EKSISTENSI ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP
EKSISTENSI ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM KONTEKS ANALISIS EKONOMI ATAS HUKUM PIDANA
ABSTRAK
A. Pengertian dan Kontribusi Analisis Ekonomi atas Hukum dalam Hukum Pidana.
Pengertian klasik mengenai hukum adalah kewajiban yang diikuti oleh sanksi yang ditentukan
oleh Negara. Bagi ekonom pengertian ini penting eksistensinya mengingat ekonomi menyediakan suatu
teori ilmiah untuk memprediksi efek yang timbul dari sanksi hukum pada tingkah laku seseorang.
Sedangkan bagi para eonom, sanksi hukum tidak ada bedanya dengan harga, dalam arti orang orang
merespon keberadaan sanksi hukum sama halnya ketika mereka merespon keberadaan harga. Mereka
merespon terhadap harga yang tinggi melalui pengurangan mengkonsumsi makanan makanan mahal.
Orang orang akan merespon keberadaan sanksi hukum yang berat dengan cara melakukan tindakantindakan yang ancaman hukum atas tindakan itu sangat ringan.
Analisis ekonomi atas hukum hakikatnya adalah ilmu interdisipliner yang mencoba melihat
keberadaan hukum terutama sanksinya dari sisi atau prinsip-prinsip ekonomi. Ekonomi sendiri
merupakan ilmu tentang pilihan-pilihan rasional dimana sumber-sumber daya yang ada dibatasi dalam
hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Tugas ekonomi dalam hukum adalah menjelaskan
implikasi dari suatu asumsi bahwa manusia merupakan pemaksimal rasional atas keinginan-keinginan,
yakni kepuasan dirinya.
Dalam hubungannya dengan kejahatan dan pidana, analisis ekonomi (empiris) paling tidak
memberikan tiga konstribusi penting. Pertama, ekonomi memberikan suatu model yang sederhana
tentang bagaimana individu berperilaku di hadapan hukum, yang secara lebih khusus menganalisis
bagaimana individu merespon kehadiran sanksi pidana. Kebanyakan dari kita punya, atau dalam bahasa
ekonomi, memaksimalkan keuntungan didalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Kedua, ekonomi
relative kaku dalam analisis empirisnya. Priorits utama dalam analisis ekonomi empiris adalah untuk
membedakan antara hubungan dan sebab. Hal ini dikarenakan para ekonom berasumsi bahwaa manusia
di dalam berperilaku adalah rasional dan memiliki tujuan tertentu. Ketiga, ekonom menyediakan
sebuah metric yang jelas di dalam mengevaluasi sukses tidaknya suatu kebijakan hukum pidana. Dalam
hal ini criteria normative yang digunakan adalah efisiensi, dan efisiensi sendiri memiliki implikasi pada
penegakan hukum yang optimal. Dalam praktik pandangan ini diimplementasikan dalam bentuk
perbandingan antara ongkos dan keuntungan dari suatu kebijakan.
B. Karakter, Prinsip Rasionalitas dan Efisiensi
Perlu diketahui bahwa penggunaan analisis ekonomi atas hukum hanya cocok diterapkan
terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi. Motif pelaku melakukan kejahatan adalah
untuk mendapatkan keuntungan bersifat ekonomis. Untuk kejahatan-kejahatan yang tidak bermotif dan
karakter ekonomi , analisis ekonomi terhadap hukum pidana ini tidaka dapat diterapkan. Pehaman
terhadaapa karakter ini penting agar penerapan prisip prinsi ekonomi dalam hukum pidana dapat
berhasil dan berdaya guna sehingga eksistensinya diharapkan mampu menjadi salah satu alternative
penanggulanagn kejahatan dibidang ekonomi misalnya korupsi.
Secara umum dapat dikatakan
bahwa prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis ekonomi terhadap hukum pidana
adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi. Rasonalitas merujuk pada pengertan memilih sarana-
sarana yang paling baik untuk tujuan pemilih. Dalam konteks analisis ekonomi atas hukum rasionalitas
mengandung pengertian bahwa manusia di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, termasuk
melakukan kejahatan, berpikir secra rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan
keuntungan yang diharapkan seperti tindak pidana korupsi.(maximizing the expected utility).
Pengertian rasionalitas itu sendiri bukanlah pengertian yang tunggal, dalam artitidak ada pengertian
rasionalitas yang diterima secara luas. Russel dan Thomas Ulen mengemukakan paling tidak ada empat
pengertian tentang rasionalitas. Pertama, manusia dalah pemaksimal yang rasional didalam mencapai
keuntungan ( a man is a rational maximize of his ends ).
Rasionalitas disini tanpa diikuti oleh sarana apa yang digunakan untuk memaksimalkan
tujuannya (keuntungan) itu. Kedua, rasionalitas dikonsepsikan dengan keuntungan yang diharapkan
(the expected utility). Pengertian ini lebih kuat dibandingkan dengan pengertian yang pertama, karena
didalamnya telah menspesipikasikan sarana yang denganya pelaku akan memuaskan tujuan dan
pilihannya. Ketiga, kepentingan diri ( self interest ) yang mengandung arti bahwa pelaku akan berusaha
mewujudkan keuntungan dan dengan sara apa ia mewujudkan tujuan/keuntungan itu bergantung pada
kepentingan masing-masing pelaku. Pengertian ini lebih konkret dibandingkan dengan keuntungan
yang diharapkan. Keempat, maksimalisasi kekayaan (the wealth maximization) yang mengandung arti
bahwa berusaha untuk memaksimalkan kekayaan yang ada. Pengertian ini merupakan pengertian yang
paling spesifik dan paling kuat mengarah pada tindak pidana korupsi.
Jika konsep rasionalitas dikaitkan dengan hukum pidana terkait pidana korupsi, asusmsi yang
dilahirkan adalah pelaku kejahatan korupsi merupakan makhluk yang nasional ekonomis yang
menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan kejahatan dengan keuntungan yang
akan didapat. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka
pelaku akan melakukan kejahatan. Para individu yang melakukan rasional untuk memaksimalkan
keuntungan yang mereka dapatkan ( individual behave rationally ti maximize their untility ). Mereka
melakukan kejahatan ketika keuntungan dari melakukan perbuatan melanggar hukum melebihi ongkos
yang diharapkan dari pemidanaan. Ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada
saat melukan kejahatan. sementara keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik seperti harta,
kekayaan, dan keuntungan yang berbetuk psikis seperti kesenangan dan lain-lain.
Analisis ongkos dan keuntungan sangat penting dalam kebijakan public dana dalam kaitannya
dengan usaaha menanggulangi kejahatan. masalah penanggulangan kejahatan. masalah
penanggulangan kejahatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran tersedia dan dialokasikan untuk
mengurangi risiko yanag akan timbul dari suatu kebijakan yang diambil, sementara analisis ongkos dan
keuntungan ini juga terkait dengan beberapa banyak sumber daya yang harus dialokasikan untuk
menanggulangi kejahatan itu. Dalam model ekonomi di dalam memandang kejahatan pembuat
kebijakan memiliki dua mekanisme untuk mengurangi aktivitas penjahat, yaitu kemungkinan ditangkap
damn beratnya sanksi pidana (the probality of apprehension and the magnitude of sanction). Tentu
usaha untuk mengurangi kejahatan merupakan ongkos bagi masyarakat karena kemungkinan ditangkap
(the probability of apprehension) mensyaratkan penggunaan polisi dan jaksa. Sementara, menurut
model yang resmi (ditetapkan oleh undang-undang) sanksi disamakan dengan denda daripada
pemenjaraan, dan denda itu sendiri tidak membutuhkan pengeluaran sumber daya.
