Bakau Merah ( Rhizophora apiculata )

  Pengertian Ekosistem Mangrove

  Ekosistem mangrove merupakan mata rantai utama yang berperan sebagai produsen dalam jarring makanan dalam ekosistem pantai. Selain itu ekosistem mangrove yang mempunyain stabilitas tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting, dan udang, sehingga secara tidak langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove. Mangrove juga mempunyai fungsi fisik bagi pantai yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan sehingga mencegah banjir, dan penyerapan limbah yang mencemari perairan (Indriyanto, 2006).

  Dalam struktur ekosistem mangrove terdiri dari komponen tak hidup (abiotik) dan komponen hidup (biotik). Komponen abiotik dari suatu ekosistem termasuk substansi anorganik seperti nutrien, mineral, air, oksigen, karbondioksida dan substansi organik seperti tanaman yang mati, dan hewan yang membusuk oleh karena mikro organisme. Komponen biotik terdiri dari tiga tipe organisme, yaitu dikelompokkan menurut fungsinya dalam suatu ekosistem yaitu organisme produser, organisme konsumer dan organisme decomposer ( Kusmana, 2002).

  Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove oleh hutan mangrove antara lain mengandung N dan P yang tinggi dan akan terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Oleh karenanya, diduga terdapt hubungan erat antara N dan P serasah dengan N dan P dyang terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton, dan makrozoobentos. Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh udang, ikan , dan kepiting (Nuddin, 2010).

  Kondisi Ekosistem Mangrove

  Adaptasi pohon mangrove hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon mangrove dari empat genera (Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan

  

Bruguiera ), memiliki kemampuan adaptasi yang khas untuk dapat hidup dan

berkembang pada substrat berlumpur yang sering bersifat asam dan anoksik.

  Kemampuan adaptasi ini meliputi: adaptasi terhadap kadar oksigen rendah pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas bertipe cakar ayam, penyangga, papan dan lutut (Arief, 2003).

  Tanah terjadi dari pelapukan batuan yang merupakan suatu campuran dari beberapa unsur. Tanah aluvial ialah tanah yang berasal dari endapan lumpur yang dibawa melalui sungai-sungai. Tanah ini bersifat subur sehingga baik untuk pertanian bahan-bahan makanan. Dataran aluvial yang luas terdapat di daerah Sumatera bagian timur, Jawa bagian utara, Kalimantan bagian selatan dan tengah dan Papua bagian selatan (Notohadiprawiro, 1998).

  Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Penelitian mengenai fauna mangrove di Indonesia masih terbatas, baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan mangrove mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung Karawang, Segara Anakan – Cilacap, Segara Anak – Jawa Timur, Pulau Rambut, Sulawesi (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Ambon, Sumatera (Lampung, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara), dan Kalimantan Barat (LPP Mangrove, 2008).

  Bakau Merah ( Rhizophora apiculata )

  Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora Spesies : Rhizophora apiculata.

  Rhizophora apiculata atau yang biasanya disebut dengan bakau merah

  memiliki ciri yang sangat khas yaitu memiliki tulang daun berwarna merah kecoklatan dan daun meruncing dan menyempit. Buahnya atau yang disebut propagul termasuk tipe vivipari dimana buah telah berkecambah saat di pohon, memilik perakaran yang sangat sangat rapat dan biasanya disebut dengan akar tunjang dan akar gantung. Pohon besar, dengan akar tunjang yang menyolok dan bercabang-cabang. Ketinggian pohon dapat mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm, memiliki perakaran yang khas hingga dapat mencapai 5 m, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Daun tunggal, terletak berhadapan, terkumpul di ujung ranting, dengan kuncup tertutup daun penumpu yang menggulung runcing. Helai daun eliptis, tebal licin serupa kulit, hijau atau hijau muda kekuningan, berujung runcing, bertangkai, 3,5-13 × 7-23 cm. Daun penumpu cepat rontok, meninggalkan bekas serupa cincin pada buku-buku yang menggembung (Surya dkk, 2010).

