Ekspresi Interleukin-5 pada Polip Hidung

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi
Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran nafas
atas dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang
saling

berkaitan

(Wardani,

2011).

Banyak

faktor

diperkirakan

menyebabkan terbentuknya polip, antara lain alergi, autonomic imbalance

(ketidakseimbangan vasomotor),
infeksi,

abnormalitas

fenomena

transport

ion

bernauli,

superantigens,

transepitel,

abnormalitas

mukopolisakarida, sumbatan mekanis, ruptur epitel dan predisposisi

genetika. Tidak ada etiologi tunggal yang menyebabkan timbulnya polip
(Kirtsreesakul, 2005).
2.1.2 Aspek klinis
Polip hidung merupakan massa semitranslusen edematus di rongga
hidung dan sinus paranasal yang kebanyakan timbul dari mukosa yang
melapisi sinus dan prolaps ke rongga hidung. Lokasi yang paling sering
timbulnya polip hidung adalah pada mukosa muara sinus antara lain,
frontal reses, celah sel etmoid dan ostium sinus (Mygind & Lildholdt,
1997).

Polip

biasanya

lembut,

berlobus,

dan


dapat

digerakkan.

Permukaan biasanya licin dan agak kilat, berwarna keabua-abuan atau
kemerahan. Polip hidung dapat menimbulkan gejala seperti hidung
tersumbat, gangguan penghidu dan sensasi ada massa di rongga hidung
(Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).
Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosa atau menyingkirkan keberadaan polip hidung.
Dibutuhkan

pemeriksaan

hidung

dengan

nasoendoskopi.


Untuk

menentukan perluasan polip dalam rongga sinus, dibutuhkan pencitraan
dengan tomografi komputer (Lund & Kennedy, 1995).

5
Universitas Sumatera Utara

6

Tabel 2.1 Stadium polip menurut Mackay and Lund
Polip

Stadium

Tidak ada polip

0

Polip terbatas pada meatus media


1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum

2

memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)

3

Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)
Tabel 2.2 Stadium polip menurut Levine
Polip

Stadium

Tidak ada polip


0

Polip terbatas pada meatus media

1

Polip berada di anterior konka media meluas ke inferior

2

konka inferior tetapi tidak menutupinya
Polip berada di medial dan posterior konka dan ke anterior

3

Polip meluas ke dasar hidung, tapi bagian-bagian dari

4

konka masih terlihat

Polip mengisi rongga hidung dan tidak ada bagian dari

5

konka yang terlihat
Tabel 2.3 Stadium polip menurut Meltzer
Polip

Stadium

Tidak ada polip

0

Polip berukuran kecil dan masih berada di meatus media

1

Polip berukuran besar dan masih berada di meatus media


2

Polip

3

keluar

dari

meatus

media

dalam

reses

sphenoethmoid tapi tidak mengobstruksi total
Polip menutupi seluruh rongga hidung


4

Universitas Sumatera Utara

7

Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger
menjadi (Kirtsreesakul, 2005) :
1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan
prolaps ke koana.
2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip
eosinofilik.
3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin.
4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary
ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll.
2.1.3 Epidemiologi
Prevalensi polip hidung diperkirakan sekitar 1-4% dari populasi umum
(Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004). Hosemann menduga bahwa
prevalensi polip hidung sekitar 1-2% dari populasi orang dewasa di Eropa.

Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan
sekitar 2-4:1 (Bachert, et al., 2000). Prevalensi polip hidung pada orang
dewasa di Swedia sekitar 2,7% (Akerlund, 2003). Polip hidung sering
bersamaan dengan gangguan pada saluran nafas bawah seperti asma
dan hiperaktifitas bronkial yang tidak spesifik (Kramer & Rasp, 1999).
Insiden polip di RSUP H. Adam Malik Medan periode Maret 2004 sampai
Februari 2005 didapatkan sebanyak 26 kasus terdiri dari 17 pria dan 9
wanita (Munir, 2008). Dewi (2011) meneliti di RSUP H. Adam Malik
Medandan mendapatkan penderita polip sebanyak 43 orang yang terdiri
dari 22 pria dan 21 wanita selama tahun 2010. Indrawati (2012) di RS DR.
Sardjito Yogyakarta melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe I
sekitar 20,8%, tipe II sekitar 58,3%, tipe III sekitar 16,7% dan tipe IV
sekitar 4,2%.
Insiden polip hidung meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan
paling tinggi pada rentang usia 40-60 tahun. Polip hidung sangat jarang
dijumpai pada anak-anak. Jika ada massa di hidung anak-anak yang
menyerupai polip, kemungkinan besar merupakan suatu kistik fibrosis
(Pearlman, et al., 2010).

Universitas Sumatera Utara


8

2.1.4 Histopatologi polip hidung
Polip khas dengan stroma yang edema, hiperplasia sel goblet dan
infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel epitel, dan sel-sel endotelial
adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip (Ferguson & Orlandi, 2006).
Histopatologi polip hidung yang matang ditandai dengan jaringan yang
edema dimana pseudokista tampak sebagai daerah yang kosong yang
terletak ditengah dengan penumpukan sel-sel inflamasi di subepitelial
dengan sel inflamasi terbanyak adalah EG 2+ (activated) eosinophils yaitu
sekitar 88% (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004). Eosinofil terletak
disekitar pembuluh darah, kelenjar dan melekat pada epitel mukosa.
Dominasi inflamasi neutrofil ditemukan pada sekitar 7% kasus polip
hidung. Stroma polip mengandung sedikit sel yang didominasi eosinofil
(Bachert, et al., 2005).
Kebanyakan permukaan polip dilapisi epitel silia berlapis semu tetapi
juga terdapat epitel berlapis dan transisional, terutama di bagian anterior
polip yang biasa terpapar udara yang dihirup (Bachert,et al., 2000). Saraf
sensoris dan vasomotor otonom serta saraf sekretori ditemukan di mukosa
hidung yang normal maupun tidak normal namun tidak dapat ditemukan di
stroma polip hidung. Hal ini diduga akibat denervasi pada polip hidung
sehingga

aktifitas

kelenjar

sekretori

menurun

dan

menyebabkan

ketidaknormalan permeabilitas vaskular yang menyebabkan edema
jaringan yang irreversibel. Polip hidung timbul pada daerah pertemuan
antara mukosa hidung dan mukosa sinus. Daerah tepi ini mengandung
sangat sedikit jaringan saraf yang sangat rentan mengalami kerusakan
(Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).
Vaskularisasi polip hidung sangat sedikit jika dibandingkan dengan
mukosa hidung normal. Pelepasan ECP (eosinophil cationic protein),
histamin dan mediator inflamasi lainnya mungkin merupakan faktor yang
penting menyebabkan eksudasi plasma mikrovaskular yang merupakan
karakteristik polip hidung. Diduga bahwa eksudasi mikrovaskular plasma
berpartisipasi dalam proses edema kronik pada polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.5 Klasifikasi histopatologi polip hidung
Ada

empat

Eosinophilic

tipe

Polyp

histopatologi
(Allergic

polip

Polyp),

hidung,

Chronic

yaitu

Edematous,

Inflammatory

Polyp

(Fibroinflammatory Polyp), Polyp with Hyperplasia of Seromucinous
Gland, dan Polyp with Stromal Atypia (Hellquist, 1996).
1. Edematous Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)
Edematous Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp) merupakan tipe
histopatologi polip terbanyak, sekitar 86%. Gambarannya berupa stroma
yang edema, hiperplasia sel goblet di epitel respiratori, dijumpai sejumlah
besar eosinofil dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya
hialinisasi minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi
stroma yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah
fibroblast yang jarang dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma
yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti
pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi terlihat sangat tegas.

A

B

Gambar 2.1 A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel
inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya
penipisan membran basal (tanda panah). B.Edematous polyp dengan
hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal (tanda panah) dan
stroma longgar yang mengandung pseudokistik berisi cairan (Hellquist,
1996).

Universitas Sumatera Utara

10

2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp)
Tidak dijumpai edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda
khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel devoid
hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel skuamus dan
metaplasia epitel kuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun
tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat
adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering
bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan
tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya
hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering
terlihat. Tipe ini sekitar 10% dari seluruh kasus polip sinonasal.

Gambar 2.2 Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daerah epitel
permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi
tidak terdapat hiperplasia sel goblet. Membrane basal menunjukkan tidak
adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat dengan beberapa
pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan
infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak
daripada polip edematous (Hellquist, 1996).
3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands
Tipe ini ditandai dengan dijumpainya banyak kelenjar seromusin dan
stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak kesamaan dengan tipe
edematous. Terdapat kelenjar yang sangat banyak dengan kelenjarnya

Universitas Sumatera Utara

11

merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini. Hiperplasia kelenjar
menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip neoplasma glandular
jinak dan sering disebut pada banyak literatur sebagai adenoma
tubulositik. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan
inti sel ganjil terletak didepan bagian sel basal. Kelenjar biasanya
berhubungan dengan overlying epitel dan tidak menunjukkan adanya sel
atipia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak
terpisah satu sama lain, sedangkan pada tumor dimana kelenjar sering
kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain.
Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.

Gambar 2.3 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun
tidak terdapat atipia (Hellquist, 1996).
4. Polyp with Stromal Atypia
Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah dianggap
sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar dengan
gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan polip
hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan stroma
yang atipikal.

Universitas Sumatera Utara

12

A

B

Gambar 2.4 A. Polip dengan stroma atipikal. Stroma lebih gembur dengan
sel-sel inflamasi tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian
berbentuk seperti bintang berselubung. Inti sel-sel tersebut atipikal dan
cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe lain dari polip
dengan stroma atipikal. Sel-sel atipikal terlihat berada di tengah gambar.
Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B (Hellquist,
1996).
Sel-sel cenderung berbentuk seperti bintang dan hiperkromatik tetapi
dapat juga lebih irregular dan gembur dengan sitoplasma vesicular.
Biasanya hanya daerah tertentu pada polip yang menunjukkan sel-sel
atipikal dengan fibroblast yang reaktif. Seringkali polip mengandung
stroma yang atipikal. Tidak adanya mitosis adalah gambaran khas yang
membedakan polip dengan stroma atipikal dengan neoplasma. Lebih
lanjut, juga tidak ada cytoplasmic cross-striations dan kandungan glikogen
minimal pada sel-sel bizarre. Davidsson dan Hellquist menemukan satu
polip dengan stromal atipikal dari 107 polip.
Bozdemir (2012) di Turki menemukan 39 polip yang didominasi
eosinofil (allergic polyp) dari total 50 polip atau sekitar 78%. Dafale (2012)
di Bangalore, India, menemukan bahwa dari 70 massa polipoid di Kavum
nasi terdapat 62 kasus (88,57%) adalah polip dimana 26 kasus
diantaranya (41,93%) adalah polip alergi. Gambaran histopatologi polip di
Thailand didominasi neutrofil (Kirtsreesakul, 2005). Prevalensi polip
dengan histopatologi dominan eosinofil hanya sekitar 17,9%. Irfan dan
Shamim (2009) di Kelantan, Malaysia, menemukan bahwa dari 95 kasus

Universitas Sumatera Utara

13

polip terdapat 89 kasus (93,6%) polip inflamasi. Sementara di RSU.
Sardjito Yogyakarta, Indrawati (2012) menemukan bahwa gambaran
histopatologi terbanyak adalah tipe II (fibroinflammatory polyp) yakni
sekitar 58,3%. Penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan
bahwa gambaran histopatologi polip terbanyak adalah polip yang
didominasi eosinofil (Munir, 2008).
2.1.6 Patogenesis polip hidung
Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu :
1. Alergi
Alergi dididuga sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung
karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil (Lund, 1995).
Suatu metaanalisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig
E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung
(Kirtsreesakul, 2005).
2. Ketidakseimbangan vasomotor
Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya polip
hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi
dan pada pemeriksaan tidak

ditemukan alergen

mencetuskan

vaskular

alergi.

Regulasi

yang

yang dapat

tidak

baik

dan

meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
3. Fenomena Bernouli
Hal ini terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan
negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian
memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).
4. Infeksi
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan
rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat
infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus
atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan

Universitas Sumatera Utara

14

pada rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering
ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul, 2005).
2.1.7 Interleukin-5 (IL-5)
IL-5 semula dinyatakan sebagai faktor pertumbuhan sel B pada mencit
karena ia mampu merangsang pertumbuhan dan produksi antibodi oleh
sel B (Kresno, 2010). IL-5 merupakan aktivator pematangan dan
diferensiasi eosinofil dan berperan dalam hubungan antara aktivasi sel T
dan inflamasi eosinofil. IL-5 diproduksi oleh subset sel Th2 (CD4+) dan sel
mast yang diaktifkan (Bratawijaya, 2006). Sel CD4+ yang berdiferensiasi
menjadi Th2 melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang sel B untuk
memproduksi Ig E yang diikat sel mast. IL-4 juga bersifat autokrin dan
merupakan sitokin yang berperan dalam diferensiasi sel Th2 (Bratawijaya,
2006).
Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang. Tiga
sitokin yakni Interleukin-3 (IL-3), IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) adalah bagian penting dalam mengatur
perkembangan eosinofil. IL-5 adalah spesifik untuk “eosinofil Lineage” dan
bertanggung jawab terhadap diffrensiasi eosinofil, menstimulasi pelepasan
eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi perifer, memperpanjang
usia eosinofil. Pada polip hidung apoptosis eosinofil di mukosa hidung
lebih lambat dibandingkan di darah (Rudack, Bachert & Stoll, 1999).
Sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptosis eosinofil
sekurang kurangnya 12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya
bertahan 48 jam pada keadaan tidak adanya sitokin. Eosinofil di jaringan
juga dapat meregulasi masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin.
Eosinofil memproduksi mediator toksin inflamatori yang unik yang
disimpan dalam granul-granul dan disintetis setelah sel ini teraktivasi,
granul tersebut mengandung kristaloid yang terdiri dari Major Basic
Protein (MBP) dan matrix yang terdiri dari Eosinophil Cationic Protein
(ECP), Eosinophil Peroxidase (EPO) dan Eosinophil Derived Neurotoxin
(EDN) yang mengandung efek sitotoksin pada epitelium repiratori. Major

Universitas Sumatera Utara

15

Basic Protein secara langsung meningkatkan reaktifasi obat polos dan
merangsang degranulasi sel mast dan basofil (Rudack, Bachert & Stoll,
1999).
2.1.8 IL-5 pada polip hidung
IL-5 ditemukan meningkat bermakna pada polip hidung dibandingkan
pada mukosa hidung normal maupun penderita sinusitis. Hal ini
mengindikasikan adanya peran penting IL-5 dalam patofisiologi polip
(Peric, et al., 2011). Peran IL-5 dibuktikan dengan terapi terhadap eosinofil
yang mengilfiltrasi polip hidung dengan cara netralisasi dengan anti IL-5
monoclonal antibody (mAB) menyebabkan apoptosis eosinofil dan
berkurangnya eosinofil di jaringan pada in vitro (Bachert, et al., 2005). IL-5
berperan dalam diferensiasi dan maturasi eosinofil dalam sumsum tulang,
migrasi ke jaringan dan mencegah apoptosis eosinofil. IL-5 meningkatkan
adhesi eosinofil ke endotelium sehingga akan meningkatkan akumulasi
eosinofil. Diantara semua sitokin, IL-5 mempunyai hubungan yang paling
baik dengan ECP. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat
antara IL-5 dengan beratnya peradangan yang disebabkan oleh eosinofil
(Bachert, et al., 2005).
Peradangan merupakan prinsip utama patogenesis pembentukan dan
pertumbuhan polip. Peradangan pada polip diatur oleh sel T yang
teraktivasi (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004; Bachert, et al., 2005;
Corren,

2012).

Analisis

histomorfologi

polip

pada

stadium

awal

menunjukkan adanya eosinofil di subepitel yang melingkupi pseudokista
yang berisi albumin. Sementara pada polip yang matang, terdapat
pseudokista yang besar dikelilingi subepitel eosinofilia. Retensi albumin
disebabkan oleh peradangan yang disebabkan oleh eosinofil. Hal ini
merupakan petunjuk bagaimana polip terbentuk. Albumin dan protein
plasma lain terkumpul di pseudokista berdekatan dengan eosinofil.
Banyaknya eosinofil pada polip hidung diakibatkan meningkatnya migrasi
eosinofil kedalam jaringan dan meningkatnya usia hidup eosinofil atau
kombinasi kedua hal tersebut. Eosinofil berperan dalam proses rusaknya

Universitas Sumatera Utara

16

jaringan, inflamasi dan terbentuknya polip hidung (Gevaert, Cauwenberge
& Bachert, 2004).
Sel mast yang kebanyakan mengalami degranulasi, meningkat
jumlahnya di dalam stroma polip hidung. Meningkatnya jumlah sel plasma
dan limfosit ditemukan pada level seluler. Limfosit lebih banyak ditemukan
di lamina propria daripada di epitel dan limfosit T lebih banyak daripada
limfosit B (Kramer & Rasp, 1999).

Gambar 2.5 Model rekruitmen eosinofil pada polip hidung (Gevaert,
Cauwenberge & Bachert, 2004).
2.1.9 Antibodi anti IL-5
Terapi target terbaik untuk IL-5 adalah antibodi anti-IL-5 spesifik.
Sampai saat ini ada dua monoklonal antibodi terhadap IL-5 telah
digunakan dalam percobaan klinis. Reslizumab adalah monoclonal
antihuman IL-5 antibody dari subtipe IgG4 / pada percobaan tikus yang
digunakan untuk menetralkan IL-5 dengan mengikat asam amino.
Mepolizumab (GlaxoSmithKline Pharmaceuticals) merupakan monoclonal
antihuman IL-5 antibody dari subtipe IgG1 / yang menghalangi

Universitas Sumatera Utara

17

pengikatan IL-5 ke rantai α reseptor IL-5 yang diekspresikan pada
eosinofil. Afinitas mepolizumab untuk IL-5 sekitar 20 kali lipat lebih besar
dari reslizumab. Mepolizumab memiliki waktu paruh 13-19 hari dan
memiliki aktivitas biologis panjang yang diamati pada penurunan yang
signifikan dari tingkat eosinofil darah perifer yang bertahan selama 3 bulan
pada 76% dari subyek setelah infus mepolizumab (Stein & Ariel, 2010).
2.1.10 Kortikosteroid
Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator
inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan
menginduksi apoptosis (Ferguson & Orlandi, 2006). Efek anti inflamasi ini
tidak hanya berdampak pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofIl
tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas (Newton & Ah-See, 2008).
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga
mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator.
Kortikosteroid

mengurangi

peningkatan

reaksi

inflamasi

dengan

mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi
fibroblast dan sintesa matriks protein ekstraselular. Hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat
sensitif terhadap kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat
tergantung

pada

dosis

kortikosteroid.

Kortikosteroid

mengurangi

pelepasan mediator seperti histamin, prostanoids dan leukotrien. Hal ini
menyebabkan

berkurangnya

jumlah

sel-sel

inflamasi

di

mukosa.

Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang mengalami influx (Bachert, et
al., 2005)
2.1.11 Histamin
Histamin dihasilkan oleh sel mast dan basofil yang merupakan
mediator penting dalam respon alergi. Histamin awalnya dianggap
sebagai mediator inflamasi akut dan reaksi hipersensitivitas segera tapi
sekarang diyakini juga mempengaruhi proses inflamasi kronis dan untuk
mengatur kekebalan tubuh. Efek histamin dimediasi melalui empat

Universitas Sumatera Utara

18

reseptor (histamin H1, H2, H3 dan H4). Reseptor histamin kelima yang
terletak intraseluler dan dilambangkan dengan histamin HIC, juga telah
dijelaskan dalam sel hematopoietik (Hasala, et al., 2008).
Beberapa fungsi eosinofil sebelumnya telah terbukti dirangsang oleh
histamin. Alergen merangsang berkumpulnya eosinofil di saluran nafas,
hidung dan kulit dimana hal ini dapat dihambat oleh reseptor histamin H1
antagonis. Antihistamin berikatan dengan reseptor histamin H1 sehingga
mencegah histamin alami berikatan dengan reseptor dan menimbulkan
reaksi alergi. Antihistamin dinyatakan sebagai antiinflamasi tambahan.
Beberapa antagonis H1 dilaporkan memberi efek inflamasi sel seperti
kemotaksis dan adhesi eosinofil (Hasala, 2006). Histamin merangsang
produksi sitokin antara lain IL-5 yang merupakan mediator untuk
kelangsungan hidup eosinofil (Hasala, et al., 2008).
2.2 Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and
Lund)

dapat

diterapi

dengan

medikamentosa

(polipektomi

medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau
operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (PERHATI-KL, 2007).
Mygind dan Lildholdt (1996) menjelaskan bahwa tujuan penatalaksanaan
polip hidung, antara lain:
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah komplikasi.

Universitas Sumatera Utara

19

Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/>gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal
Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi

Massa polip hidung
Tentukan stadium

Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip
(eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi
reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk
memperbaiki airway.

Stadium 2 dan
3: terapi bedah

Stadium 1 dan
2: terapi medik

Persiapan
prabedah: HDST
dan CT Scan

Terapi medik:

Semua stadium
tipe netrofilik:
terapi bedah

Curiga keganasan

Biopsi

Semua stadium
tipe eosinofilik:
terapi medik

1. Steroid topical dan/atau
2. Polipektomi medikamentosa high dose steroid (HDST)

Terapi bedah
Tidak ada perbaikan:
Tetap/membesar/me
ngecil sedikit

Tindak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi

Perbaikan:
Mengecil cukup
banyak

Perbaikan:
hilang

Sembuh

Polip rekuren:
- Cari faktor alergi
- Kaustik /ekstraksi polip kecil
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung.
- Steroid topikal
- Operasi ulang
Steroid oral
(HDST) Nasi
2.3 - Anatomi
Kavum

Gambar 2.6 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung (PERHATI-KL,
2007)

Universitas Sumatera Utara

20

2.3 Anatomi Kavum Nasi
Bagian dalam hidung terbagi menjadi dua rongga hidung oleh septum
nasi. Bagian yang terbuka di setiap sisi disebut vestibulum nasi, yang
bersambung dengan rongga utama hidung. Di bagian belakang, kedua
rongga hidung bermuara bersama-sama kedalam nasofaring dibelakang
septum. Septum merupakan suatu pembatas di tengah-tengah. Dinding
bawahnya membentuk palatum durum dan menjadi batas antara rongga
hidung dan lamina kribrosa. Di dinding tulang sebelah lateral, terdapat
konka hidung yang tersusun dari bawah keatas pada kerangka hidung.
Meatus medialis berperan sangat penting secara klinis sebagai muara
keluar dari sinus maksilaris, frontalis dan sel-sel selula etmoidalis anterior.
Di meatus inferior, bermuara duktus lakrimalis dan di meatus superior,
bermuara selula etmoidalis posterior serta sinus sfenoid (Nagel & Gürkov,
2009).
Rongga sinonasal dilapisi epitel yang sama dengan epitel saluran
nafas

yakni

pseudostratified

ciliated

columnar

epithelium

yang

mengandung sel-sel goblet, namun terdapat sebagian yang dilapisi
metaplastic squamous cell epithelium. Epitel respiratori sinonasal yang
normal selalu menunjukkan squamous metaplasia dan juga cuboidal
metaplasia.

Mukosa

mengandung

jumlah

pembuluh

darah

yang

bervariasi, saraf dan kelenjar seromusin. Kelenjar seromusin paling
banyak ditemui di konka daripada di daerah lain di rongga hidung. Epitel
rongga

hidung

sering

disebut

Schneiderian

membrane.

Secara

histopatologi Schneiderian membrane adalah pseudostratified columnar
ciliated respiratory epithelium. Epitel normal permukaan sinus paranasal
memiliki perbedaan dengan epitel rongga hidung. Permukaannya lebih
tipis dan mengandung lebih sedikit silia dan sel goblet. Kelenjar seromusin
di lamina propria sinus paranasal lebih sedikit jika dibandingkan dengan
di rongga hidung (Hellquist, 1996).

Universitas Sumatera Utara

21

2.4 Fisiologi Hidung
Hidung memiliki empat fungsi, antara lain (Nagel & Gürkov, 2009):
1. Fungsi penyaring dan perlindungan
Oleh karena dalam cavitas nasi terdapat bulu hidung (vibrissae)
dan mukosiliar hidung yang akan menyaring udara yang terhirup.
2. Fungsi Klimatisasi
Hidung memiliki sistem yang kompleks untuk menghangatkan
dan melembabkan udara. Pengaturan suhu terutama di daerah
rongga hidung bawah. Sekret mukosa hidung akan menciptakan
kelembaban udara.
3. Fungsi Suara
Bentuk dan fungsi hidung membentuk karakteristik suara setiap
orang. Hidung termasuk dalam komponen kaku saluran yang
membentuk suara dan artikulasi.
4. Fungsi Penghidu
Organ penghidu yang sejati terdapat di bagian atas septum nasi
dan dinding lateral hidung pada setiap sisi. Di tempat tersebut
terdapat epitel respiratorik kosong seluas beberapa sentimeter
persegi dan digantikan oleh suatu epitel sensorik khusus.
2.5 Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan istilah umum yang meliputi banyak metode
yang digunakan untuk menentukan unsur dalam jaringan (antigen) dengan
kerja antibodi spesifik yang dapat divisualisasikan melalui pewarnaan.
Brandtzæg

menyatakan

bahwa

pewarnaan

imunohistokimia

untuk

penanda sel merupakan cara untuk "berbicara dengan sel" karena
memungkinkan tidak hanya asal histologis sel untuk diidentifikasi tetapi
juga menunjukkan fungsinya in vivo, ketika diperiksa dengan antibodi
yang benar. Teknik imunohistokimia digunakan dalam mencari antigen
dalam sel atau jaringan dimulai dari asam amino dan protein baik untuk
infeksi dan reaksi seluler spesifik. Teknik ini terdiri dari dua fase: (1)
persiapan slide (fiksasi spesimen dan pengolahan jaringan) dan tahap

Universitas Sumatera Utara

22

untuk reaksi (pengambilan antigen, blok dengan peroksida, inkubasi
antibodi primer, dan deteksi, counterstaining dan juga pemasangan ke
objek glas dan penyimpanan); (2) interpretasi dan kuantifikasi sehingga
diperoleh ekspresi (Matos, et al., 2010).
Sejarah metode pewarnaan imunohistokimia dimulai ketika Marrack
memproduksi reagen untuk melawan mikroorganisme tifus dan kolera
menggunakan noda merah terkonjugasi dengan benzidin tetraedro.
Namun, Profesor Albert H. Coons dari Harvard School of MedicineBoston, AS meyakini bahwa deteksi antigen yang disediakan oleh warna
merah dalam irisan jaringan memiliki sensitivitas yang sangat rendah di
bawah mikroskop optik dan awal tahun 1940, ia mendemonstrasikan
bahwa lokalisasi antigen terutama mikroorganisme mungkin dilakukan
dengan menggunakan antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae
diwarnai dengan fluresen, divisualisasikan oleh cahaya ultraviolet
(mikroskop fluresen). Selanjutnya, pengenalan enzim sebagai antibodi
dikembangkan oleh Nakane dan digembar-gemborkan sebagai era baru
dan penting untuk imunohistokimia, karena itu memungkin untuk melihat
reaksi ini melalui mikroskop optik. Hasil ini memiliki dampak yang besar
dan banyak ditunggu. Peningkatan besar dalam hal kontribusi dan
penerapan imunohistokimia di patologis anatomi dikenal sebagai "brown
revolusi " dari laboratorium histopatologi (Matos, et al., 2010)
Meskipun teknik ini relatif sederhana, imunohistokimia memiliki
beberapa kekhasan dan hasilnya tergantung pada banyak faktor.
Berbagai protokol untuk standardisasi teknik imunohistokimia sedang
diusulkan. Kemahiran, penanganan, fiksasi, pengiriman spesimen ke
laboratorium dan

antigen retrival merupakan faktor-faktor penting.

