KAJIAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN PA (1)

KAJIAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN PARADIGMA TENTANG
MASALAH-MASALAH POKOK HUKUM PIDANA INDONESIA UNTUK
MENGANTISIPASI KEJAHATAN MAYANTARA
Laila Mulasari, SH.MH.
Abstrak
Masalah Islam dan tuntutan perubahan jaman, termasuk perubahan pola kejahatan dari yang semula
dilakukan secara konvensional (fisik) kemudian berkembang menjadi non-fisik (dunia maya),
merupakan persoalan yang menantang kaum cendekiawan muslim pada abad sekarang ini. Perubahan
paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana di Indonesia merupakan salah satu tuntutan
jaman sebagai akibat perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada
munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang terjadi di dunia maya (kejahatan mayantara). Tantangan
untuk menjawab permasalahan ini ternyata telah ditawarkan dan dimiliki oleh hukum Islam melalui
metode Ijtihad. Kajian hukum Islam terhadap perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok
hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara ternyata memiliki keunikan dan
perspektif yang berbeda dari pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh ilmuwan barat seperti Thomas
Kuhn.
Kata Kunci : hukum Islam, perubahan paradigma, kejahatan mayantara.
A. PENDAHULUAN
Hakikat pengembangan ilmu termasuk ilmu hukum terletak dan ditentukan
oleh Paradigma. Paradigma inilah yang kemudian menentukan pandangan
fundamental mengenai apa yang menjadi pokok persoalan (subject-matter) disiplin

ilmu hukum termasuk ilmu hukum pidana. Konsekuensinya, paradigma itu pada
gilirannya juga akan membawa implikasinya yang panjang pada saat hukum
ditegakkan oleh para penegak hukum.
Paradigma dapat lahir bersama (sejumlah) teori dan tersirat dari, serta
dimengerti melalui pemahaman atas teori itu, tetapi ia sendiri berada pada aras
metateoritik, dan pada dasarnya tak terartikulasikan. Ia diterima oleh para ilmuwan
dan dijadikan pegangan di dalam mereka berkiprah di bidang ilmunya, karena
mampu menghadirkan ketertiban di dalam dunia ilmu yang sedang kacau dilanda
krisis besar. Krisis ini muncul dari akumulasi anomali, dari kian menyeruaknya
banyak gejala/peristiwa yang tak dapat dijelaskan secara memuaskan dengan
paradigma lama yang masih berlaku. Liek Wilardjo menggunakan istilah terlalu
banyak “teka-teki” yang tak terpecahkan dengan ancangan (approach), metode,
teknik, dan prosedur yang bertumpu pada paradigma yang masih bertahan. Oleh
karena itu, perkembangan pengetahuan keilmuan terjadi secara revolusioner, bukan
secara kumulatif, artinya perkembangan yang terjadi melalui lompatan paradigmatik
(yaitu murtad dari asumsi lama dan merangkul asumsi baru). Namun diantara
paradigma, tidak boleh ada sekat tertutup melainkan saling melengkapi satu sama
 Dosen di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang Semarang
E-mail : lailamulasari_khumaidi@yahoo.co.id



Yusriadi, 2006, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan
Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 3.

lain. Keragaman cara berpikir, justru merupakan suatu kekayaan tersendiri yang
seharusnya dipelihara dan tidak dimatikan. Meskipun demikian, seperti yang terjadi
pada ilmu-ilmu lain, tak menutup kemungkinan terjadinya pergeseran paradigma
satu dengan lainnya.
Hal tersebut dialami pula oleh ilmu hukum pidana, sebagaimana ilmu hukum
pada umumnya, yang pada hakikatnya merupakan “ilmu kemasyarakatan yang
normatif” (normatieve maatschappij wetenschap), yaitu ilmu normatif tentang
hubungan antar manusia. Sebagai ilmu normatif tentang kenyataan tingkah laku
manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, objek ilmu hukum pidana normatif
dapat berupa hukum pidana positif, baik hukum pidana material/substantif maupun
hukum pidana formal, dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit,
ilmu hukum pidana positif merupakan ilmu hukum pidana yang normatif/dogmatik,
karena hanya mempelajari norma-norma dan dogma-dogma yang saat ini sedang
berlaku (“ius constitutum”); sedangkan dalam arti luas, ilmu hukum pidana normatif
juga mempelajari hukum pidana “yang seharusnya/sebaiknya” (“ius constituendum”).

