Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/Puu-Ix/2011

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

DEFI SATIATIKA 1110048000029

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh :

Defi Satiatika NIM. 1110048000029

Pembimbing

Prof. Dr. Abdullah Sulaiman S.H. M.H. NIP. 19591231 198609 1003

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011” telah diajukan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei 2014, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 7 Mei 2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. H. JM Muslimin, M.A. NIP.196808121999031014

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. ( ..….……… ) NIP.195510151979031002

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ……… ) NIP.196509081995031001

3. Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( ……… ) NIP.195912311986091003

4. Penguji I : Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. ( ……… )

5. Penguji II : H. M. Yasir, S.H., M.H. ( ……… ) NIP.19447091966041003


(4)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 April 2014


(5)

iv ABSTRAK

DEFI SATIATIKA. NIM 1110048000029. PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2013 M. viii + 67 Halaman + 24 lampiran.

Praktik outsourcing di Indonesia telah mengakibatkan pekerja outsourcing tidak menerima hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, pekerja outsourcing juga tidak diberikan jaminan perlindungan atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Adanya pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan sebagian atas pasal-pasal yang diajukan, yaitu hanya Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) b yang memuat mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan jenis pekerjaan outsourcing dan perlindungan hukum yang diterapkan pada pekerja outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan dalam hal ini putusan MK No.27/PUU-IX/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi, berdampak pada adanya perubahan terhadap pelaksanaan outsourcing dalam rangka melindungi hak-hak pekerja outsourcing dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Outsourcing, Prinsip Pengalihan Perlindungan Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H.


(6)

v

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-Nya. Atas rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011”.

Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tentu tidaklah mudah. Namun, segala hambatan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. H. JM. Muslimin, M.A.

2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Tamrin S.H., M.Hum.

3. Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. terimakasih atas waktu bimbingan dan saran yang diberikan.

4. Penguji Skripsi Penulis, Bapak Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. dan Bapak H. M. Yasir, S.H., M.H. terimakasih atas kritik dan sarannya sehingga penulis dapat memperbaiki skripsinya.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.


(7)

vi

6. Ayah Daniel Efendi dan Ibu Sartiah yang senantiasa mendidik, melimpahkan kasih sayang, doa yang tiada henti, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kedua kakak tercinta Kak Deny dan Kak Dina, terimakasih atas segalanya yang telah dibagi ke adik bungsunya, cerita pengalaman, pengetahuan, perjuangan tanpa henti dalam meraih cita-cita.

7. Ninis, Ajeng, Abila, Zia, Ocha, penyemangat paling mujarab. Teman-teman seperjuangan Hukum Bisnis, Liza, Atiek, Apri, Fika, Nourma, Cantika, dan seluruh teman-teman di UIN yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kartika Puspitasari S.H., yaitu sahabat yang „pembimbing‟ skripsi penulis.

8. Husni Mubarok, my study survival motivator.

9. Dinar Deniz, Danesh Dayan, Dharanindra Demir, dan Disa Ghadiza, yaitu balita ajaib keponakan-keponakan penulis.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT, penulis hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya doa lah yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan kasih sayang-Nya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca umumnya.. amin.

Jakarta, 22 April 2014


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ... 8

F. Kerangka Teori dan Konseptual ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN JENIS PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA ... 16

A. Pengertian Outsourcing ... 16

B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di Indonesia ... 18

C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia ... 20

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA OUTSOURCING ... 27

A. Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh Outsourcing ... 27


(9)

viii

C. Hak-Hak Bagi Pekerja ... 29

D. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Hak-hak Pekerja Outsourcing ... 36

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011 ... 40

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 ... 40

B. Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlindungan ... 52

C. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing .. 58

BAB V : PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN ... PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 27/PUU-IX/2011 ...


