Identifikasi Dermatofita dan Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis di RSUP H.Adam Malik Medan Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan
potong lintang (cross sectional study).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai November 2016.
3.2.2 Tempat penelitian
1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H.Adam Malik
Medan.
2. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH, kultur jamur dan kultur
bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara ( FK USU).
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
1. Populasi target
Pasien dengan tinea pedis.
2. Populasi terjangkau
Pasien dengan tinea pedis yang datang ke Divisi Mikologi SMF IKKK

RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Januari sampai November 2016.

Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Sampel
Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi:
1. Pasien dengan tinea pedis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH yang positif.
2. Usia di atas 17 tahun.
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed
consent.
3.4.2 Kriteria eksklusi:
Sedang mendapatkan pengobatan berupa anti jamur topikal dalam satu
minggu terakhir, anti jamur oral dalam satu bulan terakhir dan antibiotika
oral maupun topikal dalam satu minggu terakhir.
3.5 Besar sampel
Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut.

Rumus :
n =

zα2PQ
d2

dimana :
Zα : deviat baku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96
P

: proporsi tinea pedis : 0,12

Q : 1 – P = 0,9
d : presisi : 0,09

Universitas Sumatera Utara

Maka :
1,962 x 0,1 x 0,9


n =

0,09 x 0,09
=

43

Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 45 orang.
3.6 Cara Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive
sampling.
3.7 Identifikasi Variabel
Variabel- variabel yang akan diteliti adalah spesies dermatofita, spesies
bakteri dan tipe klinis tinea pedis.
3.8 Definisi Operasional
1. Umur adalah umur subjek penelitian saat pertama datang dihitung dari
tanggal lahir, bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, umur
dibulatkan ke atas, bila kurang dari 6 bulan, umur dibulatkan ke
bawah berdasarkan rekam medik, yang dikelompokkan menjadi usia 1726 tahun, 27-36 tahun, 37-46 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun, 67-76
tahun. Skala ukur adalah nominal.

2. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan
diagnosisnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik dan dermatologis
disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH dijumpai hifa dan
/ atau artrokonidia.
3. Berdasarkan gambaran klinis, tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu:
a. Tipe interdigitalis bila dijumpai eritema, skuama, erosi, maserasi atau

Universitas Sumatera Utara

fisura pada daerah interdigitalis dan subdigitalis.
b. Tipe hiperkeratotik kronis / mokasin bila dijumpai eritema dan skuama
dari ringan sampai hiperkeratosis difus di daerah plantar kaki.
c. Tipe vesikobulosa bila dijumpai vesikel yg tegang, bula atau pustula
pada daerah plantar kaki.
d. Tipe ulseratif akut bila dijumpai lesi vesikopustular, ulkus, erosi dan
maserasi di daerah interdigitalis dan dapat meluas sampai ke dorsum
pedis dan plantar pedis.
Skala ukur adalah nominal.
4. Hasil pemeriksaan KOH dikatakan positif jika ditemukan hifa dan / atau
artrokonidia.

5. Spesies dermatofita merupakan spesies jamur patogen penyebab
dermatofitosis yang terdiri dari Trichophyton sp, Microsporum sp,
Epidermophyton sp yang didapat dari pemeriksaan kultur jamur.
Skala ukur adalah nominal.
6. Superinfeksi bakteri adalah keadaan berkembangnya bakteri pada lesi yang
sudah ada; spesies bakteri didapat dari pemeriksaan kultur bakteri seperti
bakteri S. aureus, S.epidermidis, S.viridans, S.faecalis, Acinetobacter.
Skala ukur adalah nominal.
7. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada
daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan
imidazol,allilamin, benzilamin, polien, siklopiroksolamin, tolnaftat,
undecylenic acid, dan lain lain.
8. Anti jamur oral merupakan obat-obat anti jamur yang diberikan secara

Universitas Sumatera Utara

oral ; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol,
imidazol, griseofulvin, polien, dan siklopiroksolamin,dan lain-lain.
9. Antibiotika topikal merupakan obat-obat antibakteri yang dioleskan pada
daerah lesi; obat-obat antibakteri topikal tersebut seperti asam fusidat,

mupirocin, basitracin, gentamisin, neomisin, polymyxin B, kloramfenikol,
sulfonamid, tetrasiklin,dan lain- lain.
10. Antibiotika sistemik merupakan obat-obat anti bakteri yang diberikan
secara oral ; obat-obat antibakteri oral tersebut seperti golongan ß
Laktam, makrolida, quinolon, tetrasiklin, kotrimoksazol, kloramfenikol,
klindamisin,dan lain-lain.
3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja
3.9.1 Alat dan bahan
1. Alat yang digunakan adalah gelas objek steril, skalpel dengan blade no 15
steril, wadah spesimen (amplop) bersih, transport medium swabs , alkohol
swab 70%, piring petri steril, inkubator, lampu spiritus, lidi kapas steril,
pipet tetes, pinset anatomis, dan gelas penutup (cover slip), mikroskop
cahaya.
2. Bahan yang digunakan adalah larutan KOH 10%, larutan Lacto phenol
cotton blue (LPCB), media Sabaroud’s dextrose agar, sikloheksamid (0,5
g/l), kloramfenikol (0,05 g/l), agar darah (Blood agar), Mac Conkey agar,
mannitol salt agar (MSA), reaksi biokimia: karbohidrat, indol, methyl red,
vogesproskauter,Simon citrat, triple sugar iron, urease,semi solid.