Jadi, ilmu hukum pidana normatif/dogmatik pada hakikatnya lebih luas dari ilmu
hukum pidana positif.
Dalam rangka mempelajari hukum pidana “yang seharusnya/sebaiknya” (“ius
constituendum”), berarti harus pula memasuki/mengkaji ilmu tentang
“kebijakan/politik hukum pidana” (strafrecht-politiek/criminal law-policy/penal policy).
Bahkan menurut Marc Ancel, penal policy merupakan salah satu komponen
esensial dari “modern criminal science” disamping “criminology” dan “criminal law”.
Menurut Sudarto, politik hukum pidana diartikan sebagai usaha untuk
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dalam
rangka mewujudkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu upaya pembaharuan
hukum pidana melalui reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia
yang mendasari kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia, pada masa kini dan terutama masa yang akan datang.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya
dalam menanggulangi kejahatan. Adanya kecenderungan munculnya bentuk-bentuk
kejahatan baru khususnya kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime atau
virtual crime), maka politik hukum pidana menjadi sangat penting fungsinya dalam

mengantisipasi kejahatan-kejahatan tersebut.
Adapun dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal melalui sarana penal
(hukum pidana) adalah :
1. tentang penentuan perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
2. tentang penentuan sanksi (pidana) yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan pada si pelanggar/pembuat.
Terkait dengan masalah penentuan perbuatan yang seharusnya dijadikan
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaannya, jika politik hukum
pidana masih menggunakan paradigma lama yaitu paradigma fisik, maka akan


Imam Ghozali, 2004, Pergeseran Paradigma Akuntasi dari Positivisme ke Perspektif Sosiologis dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan Akuntansi di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, dalam Yusriadi, 2006, Op.Cit, hal. 9.
 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 1.
 Barda Nawawi Arief, 2002, Op.Cit, hal. 21.

menghadapi kesulitan dalam menjerat perbuatan-perbuatan baru yang tidak bersifat
fisik (non-fisik) atau dengan kata lain perbuatan yang bersifat maya (virtual).
Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang mampu menjawab

persoalan tersebut. Paradigma yang baru ini harus berangkat dari pemahaman
bahwa sekalipun rangkaian kata-kata yang ditemukan dalam perundang-undangan
hukum pidana diberi bobot lebih berat dibandingkan dalam hukum perdata dan
penerapan analogis tidak diterima dalam hukum pidana, namun pakar hukum
pidana, terutama hakim pidana, tidak mungkin menerapkan perundang-undangan
pidana tanpa menggunakan penafsiran khususnya penafsiran (interpretasi)
teleologis. Dalam interpretasi teleologis, maksud dan tujuan harus diutamakan atau
dicapai. Ini sekaligus mengimplikasikan bahwa penjelasan atau interpretasi yang
diberikan harus fungsional , sehingga pendekatan praktis disyaratkan.
Terkait dengan perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum
pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara, ternyata hukum Islam
memiliki pemikiran dan perspektif yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
memiliki metode khusus yang dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan
jaman dan mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berdampak pada munculnya jenis-jenis kejahatan baru yang muncul di dunia maya.
B. PERMASALAHAN
Persoalan mengenai: “bagaimana kajian hukum Islam terhadap perubahan
paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia untuk
mengantisipasi kejahatan mayantara?”, perlu untuk dipecahkan dan dicari
jawabannya.

C. PEMBAHASAN
Paradigma (paradigm) dapat didefinisikan bermacam-macam sesuai dengan
sudut pandang masing-masing orang. Secara umum, paradigma dapat diartikan
sebagai “seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari”. Pengertian ini sejalan dengan Guba
yang dikonsepsikan oleh Thomas Kuhn sebagai “seperangkat keyakinan mendasar
yang memandu tindakan-tindakan, baik tindakan keseharian maupun dalam
penyelidikan ilmiah”. Adapun Neuman mendefinisikan paradigma serupa dengan
pendekatan (approach) yang memayungi cara berpikir seseorang, melihat suatu
masalah dan meneliti masalah yang bersangkutan. Secara lebih lengkap, Denzin
dan Lincoln memaknakan paradigma sebagai suatu sistem filosofis utama, atau
‘payung’ yang meliputi ontologi, epistemologi dan metodologi tertentu.
 Pada tahun 1920an muncul suatu kasus terkenal berkenaan dengan penggunaan interpretasi teleologis ini,
yaitu tentang pencurian (energi) listrik (Electriciteit Arrest-1921).
 Berkaitan dengan ini, perhatian juga harus diberikan pada fenomen yang oleh bangsa Jerman dinamakan
funktionsidentische zeitgenossische aequivalente (‘penggantian alat-alat atau sarana lama oleh yang baru’),
artinya sarana atau alat yang baru tersebut dapat memenuhi fungsi yang sama, sekalipun dengan
menggunakan teknik yang lebih canggih. Baca Jan Remmelink, Op. Cit., hal. 54.
 Guba, Egon (Ed), 1990, The Paradigm Dialog, London : Sage dalam Agus Salim, 2001, Teori dan
Paradigma Penelitian Sosial, Tiara wacana, Yogyakarta, hal. 33.

