METAFORA PADA RUBRIK OPINI DALAM MAJALAH TEMPO

METAFORA PADA RUBRIK OPINI DALAM MAJALAH TEMPO SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh : Farida Trisnaningtyas C0204026

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

METAFORA PADA RUBRIK OPINI DALAM MAJALAH TEMPO

Disusun oleh FARIDA TRISNANINGTYAS C0204026

Telah disetujui oleh pembimbing Pembimbing

Drs. Kaswan Darmadi, M. Hum. NIP 196203031989031005

Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag. NIP 196206101989031001

METAFORA PADA RUBRIK OPINI DALAM MAJALAH TEMPO

Disusun oleh Farida Trisnaningtyas C0204026

Telah Disetujui oleh Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 5 Februari 2010

Jabatan

Nama

Tanda Tangan

Ketua

Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag.

Miftah Nugroho, S.S., M.Hum.

NIP 197707252005011002

Penguji I

Drs. Kaswan Darmadi, M.Hum.

NIP 196203031989031005

Penguji II

Drs. Henry Yustanto, M.A.

NIP 196204141990031002

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Drs. Sudarno, M.A. NIP 195303141985061001

PERNYATAAN

NAMA : Farida Trisnaningtyas NIM

: C0204026

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul ”Metafora pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo” adalah benar-benar karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan orang lain. Hal-hal yang bukan karya penulis dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 5 Februari 2010 Yang membuat pernyataan

Farida Trisnaningtyas

MOTTO

ُﺔَﺟﺎَﺟُّﺰﻟا ٍﺔَﺟﺎَﺟُز ﻲِﻓ ُحﺎَﺒْﺼِﻤْﻟا ٌحﺎَﺒْﺼِﻣ ﺎَﮭﯿِﻓ ٍةﺎَﻜْﺸِﻤَﻛ ِهِرﻮُﻧ ُﻞَﺜَﻣ ِضْرﻷاَو ِتاَوﺎَﻤَّﺴﻟا ُرﻮُﻧ ُﮫَّﻠﻟا

ُءﻲِﻀُﯾ ﺎَﮭُﺘْﯾَز ُدﺎَﻜَﯾ ٍﺔَّﯿِﺑْﺮَﻏ ﻻَو ٍﺔَّﯿِﻗْﺮَﺷ ﻻٍﺔَﻧﻮُﺘْﯾَز ٍﺔَﻛَرﺎَﺒُﻣ ٍةَﺮَﺠَﺷ ْﻦِﻣ ُﺪَﻗﻮُﯾ ٌّيِّر ُد ٌﺐَﻛْﻮَﻛ ﺎَﮭَّﻧَﺄَﻛ ِﻟِسﺎَّﻨﻠ َلﺎَﺜْﻣﻷا ُﮫَّﻠﻟا ُبِﺮْﻀَﯾَو ُءﺎَﺸَﯾ ْﻦَﻣ ِهِرﻮُﻨِﻟ ُﮫَّﻠﻟا يِﺪْﮭَﯾ ٌرﻮُﻧ ﻰَﻠَﻋ ٌرﻮُﻧ ٌرﺎَﻧ ُﮫْﺴَﺴْﻤَﺗ ْ ْﻢَﻟ ْﻮَﻟَو

ٌﻢﯿِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ِّﻞُﻜِﺑ ُﮫَّﻠﻟاَو

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.

Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan

tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surat Annur (24) : 35)

PERSEMBAHAN

Karya ini, penulis persembahkan untuk:

Bapak dan Ibu

Untuk ketulusan cinta dan kasih sayangnya, disertai pengorbanan yang tak ternilai

juga iringan doa yang tiada henti

M. Farid Nurrohman M. Nuruddin Al Huda Irawan Wibisono Terima kasih untuk kebersamaannya dalam suka dan duka

Keluarga besar LPM Kentingan UNS Tempatku berehat dari segala penat

Teman-teman Sastra Indonesia 2004 Jangan pernah berhenti bermimpi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan, kesehatan, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar.

Dalam skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak berikut.

1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas arahan yang diberikan selama penulis belajar.

3. Drs. Kaswan Darmadi, M. Hum., selaku pembimbing penulisan skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran dan nasihat yang sangat berharga.

4. Drs. Wiranta, M. S., selaku pembimbing akademik selama kuliah.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas curahan ilmunya.

6. Bapak dan Ibu dengan ketulusan cintanya serta senantiasa mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis.

7. Mas Irawan, Farid, dan Huda atas kebersamaannya yang diwarnai dengan senyuman dan canda tawa.

8. Yayuk, Rini, Sebayang, Tutik, B, Wiji, Harno, Joko, Andika, Endah, Fitri, Muna, Vero, Marita, serta teman-teman Sasindo 2004 lainnya yang telah mengisi kisah masa kuliah kita.

9. Keluarga Besar Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan: mas Irwan, mas Aryo, mas Anto, mas Faizin, mas Donal, mbak Nana, mbak Septi, Dita, Henri, Gembling, Fauzan, Fiki, Diah, Crisna, Aji, Black, Uut, Adi, Hasan, Yoh, Hendi, Lala, Titis, Mamad, dkk yang telah memberikan rumah kedua bagi penulis, tempat terindah merangkai mimpi.

10. Keluarga Glafeesa, alumni Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri Surakarta atas pertemanan yang tak lekang zaman.

11. Keluarga Besar SMPIT Al Hikmah, Gatak, Sukoharjo. Hasil penelitian ini penulis lakukan dengan segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis berharap semoga penelitian yang dilakukan ini dapat berguna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis, pembaca pada umumnya, dan mahasiswa pada khususnya.