(10)

1

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila kelima menyebutkan bahwa, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal ini bermakna bahwa keadilan untuk rakyat adalah lebih penting dibandingkan dengan keadilan kelompok tertentu.1 Keadilan harus dijunjung tinggi dengan tetap memegang teguh prinsip keadilan demi terwujudnya masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata baik secara materil maupun spiritual.2

Keadilan harus dijunjung tinggi misalnya dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban pekerja/buruh. Pekerja/buruh yang telah memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, berhak untuk mendapatkan hak-haknya, karena pekerja/buruh merupakan salah satu bagian dari rakyat Indonesia yang hak-haknya harus dilindungi. Perlindungan pekerja/buruh itu juga harus ditingkatkan, baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia.3

Berbicara mengenai hak-hak bagi pekerja/buruh, tidak terlepas dari permasalahan sistem alih daya dalam ketenagakerjaan. Alih daya (bahasa Inggris : outsourcing atau contracting out) adalah pendelegasian operasi dan manajemen

1

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 14.

2

Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi

IX, No.1 (Maret 2012) : h.10.

3


(11)

2

harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa alih daya).4

Praktik alih daya (yang untuk selanjutnya disebut outsourcing) sebenarnya sudah ada sebelum pemerintah mengundangkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 (yang untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan). Setelah beberapa periode dipakai di Indonesia, outsourcing diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh.5

Kerugian itu misalnya, upah pekerja/buruh menjadi lebih rendah, tidak ada jaminan sosial, meskipun ada jaminan sosial tersebut hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karier.6 Hal ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja/buruh untuk menuntut hak-haknya.

Bentuk reaksi pekerja/buruh tersebut misalnya, perjuangan kaum buruh dalam menghapuskan sistem outsourcing melalui permohonan pengujian konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (yang untuk selanjutnya disebut MK). Permohonan diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pengukur Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) pada 21 Maret 2011.7

4

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 52.

5

Juanda Pangaribuan, “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4b372fe9227/legalitas-ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh--juanda-pangaribuan/

6

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 219.

7


(12)

Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan itu didasarkan pada argumentasi bahwa, ketentuan kontrak outsourcing pada pasal 59, 64, 65, 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk efisiensi dengan upah murah justru berakibat pada hilangnya keamanan kerja bagi para pekerja. Status sebagai buruh kontrak juga menghilangkan hak-hak tunjangan kerja dan jaminan sosial yang dinikmati pekerja tetap. 8

Menjawab permohonan tersebut, MK berpendapat bahwa syarat-syarat dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang untuk selanjutnya disebut PKWT) dalam Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah wajar dan cukup memberikan perlindungan kerja.9 Selanjutnya, mengenai Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan, MK berpendapat bahwa harus ada jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing.

Jaminan kepastian hukum itu tidak cukup hanya dengan PKWT saja, maka MK memberikan solusi dengan memutuskan 2 (dua) model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja. Pertama, menyaratkan agar perjanjian kerja tidak

8

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 35.


(13)

4

berbentuk PKWT, melainkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang untuk selanjutnya disebut PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja.10 Melalui prinsip pengalihan tindakan perlindungan tersebut, pekerja outsourcing dapat terhindar dari hilangnya hak-hak konstitusional yang mereka miliki.

MK memutuskan bahwa jika dua model tersebut diterapkan dalam PKWT outsourcing, maka Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan hukum mengikat.11 Prinsip pengalihan tindakan perlindungan yang lahir dari putusan MK No.27/PUU-IX/2011 tersebut merupakan hasil perjuangan kaum buruh dalam menghapus sistem outsourcing. Putusan MK menjadi justifikasi jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing.12

Untuk menciptakan pelaksanaan outsourcing yang diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (yang untuk selanjutnya disebut Kemenakertrans) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (yang untuk selanjutnya disebut

10

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44.

11

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 46-47.

12


(14)

Permenakertrans No.19 Tahun 2012) yang memuat aturan persyaratan, perjanjian, dan pengawasan outsourcing.