  Warna daun berwarna hijau tua, bentuk elips meruncing. pucuk daun berwarna merah. Bunga berwarna merah kecoklatan dengan formasi 2-4 bunga per kelompok. Batang agak mengkilap. Bunga berkelompok dalam payung tambahan yang bertangkai dan menggarpu di ketiak, 2-4-8-16 kuntum, berbilangan 4. Tabung kelopak bertaju sekitar 1,5 cm, kuning kecoklatan atau kehijauan, melengkung. Daun mahkota putih berambut atau gundul agak kekuningan, bergantung jenisnya. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Buah bakau perhatikan hipokotilnya yang berwarna hijau memanjang.

  Gambar 1 Propagul Rhizophora apiculata Buah berbentuk telur memanjang sampai mirip buah pir yang kecil, hijau coklat kotor.tumbuh memanjang, silindris, hijau, kasar atau agak halus berbintil-bintil.

  Dekomposisi serasah

  Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan atau kebur. Serasah yang telah membusuk (mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus (bunga tanah), dan akhirnya menjadi tanah. Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sunarto, 2003).

  Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis- jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya (Kusmana, 2000).

  Keekfektifan bakteri, fungi, dan hewan lainnya dalam dekomposisi serasah ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah secepat jatuhnya serasah dari tanaman. Dekomposisi yang lengkap membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan bertahun-tahun. Bahan organik dapat dihancurkan melalui dua proses utama, yaitu melalui dekomposisi aerobik dan anaerobik (fermentasi). Kedua proses dekomposisi tersebut dapat memberikan manfaat seperti mengurangi total masa bahan organik, meningkatkan presentasi unsur hara dan menghilangkan bau busuk, bahan toxik dan pantogen yang mungkin ada pada bahan organik tersebut. Laju dimana bahan organik dapat dihancurkan sangat ditentukan oleh jenis dan sifat bahan organik, mikroba penghancur, jenis yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Dewi, 2010).

  Pohon bakau termasuk tanaman tingkat tinggi yang mampu memanfaatkan nutrisi tanah dengan cara absorbsi melalui akar-akarnya dan menggunakannya dalam proses fotosintesis untuk mengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik. Selain itu, jatuhan daun, ranting, kulit, batang, bunga, buah atau biji yang biasa disebut serasah (litter fall) pohon bakau yang belum mengalami dekomposisi sempurna akan menghasilkan bahan organik (detrirus) sedangkan serasah yang telah mengalami dekomposisi sempurna, akan memberikan masukan unsur hara bagi pertumbuhan organisme autotrof, seperti fitoplankton yang merupakan pakan alami bagi udang sekaligus penyuplai O2 di dalam perairan. Mencermati potensi yang ada, maka masyarakat di daerah setempat memilih untuk melakukan pengembangan usaha pertambakan udang windu dengan pemanfaatan pohon bakau (Hutahaean dkk, 1999).

  Pembibitan Tanaman Mangrove

  Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilakukan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Propagul atau benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum penanaman (Khazali, 2000).

  Melakukan pembibitan diperlukan : 1.

  Polibag Polibag adalah kantong plastik yang dibuat secara khusus untuk menampung media dan bibit. Kantung plastik ini umumnya berwarna hitam dan memiliki lubang kecil dibagian bawah. Ukuran polibag ini bervariasi, dan polibag berukuran kecil hingga besar.

  2. Media Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir, diutamakan yang berasal dari sekitar pohon induk.

  3. Benih yang berkualitas Benih yang berkualitas baik yaitu benih yang dengan ukuran

  ≥ 60 cm karena bibit berukuran tersebut memiliki cadangan makanan yang banyak yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman mangrove.

  Untuk benih yang berukuran sedang hingga besar (misalnya bakau) penanaman dilakukan sebaiknya secara langsung dalam polibag. Penanaman langsung ini dinilai lebih efektif dan efisien karena tidak memerlukan penyemaian pada bedeng tabor dan penyapihan. Untuk tanaman mangrove, media tanam yang dipergunakan adalah lumpur atau lumpur berpasir diutamakan berasal dari sekitar pohon induk.

  Dalam penyiapan bibit, dilakukan pengumpulan buah (propagul) yang berasal dari kawasan hutan mangrove. Buah-buah ini untuk semua jenis, setiap jenis akan memiliki perbedaan waktu masak dan waktu jatuh. Sebaiknya, buah yang akan dipakai sebagai bibit adalah buah yang telah jatuh. Namun untuk mengumpulkan buah buah yang jatuh tersebut sangat sulit karena terbawa ombak.