 Erlyn Indarti, “Paradigma : Jati Diri Cendekia”, makalah dalam Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu
Hukum UNDIP, Semarang 1 Desember 2003, hal. 17 Baca F.X. Adjie Samekto, Positivisme Sebagai
Paradigma dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Modern, “Masalah-Masalah Hukum”, Vol. XXXI No. 3 JuliSeptember 2002, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 150.

Paradigma adalah suatu konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar.
Pada tahun 1946, Robert Merton menggunakannya untuk membicarakan temuantemuan (materials) yang dikodifikasikan, melalui suatu teknik tertentu. Tujuan
penciptaan paradigma adalah untuk memberikan “a provisional guide for adequate
and fruitful functional analyses”. Pada dasarnya paradigma merupakan model suatu
tradisi penelitian, yang terdiri dari sejumlah teori dan teknik khusus yang sesuai bagi
pemecahan masalah penelitian, sehingga merupakan perpaduan antara teori dan
metode yang secara bersama-sama mewujudkan sesuatu yang mendekati suatu
pandangan dunia untuk pencapaian ilmiah yang diakui secara universal. Dengan
demikian paradigma akan senantiasa memandu setiap pikiran, pendekatan dan
metode penelitian penganutnya. Senada dengan pandangan ini, Popkewitz
mengartikan paradigma sebagai konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta
prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran .
Secara etimologis, paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata para
(disamping atau berdampingan) dan diegma (contoh). Sehingga paradigma
(paradigm) dapat diartikan sebagai suatu pola, contoh, atau model, atau suatu
konsep yang secara umum diterima oleh seluruh masyarakat (komunitas) intelektual

(ilmuwan/akademisi) sebagaimana terdapat pada ilmu-ilmu alam, karena
efektifitasnya dalam menjelaskan suatu proses, gagasan atau susunan
data/masalah yang kompleks.
Konsep paradigma, pertama kali dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn melalui
karyanya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolutions” tahun 1962. Tema
sentral dari karya tersebut adalah untuk menantang asumsi yang berlaku umum di
kalangan ilmuwan, yaitu bahwa perkembangan dan kemajuan suatu pengetahuan
keilmuan terjadi secara kumulatif. Pandangan ini oleh Thomas S. Kuhn dinyatakan
sebagai mitos yang harus ditinggalkan, dengan mengajukan suatu thesis bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan keilmuan terjadi secara revolusioner, bukan
secara kumulatif, sehingga disebut sebagai suatu loncatan paradigmatik yaitu
meloncat dari asumsi lama dan merangkul asumsi baru .
Sejalan dengan pemikiran Thomas Kuhn, George Ritzer mendefinisikan
paradigma sebagai “subject matter” (substansi) dalam ilmu pengetahuan .
Paradigma juga disebut contoh (exemplar) atau matriks disipliner (disciplinary
matrix). Dengan demikian, paradigma merupakan semacam model yang dijadikan
contoh oleh para ilmuwan yang melakukan kegiatan keilmuannya di dalam
paradigma tersebut. Demikian pula dapat dikatakan sebagai cara pandang atau
kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala yang diinterpretasikan dan
dipahami, dengan menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat

diasumsikan mempunyai solusi.
 Ibid, hal. 151.
 Paradigm is a). a pattern, example, or model, b). an overall concept accapted by most people in an
intellectual community, as those in one of the natural sciences, because of its effectiveness in explaining of a
complex process, idea, or set of data. Lihat Webster’s New World College Dictionary, 1997, Third Edition,
Macmillan Inc, New York, USA, page 979.
 Liek Wilardjo, 1990, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta, hal. 135.
 A Paradigm is a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to define what should be
studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in
interpreting the answer obtained. The paradigm is the broadest unit consensus within a science and serves to
differentiate one scientific community (or subcommunity) from another. It subsumes, defines, and interelates
the exemplars, theories and methods and instruments that exist within it. Lihat Agus Salim, 2001, Op.Cit, hal.
50.