Gary Becker mengemukakan pemikirannya berkaitan dengan konsep rasionalitas dihubungkan
dengan hukum pidana. Pertama, kebijakan hukum pidana yang optimal (the optimal criminal justice
p0licy). Pemikiran ini berkaitan dengan analisis ongkos dan keuntungan (cost and benefit anaysis),
yang mengandung arti suatu usaha untuk mendapatkan alokasi optimal sumber daya dalam masyarakat
didalam memerangi kejahatan. asumsi teori yang dibangun jika sanksi pidana yang ada cukup berat,
setiap penjahat pasti akan menghindar dari kemungkinan tertangkap dan hal ini akan mengurangi
kejahatan. Kedua, keputusan individu dalam kaitannya dengan aktivitas criminal (the individual’s
decision about criminal activity). Penjahat adalah seorang pelku rasional yang menimbang antara
ongkos dan keuntungan, serta waktu dan sumber daya yang di alokasikan dinatara aktiivitas penjahat
dan yang bukan penjahat, sehingga diketahui mana yang dapat mendatangkan keuntungan yang paaling
besar.
Semua orang (tidak hanya penjahat) adalah pelaku rasional yang berdasarkan subjektivitasnya
menimbang ongkos dan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan. Beberapa orang memilih kegiatan
yang dilabeli penjahat, karena bagi mereka keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut melebihi
ongkos yang harus dikeluarakan. Untuk mencegah agar mereka dari melakukan tindak pidana yang
dikeluarkan, sehingga dengan demikian, keuntungan yang diperoleh lebih kecil. Caranya adalah dengan
meningkatkan jumlah pidana yang akan dijatuhkan atau kesempatan untuk ditangkap dan diadili. Pada
saat yang sama ongkos sosial yang harus ditanggung dari penegakan hukum harus ditekan sedemikian
rupa sehingga berada pada posisi minimal. Ongkos penegakan hukum jangan sampai melebihi kerugian
sosial yang mau dicegah melalui saran penegakan hukum. Singkatnya, untuk meminimalisir ongkos
sosial yang harus ditanggung adalah dengan cara meningkatkan sanksi pidana yang cukup berat serta
meningkatkan jumlah penjahat yang ditangkap.
Ketiga, eksistensi kategori penjahat (the existence of criminal category). Masalah ini
berhubungan dengan analisis terhadap hukum pidana substantive dan berusaha menjelaskan sampai
sejauh mana kehadiran hukum pidana memang diperlukan. Prinsip kedua analisis ekonomi atas hukum
pidana adalah prinsip efisiensi yang mengandung makna pengematan, pengiritan, ketepatan, atau
pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan saran yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Bila saran yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan
tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan saran
membutuhkn lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin
dicapai, maka hal itu dikatakan efisien.
Dalam hukum pidana efisien berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah perbuatan-perbuatan
yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan ongkos untuk
menanggulanginya sehingga keuntungan yang ingin diraih darinya lebih besar. Kedua, apakah sanksi
pidana yang dijatuhkan lebih besar atau berat dibanddingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku
dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari ngkos yang harus dikeluarkan
oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan. Apabila
dihubungkan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan, yang pertama kali harus diperhatikan
adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang akan dijatuhkan kepadanya, harus baru
kemudian dianalisis dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada, mana yang paling efisisendilihat dari
pprinsip ongkos dan keuntungan. Umumnya bentuk-bentuk sanksi pidana berupa pidana mati, pidana
seumur hidup, pidana penjara dan pidana denda.
C. Teori Pencegahan sebagai Dasar Analisis Ekonomi Atas Hukum
Dilihat dari teori pemidanaan analaisis ekonomi atas hukum menggunakan teori pencegahan
(deterrence) dar pada teori retribusi (retribution), rehabilitasi (rehabilitation) dan inkapasitasi
(incapacitation). Asumsi teori pencegahan adaalah bahwa manusia adalah makhluk rasional.
Impliklasinya ketika seseorang melakukan kejahatan, maka sanksi pidana yang dijatuhkan harus
melebihi seriusitas tindak pidana. Teori pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum (general
deterrence), bukan pencegahan khusus (special deterrence). Penjatuhan sanksinpidana bertujuan untuk
mencegah seseorang atau orang lain/ masyarakat melakukan kejahatan. sanksi pidana dijatuhkan agar
pelaku dan orang lain tidak melakukan kejahatan itu, karena kalau itu yang terjadi, sanksi pidana akan
dijatuhkan untuk kedua kalinya.
Teori ini berbeda dengan teori pemidanaan yang lain, seperti teori retribusi, rehabilitasi dan
inkapasitasi. Sedangkan dalam kaitan dengan efisiensi suatu pemidanaan, sangat jelas teori pencegahan
(deterrence) ini sangat efisien terutama jika dihubungkn dengan bentuk sanksi pidana penjara. Teori
pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum (general deterrence) bukan pencegahn khusus
(soecial dterrence). Asumsi pencegahan umum adalah ketika pelaku kejahatn ditangkap, tentu saj
dikatakan terlambat untuk mencegah pelaku dari melakukan suatu kejahatan tertentu. Namun demikian,
dengan memidana pelaku kejahatan dan membuat masyarakat memiliki kesadaran mngenai pidana
yang akan dikenakan jika mereka melakukan kejahtan, para anggota masyarakat itu akan terhindar dari
melakukan aktivitas yang sama, karena kalau tidak, mereka akan ditangkap dan kemudia dijatuhi
pidana.Dalam teori retribusi yang memandang bahwa pidanaa bagi prlaku kejahatan harus setimpal
(proportional) dengan seriusitas kejahatan yang dilakukan, mengindikasikan bahwa Negara memiliki
keleluasan untuk menyesuaikan pencelaan dan ongkos yang harus ditanggung individu akibat
dmasukkan ke penjara sampai ia sesuai/ setimpal engan seriusitas kejahatan yang dilakukan . dalam
prinsip ekonomi teori ini tidak banayaak diikuti mengingat bagi sebagian pelaku kejahatan, adanya
peluang yang sama antar keuntungan dan ongkos (pidana) yang harus ditanggung akan
menyebabkannya memilih untuk melakukan kejahatan.
Sementara, teori rehabilitasi yang berasumsi bahwa pelaku-pelaku kejahataan dimasukkan ke
penjara kemudian dididik di dalamnya, yang tujuan utamanya adalah tidak lain kecuali agar mereka
tidak melakukan lagi kejahatan di masa mendatang, pada kenyataanyaa tidak banyak memberkan hasil
yang diharapkan. Programprogram rehabilitasi menunjukkan hasil yang bagus (rehabilitative programs
show poor results). Yang terakhir adalah teori inkapasitasi. Teori ini memandang bahwa pelaku
kejahatan tidak akan melakukan kejahatan ketika mereka berada dipenjara. Berdasarkan penelitian,
teori inkapasitasi ini secara signifikan mengurangi angka kejahatan. tentu saja fakta ini harus melalui
suatu penelitian yang cermat. Setidaknya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan bahwa
teori inkapasitasi berhasil di dalam menurunkan angka kejahatan; ertama, pelaku-pelaku kejahtan yang
dipenjara tidak digantikan dengan pelaku-pelaku baru kurun waktu yang cukup lama.
Dengan kata lain teori inkapasitasi paling efektif di dalam mengurangi kejahatan ketika
persediaan pelau-pelaku kejahtan tidak elastis (incapacitation is most effective at reducing crime when
the supply of criminals is inelastic). Syarat ini sangat sulit dipenuhi mengingat elastisitas persediaan
pelaku kejahatan. Kedua, pemenjaraan harus dapat mengurangi jumlah keseluruhan kejahatan yang
dilakukan oleh residivis. Syarat ini pun juga sangat sulit dipenuhi, dikarenakan residivis melakukan
kejahatan disebabkan oleh factor-faktor biologis dan sosiologis.
D. Konteks Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
a. Motif Ekonomi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Secara teoritis terdapat dua motif seseorang melakukan tindak pidana korupsi yang umum
terjadi dimasyarakat. Pertama, corruption by need. Motif pertama lebih menekankan pada adanya
kebutuhan hidup yang harus ditanggung oleh seseorang. Kebutuhan hidup ini bisa kebutuhan hidup
dirinya sendiri, kebutuhan hidup istri dan anaknya maupun hidup sanak keluarganya. Seseorang
melakuka korupsi karena “terpakas” harus memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan sanak
kerabatnya. Himpitan ekonomi menjadi salah satu alasan mengapanorang tersebut melakukan korupsi.
Kedua, corruption by greed. Berbeda dengan yang pertama, pada yang kedua motif pelaku melakukan
tindak pidana korupsi semata mata karena motif ekonomi karena rakus. Secara materi pelaku
merupakan orang yang terpandang baik dari sisi kedudukan maupun dari sisi kemampuan financial.
Karena motif rakus itulah menyebabkan orang tersebut dengan tanpa dosa menjarah uang rakyat (uang
Negara).
Dalam konteks analisis ekonomi atas hukum, dua motif pelaku melakukan tindak pidana
korupsi diatas perlu dibedakan agar penggunaan prinsip analisis ekonomi atas hukum tepat sasaran dan
berdaya guna sehingga diharapkann mampu menanggulangi tindak pidaana korupsi. Penggunanan
prinsip prinsip analisis ekonomi atas hukum hanya cocok diterapkan kepada pelaku yang melaukan
tindak pidana korupsi yang didorong oleh motif ekonomi atau karena sifat rakus. Sedangkan pada
pelaku korupsi yang didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, penggunaan analisis ekonomi atas
dirasa tidak relevan karena sejak awal, analisis ini hanya berhubungan dengan tindak pidana yang
berkharakter ekonomi dan pelaku tindak pidana melakukan pelanggaran hukum semata-mata didorong
oleh ekonomi. Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul.
Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul ke public yang diduga merugikan
keuangan Negara yang banyak, hakikatnya merupakan tindak pidanaa korupsi yang disebabkan oleh
motif ekonomi sehingga penggunaan analisis ekonomi atas hukum tepat pada konteks ini. Undangundang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu tujuannya adalah untuk menjerat pelaku
korupsi kelas kakap yang disebabkan oleh motif ekonomi atau karena rakus. Tidak mengherankan jika
dewasa ini muncul istilah banalisme, suatu ungkapan yang menyiratkan titik terendah moralitas
koruptor. Kalau seseorang melakukan tindak pidana korupsi karena hendak memenuhi kebutuhan
bertahan hidup ( corruption by need ), ia masih memiliki alasan yang dimaklumi untuk itu, akan tetapi
jika seorang kaya dan memiliki jabatan penting dipemerintahan melakukan tindak pidana korupsi dan
kebetulan tertangkap, maka pendapat yang muncul adalah karena yang bersangkutan apes atau kurang
beruntung. Hal demikian menunjukkan bahwa moralitas orang tersebut berada pada titik terendah,
karena yang dipentingkan hanyalah aspek ekonomi semata.
b. Formulasi Pidana Denda
Jika pidana denda dalam undang-undang tindak pidana korupsi hendak disuaikan dengan
prinsip-prinsip dalam analisis ekonomi atas hukum pidana, yang perlu dilakukan adalah dengan
merubah formulasi dan ancaman pidana denda dalam semua ketentuan pasal dalam undang undang
tersebut. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam analisis ekonomi eksistensi
pidana denga tidak akan bertemu atau bebarengan dengan pidana penjara untuk dijadikan sebagai alat
penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku. Pidana penjara tidak efisien karena memboroskan keuangan
Negara. Kedua, perumusan ancamaan pidana denda menurut analisis ekonomi atas hukum pidana tidak
dirumuskan secara eksplisit jumlah nominal denda yang harus dibayar disesuaikan dengaan keuntungan
pelaku korupsi dengan biaya penegakan hukum yang dikeluarkan oleh Negara. Misalnyaa jika kerugian
Negara yang ditimbulkan oleh pelaku dan biaya penegaakan hukum sebesar Rp. 10.000.000.000 maka
pdana denda yang dijatuhkan kepada pelaku minimal dua kali lipat dan maksimal empat kali lipat yakni
antara Rp. 20.000.000.000 sampai Rp. 40.000.000.000.
Mengapa harus demikian ? sebab, berdasarkan analisis ekonomi terhadap hukum pidana,
kesejahteraan sosial (penjatuhan pidana denda) dapat ditempuh dengan memperhatikan jumlah
keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan perbuatan yang terlarang, dikurangi kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan itu, dann pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka penegakan hukum.
Kerugian akibat tindak pidana ini meliputi kerugian sosial yang ditimbulkan, biaya yang harus
dikeluarkan korban [otensial untuk melakukan pencegahan agar tidak menjadi korban, dan kerugian
yang secara langsung dialami oleh korban. Sementara biaya penegakan hukum pidana meliputi biaya
pencegahan, pengungkapan, penangkapan, dan penjatuhan sanksi pidana. Semua itu harus diukur dan
dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh dari melakukan tindak pidana.
Kerugian akibat tindak pidana (setelah diuangkan) dan biaya yang harus dikeluarkan pleh
pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana ini melali aparat pnegak hukum, ternyataa lebih besar
dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan tindak pidana, maka
optimalisasai penegakan hukum tidak akan terwujud. Oleh karena yang lain didalam mencegah tindak
pidana itu terjadi. Selain itu mempertinggi kemungkinan pelaku tindak pidana untuk ditangkap,
dipidana, dan dijatuhi pidan yang berat perlu dilakukan, karena dengan itu kesejahteraan sosial dapat
terwujud. Ketika kemungkinan ditangkap tinggi, maka penegakan hukum terhadaap hal itu akan
optimal, karena tidak akan banyak orang melaukan tindak pidana, dan dengan begitu, tidak banyak
biaya yang harus harus dikeluarkan untuk menanggulangi tindak pidana dan membiayai
operasionalisasi penegakan hukumnya.
Begitu juga dengan kemungkinan dipidana dengan pidana yang tinggi yang melebihi
keuntungan yang diperoleh pelaku. Karena dengan itu, pelaku akan menggung semua biaya dari
tindakannya itu. Pemikiran ini umumnya disebut dengan pemidanaan yang efisien. Dalam analisis
ekonomi terhadap hukum pidana, dikenal dua model yang dapat digunakan untuk mewujudkan
penjatuhan sanksi pidana yang optimal, yaitu shaping the individual’s apportunities dan shaping the
individual’s preferences. Yang pertama memiliki konsepsi bahwa seseorang bahwa seseorang secara
rasional memilih kesempatan-kesempatan yang ada untuk newujudkan kepuasan yang paling besar
berdasarkan pilihan yang ada. Sementara yang kedua memiliki konsepsi bahwa seseorang akan
bertindak secara rasional selama pilihan-pilihan yang dimiliki lengkap, dan dia akan memilih
kesempatan yang didalamnya terdapat keuntungan yang paling besar berdasarakan pilihan-pilihan yang
dimiliki.
Seseorang akan melakukan tindak pidana berdasarkan kesempatan dan pilihan yang dimiliki.
Ketika kesempatan dan pilihan yang dimiliki.ketika kesempatan yang dimiliki besar, agar seseorang itu
tidak melakukan kejahatan, yang harus dilakukan adalah dengan memperbesar kemungkinan
ditangkap., dipidana dan dijatuhi dengan sanksi pidana yang besar (berat) pula. Begitu juga ketika
pilihan-pilihan untuk melakukan tindak pidana lengkap, ia akan memiliki banyak kesempatan untuk
melakukan kejahatan. hanya dengan caraa itulah, penegakan hukum pidana optimal, sehingga
kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan utama dapat terwujud.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengn menyamakan kesempatan untuk melakukan
tindak pidana maupun kesempatan untuk tidak melakukan tindak pidana. Ketika kesempataan antara
melakukan dan tidak melakukan tindak pidana sama, maka biaya yang diperlukan dalam penegakan
hukum ketika terjadi tindak pidana akan optimal. Tidak akan banyak orang yang melakukan tindak
pidana. Penegakan hukum pidana dapat menurunkan angka kejahatan dikatakan optimal dan itu
dikatakn mencegah kejahatan. penjatuhan sanksi pidana yang optimal dalam analisis ekonomi terhadap
hukum pidana ini harus dalam batas batas yang masih ditoleransi, sehinnga tidak menimbulkan apa
yang disebut penegakan hukum yang berlebihan (over on forcement ). Penjatuhan sanksi pidana yang
berlebihan terjadi manakala jumlah keseluruhan sanksi pidana dijatuhkan kepada pelanggar melebihi
jumlah optimal dari upaya pencegahan. Penegakan hukum yang berlebihan dapat juga terjadi ketika
kerugian yang ingin dijatuhkan kepada pelaku melebihi upaya pencegahan yang diharapkan dari
dijatuhinya sanksi kepadanya.
Ketika seorang merugikan orang lain atau keuangan Negar sebesar Rp. 20.000.000.000 akan
dikatakan jika ia dijatuhi sanksi pidana sebesar Rp. 80.000.000.000 jika pengenaan denda sebesar Rp.
40.000.000.000 dikatakan kita tidak dapaat mencegahnya dari melakukan tindak pidana. Yang akan
timbul jika penegakan hukum pidana tidak memperhatikn aspek pencegahan yang diharapkan Mampu
mencegah seseorang melakukan tindak pidana adalaah potensi pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku. Dapat saja pelaku tindak pidana dipidana
melebihi batas maksimal dari kesalahan yang dilakukan.
c. Pidana Mati Lebih Diefektifkan
Selain formulasi pidana denda yang tidak mengeksplisitkan jumlah nominal denda yang harus
dibayar pelaku korupsi dalam ketentuan tiap tiap pasal sebagaimana dalam undang-undang korupsi tapi
cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan keuntungan yang diperoleh pelaku
ditambah biaya penegakan hukum, hal lain yang perlu juga dilakukan adalah dengan mengefektifkan
dan mengintensifkan eksistensi pidana mati dalam penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang efisien dibandingkan dengan pidana penjara
karena tidak memerlukan ongkos apapun. Pidana penjara dalam konteks ini pada kenyataanya tidak
efisien, memerlukan ongkos sosial yang sangat tinggi (high social cost of imprisonment), dan itu semua
harus ditanggung oleh negara.
Ongkos ini meliputi ongkos langsung dari membangun suatu gedung penjara, pemeliharaanya,
menggaji pegawai-pegawai yang bertugas dipenjara, ongkos kesempatan yang hulang dari
produktivitas bagi mereka yang dipenjara. Belum lagi ongkos hidup stiap orang yang dimasukkan
penjara akibat perbuatan yang dilakukan. Selain itu pidana penjara lebih banyak menguntungkan
terpidana yang memiliki kekayaan banyak dan dekat dengan kekuasaan. Realitas yang demikian tentu
sja menurt analisis ekonomi atas hukum pidana tidak efisien dan menimbulkan biaya yang sangat
tinggi. Resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum khusunya
petugas lembaga pernasyarakatan karena buruknya kinerja mereka dalam perlakuan dan pembinaan
yang diskriminatif terhadap warga binaan (narapidana) harus dihitung dan ditanggung oleh Negara. Hal
itu semua pasti memerlukan biaya dan ongkos yang sangat banyak. Dengan demikian pidana penjara
sangat tidak lah efisien. Harus diakui bahwa sejak undang-undang No. 3 Tahun 1971 hingga undangundang No. 20 Tahun 2001 diberlakukan, belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi
pidana mati berdasarkan putusan pengadilan.
Paling tidak terdapat dua hal mengapa pidana mati belum pernah diterapkan, pertama, ketentuan
penjatuhan pidana mati dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 21 Tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sangat sulit terpenuhi seperti apabila tindak pidana
korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulanagn keadaan bahaya.
Negara dalam keadaan bencana Nasional, krisis moneter, dank arena pengulangan tindak pidana
korupsi. Kedua, ancaman pidana mati hanya diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi secara melawan hukum
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 31 Tahun 1999. Secara
teoritis makn aperorangan atau setiap orang menunjuk kepada siapa orangnya yang harus bertanggung
jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang didakawakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa
orangnya yang harus dijadika terdakwa. Kata setiap orang identik dengan terminology kata barang
siapa. Oleh karena itu , kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan
sebagainsubjek hukum pendukung hak dan kewajibn yang dpat dimintai pertanggung jawaban pidan
atas tindak pidana yang dilakukan sehingga secara histories kronologis manusia sebagai subjek hukum
telah dengan sendirinya memiliki kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang
menentukan lain.Ini artinya, selain pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) pidana mati tidak
dapat dijatuhkan.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) 1971, yang dimaksud
dengan unsure memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat
dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) yang memberi kewaajiban kepada terdakwa untuk memberikan
keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan tentang sumber kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU
PTPK 1999). Penafsiran istilah memperkaya antara yang farfiah dan yang dari pembuat undang-undang
hamper sama. Hal yang jelas, keduanya menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau bertambah
kekayaanya, diukur dari penghasilan ya g telah diperolehnya.
Sementara ,maksud “memperkaya orang lain ” adalah akibat dari perbuatan melawan hukum
pelaku, ada orang lainyang menikmati bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan
bukan pelaku langsung, atau mungkin juga mendaoat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan
terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan dua hal tersebut diatas, dalam analisis ekonomi atas hukum hendaknya
penggunanaan dan penjatuhan pidana mati lebih diefektifkan dan diintensifkan karena eksistensinya
sesuai dengan prinsip rasionalitas dan efisiensi. Pidana mati sangat efisien dan ekonomis karena Negara
tidak memerlukan banyak biaya atas penjatuhan dan penerapan pidana mati. Selain itu pidana mati baru
dikatakan efisien jika jarak antara penjatuhan pidana terhadap pelaku dengan pelaksanaan idana mati
itu tidak terlalu lama (singkat). Tetapi jika jaraknya lama dalam arti pelaku kejahatan masih
ditempatkan di penjara dalam waktu yang relative lama, pidana mati masih menimbulkan persoalan,
lebih-lebih di Indonesia proses eksekusi pidana mati memakan waktu yang relative lama. Penjatuhan
pidana mati tidak hanya bagi pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) tetapi terhadp
ketentuan pasal-pasal lain seperti Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12B dan lain sebagainya.
Sebab, persyarataan bahwa pidana mati hanya bias dijatuhkan terhadap pelanggar Pasal 2 ayat (1) tidak
kemudian disimpulkan bahwa tindak pidana yang ditur dalam Pasal tersebut merupakan tindak pidana
paling berat dibandingkan dengan tindak pindana yang diatur dalam Pasal-pasal lainnya.
PIDANA KORUPSI DALAM KONTEKS ANALISIS EKONOMI ATAS HUKUM PIDANA
ABSTRAK
A. Pengertian dan Kontribusi Analisis Ekonomi atas Hukum dalam Hukum Pidana.
Pengertian klasik mengenai hukum adalah kewajiban yang diikuti oleh sanksi yang ditentukan
oleh Negara. Bagi ekonom pengertian ini penting eksistensinya mengingat ekonomi menyediakan suatu
teori ilmiah untuk memprediksi efek yang timbul dari sanksi hukum pada tingkah laku seseorang.
Sedangkan bagi para eonom, sanksi hukum tidak ada bedanya dengan harga, dalam arti orang orang
merespon keberadaan sanksi hukum sama halnya ketika mereka merespon keberadaan harga. Mereka
merespon terhadap harga yang tinggi melalui pengurangan mengkonsumsi makanan makanan mahal.
Orang orang akan merespon keberadaan sanksi hukum yang berat dengan cara melakukan tindakantindakan yang ancaman hukum atas tindakan itu sangat ringan.
Analisis ekonomi atas hukum hakikatnya adalah ilmu interdisipliner yang mencoba melihat
keberadaan hukum terutama sanksinya dari sisi atau prinsip-prinsip ekonomi. Ekonomi sendiri
merupakan ilmu tentang pilihan-pilihan rasional dimana sumber-sumber daya yang ada dibatasi dalam
hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Tugas ekonomi dalam hukum adalah menjelaskan
implikasi dari suatu asumsi bahwa manusia merupakan pemaksimal rasional atas keinginan-keinginan,
yakni kepuasan dirinya.
Dalam hubungannya dengan kejahatan dan pidana, analisis ekonomi (empiris) paling tidak
memberikan tiga konstribusi penting. Pertama, ekonomi memberikan suatu model yang sederhana
tentang bagaimana individu berperilaku di hadapan hukum, yang secara lebih khusus menganalisis
bagaimana individu merespon kehadiran sanksi pidana. Kebanyakan dari kita punya, atau dalam bahasa
ekonomi, memaksimalkan keuntungan didalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Kedua, ekonomi
relative kaku dalam analisis empirisnya. Priorits utama dalam analisis ekonomi empiris adalah untuk
membedakan antara hubungan dan sebab. Hal ini dikarenakan para ekonom berasumsi bahwaa manusia
di dalam berperilaku adalah rasional dan memiliki tujuan tertentu. Ketiga, ekonom menyediakan
sebuah metric yang jelas di dalam mengevaluasi sukses tidaknya suatu kebijakan hukum pidana. Dalam
hal ini criteria normative yang digunakan adalah efisiensi, dan efisiensi sendiri memiliki implikasi pada
penegakan hukum yang optimal. Dalam praktik pandangan ini diimplementasikan dalam bentuk
perbandingan antara ongkos dan keuntungan dari suatu kebijakan.
B. Karakter, Prinsip Rasionalitas dan Efisiensi
Perlu diketahui bahwa penggunaan analisis ekonomi atas hukum hanya cocok diterapkan
terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi. Motif pelaku melakukan kejahatan adalah
untuk mendapatkan keuntungan bersifat ekonomis. Untuk kejahatan-kejahatan yang tidak bermotif dan
karakter ekonomi , analisis ekonomi terhadap hukum pidana ini tidaka dapat diterapkan. Pehaman
terhadaapa karakter ini penting agar penerapan prisip prinsi ekonomi dalam hukum pidana dapat
berhasil dan berdaya guna sehingga eksistensinya diharapkan mampu menjadi salah satu alternative
penanggulanagn kejahatan dibidang ekonomi misalnya korupsi.
Secara umum dapat dikatakan
bahwa prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis ekonomi terhadap hukum pidana
adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi. Rasonalitas merujuk pada pengertan memilih sarana-
sarana yang paling baik untuk tujuan pemilih. Dalam konteks analisis ekonomi atas hukum rasionalitas
mengandung pengertian bahwa manusia di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, termasuk
melakukan kejahatan, berpikir secra rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan
keuntungan yang diharapkan seperti tindak pidana korupsi.(maximizing the expected utility).
Pengertian rasionalitas itu sendiri bukanlah pengertian yang tunggal, dalam artitidak ada pengertian
rasionalitas yang diterima secara luas. Russel dan Thomas Ulen mengemukakan paling tidak ada empat
pengertian tentang rasionalitas. Pertama, manusia dalah pemaksimal yang rasional didalam mencapai
keuntungan ( a man is a rational maximize of his ends ).
Rasionalitas disini tanpa diikuti oleh sarana apa yang digunakan untuk memaksimalkan
tujuannya (keuntungan) itu. Kedua, rasionalitas dikonsepsikan dengan keuntungan yang diharapkan
(the expected utility). Pengertian ini lebih kuat dibandingkan dengan pengertian yang pertama, karena
didalamnya telah menspesipikasikan sarana yang denganya pelaku akan memuaskan tujuan dan
pilihannya. Ketiga, kepentingan diri ( self interest ) yang mengandung arti bahwa pelaku akan berusaha
mewujudkan keuntungan dan dengan sara apa ia mewujudkan tujuan/keuntungan itu bergantung pada
kepentingan masing-masing pelaku. Pengertian ini lebih konkret dibandingkan dengan keuntungan
yang diharapkan. Keempat, maksimalisasi kekayaan (the wealth maximization) yang mengandung arti
bahwa berusaha untuk memaksimalkan kekayaan yang ada. Pengertian ini merupakan pengertian yang
paling spesifik dan paling kuat mengarah pada tindak pidana korupsi.
Jika konsep rasionalitas dikaitkan dengan hukum pidana terkait pidana korupsi, asusmsi yang
dilahirkan adalah pelaku kejahatan korupsi merupakan makhluk yang nasional ekonomis yang
menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan kejahatan dengan keuntungan yang
akan didapat. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka
pelaku akan melakukan kejahatan. Para individu yang melakukan rasional untuk memaksimalkan
keuntungan yang mereka dapatkan ( individual behave rationally ti maximize their untility ). Mereka
melakukan kejahatan ketika keuntungan dari melakukan perbuatan melanggar hukum melebihi ongkos
yang diharapkan dari pemidanaan. Ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada
saat melukan kejahatan. sementara keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik seperti harta,
kekayaan, dan keuntungan yang berbetuk psikis seperti kesenangan dan lain-lain.
Analisis ongkos dan keuntungan sangat penting dalam kebijakan public dana dalam kaitannya
dengan usaaha menanggulangi kejahatan. masalah penanggulangan kejahatan. masalah
penanggulangan kejahatan berkaitan erat dengan alokasi anggaran tersedia dan dialokasikan untuk
mengurangi risiko yanag akan timbul dari suatu kebijakan yang diambil, sementara analisis ongkos dan
keuntungan ini juga terkait dengan beberapa banyak sumber daya yang harus dialokasikan untuk
menanggulangi kejahatan itu. Dalam model ekonomi di dalam memandang kejahatan pembuat
kebijakan memiliki dua mekanisme untuk mengurangi aktivitas penjahat, yaitu kemungkinan ditangkap
damn beratnya sanksi pidana (the probality of apprehension and the magnitude of sanction). Tentu
usaha untuk mengurangi kejahatan merupakan ongkos bagi masyarakat karena kemungkinan ditangkap
(the probability of apprehension) mensyaratkan penggunaan polisi dan jaksa. Sementara, menurut
model yang resmi (ditetapkan oleh undang-undang) sanksi disamakan dengan denda daripada
pemenjaraan, dan denda itu sendiri tidak membutuhkan pengeluaran sumber daya.
Gary Becker mengemukakan pemikirannya berkaitan dengan konsep rasionalitas dihubungkan
dengan hukum pidana. Pertama, kebijakan hukum pidana yang optimal (the optimal criminal justice
p0licy). Pemikiran ini berkaitan dengan analisis ongkos dan keuntungan (cost and benefit anaysis),
yang mengandung arti suatu usaha untuk mendapatkan alokasi optimal sumber daya dalam masyarakat
didalam memerangi kejahatan. asumsi teori yang dibangun jika sanksi pidana yang ada cukup berat,
setiap penjahat pasti akan menghindar dari kemungkinan tertangkap dan hal ini akan mengurangi
kejahatan. Kedua, keputusan individu dalam kaitannya dengan aktivitas criminal (the individual’s
decision about criminal activity). Penjahat adalah seorang pelku rasional yang menimbang antara
ongkos dan keuntungan, serta waktu dan sumber daya yang di alokasikan dinatara aktiivitas penjahat
dan yang bukan penjahat, sehingga diketahui mana yang dapat mendatangkan keuntungan yang paaling
besar.
Semua orang (tidak hanya penjahat) adalah pelaku rasional yang berdasarkan subjektivitasnya
menimbang ongkos dan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan. Beberapa orang memilih kegiatan
yang dilabeli penjahat, karena bagi mereka keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut melebihi
ongkos yang harus dikeluarakan. Untuk mencegah agar mereka dari melakukan tindak pidana yang
dikeluarkan, sehingga dengan demikian, keuntungan yang diperoleh lebih kecil. Caranya adalah dengan
meningkatkan jumlah pidana yang akan dijatuhkan atau kesempatan untuk ditangkap dan diadili. Pada
saat yang sama ongkos sosial yang harus ditanggung dari penegakan hukum harus ditekan sedemikian
rupa sehingga berada pada posisi minimal. Ongkos penegakan hukum jangan sampai melebihi kerugian
sosial yang mau dicegah melalui saran penegakan hukum. Singkatnya, untuk meminimalisir ongkos
sosial yang harus ditanggung adalah dengan cara meningkatkan sanksi pidana yang cukup berat serta
meningkatkan jumlah penjahat yang ditangkap.
Ketiga, eksistensi kategori penjahat (the existence of criminal category). Masalah ini
berhubungan dengan analisis terhadap hukum pidana substantive dan berusaha menjelaskan sampai
sejauh mana kehadiran hukum pidana memang diperlukan. Prinsip kedua analisis ekonomi atas hukum
pidana adalah prinsip efisiensi yang mengandung makna pengematan, pengiritan, ketepatan, atau
pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan saran yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Bila saran yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan
tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan saran
membutuhkn lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin
dicapai, maka hal itu dikatakan efisien.
Dalam hukum pidana efisien berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah perbuatan-perbuatan
yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan ongkos untuk
menanggulanginya sehingga keuntungan yang ingin diraih darinya lebih besar. Kedua, apakah sanksi
pidana yang dijatuhkan lebih besar atau berat dibanddingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku
dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari ngkos yang harus dikeluarkan
oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk melakukan kejahatan. Apabila
dihubungkan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan, yang pertama kali harus diperhatikan
adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang akan dijatuhkan kepadanya, harus baru
kemudian dianalisis dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada, mana yang paling efisisendilihat dari
pprinsip ongkos dan keuntungan. Umumnya bentuk-bentuk sanksi pidana berupa pidana mati, pidana
seumur hidup, pidana penjara dan pidana denda.
C. Teori Pencegahan sebagai Dasar Analisis Ekonomi Atas Hukum
Dilihat dari teori pemidanaan analaisis ekonomi atas hukum menggunakan teori pencegahan
(deterrence) dar pada teori retribusi (retribution), rehabilitasi (rehabilitation) dan inkapasitasi
(incapacitation). Asumsi teori pencegahan adaalah bahwa manusia adalah makhluk rasional.
Impliklasinya ketika seseorang melakukan kejahatan, maka sanksi pidana yang dijatuhkan harus
melebihi seriusitas tindak pidana. Teori pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum (general
deterrence), bukan pencegahan khusus (special deterrence). Penjatuhan sanksinpidana bertujuan untuk
mencegah seseorang atau orang lain/ masyarakat melakukan kejahatan. sanksi pidana dijatuhkan agar
pelaku dan orang lain tidak melakukan kejahatan itu, karena kalau itu yang terjadi, sanksi pidana akan
dijatuhkan untuk kedua kalinya.
Teori ini berbeda dengan teori pemidanaan yang lain, seperti teori retribusi, rehabilitasi dan
inkapasitasi. Sedangkan dalam kaitan dengan efisiensi suatu pemidanaan, sangat jelas teori pencegahan
(deterrence) ini sangat efisien terutama jika dihubungkn dengan bentuk sanksi pidana penjara. Teori
pencegahan yang dimaksud adalah pencegahan umum (general deterrence) bukan pencegahn khusus
(soecial dterrence). Asumsi pencegahan umum adalah ketika pelaku kejahatn ditangkap, tentu saj
dikatakan terlambat untuk mencegah pelaku dari melakukan suatu kejahatan tertentu. Namun demikian,
dengan memidana pelaku kejahatan dan membuat masyarakat memiliki kesadaran mngenai pidana
yang akan dikenakan jika mereka melakukan kejahtan, para anggota masyarakat itu akan terhindar dari
melakukan aktivitas yang sama, karena kalau tidak, mereka akan ditangkap dan kemudia dijatuhi
pidana.Dalam teori retribusi yang memandang bahwa pidanaa bagi prlaku kejahatan harus setimpal
(proportional) dengan seriusitas kejahatan yang dilakukan, mengindikasikan bahwa Negara memiliki
keleluasan untuk menyesuaikan pencelaan dan ongkos yang harus ditanggung individu akibat
dmasukkan ke penjara sampai ia sesuai/ setimpal engan seriusitas kejahatan yang dilakukan . dalam
prinsip ekonomi teori ini tidak banayaak diikuti mengingat bagi sebagian pelaku kejahatan, adanya
peluang yang sama antar keuntungan dan ongkos (pidana) yang harus ditanggung akan
menyebabkannya memilih untuk melakukan kejahatan.
Sementara, teori rehabilitasi yang berasumsi bahwa pelaku-pelaku kejahataan dimasukkan ke
penjara kemudian dididik di dalamnya, yang tujuan utamanya adalah tidak lain kecuali agar mereka
tidak melakukan lagi kejahatan di masa mendatang, pada kenyataanyaa tidak banyak memberkan hasil
yang diharapkan. Programprogram rehabilitasi menunjukkan hasil yang bagus (rehabilitative programs
show poor results). Yang terakhir adalah teori inkapasitasi. Teori ini memandang bahwa pelaku
kejahatan tidak akan melakukan kejahatan ketika mereka berada dipenjara. Berdasarkan penelitian,
teori inkapasitasi ini secara signifikan mengurangi angka kejahatan. tentu saja fakta ini harus melalui
suatu penelitian yang cermat. Setidaknya dua syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan bahwa
teori inkapasitasi berhasil di dalam menurunkan angka kejahatan; ertama, pelaku-pelaku kejahtan yang
dipenjara tidak digantikan dengan pelaku-pelaku baru kurun waktu yang cukup lama.
Dengan kata lain teori inkapasitasi paling efektif di dalam mengurangi kejahatan ketika
persediaan pelau-pelaku kejahtan tidak elastis (incapacitation is most effective at reducing crime when
the supply of criminals is inelastic). Syarat ini sangat sulit dipenuhi mengingat elastisitas persediaan
pelaku kejahatan. Kedua, pemenjaraan harus dapat mengurangi jumlah keseluruhan kejahatan yang
dilakukan oleh residivis. Syarat ini pun juga sangat sulit dipenuhi, dikarenakan residivis melakukan
kejahatan disebabkan oleh factor-faktor biologis dan sosiologis.
D. Konteks Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
a. Motif Ekonomi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Secara teoritis terdapat dua motif seseorang melakukan tindak pidana korupsi yang umum
terjadi dimasyarakat. Pertama, corruption by need. Motif pertama lebih menekankan pada adanya
kebutuhan hidup yang harus ditanggung oleh seseorang. Kebutuhan hidup ini bisa kebutuhan hidup
dirinya sendiri, kebutuhan hidup istri dan anaknya maupun hidup sanak keluarganya. Seseorang
melakuka korupsi karena “terpakas” harus memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan sanak
kerabatnya. Himpitan ekonomi menjadi salah satu alasan mengapanorang tersebut melakukan korupsi.
Kedua, corruption by greed. Berbeda dengan yang pertama, pada yang kedua motif pelaku melakukan
tindak pidana korupsi semata mata karena motif ekonomi karena rakus. Secara materi pelaku
merupakan orang yang terpandang baik dari sisi kedudukan maupun dari sisi kemampuan financial.
Karena motif rakus itulah menyebabkan orang tersebut dengan tanpa dosa menjarah uang rakyat (uang
Negara).
Dalam konteks analisis ekonomi atas hukum, dua motif pelaku melakukan tindak pidana
korupsi diatas perlu dibedakan agar penggunaan prinsip analisis ekonomi atas hukum tepat sasaran dan
berdaya guna sehingga diharapkann mampu menanggulangi tindak pidaana korupsi. Penggunanan
prinsip prinsip analisis ekonomi atas hukum hanya cocok diterapkan kepada pelaku yang melaukan
tindak pidana korupsi yang didorong oleh motif ekonomi atau karena sifat rakus. Sedangkan pada
pelaku korupsi yang didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, penggunaan analisis ekonomi atas
dirasa tidak relevan karena sejak awal, analisis ini hanya berhubungan dengan tindak pidana yang
berkharakter ekonomi dan pelaku tindak pidana melakukan pelanggaran hukum semata-mata didorong
oleh ekonomi. Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul.
Dalam banyak perkara tindak pidana korupsi yang muncul ke public yang diduga merugikan
keuangan Negara yang banyak, hakikatnya merupakan tindak pidanaa korupsi yang disebabkan oleh
motif ekonomi sehingga penggunaan analisis ekonomi atas hukum tepat pada konteks ini. Undangundang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu tujuannya adalah untuk menjerat pelaku
korupsi kelas kakap yang disebabkan oleh motif ekonomi atau karena rakus. Tidak mengherankan jika
dewasa ini muncul istilah banalisme, suatu ungkapan yang menyiratkan titik terendah moralitas
koruptor. Kalau seseorang melakukan tindak pidana korupsi karena hendak memenuhi kebutuhan
bertahan hidup ( corruption by need ), ia masih memiliki alasan yang dimaklumi untuk itu, akan tetapi
jika seorang kaya dan memiliki jabatan penting dipemerintahan melakukan tindak pidana korupsi dan
kebetulan tertangkap, maka pendapat yang muncul adalah karena yang bersangkutan apes atau kurang
beruntung. Hal demikian menunjukkan bahwa moralitas orang tersebut berada pada titik terendah,
karena yang dipentingkan hanyalah aspek ekonomi semata.
b. Formulasi Pidana Denda
Jika pidana denda dalam undang-undang tindak pidana korupsi hendak disuaikan dengan
prinsip-prinsip dalam analisis ekonomi atas hukum pidana, yang perlu dilakukan adalah dengan
merubah formulasi dan ancaman pidana denda dalam semua ketentuan pasal dalam undang undang
tersebut. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam analisis ekonomi eksistensi
pidana denga tidak akan bertemu atau bebarengan dengan pidana penjara untuk dijadikan sebagai alat
penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku. Pidana penjara tidak efisien karena memboroskan keuangan
Negara. Kedua, perumusan ancamaan pidana denda menurut analisis ekonomi atas hukum pidana tidak
dirumuskan secara eksplisit jumlah nominal denda yang harus dibayar disesuaikan dengaan keuntungan
pelaku korupsi dengan biaya penegakan hukum yang dikeluarkan oleh Negara. Misalnyaa jika kerugian
Negara yang ditimbulkan oleh pelaku dan biaya penegaakan hukum sebesar Rp. 10.000.000.000 maka
pdana denda yang dijatuhkan kepada pelaku minimal dua kali lipat dan maksimal empat kali lipat yakni
antara Rp. 20.000.000.000 sampai Rp. 40.000.000.000.
Mengapa harus demikian ? sebab, berdasarkan analisis ekonomi terhadap hukum pidana,
kesejahteraan sosial (penjatuhan pidana denda) dapat ditempuh dengan memperhatikan jumlah
keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan perbuatan yang terlarang, dikurangi kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan itu, dann pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka penegakan hukum.
Kerugian akibat tindak pidana ini meliputi kerugian sosial yang ditimbulkan, biaya yang harus
dikeluarkan korban [otensial untuk melakukan pencegahan agar tidak menjadi korban, dan kerugian
yang secara langsung dialami oleh korban. Sementara biaya penegakan hukum pidana meliputi biaya
pencegahan, pengungkapan, penangkapan, dan penjatuhan sanksi pidana. Semua itu harus diukur dan
dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh dari melakukan tindak pidana.
Kerugian akibat tindak pidana (setelah diuangkan) dan biaya yang harus dikeluarkan pleh
pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana ini melali aparat pnegak hukum, ternyataa lebih besar
dibandingkan dengan jumlah keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan tindak pidana, maka
optimalisasai penegakan hukum tidak akan terwujud. Oleh karena yang lain didalam mencegah tindak
pidana itu terjadi. Selain itu mempertinggi kemungkinan pelaku tindak pidana untuk ditangkap,
dipidana, dan dijatuhi pidan yang berat perlu dilakukan, karena dengan itu kesejahteraan sosial dapat
terwujud. Ketika kemungkinan ditangkap tinggi, maka penegakan hukum terhadaap hal itu akan
optimal, karena tidak akan banyak orang melaukan tindak pidana, dan dengan begitu, tidak banyak
biaya yang harus harus dikeluarkan untuk menanggulangi tindak pidana dan membiayai
operasionalisasi penegakan hukumnya.
Begitu juga dengan kemungkinan dipidana dengan pidana yang tinggi yang melebihi
keuntungan yang diperoleh pelaku. Karena dengan itu, pelaku akan menggung semua biaya dari
tindakannya itu. Pemikiran ini umumnya disebut dengan pemidanaan yang efisien. Dalam analisis
ekonomi terhadap hukum pidana, dikenal dua model yang dapat digunakan untuk mewujudkan
penjatuhan sanksi pidana yang optimal, yaitu shaping the individual’s apportunities dan shaping the
individual’s preferences. Yang pertama memiliki konsepsi bahwa seseorang bahwa seseorang secara
rasional memilih kesempatan-kesempatan yang ada untuk newujudkan kepuasan yang paling besar
berdasarkan pilihan yang ada. Sementara yang kedua memiliki konsepsi bahwa seseorang akan
bertindak secara rasional selama pilihan-pilihan yang dimiliki lengkap, dan dia akan memilih
kesempatan yang didalamnya terdapat keuntungan yang paling besar berdasarakan pilihan-pilihan yang
dimiliki.
Seseorang akan melakukan tindak pidana berdasarkan kesempatan dan pilihan yang dimiliki.
Ketika kesempatan dan pilihan yang dimiliki.ketika kesempatan yang dimiliki besar, agar seseorang itu
tidak melakukan kejahatan, yang harus dilakukan adalah dengan memperbesar kemungkinan
ditangkap., dipidana dan dijatuhi dengan sanksi pidana yang besar (berat) pula. Begitu juga ketika
pilihan-pilihan untuk melakukan tindak pidana lengkap, ia akan memiliki banyak kesempatan untuk
melakukan kejahatan. hanya dengan caraa itulah, penegakan hukum pidana optimal, sehingga
kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan utama dapat terwujud.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengn menyamakan kesempatan untuk melakukan
tindak pidana maupun kesempatan untuk tidak melakukan tindak pidana. Ketika kesempataan antara
melakukan dan tidak melakukan tindak pidana sama, maka biaya yang diperlukan dalam penegakan
hukum ketika terjadi tindak pidana akan optimal. Tidak akan banyak orang yang melakukan tindak
pidana. Penegakan hukum pidana dapat menurunkan angka kejahatan dikatakan optimal dan itu
dikatakn mencegah kejahatan. penjatuhan sanksi pidana yang optimal dalam analisis ekonomi terhadap
hukum pidana ini harus dalam batas batas yang masih ditoleransi, sehinnga tidak menimbulkan apa
yang disebut penegakan hukum yang berlebihan (over on forcement ). Penjatuhan sanksi pidana yang
berlebihan terjadi manakala jumlah keseluruhan sanksi pidana dijatuhkan kepada pelanggar melebihi
jumlah optimal dari upaya pencegahan. Penegakan hukum yang berlebihan dapat juga terjadi ketika
kerugian yang ingin dijatuhkan kepada pelaku melebihi upaya pencegahan yang diharapkan dari
dijatuhinya sanksi kepadanya.
Ketika seorang merugikan orang lain atau keuangan Negar sebesar Rp. 20.000.000.000 akan
dikatakan jika ia dijatuhi sanksi pidana sebesar Rp. 80.000.000.000 jika pengenaan denda sebesar Rp.
40.000.000.000 dikatakan kita tidak dapaat mencegahnya dari melakukan tindak pidana. Yang akan
timbul jika penegakan hukum pidana tidak memperhatikn aspek pencegahan yang diharapkan Mampu
mencegah seseorang melakukan tindak pidana adalaah potensi pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku. Dapat saja pelaku tindak pidana dipidana
melebihi batas maksimal dari kesalahan yang dilakukan.
c. Pidana Mati Lebih Diefektifkan
Selain formulasi pidana denda yang tidak mengeksplisitkan jumlah nominal denda yang harus
dibayar pelaku korupsi dalam ketentuan tiap tiap pasal sebagaimana dalam undang-undang korupsi tapi
cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan keuntungan yang diperoleh pelaku
ditambah biaya penegakan hukum, hal lain yang perlu juga dilakukan adalah dengan mengefektifkan
dan mengintensifkan eksistensi pidana mati dalam penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang efisien dibandingkan dengan pidana penjara
karena tidak memerlukan ongkos apapun. Pidana penjara dalam konteks ini pada kenyataanya tidak
efisien, memerlukan ongkos sosial yang sangat tinggi (high social cost of imprisonment), dan itu semua
harus ditanggung oleh negara.
Ongkos ini meliputi ongkos langsung dari membangun suatu gedung penjara, pemeliharaanya,
menggaji pegawai-pegawai yang bertugas dipenjara, ongkos kesempatan yang hulang dari
produktivitas bagi mereka yang dipenjara. Belum lagi ongkos hidup stiap orang yang dimasukkan
penjara akibat perbuatan yang dilakukan. Selain itu pidana penjara lebih banyak menguntungkan
terpidana yang memiliki kekayaan banyak dan dekat dengan kekuasaan. Realitas yang demikian tentu
sja menurt analisis ekonomi atas hukum pidana tidak efisien dan menimbulkan biaya yang sangat
tinggi. Resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum khusunya
petugas lembaga pernasyarakatan karena buruknya kinerja mereka dalam perlakuan dan pembinaan
yang diskriminatif terhadap warga binaan (narapidana) harus dihitung dan ditanggung oleh Negara. Hal
itu semua pasti memerlukan biaya dan ongkos yang sangat banyak. Dengan demikian pidana penjara
sangat tidak lah efisien. Harus diakui bahwa sejak undang-undang No. 3 Tahun 1971 hingga undangundang No. 20 Tahun 2001 diberlakukan, belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi
pidana mati berdasarkan putusan pengadilan.
Paling tidak terdapat dua hal mengapa pidana mati belum pernah diterapkan, pertama, ketentuan
penjatuhan pidana mati dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 21 Tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sangat sulit terpenuhi seperti apabila tindak pidana
korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulanagn keadaan bahaya.
Negara dalam keadaan bencana Nasional, krisis moneter, dank arena pengulangan tindak pidana
korupsi. Kedua, ancaman pidana mati hanya diperuntukkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi secara melawan hukum
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 31 Tahun 1999. Secara
teoritis makn aperorangan atau setiap orang menunjuk kepada siapa orangnya yang harus bertanggung
jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang didakawakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa
orangnya yang harus dijadika terdakwa. Kata setiap orang identik dengan terminology kata barang
siapa. Oleh karena itu , kata setiap orang atau barang siapa sebagai siapa saja yang harus dijadikan
sebagainsubjek hukum pendukung hak dan kewajibn yang dpat dimintai pertanggung jawaban pidan
atas tindak pidana yang dilakukan sehingga secara histories kronologis manusia sebagai subjek hukum
telah dengan sendirinya memiliki kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang
menentukan lain.Ini artinya, selain pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) pidana mati tidak
dapat dijatuhkan.
Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) 1971, yang dimaksud
dengan unsure memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam ayat ini dapat
dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) yang memberi kewaajiban kepada terdakwa untuk memberikan
keterangan tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan tentang sumber kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU
PTPK 1999). Penafsiran istilah memperkaya antara yang farfiah dan yang dari pembuat undang-undang
hamper sama. Hal yang jelas, keduanya menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau bertambah
kekayaanya, diukur dari penghasilan ya g telah diperolehnya.
Sementara ,maksud “memperkaya orang lain ” adalah akibat dari perbuatan melawan hukum
pelaku, ada orang lainyang menikmati bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan
bukan pelaku langsung, atau mungkin juga mendaoat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan
terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan dua hal tersebut diatas, dalam analisis ekonomi atas hukum hendaknya
penggunanaan dan penjatuhan pidana mati lebih diefektifkan dan diintensifkan karena eksistensinya
sesuai dengan prinsip rasionalitas dan efisiensi. Pidana mati sangat efisien dan ekonomis karena Negara
tidak memerlukan banyak biaya atas penjatuhan dan penerapan pidana mati. Selain itu pidana mati baru
dikatakan efisien jika jarak antara penjatuhan pidana terhadap pelaku dengan pelaksanaan idana mati
itu tidak terlalu lama (singkat). Tetapi jika jaraknya lama dalam arti pelaku kejahatan masih
ditempatkan di penjara dalam waktu yang relative lama, pidana mati masih menimbulkan persoalan,
lebih-lebih di Indonesia proses eksekusi pidana mati memakan waktu yang relative lama. Penjatuhan
pidana mati tidak hanya bagi pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) tetapi terhadp
ketentuan pasal-pasal lain seperti Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12B dan lain sebagainya.
Sebab, persyarataan bahwa pidana mati hanya bias dijatuhkan terhadap pelanggar Pasal 2 ayat (1) tidak
kemudian disimpulkan bahwa tindak pidana yang ditur dalam Pasal tersebut merupakan tindak pidana
paling berat dibandingkan dengan tindak pindana yang diatur dalam Pasal-pasal lainnya.