Surakarta, 5 Februari 2010

Penulis

Farida Trisnaningtyas

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Kerangka Pikir ................................................................................. 32

ABSTRAK

Farida Trisnaningtyas. C0204026, 2010. Metafora pada Rubrik Opini dalam Majalah Tempo. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi (1) bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (2) kemiripan antara wahana dan tenor metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (3) metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo, (2) mendeskripsikan kemiripan antara wahana dan tenor metafora pada rubrik Opini dalam majalah Tempo , (3) mendeskripsikan metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah semantik. Data penelitian ini adalah data kebahasaan berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang mengandung metafora yang terdapat pada rubrik Opini dalam majalah Tempo. Sumber data penelitian ini adalah rubrik Opini yang terdapat dalam majalah Tempo yang diterbitkan pada bulan Januari 2008. Data yang diperoleh dari sumber data diedit, diklasifikasikan dan direduksi sebelum disajikan. Proses analisis meliputi usaha menemukan kemiripan antara wahana dan Tenor berdasarkan komponen bersama yang dimiliki keduanya. Analisis data berakhir apabila dalam kesimpulan telah diperoleh kaidah-kaidah sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Dari analisis terhadap 187 buah data dapat ditarik simpulan bahwa (1) bentuk metafora pada data yang diteliti dari segi sintaksisnya adalah metafora nominatif, metafora komplementatif, metafora predikatif dan metafora kalimatif sedangkan metafora dari segi jenisnya adalah metafora antropomorfik, metafora binatang, metafora relasi abstrak-konkret dan metafora sinaestetik, (2) metafora (sebagai wahana) selalu mengandung kemiripan komponen makna dengan tuturan yang digantikan (sebagai tenor). Dari hubungan tersebut dapat dikelompokkan menjadi kemiripan objektif (bentuk) dan kemiripan emotif (perseptual/kultural), (3) metafora yang paling banyak digunakan dari segi sintaksisnya adalah metafora kalimatif 45 % (84 buah), dan dari jenisnya yang banyak digunakan adalah RAK 55,6 % (104 buah), sedangkan berdasar pengimajian berdasarkan ruang persepsi yakni kategori human (46,6 %).

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Maka manusia satu dengan yang lainnya memiliki saling ketergantungan baik secara biologis, psikis, maupun sosial. Untuk itu, manusia perlu berkomunikasi satu sama lain karena mereka bisa saling mengungkapkan gagasan, keinginan, ataupun perasaannya. Dalam berkomunikasi itu manusia memerlukan wahana yang disebut bahasa.

“Bahasa ialah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri” (Harimurti Kridalaksana, 2005:3).

Bahasa merupakan alat komunikasi vital yang dipergunakan manusia untuk dapat memahami orang lain. Keberadaan bahasa menempati peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Bahasa bersifat produktif, yaitu, dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, 72.000 kata yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas (KBBI, 2002:xiii dalam Tri Winiasih, 2006:64).

Bahasa juga sebagai salah satu sarana untuk mengungkapkan pikiran atau gagasan seseorang. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi dalam pemakaiannya ada cara-cara untuk mengungkapkannya.

“Cara mengungkapkan pikiran-pikiran tersebut antara lain melalui gaya bahasa. Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style . Gaya bahasa atau style menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang “Cara mengungkapkan pikiran-pikiran tersebut antara lain melalui gaya bahasa. Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style . Gaya bahasa atau style menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang

Gaya bahasa memang sering dipergunakan dalam sastra. Pengarang melalui karyanya bukan hanya ingin menyampaikan maksudnya. Akan tetapi, dia juga ingin menyampaikan perasaannya agar pembaca tahu maksud cerita serta merasakan apa yang dirasakan si tokoh dalam cerita. Demi tercapainya maksud- maksud tersebut maka pengarang senantiasa akan memilih kata dan menyusunnya sedemikian

perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda, melukiskannya dan sebagainya. Salah satu bentuk gaya bahasa yang banyak dikenal adalah metafora.

Metafora adalah salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakaian bahasa dapat memberi lambang (sebutan ataupun kata) maupun belum. Pada dasarnya penciptaan metafora tidak ada habis-habisnya, dengan kata lain metafora memberi kesegaran dalam berbahasa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadanan (monofon), mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tidak bernyawa (Edi Subroto, 1996:37).

Metafora sering diidentikkan dengan karya sastra, baik itu puisi, cerpen atau novel. Pada kenyataannya metafora juga terdapat dalam nonfiksi seperti dalam majalah, buku-buku, surat kabar dan sebagainya.

Salah satu yang menggunakan gaya bahasa metafora adalah media pers. Kegiatan jurnalistik cenderung memproses fakta menjadi format informasi tertentu serta menyiarkannya. Fakta bisa berupa peristiwa, fenomena, situasi, kondisi, atau kecenderungan yang benar-benar ada dalam komunitas sosial. Sedang memproses fakta adalah menstruktur fakta suatu bentuk wacana, baik yang bersifat audio, visual maupun audio visual (Mursito, BM, 1999:3).

Kegiatan mencari dan mengolah fakta, realitas empirik berdasarkan kenyataan di masyarakat ini dalam menyampaikan kepada khayalak bukan proses yang sederhana. Akan tetapi, dalam penulisannya menggunakan ragam bahasa Kegiatan mencari dan mengolah fakta, realitas empirik berdasarkan kenyataan di masyarakat ini dalam menyampaikan kepada khayalak bukan proses yang sederhana. Akan tetapi, dalam penulisannya menggunakan ragam bahasa

Untuk membuatnya selalu menarik dan mudah dipahami oleh pembacanya, bahasa jurnalistik menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Artinya, setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khayalak. Pilihan kata atau diksi dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak (Haris Sumadiria, 2006:19).

Dengan makna kiasan yang dikandungnya, metafora akan memberikan wawasan lain terhadap ungkapan kepada pembaca, sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata mereka. Di samping itu, metafora juga menjadi selingan menarik dari kemonotonan bahasa baku dan lugas pada wacana berita media massa. Karena pentingnya peranan metafora, maka penulis tertarik untuk menganalisis penggunaannya dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengkhususkan pembahasan metafora pada media cetak. Media cetak yang dijadikan sumber data adalah majalah Tempo.