Sesuai dengan arti matriks dan disiplin, paradigma dapat juga merupakan
kerangka keyakinan (belief framework) atau komitmen intelektual yang memberikan
batasan tentang masalah dan prosedur serta metode penyelesaiannya. Apabila
digabungkan kedua pengertian di atas, maka paradigma adalah model (pandangan
yang mendasar) yang digunakan oleh ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk
menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan metode yang digunakan

serta melalui prosedur yang harus dilakukan dalam penggarapannya. Model-model
tersebut tersirat dalam asumsi-asumsi dasar yang menjadi tumpuan karya
monumental-seminal dari sejumlah jenius di bidang ilmu tertentu. Monumental
berarti “raksasa/agung” atau “sangat hebat’, luas dan dalam cakupannya. Seminal
berarti bersifat mengilhami atau memicu lahirnya karya-karya lain yang diturunkan
dari, atau mengacu ke karya yang paradigmatik itu .
Dalam hal ini, paradigma dapat lahir bersama teori dan tersirat dari, serta
dimengerti melalui pemahaman atas teori itu, tetapi tetap berada pada aras
metateoritik dan pada dasarnya tak terartikulasikan. Paradigma ini diterima oleh para
ilmuwan dan dijadikan pegangan dalam berkiprah di bidang ilmunya, karena mampu
menghasilkan ketertiban di dalam dunia ilmu yang sedang dilanda krisis besar. Krisis
ini muncul dari akumulasi anomali dari banyak gejala/peristiwa yang tidak dapat
dijelaskan secara memuaskan berdasarkan paradigma lama yang masih berlaku.
Kondisi ini terjadi di akhir periode ilmu normal, ketika sudah banyak masalah yang
tidak terpecahkan dengan pendekatan, metode, teknik dan prosedur yang
berdasarkan pada paradigma yang masih berlaku .
Berdasarkan pendapat dari Thomas Kuhn, semua ilmu (termasuk juga ilmu
hukum) terutama ilmu alam khususnya fisika, perkembangannya akan berputar pada
sekitar lima istilah atau konsep kunci yaitu :
Normal Science

Paradigma I
Anomalies

Paradigma II

Revolution

Crisis

Pada mulanya pengumpulan fakta atau kegiatan penelitian keilmuan akan
melibatkan sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing, tapi tidak satupun yang
dapat diterima secara umum. Secara perlahan-lahan salah satunya dapat diterima
dan mendominasi, sehingga paradigma I telah terbentuk sebagai pandangan yang
mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari suatu ilmu.
Dengan terbentuknya paradigma I, maka kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin
ilmu memasuki periode ilmu normal, artinya tidak dimaksudkan untuk melakukan
pembaharuan besar apalagi revolusi. Normal science adalah suatu periode
akumulasi ilmu pengetahuan, yaitu saat seorang ilmuwan mengembangkan
paradigma yang sedang berpengaruh. Dalam periode ini sebagai periode akumulasi
pengetahuan, dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu berdasarkan paradigma
yang sedang dianut. Secara mendalam dan terfokus, kegiatan ilmiah dapat
dilakukan dengan pedoman paradigma yang sama, sehingga semua terikat pada
standar yang sama dalam rangka pengembangan ilmu dalam wujud menambah
 Liek Wilardjo, 1990, Op.Cit, hal. 1.
 Ibid.
 Thomas S. Kuhn, 2000, The Structure of Scientific Revolutions (Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains),
Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 84.

lingkup dan presisi dalam bidang-bidang sehingga paradigma tersebut dapat
diterapkan.
Dalam kegiatan ilmiah tersebut tidak dapat dielakkan adanya pertentangan
atau penyimpangan dari batas yang ditetapkan paradigma tersebut, sehingga terjadi
masa anomali. Hal ini disebabkan paradigma I sudah tidak dapat lagi memberikan
penjelasan mengenai masalah-masalah baru yang terjadi. Namun saat ilmuwan
tidak dapat mengelakkan pertentangan atau penyimpangan, dan paradigma yang
berpengaruh saat itu tidak dapat menjawab pertanyaan yang timbul dari
pertentangan, muncullah krisis. Semakin kuatnya anomali yaitu penyimpangan yang
semakin memuncak akan mengakibatkan timbulnya krisis, sehingga paradigma lama
dipertanyakan validitasnya. Dengan demikian, anomali ini merupakan prasyarat bagi
penemuan baru, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma.
Ketika krisis memuncak, terjadilah revolusi yang kemudian melahirkan paradigma
baru sebagai pengganti paradigma lama.
Dalam perkembangan anomali, maka suatu penyelesaian dapat dipandang
sebagai eksemplar baru dan mempunyai akibat sebagai umpan balik terhadap
kerangka interpretasi paradigmatik. Asimilasi teori baru yang ditimbulkannya
memerlukan rekonstruksi teori sebelumnya dan evaluasi ulang terhadap fakta
sebelumnya, sehingga dengan itu terjadi revolusi ilmiah (paradigm shifts). Dengan
demikian paradigma baru akan muncul menggantikan paradigma lama, yang
menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah, sehingga standar dan
kriteria untuk menentukan keabsahan suatu masalah dan solusinya juga berubah.
Paradigma baru tersebut dijadikan sebagai pegangan para ilmuwan dalam
pengembangan ilmu selanjutnya.
Salah satu ilmu yang berperan besar dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu
sosial adalah ilmu hukum. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua ilmu sosial
atau ilmu manusia mempunyai objek material yang sama. Karena itu, hal terjadinya
saling mempengaruhi perkembangan masing-masing ilmu itu adalah hal yang wajar.
Salah satu wujud adanya arus saling mempengaruhi antara Ilmu Hukum dan
Sosiologi adalah salah satu konsep yang dikembangkan dalam teori Sosiologi yang
mempengaruhi Ilmu Hukum yaitu konsep fungsi, sifat fungsional dan paham
fungsionalisme. Dalam hal ini, konsep yang akan dipakai untuk menjelaskan
permasalahan dalam tulisan ini adalah Ajaran Hukum Fungsional dari J. Ter
Heide, karena dipandang sangat relevan dengan pokok masalahnya.
Menurut Ajaran Hukum Fungsional, tata hukum sebagai suatu aspek dari
masyarakat dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas sejumlah
sistem-sistem interaksi. Ter Heide berpendapat bahwa untuk subsistem-subsistem
 Tim Program Doktor, 1998, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Suatu Penjajakan, Simposium Nasional Ilmu
Hukum Tentang Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, hal. 6
 Tokoh utamanya adalah Friedrich Von Savigny yang melahirkan Historische Rechtsschule (Mazhab
Sejarah).
 Ada beberapa konsep fungsi/sifat fungsional/paham fungsionalisme dalam teori Sosiologi, yaitu Teori
(mazhab) Fungsionalisme Struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, Ajaran Hukum Fungsional
oleh J. Ter Heide yang dipengaruhi oleh Mazhab Symbolic Interactionism (salah satu cabang dari Social
Behaviourism), dan Strukturalisme Fungsional dari Niklas Luhmann. Lihat tulisan B. Arief Sidharta,
Fungsionalisme Dalam Ilmu Hukum (Sebuah Catatan Tentang Pengaruh Teori Sosiologi Terhadap Ilmu
Hukum), 1988, “Percikan Gagasan Tentang Hukum” (kumpulan tulisan ilmiah alumni dan staf pengajar FH
Universitas Parahyangan), Intergrafika, Bandung, hal. 8.
 J. Ter Heide mengemukakan Ajaran Hukum Fungionalnya dalam Disertasi yang berjudul Vrijheid Over de
Zin van de Straf, pada tahun 1965. Ajaran ini bertumpu pada teori Sosiologi Mazhab Interaksionisme
Simbolik yang berakar atau sangat dipengaruhi oleh filsafat Pragmatisme dari William James dan John
Dewey, Ibid, hal. 12.

