Aspek Hukum Joint Financing Kredit Dengan Pemberian Jaminan Hak Tanggungan

(1)

TESIS

OLEH

ZULKARNAEN

097011034/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZULKARNAEN

097011034/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Dalam pemberian kredit, debitur dapat menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya atau disebut dengan sistem “joint financing”.

Pelaksanaan sistem pemberian kredit secara joint financing di Indonesia dilakukan melalui pembuatan perjanjian kredit oleh masing-masing kreditur dengan debitur secara bilateral dengan pemberian jaminan yang dapat berupa Hak Tanggungan, diikuti dengan pembuatan perjanjian berbagi jaminan antara para kreditur dengan debitur. Dalam sistem pemberian kredit secarajoint financing, para kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur lainnya terutama pada saat pembagian hasil penjualan eksekusi jaminan apabila debitur cidera janji, meskipun berdasarkan UUHT mereka sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang berbeda. Selain Hak Tanggungan, maka perjanjian berbagi jaminan memberi kepastian hukum atas jaminan pelunasan kredit yang telah diberikan oleh para kreditur kepada debitur dan dapat meminimalisir potensi konflik yang ada antara sesama kreditur yang tergabung dalam sistem pemberian kredit secarajoint financingini.

Sita jaminan yang dilaksanakan di atas tanah sebagai objek jaminan yang telah dibebankan dengan Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan karena Negara melalui UUHT telah memberikan kedudukan yang kuat dan kepastian hukum bagi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan berdasarkan sertipikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan setempat. Dengan lahirnya Hak Tanggungan berdasarkan pendaftaran pemberian Hak Tanggungan maka Hak Tanggungan tersebut berlaku dan mengikat terhadap pihak ketiga.

Dalam sistem pemberian kredit secara joint financing, apabila debitur lalai atau melakukan perbuatan wanprestasi (ingkar janji) sehingga menyebabkan terjadinya kredit macet, maka agen jaminan (yang bertindak mewakili, untuk dan atas nama para kreditur) berdasarkan perjanjian kredit dan perjanjian jaminan berwenang untuk mengakhiri perjanjian kredit setelah memperoleh pemberitahuan tentang adanya kelalaian debitur dari para kreditur. Setelah obyek Hak Tanggungan dijual, maka dilaksanakan pembagian hasil penjualan akan tetapi pembagian dilakukan secara pari passu dan proporsional sebesar jumlah kewajiban debitur yang terhutang kepada masing-masing kreditur. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit dan perjanjian berbagi jaminan, bukan berdasarkan peringkat masing-masing kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUHT.


(6)

economic sectors. In the credit activity, the debtors can obtain the loan from the institutions which give the credit separately in order to obtain the whole credit which is called ‘joint financing’.

The giving of loan in the joint financing system in Indonesia is implemented through the credit agreement by both the creditors and the debtors bilaterally. In this case, the debtors will provide security rights or hypothecation, followed by the agreement on the guarantee between the creditors and the debtors. In this joint financing system, the creditors have an equal position, especially at the time when the share of the proceeds of sale of the collaterals is distributed if the debtors default although, according to UUHT, they still have the right to own the collaterals in deferent level. Besides the hypothecation, the agreement on the share of the collaterals is intended to give legal security on the full payment of the credit by the debtors and to minimize the potential conflict among the joint creditors in this joint financing system.

The foreclosure on the land as the hypothecation cannot be implemented because the government, through UUHT, has given legal position to the creditors as the holder of the hypothecation which is based on hypothecation certificate issued by the local Land Office. By the issuance of the Hypothecation certificate based on the registration of the hypothecation, the hypothecation becomes valid and binding to the third party.

In giving the joint financing system, if the debtors default which can cause nonperforming loan, the agents who guarantee (they act as the representatives of and on behalf of the creditors), based on credit and hypothecation agreements, have the right to invoke the credit agreement after they know from the creditors that the debtors default. After the collaterals are sold out, the proceeds of sale is implemented inpari pissuand proportionally to the amount of the debtors’ debts to each creditor. This is regulated in the credit and hypothecation agreements which are not based on the level of each creditor as the holders of the hypothecation as it is regulated in UUHT.


(7)

memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Aspek Hukum Joint Financing Kredit Dengan Pemberian Jaminan Hak Tanggungan”

Didalam penyelesaian tesis ini peneliti banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Jadi tepatlah kiranya pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing utama yang telah memberikan arahan, masukan dan kritikan serta dorongan kepada peneliti.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, selaku dosen pembimbing II, yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian senantiasa mendorong serta


(8)

sejak awal hingga terselesainya penyusunan tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus juga pada kesempatan ini dipercayakan sebagai dosen penguji yang telah berkenan memberikan masukan dan kritikan guna penyempurnaan penyusunan tesis ini.

7. Ibu Hj. Chairani Bustami, S.H, Sp.N, M.Kn, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan kepada peneliti.

8. Seluruh staf pengajar serta segenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu serta wawasan keilmuan selama proses belajar.

9. Khusus kepada orang tua yang peneliti sangat hormati dan cintai yang telah mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang serta berkat doanya juga hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

10. Teristimewa kepada Istri dan putra-putri tercinta peneliti atas kesetiaan, kesabaran, dukungan dan pengorbanannya hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

11. Ibu Ratna Juwita dan Bapak Bonar Pardamean selaku pejabat di Bank Mestika – Medan, yang ditengah-tengah kesibukannya beliau-beliau masih dapat meluangkan waktu dalam memberikan masukan dan gambaran yang sangat berarti dalam penulisan tesis ini.

12. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya kelas Reguler Khusus angkatan 2009 yang selalu memberikan dorongan, semangat dan inspirasi.


(9)

substansi materi maupun metodologinya. Karena itu peneliti mohon kritikan dan masukan yang membangun dari pembaca sekalian untuk penyempurnaannya.

Akhir kata, peneliti berharap tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan dan wacana bagi kita semua.

Medan, Agustus 2011 Penulis,

ZULKARNAEN NIM 097011034


(10)

Nama : ZULKARNAEN

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 18 Pebruari 1977

Alamat : Jalan Bilal Dalam No.20-O Medan

II. PENDIDIKAN

1. SD Negeri 064965 Medan Lulus tahun 1989

2. SMP Negeri 22 Medan Lulus tahun 1992

3. SMA Negeri 3 Medan Lulus tahun 1995

4. S1 Fakultas Hukum Univ. Dharmawangsa Lulus tahun 1999 Medan

5. S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Lulus tahun 2011 USU Medan


(11)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 17

2. Kerangka Konsepsi ... 27

G. Metode Penelitian ... 30

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 30

2. Metode Pengumpulan Data ... 32

3. Alat Pengumpulan Data ... 33

4. Teknik Pengumpulan Data ... 34

5. Analisis Data ... 34

BAB II PELAKSANAAN SISTEM PEMBERIAN KREDIT SECARA JOINT FINANCING DENGAN PEMBERIAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN... 36

A. ManfaatJoint FinancingKredit ... 36

1. Bagi Kreditur ... 36

2. Bagi Debitur ... 37


(12)

D. Perjanjian Berbagi Jaminan antara Bank-Bank sebagai

Kreditur dengan Debitur ... 49

1. Perjanjian Berbagi Jaminan ... 49

2. Proses Pengikatan Dalam Sistem Berbagi Jaminan ... 52

3. Kedudukan Security Agent (”Agen Jaminan”) dalam Perjanjian Berbagi Jaminan ... 54

4. Prosedur Eksekusi Sistem Berbagi Jaminan Pada Umumnya ... 56

E. Pemberian Kredit dengan Jaminan Kredit ... 67

1. Jaminan Kredit ... 67

2. Jenis-jenis Perjanjian Jaminan ... 70

F. Tahap Pembebanan Objek Jaminan Kebendaan dengan Hak Tanggungan ... 72

BAB III. PELAKSANAAN SITA JAMINAN DIATAS TANAH SEBAGAI OBJEK JAMINAN YANG TELAH DIBEBANKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN... 77

A. Pengertian Hak Tanggungan sebagai salah satu bentuk jaminan kredit ... 77

1. Asas-Asas Hak Tanggungan ... 79

2. Objek Hak Tanggungan ... 92

3. Hapusnya Hak Tanggungan ... 93

B. Sita Jaminan Diatas Tanah Yang Sedang Dibebankan Dengan Hak Tanggungan ... 97

BAB IV. PENYELESAIAN KREDIT MACET BAGI PARA KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN BILA DEBITUR WANPRESTASI DALAM SISTEM PEMBERIAN KREDIT SECARAJOINT FINANCING... 105


(13)

B. Saran ... 120 DAFTAR PUSTAKA... 122


(14)

pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Dalam pemberian kredit, debitur dapat menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya atau disebut dengan sistem “joint financing”.