Universitas Sumatera Utara


3.9.2 Cara kerja
1. Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di SMF IKKK RSUP H.
Adam Malik Medan meliputi identitas pasien seperti nama, jenis kelamin,
tempat/tanggal lahir, alamat dan nomor telepon.
2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis
3. Penentuan diagnosis klinis dilakukan oleh peneliti bersama dengan
pembimbing.
4. Pengambilan spesimen:
a. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan KOH dan kultur jamur
dipilih daerah dengan pinggir yang aktif dan atap vesikel, dilakukan
dengan cara:
1) Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol
70% dan ditunggu kering.
2) Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel steril pada
daerah dengan pinggir yang aktif.
3) Untuk lesi berupa vesikel, bula atau pustula, dilakukan dengan atap
vesikel, bula atau pustula dibuka dengan menggunakan skalpel
steril dan bagian bawah dari atap dikerok.

4) Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan
diberi label identitas pasien.
b. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur bakteri dilakukan
dengan cara:
1) Dilakukan usapan pada daerah yang terdapat maserasi, eritema,

Universitas Sumatera Utara

erosi, atau pus dengan kapas lidi steril.
2) Spesimen dimasukkan ke dalam transport medium swabs dan
diberi label identitas pasien.
5. Spesimen kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi, FK USU
untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, kultur jamur,
dan kultur bakteri.
6. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH:
a. Spesimen diambil secukupnya kemudian diletakkan di atas gelas objek
dan ditetesi dengan larutan KOH 10% untuk kerokan kulit dan ditutup
dengan gelas penutup.
b. Sediaan dilayangkan di atas api kecil dan dibiarkan selama 15 menit.
c.Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40

untuk melihat ada tidaknya hifa dan artrokonidia.
7. Bila hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dijumpai hifa dan / atau
artrokonidia, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur jamur dan kultur
bakteri.
8. Pemeriksaan kultur jamur
Spesimen dihapuskan pada permukaan media SDA yang ditambahkan
sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l), kemudian
diinkubasi pada temperatur ruangan (26 oC). Pengamatan dilakukan
hingga terdapat pertumbuhan jamur (maksimal ditunggu sampai minggu
ke empat), kemudian diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis.
Identifikasi makroskopis dilakukan dengan mengamati morfologi koloni
jamur yang tumbuh yaitu warna permukaan koloni dan warna dasar

Universitas Sumatera Utara

koloni, tekstur permukaan koloni (bertepung, granular, berbulu, seperti
kapas, kasar), bentuk koloni (meninggi, berlipat), pinggir koloni. Setelah
itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan larutan LPCB yaitu
dengan cara sehelai selotip ditekankan ke permukaan koloni jamur dan
ditarik ke atas, hifa dari koloni akan melekat kuat pada selotip kemudian

selotip dilekatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi satu tetes LPCB
dan dilihat dengan mikroskop cahaya pembesaran 10x40, diamati hifa
dan konidia (makrokonidia dan mikrokonidia).
9. Pemeriksaan kultur bakteri
Spesimen dikeluarkan dari

transport medium swabs, selanjutnya

dioleskan pada media agar darah dan media Mac Conkey agar dekat
dengan api spiritus. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24
jam. Bila dengan pemeriksaan Gram, koloni kelihatan seperti rantai
menandakan suatu kokus Gram positif (streptokokus), pemeriksaan
cukup dengan agar darah saja. Bila diduga kokus Gram positif lainnya
(stafilokokus) pada pemeriksaan koloninya seperti buah anggur,
selanjutnya bahan ditanam pada media MSA selama 24 jam pada suhu
370C (warna koloni S. aureus kuning emas, S.epidermidis putih),
sedangkan bila diduga suatu batang Gram negatif (enterobactericaeae)
diidentifikasi dengan reaksi biokimia.
10. Interpretasi hasil dilakukan oleh peneliti bersama dengan konsultan
mikrobiologi.

11. Penelitian ini disupervisi oleh pembimbing.

Universitas Sumatera Utara

3.10 Kerangka Operasional

Pasien yang datang berkunjung ke Divisi Mikologi SMF IKKK
RSUP H.Adam Malik Medan

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologi
Pemeriksaan KOH

Pasien dengan tinea pedis disertai superinfeksi bakteri

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Sampel penelitian

Kultur bakteri dan
pewarnaan Gram

Kultur jamur

Identifikasi dermatofita

Identifikasi bakteri

Dianalisis secara deskriptif

Gambar 3.1 Kerangka operasional

Universitas Sumatera Utara

3.11 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
dianalisis secara deskriptif.
3.12 Ethical Clearance
Penelitian ini sudah memperoleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan
nomor: 17/KOMET/FK USU/2016.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak Januari hingga November 2016 di SMF
IKKK RSUP H.Adam Malik Medan yang melibatkan subjek penelitian sebanyak
45 orang. Seluruh subjek penelitian menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan kerokan kulit dan apusan kulit
kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan KOH, kultur
jamur dan kultur bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan distribusi jenis
kelamin, kelompok usia, pendidikan, dan pekerjaan.
4.1.1 Jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin

N

%

Perempuan
Laki-laki

23
22

51,1
48,9

Total

45

100,0

Berdasarkan tabel 4.1, dari total 45 subjek penelitian dijumpai sebanyak 23
orang (51,1%) berjenis kelamin perempuan dan 22 orang (48,9%) berjenis kelamin
laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan hampir sama dengan jumlah
subjek laki-laki. Penelitian sebelumnya oleh Mainiadi di RSUP H. Adam Malik
Medan pada tahun 2003 mendapatkan proporsi laki-laki dan perempuan pada
pasien dermatofitosis dengan infeksi sekunder adalah tidak jauh berbeda.16
Penelitian retrospektif oleh Harahap di Poliklinik IKKK RSUP H.Adam Malik
Medan tahun 2009 – 2012 mendapatkan perempuan lebih banyak menderita tinea
pedis yaitu sebesar 4,8% daripada laki-laki yaitu sebesar 3,1% dari seluruh infeksi
jamur superfisial.8 Sedangkan penelitian oleh Kurniawati pada pemulung di
Semarang tahun 2006 menjumpai laki-laki lebih banyak menderita tinea pedis
yaitu 55,4% daripada perempuan, yaitu 44,6%.46
Penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia, dari 169 orang dengan
klinis dan kultur positif tinea pedis, dijumpai laki-laki tiga kali lebih banyak
dibanding perempuan dimana laki-laki sebanyak 122 orang (72,3%) dan
perempuan 47 orang (27,7%).47
Penelitian retrospektif oleh Tan di The National Skin Centre Singapura pada
tahun 2005 mendapatkan laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan
menderita tinea pedis.6 Penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand pada tahun
2004, mendapatkan rasio laki-laki dengan perempuan menderita tinea pedis adalah
3:1.48 Penelitian oleh Wahab et al di Bangladesh juga mendapatkan laki-laki lebih
banyak menderita tinea pedis daripada perempuan.49
Pada banyak penelitian di seluruh dunia, tinea pedis paling sering dijumpai
pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini mungkin disebabkan pada laki-laki
aktivitas dan keterpaparan yang lebih besar terhadap trauma dan kondisi yang
lembab dan panas.9

Universitas Sumatera Utara

4.1.2 Kelompok usia
Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia
Usia

N

17-26
27-36
37-46
47-56
57-66
67-76
Total
Mean : 44,5

2
9
13
12
8
1

SD : 11,6

45
Min : 18

%
4,4
20,0
28,9
26,7
17,8
2,2
100,0
Max : 68

Tabel 4.2 menunjukkan dari total 45 subjek penelitian, kelompok usia
terbanyak dengan tinea pedis adalah 37-46 tahun yaitu 13 orang (28,9%) diikuti
dengan usia 47-56 tahun yaitu 12 orang (26,7%). Rerata usia subjek adalah 44,5
tahun dan usia paling rendah adalah 18 tahun sedangkan usia paling tinggi adalah
68 tahun.
Mainiadi dalam penelitiannya di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan
usia 21-30 tahun (35%) yang terbanyak menderita dermatofitosis dengan infeksi
sekunder.16 Penelitian retrospektif di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan
usia dewasa (18-45 tahun) yang terbanyak menderita tinea pedis diikuti dengan
usia lansia (> 45 tahun) yaitu 3,7% dan 3,5% dari seluruh dermatomikosis. 8
Ungpakorn et al di Thailand mendapatkan pasien tinea pedis terbanyak pada
usia 21-40 tahun.48 Wahab et al di Bangladesh mendapatkan dari 200 pasien yang
didiagnosis secara klinis sebagai tinea pedis didapatkan paling banyak berusia 3040 tahun sebanyak 60 orang (30%) dan usia 40-50 tahun sebanyak 62 orang
(31%).49 Tan di The National Skin Centre Singapura menjumpai tinea pedis paling
banyak pada usia dewasa dekade 3 sampai 5.5 Penelitian oleh Elmegeed et al di

Universitas Sumatera Utara

Kairo mendapatkan tinea pedis paling sering pada usia 31-50 tahun.50 Penelitian di
Tunisia mendapatkan prevalensi paling tinggi mikosis pada kaki adalah pada usia
50-59 tahun, yaitu 76 %.51 Penelitian oleh Aste et al di Italia mendapatkan
prevalensi tinea pedis paling tinggi pada usia 31-45 tahun yaitu 30,8% diikuti usia
16-30 tahun yaitu 24,9%.47
Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa prevalensi tinea pedis paling
banyak pada usia dewasa dan meningkat dengan bertambahnya usia.9 Hal ini
mungkin dapat dijelaskan bahwa kelompok umur ini terutama aktif dalam bekerja
sehingga lebih mudah terpapar dengan penyebab penyakit.47
4.1.3 Tingkat pendidikan
Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan
N
Persentase (%)
SD

17

37,8

SMP

13

28,9

SMA

13

28,9

Perguruan Tinggi

2

4,4

Total

45

100,0

Tabel 4.3 menunjukkan dari total 45 subjek penelitian, tingkat pendidikan
subjek dengan tinea pedis paling banyak dijumpai adalah tamat SD sebanyak 17
orang (37,8%) dan berikutnya adalah tamat SMP dan tamat SMA masing-masing
sebanyak 13 orang (28,9%).
Kurniawati yang meneliti tinea pedis pada populasi pemulung menjumpai
pendidikan terbanyak adalah tamat SD diikuti dengan tamat SMP.46 Szepietowski
et al yang meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi ko-eksistensi onikomikosis
dan tinea pedis menyatakan tingkat pendidikan yang rendah secara signifikan

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi terjadinya tinea pedis dan onikomikosis dimana dijumpai
persentase yang lebih tinggi pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah (tingkat SD 42,9%, SMA 33,4%, perguruan tinggi 30,9%).52 Sementara
pada penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia mendapatkan pendidikan
terbanyak adalah tingkat lanjut/ sekunder47 dan penelitian oleh Viegas et al di
Portugis mendapatkan tingkat pendidikan tinggi yang lebih banyak dijumpai pada
pasien tinea pedis.53
4.1.4 Pekerjaan
Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan

n

%

PNS

1

2,2

Pegawai swasta

2

4,4

Wiraswasta

7

15,6

Buruh

6

13,3

Petani

6

13,3

10

22,2

Ibu rumah tangga

7

15,6

Pekerja cuci mobil

3

6,7

Pekerja bengkel

1

2,2

Satpam

1

2,2

Tidak bekerja

1

2,2

45

100,0

Pembantu rumah tangga

Total

Tabel 4.4 menunjukkan dari 45 subjek penelitian, pekerjaan yang paling
banyak adalah pembantu rumah tangga sebanyak 10 orang (22,2%), diikuti dengan
ibu rumah tangga dan wiraswasta masing-masing sebanyak 7 orang (15,6 %).

Universitas Sumatera Utara

Mainiadi dalam penelitiannnya menjumpai ibu rumah tangga yang paling
banyak menderita dermatofitosis dengan infeksi sekunder yaitu sebesar 40%.16
Tarigan dalam penelitiannya di asrama pendidikan militer di Sumatera Utara pada
tahun 2009 mendapatkan proporsi tinea pedis adalah 80,2% di antara siswa militer
menunjukkan calon tentara mempunyai faktor risiko untuk terjadinya tinea pedis.7
Penelitian oleh Jamaliyah mendapatkan proporsi tinea pedis sebesar 27,8% pada
pekerja pabrik tahu di Medan.54
Sahin et al meneliti tentang dermatofitosis pada petani di Turki menemukan
porporsi tinea pedis yang tinggi yaitu pada 21 orang petani dari 467 orang
penduduk(17,7%).55 Penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan
prevalensi tinea pedis tertinggi pada pekerja manual sebesar 70,8% dan pensiunan
sebesar 71,4%.51 Dari penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia diketahui
pekerjaan pasien yaitu pekerja industri kimia, pekerja di pertanian, pekerja kantor,
ibu rumah tangga, dan pelajar.47
Subjek penelitian ini paling banyak adalah pembantu rumah tangga, yang
dalam pekerjaannya sehari-hari selalu terpapar dengan air dalam waktu lama
sehingga berisiko untuk terinfeksi jamur karena keadaan lembab atau basah akan
memudahkan masuknya jamur.2,5 Demikian juga kelompok pekerja lainnya dalam
penelitian ini berisiko untuk terjadinya tinea pedis karena kemungkinan
keterpaparan kelompok ini dengan keringat, sepatu tertutup, keadaan lembab dan
trauma.5

Universitas Sumatera Utara

4.2 Hasil pemeriksaan KOH
Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH
KOH

N

Persentase (%)

hifa

29

64,4

artrokonidia

5

11,1

hifa + artrokonidia

11

24,4

45

100

Total

Tabel 4.5 menunjukkan struktur jamur yang terbanyak dilihat pada
pemeriksaan KOH adalah hifa 64,4%, diikuti dengan hifa + artrokonidia 24,4%
dan artrokonidia 11,1%.
Dari penelitian oleh Mainiadi diketahui hasil pemeriksaan KOH dari 40 kasus
dermatofitosis disertai infeksi sekunder dijumpai struktur jamur yang paling sering
adalah hifa sebesar 62,5%, berikutnya hifa disertai spora sebesar 37,5%.16
Demikian juga penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan dari 63
subjek dengan KOH positif dijumpai filamen pada 46 kasus (73 %), spora pada 6
kasus (9,5%) dan keduanya pada 11 kasus (17,5%). 51
Struktur hifa jamur dermatofita yang dijumpai pada pemeriksaan langsung
dengan KOH berbentuk filamen yang panjang, bercabang dan bersepta dengan
diameter 3-8μ. Filamen tersebut memiliki indeks bias yang berbeda dengan
sekitarnya. Artrokonidia yang dijumpai berupa deretan spora di ujung hifa (chains
of rectangular spores).1
Hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH
dilaporkan sebesar 5-15% dimana pemeriksaan ini sangat tergantung pada
keahlian pengamat dan kualitas sampling, namun demikian pemeriksaan ini dapat
menjadi alat skrining yang sangat efisien. 23

Universitas Sumatera Utara

4.3. Gambaran Klinis Tinea Pedis
Tabel 4.6 Distribusi tinea pedis berdasarkan gambaran klinis
Tipe Tinea pedis

n

Persentase (%)

Interdigitalis

40

88,9

Vesikobulosa

1

2,2

Interdigitalis + Vesikobulosa

2

4,4

Interdigitalis + Hiperkeratotik

2

4,4

45

100,0

Total

Tabel 4.6 menunjukkan tipe klinis tinea pedis yang terbanyak dijumpai adalah
tipe interdigitalis yaitu pada 40 kasus (88,9 %), diikuti dengan tipe campuran
interdigitalis dan vesikobulosa pada 2 kasus (4,4%), tipe campuran interdigitalis
dan vesikobulosa pada dua kasus (4,4%) dan tipe vesikobulosa dijumpai pada satu
kasus (2,2%).
Tarigan menjumpai tinea pedis tipe interdigitalis yang paling banyak pada
siswa militer yaitu pada 60 orang dari 77 orang (78,3%) yang hasil kulturnya
positif.7
Tan di Singapura melaporkan tinea pedis tipe kering interdigitalis dan
mokasin yang paling sering dijumpai diikuti dengan tipe vesikular. 5 Sedangkan
Ungpakorn di Thailand menjumpai tinea pedis pada telapak kaki 5,5 kali lebih
sering daripada sela jari kaki dari pasien rawat jalan yang berkunjung ke Institusi
Dermatologi Bangkok.48 Penelitian oleh Erbagci et al di Turki diketahui bahwa
171 orang (71,15%) dari subjek dengan tinea pedis tidak mempunyai simtom
tinea pedis dan secara klinis adalah tipe interdigitalis sebanyak 160 orang dan tipe
mokasin sebanyak 11 orang. Selain itu juga dijumpai tipe vesikobulosa pada 5
orang subjek.56 Berbeda dengan Wahab et al di Bangladesh yang menjumpai tipe

Universitas Sumatera Utara

papuloskuamosa adalah tipe yang paling sering diikuti dengan tipe intertriginosa,
hiperkeratotik dan vesikobulosa.49 Di Tunisia, El Fekih et al melaporkan tinea
pedis tipe interdigitalis adalah paling sering dijumpai diikuti dengan tipe
hiperkeratotik dan tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik.51 Penelitian oleh
Kawai et al di RSJ Jepang menjumpai tipe yang paling banyak adalah interdigitalis
yaitu 35%, kemudian interdigitalis dan hiperkeratotik 34%, hiperkeratotik 21%,
dan vesikular 10%.57 Aste et al di Italia mendapatkan tipe yang paling sering
adalah tipe intertriginosa sebanyak 75%, diikuti dengan tipe hiperkeratotik dan
intertriginosa 8,9%, dishidrotik 6,6%, hiperkeratotik 5,9%, dishidrotik dan
intertriginosa 3,6%.47 Szepietowski et al menjumpai 933 pasien dengan tinea pedis
terdiri dari tipe interdigitalis 65,4%, dishidrotik 11%, hiperkeratotik 11,3%,
interdigitalis dan dishidrotik 4,8%, interdigitalis dan hiperkeratotik 6,3%.52
Tipe yang paling sering dijumpai adalah tipe interdigitalis yang dicirikan
dengan kulit yang terkelupas, maserasi dan fisura yang mengenai sela jari kaki
lateral, dan kadang-kadang menyebar dan melibatkan permukaan bawah jari kaki.
Berikutnya adalah tipe hiperkeratotik / mokasin yang juga umum dijumpai,
bersifat kronik dan resisten terhadap pengobatan, mengenai telapak kaki, tumit dan
bagian samping kaki. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan ditutupi
skuama putih perak halus sedangkan permukaan dorsal jari kaki dan kaki jarang
terkena.3
Tipe vesikobulosa dan tipe ulseratif lebih sedikit dijumpai. Reaksi adakalanya
meluas ke seluruh telapak kaki yang mungkin didahului dengan maserasi atau
fisura pada sela jari kaki berbulan atau bertahun sebelumnya. Vesikel dapat
menjadi pustul, dan ketika ruptur cenderung meninggalkan kolaret dari skuama

Universitas Sumatera Utara

bercampur dengan kulit normal, atau menunjukkan skuama dan inflamasi dengan
derajat bervariasi. Tipe ini sering menyembuh spontan, tetapi cenderung untuk
kambuh pada musim panas dan kondisi lembab dan panas.3 Gambaran klinis yang
melibatkan beberapa tipe ini dapat juga dijumpai. 2
4.4 Identifikasi Spesies Dermatofita pada Tinea Pedis
Tabel 4.7 Distribusi spesies dermatofita dan nondermatofita dari kultur jamur
Jamur

N

Persentase (%)

T.rubrum

15

33,3

T.mentagrophytes

20

44,4

T.violaceum

2

4,4

E. floccosum

2

4,4

Paecilomyces sp

4

8,9

Aspergillus niger

1

2,2

Aspergillus fumigatus

1

2,2

45

100,0

Dermatofita

Nondermatofita

Total

:

Tabel 4.7 menunjukkan dari total 45 spesimen yang dilakukan pemeriksaan
kultur jamur didapatkan 39 spesimen tumbuh dermatofita. Spesies dermatofita
yang paling banyak didapat adalah T.mentagrophytes sebanyak 20 spesimen
(44,4%), selanjutnya T.rubrum sebanyak 15 spesimen (33,3%). Dijumpai juga
T.violaceum dan E.floccosum masing-masing pada 2 spesimen (4,4%). Selain
dermatofita, pada beberapa spesimen tumbuh jamur saprofit seperti Paecilomyces
sp pada 4 spesimen (8,9%), Aspergilus sp pada 2 spesimen (4,4%).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan
yang mendapatkan T.mentagrophytes yang paling banyak dijumpai pada lesi tinea
pedis yaitu sebanyak 69 spesimen (89,6%) dari 77 spesimen dengan kultur positif,
diikuti dengan E.floccosum sebanyak 5 spesimen (6,5%) dan T.rubrum sebanyak 3
spesimen (3,9%).7
Tan di Singapura melaporkan tinea pedis merupakan dermatofitosis yang
paling umum dijumpai dimana T.interdigitale adalah penyebab yang paling sering
diikuti dengan T.rubrum.5 Namun penelitian Ungpakorn et al di Thailand
menemukan mold nondermatofita Scytalidium dimidiatum adalah penyebab
terbanyak tinea pedis sebesar 54%, diikuti dengan dermatofita sebesar 36,8%
terdiri dari T. mentagrophytes 18,4%, T.rubrum 13,2% dan E.floccosum 5,2%.48
Di Malaysia, tinea pedis jarang dijumpai, dapat diketahui berdasarkan laporan
penelitian retrospektif dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 dimana hanya
dijumpai 13 orang dengan tinea pedis dari 576 pasien dengan hasil kultur positif
dermatofita, dimana didapatkan T. rubrum pada 5 kasus , T. mentagrophytes pada
3 kasus, M. canis pada 3 kasus, dan M. gypseum pada 2 kasus.58 Hal yang sama
dijumpai juga di India dimana pada penelitian oleh Pandey et al, kasus tinea pedis
tidak

banyak

dijumpai

dan

dermatofita

yang

sering

terlibat

adalah

T.mentagrophytes diikuti dengan T. rubrum.59
Hal yang berbeda dijumpai pada penelitian oleh Mahmoudabadi di Iran
dimana T.violaceum merupakan penyebab tinea pedis yang paling sering dijumpai
diikuti dengan T.mentagrophytes, T. rubrum, T.verrucosum dan E. floccosum.60
Sedangkan penelitian El Fekih et al di Tunisia mendapatkan T. rubrum sebagai
penyebab utama tinea pedis diikuti dengan yeast.51

Universitas Sumatera Utara

Di Italia, Aste et al menjumpai penyebab tinea pedis yang terutama adalah T.
mentagrophytes (51,5%), diikuti dengan T. rubrum (45,2%) dan E. floccosum
(3,3%).47 Penelitian oleh Djeridane et al di Algeria mendapatkan dermatofita yang
sering dijumpai pada lesi tinea pedis adalah T. rubrum 17%, diikuti dengan T.
interdigitale 13%, T.violaceum 6%, T. mentagrophytes 2,4%, dan E. floccosum
2,4%.61
Umumnya spesies dermatofita penyebab tinea pedis adalah T. rubrum, T.
mentagrophytes dan E. floccosum. Spesies dermatofita lainnya seperti T.violaceum
dapat dijumpai dominan pada satu wilayah tertentu. 60 T. violaceum diketahui
merupakan patogen utama penyebab tinea kapitis terutama di Asia dan Afrika.10,15
Meskipun jarang, spesies dermatofita lainnya juga dapat terlibat seperti T.
verrucosum, M. canis, M. gypseum.58 Sementara itu Paecilomyces sp ataupun
Aspergilus sp merupakan jamur saprofit yang sering dijumpai di laboratorium
sebagai jamur kontaminan.62
Spesies dermatofita yang dijumpai pada penelitian ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian- penelitian lainnya. Namun terdapat perbedaan dengan distribusi
spesies dermatofita di seluruh dunia dimana T.rubrum secara umum lebih dominan
diikuti dengan T. interdigitale dan E. floccosum.15

Universitas Sumatera Utara

4.5 Identifikasi Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis
Tabel 4.8 Distribusi spesies bakteri dari hasil kultur
Bakteri

n

%

S.aureus

12

30,8

S.epidermidis

4

10,3

B.subtilis

3

7,7

K.pneumoniae

3

7,7

K.oxytoca

6

15,4

E.coli

5

12,8

P. vulgaris

1

2,6

S.aureus + K.pneumoniae

1

2,6

TAPB

4

10,3

Total

39

100,0

Tabel 4.8 menunjukkan dari total 39 spesimen dengan hasil kultur jamur
dermatofita, pada kultur bakteri didapat yang paling banyak tumbuh adalah kokus
Gram positif S.aureus sebanyak 12 spesimen (30,8%), disusul dengan batang
Gram negatif K.oxytoca sebanyak 6 spesimen (15,4%), E.coli dijumpai pada 5
spesimen (12,8%). Selain itu terdapat juga pertumbuhan S.epidermidis, B.subtilis,
K.pneumoniae dan P.vulgaris. Terdapat juga pertumbuhan 2 jenis bakteri pada
satu spesimen yaitu S.aureus dan K.pneumoniae dan S.epidermidis dan E.coli.
Pada 4 spesimen sama sekali tidak ada pertumbuhan bakteri (TAPB).
Mainiadi dalam penelitiannya mendapatkan beberapa spesies bakteri sebagai
penyebab infeksi sekunder pada dermatofitosis yaitu S. aureus pada 29 spesimen
(72,5%) diikuti dengan S. epidermidis 5 spesimen (12,5%), Proteus 3 spesimen
(7,5%), E.coli 2 spesimen (5%).16

Universitas Sumatera Utara

Chuku et al di Nigeria meneliti identifikasi bakteri yang berhubungan dengan
infeksi jamur pada kulit dan jaringan lunak, menjumpai dari 940 sampel yang
diambil dari kerokan kulit dan kuku terdapat pertumbuhan bakteri pada seluruh
sampel (100%) yaitu S.aureus 125 sampel (13.3%), S.epidermidis 145 sampel
(15.8%), Micrococcus luteus 233 sampel (24.8%), α-hemolytic Streptococci 89
sampel (9.5%), E.coli 59 sampel (6.3%), Proteus mirabilis 113 sampel (12%),
B.subtilis 78 sampel (8.3%) dan K. pneumoniae 98(10.4%).14
Menurut penelitian sebelumnya baik sela jari kaki yang normal ataupun yang
patologik sering dikolonisasi oleh bakteri dalam jumlah besar, termasuk
didominasi famili Micrococccaceae (staphylococci dan micrococci), bakteri
difteroid aerobik (khususnya strain lipofilik), dan bakteri gram negatif. Pada
dermatofitosis kompleks contohnya pada sela jari kaki yang maserasi, jamur lebih
jarang tumbuh, tetapi prevalensi S. aureus, bakteri Gram negatif, Corynebacterium
minutissimum, B.epidermidis, dan Micrococcus sedentarius secara signifikan
meningkat . Dalam keadaan rusaknya stratum korneum, spesies bakteri patogenik
menginduksi inflamasi dan maserasi.13

Universitas Sumatera Utara

4.6 Identifikasi Spesies Dermatofita Berdasarkan Tipe Klinis Tinea Pedis
Tabel 4.9 Distribusi spesies dermatofita berdasarkan tipe klinis tinea pedis
Tinea Pedis
Spesies

Total

T.rubrum

Inter
digitalis
(%)
13 (33,3)

Vesiko
bulosa
(%)
1 (2,6)

Interdigitalis +
vesikobulosa
(%)
1 (2,6)

Interdigitalis +
hiperkeratotik
(%)
0 (0)

15 (38,5)

T.mentagrophytes

17 (43,6)

0 (0)

1 (2,6)

2 (5,1)

20 (51,3)

T.violaceum

2 (5,1)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

2 (5,1)

E. floccosum

2 (5,1)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

2 (5,1)

Total

34 (87,2)

1 (2,6)

2 (5,1)

2 (5,1)

39 (100,0)

dermatofita

(%)

Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa pada tinea pedis tipe interdigitalis
ditemukan T.mentagrophytes yang terbanyak yaitu pada 17 kasus (43,6%) diikuti
oleh T.rubrum sebanyak 13 kasus (33,3%), selain itu dijumpai juga T.violaceum
dan E.floccosum masing-masing pada 2 kasus (5,1%).

Pada tinea pedis tipe

vesikobulosa ditemukan T.rubrum. Pada 2 kasus tipe campuran interdigitalis dan
vesikobulosa dijumpai T.mentagrophytes dan T.rubrum. Pada dua kasus
interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai T.mentagrophytes.
Pada penelitian Tan di Singapura, lesi awal yang bermula dengan skuama dan
gatal di sela jari kaki dan lesi bula umumnya dijumpai T. interdigitale, sedangkan
pada infeksi T. rubrum, telapak kaki sering ditutupi dengan skuama kering. 5 Pada
sebuah penelitian oleh Gupta et al yang meneliti efikasi cyclopirox 0,77% gel pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis mendapatkan spesies dermatofita yang paling
sering terlibat adalah T. rubrum (62,7%), diikuti dengan T. mentagrophytes (27,1
%) dan E. floccosum (10,2 %).19 Penelitian oleh Hafeez et al di Amerika Serikat
mendapatkan tipe tinea pedis yang paling banyak adalah interdigitalis dimana T.

Universitas Sumatera Utara

rubrum yang paling banyak dijumpai dan pada satu kasus tipe mokasin dijumpai
E. floccosum.63 Penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia menjumpai pada tipe
interdigitalis penyebabnya adalah T. rubrum, demikian juga pada tipe campuran
interdigitalis dan hiperkeratotik.51
Penelitian oleh Ahmad et al di Pakistan yang meneliti etiologi infeksi jamur
pada sela jari kaki, dari 118 pasien, 60 orang (50,8%) pasien dengan hasil kultur
positif jamur, patogen yang paling umum diisolasi adalah Candida albicans pada
36 kasus (60%), diikuti dengan T.rubrum pada 19 kasus (31.7%), T. violaceum
pada 4 kasus (6.6%), dan Epidermophyton floccosum 1 kasus (1.7%).64
Tipe interdigitalis dapat disebabkan oleh ketiga spesies utama yaitu T.rubrum,
T.mentagrophytes dan E. floccosum. Tipe hiperkeratotik paling sering disebabkan
oleh infeksi T. rubrum. Infeksi T. mentagrophytes var interdigitale bervariasi dari
skuama ringan pada sela jari kaki sampai reaksi inflamasi akut dan berat mengenai
seluruh bagian kaki. Tipe vesikobulosa utamanya disebabkan T. mentagrophytes
var interdigitale, namun demikian terdapat juga laporan disebabkan infeksi
T.rubrum. Selain intertrigo ringan, E. floccosum dapat menyebabkan infeksi
vesikular pada telapak kaki sama dengan tipikal infeksi T. mentagrophytes var
interdigitale atau kondisi hiperkeratotik menyerupai infeksi T. rubrum.3

Universitas Sumatera Utara

4.7 Identifikasi Spesies Bakteri Berdasarkan Tipe Klinis Tinea Pedis
Tabel 4.10 Distribusi spesies bakteri berdasarkan tipe klinis tinea pedis
Spesies
bakteri

Inter
digitalis
(%)

Tinea Pedis
Vesiko Interdigitalis +
bulosa vesikobulosa
(%)
(%)

S.aureus

11 (28,2)

0 (0)

1 (2,6)

Interdigitalis +
hiperkeratotik
(%)
0 (0)

S.epidermidis

4 (10,3)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

4 (10,3)

B.subtilis

3 (7,7)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

3 (7,7)

P.vulgaris

1 (2,6)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

1 (2,6)

K.pneumoniae

2 (5,1)

1 (2,6)

0 (0)

0 (0)

3 (7,7)

K.oxytoca

5 (12,8)

0 (0)

0 (0)

1 (2,6)

6 (15,4)

E.coli

4 (10,3)

0 (0)

1 (2,6)

0 (0)

5 (12,8)

S.aur +K.pneu

1 (2,6)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

1 (2,6)

TAPB

3 (7,7)

0 (0)

0 (0)

1 (2,6)

4 (10,3)

Total

34 (87,2)

1 (2,6)

2 (5,1)

2 (5,1)

39 (100,0)

Total
(%)
12 (30,8)

Dari tabel 4.10 dapat diketahui pada tinea pedis tipe interdigitalis dijumpai
yang paling sering adalah S.aureus pada 11 kasus (28,2%), diikuti dengan
K.oxytoca pada 5 kasus (12,8%), S.epidermidis dan E.coli masing-masing pada 4
kasus (10,3%). Selain itu juga dijumpai B.subtilis, K.pneumoniae,P.vulgaris.
Infeksi campuran S.aureus dan K. pneumoniae ditemukan pada satu kasus
sedangkan pada 3 kasus TAPB.
Tabel di atas juga menunjukkan pada tipe vesikobulosa dijumpai bakteri
K.pneumoniae. Pada tipe interdigitalis dan vesikobulosa dijumpai batang Gram
negatif E.coli pada satu kasus dan pada satu kasus lagi dijumpai bakteri Gram
positif S. aureus. Pada tipe interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai batang Gram
negatif K.oxytoca pada satu kasus dan pada satu kasus lainnya TAPB.
Penelitian oleh Ahmad et al di Pakistan yang meneliti etiologi infeksi jamur
pada sela jari kaki, dari 118 pasien, dijumpai 30 kasus (25,4%) dengan hasil kultur

