MONEY POLITICS DAN RATIONAL CHOICE DALAM
DEBAT POLITIK UANG DAN RATIONAL CHOICE DALAM PEMILU
Terdapat beberapa budaya politik, satu diantaranya adalah budaya politik
partisipatif atau disebut juga budaya politik demokrasi, dimana suatu kumpulan
sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang
terwujudnya perilaku memilih demokratis. Dalam pendekatan memilih, politik
uang disebut sebagai pemberian suara kepada kandidat berdasarkan imbalan
materi yang diterima tanpa mempertimbangan aspek-aspek dasar demokratis.
Pemberian suara dalam pemilu berdasarkan politik uang merupakan bentuk
penyuapan
oleh
kandidat,
sebagaimana
diatur
dalam
ketetapan
aturan
penyelenggara pemilu. Dalam institunalisasi pendekatan memilih, masyarakat
rational choice memilih berdasarkan kalkulasi untung rugi berdasarkan materi,
maka hampir tidak bisa dibedakan antara kedua pendekatan tersebut, atau politik
uang merupakan bagian dari pendekatan rational choice.
Namun dalam institusinalisasi rational choice, pemilih diasumsikan
memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup.
Pilihan politik yang masyarakat ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor
kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang
logis, berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan pemilih, dimana
memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan
ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada
pilihan terbaik dan paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self
interest) maupun untuk kepentingan umum. Sedangkan perilaku memilih
berdasarkan logika politik uang adalah masyarakat yang memilih atas dasar materi
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti norma-norma dalam
demokrasi.
Dalam pendekatan rational choice, keputusan yang rasional
tidak hanya semata-mata mempertimbangkan satu aspek saja,
misalnya keuntungan materi, melainkan beberapa asas empirik
dan metode sains yang menjadi faktor untuk menentukan
langkah penentu terhadap permasalahan. Seperti halnya cita-cita
dari tujuan pelaksanaan pemilu. Pendekatan rational choice bukan
ditempatkan pada keuntungan materi namun pada prinsipnya adalah memilih
kandidat yang menguntungkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi. Ciri ini merupakan perbedaan dari praktek politik uang dengan rational
choice. Pemilih dengan pendekatan rational choice ditempatkan sebagai pemilih
yang dapat mengantarakan untuk memilih pemimpin dianggap mampu membuat
perubahan diantara beberapa pilihan calon, sedangkan masyarakat memilih
berdasarkan faktor politik uang adalah masyarakat yang dianggap pemilih
irrasional, dimana memilih atas dasar kalkulasi keuntungan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya tanpa mempertimbangkan dampak atas pilihannya dan
mengabaikan asas yang paling dasar dalam demokratis. Hal ini berbeda dengan
tujuan pesta politik diarena demokrasi dimana pemilu merupakan tempat memilih
pemimpin yang dapat mengantarkan ke arah perubahan yang lebih baik.
Keberadaan politik uang itu sendiri dalam pemilu adalah merupakan humus dalam
membunuh tatanan demokrasi yang adil dan jujur. Sebagaimana yang tertuang
dalam asas-asas demokratis.
Dalam pelembagaan, teori pilihan rasional diadopsi oleh ilmuwan politik
dari ilmu ekonomi. Karena dalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecilkecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada
dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat setelah
mempertimbangkan untung rugi dan program-program yang disodorkan oleh
kandidat akan menguntungkan diri pemilih dan menguntungkan masyarakat
umum, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih
kandidat yang kerugiannya paling minim atas dampak kebijakan yang dilakukan.
Dalam konteks teori ini, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu
diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan.
Max Weber mengemukakan bahwa rasionalitas nilai adalah pengambilan
keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan
pemilu, rasionalitas nilai adalah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada
calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras,
etnis, dan lain-lain. Sementara itu Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh
menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai
produk kalkulasi antara untung dan rugi.1 Hal ini disebabkan karena pemilih tidak
hanya mempertimbangkan biaya memilih dan kemungkinan suaranya dapat
mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatifalternatif berupa pilihan yang ada. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat
yang kerugiannya paling minim. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para
1 Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan
Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta
pemilih untuk menilai seorang kandidat mencalonkan diantaranya: kualitas,
kompetensi, integrasi kandidat, dan kemampuan calon dalam menyelesaikan
masalah-masalah dihadapi masyarakat.
Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan
kandidat yang dicalonkan memiliki peranan penting dalam menentukan dan
merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian
terhadap isu-isu politik dan kandidat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya.
Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan
negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang
pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan materi kandidat,
label partai yang mengusung kandidat tersebut.
Pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional, dimana faktorfaktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik
seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.
Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan
untuk menilai isu-isu politik tersebut atau dengan kata lain, pemilih dapat
menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Pemilih
yang rasional, individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan
demokratis adalah warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui
konsekuensi dari pilihannya. Kehendak rakyat untuk memilih kandidat yang
memiliki kemampuan mengantarkan kehidupan masyarakat, negara kearah yang
lebih baik merupakan perwujudan dan logika dasar dari seluruh pertimbanganpertimbangan pilihan rasional.