Pelaksanaan sistem pemberian kredit secara joint financing di Indonesia dilakukan melalui pembuatan perjanjian kredit oleh masing-masing kreditur dengan debitur secara bilateral dengan pemberian jaminan yang dapat berupa Hak Tanggungan, diikuti dengan pembuatan perjanjian berbagi jaminan antara para kreditur dengan debitur. Dalam sistem pemberian kredit secarajoint financing, para kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur lainnya terutama pada saat pembagian hasil penjualan eksekusi jaminan apabila debitur cidera janji, meskipun berdasarkan UUHT mereka sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang berbeda. Selain Hak Tanggungan, maka perjanjian berbagi jaminan memberi kepastian hukum atas jaminan pelunasan kredit yang telah diberikan oleh para kreditur kepada debitur dan dapat meminimalisir potensi konflik yang ada antara sesama kreditur yang tergabung dalam sistem pemberian kredit secarajoint financingini.

Sita jaminan yang dilaksanakan di atas tanah sebagai objek jaminan yang telah dibebankan dengan Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan karena Negara melalui UUHT telah memberikan kedudukan yang kuat dan kepastian hukum bagi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan berdasarkan sertipikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan setempat. Dengan lahirnya Hak Tanggungan berdasarkan pendaftaran pemberian Hak Tanggungan maka Hak Tanggungan tersebut berlaku dan mengikat terhadap pihak ketiga.

Dalam sistem pemberian kredit secara joint financing, apabila debitur lalai atau melakukan perbuatan wanprestasi (ingkar janji) sehingga menyebabkan terjadinya kredit macet, maka agen jaminan (yang bertindak mewakili, untuk dan atas nama para kreditur) berdasarkan perjanjian kredit dan perjanjian jaminan berwenang untuk mengakhiri perjanjian kredit setelah memperoleh pemberitahuan tentang adanya kelalaian debitur dari para kreditur. Setelah obyek Hak Tanggungan dijual, maka dilaksanakan pembagian hasil penjualan akan tetapi pembagian dilakukan secara pari passu dan proporsional sebesar jumlah kewajiban debitur yang terhutang kepada masing-masing kreditur. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam perjanjian kredit dan perjanjian berbagi jaminan, bukan berdasarkan peringkat masing-masing kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam ketentuan UUHT.


(15)

economic sectors. In the credit activity, the debtors can obtain the loan from the institutions which give the credit separately in order to obtain the whole credit which is called ‘joint financing’.

The giving of loan in the joint financing system in Indonesia is implemented through the credit agreement by both the creditors and the debtors bilaterally. In this case, the debtors will provide security rights or hypothecation, followed by the agreement on the guarantee between the creditors and the debtors. In this joint financing system, the creditors have an equal position, especially at the time when the share of the proceeds of sale of the collaterals is distributed if the debtors default although, according to UUHT, they still have the right to own the collaterals in deferent level. Besides the hypothecation, the agreement on the share of the collaterals is intended to give legal security on the full payment of the credit by the debtors and to minimize the potential conflict among the joint creditors in this joint financing system.

The foreclosure on the land as the hypothecation cannot be implemented because the government, through UUHT, has given legal position to the creditors as the holder of the hypothecation which is based on hypothecation certificate issued by the local Land Office. By the issuance of the Hypothecation certificate based on the registration of the hypothecation, the hypothecation becomes valid and binding to the third party.

In giving the joint financing system, if the debtors default which can cause nonperforming loan, the agents who guarantee (they act as the representatives of and on behalf of the creditors), based on credit and hypothecation agreements, have the right to invoke the credit agreement after they know from the creditors that the debtors default. After the collaterals are sold out, the proceeds of sale is implemented inpari pissuand proportionally to the amount of the debtors’ debts to each creditor. This is regulated in the credit and hypothecation agreements which are not based on the level of each creditor as the holders of the hypothecation as it is regulated in UUHT.


(16)

A. Latar Belakang

Lembaga Perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat baik materiil maupun spirituil. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan perekonomian dan perdagangan. Seiring dengan adanya perkembangan dunia usaha di Indonesia, hambatan dan kesulitan yang muncul justru berkenaan dengan pengadaan modal. Individu atau perusahaan sering mengalami kesulitan modal (dana) terutama untuk melakukan kegiatan usahanya yang memerlukan biaya yang cukup besar. Untuk itu pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh modal usaha atau untuk memperlancar kegiatan produksi yang diantaranya melalui pemberian kredit bank. Bank sebagaimana telah disebutkan di atas adalah merupakan lembaga keuangan yang


(17)

diperlukan yang dapat memberikan dana berupa pinjaman kepada masyarakat untuk pengembangan usahanya. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai “lembaga perantaraan” antara kelompok orang yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending group).1

Pengertian dari lembaga perantaraan atau disebut juga “lembaga intermediary” adalah bank menyalurkan kembali dana masyarakat yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. 2 Dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat bisa berbentuk giro, tabungan, deposito atau dalam bentuk simpanan lainnya.

Penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank merefleksikan bahwa penyaluran kredit atau pembiayaan tersebut merupakan piranti utama bagi bank untuk memperoleh pendapatannya sekaligus untuk menjaga kelangsungan hidupnya (going concern). Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank akan mengandung dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif berarti bank turut serta meningkatkan kesehjahteraan taraf hidup rakyat banyak sesuai dengan tujuan bank. Sedangkan dampak negatif berarti pemberian kredit oleh bank mengandung risiko berupa kegagalan dalam pengembalian atau pelunasan kredit (kredit macet) yang tidak hanya dapat merugikan pihak bank saja tetapi juga berpengaruh pada masyarakat, karena

1 Adrian, Sutedi, Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank dan

Penyelesaian Kredit Bermasalah, Cipta Jaya, Jakarta 2006, hlm. 11.

2 Agus, Santoso, Kredit Macet: Antara Kerugian Negara atau Korporasi”, Buletin Hukum


(18)

kredit yang diberikan itu bersumber dari dana masyarakat yang disimpan di bank.3 Di Indonesia, masalah yang terkait dengan bank diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (”UU Perbankan”). Adapun Pasal 1 butir 2 UU Perbankan merumuskan bahwa :

”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan ataupun bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Untuk dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu kesepakatan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah penerima kredit sebagai debitur yang dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian. Adapun M. Yahya Harahap memberikan definisi perjanjian sebagai berikut :4

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”

Perjanjian antara bank dengan nasabah penerima kredit disebut juga sebagai Perjanjian kredit dimana perjanjian ini berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang mempunyai definisi sebagai suatu perjanjian dengan pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat

3Munir, Fuady,Hukum Perkreditan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 7. 4Sri Soesilowati,et al,Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya Jakarta, Jakarta, 2005,


(19)

bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.5

Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur (borrower), ada 3 (tiga) macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara yang pertama, debitur memperoleh kredit hanya dari satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara yang kedua, debitur memperoleh kredit dari suatu sindikasi yang anggotanya terdiri atas lembaga-lembaga pemberi kredit. Pada cara yang kedua ini, terdapat satu perjanjian kredit saja, perjanjian antara debitur dengan sindikasi sebagai pemberi kredit, hal ini dikenal dengan “sindikasi kredit”.6

Cara yang ketiga, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dan masing-masing lembaga pemberi kredit tersebut. Secara hukum, masing-masing perjanjian kredit itu tidak berhubungan satu sama lain kecuali apabila di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkancross default clause(“klausula ingkar janji silang”).

Klausul tersebut berisi pernyataan hukum yang mengikat para pihak bahwa apabila debitur mengalami kemacetan kredit yang diperoleh dari lembaga pemberi

5R. Subekti,Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 125.

6Sindikasi kredit atauloan syndication berbeda dengan kredit sindikasi atausyndicated loan.

Sindikasi kredit adalah suatu sindikasi yang peserta – pesertanya terdiri dari lembaga – lembaga pemberi kredit yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu perusahaan yang memerlukan kredit untuk membiayai suatu proyek. Sedangkan yang dimaksud dengan kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh sindikasi kredit.


(20)

kredit yang lain maka kredit yang diterima debitur berdasarkan perjanjian tersebut menjadi demi hukum ingkar janji (default) dan dengan demikian pemberi kredit berhak untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh kredit sekalipun jangka waktu kredit belum berakhir atau masa penyicilan belum tiba saatnya. Hal ini disebut dengan sistem “joint financing”. 7 Sistem inilah yang akan diteliti dalam penelitian hukum ini.

Dalam joint financing kredit diberikan kepada pelanggan perusahaan pembiayaan (multifinance company) atau kepada debitur bank dengan sumber dana yang berasal dari beberapa bank atau bank dengan perusahaan pembiayaan non bank.8

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere, yang berarti

7Sutan Remy, Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya,

PT Kreatama, Jakarta, 2006, hlm. 1.

8 JOINT FINANCING berbeda dengan kredit sindikasi, adapun perbedaan tersebut terletak

dalam bentuk perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Dalam joint financing, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dengan lembaga pemberi kredit, di mana di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkan cross default clause. Agunan yang diberikan oleh debitur kepada para kreditur dalam pemberian kredit tersebut adalah satu atau sama dan para kreditur bersama-sama sebagai pemegang jaminan dengan adanya perjanjian berbagi jaminan di antara mereka, dimana pelaksanaan pemberian kredit tersebut diadministrasikan oleh satu agen yang sama. Sedangkan dalamKREDIT SINDIKASI, para kreditur bersama-sama mengikatkan diri dalam satu perjanjian kredit yang sama dengan agunan yang sama, untuk memberikan kredit kepada debitur pemohon dana. Definisi tersebut diatas mencakup semua unsur-unsur yang penting dari suatu kredit sindikasi. Pertama, kredit sindikasi melibatkan lebih dari satu lembaga pembiayaan dalam suatu fasilitas sindikasi. Kedua, definisi tersebut menyatakan bahwa kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hanya ada satu perjanjian kredit antara nasabah dan sebuah bank peserta sindikasi. Ketiga, definisi tersebut menegaskan bahwa hanya ada satu dokumentasi kredit, karena dokumentasi inilah yang menjadi pegangan bagi semua bank peserta sindikasi secara bersama – sama. Keempat, sindikasi tersebut juga diadministrasikan oleh satu agen yang sama bagi semua bank peserta sindikasi. Bila tidak demikian halnya, maka terpaksa harus ada serangkaian fasilitas bilateral (dua pihak), yang sama tetapi mandiri, antara masing -masing bank peserta dengan nasabah.


(21)

kepercayaan. Misal, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah kepercayaan. 9 Kepercayaan merupakan unsur yang esensial dari kredit bank. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit dari bank oleh debitur.

Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati di dalam perjanjian kredit. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit bank akan mengikuti prosedur pemberian kredit yang berlaku di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama dengan tetap memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang menyatakan bahwa :10

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Pada prakteknya untuk mengetahui bahwa usaha proyek yang dibiayai layak (feasibledan bankable), bank lazim menggunakan proses analisis secara umum yang

9Hermansyah,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2005, hlm. 55.

10Muhammad, Djumhana,Hukum Perbankan di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung,


(22)

dikenal dengan istilahfive Cdalam prinsip perkreditan yakni :11 1. Kepribadian (character)

Bank harus mengetahui kepribadian yang bersangkutan di mana hal ini dapat diketahui melalui gaya bicara, gaya hidup, pergaulan dan track record dengan rekan-rekan bisnis debitur tersebut.

2. Kemampuan (capacity)

Account Officer bank tersebut harus mengetahui proyek yang dibiayai benar-benar feasible atau dalam merealisasi rencana yang ditetapkan sesuai dengan

budgetyang diajukan. 3. Modal (capital)

Bank harus memperhitungkan komponen modal meliputi modal yang disetor, cadangan, laba ditahan dan laba tahun berjalan.

4. Agunan (collateral)

Bank harus meneliti status yuridis bukti kepemilikan dan orang yang menjaminkan.

5. Kondisi ekonomi (condition of economy) debitur

Bank harus mengetahui secara mendalam bisnis yang dijalankan oleh calon debitur tersebut.

Selain itu untuk mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, bank wajib melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking), namun walaupun telah diberikan melalui proses penilaian yang seksama, tetap saja pemberian kredit mengandung resiko kegagalan, sehingga bank harus dapat meyakini bahwa kredit yang disalurkannya tersebut akan dipergunakan sesuai dengan tujuannya oleh debitur dan dapat dikembalikan lagi tepat pada waktunya, sehingga kepentingan dan kepercayaan masyarakat dilindungi dan dipelihara oleh bank.

Adapun di antara kelima prinsip five C tersebut, salah satu prinsip yang paling penting adalah prinsip agunan (collateral), di mana asas ini mensyaratkan adanya

11 Adrian, Sutedi, Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank dan


(23)

barang-barang yang diserahkan oleh debitur kepada bank selaku kreditur sebagai jaminan. Jaminan pemberian kredit berfungsi untuk memberikan keyakinan kepada bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sekaligus memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur lainnya untuk mendapatkan pelunasan piutangnya.12

Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, tentunya membutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam hal pemberian kredit. Walaupun di dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dikatakan bahwa segala kebendaan orang yang berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum itu. Pasal inilah yang menjadi dasar apabila seseorang kreditur meminta sita eksekusi atau sita conservatoir atas seluruh harta debitur di Pengadilan.13

Perikatan ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang yang dipinjam dapat dibagi menjadi dua jenis perikatan. Pertama, transaksi kredit “tanpa jaminan” atau “unsecured transaction” yang dapat dijabarkan sebagai perjanjian yang tidak mempunyai jaminan (not guaranteed) atau tidak ada perlindungan (not

12Thomas, Suyatno,Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 28.

13Munir, Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, 1996, hlm.


(24)

protected) atas pemenuhan pembayaran kembali hutangnya. Dalam hal ini, pelunasan pembayaran kembali hutang, tidak dijamin dengan sesuatu barang yang mempunyai nilai atau harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman. Itulah sebabnya, ditinjau dari aspek bisnis, transaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai unsecured debt

karena merupakan transaksi utang tanpa jaminan sedangkan dari aspek yuridis, disebut tuntutan tanpa jaminan (unsecured claim) dan krediturnya dikategorikan kreditur tanpa jaminan (unsecured kreditur).14

Apabila tidak ada jaminan khusus yang diberikan oleh debitur kepada kreditur maka apabila debitur lalai/cidera janji (wanprestasi) dalam memenuhi kewajibannya membayar hutang maka kreditur harus mengajukan gugatan untuk membuktikan kelalaian debitur dan apabila putusan telah menyatakan debitur lalai, kreditur dapat langsung memohon penetapan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk mengeksekusi benda yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut. Setelah permohonan dikabulkan maka kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1)Herziene Indlansch Reglement (“HIR”) dan Pasal 218 ayat (2) Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (“Rbg”) yang pada intinya menyatakan bahwa penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan Kantor Lelang, oleh pejabat yang menyita barang itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri setempat. Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, Undang-undang

14M. Yahya, Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika,


(25)

memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang dan penjualannya disebut Penjualan Lelang (executoriale verkoopatau

foreclosure sale).

Kedua, transaksi kredit yang “dilindungi jaminan” atau secured transaction, dimana terhadap utang atau pinjaman, debitur memberi barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada kreditur. Apabila debitur ingkar atau lalai memenuhi pembayaran utang sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian, pemenuhan dapat dipaksa (imposed) dengan jalan eksekusi barang jaminan di mana kreditur dilindungi dengan hak preferensi (untuk menerima pelunasan terlebih dahulu disbanding kreditur lainnya) dan hak separatis serta hak parate eksekusi yang menyebabkan kreditur dapat memperoleh pelunasan piutangnya melalui “penjualan lelang” berdasarkan penetapan pengadilan tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu atau melalui penjualan barang jaminan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Dari segi bisnis, transaksi ini dikategorikan sebagai transaksi utang yang dilindungi jaminan (secured debt) dan kreditur berada dalam posisi terjamin (secured creditor) sedangkan dari segi hukum, tuntutan pemenuhan pembayaran utang dilindungi dengan barang jaminan, sehingga dikategorikan sebagai secured claim

dengan jalan menjual atau mengeksekusi barang jaminan melalui pengadilan.15 Adapun dalam transaksi perkreditan atau peminjaman uang, jaminan yang


(26)

diserahkan debitur harus dibuat dengan perjanjian antara pemilik jaminan dengan kreditur atau bank yang disebut perjanjian pengikatan jaminan yang sifatnya

accesoir16.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan. Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.17

Secara umum, benda dalam Pasal 504 KUH Perdata dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu yang bergerak dan yang tidak bergerak, maka tanggung jawab si berhutang menurut Pasal 1131 KUH Perdata, pada asasnya meliputi seluruh harta si berhutang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, dan yang dipakai sebagai patokan untuk mengukur ”yang sudah atau akan ada” adalah saat hutang dibuat.18

Hukum Jaminan dan untuk masing-masing kelompok benda oleh KUH Perdata diberikan lembaga jaminannya masing-masing. Untuk benda bergerak disediakan lembaga jaminan berbentuk gadai (diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata) dan Fidusia (diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia) sedangkan untuk benda tetap (tidak bergerak) disediakan lembaga hipotik untuk kapal

16Accesoir artinya perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian tambahan yang

eksistensinya atau keberadaannya mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.

17R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 62. 18J, Satrio,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti,


(27)

yang terdaftar dengan isi kotor 20 m3(dua puluh meter kubik) atau lebih dan pesawat terbang (diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata) dan Hak Tanggungan untuk benda tidak bergerak berupa tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (”UUHT”).19

Tanah digolongkan benda tidak bergerak menurut sifatnya di mana tiap bagian dari bumi yang dapat diberi batas dan segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung melekat padanya dalam satu kesatuan, yakni tanah dengan segala sesuatu yang melekat dengan tanah, baik organis maupun mekanis, termasuk pekarangan serta kebun dan segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah.20

Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit sebab tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak dan sulit untuk digelapkan dan dapat dibebani dengan hak tanggungan yang merupakan jaminan khusus yang memberikan hak istimewa kepada kreditur sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya, Hak Tanggungan juga selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada dan Hak Tanggungan juga memenuhi asas spesialitas dan publisitas

19Salim, HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 94. 20Kie, Tan ThongStudi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve,


(28)

sehingga dapat mengikat pihak ketiga, memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.

Konsep mengenai kepastian hukum bagi para kreditur yang memberikan kredit dengan sistem joint financing terutama dalam mengeksekusi jaminan Hak Tanggungan apabila debitur ingkar janji atau wanprestasi (default) merupakan topik yang sangat perlu diteliti, karena dalam kasus ini pemberian kredit diberikan oleh lebih dari satu kreditur kepada satu debitur yang sama dalam waktu yang berbeda atau tidak secara bersamaan dengan jaminan berupa tanah sehingga atas tanah tersebut dibebankan lebih dari 1 (satu) peringkat Hak Tanggungan kepada masing-masing kreditur.

Ketentuan Hak Tanggungan sendiri mengatur bahwa suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang.21

Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan maka masing-masing Hak Tanggungan diberikan peringkat yang ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan.22Selanjutnya dalam hal debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya

21Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 TentangHak Tanggungan atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

22Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 TentangHak Tanggungan atas Tanah


(29)

dari hasil penjualan tersebut.23

Dengan ketentuan tersebut maka dalam hal joint financing kredit dengan pemberian jaminan tanah dan bangunan yang diikat dengan Hak Tanggungan tidak menutup kemungkinan akan timbul masalah dikemudian hari terkait dengan proses penjualan objek jaminan, pelunasan hutang dan pelaksanaanjoint financingkredit itu sendiri. Disebabkan karena kreditur kedua dan/atau seterusnya selaku pemegang Hak Tanggungan selain peringkat pertama atau terdahulu menurut ketentuan UUHT lebih memberikan hak preferen atau hak didahulukan pada kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama dibandingkan dengan kreditur kedua dan atau seterusnya guna menjamin pelunasan hutangnya debitur (lebih utama pemegang Hak Tanggungan pertama).

Selain itu, terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat yang membutuhkan dan dengan perkembangan hukum perbankan khususnya mengenai perjanjian pemberian kredit secara joint financing dalam praktek dan kebijakan hukum perbankan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan diatas maka dapat diidentifikasikan permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan sistem pemberian kredit secara joint financing dengan

23Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 TentangHak Tanggungan atas Tanah Beserta


(30)

pemberian jaminan Hak Tanggungan?

b. Apakah di atas tanah yang sedang dibebankan Hak Tanggungan dapat diletakkan sita jaminan oleh pihak ketiga ?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa hukum bagi para kreditur pemegang Hak Tanggungan bila debitur wanprestasi dalamjoint financingkredit tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian mengenai sistem pemberian kredit secara joint financingini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan perjanjian joint financing kredit dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan;

b. Untuk mengetahui apakah di atas tanah yang sedang dibebankan Hak Tanggungan dapat diletakkan sita jaminan oleh pihak ketiga sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para kreditur yang telah memberikan kredit kepada debitur dalam sistemjoint financing.

c. Untuk mengetahui dan mengkaji penyelesaian masalah yang timbul dalam pelaksanaanjoint financingkredit dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan;

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian mengenai sistem pemberian kredit secara joint financing

ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis


(31)

Dikarenakan pemberian kredit denganjoint financing merupakan hal yang masih jarang dilaksanakan dalam sistem hukum di Indonesia maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum perbankan pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu memberikan gambaran yang jelas mengenai aspek hukum pelaksanaanjoint financingkredit dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan di Indonesia

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kalangan perbankan dan Notaris sebagai bahan masukan terutama dalam hal pembuatan akta dan penyelesaian akibat hukum yang berkaitan dengan sistemjoint financing

kredit dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan. E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul ”ASPEK HUKUM JOINT FINANCING KREDIT

DENGAN PEMBERIAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN” belum pernah ada

yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi


(32)

pemberian kredit secarajoint financingini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan yang dapat dijadikan sebagai bahan pegangan teoritis bagi peneliti. Teori adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau gejala.24 Teori juga dapat diartikan sebagai suatu sarana untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.25

Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang djadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.26

Suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.27 Oleh karena itu dalam meneliti tentang aspek hukum pelaksanaan dari sistem pemberian kredit secara joint financing dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan di Indonesia, peneliti menggunakan teori sebagai

24Purnama Sianturi,Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak

Melalui Lelang, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 10.

25Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 hlm.6. 26M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hlm.80. 27Burhan Ashshofa,1996,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm.19.


(33)

pisau analisis untuk menjelaskan permasalahan yang ada yaitu dengan Teori Kehendak. Salah satu teori dari hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak, terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yanng dibebankan terhadap para pihak.28

Teori kehendak telah dihubungkan dengan pandangan ekonomi, politik dan filosofis yang ideologinya bersumber pada pandangan liberal ”laissez faire”. Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu:29

a. ajaran kehendak (wisleer) , di mana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk atau tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan;

b. pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini, bahwa kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan, apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantunng pada suatu penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang keadaan dan peristiwa yang dihadapi bersama;

c. ajaran kepercayaan (Vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya ialah bahwa individu harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan

28Johannes, Ibrahim,Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak

dalam Perjanjian Kredit Bank, CV. Utomo, Bandung, 2003, hlm. 5.


(34)

kemanfaatan bagi dirinya. Adapun kontrak, dalam bahasa Inggris dapat diartikan sebagai berikut :

An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are compentent parties, subject matter, a legal consideration, mutuality agreement, an mutuality obligation… the writing which contains the agreement of parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof of the obligation.

Kata kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis dibandingkan dengan kata perjanjian30. Subekti mengartikan suatu perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan Black’s Law Dictionary, merumuskan pengertianagreementsebagai berikut:

A coming together of minds; a coming together in opinion or determination; the coming together in accord of two minds on a given proposition. The union of two or more minds in a thing done or to be done; a mutual assent to do a thing ….. agreement is a broader term; e.g. an agreement might lack an essential element of a conctract.”

Perjanjian menurut sistem hukum Common Law, dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan. Kata perjanjian juga sering dikaitkan dengan perjanjian yang mempunyai hubungan timbal balik antara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional


(35)

memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda, tidak dibedakan antara pengertian “contract” dengan “overeenkomst”. Kontrak atau perjanjian memiliki unsur-unsur, yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya speerangkat kewajiban. Unsur-unsur kontrak seperti dirinci tersebut dengan demikian secara tegas membedakan kontrak dari suatu pernyataan sepihak. Para pihak melakukan kontrak dengan beberapa kehendak, yaitu:

- kebutuhan terhadap janji-janji;

- kebutuhan terhadap janji-janji antara dua atau lebih pihak dalam suatu perjanjian;

- kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban; dan - kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakkan hukum.

Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari 2 (dua) dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perjanjian dalam hukum perdata merupakan bagian dari hukum perikatan yang terdapat pada buku III KUH Perdata. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”


(36)

Pasal tersebut menentukan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan disamping undang-undang. Perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu31. Sedangkan pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan pada Buku III Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Sistem yang dianut dalam Buku III KUH Perdata ini juga lazim dinamakan sistem terbuka yang merupakan kebalikan dari sistem Buku II KUH Perdata yang bersifat tertutup32. Dalam perjanjian, dikenal asas kebebasan berkontrak atau sering disebut juga

freedom of contract 33. Hal ini mempunyai hubungan erat dengan teori kehendak sebagaimana diuraikan di atas. Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;

b. tidak dilarang oleh undang-undang; c. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan

d. sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

31Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,

Alumni, Bandung, 1996, hal. 1.

32R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,Op. Cit., hlm. 128.

33Munir Fuady,Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti,


(37)

Terdapat 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian secara umum menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian, yaitu sebagai berikut:34

- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Maksudnya adalah bahwa para pihak yang perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan/kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Maksudnya cakap adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal dan pikikran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu :

a. Orang-orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata, orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Sedangkan menurut Pasal 47 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan;

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan

Menurut Pasal 1330 juncto Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan pemboros;

c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Misalnya, orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.

- Suatu hal tertentu, artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.

- Suatu sebab yang halal, artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

34A. Patra M, Zen dan Uli Parulian Sihombing (Penyunting), Hukum Perdata di Indonesia,


(38)

Syarat ke 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, karena mengenai subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke 3 dan 4 dinamakan syarat-syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan dalam perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap, atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak. Sedangkan apabila syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).

Suatu kontrak yang telah dibuat secara sah mempunyai ikatan penuh seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas perjanjian ini dikenal dengan pacta sunt servanda yang termuat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menentukan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali ada kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang sah oleh undang-undang dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Berdasarkan 2 (dua) ketentuan inilah, dapat disimpulkan bahwa Buku III KUH Perdata dianggap menganut sistem terbuka dan merupakan kaidah hukum yang


(39)

mengatur, artinya selain memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian, para pihak juga dapat membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri sepanjang isinya tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.35

Berlakunya sebuah perjanjian mengikat kepada para pihak sesaat setelah tercapainya kata sepakat. Asas ini dikenal dengan asas konsensual. Oleh karenanya perjanjian tersebut telah mengikat kepada semua pihak, maka perubahan ataupun penambahan hanya mungkin apabila disepakati oleh masing-masing pihak.

Dalam transaksi perbankan, bentuk perjanjian sangat menentukan terhadap isi bentuk dari fasilitas perbankan yang diperjanjikan, termasuk pula mengenai klausula penyelesaian sengketa. Pihak-pihak yang melakukan transaksi yaitu bank dan nasabah pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk menentukannya. Setelah ditentukan, maka masing-masing pihak harus mentaatinya seperti halnya mentaati sebuah undang-undang karena perjanjian dilihat secara formil dan materiil mempunyai kedudukan yang sama dengan undang. Perjanjian dan undang-undang sama-sama merupakan sumber perikatan dan isi dari dari sebuah perjanjian nilainya sama dengan undang-undang.

Perjanjian kredit dan perjanjian berbagi jaminan yang dibuat dalam rangka pemberian kredit secarajoint financingyang dilakukan oleh para pihak merupakan suatu

35Johannes, Ibrahim,Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak


(40)

perbuatan hukum yang mengandung risiko36 sehingga harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian terutama terutama bagi kreditur yang memberikan kredit apabila debitur wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemberian kredit secarajoint financing.

Risiko (risk) menurut George E. Rejda adalah ”ketidakpastian yang memungkinkan lahirnya peristiwa kerugian (loss)”, sedangkan menurut Arthur Williams dan Richard, M.H., ”risiko adalah suatu variasi dari hasil-hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu”. Risiko itu hampir pasti terdapat pada segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Ketika risiko itu datang, akibat dari risiko tersebut tidak dapat diprediksikan dengan tepat.Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), treasury dan investasi serta pembiayaan perdagangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam SEBI No. 5/21/DPNP. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko kredit sebagaimana disebut di atas, yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank.

Hal inilah yang menjadi dasar digunakannya teori kehendak dalam penelitian ini . Teori kehendak menjadi sangat relevan untuk ditinjau karena teori ini menjadi suatu dasar untuk melindungi para kreditur dalam sistem pemberian kredit secara joint financing, baik dalam perjanjian kredit maupun dalam perjanjian berbagi jaminan dari

36

Dalam hal ini pengurus bank wajib menerapkan manajemen resiko kredit secara efektif pada setiap penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait dengan transaksi dimaksud, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia nomor 5/8/PBI/2003 tentangPenerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum(“PBI No. 11/25/PBI/2009”).


(41)

risiko kredit sebagaimana diuraikan di atas.

Perjanjian kredit dalam sistem pemberian kredit secara joint financing selalu dibuat secara bilateral antara masing-masing kreditur dengan 1 (satu) debitur yang sama. Sedangkan yang menjadi objek jaminan di antara para kreditur tersebut adalah 1 (satu) benda tidak bergerak (tanah) yang sama. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 Juncto Pasal 5 UUHT yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari 1 (satu) hubungan hukum atau untuk 1 (satu) utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum dan suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari 1 (satu) Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan dari 1 (satu) utang. Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari 1 (satu) Hak tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya.

Dalam pelaksanaannya, hal ini dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum apabila debitur wanprestasi atau cidera janji dikemudian hari karena para kreditur tidak memberikan kredit secara bersamaan kepada debitur tersebut. Masing-masing kreditur memberikan kredit di waktu yang berbeda tetapi dengan 1 (satu) jaminan tanah yang sama. Kreditur pertama sebagai pemegang Hak Tanggungan pertama adalah yang berhak mengajukan eksekusi dan akan memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya bila debitur wanprestasi. Dengan demikian hal ini akan menimbulkan kerugian bagi kreditur-kreditur lainnya.


(42)

kredit secarajoint financing. Perjanjian ini menunjukkan eksistensi dari teori kehendak, dimana para pihak dapat mengesampingkan suatu ketentuan undang-undang yang berlaku (dalam hal ini UUHT) terkait peringkat-peringkat pemegang Hak Tanggungan dengan adanya suatu kehendak dari para kreditur yang dinyatakan dalam perjanjian berbagi jaminan tersebut untuk mengikatkan diri berbagi jaminan yang sama dan dengan kedudukan yang sama.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan penggambaran hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut.37Adapun kerangka konsepsi dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Kredit adalah

”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.38

2. Perjanjian Kredit adalah

”Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian pinjam uang yang

37Sri Mamudji,et al.,Metode Penelitian dan Penelitian Hukum, Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 4.


(43)

pada hakekatnya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok ajaran:

a. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya “konsensuil”.

b. Yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang merupakan dua buah perjanjian yang masing-masing bersifat “konsensuil” dan “riil”.”39

3. Bank adalah

”Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”40 4. Kreditur adalah,

Pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. 5. Debitur adalah,

Pihak yang berhutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. 6. Joint financingadalah,

Pemberian kredit kepada pelanggan perusahaan pembiayaan (multifinance company) atau kepada debitur dengan sumber dana yang berasal dari beberapa bank yang biasanya menanggung sebagian besar dana dengan perusahaan

39 Maria Kaban,Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian, Universitas Sumatera Utara, Sumatera

Utara, 2009, hlm. 1.

40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas


(44)

pembiayaan dan/atau bank lainnya.41 7. Kredit Sindikasi adalah,

Kredit Sindikasi adalah suatu kredit yang diberikan oleh 2 (dua) atau lebih Lembaga Pemberi Kredit dalam syarat dan kondisi yang sama, berdasarkan dokumen yang sama dan pengurusan administrasinya dilaksanakan oleh seorang agen yang sama.42

8. Jaminan Kredit adalah,

Penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang.43

9. Hak Tanggungan adalah,

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (”UUPA”) berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.44

10. Perjanjian Berbagi Jaminan adalah,

41 Dewan Standar Akuntansi Keuangan, “Buletin Teknis Nomor 2 : Akuntansi untuk

Pembiayaan Bersama atas Fasilitas Kredit (Joint Financing on Credit Facility),” http://www.iaiglobal.or.id/prinsip_akuntansi/open.php?id=2&pa=5, ditelusuri 9 Desember 2010.

42Stanley Hurn,Syndicated Loan (A Handbook For Banker and Borrower), Woodhead-Faulkner,

1990, hlm. 1. sebagaimana dikutip dari Sutan Remy Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya, loc. Cit., hlm 2.

43Patra M.Zen, Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007

hlm. 139.


(45)

Suatu perjanjian yang dibuat oleh dan antara para kreditur yang berisikan antara lain mengenai penunjukan/pengangkatan diantara para kreditur sebagai agen jaminan, persetujuan para kreditur untuk membagi setiap pembayaran atas sejumlah uang yang merupakan hasil penagihan berdasarkan perjanjian (baik itu perjanjian kredit maupun perjanjian jaminan) secara paripassu tanpa adanya suatu hak istimewa apapun untuk dan diantara masing-masing kreditur. Dalam perjanjian ini sebaiknya debitur juga diikut sertakan menandatanganinya sebagai suatu bentuk penegasan bahwa pembagian jaminan ini juga telah diketahui dan disetujuinya.

11. Agen Jaminan adalah,

Pihak yang ditunjuk dan diberikan kuasa oleh para kreditur untuk bertindak untuk dan atas nama para kreditur, menandatangani, mengadministrasikan dan melaksanakan setiap perjanjian jaminan dan dokumen jaminan, dan melakukan setiap tindakan yang diperlukan untuk dan berkaitan dengan perjanjian jaminan tersebut.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini, pengolahan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi permasalahan hukum yang diteliti.


(46)

Dengan demikian jenis penelitian atau metode analitis data45 yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif (juridis normative approach). Adapun penelitian ini bermaksud untuk menarik asas-asas hukum positif tertulis yang ada di dalam UU Perbankan, UUHT, KUH Perdata, Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) serta peraturan lainnya yang terkait. Peneliti dalam penelitian ini bermaksud untuk menelaah sistematika dan perangkat kaidah-kaidah yang terhimpun di dalam suatu kodifikasi atau peraturan perundang-undangan di bidang hukum jaminan dan perjanjian kredit. Selain itu, peneliti juga hendak meneliti taraf konsistensinya apabila terjadi permasalahan-permasalahan hukum di bidang pemberian kredit perbankan secarajoint financingdi Indonesia.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah penelitiandeskriptif analitis, di mana dalam tesis ini peneliti ingin menggambarkan masalah yang akan diteliti yaitu penerapan hukum terkait pelaksanaan pemberian kredit oleh bank-bank sebagai kreditur secara joint financing

dan bagaimana bentuk perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap kreditur beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian joint financing guna memperoleh pelunasan piutangnya apabila debitur cidera janji (default) atau wanprestasi.46 Pengkajian dan analisa dilakukan terhadap norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum dikaitkan dengan UU Perbankan, KUH Perdata, UUHT, UU PT dan

peraturan-45Sri Mamudji,et al.,Metode Penelitian dan Penelitian Hukum,Op, Cit, hlm. 4. 46Mukti Fajaret al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, hlm 183.


(47)

peraturan terkait lainnya.47

Dalam hal ini diarahkan untuk menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai aspek hukum pemberian kredit secarajoint financing di Indonesia, sehingga diharapkan dapat diperoleh penjelasan bagaimana pelaksanaan pemberian kredit secara joint financing kepada debitur dengan suatu pemberian jaminan berupa Hak Tanggungan oleh debitur tersebut, terutama apabila debitur ingkar janji (default) dan bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perbankan dan peraturan terkait lainnya apabila ternyata debitur tidak mampu membayar hutangnya kembali kepada para kreditur.

2. Metode Pengumpulan Data

Oleh karena jenis penelitiannya adalah juridis normatif maka peneliti memperoleh data dengan cara memilah dan membaca kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder.48

Data ini tidak diperoleh langsung dari sumbernya dan biasanya diperoleh dengan penelusuran kepustakaan yang terdiri dari 3 (tiga) sumber, yaitu :49

1. Sumber hukum primer

Yaitu data yang meliputi bahan hukum, dan berasal dari aturan yang mengikat seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Yurisprudensi dan peraturan dari

47Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research,Tarsito, Bandung, 1978, hlm 132.

48M. Hariwijaya dan Triton P.B,Pedoman Penelitian Ilmiah Proposal dan Skripsi: Landasan

Teori, Hipotesis, Analisis Statistik, Pedoman Teknis, Bahasa Ilmiah, Pendadaran dan Yudisium, Oryza, Yogyakarta, 2007, hlm. 59.


(48)

zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Dalam penelitian ini data yang digunakan berasal dari UU Perbankan, UU HT, UU PT, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), PBI No. 11/25/PBI/2009, Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/9/DPNP tahun 2005 Perihal Sistem Informasi Debitur (“SEBI No. 7/9/DPNP tahun 2005“) dan peraturan terkait lainnya. 2. Sumber hukum sekunder

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya seperti laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, makalah pertemuan ilmiah, skripsi dan tesis yang berhubungan dengan penelitian peneliti.

3. Sumber hukum tersier

Yaitu bahan referensi, bahan acuan atau bahan rujukan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Bahan acuan ini membantu peneliti dalam memperoleh informasi tertentu secara cepat. Dengan demikian peneliti bisa secara langsung menuju kepada informasi yang dimuat dalam bahan acuan (sumber) tersier tersebut. Dalam penelitian ini. sumber tersier yang digunakan oleh peneliti adalah ensiklopedi dan kamus sebagai bahan rujukan untuk memperoleh informasi berupa pengertian suatu kata atau istilah yang diperlukan dalam penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara sebagai berikut:

1. Wawancara dimaksudkan melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan narasumber untuk mendapatkan informasi50. Informasi tersebut dihimpun dari narasumber yang telah ditentukan dengan menggunakan pedoman wawancara sehingga diperoleh data primer untuk memperkuat jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan. Narasumber yang telah ditentukan tersebut, yakni : Pejabat Bank Mestika, khususnya bagian kredit yang menangani pemberian kredit secara joint financing dan Notaris di Kota Medan


(49)

sebagai pembuat akta yang berhubungan denganjoint financingkredit.

2. Studi dokumen, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan, dilaksanakan 2 (dua) tahap penelitian antara lain :

1. Penelitian Lapangan (field research)

Dilakukan penelitian ke lapangan untuk memperoleh bahan hukum primer melalui narasumber yaitu pejabat bank khususnya yang menangani bagian kredit agar didapat gambaran mengenaijoint financingkredit.

2. Penelitian Kepustakaan (library research)

Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah diinventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaahan dilakukan sesuai dengan


(50)

tujuan penelitian yang telah ditetapkan.51

Adapun analisis data difokuskan pada kegiatan mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini yaitu KUH Perdata, UU Perbankan, UUHT, UU PT, PBI No. 11/25/PBI/2009, PBI No. 7/8/2005, SEBI No. 7/9/DPNP tahun 2005 dan peraturan terkait lainnya serta memilah-milah pendapat para sarjana yang berkaitan dengan penelitian hukum ini dan karya tulis ilmiah lainnya.

Bahan Hukum sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan bahan hukum primer yang diperoleh dari penelitian lapangan kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.52 Metode pendekatan kualitatif yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal bersifat umum untuk selanjutnya menuju kepada hal-hal yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan dalam suatu penelitian. sehingga memungkinkan menghasilkan kesimpulan yang menjawab permasalahan yang telah ditetapkan.

51Ibid., hlm 67. 52Ibid., hlm. 67.


(51)

BAB II

PELAKSANAAN SISTEM PEMBERIAN KREDIT SECARA SECARA

JOINT FINANCINGDENGAN PEMBERIAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

A. ManfaatJoint FinancingKredit 1. Bagi Kreditur

Pemberian Kredit dalam jumlah besar untuk membiayai proyek-proyek tertentu secara joint financing 53 kepada debitur dari dan oleh kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lainnya sangat bermanfaat dan memberikan beberapa keuntungan. Beberapa manfaat dan keuntungan tersebut bagi kreditur atau bank antara lain :54

1. Bagi bank yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dengan debitur, keikut sertaannya memberikan kesempatan baginya untuk menjalin hubungan dengan debitur yang bersangkutan. Bagi bank hubungan ini sangat menguntungkan terutama apabila debitur merupakan pengusaha besar yang memiliki reputasi sangat bagus dalam dunia bisnis.

2. Untuk mengatasi masalah Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau

Legal Lending Limit. Apabila permintaan kredit yang diajukan oleh debitur bank sedemikan besar jumlahnya sehingga tidak mungkin dibiayai seluruhnya oleh bank itu sendiri tanpa melanggar BMPK, sedangkan bank tidak ingin kehilangan (melepas) hubungan dengan debitur tersebut. Bila hal ini terjadi, sudah tentu merupakan kerugian besar bagi bank tersebut dan bahkan tidak mustahil bank lain yang menampung debitur tersebut akan mengambil alih semua kredit yang telah diberikannya.

3. Menambah salah satu pendapatan bank yang berasal fee based income

disamping pendapatan atas bunga kredit. Perlu dipahami bahwa pada pemberian kredit biasa, bank pemberi kredit hanya akan memperoleh bunga atas pemberian kredit itu dan tidak dimungkinkan untuk untuk menarik pembayaranfeedebitur.

53Pada prinsipnya sifat pemberian kredit secarajoint financinghampir sama dengan pemberian

kredit secarasindikasi, karena sama-sama diberikan oleh lebih dari satu kreditur pada seorang debitur untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu dalam jumlah besar sehingga secara umum manfaat kedua jenis kredit tersebut adalah hampir sama.

54Sutan Remy, Sjahdeini, Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya,


(52)

4. Memungkinkan bagi suatu bank untuk berbagi resiko dengan bank-bank lainnya. Bentuk kredit ini adalah suatu teknik bagi suati bank untuk dapat menyebarkan risiko dalam pemberian kredit. Karena itu biasanya tidak cocok untuk kredit yang jumlahnya kecil.

5. Menjaga likuiditas dari bank itu sendiri karena kredit dalam jumlah yang sangat besar sangat berpengaruh bagi bank yang terbatas likuiditasnya.

6. Meningkatkan reputasi bank dikalangan perbankan dan dunia usaha pada umumnya.

2. Bagi Debitur

Karena tidak semua debitur bisa mendapat fasilitas kreditjoint financingdan tidak semua kreditur bersedia memberikan fasilitas tersebut, maka bagi debitur tentunya dalam hal ini sangat banyak memberikan manfaat. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut :55

1. Merupakan cara cepat untuk memperoleh pembiayaan dibandingkan dengan menerbitkan obligasi (bonds) atau menjual saham dipasar modal.

2. Tidak terlalu menuntut debitur untuk melakukan pengungkapan (disclosure) mengenai hal-hal yang menyangkut perusahaannya, seperti halnya apabila debitur harus menerbitkan obligasi (bonds) atau menerbitkan saham-saham baru (equity issue) melalui pasar modal. Untuk memperoleh kredit, debitur tidak harus memperoleh rating dari suatu lembaga pemeringkat (rating agency) seperti halnyaMoody’satauStandard & Poor’s.

3. Memungkinkan bagi debitur untuk memupuktrack recorddengan banyak bank. Hal ini sangat menguntungkan bagi debitur karena memberikan kesempatan bagi debitur untuk dikemudian hari berhubungan dalam memperoleh berbagai fasilitas perbankan yang diperlukannya dengan kreditur atau bank lainnya yang sebelumnya belum dikenal oleh debitur dan belum mengenal debitur.

4. Pemberian kredit dipublikasikan, dengan demikian dicatat oleh kalangan perbankan, maka pemberian kredit tersebut kepada debitur sudah tentu menambah reputasi atau kredibilitas dari debitur tersebut dimata dunia perbankan, lebih-lebih lagi bila para krediturnya terdiri dari bank-bank yang ternama. Meningkatnya reputasi debitur tersebut akan sangat sangat menguntungkan dikemudian hari apabila debitur tersebut perlu menggunakan


(53)

fasilitas perbankan tidak hanya dari kreditur atau bank yang ikut dalam joint financingkredit namun juga dari bank-bank lain diluar itu.

Selain itu manfaat lainnya sehingga dipilih sistem joint financing kredit dengan kreditur lainnya bagi debitur adalah :

a. sebagai salah satu jalan keluar bagi debitur yang membutuhkan dana guna kelangsungan atau pengembangan proyek yang telah berjalan namun karena aturan-aturan dan kebijakan pada suatu bank maka tidak memungkinkan untuk dilakukantop up(penambahan hutang);

b. agar tetap terjalin hubungan baik dengan kreditur pertama atau sebelumnya, terlebih lagi bila dikarenakan si debitur dapat tumbuh dan besar karena binaan dari kreditur pertama;

c. untuk menekan jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh debitur jika dibandingkan harus mengajukan permohonan kredit baru pada kreditur baru lainnya sedangkan proyek usaha debitur masih dalam tahap pembangunan atau belum dapat memperoleh penghasilan maksimal karena baru sedang berjalan;

B. Skema Pemberian KreditJoint Financing

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara kreditur dan debitur wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian, yaitu perjanjian kredit. Namun sebelum sampai tahap tersebut, umumnya bank akan melakukan analisa atas kelayakan permohonan kredit. Selanjutnya bank akan menyetujui atau menolak permohonan kredit. Jika bank menyetujuinya, maka kepada calon debitur diserahkanoffering letter


(1)

pelaksanaan pemberian kredit secara joint financing bagi bank-bank umum dan para Notaris terutama menyangkut ketentuan-ketentuan pokok yang harus diatur dalam suatu perjanjian berbagi jaminan dalam pelaksanaan sistem pemberian kredit ini agar dapat lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada bank-bank sebagai kreditur maupun debitur yang membutuhkan dana.

2. Mengingat terdapat asas “hakim tidak boleh menolak perkara yang datang kepadanya” dan segala perkara di pengadilan berada di tangan hakim, maka Negara harus terus menyelenggarakan pendidikan bagi para aparat penegak hukumnya, terutama hakim di Pengadilan agar dapat terus mempelajari, mengikuti dan menegakkan segala peraturan-peraturan berkaitan dengan hukum acara perdata dan hukum jaminan pada khususnya. Dengan demikian, tujuan Negara untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam dunia bisnis di Indonesia dapat tercapai khususnya bagi kalangan perbankan dan investor.

3. Negara perlu membuat suatu aturan lebih lanjut yang mengakomodir ketentuan mengenai eksekusi jaminan dalam sistem pemberian kredit secara joint financing terutama ketentuan mengenai klausula ingkar janji silang dan cross collateral, agar putusan hakim terkait dengan permasalahan atau sengketa hukum dalam pemberian kredit secara joint financing dapat lebih memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para kreditur yang beritikad baik.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashsofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Bachtiar, Herlina Suyati, Serial Contoh Akta Notaris dan Akta Di Bawah Tangan Buku I Mengenai Akta-Akta Umum Perbankan & Perusahaan Multi Finance, CV. Mandar Maju , Bandung, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,Alumni, Bandung, 1996.

Budiono Kusumohamidjojo,Panduan Untuk Merancang Kontrak, Gramedia, Jakarta, 2001.

Djuhaendah, Hasan,Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Dunne, Van, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Dewan Kerja Sama Ilmu Belanda dengan Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta, 1987.

Echols, John dan Hassan Shadily,Kamus Indonesia Inggris : An Indonesian-English Dictionary, PT Gramedia, Jakarta, 1997.

Fajar, Mukti. Et. al, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Fuady, Munir,Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, 1996. ___________.Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung.

___________. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.


(3)

___________. Hukum Perkreditan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

___________. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Harahap, M. Yahya, Eksekusi Hak Tanggungan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Menyongsong Berlakunya UU Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah”, Yogyakarta, 1996.

___________,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

___________. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

___________. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hariwijaya, M dan Triton P.B, Pedoman Penulisan Ilmiah Proposal dan Skripsi: Landasan Teori, Hipotesis, Analisis Statistik, Pedoman Teknis, Bahasa Ilmiah, Pendadaran dan Yudisium, Oryza, Yogyakarta, 2007.

Hermansyah,Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

HS, Salim,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2003. Ibrahim, Johannes, Cross Default & Cross Collateral Dalam Upaya Penyelesaian

Kredit Bermasalah,PT Refika Aditama, Bandung, 2004.

____________, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, CV. Utomo, Bandung, 2003. Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. Lubis, Muhammad Yamin, et. al, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju,

Bandung, 2010.

Mamudji, Sri, Et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.


(4)

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2005.

Kaban, Maria, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian, Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara, 2009.

Kie, Tan ThongStudi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007.

Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Sari, Elsi, Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, Grasindo, Jakarta, 2007.

Satrio, J, Hukum Jaminan Hak-hak Jaminan Kebendaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

________.Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah-Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, Bandung, 1999.

Sianturi, Purnama, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008.

Sjahdeini, Sutan Remy, Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya, PT. Kreatama, Jakarta, 2006.

Subekti, R,Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. ________.Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005. Sukanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986. Surakhmad, Winarno,Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 2005. Suyatno, Thomas, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 2003.


(5)

Soewarso, Indrawati, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 2002.

Sutedi, Adrian, Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank dan Penyelesaian Kredit Bermasalah, BP Cipta Jaya, Jakarta, 2006.

Yurisprudensi Indonesia Penerbitan 1985-I, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta 1992.

Zen, Patra M., Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.

Zen, A. Patra M, dan Uli Parulian Sihombing (Penyunting), Hukum Perdata di Indonesia, LBH, Jakarta, 2005.

B. Tulisan Lain

Dewan Standar Akuntansi Keuangan. “Buletin Teknis Nomor 2 : Akuntansi untuk Pembiayaan Bersama atas Fasilitas Kredit (Joint Financing on Credit Facility)” http://www.iaiglobal.or.id/prinsip_akuntansi/open.php?id=2&pa=5. Diunduh 9 Desember 2010.

Firdaus, Misbah. “Hukum Jaminan dan Pemberian Kredit Perbankan” firdaus http://www.docstoc.com/docs/36060209/hukum-jaminan-dan-pemberian-kredit perbankan. Diunduh 23 Nopember 2010.

Lamandasa, Raimond Flora. “Penegakan Hukum” http://www.scribd.com/doc/ 2953532/Penegakkan-Hukum. Diunduh 2 Desember 2010.

Poetra, Robertus Radio. “Aspek kontraktual Joint Financing Dalam Lembaga Pembiayaan” http://210.57.222.58/go.php?id=gdlhub-gdl-s2-2010-poetrarobe-12298&PHPSESSID=fb688e772e96670b5ed82380bb2f43e8. Diunduh 23 Nopember 2010.

Santoso, Agus, Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Korporasi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 1 : 31, 2010.

Z, Yahya, A. “Untuk Hukum dan Keadilan”.

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html, diunduh 2 Desember 2010.


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Hindia Belanda,Herziene Indlansch Reglement.

Hindia Belanda,Rechtsreglement Voor de Buitengewesten.

Indonesia. Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.UU No. 4 tahun 1996. LN No. 1996-42. TLN No. 3632.

Indonesia. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.UU No. 10 tahun 1998. LN No. 182.

Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU No. 40 tahun 2007. LN No. 106. TLN. No. 4576.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti. Jakarta : Pradnya Pramita, 1999.