  Penanaman jenis mangrove sebaiknya diusahakan sedemikian rupa sehingga mirip dengan kejadian dikawasan alaminya, misalnya masalah zonasi, pasang surut penggenangan, dan salinitas.

  Berdasarkan pengalaman di lapangan, penyiapan bibit bakau sebaiknya menggunakan benih yang berasal dari buah yang telah masak. Secara umum, teknik pembibitan semua jenis bakau relatif sama. Sebelum melakukan kegiatan pembibitan, pengenalan bagian-bagian buah bakau harus dilakukan terlebih dahulu. Benih sebaiknya dipilih yang sudah matang, pemanenan buah dapat dilakukan dengan cara memanjat atau menggunakan tongkat galah berpengait.

  Selain itu, buah juga bisa diperoleh dengan mengambil buah yang telah jatuh dengan sendirinya di bawah pohon induk. Buah yang dipilih sebaiknya sehat, tidak terserang oleh hama dan penyakit, serta belum berdaun. Ciri-ciri buah bakau yang telah matang leher kotiledon berwarna kekuningan. Untuk mendapatkan benih yang bersih maka sebaiknya dilakukan pencucian (Wibisono dkk, 2006).

  Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenisyang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk jenis yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara (Mukhlis, 2007).

  Lumpur pada Daerah Mangrove Rhizophora apiculata tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan

  tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun. Yang paling umum adalah hutan mangrove tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya bahkan ada pula hutan mangrove yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang. Terpaan ombak bagian luar atau bagian depan hutan mangrove yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian- bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian -bagian yang agak jauh dari muara (Wales, 2010).

  Hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang. Sifat fisik tanaman pada hutan mangrove membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi (Munir, 1996).

  Dari segi substrat dasar, hutan mangrove dapat tumbuh pada substrat dasar pasir, lumpur, koral maupun batu-batuan. Pertumbuhan terbaik terdapat pada substrat dasar lumpur (misalnya: Teluk Bintuni Irian, Cilacap, Muara Musi- Banyuasin, Batu Ampar Kalimantan Barat, Muara Sungai Indragiri Hilir). Pada substrat dasar lainnya, pertumbuhan umumnya kurang memuaskan, dan cenderung lambat (seperti Bali, NTB, pulau Batam, dan sekitarnya, Bunaken, Kepulauan Aru), efek penebangan hutan terhadap ekosistem pantai didaerah seperti ini akan sangat terasa karena proses regenerasi akan berjalan lambat.

  Bertolak dari kenyataan ini, penetapan lebar jalur hijau tentu harus berbeda dengan di daerah yang relatif subur (pohon yang tumbuh pada substrat lumpur).

  Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rhizophora apiculata

  Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Iswahyudi (2008), Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yaitu:

  a. Fisiografi Pantai

  Merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.

  b. Ikilm

  Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor- faktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

  b.1. Cahaya.

  Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m²/hari. Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan.

  Menurut Takashima (1999) tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi, akan tetapi pada tingkat semai tanaman mangrove memerlukan naungan. Mayer dan Anderson (1952) dalam Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya 0% akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Soekotjo (1976) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang.

  Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, 2008).

  b.2. Curah hujan

  Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan mangrove. Selain itu Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 - 3000 mm/tahun. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik.

  b.3. Suhu udara

  Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10ºC. Suhu yang terlalu panas dapat merusak jaringan daun, evapotranspirasi meningkat dan tanah cepat mengering. Hutchings dan Saenger (1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18 - 20 °C dan bila lebih tinggi suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk

  

Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp.,

  laju tertinggi produksi daun baru pada suhu 26 – 28 °C, untuk Bruguiera spp., pada suhu 27 °C, Xylocarpus spp., pada suhu 21 – 26 °C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 °C).

  b.4. Angin

  Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sruktur mangrove, serta meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.

  c. Pasang Surut

  Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air bumi. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Lama pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh.

  

Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. Jarang

mendominasi daerah yang sering tergenang.

  d. Gelombang dan Arus Gelombang pantai merupak gelombang yang dipengaruhi oleh angin.

  Merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.

  e. Salinitas

  Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A.

  marina dan E. agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. apiculata 65 ppt dan Rh. stylosa 74 ppt.

  f. Oksigen terlarut

  Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari.

  g. Tanah.

  Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik.

  Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang–surut, dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp.), gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis

  aciluda ).

  Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan

  

allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan

laut.

  Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut.