EKSISTENSI SUANGGI NITU DALAM MASYARAKAT
1
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang kaya dengan beragam suku, adat istiadat,
kepercayaan dan budaya. Keberagaman tersebut memberikan warna tersendiri
bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam
lingkungan
tradisional.
Masyarakat
tradisional
tidak
terlepas
dari
kepercaayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis terutama bagi mereka yang
belum mengenal agama.
Istilah suanggi/nitu yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah santet/sihir, adalah satu hal yang dipercaya oleh masyarakat
tradisional. Suanggi bisa berarti orang yang memiliki kekuatan magis yang
bisa membuat orang lain sakit, celaka bahkan meninggal tanpa orang tersebut
kontak fisik dengan orang lain, bisa juga berarti perbuatan membuat orang
lain mengalami penyakit aneh tanpa sebab bahkan dapat berujung kematian.
Dalam masyarakat tadisonal, suanggi sudah tidak asing lagi dalam
pengertian mereka, dimana suanggi ini merupakan urban legend yang sangat
menakutkan di beberapa daerah seperti di tanah Papua, Maluku, NTT maupun
daerah lain di Indonesia yang memahami suanggi dengan istilah yang berbeda
beda sesuai dengan pemahaman mereka seperti Santet, Sihir, Dukun dll.
Keberadaan suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional sudah menjadi
hal biasa namun dapat menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan, sebab
dengan adanya suanggi ini maka ada orang lain yang dapat kehilangan
nyawanya tetapi tidak dapat dibuktikan secara hukum siapa atau bagaimana
2
orang lain tersebut meninggal. Apabila ada orang yang dituduh sebagai
suanggi dapat saja dilakukan tindakan main hakim sendiri untuk menghukum
orang tersebut.
Dari segi hukum masalah suanggi ini dapat menimbulkan pengabaian
terhadap hak seseorang, terganggunya ketertiban umum dan tindakan main
hakim sendiri. Tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia, belum
mengatur tentang suanggi di mana aturan hukum itu memiliki unsur unsur
hukum yang jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat
dikatakan sebagai suanggi. Dalam asas-asas hukum pidana yaitu asas legalitas
yang dikenal juga dengan asas Nullum Delictum masalah suanggi ini tidak
dapat diselesaikan.
Problema suanggi dalam masyarakat tradisional jika diselesaikan
melalui jalur hukum tentunya harus melalui proses penyidikan, penuntutan
sampai pada proses pemerikasan di pengadilan, hendaknya perlu diperhatikan
asas-asas hukum yang dipakai, seperti, antara lain; asas legalitas, asas
keseimbangan, asas Praduga Tak Bersalah, prinsip pembatasan penahanan,
asas ganti rugi dan rehabilitasi, dan asas lainnya yang dipakai di dalam
KUHAP. Namun apakah proses tersebut dapat dijalankan ? masalah suanggi
hanya dapat diproses apabila telah ada larangan-larangan yang dirumuskan
dalam hukum pidana materiil, jika tidak, maka akan bertentangan dengan asas
legalitas atau Asas Nullum Delictum.
3
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas eksistensi
suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap asas Nullum Delictum,
problema ini dalam pandangan hukum yang responsif dan suanggi/nitu dalam
perspektif perbandingan hukum.
b. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka dapat dirumuskan
beberapa masalah berikut ini :
1. Bagaimana eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap
asas Nullum Delictum?
2. Bagaimanakah suanggi/nitu dalam problema hukum yang responsif?
3. Bagaimana suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan hukum ?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Pengertian Suanggi/Nitu
Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan setan,
hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk halus yang
mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda dengan rupa seorang manusia
biasa. Sedangkan perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang jahat,
garang
dan
keji
(devil).
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(W.J.S.Poerwadarminta, 2006), kata “suanggi” diartikan sebagai hantu yang
jahat atau burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang bekerja dengan
pertolongan orang halus atau yang disebut dengan mahluk halus.1
Konsep Santet dalam Sistem KUHP2
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, masalah santet dan apalagi
konsep tentang “suanggi” belum dikenal dalam sistem KUHP. Konsep
rasionalitas merupakan dasar dan alasan dibentuknya hukum pidana.
Seseorang dikatakan bersalah apabila telah memenuhi seluruh rumusan dan
unsur-unsur delik yang dituduhkan kepadanya. Dalam arti bahwa fakta-fakta
hukum yang konkrit
merupakan dasar yang menentukan kesalahan
1 Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy. “Suanggi” dalam Perspektif
Hukum Pidana, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404Universitas
Halmahera 2014,hlm;2
2 Ibid.,. 15
5
seseorang. Dikatakan bersalah apabila orang itu mampu bertanggung jawab
dan melalui bukti-bukti yang cukup menyatakan kesalahannya itu.
Jika tidak, maka orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, apalagi menghukumnya. Namun demikian, konsep berpikir
irasional masih sangat populer untuk sebagian besar masyararkat. Cara-cara
berpikir gaib memang merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, karena
selalu mengaitkan kehidupannya dengan masalah-masalah keagaiban. Tidak
heran apabila cara-cara kekerasan pun kerapkali dilakukan hanya dengan
berlandasan pikiran irasional. “Suanggi” merupakan salah satu di antaranya.
Perbuatan - perbuatan yang dilakukan menurut pikiran rasional bukanlah
merupakan fakta hukum yang konkrit. Oleh karena itu, sistem KUHP
Indonesia hanya menghukum orang yang telah melakukan suatu tindakan
melawan hukum terhadap orang lain. Termasuk menghukum orang yang telah
melakukan kekerasan atau tindakan melawan hukum lainnya kepada orang
dituduh “suanggi”. Apapun bentuknya perbuatan tersebut. Dalam kaitannya
dengan santet, termasuk di dalamnya “suanggi”, pelaku santet tidak dapat
dihukum berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia (asas
legalitas; Pasal 1 ayat (1) KUHP). Oleh karena ketentuan-ketentuan mengenai
santet sama sekali belum diatur di dalam sistem KUHP saat ini. Dengan kata
lain, bahwa rumusan-rumusan delik tentang santet (“suanggi”) tidak diatur di
dalam pasal-pasal KUHP. Karena itu, yang dapat dikenakan hukuman adalah
kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan terhadap orang lain,
6
secara melawan hukum. Di lihat dari kasus-kasus yang dilakukan terhadap
orang yang dituduh “suanggi”, sudah merupakan tindakan melawan hukum.
Karena itu, sudah dapat diproses dan dihukum sesuai hukum yang
berlaku terhadap orang-orang yang telah melakukan tindakan “main hakim
sendiri”. Hukum pidana sama-sekali tidak membenarkan suatu tindakan
dalam bentuk apapun terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan suatu
pelanggaran atau bahkan kejahatan. Apalagi tindakan tersebut dilakukan
melalui cara-cara kekerasan, tidak berkemanusiaan. Hukum menghendaki
suatu kejahatan haruslah diproses sesuai hukum yang berlaku. Suanggi adalah
setan jadi tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik, sedangkan orang
yang “bersuanggi” dapat menjadi pelaku delik dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat menjadi fakta hukum
menurut sistem Hukum Pidana Materril dan Formiil, yaitu:
a. Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian, harus memenuhi syaratsyarat pembuktian.
b. Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus sesuai atau mencakup
konsep tentang “suanggi”.
b. Asas Nullum Delictum
“Nullum Delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang
berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana . Merupakan salah satu asas dalam
Asas – asas Hukum Pidana yang dikenal dengan Asas Legalitas.
Asas
7
legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “ Tiada suatu
perbuatan ( feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Istilah feit dapat juga
diartikan “peristiwa”, karena dengan istilah tersebut meliputi baik perbuatan
yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun
mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Arti dan Makna Asas Legalitas3
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari
perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang
menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus
diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya
oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu
melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan
pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan
fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi
Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2007, hlm. 39 dalam Amir Ilyas Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya
Rangkang Offset, Yogyakarta, 2012, hlm.12-13.
3
8
melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental,
yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan
kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman,
sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap
dalam bahasa Latin, yaitu :
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undangundang.
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Dari asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga
pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
suatu
peraturan
perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum
orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut;
9
c.
Hukum Responsif4
Hukum responsif adalah hukum yang beorientasi pada tujuan dari
hukum dengan mengkolaborasikan antara nilai ideal dari suatu hukum dengan
tujuan yang tampak sebagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks
kekinian.
Analisis secara komprehensif tentang hukum responsif sejatinya
adalah bukan ranah hukum secara keseluruhan akan tetapi lebih berarti
kepada suatu gerakan revolusioner untuk mengubah hukum dengan
mempengaruhi kekuasaan politis. Hukum responsif bukanlah suatu perubahan
cara berhukum akan tetapi lebih menekankan kepada pembangkangan
terhadap hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan justifikasi atau
legitimasi moral yang mana nilai-nilai regulatif telah menciderai rasa keadilan
masyarakat
sehingga
perlu
dilakukan
upaya
kritis
dengan
sarana
mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kembali kepada nilai-nilai
keadilan substantif.
Hukum Responsif lebih berorientasi pada suatu gerakan revolusioner
untuk mempengaruhi hukum melalui sarana-sarana politis ketimbang
merubah cara berhukum dalam mewujudkan keadilan substantif di
pengadilan.
4 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif , Nusa Media
Bandung, 2010 .
10
d. Perbandingan Hukum 5
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan dan
merupakan cabang dari ilmu hukum dan merupakan suatu metode pendekatan
yang bersifat khusus dan mendasar dalam ilmu hukum yang bermaksud untuk
menyelidiki dan mengkaji serta membandingkan mengenai titik perbedaan
dan persamaan serta sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya persamaan
dan perbedaan yang ada dalam berbagai sistem atau tradisi hukum yang
berlaku di berbagai Negara di dunia.
Hakikat perbandingan hukum :
1. Secara substantif, merupakan wadah dalam upaya mempelajari,
mengetahui, dan memahami berbagai prinsip atau asas-asas hukum
dan kaidah hukum serta lembaga-lembaga hukum yang bersifat
universal, sumber-sumber dan karakter hukum yang melekat pada
setiap sistem hukum atau tradisi hukum/keluarga hukum atau tata
hukum (hukum positif) yang berlaku di berbagai negara di dunia.
2. Secara fungsional hakikat perbandingan hukum sebagai suatu metode
kerja atau metode pendekatan yang digunakan dalam ilmu hukum
dengan maksud :
a. Untuk
menyelidiki,
mengkaji,
dan
menganalisis
berbagai
permasalahan hukum yang terjadi atau dipraktekkan/diterapkan
dalam berbagai Negara di dunia sesuai dengan sistem atau tradisi
5 S. Yohanes. Buku Ajar Perbandingan Hukum, Universitas Nusa
Cendana, Kupang 2014,hlm.29.
11
hukum yang dianut, sehingga dapat mencari dan menemukan
solusi atas permasalahan hukum yang terjadi
b. Untuk menemukan titik taut perbedaan dan persamaan yang terjadi
di antara sistem hukum/tata hukum dengan sistem hukum/tata
hukum yang lainnya yang berlaku di berbagai Negara
c. Untuk mengadakan pembaruan atau perubahan sistem hukum atau
tata hukum yang berlaku dalam suatu Negara tertentu, termasuk
Indonesia sehingga sejalan dengan sistem hukum yang berlaku di
dunia internasional.
d. Untuk melakukan unnifikasi hukum, kodifikasi hukum, dan
harmonisasi hukum seta sinkronisasi hukum di berbagai Negara
jika terdapat kesamaan pandangan atau ideology yang dianut oleh
suatu bangsa atau Negara yang bersangkutan.
e. Untuk memperhitungkan dan membandingkan secara cermat dan
teliti mengenai kebaikan dan keburukan atau kekurangan dan
keuntungan dari setiap sistem hukum/tata hukum yang berlaku dan
dianut oleh berbagai Negara di dunia sebelum suatu Negara
tertentu (Indonesia) mengadopsi sistem hukum/tata hukum yang
berlaku di Negara yang lain tersebut.
12
BAB III
PEMBAHASAN
a.
Eksistensi Suanggi/nitu dalam Masyarakat Tradisional terhadap Asas
Nullum Delictum
Kehidupan masyarakat tradisional sangat dekat dengan mistik atau
hal-hal gaib. Setiap daerah punya nama tersendiri untuk mengistilahkan hal
tersebut. Di daerah timur seperti Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur
dikenal istilah “suanggi/nitu”. Dari beberapa cerita yang berkembang
dalam masyarakat tradisional, ada yang mengatakan sosok suanggi sangat
menakutkan dengan mata yang merah, dan memiliki gigi gigi yang tajam,
diceritakan pula sosok suanggi suka memakan daging manusia, atau saat
mengincar korbannya dia akan terbang menggunakan pelepah daun, dan
mengintip korbannya dari atas, suanggi juga dapat berubah wujud menjadi
binatang atau apa saja yang dia mau sehingga mudah melakukan aksinya.
Dalam cerita masyarakat yang berkembang, percaya atau tidak
ternyata keberadaan suanggi itu memang benar ada. Di mana orang yang
dianggap suanggi itu dapat membuat orang lain menjadi sakit berat hingga
meninggal dunia dengan tidak wajar. Pembuktian akan kebenaran atas hal
itu hanya dapat dibuktikan dengan sumpah adat dan diakhiri dengan doa
pengampunan. Sebagai contoh di daerah Alor, Nusa Tenggara Timur
13
dimana seseorang dapat disuanggi dengan membuat ritual yang mereka
percaya dapat membuat orang lain sakit keras hingga berujung maut.
Misalnya si A ingin disuanggi oleh si B, maka si B dapat mengambil seekor
hewan yang melambangkan tubuh dan jiwa si A dan menyiksa hewan
tersebut hingga mati, maka tak lama kemudian si A akan sakit keras dan
meninggal dunia. Namun dalam pelaksanaan itu tentu si B memiliki
konsekuensi tekanan mental dan jiwa yang besar, dimana dalam penilaian
masyarakat setempat bahwa kematian si A pasti dan tidak lain adalah
perbuatan si B. Sehingga si B bisa saja menjadi tertekan batin, dan dalam
tekanan batin itulah si B minta untuk didoakan oleh pendeta atau pastor
setempat, Maka dari situlah si B mengakui segala perbuatan jahatnya itu.
Namun di sisi lain, keberadaan suanggi atau santet ini masih ada
berbagai penilaian atau argumen yang berbeda dari setiap orang dimana
ada yang percaya atau meyakini maupun tidak menyakini.
Menurut Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy (2014) “suanggi”
atau orang yang “bersuanggi” adalah seseorang yang memelihara atau
berteman dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari pertemanan atau
pemeliharaan tersebut, lama kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim
antara keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan diturunkan kepada orang
tersebut. Pada fase tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan perilaku
orang itu. Pada akhirnya sifat dan prilaku orang itu menjadi atau serupa
dengan setan. Apa yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti oleh orang
14
tersebut. Sebaliknya, orang tersebut dapat melakukan kemauan dan maksud
jahatnya atas bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan “suanggi”
atau “bersuanggi”, karena sifat dan perilakunya telah menyatu dengan setan.
Jadi, terdapat dua kepribadian dalam tubuh orang yang dikatakan “suanggi”
tersebut. Ketika orang yang “bersuanggi”melakukan suatu per-buatan,
sebagaimana yang dituduhkan oleh masyarakat kepadanya, maka yang
melakukannya adalah pribadi setan, tetapi yang Nampak adalah rupa dan
wajah dari tubuh pribadinya. Dengan demikian, “suanggi”sebetulnya adalah
manusia yang setengah setan tetapi juga setengah manusia. Setengah setan
karena ia telah menyerupai setan, memiliki sifat-sifat jahat, melakukukan
hal-hal yang jahat, tetapi juga memilki kekuatan gaib. Setengah manusia
karena ia adalah manusia tetapi
memiliki kekuatan setan (gaib), dan hidup sebagai manusia normal
sebagaimana biasanya.
Oleh karena itu, terasa sulit menentukan mereka sebagai subyek dan
pelaku delik, karena ada dua personal di dalam diri mereka. Dua pribadi
yang hidup dalam “tubuh yang satu” atau dua kepribadian dalam satu tubuh.
Personal manusia pribadi yang normal tetapi juga melekat personal setan
yang tidak normal, gaib. Lagi pula, pembuktiannya hanya melalui media
yang gaib pula. Maksudnya, membuktikan hal-hal gaib harus pula dilakukan
melalui cara-cara yang gaib. Ini yang tidak dapat dilakukan melalui sistem
hukum pembuktian yang mengandalkan fakta hukum yang konkrit, rasional
15
dan dapat diterima akal sehat. Dalam arti, bahwa seseorang dapat dijadikan
sebagai pelaku delik jikalau ada bukti yang kuat menyertai perbuatannya.
Ini merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan. Meskipun delik santet yang
dirumuskan adalah bentuk delik formiil, tetapi itu pun memerlukan
pembuktian.
Walaupun Pembuktiannya, tidak sampai pada masalah yang gaib
tetapi paling kurang berhubungan dengan kegaiban, atau bahkan mendekati
kegaiban. Namun demikian, apabila ada orang (dukun) yang mampu
membuktikan kebenaran perbuatannya, maka hal itu dapat menjadi fakta
hukum yang konkrit, sehingga perbuatan “suanggi” dapat dikenakan
hukuman.
Berkaitan dengan hal diatas tentu harus dapat dibuktikan secara
hukum, sehingga menghindari adanya tindakan main hakim sendiri oleh
warga masyarakat dalam menaggapi problematika yang disebut santet
tersebut
yang berkembang dalam kehidupan mereka. Dalam tatanan
hukum positif yang berlaku di Indonesia, belum ada aturan hukum yang
mengatur tentang suanggi dimana aturan hukum itu memiliki unsur unsur
hukum yang jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat
dikatakan sebagai suanggi.
Contoh misalnya orang menggunakan suanggi untuk menipu orang
lain dengan mengiming imingi sejumlah uang yang besar, namun ternyata
upaya suangginya tidak berhasil, dari contoh di atas dapat disimpulkan
16
bahwa keberadaan suanggi memang secara hukum belum dapat dibuktikan
dengan nyata, karena sulit membuktikan seseorang melakukan praktek
suangginya terhadap orang lain dengan menggunakan alat sebagai barang
bukti dan kepada siapa praktek suangginya itu ditujukan, kenapa demikian?
karena suanggi itu sendiri berhubungan dengan sesuatu yang gaib, dan
boleh dikatakan memiliki keahlian khusus. Lain hal apabila orang tersebut
mengakui perbuatannya, bahwa orang yang sakit keras atas meninggal
dunia itu adalah perbuatannya.
Terhadap asas Nullum Delictum, masalah suanggi
tidak dapat
diselesaikan karena belum ada norma yang mengatur tentang itu. Asas
Nullum Delictum mengandung konsekuensi dalam menentukan perbuatanperbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya
pidana yang diancamkan, perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.
Sehingga orang yang bersuanggi dapat saja terus berbuat karena secara
hukum tidak bisa dipidana.
b. Suanggi/nitu, Problema Hukum yang Responsif
Hukum responsif
menurut Nonet dan Selznick dipahami sebagai
hukum otonom terbuka di mana perlu adanya legitimasi terhadap segala
kebutuhan dan perubahan sosial masyarakat untuk dirumuskan dalam suatu
nilai yang bersifat preskriptif.
17
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kental pluralisme,
hukum yang responsif diperlukan untuk mengakomodir masalah-masalah
sosial yang berkembang dalam masyarakat yang menimbulkan masalah
hukum. Karena hukum ada untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam masyarakat. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Hukum tidak saja
merupakan aturan yang kaku tetapi fleksibel mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat.
Dengan demikian perlu adanya respon serta peran aktif masyarakat
tradisional dalam menanggapi fenomnena ini, di mana suanggi ini sendiri
adalah sesuatu hal yang dinilai negatif oleh masyarakat, dengan adanya
pencerahan atau pentahiran yang dilakukan oleh pemuka masyarakat atau
agama maka orang yang merasa dirinya suanggi dapat bertobat dan kembali
ke jalan yang benar.
Salah satu cara yang telah dilakukan oleh penyelenggara Negara
adalah dengan membuat Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUUKUHP) yang dalam salah satu Pasalnya yaitu
Pasal 293 memasukkan masalah santet. Hal ini adalah salah satu bentuk
hukum responsif dalam menyelesaikan masalah suanggi/nitu.
Kutipan bunyi Pasal 293 RUUKUHP adalah :
1)
Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan,
memberikan
harapan,
menawarkan
atau
18
memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV;
2)
Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya
ditambah dengan sepertiga."
Sementara dalam penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan itu
dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh
praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan
dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah
secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh
warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh
(santet).
Sejalan dengan itu Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy menyatakan
bahwa, dalam Rumusan Rancangan KUHP Baru delik santet mulai
diperkenalkan. Termasuk asas legalitas yang telah diperluas maknanya diatur
pada Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4). Berikut ini lengkapnya:
Pasal 1:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
19
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Apabila diperhatikan Pasal 1 Rancangan KUHP tersebut, maka jelas bahwa
konsep asas legalitas telah diperluas maknanya. Yakni, setiap perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman bukan hanya oleh perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai delik (tindak pidana) dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, tetapi juga menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat yang bahwa seseorang patut dipidana
walaupun
perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
peraturan
perundangundangan.
Artinya, bahwa meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan
atas perbuatan itu terlebih dahulu, tetapi apabila menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat menentukan seseorang itu patut dihukum hukum, maka ia
patut dihukum. Dari rumuasan ayat (3) dan ayat (4) dapat ditangkap bahwa
20
dasar hukumnya adalah ditentukan oleh dan/atau menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang peraturan perundangan
yang mengatur tentang santet/suanggi. Hukum yang lahir dari masyarakat
bukan dari pejabat atau penguasa, selaras dengan sifat responsif yang dapat
diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami
dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Menurut Menteri
Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dalam Harian Umum Suara
Harian Merdeka, Jakarta (2010) menyebut, santet dan sejenisnya merupakan
beyond science. Oleh karena itu, yang dibuktikan bukan bagaimana cara
menyantet
melainkan
pengakuan
seseorang
yang
bermufakat
untuk
mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan ilmu hitam. Bukan
membuktikan ilmu hitamnya sebagai tindak pidana melainkan perbuatannya. 7
Maksudnya dalam menangani beberapa kasus kejahatan magis, penyidik
menerapkan pasal-pasal lain dalam KUHP agar pembuktiannya jadi lebih
mudah. Pada kejahatan magis seperti hipnotis, peramalan atau dukun palsu
akan diterapkan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) . Kemudian dalam kasus
kejahatan magis yang menyebabkan kematian orang, maka polisi akan
menjeratnya dengan pasal pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Oleh karena itu suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum yang
responsif di mana diperlukan pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke
21
prinsip-prinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya.
c.
Suanggi/nitu dalam Perspektif Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang
komperhensif tentang semua sistem hukum yang ada di dunia dengan
memahami bagaimana sistem hukum nasional di Negara sendiri dan
mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum asing guna pembangunan
hukum nasional juga sebagai pedoman dalam harmonisasi hukum dan
pembentukan hukum.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu sistem hukum yang
merefleksikan
keanekaragaman
hukum
yang
ada
dalam
masyarakat
Indonesia. Sistem hukum nasional yaitu sistem hukum yang berlaku dalam
suatu negara belum dimiliki Indonesia karena sistem hukum Indonesia masih
dipengaruhi oleh berbagai sistem hukum antara lain sistem hukum Eropa
Kontinental (Civil Law), hukum adat dan hukum Islam namun juga terdapat
sistem hukum Common Law yang muncul seiring dengan perkembangan
jaman. Kecenderungan pada Sistem Hukum Adat, Hukum warisan dan hukum
Agraria masih berpedoman pada hukum adat, selain itu budaya hukum sistem
hukum Indonesia sangat terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianut dan
dilaksanakan oleh masyrakat Indonesia.
22
Dalam perspektif perbandingan hukum, penanganan hukum untuk
masalah suanggi/nitu dapat diselesaikan dengan mengkolaborasikan beberapa
sistem hukum yang ada. Penyelesaian masalah hukum suanggi tidak dapat
dilakukan dengan sistem civil law yang identik dengan kodifikasi yaitu
berdasar pada aturan-aturan yang tersusun dalam kitab undang-undang, maka
dapat dikaji dengan pendekatan sistem hukum common law yang berdasar
pada kebiasaan masyarakat. Hukum adat yang masih berlaku dan diakui oleh
masyarakat tradisioanal. Jika dilihat dari hukum responsif maka hukum adat
sejalan dengan ciri hukum responsif, karena berasal dari masyarakat.
Problema suanggi/nitu dalam masyarakat yang ada saat ini memang
belum dipidana tetapi dalam masyarakat tradisional sudah ada hukum adat
yang mengatur itu, dalam hukum adat dikenal adanya pelanggaran adat.
Menurut I Gede A. B. Wiranata dalam bukunya Hukum Adat Indonesia
pelanggaran adat adalah semua bentuk perbuatan atau kejadian yang
bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa
keadilan dan kesadaran hukum masyrakat bersangkuta baik hal itu akibat
perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri.
Dalam pelanggaran adat tidaklah mutlak rumusan pelanggaran ada
terlebih dahulu dari perbuatan hukum. Hukum adat bersifat terbuka sehingga
delik yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan
keseimbangan masyarakat terganggu sehingga akan menimbulkan suatu reaksi
adat.
23
Bentuk hukuman dalam hukum adat bermacam-macam antara lain :
pengucilan dari masyarakat, diusir keluar dari tempat tinggalnya, bahkan
hukum cambuk atau dirajam. Meskipun dengan hukuman-hukuman tersebut
belum tentu memberikan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran tetapi
ada usaha dari masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman mellaui
hukum adat tersebut.
Hukum adat yang tidak dapat dipungkiri masih berlaku dalam
masyarakat Indonesia memberikan warna tersendiri dalam sistem hukum
Indonesia, yang secara tidak langsung juga telah menyelesaikan masalahmasalah hukum dalam masyarakat seperti problema suanggi/nitu ini. Dengan
memahami
perbandingan
hukum
maka
diharapkan
dapat
dilakukan
pengembangan dan pembaharuan dalam sistem hukum yang ada yang akan
timbul sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa berkembang.
24
BAB IV
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap asas
Nullum Delictum bertentangan karena belum ada norma yang
mengatur tentang suanggi/nitu. Asas Nullum Delictum mengandung
konsekuensi dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang
diancamkan dan perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.
2. Suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum yang responsif di
mana diperlukan pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsipprinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya.
3. Suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan hukum dapat dikaji
melalui sistem hukum common law yang dipengaruhi oleh kebiasaan
masyarakat dalam hal ini hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
tradisional.
b. Saran
1.
Diperlukan
suanggi/nitu
kajian lebih mendalam dalam penyelesaian masalah
dalam
masyarakat
tradisional,
karena
sudah
cukup
menggangu ketertiban umum, keamanan, dan kenyamanan masyarakat.
25
2.
Diperlukan hukum yang responsif dari masyarakat untuk pembentukan
pertaturan perundangan yang dapat memberikan efek jera bagi masyarakat
tentang problema suanggi/nitu.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amir Ilyas, 2012, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Mahakarya Rangkang
Offset .
Arief Sidharta,2008, Asas-Asas Hukum Secara Umum Bandung, Retika Adhitama.
Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy 2014, “Suanggi” dalam Perspektif Hukum
Pidana, Halmahera, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor .
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti .
Iman Sudiyat, 1999, Asas - Asas Hukum Adat, Yogyakarta, Liberty.
Philip Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif, Bandung, Nusa Media.
Saryono Yohanes, 2014, Buku Ajar Perbandingan Hukum, Kupang, Universitas
Nusa Cendana.
R. Subekti,1980, Hukum Pembuktian,Jakarta,Pradnya Paramita.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum,Yogyakarta, Kanisius.
Undang-Undang :
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUAHP)
27
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang kaya dengan beragam suku, adat istiadat,
kepercayaan dan budaya. Keberagaman tersebut memberikan warna tersendiri
bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam
lingkungan
tradisional.
Masyarakat
tradisional
tidak
terlepas
dari
kepercaayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis terutama bagi mereka yang
belum mengenal agama.
Istilah suanggi/nitu yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
istilah santet/sihir, adalah satu hal yang dipercaya oleh masyarakat
tradisional. Suanggi bisa berarti orang yang memiliki kekuatan magis yang
bisa membuat orang lain sakit, celaka bahkan meninggal tanpa orang tersebut
kontak fisik dengan orang lain, bisa juga berarti perbuatan membuat orang
lain mengalami penyakit aneh tanpa sebab bahkan dapat berujung kematian.
Dalam masyarakat tadisonal, suanggi sudah tidak asing lagi dalam
pengertian mereka, dimana suanggi ini merupakan urban legend yang sangat
menakutkan di beberapa daerah seperti di tanah Papua, Maluku, NTT maupun
daerah lain di Indonesia yang memahami suanggi dengan istilah yang berbeda
beda sesuai dengan pemahaman mereka seperti Santet, Sihir, Dukun dll.
Keberadaan suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional sudah menjadi
hal biasa namun dapat menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan, sebab
dengan adanya suanggi ini maka ada orang lain yang dapat kehilangan
nyawanya tetapi tidak dapat dibuktikan secara hukum siapa atau bagaimana
2
orang lain tersebut meninggal. Apabila ada orang yang dituduh sebagai
suanggi dapat saja dilakukan tindakan main hakim sendiri untuk menghukum
orang tersebut.
Dari segi hukum masalah suanggi ini dapat menimbulkan pengabaian
terhadap hak seseorang, terganggunya ketertiban umum dan tindakan main
hakim sendiri. Tatanan hukum positif yang berlaku di Indonesia, belum
mengatur tentang suanggi di mana aturan hukum itu memiliki unsur unsur
hukum yang jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat
dikatakan sebagai suanggi. Dalam asas-asas hukum pidana yaitu asas legalitas
yang dikenal juga dengan asas Nullum Delictum masalah suanggi ini tidak
dapat diselesaikan.
Problema suanggi dalam masyarakat tradisional jika diselesaikan
melalui jalur hukum tentunya harus melalui proses penyidikan, penuntutan
sampai pada proses pemerikasan di pengadilan, hendaknya perlu diperhatikan
asas-asas hukum yang dipakai, seperti, antara lain; asas legalitas, asas
keseimbangan, asas Praduga Tak Bersalah, prinsip pembatasan penahanan,
asas ganti rugi dan rehabilitasi, dan asas lainnya yang dipakai di dalam
KUHAP. Namun apakah proses tersebut dapat dijalankan ? masalah suanggi
hanya dapat diproses apabila telah ada larangan-larangan yang dirumuskan
dalam hukum pidana materiil, jika tidak, maka akan bertentangan dengan asas
legalitas atau Asas Nullum Delictum.
3
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas eksistensi
suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap asas Nullum Delictum,
problema ini dalam pandangan hukum yang responsif dan suanggi/nitu dalam
perspektif perbandingan hukum.
b. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka dapat dirumuskan
beberapa masalah berikut ini :
1. Bagaimana eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap
asas Nullum Delictum?
2. Bagaimanakah suanggi/nitu dalam problema hukum yang responsif?
3. Bagaimana suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan hukum ?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Pengertian Suanggi/Nitu
Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan setan,
hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk halus yang
mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda dengan rupa seorang manusia
biasa. Sedangkan perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang jahat,
garang
dan
keji
(devil).
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(W.J.S.Poerwadarminta, 2006), kata “suanggi” diartikan sebagai hantu yang
jahat atau burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang bekerja dengan
pertolongan orang halus atau yang disebut dengan mahluk halus.1
Konsep Santet dalam Sistem KUHP2
Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, masalah santet dan apalagi
konsep tentang “suanggi” belum dikenal dalam sistem KUHP. Konsep
rasionalitas merupakan dasar dan alasan dibentuknya hukum pidana.
Seseorang dikatakan bersalah apabila telah memenuhi seluruh rumusan dan
unsur-unsur delik yang dituduhkan kepadanya. Dalam arti bahwa fakta-fakta
hukum yang konkrit
merupakan dasar yang menentukan kesalahan
1 Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy. “Suanggi” dalam Perspektif
Hukum Pidana, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404Universitas
Halmahera 2014,hlm;2
2 Ibid.,. 15
5
seseorang. Dikatakan bersalah apabila orang itu mampu bertanggung jawab
dan melalui bukti-bukti yang cukup menyatakan kesalahannya itu.
Jika tidak, maka orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, apalagi menghukumnya. Namun demikian, konsep berpikir
irasional masih sangat populer untuk sebagian besar masyararkat. Cara-cara
berpikir gaib memang merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, karena
selalu mengaitkan kehidupannya dengan masalah-masalah keagaiban. Tidak
heran apabila cara-cara kekerasan pun kerapkali dilakukan hanya dengan
berlandasan pikiran irasional. “Suanggi” merupakan salah satu di antaranya.
Perbuatan - perbuatan yang dilakukan menurut pikiran rasional bukanlah
merupakan fakta hukum yang konkrit. Oleh karena itu, sistem KUHP
Indonesia hanya menghukum orang yang telah melakukan suatu tindakan
melawan hukum terhadap orang lain. Termasuk menghukum orang yang telah
melakukan kekerasan atau tindakan melawan hukum lainnya kepada orang
dituduh “suanggi”. Apapun bentuknya perbuatan tersebut. Dalam kaitannya
dengan santet, termasuk di dalamnya “suanggi”, pelaku santet tidak dapat
dihukum berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia (asas
legalitas; Pasal 1 ayat (1) KUHP). Oleh karena ketentuan-ketentuan mengenai
santet sama sekali belum diatur di dalam sistem KUHP saat ini. Dengan kata
lain, bahwa rumusan-rumusan delik tentang santet (“suanggi”) tidak diatur di
dalam pasal-pasal KUHP. Karena itu, yang dapat dikenakan hukuman adalah
kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan terhadap orang lain,
6
secara melawan hukum. Di lihat dari kasus-kasus yang dilakukan terhadap
orang yang dituduh “suanggi”, sudah merupakan tindakan melawan hukum.
Karena itu, sudah dapat diproses dan dihukum sesuai hukum yang
berlaku terhadap orang-orang yang telah melakukan tindakan “main hakim
sendiri”. Hukum pidana sama-sekali tidak membenarkan suatu tindakan
dalam bentuk apapun terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan suatu
pelanggaran atau bahkan kejahatan. Apalagi tindakan tersebut dilakukan
melalui cara-cara kekerasan, tidak berkemanusiaan. Hukum menghendaki
suatu kejahatan haruslah diproses sesuai hukum yang berlaku. Suanggi adalah
setan jadi tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik, sedangkan orang
yang “bersuanggi” dapat menjadi pelaku delik dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat menjadi fakta hukum
menurut sistem Hukum Pidana Materril dan Formiil, yaitu:
a. Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian, harus memenuhi syaratsyarat pembuktian.
b. Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus sesuai atau mencakup
konsep tentang “suanggi”.
b. Asas Nullum Delictum
“Nullum Delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang
berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana . Merupakan salah satu asas dalam
Asas – asas Hukum Pidana yang dikenal dengan Asas Legalitas.
Asas
7
legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “ Tiada suatu
perbuatan ( feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Istilah feit dapat juga
diartikan “peristiwa”, karena dengan istilah tersebut meliputi baik perbuatan
yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun
mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Arti dan Makna Asas Legalitas3
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari
perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang
menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus
diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya
oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu
melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan
pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat
perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan
fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi
Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2007, hlm. 39 dalam Amir Ilyas Asas-Asas Hukum Pidana, Mahakarya
Rangkang Offset, Yogyakarta, 2012, hlm.12-13.
3
8
melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental,
yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan
kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman,
sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap
dalam bahasa Latin, yaitu :
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undangundang.
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Dari asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga
pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
suatu
peraturan
perundang-undangan
sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum
orang tersebut melakukan perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut;
9
c.
Hukum Responsif4
Hukum responsif adalah hukum yang beorientasi pada tujuan dari
hukum dengan mengkolaborasikan antara nilai ideal dari suatu hukum dengan
tujuan yang tampak sebagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks
kekinian.
Analisis secara komprehensif tentang hukum responsif sejatinya
adalah bukan ranah hukum secara keseluruhan akan tetapi lebih berarti
kepada suatu gerakan revolusioner untuk mengubah hukum dengan
mempengaruhi kekuasaan politis. Hukum responsif bukanlah suatu perubahan
cara berhukum akan tetapi lebih menekankan kepada pembangkangan
terhadap hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan justifikasi atau
legitimasi moral yang mana nilai-nilai regulatif telah menciderai rasa keadilan
masyarakat
sehingga
perlu
dilakukan
upaya
kritis
dengan
sarana
mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk kembali kepada nilai-nilai
keadilan substantif.
Hukum Responsif lebih berorientasi pada suatu gerakan revolusioner
untuk mempengaruhi hukum melalui sarana-sarana politis ketimbang
merubah cara berhukum dalam mewujudkan keadilan substantif di
pengadilan.
4 Philip Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif , Nusa Media
Bandung, 2010 .
10
d. Perbandingan Hukum 5
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan dan
merupakan cabang dari ilmu hukum dan merupakan suatu metode pendekatan
yang bersifat khusus dan mendasar dalam ilmu hukum yang bermaksud untuk
menyelidiki dan mengkaji serta membandingkan mengenai titik perbedaan
dan persamaan serta sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya persamaan
dan perbedaan yang ada dalam berbagai sistem atau tradisi hukum yang
berlaku di berbagai Negara di dunia.
Hakikat perbandingan hukum :
1. Secara substantif, merupakan wadah dalam upaya mempelajari,
mengetahui, dan memahami berbagai prinsip atau asas-asas hukum
dan kaidah hukum serta lembaga-lembaga hukum yang bersifat
universal, sumber-sumber dan karakter hukum yang melekat pada
setiap sistem hukum atau tradisi hukum/keluarga hukum atau tata
hukum (hukum positif) yang berlaku di berbagai negara di dunia.
2. Secara fungsional hakikat perbandingan hukum sebagai suatu metode
kerja atau metode pendekatan yang digunakan dalam ilmu hukum
dengan maksud :
a. Untuk
menyelidiki,
mengkaji,
dan
menganalisis
berbagai
permasalahan hukum yang terjadi atau dipraktekkan/diterapkan
dalam berbagai Negara di dunia sesuai dengan sistem atau tradisi
5 S. Yohanes. Buku Ajar Perbandingan Hukum, Universitas Nusa
Cendana, Kupang 2014,hlm.29.
11
hukum yang dianut, sehingga dapat mencari dan menemukan
solusi atas permasalahan hukum yang terjadi
b. Untuk menemukan titik taut perbedaan dan persamaan yang terjadi
di antara sistem hukum/tata hukum dengan sistem hukum/tata
hukum yang lainnya yang berlaku di berbagai Negara
c. Untuk mengadakan pembaruan atau perubahan sistem hukum atau
tata hukum yang berlaku dalam suatu Negara tertentu, termasuk
Indonesia sehingga sejalan dengan sistem hukum yang berlaku di
dunia internasional.
d. Untuk melakukan unnifikasi hukum, kodifikasi hukum, dan
harmonisasi hukum seta sinkronisasi hukum di berbagai Negara
jika terdapat kesamaan pandangan atau ideology yang dianut oleh
suatu bangsa atau Negara yang bersangkutan.
e. Untuk memperhitungkan dan membandingkan secara cermat dan
teliti mengenai kebaikan dan keburukan atau kekurangan dan
keuntungan dari setiap sistem hukum/tata hukum yang berlaku dan
dianut oleh berbagai Negara di dunia sebelum suatu Negara
tertentu (Indonesia) mengadopsi sistem hukum/tata hukum yang
berlaku di Negara yang lain tersebut.
12
BAB III
PEMBAHASAN
a.
Eksistensi Suanggi/nitu dalam Masyarakat Tradisional terhadap Asas
Nullum Delictum
Kehidupan masyarakat tradisional sangat dekat dengan mistik atau
hal-hal gaib. Setiap daerah punya nama tersendiri untuk mengistilahkan hal
tersebut. Di daerah timur seperti Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur
dikenal istilah “suanggi/nitu”. Dari beberapa cerita yang berkembang
dalam masyarakat tradisional, ada yang mengatakan sosok suanggi sangat
menakutkan dengan mata yang merah, dan memiliki gigi gigi yang tajam,
diceritakan pula sosok suanggi suka memakan daging manusia, atau saat
mengincar korbannya dia akan terbang menggunakan pelepah daun, dan
mengintip korbannya dari atas, suanggi juga dapat berubah wujud menjadi
binatang atau apa saja yang dia mau sehingga mudah melakukan aksinya.
Dalam cerita masyarakat yang berkembang, percaya atau tidak
ternyata keberadaan suanggi itu memang benar ada. Di mana orang yang
dianggap suanggi itu dapat membuat orang lain menjadi sakit berat hingga
meninggal dunia dengan tidak wajar. Pembuktian akan kebenaran atas hal
itu hanya dapat dibuktikan dengan sumpah adat dan diakhiri dengan doa
pengampunan. Sebagai contoh di daerah Alor, Nusa Tenggara Timur
13
dimana seseorang dapat disuanggi dengan membuat ritual yang mereka
percaya dapat membuat orang lain sakit keras hingga berujung maut.
Misalnya si A ingin disuanggi oleh si B, maka si B dapat mengambil seekor
hewan yang melambangkan tubuh dan jiwa si A dan menyiksa hewan
tersebut hingga mati, maka tak lama kemudian si A akan sakit keras dan
meninggal dunia. Namun dalam pelaksanaan itu tentu si B memiliki
konsekuensi tekanan mental dan jiwa yang besar, dimana dalam penilaian
masyarakat setempat bahwa kematian si A pasti dan tidak lain adalah
perbuatan si B. Sehingga si B bisa saja menjadi tertekan batin, dan dalam
tekanan batin itulah si B minta untuk didoakan oleh pendeta atau pastor
setempat, Maka dari situlah si B mengakui segala perbuatan jahatnya itu.
Namun di sisi lain, keberadaan suanggi atau santet ini masih ada
berbagai penilaian atau argumen yang berbeda dari setiap orang dimana
ada yang percaya atau meyakini maupun tidak menyakini.
Menurut Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy (2014) “suanggi”
atau orang yang “bersuanggi” adalah seseorang yang memelihara atau
berteman dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari pertemanan atau
pemeliharaan tersebut, lama kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim
antara keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan diturunkan kepada orang
tersebut. Pada fase tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan perilaku
orang itu. Pada akhirnya sifat dan prilaku orang itu menjadi atau serupa
dengan setan. Apa yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti oleh orang
14
tersebut. Sebaliknya, orang tersebut dapat melakukan kemauan dan maksud
jahatnya atas bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan “suanggi”
atau “bersuanggi”, karena sifat dan perilakunya telah menyatu dengan setan.
Jadi, terdapat dua kepribadian dalam tubuh orang yang dikatakan “suanggi”
tersebut. Ketika orang yang “bersuanggi”melakukan suatu per-buatan,
sebagaimana yang dituduhkan oleh masyarakat kepadanya, maka yang
melakukannya adalah pribadi setan, tetapi yang Nampak adalah rupa dan
wajah dari tubuh pribadinya. Dengan demikian, “suanggi”sebetulnya adalah
manusia yang setengah setan tetapi juga setengah manusia. Setengah setan
karena ia telah menyerupai setan, memiliki sifat-sifat jahat, melakukukan
hal-hal yang jahat, tetapi juga memilki kekuatan gaib. Setengah manusia
karena ia adalah manusia tetapi
memiliki kekuatan setan (gaib), dan hidup sebagai manusia normal
sebagaimana biasanya.
Oleh karena itu, terasa sulit menentukan mereka sebagai subyek dan
pelaku delik, karena ada dua personal di dalam diri mereka. Dua pribadi
yang hidup dalam “tubuh yang satu” atau dua kepribadian dalam satu tubuh.
Personal manusia pribadi yang normal tetapi juga melekat personal setan
yang tidak normal, gaib. Lagi pula, pembuktiannya hanya melalui media
yang gaib pula. Maksudnya, membuktikan hal-hal gaib harus pula dilakukan
melalui cara-cara yang gaib. Ini yang tidak dapat dilakukan melalui sistem
hukum pembuktian yang mengandalkan fakta hukum yang konkrit, rasional
15
dan dapat diterima akal sehat. Dalam arti, bahwa seseorang dapat dijadikan
sebagai pelaku delik jikalau ada bukti yang kuat menyertai perbuatannya.
Ini merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan. Meskipun delik santet yang
dirumuskan adalah bentuk delik formiil, tetapi itu pun memerlukan
pembuktian.
Walaupun Pembuktiannya, tidak sampai pada masalah yang gaib
tetapi paling kurang berhubungan dengan kegaiban, atau bahkan mendekati
kegaiban. Namun demikian, apabila ada orang (dukun) yang mampu
membuktikan kebenaran perbuatannya, maka hal itu dapat menjadi fakta
hukum yang konkrit, sehingga perbuatan “suanggi” dapat dikenakan
hukuman.
Berkaitan dengan hal diatas tentu harus dapat dibuktikan secara
hukum, sehingga menghindari adanya tindakan main hakim sendiri oleh
warga masyarakat dalam menaggapi problematika yang disebut santet
tersebut
yang berkembang dalam kehidupan mereka. Dalam tatanan
hukum positif yang berlaku di Indonesia, belum ada aturan hukum yang
mengatur tentang suanggi dimana aturan hukum itu memiliki unsur unsur
hukum yang jelas tentang sebuah pembuktian bilamana seseorang dapat
dikatakan sebagai suanggi.
Contoh misalnya orang menggunakan suanggi untuk menipu orang
lain dengan mengiming imingi sejumlah uang yang besar, namun ternyata
upaya suangginya tidak berhasil, dari contoh di atas dapat disimpulkan
16
bahwa keberadaan suanggi memang secara hukum belum dapat dibuktikan
dengan nyata, karena sulit membuktikan seseorang melakukan praktek
suangginya terhadap orang lain dengan menggunakan alat sebagai barang
bukti dan kepada siapa praktek suangginya itu ditujukan, kenapa demikian?
karena suanggi itu sendiri berhubungan dengan sesuatu yang gaib, dan
boleh dikatakan memiliki keahlian khusus. Lain hal apabila orang tersebut
mengakui perbuatannya, bahwa orang yang sakit keras atas meninggal
dunia itu adalah perbuatannya.
Terhadap asas Nullum Delictum, masalah suanggi
tidak dapat
diselesaikan karena belum ada norma yang mengatur tentang itu. Asas
Nullum Delictum mengandung konsekuensi dalam menentukan perbuatanperbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya
perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya
pidana yang diancamkan, perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.
Sehingga orang yang bersuanggi dapat saja terus berbuat karena secara
hukum tidak bisa dipidana.
b. Suanggi/nitu, Problema Hukum yang Responsif
Hukum responsif
menurut Nonet dan Selznick dipahami sebagai
hukum otonom terbuka di mana perlu adanya legitimasi terhadap segala
kebutuhan dan perubahan sosial masyarakat untuk dirumuskan dalam suatu
nilai yang bersifat preskriptif.
17
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kental pluralisme,
hukum yang responsif diperlukan untuk mengakomodir masalah-masalah
sosial yang berkembang dalam masyarakat yang menimbulkan masalah
hukum. Karena hukum ada untuk memecahkan masalah-masalah yang ada
dalam masyarakat. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Hukum tidak saja
merupakan aturan yang kaku tetapi fleksibel mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat.
Dengan demikian perlu adanya respon serta peran aktif masyarakat
tradisional dalam menanggapi fenomnena ini, di mana suanggi ini sendiri
adalah sesuatu hal yang dinilai negatif oleh masyarakat, dengan adanya
pencerahan atau pentahiran yang dilakukan oleh pemuka masyarakat atau
agama maka orang yang merasa dirinya suanggi dapat bertobat dan kembali
ke jalan yang benar.
Salah satu cara yang telah dilakukan oleh penyelenggara Negara
adalah dengan membuat Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana (RUUKUHP) yang dalam salah satu Pasalnya yaitu
Pasal 293 memasukkan masalah santet. Hal ini adalah salah satu bentuk
hukum responsif dalam menyelesaikan masalah suanggi/nitu.
Kutipan bunyi Pasal 293 RUUKUHP adalah :
1)
Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan,
memberikan
harapan,
menawarkan
atau
18
memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV;
2)
Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya
ditambah dengan sepertiga."
Sementara dalam penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan itu
dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh
praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan
dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah
secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh
warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh
(santet).
Sejalan dengan itu Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy menyatakan
bahwa, dalam Rumusan Rancangan KUHP Baru delik santet mulai
diperkenalkan. Termasuk asas legalitas yang telah diperluas maknanya diatur
pada Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4). Berikut ini lengkapnya:
Pasal 1:
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali
perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
19
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Apabila diperhatikan Pasal 1 Rancangan KUHP tersebut, maka jelas bahwa
konsep asas legalitas telah diperluas maknanya. Yakni, setiap perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman bukan hanya oleh perbuatan yang dilakukan telah
ditetapkan sebagai delik (tindak pidana) dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, tetapi juga menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat yang bahwa seseorang patut dipidana
walaupun
perbuatan
tersebut
tidak
diatur
dalam
peraturan
perundangundangan.
Artinya, bahwa meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan
atas perbuatan itu terlebih dahulu, tetapi apabila menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat menentukan seseorang itu patut dihukum hukum, maka ia
patut dihukum. Dari rumuasan ayat (3) dan ayat (4) dapat ditangkap bahwa
20
dasar hukumnya adalah ditentukan oleh dan/atau menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang peraturan perundangan
yang mengatur tentang santet/suanggi. Hukum yang lahir dari masyarakat
bukan dari pejabat atau penguasa, selaras dengan sifat responsif yang dapat
diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami
dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Menurut Menteri
Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dalam Harian Umum Suara
Harian Merdeka, Jakarta (2010) menyebut, santet dan sejenisnya merupakan
beyond science. Oleh karena itu, yang dibuktikan bukan bagaimana cara
menyantet
melainkan
pengakuan
seseorang
yang
bermufakat
untuk
mengancam nyawa atau fisik seseorang dengan jalan ilmu hitam. Bukan
membuktikan ilmu hitamnya sebagai tindak pidana melainkan perbuatannya. 7
Maksudnya dalam menangani beberapa kasus kejahatan magis, penyidik
menerapkan pasal-pasal lain dalam KUHP agar pembuktiannya jadi lebih
mudah. Pada kejahatan magis seperti hipnotis, peramalan atau dukun palsu
akan diterapkan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) . Kemudian dalam kasus
kejahatan magis yang menyebabkan kematian orang, maka polisi akan
menjeratnya dengan pasal pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Oleh karena itu suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum yang
responsif di mana diperlukan pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke
21
prinsip-prinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya.
c.
Suanggi/nitu dalam Perspektif Perbandingan Hukum
Perbandingan hukum ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang
komperhensif tentang semua sistem hukum yang ada di dunia dengan
memahami bagaimana sistem hukum nasional di Negara sendiri dan
mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum asing guna pembangunan
hukum nasional juga sebagai pedoman dalam harmonisasi hukum dan
pembentukan hukum.
Sistem hukum Indonesia merupakan suatu sistem hukum yang
merefleksikan
keanekaragaman
hukum
yang
ada
dalam
masyarakat
Indonesia. Sistem hukum nasional yaitu sistem hukum yang berlaku dalam
suatu negara belum dimiliki Indonesia karena sistem hukum Indonesia masih
dipengaruhi oleh berbagai sistem hukum antara lain sistem hukum Eropa
Kontinental (Civil Law), hukum adat dan hukum Islam namun juga terdapat
sistem hukum Common Law yang muncul seiring dengan perkembangan
jaman. Kecenderungan pada Sistem Hukum Adat, Hukum warisan dan hukum
Agraria masih berpedoman pada hukum adat, selain itu budaya hukum sistem
hukum Indonesia sangat terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianut dan
dilaksanakan oleh masyrakat Indonesia.
22
Dalam perspektif perbandingan hukum, penanganan hukum untuk
masalah suanggi/nitu dapat diselesaikan dengan mengkolaborasikan beberapa
sistem hukum yang ada. Penyelesaian masalah hukum suanggi tidak dapat
dilakukan dengan sistem civil law yang identik dengan kodifikasi yaitu
berdasar pada aturan-aturan yang tersusun dalam kitab undang-undang, maka
dapat dikaji dengan pendekatan sistem hukum common law yang berdasar
pada kebiasaan masyarakat. Hukum adat yang masih berlaku dan diakui oleh
masyarakat tradisioanal. Jika dilihat dari hukum responsif maka hukum adat
sejalan dengan ciri hukum responsif, karena berasal dari masyarakat.
Problema suanggi/nitu dalam masyarakat yang ada saat ini memang
belum dipidana tetapi dalam masyarakat tradisional sudah ada hukum adat
yang mengatur itu, dalam hukum adat dikenal adanya pelanggaran adat.
Menurut I Gede A. B. Wiranata dalam bukunya Hukum Adat Indonesia
pelanggaran adat adalah semua bentuk perbuatan atau kejadian yang
bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa
keadilan dan kesadaran hukum masyrakat bersangkuta baik hal itu akibat
perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri.
Dalam pelanggaran adat tidaklah mutlak rumusan pelanggaran ada
terlebih dahulu dari perbuatan hukum. Hukum adat bersifat terbuka sehingga
delik yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan
keseimbangan masyarakat terganggu sehingga akan menimbulkan suatu reaksi
adat.
23
Bentuk hukuman dalam hukum adat bermacam-macam antara lain :
pengucilan dari masyarakat, diusir keluar dari tempat tinggalnya, bahkan
hukum cambuk atau dirajam. Meskipun dengan hukuman-hukuman tersebut
belum tentu memberikan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran tetapi
ada usaha dari masyarakat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman mellaui
hukum adat tersebut.
Hukum adat yang tidak dapat dipungkiri masih berlaku dalam
masyarakat Indonesia memberikan warna tersendiri dalam sistem hukum
Indonesia, yang secara tidak langsung juga telah menyelesaikan masalahmasalah hukum dalam masyarakat seperti problema suanggi/nitu ini. Dengan
memahami
perbandingan
hukum
maka
diharapkan
dapat
dilakukan
pengembangan dan pembaharuan dalam sistem hukum yang ada yang akan
timbul sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa berkembang.
24
BAB IV
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Eksistensi Suanggi/nitu dalam masyarakat tradisional terhadap asas
Nullum Delictum bertentangan karena belum ada norma yang
mengatur tentang suanggi/nitu. Asas Nullum Delictum mengandung
konsekuensi dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang
diancamkan dan perbuatan suanggi/nitu belum dirumuskan.
2. Suanggi/nitu merupakan suatu problema hukum yang responsif di
mana diperlukan pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsipprinsip dan tujuan dan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan
hukum maupun cara untuk mencapainya.
3. Suanggi/nitu dalam perspektif perbandingan hukum dapat dikaji
melalui sistem hukum common law yang dipengaruhi oleh kebiasaan
masyarakat dalam hal ini hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
tradisional.
b. Saran
1.
Diperlukan
suanggi/nitu
kajian lebih mendalam dalam penyelesaian masalah
dalam
masyarakat
tradisional,
karena
sudah
cukup
menggangu ketertiban umum, keamanan, dan kenyamanan masyarakat.
25
2.
Diperlukan hukum yang responsif dari masyarakat untuk pembentukan
pertaturan perundangan yang dapat memberikan efek jera bagi masyarakat
tentang problema suanggi/nitu.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amir Ilyas, 2012, Asas – Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Mahakarya Rangkang
Offset .
Arief Sidharta,2008, Asas-Asas Hukum Secara Umum Bandung, Retika Adhitama.
Elstonsius Banjo dan Alfred Mainassy 2014, “Suanggi” dalam Perspektif Hukum
Pidana, Halmahera, Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor .
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti .
Iman Sudiyat, 1999, Asas - Asas Hukum Adat, Yogyakarta, Liberty.
Philip Nonet dan Philip Selznick, 2010, Hukum Responsif, Bandung, Nusa Media.
Saryono Yohanes, 2014, Buku Ajar Perbandingan Hukum, Kupang, Universitas
Nusa Cendana.
R. Subekti,1980, Hukum Pembuktian,Jakarta,Pradnya Paramita.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum,Yogyakarta, Kanisius.
Undang-Undang :
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUAHP)
27