Spesimen segar yang diserahkan terlalu lama untuk dilakukan fiksasi
dapat kehilangan antigenitasnya. Sebagai contoh, Jacobs dan colleagues
menunjukkan bahwa terjadi kehilangan antigenisitas yang progresif pada
penyimpanan selama 12 minggu. Namun hal ini tidak ditemukan pada
irisan spesimen di blok parafin untuk periode lebih dari 10 tahun (Shi, Liu
& Taylor, 2006). Hal penting lain adalah persiapan slide. Irisan blok

Universitas Sumatera Utara

23

dengan ketebalan berkisar antara 3 sampai 7 µm. Irisan kurang dari 3 µm
dapat mengakibatkan pewarnaan sangat lemah sementara jika lebih tebal
dari 7 µm dapat menyebabkan hilangnya jaringan pada objek glas
sehingga menghambat analisis pewarnaan yang dihasilkan ( Yaziji &
Barry, 2006).
Pemilihan

antibodi

merupakan

aspek

penting

bagi

penerapan

imunohistokimia. Antibodi primer dapat dibagi menjadi dua kategori: poli
atau monoklonal. Antibodi poliklonal diperoleh dari pengebalan hewan
(contoh: kelinci, kambing, monyet, tikus, tikus, domba dll) dan antibodi
poliklonal mampu mengenali banyak epitop antigen yang sama,
menghasilkan sensitivitas deteksi yang lebih tinggi. Antibodi monoklonal
merupakan antibodi yang diproduksi dari limfosit B yang digandakan yang
mengenali satu antigen epitop sehingga memberi hasil yang lebih spesifik
(Lipman, et al., 2005).
Interpretasi dari pewarnaan imunohistokimia tergantung pada jumlah
antigen yang ada dalam jaringan.

Penentuan nilai batas antara hasil

positif dan negatif merupakan hal yang penting. Nilai-nilai ini ditentukan
secara sembarangan tidak berdasarkan hasil laboratorium dan jika
berdasarkan laboratorium tetapi hasilnya tidak di tes (Matos, et al., 2010).
Biasanya ahli patologi

menghitung imunohistokimia berdasarkan data

visual. Skor dinilai pada skala 0 sampai 3, di mana 0 : menunjukkan
negatif, 1 : menunjukkan pewarnaan positif kurang dari 10% dari sel-sel,
2 : pewarnaan positif antara 10% sampai 50% dari sel-sel, dan
3 : pewarnaan positif di lebih dari 50%. Skor intensitas diukur pada skala 0
sampai 3, di mana 0 : menunjukkan negatif, 1 : lemah, 2 : moderat, dan
3 : menunjukkan kuat. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan
skor luas dengan skor intensitas (Tan & Putti, 2007; Rizzardi, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

24

2.6 Kerangka Teori
CD4+

Limfosit

Th-2
IL-5

Sel mast

- Migrasi kejaringan
- Inhibisi apoptosis
- Adhesi ke endotelium

Eosinofil
MBP, ECP,EPO, EDN

Inflamasi

Konsentrasi Eosinofil di endotelium

Jaringan
edema

Retensi albumin
Rusak

Infiltrasi eosinofil
Albumin dan protein plasma

Pseudokista

Tipe I

Polip hidung

Tipe II

Tipe III

Tipe IV

Keterangan :
Penghasil IL-5 antara lain Th2, sel Mast, CD 4+. Eosinofil memproduksi
MBP dan matrix yang terdiri dari ECP, EPO, EDN yang mengandung efek
sitotoksin pada epitelium repiratori. IL-5 perperan dalam meningkatkan
adhesi eosinofil ke endthelium sehingga

meningkatkan akumulasi

eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis eosinofil. Hal ini akan
menyebabkan

banyaknya

eosinofil

dijaringan

yang

menyebabkan

rusaknya jaringan, retensi albumin, terbentuknya pseudokista.

Universitas Sumatera Utara

25

2.7 Kerangka Konsep

IL-5

Eosinofil

Jaringan edema

Polip hidung

Universitas Sumatera Utara