ini berlaku rumus :
B adalah behaviour, yang menunjuk pada
B = f PE
perilaku
dari sistem interaksi (kerjasama dari aktor-aktor yang berpartisipasi). P adalah plan,
yang berarti tujuan bersama dari sistem itu. In concreto, P menunjuk pada struktur
masyarakat dan atau negara, sedangkan E adalah environment, yang berarti
lingkungan dari sistem atau faktor-faktor situasi. f adalah fungsi yang menunjukkan
relasi ketergantungan, artinya bahwa pada perubahan P dan E, maka perilaku
tertentu (B) berdasarkan struktur tertentu (norma) akan terjadi. Dalam hubungannya
dengan pemikiran hukum, tentu saja f ini menunjuk pada fungsi kaidah-kaidah/asasasas hukum. Jika f berubah atau diubah, maka P dan B kemungkinan juga akan
mengalami peubahan.
Dalam kerangka pemikiran di atas, maka kaidah hukum bukanlah suatu ide
abadi atas suatu objek, melainkan suatu produk manusia yang dibuat (diciptakan)
dalam setiap situasi interaksi. Oleh karena itu, dalam pandangan Ter Heide
memelihara ketertiban masyarakat dalam arti hukum, sesungguhnya bukan suatu
proses konservasi melainkan selalu ditujukan untuk menyesuaikan diri pada tuntutan
jaman.
Perkembangan jaman khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
ternyata telah membawa dampak dalam perkembangan hukum termasuk hukum
pidana, khususnya tentang masalah perbuatan (tindak pidana). Padahal kehidupan
dunia modern saat ini tidak dapat terlepas dan bahkan seringkali bergantung pada
kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced technology”), khususnya
di bidang informasi dan elektronik melalui jaringan internasional (internet). Kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa diikuti dengan adanya akibat
(dampak), baik secara langsung maupun tidak. Di satu sisi, kemajuan teknologi
canggih ini membawa dampak positif di berbagai bidang kehidupan , namun di sisi
lain juga membawa dampak negatif, yaitu berpotensi membuat orang cenderung
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku.
Berkaitan dengan masalah kejahatan yang berbasis teknologi, ternyata
pernah terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena kesulitan dalam
merumuskan delik dan ketidakmampuan hukum pidana positif mengejar
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) hingga munculnya UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah
disahkan pada tanggal 21 April 2008 yang dikuti dengan peraturan pelaksanaannya
yaitu Peraturan Presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
Dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Perlu diketahui bahwa di dunia
mayantara telah muncul istilah-istilah : Economic Cyber Crime, EFT (Electronic
Funds Transfer) Crime, Cybank Crime, Internet Banking Crime, On-Line Business
Crime, Cyber/Electronic Money Laundering, High Tech WWC (White Collar Crime),
Internet Fraud (antara lain bank Fraud, Credit Card Fraud, On-Line Fraud), Cyber
Terrorism, Cyber Stalking, Cyber Sex, Cyber Pornography, Cyber Defamation,
Cyber Criminals, dan sebagainya yang sulit dijangkau oleh hukum pidana positif
apabila masih menggunakan paradigma yang bersifat fisik .
 Ibid, hal. 14.
 Seperti misal adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS” (Electronic Funds Transfer System atau
“sistem transfer dana elektronik”), internet banking, cyber bank, On-line Business dan sebagainya.
 Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 172.
 Baca tulisan Annie Ruth C. Sabangan, Legal Isues, Gray Areas Allow Proliferation of ‘Internet Sex’, The
Manila Times, edition : October 17th 2003, www.manilatimes.net.

