Gambaran Pola Makan Dan Tingkat Keparahan Stroke Iskemik Di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke Iskemik 2.1.1. Definisi

Berdasarkan American Heart Association, stroke iskemik didefinisikan sebagai suatu episode dari disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal yang terjadi dalam otak (Sacco, 2013). Menurut definisi WHO dalam

International Classification of Diseases (ICD)-11 (2013), stroke iskemik disebutkan sebagai suatu disfungsi neurologis fokal akut yang terjadi akibat infark fokal pada satu atau beberapa bagian dalam otak.

2.1.2. Klasifikasi

Kejadian stroke iskemik sekitar 70-85% dari total kejadian stroke.

Macam atau derajat dari stroke iskemik berdasarkan perjalanan klinisnya sebagai berikut (Junaidi, 2011) :

a. TIA (transient ischemic attack) atau serangan stroke sementara, gejala deficit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam.

b. RIND (Reversible ischemic neurological deficits), kelainan atau gejala neurologis menghilang antara lebih dari 24 jam sampai 3 minggu.

c. Stroke progresif atau stroke in evolution yaitu stroke yang gejala klinisnya secara bertahap berkembang dari yang ringan sampai semakin berat.

d. Stroke komplit atau completed stroke, yaitu stroke dengan deficit neurologis yang menetap dan sudah tidak berkembang lagi.

2.1.3. Faktor Risiko

Berdasarkan National Stroke Association (2009), ada dua jenis faktor risiko terjadinya stroke iskemik, yaitu :

a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi : 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Ras


(2)

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: 1. Hipertensi

2. Kenaikan kadar kolesterol / lemak darah 3. Diabetes Mellitus

4. Pola makan yang tidak sehat 5. Merokok

6. Konsumsi alkohol yang berlebihan 7. Kurang berolahraga

2.1.4. Patofisiologi

Pada stroke iskemik, adanya penurunan atau tidak adanya aliran darah untuk memenuhi kebutuhan neuron mewakili 80% dari semua kejadian stroke ini. Keadaan sistemik ini menimbulkan efek yang sangat cepat sebab otak tidak dibekalkan dengan glukosa dan oksigen yang merupakan elemen atau substansi utama untuk metabolismenya (Janice & Mary, 2007).

Menurut sumber lain dikatakan stroke terjadi karena terhentinya aliran darah yang mengakibatkan sel-sel otak mengalami kekurangan bekalan darah yang mensuplai oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk fungsi otak. Sekitar 45% daripada stroke iskemik diakibatkan oleh adanya trombus pada arteri otak yang besar dan kecil, 20% disebabkan emboli dari tempat lain di dalam tubuh selain otak dan 35 % lagi oleh faktor yang lain (Hickey, 2003).

Trombosis dapat terjadi pada arteri di intrakranial maupun ekstrakranial, ketika tunika intima mengalami kerusakan sehingga terbentuk plak di sepanjang dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Kerusakan pada endotel mengakibatkan agregasi trombosit sehingga terjadi proses koagulasi, sehingga trombus tersebut berubah menjadi plak (Mahar dan Priguna, 2008).

Pengaliran darah di sistem intrakranial dan ekstrakranial menjadi berkurang sehingga terjadi proses kompensasi. Jika keadaan ini berlangsung secara terus-menerus, mekanisme kompensasi ini dapat mengalami kegagalan. Hal ini seterusnya dapat menyebabkan penurunan perfusi ke otak yang membawa kepada kematian sel-sel di otak (Mahar dan Priguna, 2008).


(3)

Pada stroke emboli, plak yang telah terbentuk pada pembuluh darah di luar otak akan melepas dan menjadi klot. Adanya aliran darah yang berterusan pula akan menyebabkan klot yang terlepas itu turut mengalir, didorong oleh pengaliran darah. Apabila klot yang beralir mengikuti aliran darah sampai di pembuluh darah otak, stroke akan terjadi (Mahar dan Priguna, 2008).

2.1.5. Gejala dan Tanda

Stroke iskemik terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat terjadinya stroke, pasien membutuhkan pertolongan dan harus dibawa ke pelayanan kesehatan dengan segera dan secepat mungkin. Ketika terjadi stroke, akan terlihat beberapa gejala dan tanda-tanda yang sama dan yang rata-rata telah dikenal pasti pada kebanyakan pasien stroke.

Gejala dan tanda stroke iskemik yang sering dijumpai pada penderitanya adalah (Junaidi, 2011) :

1. Adanya deficit serangan neurologis/kelumpuhan fokal, seperti hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau kiri saja).

2. Mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan/terbakar. 3. Mulut atau lidah mencong jika diluruskan

4. Sukar berbicara / perbicaraan yang tidak lancer dan jelas. 5. Tidak dapat memahami perbicaraan atau percakapan orang lain.

6. Kesulitan mendengar, melihat, menelan, berjalan, menulis, membaca, serta tidak memahami tulisan.

7. Kecerdasan menurun dan sering mengalami vertigo (pusing atau sakit kepala).

8. Menjadi pelupa / demensia.

9. Penglihatan terganggu, sebagian lapangan pandang tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan menjadi gelap / ganda sesaat (hemianopsia).

10. Tuli satu telinga atau pendengaran berkurang.

11. Emosi tidak stabil, seperti mudah menangis dan tertawa. 12. Kelopak mata sulit dibuka dan selalu ingin tertidur.


(4)

13. Gerakan tidak terkoordinasi, seperti kehilangan keseimbangan.

14. Biasanya diawali dengan Transient Ischemic Attack (TIA) atau serangan stroke sementara.

15. Gangguan kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma.

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis stroke iskemik ditegakkan apabila ditemukan defisit fokal dan ditemukan gambaran infark pada CT scan atau tidak ditemukan adanya perdarahan pada CT scan kepala selama observasi, misalnya pasien dengan gambaran klinik stroke tetapi menunjukkan gambaran CT scan yang normal (Davis et al, 1998). Untuk menegakkan diagnosis stroke, terlebih dahulu harus dilakukan anamnesis mengenai gejala awal, perkembangan gejala, riwayat penyakit sebelumnya, faktor risiko yang ada, dan pengobatan yang sedang dijalani. Berikutnya adalah melakukan pemeriksaan neurologis lengkap untuk mengetahui kemungkinan letaknya lesi. Untuk membedakan diagnosis stroke itu merupakan infark / hemoragik dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan CT scan (Roger, et al., 2009).

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan pemeriksaan gold standar untuk menegakkan diagnosis stroke (Rumantir, 2007). Untuk membedakan stroke iskemik karena trombosis atau emboli memang sulit dibedakan dari gejala klinis saja. Diagnosis stroke emboli biasanya ditegakkan secara inferensi. Pada beberapa kasus ditemukan adanya obstruksi arteri melalui pemeriksaan arteriografi. Penemuan yang mendukung ke arah diagnosis stroke emboli adalah awitan yang akut dan ditemukannya sumber emboli (Harsono, 2005).

Diagnosis pasti stroke iskemik dan penyebabnya harus segera ditegakkan dalam beberapa jam paska awitan agar terapi yang tepat dapat segera diberikan.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis stroke adalah (Fitzsimmons, 2007) :

c. Laboratorium :

1. Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap darah, hitung trombosit, masa perdarahan, masa pembekuan.


(5)

2. Gula darah dan profil lipid.

3. Ureum, kreatinin, asam urat, kolesterol darah: HDL/LDL, trigliserida, fungsi hati: SGOT / SGPT, urin lengkap.

4. Bila perlu pemeriksaan gas darah dengan elektrolit (Natrium, Kalium). d. Elektrokardiografi

e. CT Scan / MRI otak

f. Duplex sonografi Karotis / Trans Cranial Doppler (atas indikasi) g. MRA

h. EEG

2.1.7. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (1999) dalam Lumbantobing (2007), mengemukakan hal berikut :

a. Membebaskan jalan nafas dan berikan ventilasi yang adekuat, diberikan oksigen 1-2 L / menit sehingga ada hasil gas darah bila perlu.

b. Kandung kemih dikosongkan jika penuh dengan katerisasi intermiten. c. Melakukan penatalaksanaan tekanan darah secara khusus.

d. Mongoreksi hiperglikemia atau hipoglikemia. e. Mempertahankan suhu tubuh normal.

f. Memberikan nutrisi peroral setelah hasil tes fungsi menelan baik, menganjurkan pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik jika terdapat gangguan menelan / kesadaran penderita menurun.

g. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Diberikan cairan intravena berupa cairan kristaloid / koloid, menghindari cairan yang mengandung glukosa murni atau hipotonik.

h. Jika terdapat dugaan Deep Vein Thrombosis (DVT), diberikan heparin / heparinoid dengan dosis rendah subkutan, bila tidak dikontraindikasikan.