Tempo telah menjelma menjadi barometer majalah berita di Indonesia. Simbol kebebasan berekspresi ini menyajikan porsi berita baik berskala regional maupun internasional dalam bentuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, seni dan olahraga.

“Dalam hal bahasa, Tempo memainkan peranan yang unik. Tempo menggunakan kata-kata yang biasanya dipakai untuk sajak, tanpa terasa berat atau sok pintar. Cara ini terasa segar dan belum pernah dipakai oleh majalah atau koran Indonesia lainnya” (Janet Steele, 2007:62).

Rubrik Opini merupakan salah satu rubrik yang terdapat dalam majalah Tempo . “Dalam hal ini, rubrik Opini merupakan opini penerbit yang berarti pandangan, pendapat atau opini dari redaksi terhadap suatu masalah yang terjadi di tengah masyarakat, dan dijadikan sajian dalam penerbitannya” (Totok Djuroto, 2002:77). Opini penerbit biasanya ditulis dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah tajuk rencana.

“Tajuk rencana merupakan pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa sehingga bagi kebanyakan pembaca akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan tadi” (Dja’far H. Assegaf: 1991 dalam Totok Djuroto, 2002:78).

Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas metafora khususnya yang terdapat dalam rubrik Opini majalah Tempo.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada media cetak yaitu majalah sebagai sumber datanya. Data yang diperlukan akan diambil khususnya dari rubrik Opini yang merupakan tajuk rencana atau opini redaksi dalam majalah Tempo. Adapun penelitian ini membatasi masalah pada wujud metafora, mendeskripsikan bentuk dan jenis metafora, mendeskripsikan jarak antara tenor dan wahana, mendeskripsikan metafora yang banyak digunakan dalam rubrik Opini pada majalah Tempo.

C. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo?

2. Bagaimanakah kemiripan antara wahana dan tenor metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo?

3. Metafora apa yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo ?

D. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan bentuk dan jenis metafora yang digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.

2. Mendeskripsikan kemiripan antara wahana dan tenor tuturan metafora pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.

3. Mendeskripsikan metafora yang banyak digunakan pada rubrik Opini dalam majalah Tempo.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis bermanfaat untuk:

1. memberikan perbendaharaan hasil penelitian dalam gaya bahasa metafora.

2. memperkaya khasanah penelitian di bidang ilmu linguistik khususnya dalam perkembangan ilmu semantik.

3. memberikan contoh tentang analisis linguistis terhadap penggunaan metafora.

Adapun secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk:

1. mendalami penggunaan metafora pada tuturan nyata dalam masyarakat.

2. memberikan wawasan tentang kemetaforaan dalam media massa.

3. mengetahui tujuan penulis berita menyisipkan gaya bahasa metafora.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan sangat diperlukan dalam sebuah penelitian karena dapat mengarahkan seorang peneliti pada cara kerja yang runtut dan jelas. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I merupakan bagian pendahuluan. Dalam bab ini peneliti menguraikan latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang alasan pemilihan data dan judul penulisan. Pembatasan masalah diutarakan dalam bab ini untuk memberikan batasan pada penelitian ini. Dari pembatasan masalah yang diutarakan, peneliti memperoleh beberapa rumusan masalah. Bab I ini juga menguraikan tujuan dan manfaat dari penelitian. Selain itu, sistematika penulisan juga diuraikan untuk menggambarkan urutan penelitian skripsi ini.

Bab II berisi kajian teori. Dalam kajian teori, peneliti menguraikan beberapa konsep teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Bab III merupakan metode penelitian yaitu menguraikan jenis penelitian yang digunakan. Data, sumber data dan cara memperolehnya diuraikan pula dalam bab ini. Teknik analisis data akan dipaparkan dalam bab II untuk memberikan gambaran tentang cara-cara menganalisis data dalam penelitian ini. Selain itu, bab ini juga memaparkan teknik penyajian data penelitian ini.

Bab IV merupakan tahap inti dari penelitian. Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini.

Simpulan dari penelitian ini akan diuraikan pada bab V. Dalam bab ini disertakan pula beberapa saran yang relevan dengan penelitian ini.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Studi Terdahulu

Edi Subroto (1992:89) memaparkan, masalah-masalah tertentu biasanya telah pernah diteliti ahli lain atau dibahas sekalipun dalam dimensi-dimensi yang tertentu batas-batasnya. Kewajiban peneliti untuk menyebutkan dan membahas seperlunya buku-buku atau hasil penelitian sejenis itu. Kegunaannya, di samping secara etis “menghargai" pendahulu, juga untuk menunjukkan keunggulan dan atau kekurangan serta posisi kita dalam rangkaian perjalanan ilmu pengetahuan.

Salah satu penelitian tentang metafora dilakukan oleh Henry Yustanto (1988) berupa skripsi berjudul “Kemetaforaan dalam Puisi-puisi Chairil Anwar. Skripsi ini membahas keekspresifan metafora dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar. Teori yang dipakai untuk mengetahui ekspresivitas metafora dalam puisi Chairil Anwar adalah teori yang dikemukakan oleh Edi Subroto. Dalam teori Edi Subroto dijelaskan bahwa, apabila jarak antara tenor dan wahana jauh (kemiripan antara dua referen tidak nyata), maka akan menciptakan metafora yang ekspresif. Permasalahan lain yang dibahas dalam penelitian ini yaitu jenis-jenis metafora yang dipakai Chairil Anwar dalam mewujudkan gagasannya. Simpulan dari penelitian ini ialah (1) puisi-puisi karya Chairil Anwar sangat ekspresif, dan (2) metafora yang terdapat di dalamnya berhubungan dengan masalah kehidupan yang keras sesuai dengan keadaan zaman ini.

