan memberikan sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan;

8. Bagi Pemberi Kerja yang mempekerjakan PRT cacat atau disable, harus menyediakan alat bantu untuk berkomunikasi atau wajib memberikan sekolah khusus sehingga PRT tersebut dapat berkomunikasi, atau menyediakan alat bantu lain yang dibutuhkan karena ketidakfungsian anggota tubuhnya;

9. Perlu ada keterampilan bagi PRT yang akan disalurkan oleh yayasan. Jika belum memungkinkan untuk bekerja, yayasan dilarang mempekerjakan PRT tersebut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penganiayaan terhadap PRT yang tidak mengetahui tugas dan kewajibannya;

10.Perlu diberikan penyuluhan kepada yayasan sebagai Penyedia Jasa PRT sehingga dapat menempatkan PRT sesuai dengan hobi dan kemampuan yang dimiliki PRT;

11.Yayasan yang menyalurkan PRT dan organisasi PRT wajib terdaftar di dinas ketenagakerjaan setempat;

12.Ijin pembentukan yayasan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain pembinaan kepada yayasan yang akan dibentuk, tata cara penerimaan PRT yang benar, dan ijin yayasan yang harus benar-benar dicek;

13.Cara terbaik guna pencegahan terjadinya penyiksaan terhadap PRT antara lain adanya penegakan hukum bagi Pemberi Kerja yang melakukan kekerasan dan penyiksaan dihukum dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun, sehingga menimbulkan efek jera bagi Pemberi Kerja;


(51)

14.Perlu adanya peran pendamping yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa PRT dengan Pemberi Kerja dan kemungkinan diikutsertakan dalam gelar perkara pada kasus-kasus kekerasan yang ditangani pihak kepolisian;

15.Selain melindungi PRT, RUU PRT ini juga perlu memberikan Perlindungan bagi Pemberi Kerja, karena tidak semua Pemberi Kerja bersalah, sehingga RUU PPRT ini dapat memberikan keseimbangan antara PRT dan Pemberi Kerja;

16.Pemberi Kerja wajib memeriksa dokumen kependudukan seseorang yang akan dipekerjakan sebagai PRT, sehingga Pemberi Kerja dianggap mengetahui usia dan tidak ada alasan pembenar bagi Pemberi Kerja untuk tidak mengetahui usia PRT;

17.Perlu adanya standar kontrak perjanjian kerja antara PRT dengan Pemberi Kerja yang disaksikan oleh yayasan atau masyarakat dan diketahui oleh aparat setempat;

18.Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap pendidikan PRT dengan melakukan kunjungan ke sekolah dan tempat tinggal majikan secara berkala; 19.Pengawas ketenagakerjaan wajib mengawasi aktifitas dari yayasan/Penyedia

Jasa PRT dengan memeriksa tempat penampungan dan tempat kerja PRT, melakukan kunjungan terhadap rumah-rumah majikan dan membuat laporan atas kunjungan. Bila pengawas lalai atau membuat laporan yang tidak benar/palsu, maka harus diberi sanksi yang tegas.

Kasus-kasus terkait KDRT di Provinsi Sumatera Utara memang dilimpahkan pada Unit-unit PPA yang tersebar pada beberapa kabupaten/ kota.


(52)

Mekanismenya disesuaikan dengan tempat kejadian tindak kekerasan. Pada umumnya setiap Polresta menangani kasus-kasus tersebut, bila tidak dapat diatasi maka kasusnya dilimpahkan ke Polda Sumut. Kasus-kasus yang ditangani oleh unit PPA Dit. Reskrim. Umum Polda Sumut setiap tahunnya semakin bertambah dan jumlah penyelesaian di Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga semakin meningkat (data terlampir). Dari berbagai kasus yang ditangani, hanya ada 1 kasus yang berkaitan dengan PRT. Selama ini jarang sekali ada pengaduan mengenai PRT yang mengalami tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan hampir sebagian penduduk Sumut menggunakan PRT yang diambil dari salah satu anggota keluarganya sendiri. Selain tidak ada perjanjian kerja, pola perlakuan yang diberikan pada PRT juga bersifat kekeluargaan. Salah satu contoh adalah menyekolahkan PRT tersebut, sebagai imbalan karena telah membantu pekerjaan rumah.