(6)

Menurut PERDOSSI (2001), gaya hidup sehat yang dapat diamalkan untuk prevensi dan pencegahan stroke iskemik adalah dengan :

1. Mengatur pola makan yang sehat. 2. Menghentikan tabiat merokok.

3. Menghindari konsumsi alkohol dan penyalahgunaan alkohol. 4. Melakukan olahraga yang teratur.

5. Menghindari stres dan beristirahat yang cukup.

Pada konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (2004) dalam Lumbantobing (2007), telah dikemukakan beberapa usaha yang boleh dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke iskemik yaitu dengan memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain :

1. Penghindaran : Rokok, stres mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan.

2. Pengurangan : Konsumsi lemak yang berlebihan dalam makanan, kolesterol.

3. Pengendalian Hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus.

4. Penganjuran Olahraga yang teratur dan konsumsi gizi yang seimbang.

2.2. Pola Makan

Makanan dikatakan sebagai suatu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Pola makan atau kebiasaan makan seseorang amat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang (Yulia, 2013). Berdasarkan Yayasan Stroke Indonesia (2012), dikatakan bahwa pola makan yang sehat memainkan peranan yang penting dalam memelihara kesehatan jantung dan jaringan pembuluh darah. Pola makan yang buruk dapat memberikan efek yang negatif terhadap kesehatan jantung dan jaringan pembuluh darah. Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti stroke, penyakit kardiovaskuler, diabetes tipe II, penyakit paru obstruktif kronis dan kanker tertentu dalam kesehatan masyarakat dapat digolongkan sebagai satu kelompok Penyakit Tidak Menular utama yang mempunyai faktor risiko yang sama dan amat berpengaruh yaitu pola makan yang tidak sehat dan seimbang (KBI Gemari, 2003).


(7)

Beberapa penelitian juga telah memberikan hasil yang positif kepada pengaruh pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi makanan yang mempunyai kadar lemak dan kolesterol yang tinggi, kadar gula yang tinggi, konsumsi daging merah dan daging olahan, dan fast food yang berlebihan dalam kehidupan seharian, dan diet rendah serat terhadap kejadian stroke iskemik (Frank B, 2003).

Pola makan yang baik dan seimbang adalah konsumsi makanan yang terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein hewani dan nabati, lemak, serta sumber vitamin dan mineral dalam kuantiti dan porsi yang tepat. Pola makan yang seimbang ini dapat menghindari dan mencegah pelbagai penyakit yang mampu mengancam kesehatan manusia seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, hipertensi, dan kanker (Yuliarti, 2009).

Makanan yang dikonsumsi setiap hari harus memenuhi tiga fungsi makanan yaitu zat tenaga (karbohidrat), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (vitamin dan mineral). Konsumsi makanan pada setiap hari juga mesti beranekaragam karena makanan beranekaragam ini dapat memenuhi dan melengkapi zat gizi yang kurang dalam badan sehingga masukan zat gizi dalam badan kita sentiasa seimbang (Almatsier, 2004).

Namun, terlebih konsumsi makanan dan zat-zat tertentu juga dapat memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan manusia. Pola makan seperti ini disebut pola makan tidak seimbang ataupun pola makan tidak sehat.. Pola makan yang tidak sehat dapat disebabkan oleh dua faktor yang dominan yaitu kebiasaan makan makanan jajanan yang tinggi kalori dan minyak dan juga kebiasaan makan makanan yang tinggi kadar lemak dan kolesterol seperti fast food. Kedua-dua faktor ini dapat menimbulkan penimbunan lemak dalam pembuluh darah. Pola makan yang mengandungi lemak yang tinggi tapi rendah serat dan karbohidrat juga akan menimbulkan akibat yang tidak baik bagi tubuh. Selain menimbun lemak, makanan tersebut dapat mengganggu metabolisme dan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Jika kadar kolesterol meninggi dalam darah, kejadian penebalan dinding pembuluh darah akan dipercepat dan akhirnya akan terjadi penyempitan dan suatu waktu terjadi penyumbatan (clot atau blockage). Penyumbatan inilah yang akan seterusnya menyebabkan terjadinya stroke iskemik (Yulia, 2013).


(8)

Berdasarkan hasil penelitian di kebanyakan negara dikatakan bahwa serangan stroke dapat dicegah oleh semua orang, terutamanya mereka yang mempunyai risiko stroke jika dari awal mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi dan mengikuti pola makan yang sehat dengan penuh disiplin dengan tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi, dan mengikuti langkah-langkah hidup sehat sejahtera lainnya dengan melakukan olahraga secara teratur dan menghindari pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi (Suyono, 2005).

Menurut Lumbantobing (2003), telah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke dalam Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999. Antaranya adalah memasyarakatkan pola makan yang sehat dan bebas stroke dengan menghindari alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, mengurangi dan menghindari makanan berkolesterol tinggi, lemak yang berlebihan dalam makanan, pengendalian faktor pemicu stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, serta menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang.

2.3. Outcome Stroke

Fungsi yang hilang setelah terserang stroke selalu dibayangkan sebagai disabilitas, impairment, dan handicaps. Oleh itu, World Health Organization

(WHO)telah membuat garis batas sebagai berikut (Caplan, 2000) :

a. Disabilitas merupakan ketidakmampuan atau keterbatasan melaksanakan atau menjalankan aktivitas dengan cara yang normal seperti yang dilakukan orang sehat.

b. Impairment pula merupakan suatu kekurangan atau abnormalitas fisiologis,psikologis, fungsi atau strktur anatomis.

c. Handicap membawa maksud gangguan yang dialami yang disebabkan oleh disabilitas atau impairment seseorang individu yang dapat membataskan perannya sebagai orang normal.


(9)

Menurut Weimar dkk (2002), walaupun terdapat investigasi klinis stroke yang selalunya menggunakan mortalitas (kematian) sebagai outcome, terdapat juga outcome lain yang juga penting untuk penelitian klinis dan berkaitan dengan pasien stroke seperti tingkat disabilitas dan perubahan fungsi tubuh yang dialami pasien stroke. Beberapa alat telah diperkenalkan dan diperkembangkan untuk menilai tingkat disabilitas dan perubahan fungsi tubuh yang dialami oleh pasien stroke. Antara instrumen yang paling sering digunakan dalam kebanyakan peneliitian klinis adalah skala Barthel Index. Skala ini digunakan secara umum untuk menilai outcome pasien stroke karena skala ini mudah untuk digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke.

Berdasarkan Kyungwon dkk (2004), penilaian tingkat disabilitas yang tepat dan akurat pada pasien stroke memainkan peranan yang penting untuk kualitas perawatan dan untuk pengukuran outcome dari penanganan stroke.

Agency for Health Care Policy and Research Post-Stroke Rehabilitation Panel

telah merekomendasikan penggunaan alat dan instrumen yang standard dan terpercaya untuk menilai disabilitas pasien stroke yaitu Barthel Index (BI).

Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan telah dimodikasi dan diubah kepada suatu teknik mengukur prestasi dan performa pasien berdasarkan 10 kegiatan hidup harian yang bisa digolongkan kepada dua kelompok yaitu :

a. Kelompok perawatan diri seperti makan, membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan buang air kecil, dan penggunaan toilet.

b. Kelompok mobilitas seperti berjalan, berpindah, dan naik tangga.

Skor Barthel Index berada dalam rentang 0-100 dengan skor maksimum, 100 yang menginterpretasikan fungsi fisik pasien benar-benar tanpa bantuan langsung (independen) dan nilai terendah, 0 yang membawa maksud pasien mengalami ketergantungan total (dependen). Tingkat ketergantungan (skor BI) pasien amat dipengaruhi oleh keparahan stroke yang dialami mereka. Dimana, skor BI yang tinggi yang diperoleh pasien menunjukkan tingkat keparahan stroke yang lebih ringan (Sulter dkk, 1999).


(1)

13. Gerakan tidak terkoordinasi, seperti kehilangan keseimbangan.

14. Biasanya diawali dengan Transient Ischemic Attack (TIA) atau serangan stroke sementara.

15. Gangguan kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma.

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis stroke iskemik ditegakkan apabila ditemukan defisit fokal dan ditemukan gambaran infark pada CT scan atau tidak ditemukan adanya perdarahan pada CT scan kepala selama observasi, misalnya pasien dengan gambaran klinik stroke tetapi menunjukkan gambaran CT scan yang normal (Davis et al, 1998). Untuk menegakkan diagnosis stroke, terlebih dahulu harus dilakukan anamnesis mengenai gejala awal, perkembangan gejala, riwayat penyakit sebelumnya, faktor risiko yang ada, dan pengobatan yang sedang dijalani. Berikutnya adalah melakukan pemeriksaan neurologis lengkap untuk mengetahui kemungkinan letaknya lesi. Untuk membedakan diagnosis stroke itu merupakan infark / hemoragik dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan CT scan (Roger, et al., 2009).