Universitas Sumatera Utara

positif untuk bakteri, patogen yang paling umum diisolasi adalah Staphylococcus
aureus pada 25 kasus (83.4%), Pseudomanas aeruginosa pada 3 kasus (10%) dan
Proteus spp dan β-hemolytic Streptococci pada satu kasus (3.3%) masingmasing.64
Pada penelitian ini dijumpai beberapa jenis bakteri pada tipe interdigitalis
seperti S. aureus yang paling banyak dijumpai, berikutnya bakteri residen S.
epidermidis, batang Gram positif B.subtilis dan dijumpai juga bakteri Gram
negatif seperti Klebsiella sp, E.coli, dan Proteus sp. Hal ini menunjukkan pada
tipe interdigitalis terdapat peran bakteri Gram positif dalam menghasilkan
manifestasi klinis tinea pedis yang disebut dengan dermatofitosis kompleks. Tetapi
terdapat tiga kasus dimana tidak dijumpai pertumbuhan bakteri (TAPB) yang
menunjukkan pada kasus ini adalah tinea pedis tanpa keterlibatan jamur
dermatofita disebut dengan dermatofitosis simpleks.
Menurut Leyden et al dermatofitosis simpleks sebagai infeksi jamur yang
murni. Namun ketika daerah sela jari kaki mengalami hidrasi berlebihan, bakteri
mikroflora residen seperti kokus dan difteroid tumbuh dengan cepat,
bermanifestasi sebagai dermatofitosis kompleks yang menunjukkan kolaborasi
antara dermatofita dan bakteri. Pada kasus dermatofitosis kompleks yang lebih
berat, organisme Gram negatif masuk dan menambah berat gambaran klinis.11
Pada keadaan dominasi pertumbuhan bakteri Gram negatif seperti
Pseudomonas, Proteus, dan Klebsiella dapat menyebabkan selulitis Gram negatif.
Pada kondisi ini, struktur jamur dapat menjadi sulit terlihat karena adanya bakteri
Gram negatif yang berlebihan dapat menginhibisi pertumbuhan jamur dan
membuat lebih sulit untuk menjumpai hifa pada pemeriksaan KOH. Zat antifungal

Universitas Sumatera Utara

yang dihasilkan oleh bakteri Gram negatif juga berkontribusi mengurangi
kehadiran jamur sehingga kultur menunjukkan bakteri Gram negatif tetapi tidak
ada patogen jamur.65
Dari penelitian ini diketahui pada tipe vesikobulosa dijumpai K. pneumoniae.
Pada tipe campuran vesikobulosa dan interdigitalis dijumpai S.aureus pada satu
kasus dan E.coli pada kasus lainnya. Temuan ini menunjukkan kemungkinan
terjadinya superinfeksi pada lesi tinea pedis. Pada tinea pedis tipe vesikobulosa,
biasanya vesikel berisi cairan jernih tetapi dapat menjadi pustul yang berisi pus
mengindikasikan adanya infeksi bakteri sekunder, yang paling sering adalah
dengan S. aureus atau Strptococcus group A.65
Pada penelitian ini diketahui terdapat dua kasus dengan tipe campuran
interdigitalis dan hiperkeratotik dimana pada satu kasus tumbuh K.oxytoca, hal ini
menunjukkan kemungkinan keterlibatan bakteri Gram negatif pada kasus ini.
Sedangkan pada kasus lainnya TAPB, yang menunjukkan suatu dermatofitosis
simpleks.
Keterbatasan penelitian ini adalah hanya melakukan identifikasi bakteri pada
lesi tinea pedis tanpa melakukan penilaian secara kuantitatif, sehingga tidak dapat
diketahui seberapa besar peranan bakteri dalam memperberat lesi tinea pedis dan
tidak dapat memastikan apakah bakteri Gram negatif yang dijumpai adalah bakteri
patogen atau transien.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Spesies dermatofita yang paling banyak didapat adalah T.mentagrophytes
sebanyak 20 kasus (44,4%), diikuti dengan T. rubrum sebanyak 15 kasus
(33,3%). Selain itu juga dijumpai T.violaceum dan E.floccosum.
2. Spesies bakteri yang paling banyak didapat adalah S.aureus sebanyak 12
kasus (30,8%), disusul dengan K.oxytoca, S.epidermidis, E.coli B.subtilis,
K.pneumoniae dan Proteus sp.
3. Gambaran klinis pasien tinea pedis paling banyak adalah tipe interdigitalis
sebanyak 40 kasus (88,9 %). Selain itu juga dijumpai tipe vesikobulosa, tipe
campuran interdigitalis dan hiperkeratotik, dan tipe campuran interdigitalis
dan vesikobulosa.
4. Spesies dermatofita yang paling banyak ditemukan pada tinea pedis tipe
interdigitalis adalah T.mentagrophytes yaitu pada 17 kasus (43,6%), diikuti
dengan T.rubrum sebanyak 13 kasus (33,3%), selain itu dijumpai juga
T.violaceum dan E.floccosum.

Dijumpai satu kasus tinea pedis tipe

vesikobulosa dengan penyebab T.rubrum. Dijumpai tipe campuran yaitu
interdigitalis dan vesikobulosa pada dua kasus dengan jamur penyebab pada
satu kasus T. mentagrophytes dan kasus lain dijumpai T.rubrum dan dua
kasus

interdigitalis

dan

hiperkeratotik,

pada

keduanya

dijumpai

T.mentagrophytes.

Universitas Sumatera Utara

5. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada tinea pedis tipe interdigitalis
adalah S.aureus yaitu pada 11 kasus (28,2%), diikuti dengan K.oxytoca,
S.epidermidis, E.coli, B.subtilis K.pneumoniae, Proteus vulgaris, infeksi
campuran S.aureus dan K. pneumoniae. Pada tipe vesikobulosa dijumpai
bakteri K.pneumoniae. Pada tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa
dijumpai pada satu kasus E.coli dan kasus lainnya S. aureus. Pada tipe
campuran interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai K.oxytoca.
6. Karakteristik subjek penelitian yaitu jumlah subjek yang menderita tinea
pedis tidak jauh berbeda antara laki-laki (48,9%) dan perempuan (51,1%),
paling banyak pada kelompok usia 37-46 tahun (28,9%) dan 47-56 tahun
(26,7%), pendidikan tamat SD (37,8%), dan pekerjaan pembantu rumah
tangga (22,2%).

5.2. Saran
1. Melakukan penelitian dengan tehnik yang lebih spesifik seperti PCR untuk
mengetahui dermatofita dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis.
2. Melanjutkan penelitian tentang hubungan dermatofita dan kepadatan
bakteri pada berbagai derajat klinis tinea pedis interdigitalis.

Universitas Sumatera Utara