Meskipun ILO telah mengesahkan PRT sebagai pekerja formal seperti disampaikan pada Konferensi ILO pada tanggal 16 Juni 2011 yang lalu, namun hingga saat ini, PRT belum dapat dikatakan sebagai pekerja karena selama ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap PRT. Bahkan dari sudut pandang masyarakat dan pemerintah, juga tidak memperlihatkan dimasukkannya PRT sebagai pekerja secara formal. Karena lingkup pekerjaan PRT yang berada dalam hubungan privat, dengan relasi kerja yang didasarkan pada kekuasaan yang tidak seimbang (asimetris) yang memposisikan PRT sebagai subordinat dihadapan pemberi kerja, sehingga perselisihan yang timbul sering kali tidak diketahui orang banyak dan bersifat tertutup. Sifat khusus atau khas seperti inilah yang menyebabkan pengaturan


(53)

penyelesaian perselisihan PRT tidak dapat disamakan dengan pekerja formal yang bekerja dalam perusahaan, sehingga penyelesaian perselisihan yang terjadi antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT, tidak diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karena UU tersebut hanya diatur penyelesaian perselisihan yang terkait dengan pekerja formal. Perselisihan antara PRT, pemberi kerja, dan/atau penyedia jasa PRT terjadi ketika salah satu atau lebih pihak yang telah melakukan kesepakatan tidak memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian. Kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian meliputi besaran upah, hak dan kewajiban para pihak, jenis pekerjaan, dan lain-lain. Untuk perselisihan tersebut di atas, diselesaikan dengan cara kekeluargaan untuk mufakat. Namun untuk perselisihan yang terkait dengan tindakan pidana, akan dilaporkan kepada kepolisian dan diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Komisi IX DPR-RI dalam kunjungan ke tiga daerah provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya beberapa kasus PRT yang sampai pada tingkat pengadilan negeri.37

37

Dalam upaya penyelesaian perselisihan, peran masyarakat, pemerintah, dan LSM sangat dibutuhkan. Seperti di DI Yogyakarta, LSM berperan aktif memberikan advokasi kepada PRT, sementara di Sumatera Utara, masyarakat sekitar sangat berperan aktif terhadap kasus yang dialami oleh PRT lain halnya di NTB, mediasi dilakukan hanya kepada PRT yang berasal dari penyedia jasa PRT sehingga ada posisi seimbang antara penyedia jasa PRT dengan pemberi kerja


(54)

sehingga menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan para pihak. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur penyelesaian perselisihan PRT. Setelah mendapat masukan, mekanisme penyelesaian perselisihan kasus PRT yaitu dilakukan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Lama waktu musyawarah untuk mufakat paling lama 7 hari harus sudah ada keputusan berupa kesepakatan yang menguntungkan bagi para pihak. Bila tercapai kata sepakat, maka dibuat perjanjian bersama berisi hal-hal apa saja yang telah disepakati, dengan dibubuhi tanda tangan para pihak. Jika selama batas waktu yang telah ditetapkan musyawarah gagal dilakukan atau belum dihasilkan kesepakatan bersama, maka perselisihan akan diselesaikan melalui proses mediasi dengan melibatkan seorang atau lebih pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan pada setiap kantor atau instansi kabupaten atau kota yang telah ditunjuk dan memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yang selanjutnya disebut mediator. Pada tahap mediasi ini, mediator wajib memfasilitasi dan menyelesaikan penyelesaian


(55)

perselisihan. Jangka waktu proses mediasi ini dihitung sejak pengaduan di terima oleh instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan pada setiap kantor atau instansi kabupaten atau kota, paling lama 30 hari, mediator sudah harus mengeluarkan anjuran secara tertulis yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Anjuran tertulis tersebut harus benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan dan kepatutan, yang mempunyai kekuatan hukum tetap, mengikat dan harus dilaksanakan oleh para pihak.

C. Beberapa Kasus yang Menyangkut Pekerja Rumah Tangga. 1. Kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nuryani alias Yani

I. Tentang Korban

Nama Korban adalah Yani, berusia kira-kira 15 tahun, bersatus sebagai anak yatim piatu. Korban adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah majikannya di Jalan Merpati 1 Perumnas Mandala Kelurahan Bantam Kecamatan Medan Tembung, Medan. Yani telah telah bekerja selama lebih kurang 3 tahun. Yani adalah seorang different able yang tidak dapat berkomunikasi secara normal. Menurut informasi yang didapatkan dari tetangga, Yani berasal dari Jakarta.

II. Tentang Majikan

Majikan perempuan Yani bernama Br. Tambunan, bekerja di salah satu Bank swasta dikota Medan. Majikan lelaki bernama dikenal dengan nama Bapak Sagala, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swata di kota Medan. Ibu Tambunan dan Bapak Sagala berkediaman di Jalan Merpati 1 Perumnas Mandala Medan. Kedua majikan ini setiap harinya berangkat kerja dari pagi hari dan biasanya pulang sore hari.

III. Kondisi Kerja

Yani bekerja tinggal di rumah majikan, dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan Yani selama bekerja dirumah majikannya adalah memasak, menggosok pakaian, menyuci pakaian, menyapu, mengepel dan menjaga rumah. Yani tidak diijinkan untuk keluar rumah oleh majikan perempuan, tapi oleh Sagala, Yani tidak dilarang untuk keluar rumah.

Selama bekerja sekitar 3 tahun, Yani mendapat perlakuan kasar dari majikan perempuan. Dari pengakuannya, Yani sering dicubit pada kedua bagian pipinya, dijambak rambutnya, dibenturkan ke tembok kepalanya, mendapat pukulan pada kepala, dan dihardik. Selain itu para tetangga juga sering mendengar suara


(56)

majikan membentak, suara benturan kepala Yani ke tembok, serta menerima pengaduan Yani karena perlakuan kasar majikan dan rintihan Yani yang kelaparan karena belum makan setelah bekerja. Selama bekerja hingga hari ini, Yani belum mendapat gaji.

IV. Kronologi Peristiwa Pagi dan siang hari

Pada hari Rabu 27 April 2011 pagi sekitar jam 10.00 WIB tanggal, Yani keluar dari rumah majikan menuju rumah ibu Ani. Rumah ibu Ani berjarak 2 (dua) rumah dari rumah majikan ke arah utara sejurus dengan Jalan Merpati 1. Yani mengaku tidak tahan dengan perlakuan majikannya. Ibu Ani dan tetangga sekitar yang telah mengetahui keadaan Yani dan segala perlakuan yang didapatkannya dari majikan, lantas melindunginya di rumah ibu Ani.

Sekitar pukul 11.50 tiga orang perwakilan dari KPRT Teratai dan dua orang dari SAHDAR mengunjungi kediaman Ibu Ani. Di dalam rumah, duduk berderet di lantai, ibu Ani, Yani, dua orang tetangga lainnya, dan perwakilan PRT Teratai dan SAHDAR. Selama berbincang ibu Ani menjelaskan bahwa Yani keluar dari rumah tanpa sepengetahuan majikannya. Sekarang Yani tidak mau kembali ke rumah majikan karena takut.

Sekitar lima menit berbincang, datang 4 orang tetangga lain memberikan kesaksian bahwa mereka sering mendengar pengaduan Yani diperlakukan kasar oleh majikannya, belum makan, dan tidak mendapatkan gaji. Perlakuan kasar yang diterima Yani dapat dilihat dari bekas bekas cubitan yang memerah pada pipi Yani di sebelah kanan dan kiri.

Menurut keterangan yang disampaikan dengan bahasa isyarat, Yani memperagakan sering dicubit, dijambak, ditampar dan dibenturkan kepalnya ketembok rumah. Yani sudah sering mengadu kepada tetangganya perihal perlakuan kasar sang majikan terhadap dirinya. Bahkan terkadang Ia bercerita sambil berurai air mata karena belum makan.

Hingga proses mencari keterangan ini, Yani menyatakan bahwa dia tidak bersedia kembali ke rumah majikan. Para tentangga juga tidak mengijinkan Yani kembali, dan bersikukuh untuk tetap mempertahankan Yani di Rumah ibu Ani. Mereka (tetangga) tidak membiarkan bahkan ingin melindungi Yani dari perlakuan kasar majikannya. Ibu Ani juga bersedia jika Yani tinggal bersamanya di rumah dan memperkerjakannya. Para tetangga yang lain juga menyatakan bahwa mereka akan melindungi Yani dan mempertahankan Yani untuk tidak kembali ke rumah majikan, serta mereka bersedia bersaksi atas perlakuan yang menimpa Yani.

Malam hari, sekitar pukul 21.15 Ibu Ani memberi kabar bahwa majikan Yani mendatangi kediamannya dan meminta Yani kembali. Atas permintaan itu, masyarakat berkumpul di rumah Ibu Ani dan tetap ingin melindungi Yani di rumah Ibu Ani. Majikan yang meminta kembali, kemudian bersikeras untuk


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kedudukan Hukum Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dalam Hukum Kerja di Indonesia. PRT secara definitif adalah diakui kedudukan hukumnya sebagai Pekerja yang disebut dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikatakan, bahwa: “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja, (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.“

2. Penyelesaian Kasus-Kasus Yang Dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) Dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat dan melalui proses mediasi. Proses musyawarah mufakat dilakukan antara PRT dengan pemberi kerja dan/atau penyedia jasa PRT sebagai langkah yang paling sederhana untuk menyelesaikan perselisihan. Musyawarah diambil pertama kali tanpa perlu melibatkan aparat Pemerintah setempat. Namun jika diperlukan, maka aparat Pemerintah setempat dapat dijadikan sebagai saksi dalam musyawarah tersebut. Dalam pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk dicapainya kata mufakat ini dibatasi oleh waktu agar tidak berlarut-larut dan terpenuhi rasa keadilan dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi para pihak


(2)

3. Perlunya Pengaturan Khusus Pekerja Rumah, karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya, dan akibatnya sering tidak diperhatikan. Ini adalah sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial, karena pekerjanya rentan atas pelecehan dan eksploitasi selama rekrutmen dan penempatan kerja, selama bekerja, dan setelah kembali ke daerah asal. Makalah ini merangkum masalah utama yang dihadapi PRT, begitu pula hambatan-hambatan yang dialami untuk mendapatkan hak-hak mereka

B. Saran

1. Beberapa materi yang perlu menjadi prioritas dalam RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga antara lain: penggolongan PRT; perekrutan dan penempatan; hubungan kerja; hak dan kewajiban PRT, pemberi kerja, dan penyedia jasa PRT; fasilitas kerja; pelatihan; keselamatan kerja; kesempatan berorganisasi; pembinaan dan pengawasan; sanksi; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.

2. Dalam rangka penyempurnaan ini, diperlukan pengujian kritis dari para pakar yang ahli dalam masalah ini dan diskusi dengan stakeholders sehingga diperoleh hasil akhir yang final dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar penyusunan draft RUU PPRT.


(3)

3. Dalam rangka penyempurnaan ini, diperlukan pengujian kritis dari para pakar yang ahli dalam masalah ini dan diskusi dengan stakeholders sehingga diperoleh hasil akhir yang final dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar penyusunan draft RUU PPRT.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Dhevy Setya Wibawa & Laurike Moelino, Laporan Penelitian: Profil Pekerja Rumah Tangga Anak di Dua Wilayah Jakarta Selatan: Studi untuk Peningkatan Kesadaran Masyarakat. Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya, 2002.

Dwi Astuti, et al. Jejak Seribu Tangan, Yogyakarta: 1999.

Edriana Noerdin, Situasi Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia, RUMPUN Tjoet Njak Dien. 2004.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma [Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers] LBH APIK Jakarta, 2002.

Komnas Perempuan & Solidaritas Perempuan/CARAM, “Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga Indonesia (TKW-PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT” dalam Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Jakarta 2003.

Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Muryanti, “Upaya Perlindungan PRT” [Efforts to Protect Domestic Workers], Jurnal Perempuan, Vol 39, January 2005, hlmaman 15. See also “Activists Call for Ruling to Protect Domestic Workers”, The Jakarta Post, 10 March 2005.

Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung, Alumni, 1986.

Syarief Darmoyo & Rianto Adi, Trafiking Anak untuk Pekerja Rumah Tangga: Kasus Jakarta, Jakarta: PKPM Unika Atma Jaya 2000.


(5)

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Tim LBH Apik, Kertas Posisi, Usulan Revisi Perda DKI Jakrta No 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma, Jakarta: 2002

WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1959.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Emiarti Fuad, staf Deputi Perlindungan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan

Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005.

Diskusi dengan Dr Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 Oktober 2005.

Di tahun 2001, LBH APIK telah menangani 15 kasus yang melibatkan pelecehan serius terhadap para pekerja rumah tangga, 13 kasus yang melibatkan pembunuhan pekerja rumah tangga, dan 3 kasus yang melibatkan pemerkosaan pekerja rumah tangga. Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma [Position Paper and Recommendations for the Revision of Jakarta City Local Ordinance No 6 of 1993 on Domestic Workers ] LBH APIK Jakarta, 2002

Human Rights Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7(C), 2005.

Misalnya di beberapa daerah di Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Utara, dengan istilah yang berbeda-beda.

Hal ini misalnya terlihat dalam kasus PRT bernama Kamrah yang saat ini sedang ditangani oleh Polres Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kamrah melarikan diri dari rumah majikan/pemberi kerja karena disekap dan tidak dibayar upahnya selama 10 bulan. Diindikasikan hal itu disebabkan majikan beranggapan bahwa Kamrah merupakan hasil balas jasa dari kerabat jauh Kamrah yang berhasil dikirim sebagai TKI.


(6)

Putusan Panita Penyelesaian Persengketaan Perburuhan Pusat No. 70/59/111/02/C tanggal 19 Desember 1959.

C. Internet

“Minim, Perlindungan Hukum terhadap PRT”, Suara Karya Online, 17 January 2004, <http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=78569>. Poin ini ditegaskan di dalam diskusi dengan Dr Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 October 2005.

diakses tanggal 1 Agustus 2013

www.lbh-apik.or.id/prt%20-%20ruu%20versi%20jala.htm l, diakses tanggal 16 Oktober 2013

Pikiran Rakyat, Gaji PRT Harus Setara dengan UMR, Kamis, 16 April 2009. Koordinator Eksekutif LSM SAHDAR, TR. Arif Faisal, SH

Okky Asokawati Anggota Komisi IX DPR RI, “Menata Perlindungan PRT”, Republika 5 Maret 2012