Terdapat beberapa budaya politik, satu diantaranya adalah budaya politik
partisipatif atau disebut juga budaya politik demokrasi, dimana suatu kumpulan
sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang menopang
terwujudnya perilaku memilih demokratis. Dalam pendekatan memilih, politik
uang disebut sebagai pemberian suara kepada kandidat berdasarkan imbalan
materi yang diterima tanpa mempertimbangan aspek-aspek dasar demokratis.
Pemberian suara dalam pemilu berdasarkan politik uang merupakan bentuk
penyuapan
oleh
kandidat,
sebagaimana
diatur
dalam
ketetapan
aturan
penyelenggara pemilu. Dalam institunalisasi pendekatan memilih, masyarakat
rational choice memilih berdasarkan kalkulasi untung rugi berdasarkan materi,
maka hampir tidak bisa dibedakan antara kedua pendekatan tersebut, atau politik
uang merupakan bagian dari pendekatan rational choice.
Namun dalam institusinalisasi rational choice, pemilih diasumsikan
memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup.
Pilihan politik yang masyarakat ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor
kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang
logis, berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan pemilih, dimana
memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan
ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada
pilihan terbaik dan paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self
interest) maupun untuk kepentingan umum. Sedangkan perilaku memilih
berdasarkan logika politik uang adalah masyarakat yang memilih atas dasar materi
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti norma-norma dalam
demokrasi.
Dalam pendekatan rational choice, keputusan yang rasional
tidak hanya semata-mata mempertimbangkan satu aspek saja,
misalnya keuntungan materi, melainkan beberapa asas empirik
dan metode sains yang menjadi faktor untuk menentukan
langkah penentu terhadap permasalahan. Seperti halnya cita-cita
dari tujuan pelaksanaan pemilu. Pendekatan rational choice bukan
ditempatkan pada keuntungan materi namun pada prinsipnya adalah memilih
kandidat yang menguntungkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapi. Ciri ini merupakan perbedaan dari praktek politik uang dengan rational
choice. Pemilih dengan pendekatan rational choice ditempatkan sebagai pemilih
yang dapat mengantarakan untuk memilih pemimpin dianggap mampu membuat
perubahan diantara beberapa pilihan calon, sedangkan masyarakat memilih
berdasarkan faktor politik uang adalah masyarakat yang dianggap pemilih
irrasional, dimana memilih atas dasar kalkulasi keuntungan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya tanpa mempertimbangkan dampak atas pilihannya dan
mengabaikan asas yang paling dasar dalam demokratis. Hal ini berbeda dengan
tujuan pesta politik diarena demokrasi dimana pemilu merupakan tempat memilih
pemimpin yang dapat mengantarkan ke arah perubahan yang lebih baik.
Keberadaan politik uang itu sendiri dalam pemilu adalah merupakan humus dalam
membunuh tatanan demokrasi yang adil dan jujur. Sebagaimana yang tertuang
dalam asas-asas demokratis.
Dalam pelembagaan, teori pilihan rasional diadopsi oleh ilmuwan politik
dari ilmu ekonomi. Karena dalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecilkecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada
dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat setelah
mempertimbangkan untung rugi dan program-program yang disodorkan oleh
kandidat akan menguntungkan diri pemilih dan menguntungkan masyarakat
umum, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih
kandidat yang kerugiannya paling minim atas dampak kebijakan yang dilakukan.
Dalam konteks teori ini, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu
diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan.
Max Weber mengemukakan bahwa rasionalitas nilai adalah pengambilan
keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan
pemilu, rasionalitas nilai adalah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada
calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras,
etnis, dan lain-lain. Sementara itu Ramlan Surbakti dan Dennis Kavanaagh
menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai
produk kalkulasi antara untung dan rugi.1 Hal ini disebabkan karena pemilih tidak
hanya mempertimbangkan biaya memilih dan kemungkinan suaranya dapat
mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatifalternatif berupa pilihan yang ada. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat
yang kerugiannya paling minim. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para
1 Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan
Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta
pemilih untuk menilai seorang kandidat mencalonkan diantaranya: kualitas,
kompetensi, integrasi kandidat, dan kemampuan calon dalam menyelesaikan
masalah-masalah dihadapi masyarakat.
Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan
kandidat yang dicalonkan memiliki peranan penting dalam menentukan dan
merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian
terhadap isu-isu politik dan kandidat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya.
Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan
negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang
pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan materi kandidat,
label partai yang mengusung kandidat tersebut.
Pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional, dimana faktorfaktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik
seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan.
Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan
untuk menilai isu-isu politik tersebut atau dengan kata lain, pemilih dapat
menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Pemilih
yang rasional, individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan
demokratis adalah warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui
konsekuensi dari pilihannya. Kehendak rakyat untuk memilih kandidat yang
memiliki kemampuan mengantarkan kehidupan masyarakat, negara kearah yang
lebih baik merupakan perwujudan dan logika dasar dari seluruh pertimbanganpertimbangan pilihan rasional.