Lahirnya prinsip pengalihan tindakan perlindungan hasil uji konstitusionalitas Undang-Undang Ketenagakerjaan dan terbitnya Permenakertrans No.19 Tahun 2012 merupakan hal yang penting untuk dikaji, agar hasil kajian penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian outsourcing. Selain itu, agar pihak-pihak terkait memahami putusan MK No.27/PUU-IX/2011 dan implementasi prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh sehingga terpenuhinya seluruh hak-hak pekerja/buruh outsourcing di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011

B. Identifikasi Masalah

Sebelum merumuskan masalah, terlebih dahulu penulis mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam bidang ketenagakerjaan jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia

1. Hak-hak buruh outsourcing belum dilindungi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam outsourcing tidak memberikan jaminan kepastia karir bagi pekerja outsourcing.


(15)

6

3. Pro dan kontra sistem outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011 hasil judicial review Pasal 59, 64, 65, dan 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh sangatlah luas. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah ini tidak melebar dan lebih fokus pada masalah, maka penulis membatasi karya ilmiah ini hanya kepada perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011 yang ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaturan jenis pekerjaan outsourcing menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?

b. Apa saja jenis perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing ?

c. Bagaimana perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pasca putusan MK. No.27/PUU-IX/2011?


(16)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini antara lain sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaa pada jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia.

b. Untuk mengetahui perlindungan pada jenis pekerjaan outsourcing.

c. Untuk mengetahui perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing berdasarkan pasca putusan MK. No.27/PUU-IX/2011?

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Ketenagakerjaan khususnya bidang outsourcing.

b. Manfaat Praktis : 1) Bagi Akademis

Dapat memberikan informasi yang jelas tentang prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh dan implementasinya pada sistem outsourcing serta hambatan dalam pelaksanaanya.


(17)

8

Penulisan ini juga bermanfaat bagi berbagai pihak terkait yaitu meliputi masyarakat luas, perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penyedia jasa pekerja dan buruh/pekerja yang bersangkutan agar lebih memahami prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh dan dapat melaksanakannya sesuai dengan ketentuan. 3) Bagi Pemerintah

Dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk agar dapat membuat kebijakan yang lebih tegas dan jelas dalam melindungi hak-hak pekerja outsourcing di Indonesia.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam studi pendahuluan ini penulis mencoba mereview skripsi yang membahas sistem alih daya (outsourcing), yaitu sebagai beriukut :

Judul Skripsi : “Perlindungan Buruh Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan dan Hukum Islam”

Penulis : Gilang Henris Pratama

Program Studi : Perbandingan Mahzab Hukum

Fakultas : Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun : 2011

Skripsi tersebut di atas secara garis besar membahas perbedaan perlindungan buruh outsourcing menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Hukum Islam dan belum mengulas putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 secara detil khususnya prinsip pengalihan tindakan


(18)

perlindungan bagi pekerja/buruh dan penerapan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh.

Sedangkan, penulis disini akan mengulas secara detil mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja outsourcing pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Teori “Prima Facie” menguraikan bahwa, pembenaran terhadap pembebasan para kaum buruh dari pengaturan kerja waktu tertentu dapat dilakukan, karena pengaturan kerja waktu tertentu merugikan kaum buruh baik sebelum hingga setelah melaksanakan tugas. Pengaturan kerja waktu tertentu yang melahirkan pelanggaran hukum bukan dikarenakan kesalahan atau kesengajaan buruh.13

Teori “Bargaining” menguraikan bahwa tingkat upah dipasar tenaga kerja ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari pekerja dan majikan. Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Jika pekerja meningkatkan ekonominya dengan cara bertindak bersama-sama

13Abdullah Sulaiman, “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia : Pra

dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam Studium General Prodi Ilmu

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 Mei 2003 (Ciputat : 2013), h.2.


(19)

10

melalui serikat pekerjanya sebagai bargaining agent, maka mereka dapat meningkatkan upah mereka.14

2. Kerangka Konseptual

Pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja/buruh outsourcing menuntut adanya kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan perlindungan pekerja/buruh dan outsourcing di Indonesia. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan adanya jaminan perlindungan bagi pekerja/buruh yaitu :

1) Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

2) Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja”

Perlindungan hukum pada pekerja juga dinyatakan pada Pasal 4 huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “tujuan pembangun ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam

mewujudkan kesejahteraan”. Selanjutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan terdapat pada Bab X dalam Pasal 67-101.