Berdasarkan hal-hal tersebut, nampaknya berbagai bentuk tindak
pidana/kejahatan mayantara (cyber crime) akan sulit dijangkau oleh hukum pidana
positif saat ini, karena perbuatannya tidak bersifat fisik tetapi justru bersifat
maya/abstrak/non-fisik dan sangat individual, sehingga tidak akan pernah dapat
disentuh oleh hukum pidana positif saat ini, jika masih digunakan paradigma lama
yaitu paradigma fisik. Bahkan Barda Nawawi Arief mengatakan inilah salah satu
kelemahan hukum pidana konvensional saat ini yang selalu bertolak dari paradigma
perbuatan dalam arti fisik/material .
Oleh sebab itu, perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok
hukum pidana mutlak diperlukan dalam mengantisipasi bentuk-bentuk kejahatan
baru yang muncul di dunia maya (kejahatan mayantara). Perlu diketahui bahwa
Islam memiliki pemikiran dan perspektif yang berbeda dalam menjelaskan
perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ilmuwan barat di atas.
Diantara istilah yang dikenal luas dalam kajian pemikiran metodologi studi
hukum Islam (ushul al-fiqh) adalah taqlid dan ijtihad. Selama ini, taqlid selalu
dihadapkan bahkan dikontraskan dengan ijtihad. Taqlid dipahami sebagai sesuatu
yang negatif yang harus dijauhi (qabulu qawlin bi-la hujjah) sedangkan ijtihad
sesuatu yang positif yang harus selalu digalakkan (badzlul-juhdi min al-faqih finayli
hukmin syar’iyyin bi-thariq al-istimbath). Sebenarnya relasi dan dialektika taqlid dan
ijtihad merupakan suatu keharusan sejarah yang selalu muncul dalam
perkembangan ushul al-fiqh, dan keduanya berperan positif dalam gerak dan
dinamika sejarah pemikiran umat. Lebih dari itu, relasi dan dialektika yang terjadi
dalam sejarah ushul al-fiqh bukan hanya melibatkan taqlid dan ijtihad atau dalam
bahasa lain berarti kontinuitas dan perubahan, melainkan melibatkan tiga terminologi
sekaligus, yaitu : otoritas, kontinuitas dan perubahan. Pembahasan relasi dan
dialektika tiga istilah ini ditempatkan dalam proses shifting paradigm
(pergeseran/perubahan paradigma) dalam arti evolusi dan bukan revolusi. Oleh
sebab itu, model pembahasan ini tidak sejalan dengan pemikiran Thomas Kuhn
yang cenderung dipahami dalam pengertian revolusi sebagaimana diikuti
kebanyakan kelompok modernis di Indonesia.
Secara akademik, terminologi otoritas dikenal pula dengan istilah epistemic
authority atau al-quwwah al-ma’rifiyyah, istilah kontinuitas dikenal dengan
continuity, turath, dan juga taqlid, sedangkan perubahan dikenal dengan change,
tajdid, dan ijtihad. Dalam konteks perubahan paradigma (shifting paradigm), proses
tersebut dapat dijelaskan melalui sejarah proses munculnya sebuah aliran pemikiran
dalam ushul al-fiqh, yang dalam studi keislaman secara umum dikenal dengan istilah
madzab, aliran, atau school of thought.
Amir Mu’allim dan Yudani menjelaskan tentang proses perubahan paradigma
(yang disebutnya dengan istilah Process atau Ishlah) melalui skema berikut ini  :

AUTHORITY, CONTINUITY, AND CHANGE IN USHUL AL-FIQH
AL-Quwwah
Al-Turath/
Al-Tajdid/Al-Ijtihad
Al-Ma’rifiyyah
Al-Taqlid
Change
 Amir Mu’allim
dan
Yusdani,
2004,
Ijtihad
Dan
Legislasi
Muslim
Kontemporer,
UII
Press,
Yogyakarta, hal. viEpistemic
Continuity
xiv.
Authority

 Ibid.

PROCESS = ISHLAH

Penjelasan dari proses perubahan paradigma menurut kajian hukum Islam
sebagaimana digambarkan oleh skema di atas adalah sebagai berikut :
Ishlah merupakan satu terminologi yang justru menjelaskan relasi, gerak, dan
dialektika antara otoritas, kontinuitas, dan perubahan yang dalam hal ini tajdid
terdapat didalamnya. Dengan menempatkan Ishlah sebagai ciri pokok dari proses,
maka perubahan pemikiran dalam ushul al-fiqh dipahami sebagai proses yang lebih
bersifat evolutive dan bukan revolutive. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
proses perubahan paradigma tentang masalah-masalah pokok hukum pidana
Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan mayantara jika dilihat dari kajian hukum
Islam ternyata berbeda dari metode proses perubahan paradigma yang dijelaskan
oleh para ilmuwan barat misalnya Thomas Kuhn.
D. PENUTUP.
Pemikiran hukum Islam sebagai hasil pemahaman dari pesan-pesan teks Al
Qur’an dan Hadits akan selalu mengalami perkembangan. Tentu hal ini sebagai
konsekuensi dari kondisi masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman yang sarat
dengan dinamikanya. Terkait dengan hal ini maka peran ijtihad sebagai upaya untuk
menggali dan mengembangkan hukum Islam khususnya dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat menjadi sangat penting. Ijtihad
meskipun sulit tetapi perlu, bahkan melalui pintu ijtihad ternyata dapat digunakan
sebagai metode untuk menjelaskan terjadinya perubahan paradigma tentang
masalah-masalah pokok hukum pidana Indonesia dalam mengantisipasi kejahatan
mayantara. Produk ijtihad yang dihasilkan oleh ulama klasik adalah sesuatu yang
bernilai relatif dan dimungkinkan untuk mengalami modifikasi dan transformasi
sesuai dengan tuntutan jaman. Hal inilah yang disebut dengan konsep ijtihad
kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Kencana
Abdul Wahid, Mohammad Labib, 2005, Kejahatan mayantara (Cyber Crime),
Bandung : Refika Aditama.