Penelitian Sarwo Indah Ika Wigati (2003) berupa skripsi berjudul “Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ade” meliputi wujud tuturan metafora Penelitian Sarwo Indah Ika Wigati (2003) berupa skripsi berjudul “Tuturan Metaforis dalam Lirik Lagu-lagu Ebiet G. Ade” meliputi wujud tuturan metafora

Endang Dwi Suryawati (2006) pada skripsi yang berjudul “Kemetaforaan dalam Lirik Lagu Dangdut” meneliti wujud tuturan metafora lirik lagu dangdut dari segi jenis dan tingkat keekspresifan metafora yang terdapat dalam lirik lagu- lagu dangdut. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa metafora lirik lagu dangdut tidak seluruhnya memiliki tenor dan wahana. Munculnya metafora dalam lirik lagu dangdut dapat disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu istilah.

Penelitian Abd. Faisol (2003) berupa tesis berjudul “Metafora di dalam Ayat-ayat Alquran” meneliti bentuk penuturan metafora, lambang kias, efektivitas dan ekspresivitas metafora, serta fungsi tuturan metafora dalam ayat-ayat Alquran. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa fungsi penuturan metafora ayat-ayat Alquran (1) memperkaya makna (2) menjelaskan sesuatu yang abstrak agar tampak konkret, (3) memperhalus bahasa dan (4) menyangatkan arti.

Poniman (2005) pada tesis berjudul “Kajian Metafora Ragam Jurnalistik pada Wacana Berita Surat Kabar Solopos” meneliti bentuk dan jenis tuturan metafora pada wacana berita surat kabar Solopos. Kemiripan antara tenor dan Poniman (2005) pada tesis berjudul “Kajian Metafora Ragam Jurnalistik pada Wacana Berita Surat Kabar Solopos” meneliti bentuk dan jenis tuturan metafora pada wacana berita surat kabar Solopos. Kemiripan antara tenor dan

Penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dilakukan, entah mengenai subjek, landasan teorinya atau teknik analisisnya. Dengan data dari rubrik Opini dalam majalah Tempo penelitian ini berusaha untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tuturan metafora khususnya pada wacana berita yang belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian yang telah ada dan akan bermanfaat untuk mengembangkan kajian tentang bahasa figuratif, khususnya metafora.

B. Landasan Teori

1. Metafora

a. Pengertian Metafora

Metafora sudah menjadi bahan studi sejak zaman kuno. “Aristoteles (384- 322 SM), misalnya mendefinisikan metafora sebagai ungkapan kebahasaan untuk menyatakan hal yang bersifat khusus, yang khusus untuk umum, yang khusus untuk yang khusus, atau dengan analogi” (Poetics, 1457 B, dalam Abdul Wahab 1986:5). Di samping itu, Quintilian (35-95) mengatakan bahwa metafora adalah Metafora sudah menjadi bahan studi sejak zaman kuno. “Aristoteles (384- 322 SM), misalnya mendefinisikan metafora sebagai ungkapan kebahasaan untuk menyatakan hal yang bersifat khusus, yang khusus untuk umum, yang khusus untuk yang khusus, atau dengan analogi” (Poetics, 1457 B, dalam Abdul Wahab 1986:5). Di samping itu, Quintilian (35-95) mengatakan bahwa metafora adalah

Tarigan (1985:183) mendefinisikan bahwa metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti "memindah" berasal dari kata meta "di atas" atau "melebihi" dan pherein "membawa". Jadi dalam metafora membuat perbandingan antara dua hal untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bagaikan, umpama, laksana, dan sebagainya seperti perumpamaan.

Gorys Keraf (2000:139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Di dalamnya terlihat dua gagasan, yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan dan yang menjadi objek; dan yang satunya lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi dan menggantikan yang di belakang menjadi terdahulu.

Kris Budiman (2005:71) merujuk pada Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan metafora “a figure of speech in which a word or a phrase denoting one kind of object or action is used in place of another to suggest

a likeness or analogy between them” (artinya: “sebuah kiasan yang menggunakan a likeness or analogy between them” (artinya: “sebuah kiasan yang menggunakan

Harimurti Kridalaksana (2001:136) menyatakan bahwa metafora merupakan pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan; misalnya. Kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia .

Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang (sebutan atau kata) ataupun belum atau dapat dinyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan langsung karena kesamaan intuitif maupun nyata antara dua referen (Edi Subroto, 1996: 38 –

Metafora merupakan satu betuk variasi pemakaian bahasa yang dapat dijumpai di dalam bahasa pada umumnya. Lakoff dan Johnson (1980 dalam Abdul Wahab, 1995:76) dalam bukunya Metaphors We Live By juga mengakui adanya kesemestaan metafora ini. Keduanya menyatakan bahwa metafora terdapat di dalam semua bahasa dan dialek.

Lakoff dan Johnson menjelaskan metafora bukan merupakan permasalahan bahasa semata karena proses berpikir manusia sebenarnya sangat metaforis ”metaphor is not just a matter of language, that is, of mere words. We shall argue that ... Human thought processes are largerly metaphorical. This is what we mean when we say that human conceptual system is metaphorically structured and defined” (artinya: “metafora bukanlah permasalahan bahasa semata. Kami menyangkalnya. Proses berpikir manusia sangatlah metaforis. Dengan kata lain sistem konseptual manusia itu terstruktur dan terdefinisi secara metaforis”).

b. Proses Penciptaan Metafora

Penulis yang kreatif tentu selalu ingin menyuguhkan tulisan-tulisan yang menarik. Untuk itu, ia akan memilih ungkapan yang baru dan segar, sehingga tidak akan mengulang ungkapan yang sama yang bisa menimbulkan kebosanan.

Pada dasarnya struktur dasar penciptaan metafora itu sangat sederhana. Ullmann (2007:265) menyatakan selalu ada dua hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan.

Ullmann mencontohkan kata dalam bahasa latin musculus ‘tikus kecil’, juga dipakai dalam makna kias ‘otot’, dalam bahasa Inggris kata itu menjadi muscle (baca:[musl]) ‘otot’. Dalam metafora ini, otot adalah tenor, sedangkan ‘tikus kecil’ adalah wahana. Dalam perbandingan ini bisa kita katakan bahwa metafora adalah “suatu perbandingan yang dipadatkan yang mengandung identitas intuitif dan konkret” (2007:266).

Arti pentingnya metafora sebagai suatu kekuatan kreatif dalam bahasa telah dikenal dan banyak mendapat pengakuan yang luar biasa. Menurut Aristoteles (dalam Ullmann, 2007:265), “hal terbesar selama ini adalah menguasai metafora. Metafora sendiri tidak dapat dipisahkan oleh yang lain; ia merupakan tanda kejeniusan”. Pada masa kini Chesterton malah lebih jauh mengemukakan bahwa “semua metafora adalah puisi”, sedangkan Sir Herbert Read berkilah bahwa “kita harus selalu siap untuk menghakimi penyair… dengan kekuatan dan keorisinilan metafora-metaforanya”. Proust dalam artikelnya tentang gaya Flaubert dengan jelas mengemukakan, “Saya percaya bahwa metafora sendiri dapat memberikan kepada gaya semacam keabadian”. Jika pun ada orang tidak memperhitungkan Arti pentingnya metafora sebagai suatu kekuatan kreatif dalam bahasa telah dikenal dan banyak mendapat pengakuan yang luar biasa. Menurut Aristoteles (dalam Ullmann, 2007:265), “hal terbesar selama ini adalah menguasai metafora. Metafora sendiri tidak dapat dipisahkan oleh yang lain; ia merupakan tanda kejeniusan”. Pada masa kini Chesterton malah lebih jauh mengemukakan bahwa “semua metafora adalah puisi”, sedangkan Sir Herbert Read berkilah bahwa “kita harus selalu siap untuk menghakimi penyair… dengan kekuatan dan keorisinilan metafora-metaforanya”. Proust dalam artikelnya tentang gaya Flaubert dengan jelas mengemukakan, “Saya percaya bahwa metafora sendiri dapat memberikan kepada gaya semacam keabadian”. Jika pun ada orang tidak memperhitungkan

Gambaran keadaan tersebut di atas dicerminkan oleh pengarang dalam mengungkapkan metafora, dalam suatu tuturan metaforis terdapat sesuatu atau hal yang kita perbincangkan dengan sesuatu yang kita bandingkan. Jadi bisa dikatakan bahwa ada kemiripan antara sesuatu yang diperbincangkan (sebut saja referen) dan yang kita bandingkan (sebut saja referen 2).

Referen yang diperbandingkan (R1) disebut dengan istilah tenor, sedangkan referen yang digunakan sebagai sarana pembanding (R2) disebut vehicle (wahana). Referen 1 dan Referen 2 merupakan dua hal yang tidak serupa, namun memiliki kemiripan, entah kemiripan yang bersifat objektif atau kemiripan perseptual atau kultural. Metafora yang memiliki kemiripan objektif antara tenor dan wahananya disebut metafora konvensional dan kurang memiliki daya ekspresif, karena kemiripannya begitu jelas. Contoh metafora seperti ini misalnya: mulut gua, leher botol, bibir sumur dan kepala penjahat.

Sebaliknya, metafora yang didasarkan pada kemiripan perspetual atau kultural, tenor dan wahananya memiliki “jarak”, dan biasanya memiliki daya ekspresif, menciptakan keterkejutan atau ketegangan yang tinggi (Edi Subroto, 1991:17). Contoh metafora jenis ini misalnya: tubuh kebangsaan, bahtera Republik Indonesia, politisi busuk, dan merenggut nyawa.

c. Keekspresivan Metafora

“Daya ekspresivitas sebuah metafora ditentukan oleh jarak relasi antara tenor dan wahana. Apabila hubungan antara tenor dan wahana begitu jelas atau konkret, maka daya ekspresifnya kurang. Namun, apabila jarak relasinya begitu samar-samar, maka daya ekspresifnya menjadi kuat” (Edi Subroto, 1997:97).

“Jarak antara tenor dan wahana oleh Sayee disebut “sudut bayang” (angle of image ). Manakala jarak antara tenor dan wahana begitu dekat, artinya kemiripan antara dua referen begitu nyata dan berwujud maka penciptaan metafora yang konvensional. Misalnya punggung bukit, kaki gunung, kaki meja, dan sebagainya” (Edi Subroto, 1989:4). Adapun keserupaan maupun kemiripan sekaligus perbedaan dari suatu referen dapat diketahui dengan metode analisis komponen.

Edi Subroto menjelaskan (1996:33) metode analisis komponen dalam semantik adalah menguraikan atau proses mengurai (a process of breaking down) arti konsep suatu kata ke dalam komponen maknanya atau ke dalam semantik featur nya. Fitur semantik atau sebuah kata adalah seperangkat ciri pembeda arti yang bersifat hakiki yang benar-benar mewakili dan diperlukan untuk membedakan unit leksikal yang satu dari unit leksikal yang lain yang seranah atau sedomain.

Misalnya kata kaki (manusia) dan kaki meja dapat dianalisis sebagai berikut. Kaki (manusia)

Kaki (meja) - Bagian dari tubuh manusia

- bagian dari meja - Terbentuk dari daging dan tulang

- terbuat dari kayu atau besi - Untuk berdiri (dan berjalan)

- untuk berdiri

+ benda konkret

+ benda konkret

+ bagian di bawah

+ bagian bawah

+ sebagai penyangga atasnya + sebagai penyangga bagian atasnya

Dari analisis di atas diketahui adanya keserupaan atau kemiripan makna yaitu sama-sama benda konkret, sama-sama bagian terbawah dan sama-sama berfungsi sebagai penyangga bagian atasnya. Dari kaki (manusia) dapat diterapkan pada bagian meja.

Semakin jauh jarak antara tenor dan wahananya, maka metafora tersebut semakin ekspresif. Apabila jarak antara tenor dan wahananya dihayati berdasarkan persepsi si pengarang atau berdasarkan persamaan emosional seseorang maka akan memberikan daya ekspresif yang kuat serta memberikan keterkejutan dan ketegangan yang tinggi, sehingga metafora yang demikian cenderung bersifat individual yang original. Kemiripan emotif memiliki daya ekspresif yang kuat dan tinggi, sehingga pada metafora yang emotif akan sulit menemukan hubungan antara tenor dan wahananya atau tingkat kemiripan yang samar-samar. Berikut contoh metafora yang berdaya ekspresif tinggi.

(1) Dengan kuku-kuku bersikuda menebah perut bumi (“Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, Rendra dalam Edi Subroto, 1996:39).

”Menginjak dengan keras” bumi dinyatakan dengan ”menebah” yang mengasosiasikan gerakan yang keras dan bertenaga, sehingga seluruh isi bumi akan merasakannya. Demikian pula “bumi dengan seluruh isinya” dinyatakan dengan “perut besar”.

d. Kadar Kemetaforaan

Dipandang sebagai suatu gaya bahasa, keberadaan metafora tidak bisa dilepaskan dari daya ekspresif atau kadar kemetaforaan yang sifatnya tidak langgeng dan melekat pada tuturan tersebut.

1) Metafora Mati (Dead Metaphor)

Gorys Keraf (2007:137 – 139) mengilustrasikan kata manis dalam frasa lagu yang manis adalah suatu ringkasan dari analogi yang berbunyi: lagu ini merangsang telinga dengan cara yang sama menyenangkan seperti manisan merangsang alat perasa . Dari analogi kualitatif ini kemudian banyak muncul istilah-istilah baru dengan mempergunakan organ-organ manusia atau organ binatang seperti kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat terbang, kapal terbang; kapal terbang analog dengan kapal laut, yaitu seperti kapal laut berlayar di laut , maka kapal terbang berlayar di udara.

Kebanyakan perubahan makna kata mula-mula terjadi karena metafora. Lama-kelamaan orang tidak memikirkan lagi tentang metafora itu, sehingga arti yang baru itu dianggap sebagai arti yang kedua atau ketiga kata tersebut: berlayar, berkembang, jembatan dan sebagainya. Metafora semacam ini adalah metafora mati.

Keraf menjelaskan dengan matinya sebuah metafora, kita berada kembali di depan sebuah kata yang mempunyai denotasi baru. Metafora semacam ini dapat berbentuk sebuah kata kerja, kata sifat, kata benda, frasa atau klausa: menarik hati, memegang jabatan, mengembangkan, menduga dan sebagainya.

2) Metafora Hidup (Living Metaphor)

Metafora hidup adalah metafora dimana kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya. Seperti pada contoh berikut. (2) Perahu itu menggergaji ombak.

Mobilnya batuk-batuk sejak tadi pagi. Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa (dalam Gorys Keraf , 2007:139).

Kata-kata menggergaji, batuk-batuk, bunga dan bangsa masih hidup dengan arti aslinya.

e. Bentuk dan Jenis Metafora

1) Bentuk

Abdul Wahab (1995:72) mengelompokkan metafora secara sintaksis menjadi tiga, metafora nominatif, metafora predikatif, metafora kalimatif. Pada metafora nominatif, lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat. Karena posisi nomina dalam kalimat berbeda-beda, metafora nominatif dapat pula dibagi dua macam, yaitu metafora nominatif subjektif dan metafora nominatif objektif atau yang lazim disebut berturut-turut sebagai metafora nominatif dan metafora komplementatif saja.

Pada metafora nominatif, lambang kias muncul hanya pada subjek kalimat saja, sementara komponen-komponen lainnya dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung. Sementara metafora komplementatif memakai lambang kias hanya pada komplemen kalimat dimaksud, sedang komplemen lain dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata Pada metafora nominatif, lambang kias muncul hanya pada subjek kalimat saja, sementara komponen-komponen lainnya dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung. Sementara metafora komplementatif memakai lambang kias hanya pada komplemen kalimat dimaksud, sedang komplemen lain dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata

(3) Angin lama tak singgah. (Slamet Sukirnanto, 1983. “Tunggu” dalam Horison/XXI/235 dalam Abdul Wahab, 1995:72) (4) Aku minta dibikinkan jembatan cahaya. (Ismet Natsir, dalam Linus Suryadi AG (ed), 1987. Tonggak 4:59 dalam Abdul Wahab, 1995:73).

Kata-kata yang dicetak miring pada kutipan di atas (angin sebagai subjek dan jembatan cahaya sebagai komplemen) memiliki makna kias, sedangkan kata- kata lainnya dinyatakan dengan makna yang sebenarnya dan tidak dikiaskan. Angin pada kalimat (3) mengiaskan ”utusan pembawa berita” , dan jembatan cahaya pada kalimat (4) bermakna ”jalan yang terang”.

Dalam metafora predikatif, kata-kata lambang kias hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu (jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung, seperti pada contoh berikut.

(5) Suara aneh terbaring di sini. (T. Mulia Lubis, dalam Tonggak 4:15 dalam Abdul Wahab, 1995:73).

Kata terbaring merupakan predikat subjek kalimat “Suara aneh…” merupakan predikat yang cocok untuk mamalia (termasuk manusia). Suara aneh merupakan ungkapan kebahasaan dengan makna langsung dan dihayati sebagai manusia yang dapat terbaring.

Pada metafora kalimatif seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu. Seperti pada kalimat berikut.

(6) Api apa membakar? (Slamet Sukirnanto, 1984. “Doa Pembakaran”. Dalam Horison/XXI/198 dalam Abdul Wahab, 1995:74).

Seluruh kalimat di atas adalah kias. Tidak ada satu komponen pun dalam kalimat itu yang dipakai sebagai pengungkapan makna langsung. Metafora kalimatif di atas mengandung makna yang dimaksud, kira-kira “Semangat apa yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan?”

2) Jenis

Ullmann (2007:267 – 270) membagi metafora menjadi empat kelompok utama yang terjadi dalam berbagai bahasa dan gaya bahasa.

a) Metafora Antropomorfis

Metafora antropomorfis adalah metafora yang dinamai berdasarkan nama bagian tubuh manusia, atau sedikitnya nama bagian tubuh manusia dinamai berdasarkan sama bagian tubuh binatang atau benda-benda lainnya, misalnya kata mata. Kata mata mengacu pada alat indera manusia yang berfungsi untuk melihat, berbentuk (agak) kecil, bulat. Lewat alat indera itu cahaya ditangkap untuk melihat sesuatu. Berdasarkan nama alat indera itu, objek-objek tertentu diberi nama matahari, mataair, matajarum. Semua memperlihatkan ciri bulat, kecil, tempat keluar atau memasukkan sesuatu. Sebaliknya di dalam mata itu terdapat bagian yang bulat disebut “bola mata”. Penamaan bagian mata itu justru didasarkan atas nama suatu benda mati, yaitu bola.

b) Metafora Binatang

Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian diterapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Banyak tumbuhan menggunakan nama binatang, sering juga kocak atau lucu, misalnya lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah, cocor bebek. Banyak juga benda tak bernyawa Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian diterapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Banyak tumbuhan menggunakan nama binatang, sering juga kocak atau lucu, misalnya lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah, cocor bebek. Banyak juga benda tak bernyawa

Kelompok lain dari imajinasi terhadap binatang ini ditransfer kepada manusia di mana ada konotasi humor, ironis, peyoratif (melemahkan nilai) atau fantastik. Misalnya si kerbau, si jago, si kucing.

Benda-benda tak bernyawa juga ada yang bisa bertingkah, dan tingkah ini dimetaforakan dengan sumber binatang: truk itu menyeruduk mobil dari belakang, panas matahari yang menyengat, generasi muda telah menelurkan kreativitasnya .

c) Metafora Relasi Abstrak ke Konkret

Salah satu kecenderungan dasar dalam metafora adalah menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret. Dalam banyak hal, pengalihan atau transfer itu masih jelas, tetapi sebagian lagi masih memerlukan penelitian etimologis untuk melacak citra konkret yang mendasari kata yang abstrak itu. Misalnya, sorot mata, sinar mata, sinar wajah, hidupnya bersinar, otak cemerlang .

d) Metafora Sinaestetik

Metafora ini didasarkan pada transfer dari satu indra ke indra yang lain: dari bunyi (dengan indra dengar) ke penglihatan, dari sentuhan ke bunyi dan sebagainya. Misalnya kata hangat atau dingin terdapat sejenis kesamaan antara temperatur yang hangat atau dingin dan kualitas suara-suara tertentu. Begitu pula dengan tentang warna yang keras, bau yang manis, pandangan yang tajam, bicaranya manis.

f. Pengimajian Metafora Berdasarkan Ruang Persepsi Manusia

Manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya di dalam berpikir dan menciptakan metafora, karena ia selalu mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Studi tentang interaksi antara manusia dengan lingkungannya (makhluk bernyawa maupun tidak bernyawa) disebut studi tentang sistem ekologi. Sistem ekologi yang dipersepsi manusia tersusun dalam suatu hierarki yang sangat teratur.

Michael C. Haley (dalam Abdul Wahab, 1995:77) membuat hierarki ruang persesi manusia itu seperti berikut. BEING

COSMOS ENERGY SUBSTANCE TERRESTRIAL OBJECT LIVING ANIMATE HUMAN

Hierarki persepsi manusia terhadap ruang dimulai dari manusia sendiri, karena manusia dengan segala macam tingkah lakunya merupakan lingkungan manusia yang terdekat. Jenjang ruang persepsi manusia yang ada di atas HUMAN ialah ANIMATE (makhluk bernyawa), sebab manusia hanyalah satu bagian saja dari makhluk bernyawa. Sebaliknya, tidak semua makhluk bernyawa dapat dimasukkan ke dalam kategori HUMAN. Hewan, misalnya adalah makhluk bernyawa, tetapi hewan bukanlah manusia. Kategori di atas makhluk bernyawa Hierarki persepsi manusia terhadap ruang dimulai dari manusia sendiri, karena manusia dengan segala macam tingkah lakunya merupakan lingkungan manusia yang terdekat. Jenjang ruang persepsi manusia yang ada di atas HUMAN ialah ANIMATE (makhluk bernyawa), sebab manusia hanyalah satu bagian saja dari makhluk bernyawa. Sebaliknya, tidak semua makhluk bernyawa dapat dimasukkan ke dalam kategori HUMAN. Hewan, misalnya adalah makhluk bernyawa, tetapi hewan bukanlah manusia. Kategori di atas makhluk bernyawa

Nomina antara kategori ruang persepsi manusia dan prediksi masing-masing kategori harus ada kesesuaian. Kesesuaian antara nomina dan prediksi masing-

KATEGORI

CONTOH NOMINA

PREDIKASI

BEING

kebenaran, kasih

ada

masing kategori antara lain dapat dibaca pada tabel berikut.

Tabel 1. Kategori Ruang Persepsi Manusia Menurut Michael C. Haley COSMOS

menggunakan ruang ENERGY

matahari, bumi, bulan

bergerak SUBSTANCE

cahaya, angin, api

lembam TERRESTRIAL

semacam gas

terhampar OBJECT

gunung, sungai, laut

semua mineral

pecah

LIVING

tumbuh ANIMATE

flora

berjalan, lari HUMAN

Interaksi antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya seperti terdapat dalam ruang persepsi manusia tercermin dalam lambang kias berikut.

a) Being

Kategori semantik BEING mencakup konsep atau pengalaman manusia yang abstrak. Ciri khas kategori ini ialah predikasi ada, walaupun tak dapat dihayati langsung oleh indra manusia. Contoh.

(7) Senja pun tiba Suatu kurun waktu yang tak perlu kutanya (Bambang Darto, dalam Tonggak 4:33 dalam Abdul Wahab, 1995:78)

Senja adalah konsep abstrak untuk menandai “tenggelamnya” matahari; tetapi, konsep senja itu ada. Dalam kalimat metaforis ini, senja adalah kias untuk konsep usia lanjut manusia. Konsep senja yang dipakai sebagai lambang kias untuk konsep usia lanjut merupakan wujud interaksi antara manusia dengan BEING .

b) Cosmos

COSMOS tidak hanya ada, melainkan menempati ruang di jagad raya, dapat diamati oleh indra mata, dan di sana, karena jauhnya. Contoh. (8) Matilah kau bulan

Telah mampus bumi Mentari pun kewalahan (T. Mulia Lubis, dalam Tonggak 4:16 dalam Abdul Wahab, 1995:79)

Bulan, bumi dan matahari adalah benda-benda cosmos. Dalam kutipan di atas, benda-benda itu tidak dipakai dalam arti yang sebenarnya. Simbolisme tentang bulan sangat bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Ada yang mengasosiasikan bulan dengan perempuan, karena antara perempuan dan bulan ada persamaan, yaitu masing-masing sangat terikatoleh siklus. Namun demikian, di Indonesia, bulan diasosiasikan dengan keindahan. Bumi menurut

Cirlot (1962:93) dihubungkan dengan tempat tumbuhnya kebudayaan atau kebudayaan itu sendiri. Sementara matahari, karena sifatnya yang universal, melambangkan semangat atau sumber kehidupan. Benda-benda angkasa tersebut dipakai oleh penyair untuk menyatakan pandangannya yang pesimis, yaitu tiadanya keindahan (dengan lambang bulan), tak berdayanya kebudayaan (dengan lambang bumi), dan hilangnya semangat hidup (dengan lambang matahari).

c) Energy

Predikasi khusus yang dipakai oleh kategori ini ialah bahwa ia tidak saja ada dan menempati ruang, melainkan juga adanya perilaku gerak. Contoh. (9) Angin lama tak singgah. (Slamet Sukirnanto, 1983. “Tunggu” dalam

Horison/XXI/235 dalam Abdul Wahab, 1995:79) (10) Api apa membakar? (Slamet Sukirnanto, 1984. “Doa Pembakara”. Dalam Horison/XXI/198 dalam Abdul Wahab, 1995:79).

Angin dan api adalah dua bentuk sumber energi. Angin sebagai lambang kias tidak mempunyai sifat universal. Bagi kebudayaan Indonesia, angin dikaitkan dengan pembawa pesan. Makna dengan konotasi positif dari angin mempunyai fungsi pengantar sari kepada putik dalam proses pembuahan. Ungkapan metafora di atas berarti ‘pembawa pesan tak singgah’. Sementara api, dikaitkan dengan konsep kehidupan, kesehatan, kekuasaan, dan tenaga spiritual.

d) Substance

Predikasi kategori ini ialah ada, membutuhkan ruang dan bergerak, ia juga mempunyai sifat lembam. Contoh. (11) Sekumpulan puisi

Mencair diri (TM. Lubis, dalam Tonggak 4:18 dalam Abdul Wahab, 1995:80 dalam Abdul Wahab, 1995:80)

Pada kutipan di atas, puisi dihayati sebagai benda substansi yang bisa berubah bentuk fisiknya, yaitu cair.

e) Terrestrial

TERRESTRIAL yaitu hamparan yang terikat oleh bumi seperti misalnya, samudra, sungai, gunung, padang pasir, dan lain-lain. Contoh. (12) Masuk ruang kegelapan, dan gelas aku tambahkan

Mengarungi karang-karang kehidupan (Sapardi Djoko Damono. 1987. Horison XXI/234 dalam Abdul Wahab, 1995:80)

Dalam metafora ini dapat diketahui sulitnya kehidupan itu dilambangkan oleh hamparan terrestrial, yaitu karang-karang. Makna karang yang diasosiasikan dengan kesulian hidup atau kekejaman hidup itu dapat dimengerti, sebab prediksi yang cocok untuk karang ialah: keras, tajam, sulit dipegang erat-erat, sebab kalau dipegang erat, lukalah tangan, tidak mulus atau tidak rata, dan melukai kulit jika tersentuh. Melalui ungkapan tersebut, penyair berusaha untuk melupakan kekerasan atau kekejaman hidup ini dengan jalan menenggak minuman keras di bar (digambarkan sebagai ruang gelap).

f) Object

Predikasi yang cocok untuk kategori OBJECT ialah sifatnya yang dapat pecah. Contoh. (13) Mataku fiberglas

Bagai mainan bikinan Jepang Aku berjalan sempoyongan (YA. Nugraha, dalam Tonggak 4:200 dalam Abdul Wahab, 1995:81)

Fiberglass adalah OBJECT atau benda, yang meskipun kuat, dapat saja pecah. Benda ini biasanya kusam, tidak transparan seperti kaca bening. Yudhistira menggunakan lambang ini untuk mengiaskan pandangannya yang tidak bening Fiberglass adalah OBJECT atau benda, yang meskipun kuat, dapat saja pecah. Benda ini biasanya kusam, tidak transparan seperti kaca bening. Yudhistira menggunakan lambang ini untuk mengiaskan pandangannya yang tidak bening

g) Living

Predikasi kategori LIVING, yaitu bisa tumbuh. Contoh metafora dalam kategori ini biasanya dikaitkan dengan semua kehidupan flora dengan segala predikasinya. Contoh.

(14) Di taman bunga Mekar juga bersama (Hamid Jabbar, dalam Tonggak 4:22 dalam Abdul Wahab, 1995:81)