14

Justine T Sirait, Memahami Aspek-Aspek Pengelolaan SDM Dalam Organisasi,(Jakarta :Grasindo, 2004), h.231.


(20)

Jaminan perlindungan tersebut diperkuat lagi semenjak lahirnya Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, dalam putusan ini menyebutkan dua model outsourcing. Pertama, dengan menyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Prinsip pengalihan perlindungan atau Transfer of Undertaking Protection of Employment sebelumnya adalah prinsip yang diterapkan pada suatu perusahaan yang diambil alih oleh perusahaan lain, sehingga hak-hak pekerja/buruh tetap terjamin.15

Outsourcing adalah “Pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan/atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi atau pun sebuah unit dalam

perusahaan”.16

Ketentuan mengenai outsourcing diatur dalam pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis Kemudian tata aturan pelaksanaannya diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

15

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44.

16

Komang Priambada dan Agus Eka Maharata, Outsourcing versus Serikat Pekerja (An Introduction to Outsourcing), (Jakarta : Alihdaya Publishing, 2008), h. 12.


(21)

12

G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian yurisdis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.17

2. Pendekatan Masalah

Dalam studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang membahas mengenai prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep perlindungan hukum bagi pekerja/buruh.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama,

17

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.


(22)

yakni masyarakat melalui penelitian.18 Sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.19 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan dengan outsourcing dan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh.

b. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum (dalam bentuk online juga termasuk).20 Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan.

c. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus bahasa dan website resmi dalam internet.

4. Teknik Pengolahan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder

18

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, ( Jakarta : UI Press, 2008 ), h. 12.

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2005 ), h. 141.

20


(23)

14

dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan dianalisis yang nantinya menghasilkan sebuah kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 Untuk mempermudah penyusunan, penulis membagi skripsi ini menjadi beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub bab, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan dan Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : Tinjauan Umum tentang Pengaturan Perundang-undangan

Ketenagakerjaan pada jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu : Pengertian Outsourcing, Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur


(24)

Outsourcing di Indonesia, dan Pengaturan Outsourcing di Indonesia.

BAB III : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum dan Hak-hak Pekerja Outsourcing, yang terdiri dari empat sub bab yaitu : Perlindungan Bagi Pekerja Outsourcing, Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing, Hak-hak Bagi Pekerja dan Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-hak Pekerja Outsourcing.

BAB IV : Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstutsi No.27/PUU-IX/2011, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu : Analisis Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Perlindungan Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlidungan dan Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing di Indonesia.

BAB V : Kesimpulan dan saran merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan yang ditarik dari uraian penelitian dan bertalian erat dengan pokok masalah dan saran yang disampaikan penulis dari penelitian yang sudah dilakukan.


(25)

16 BAB II

PENGATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN JENIS PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA

A. Pengertian Outsourcing

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), di mana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerja sama.1

Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian. Penyerahan kegiatan ini dapat meliputi bagian produksi, beserta tenaga kerjanya, fasilitas, peralatan, teknologi dan aset lain serta pengambilan keputusan dalam kegiatan perusahaan. Penyerahan kegiatan ini kepada pihak lain merupakan hasil dari keputusan internal perusahaan yang bertujuan meningkatkan kinerja agar dapat terus kompetitif dalam menghadapi perkembangan ekonomi dan teknologi global.

Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.

1

Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, (Jakarta : Pohon Cahaya, 2013), h. 17.


(26)

Perusahaan penyedia tenaga kerja secara khusus mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.2

Untuk mempermudah penjelasan menganai istilah outsourcing, penulis akan memberikan ilustrasi sebagai berikut3 : A diangkat sebagai karyawan di perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk ditempatkan di Perusahaan Y, disitu dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan X.

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa dalam sistem outsourcing terdapat dua perjanjian yaitu, yaitu :

1. Perjanjian kerja antara A denga perusahaan X.

2. Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y. Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A sehari-hari bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. Oleh karena itu, dalam sistem outsourcing ini pemenuhan kebutuhan hak-hak A, seperti

2

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012), h. 187.

3


(27)

18

perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap menjadi tanggung jawab perusahaan Y.

Kecenderungan suatu perusahaan untuk memperkerjakan karyawan dengan sistem outsourcing , pada umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan sistem outsourcing tersebut, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.4

B. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur Outsourcing di Indonesia Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah outsourcing sebenarnya berusumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang menyatakan adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, di mana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam praktiknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur dalam peraturan tersebut akhirnya memunculkan istilah outsourcing (dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan). 5

4

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 217.

5


(28)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 b diatur adanya pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b tersebut outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian di mana pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain memborongkan pekerjaan kepsda pihak pemborong dengan bayaran tertentu.6

Pada intinya dari kedua peraturan di atas menyatakan bahwa outsourcing boleh diterapkan di Indonesia dengan pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dapat memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing yang dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan pekerja.

Penerapan outsourcing di Indonesia hingga saat ini memang masih merupakan hal yang tidak disukai tapi masih dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia sehingga sering timbul pro dan kontra dari masyarakat. Tentunya, jika dilihat dari maraknya unjuk rasa yang dilakukan para pekerja dapat disimpulkan pihak pro-outsourcing adalah para pengusaha sedangkan pihak kontra-outsourcing adalah para pekerja/buruh. Unjuk rasa dari serikat pekerja mayoritas menyampaikan kepada pemerintah untuk menghapuskan outsourcing dari sistem kerja di Indonesia dan ada juga pekerja outsourcing yang menuntut untuk dijadikan pekerja tetap di suatu perusahaan.7

6

Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.20.

7


(29)

20

C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia

Dasar hukum outsourcing terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal ini adalah perusahaan outsourcing.

Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan permohonan judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.

Dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Kemudian, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012, maka Kemenakertrans menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang


(30)

Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak diundangkannya, pelaksanaan outsourcing mengacu pada Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tersebut.

1. Pihak-Pihak Terkait Dalam Outsourcing

Ketentuan lain mengenai outsourcing terdapat pada Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing dan dijelaskan lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.

Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu :

a. Perusahaan Pemberi Kerja

Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

b. Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan : 1) Perusahaan Penerima Pemborongan

Menurut Pasal 1 Angka 2 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 , perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk


(31)

22

badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.

2) Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja

Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012, perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan. c. Pekerja

Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik outsourcing diatur dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk barang.8

2. Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja Outsourcing a. Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan

8


(32)

lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.9

Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik outsourcing ini berbeda dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam outsourcing terdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing, yaitu pihak perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan sebagaian pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) dan terakhir adalah pihak pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan outsourcing, dan hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh.

Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau sesuai dengan perundang-undangan.

9


(33)

24

(6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama Pasal 59.

Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan outsourcing juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal 29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

b. Perjanjian Kerja

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, hubungan kerja dalam praktik outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT dan PKWT. PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap, jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang, maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa percobaan kerja maksimal tiga bulan. Sedangkan PKWT merupakan


(34)

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.

Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang berubah-ubah.10

c. Jenis Pekerjaan Yang Dapat Diserahkan

Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (dioutsource) adalah pekerjaan penunjang (non core) dan bukan pekerjaan utama (core). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.

Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

10


(35)

26

(a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

(b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

(c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan (d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsn dengan proses produksi.

(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:

1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

2. Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering); 3. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);

4. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan 5. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.


(36)

27

Dalam Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga dijelaskan mengenai perlindungan kerja pada pekerjaan outsourcing sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku dalam perusahaan. Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut:

1) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan mengambangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.

2) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.


(37)

28

3) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk meberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jamian sosial.1 B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi pekerja Outsourcing :

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja outsourcing dalam perusahaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja tersebut. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja outsourcing maupun pekerja dalam perusahaan pemberi kerja karena pada hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.2

Perlindungan hukum pekerja outsourcing diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menegakkan perlindungan hukum, hak-hak pekerja outsourcing tetap terjamin pada saat masa kerja dan ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama karena habis masa kontrak dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru.

1

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h. 86.

2


(38)

Dengan demikian, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.

C. Hak-Hak Bagi Pekerja

Hak adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atas statusnya.3 Hak bagi pekerja pada dasarnya adalah salah satu hak asasi manusia. Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan lain-lain. Setiap pekerja memiliki hak-hak yang jaminan perlindungannya tercantum dalam berbagai aturan hukum nasional dan internasional, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu pada Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan pula bahwa setiap orang

3

Darwin Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), h.22.


(39)

30

berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga kedua pasal pada konstitusi kita mencerminkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh warga negaranya.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :

a. Hak memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 5);

b. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6);

c. Hak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui pelatihan kerja (Pasal 11);

d. Hak memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));

e. Hak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat kerja (Pasal 18 ayat (1));

f. Hak untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31);


(40)

g. Hak pekerja/buruh perempuan untuk memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (1));

h. Hak pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan untuk memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2));

i. Hak untuk menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 dengan mendapat upah penuh (Pasal 84);

j. Hak untuk memperoleh perlindungan atas : 1) Keselamatan kerja;

2) Moral dan kesusilaan; dan

3) Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1));

k. Hak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));

l. Hak memperoleh jaminan social tenaga kerja (Pasal 99 ayat (1));

m. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh (Pasal 104 ayat (1));

n. Hak untuk mengadakan mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);


(41)

32

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja : a. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat (2));

b. Hak menerima jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja/buruh yang tertimpa kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat (1));

c. Hak untuk menerima jaminan kematian yang diberikan kepada keluarga pekerja/buruh, bila pekerja/buruh meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja (Pasal 12 ayat (1));

d. Hak untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pekerja/buruh berikut dengan suami atau isteri dan anak (Pasal 16 ayat (1));

e. Hak atas jaminan hari tua karena faktor usia pensiun 55 (lima puluh lima) tahun, cacat tetap total atau beberapa alasan lainnya (Pasal 14 dan Pasal 15);

4. Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012 : a. Hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja; b. Hak atas jaminan sosial;

c. Hak atas tunjangan hari raya;

d. Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;

e. Hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karenan pekerja;


(42)

f. Hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang dilalui; dan

g. Hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

5. Hak-hak pekerja/buruh outsourcing juga tertuang dalam perjanjian internasional yaitu Pasal 22-25 Universal Declaration of Human Right (UDHR)

a. Article 22

Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international co-operation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality.

b. Article 23

1. Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favorable conditions of work and to protection against unemployment.

2. Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal work.

3. Everyone who works has the right to just and favorable remuneration ensuring for himself and his family an existence


(43)

34

worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other means of social protection.

4. Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his interests.

c. Article 24

Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay.

d. Article 25

1. Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.

2. Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection.

6. International Covenant On Economic And Social Cultural Rights (ICESCR) a. Article 6

The States Parties to the present Covenant recognize the right to work, which includes the right of everyone to the opportunity to gain his


(44)

living by work which he freely chooses or accepts, and will take appropriate steps to safeguard this right.

b. Article 7

The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular:

a) Remuneration which provides all workers, as a minimum, with: (1) Fair wages and equal remuneration for work of equal

value without distinction of any kind, in particular women being guaranteed conditions of work not inferior to those enjoyed by men, with equal pay for equal work;

(2) A decent living for themselves and their families in accordance with the provisions of the present Covenant; b) Safe and healthy working conditions;

c) Equal opportunity for everyone to be promoted in his employment to an appropriate higher level, subject to no considerations other than those of seniority and competence;

d) Rest, leisure and reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay, as well as remuneration for public holidays.

Dapat dilihat bahwa pengaturan tentang jaminan perlindungan bagi pekerja/buruh telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan


(45)

36

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jaminan perlindungan hukum dan pemberian hak-hak bagi pekerja outsourcing telah juga diatur dalam Permenakertrans No,19 Tahun 2012.

Kemudian konvensi internasional ICESCR memuat ketentuan HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih luas dan komprehensif dibandingkan UDHR. Hak-hak yang diatur di ICESCR adalah hak atas pekerjaan, hak atas kondisi pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak untuk menikmati kesehatan fisik dan mental, hak atas pendidikan, dan hak untuk ikutserta dalam pendidikan budaya.4

Maka, secara yurudis sudah terdapat kepastian hukum atas perlindungan hak-hak pekerja, termasuk pekerja/buruh outsourcing.

D. Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-Hak Pekerja Outsourcing

Campur tangan negara (pemerintah) dalam melindungi hak-hak pekerja outsourcing merupakan faktor yang sangat penting karena dengan adanya campur tangan negara maka hak-hak bagi pekerja outsourcing terjamin. Namun perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh secara yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja outsourcing bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang harus

4 Kartika Puspitasari,”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia di

Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional, Piala Soediman Kartohadiprodjo,


(46)

mengunjungi tempat kerja pekerja outsourcing pada waktu-waktu tertentu. Ada tiga tugas pokok pengawas ketenagakerjaan yaitu5 :

1. Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan sudah dilaksanakan, dan jika tidak, mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk menjamin pelaksanaanya;

2. Membantu baik pekerja maupun pengusaha dengan jalan memberikan penjelasan-penjalasan teknik dan nasihat yang mereka perlukan agar mereka memahami apakah yang diminatkan peraturan dan bagaimanakah melakasanakannya;

3. Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk penyusunan peraturan perundangan ketenagakerjaan dan penetapan pemerintah.

Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu cara untuk menjamin terlaksananya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut Pasal 181 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib :

5


(47)

38

1. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;

2. Tidak menyalahgunakan kewenangannya.6

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/UIII/2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan ke perusahaan;

2. Dalam hal ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, maka pengawas ketenagakerjaan menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahakan perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Selain itu pemerintah dalam menetapkan hukum dalam rangka melindungi hak-hak pekerja outsourcing hendaknya dengan adil karena Alquran menyatakan bahwa apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkan dengan adil : Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Annisa (58):4

6


(48)





























































Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Maka pemerintah sebagai pengawas ketenagakerjaan diharuskan melindungi hak-hak pekerja outsourcing dengan menjaminnya dalam peraturan yang dibuat dengan adil, karena Allah telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.


(49)

40 BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011

A. Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011

1. Pengujian Materil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip


(50)

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan hukum publik atau privat atau lembaga negara.

Pada tanggal 21 Maret 2011, Didik Supriadi mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum, yang bergerak dan didirikan atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi buruh/pekerja sebagai pihak yang lemah.

Pemohon berinisiatif mengajukan permohonan judicial review atas kasus pekerja outsourcing yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak dan tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Pemohon juga bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Penghitung Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) mengajukan permohonan judicial review pasal-pasal yang berkaitan dengan ketentuan outsourcing yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun pasal-pasal tersebut selengkapnya menyatakan:


(51)

42

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menuntut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu teretentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.


(52)

(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 64

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”

Pasal 65

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis

(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :


(53)

44

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Kepetusan Menteri.

(6) Hubungan kerja dalam pelasanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.

(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian


(54)

kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaskud dalam pasal 59.

(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 66

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;


(55)

46

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindank sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perushaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.


(56)

Menurut Pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur tentang penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) menempatkan buruh/pekerja sebagai faktor produksi semata. Buruh hanya dijadikan komoditas di pasar tenaga kerja dengan mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Karena itu menurut Pemohon menyatakan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dengan sendirinya terkait dengan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal tersebut selengkapnya menyatakan:

Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”,

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, yang diartikan bahwa perekonomian kita didasarkan atas demokrasi ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dengan mengutamakan kemakmuran rakyat”.