Agus Raharjo, 2002, Cybercrime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Ahmad Hanafi, 1990, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Ahmad Wardi Muslich, 2004, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih
Jinayah), Sinar Grafika, Jakarta.
Amir Mu’allim dan Yusdani, 2004, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, UII
Press, Yogyakarta, hal. vi-xiv.
Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna, Yogyakarta : Refika Aditama.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.
________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti.
________, 2006, Tindak Pidana Mayantara – Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.
Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law: Aspek hukum Teknologi
Informasi, Bandung : Refika Aditama.
Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum telematika: Suatu Kompilasi Kajian,
Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.
Edy Mulyanto, Agus Raharjo, TH. Endang Ratnawati, 2006, Bedah Buku: Tindak
Pidana Mayantara – Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia,
Semarang : Universitas Diponegoro.
Hendrojono, 2005, Sosiologi Hukum – Pengaruh Perubahan Masyarakat dan
Hukum, Cetakan I, Surabaya : Srikandi.
Ikama Dewi Setia Triana, 2006, Tesis : Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Cybersex
di Indonesia, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Semarang :
Universitas Diponegoro.
Laila Mulasari, 2009, Perubahan Paradigma Tentang Masalah-Masalah Pokok
Hukum Pidana Indonesia di Bidang Mayantara, Thesis, Fakultas Hukum,
Semarang : Universitas Diponegoro.
Makhrus Munajat, 2004, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Logung
Pustaka.
Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Murtadha Muthahhari, 1996, Islam dan Tantangan Jaman, Pustaka Hidayah,
Bandung.
Paul Scholten, 2005, de Structuur der Rechtswetenschap – Struktur Ilmu Hukum,
Bandung : Alumni.
Reda Manthovani, 2006, Problematika & Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di
Indonesia, Jakarta : Malibu.
Satjipto Rahardjo, 2004, Ilmu Hukum – Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,
Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum - Suatu Pengantar, Yogyakarta :
Liberty.
________, 1999, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta :
Grafiti Pers.
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Thomas S. Kuhn, 2000, The Structure of Scientific Revolutions – Peran Paradigma
Dalam Revolusi Sains, Cetakan III, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Jurnal :
Wisnubroto A.L, 2005, “Pendekatan Hukum Progresif Dalam Mengantisipasi
Perkembangan Kejahatan Berbasis Teknologi”, dalam Jurnal Hukum
Progresif (PDIH UNDIP), volume : 1/Nomor 2/Oktober 2005.
Makalah:
Barda Nawawi Arief, 2005, “Kebijakan Penanggulangan Cyber Crime – Cyber Sex”,
Makalah Seminar : “Kejahatan Kesusilaan Melalui Cyber Crime Dalam
Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, F.H. UNSWAGATI,
Cirebon, 20 Agustus 2005.
Liek Wilardjo, 1998, “Peran Paradigma Dalam Perkembangan Ilmu”, Makalah
Simposium Nasional tentang Paradigma Ilmu Hukum Indonesia, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Perundang-undangan :
Edmon Makarim, 2005, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Telematika,
Jakarta : Raja Grafindo Perkasa.
Moeljatno, 1994, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan ke-18,
Bumi Aksara, Jakarta.
Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
2008, Surabaya : Kesindo Utama.
Undang-Undang Nomor: 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, 2008, Yogyakarta :
Indonesiatera.
Website :
Walter Benjamin, 2006, Is Cyberprostitution Prostitution? New Paradigm, Old Crime,
Dissertation,www.ics.uci.edu/~johannab/sexual.interactions.2006/papers/Brook
eChampbell-sexualinteractions2006