(57)

48

Pemohon mengajukan permohonan ke MK pasal-pasal tersebut di atas, untuk selengkapnya di didasarkan pada argumentasi bahwa dalam ketentuan kontrak kerja outsourcing terdapat hal-hal sebagai berikut :

a. Kontrak kerja dalam outsourcing dilakukan sebagai penekanan efisiensi secara berlebihan dalam rangka peningkatan investasi dengan upah berakibat hilangnya keamanan kerja (job security);

b. Status pekerja/buruh outsourcing sebagai buruh kontrak menghilangkan hak-hak, tunjangan kerja, jaminan kerja dan jaminan sosial, yang dinikmati pekerja tetap;

c. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadikan buruh dipandang sebagai komoditas perdagangan pasar kerja, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu hak atas pekerjaan dan penghidupan layak dalam Pasal 27 ayat (2) dan hak bekerja dan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dalam Pasal 28D ayat (2); dan

d. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 ayat (1).

2. Pertimbangan dan Putusan Mahkamah Konstisusi

Dari uraian tersebut di atas, menurut MK, ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, ayat (3), serta ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat


(1)

serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan to protect the workers/laborers terabaikan;

[3 .1 8 ] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Penyerahan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang demikian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU 13/2003. Namun demikian, Mahkamah perlu meneliti aspek konstitusionalitas hak-hak pekerja yang dilindungi oleh konstitusi dalam hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh. Memperhatikan syarat-syarat dan prinsip outsourcing baik melalui perjanjian pemborongan pekerjaan maupun melalui perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh, dapat berakibat hilangnya jaminan kepastian hukum yang adil bagi pekerja dan hilangnya hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal itu terjadi, karena dengan berakhirnya pekerjaan pemborongan atau berakhirnya masa kontrak penyediaan pekerja/buruh maka dapat berakhir pula hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh kehilangan pekerjaan serta hak-hak lainnya yang seharusnya diperoleh. Menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh. Jaminan dan perlindungan demikian tidak dapat dilaksanakan dengan baik hanya melalui perjanjian kerja yang mengikat antara perusahaan dengan pekerja/buruh


(2)

berdasarkan PKWT, karena posisi pekerja/buruh berada dalam posisi tawar yang lemah, akibat banyaknya pencari kerja atau oversupply tenaga kerja;

Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan “perjanjian kerja waktu tidak tertentu” secara tertulis. Model yang kedua diterapkan, dalam hal hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing berdasarkan PKWT maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja/buruh dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Dalam praktik, prinsip tersebut telah diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal suatu perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain. Untuk melindungi hak-hak para pekerja yang perusahaannya diambil alih oleh perusahaan lain, hak-hak dari pekerja/buruh dari perusahaan yang diambil alih tetap dilindungi. Pengalihan perlindungan pekerja/buruh diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kesewenang-wenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada


(3)

suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional. Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak. Melalui prinsip pengalihan perlindungan tersebut, kehilangan atau terabaikannya hak-hak konstitusional pekerja outsourcing dapat dihindari.

Untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003;

[3 .1 9 ] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

menurut Mahkamah Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) ayat (6), ayat (8), ayat (9) serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d, ayat (3), serta ayat (4) UU 13/2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Adapun Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)


(4)

huruf b UU 13/2003 bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 (conditionally unconstitutional). Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

4 . K ON K LU SI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4 .1 ] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

[4 .2 ] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan

permohonan a quo;

[4 .3 ] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

5 . AM AR PU T U SAN Mengadili, Menyatakan:

• Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam


(5)

perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

• Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

• Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

• Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD. selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis tanggal lima bulan Januari tahun dua ribu dua belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal tujuh belas bulan Januari tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Harjono, Maria Farida Indrati, dan M. Akil Mochtar, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Eddy Purwanto sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.


(6)

KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd.

td

Achmad Sodiki

ttd. Hamdan Zoelva ttd.

Muhammad Alim

ttd.

Ahmad Fadlil Sumadi ttd.

Anwar Usman

ttd. Harjono ttd.

Maria Farida Indrati

ttd. M. Akil Mochtar PANITERA PENGGANTI,

ttd. Eddy Purwanto