Pemeriksaan CT scan kepala merupakan pemeriksaan gold standar untuk menegakkan diagnosis stroke (Rumantir, 2007). Untuk membedakan stroke iskemik karena trombosis atau emboli memang sulit dibedakan dari gejala klinis saja. Diagnosis stroke emboli biasanya ditegakkan secara inferensi. Pada beberapa kasus ditemukan adanya obstruksi arteri melalui pemeriksaan arteriografi. Penemuan yang mendukung ke arah diagnosis stroke emboli adalah awitan yang akut dan ditemukannya sumber emboli (Harsono, 2005).

Diagnosis pasti stroke iskemik dan penyebabnya harus segera ditegakkan dalam beberapa jam paska awitan agar terapi yang tepat dapat segera diberikan.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis stroke adalah (Fitzsimmons, 2007) :

c. Laboratorium :

1. Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap darah, hitung trombosit, masa perdarahan, masa pembekuan.


(2)

2. Gula darah dan profil lipid.

3. Ureum, kreatinin, asam urat, kolesterol darah: HDL/LDL, trigliserida, fungsi hati: SGOT / SGPT, urin lengkap.

4. Bila perlu pemeriksaan gas darah dengan elektrolit (Natrium, Kalium). d. Elektrokardiografi

e. CT Scan / MRI otak

f. Duplex sonografi Karotis / Trans Cranial Doppler (atas indikasi) g. MRA

h. EEG

2.1.7. Penatalaksanaan dan Pencegahan

Konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (1999) dalam Lumbantobing (2007), mengemukakan hal berikut :

a. Membebaskan jalan nafas dan berikan ventilasi yang adekuat, diberikan oksigen 1-2 L / menit sehingga ada hasil gas darah bila perlu.

b. Kandung kemih dikosongkan jika penuh dengan katerisasi intermiten. c. Melakukan penatalaksanaan tekanan darah secara khusus.

d. Mongoreksi hiperglikemia atau hipoglikemia. e. Mempertahankan suhu tubuh normal.

f. Memberikan nutrisi peroral setelah hasil tes fungsi menelan baik, menganjurkan pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik jika terdapat gangguan menelan / kesadaran penderita menurun.

g. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Diberikan cairan intravena berupa cairan kristaloid / koloid, menghindari cairan yang mengandung glukosa murni atau hipotonik.

h. Jika terdapat dugaan Deep Vein Thrombosis (DVT), diberikan heparin / heparinoid dengan dosis rendah subkutan, bila tidak dikontraindikasikan.


(3)

Menurut PERDOSSI (2001), gaya hidup sehat yang dapat diamalkan untuk prevensi dan pencegahan stroke iskemik adalah dengan :

1. Mengatur pola makan yang sehat. 2. Menghentikan tabiat merokok.

3. Menghindari konsumsi alkohol dan penyalahgunaan alkohol. 4. Melakukan olahraga yang teratur.

5. Menghindari stres dan beristirahat yang cukup.

Pada konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia (2004) dalam Lumbantobing (2007), telah dikemukakan beberapa usaha yang boleh dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke iskemik yaitu dengan memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain :

1. Penghindaran : Rokok, stres mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan.

2. Pengurangan : Konsumsi lemak yang berlebihan dalam makanan, kolesterol.

3. Pengendalian Hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus.

4. Penganjuran Olahraga yang teratur dan konsumsi gizi yang seimbang.

2.2. Pola Makan

Makanan dikatakan sebagai suatu kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia. Pola makan atau kebiasaan makan seseorang amat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang (Yulia, 2013). Berdasarkan Yayasan Stroke Indonesia (2012), dikatakan bahwa pola makan yang sehat memainkan peranan yang penting dalam memelihara kesehatan jantung dan jaringan pembuluh darah. Pola makan yang buruk dapat memberikan efek yang negatif terhadap kesehatan jantung dan jaringan pembuluh darah. Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti stroke, penyakit kardiovaskuler, diabetes tipe II, penyakit paru obstruktif kronis dan kanker tertentu dalam kesehatan masyarakat dapat digolongkan sebagai satu kelompok Penyakit Tidak Menular utama yang mempunyai faktor risiko yang sama dan amat berpengaruh yaitu pola makan yang tidak sehat dan seimbang (KBI Gemari, 2003).


(4)

Beberapa penelitian juga telah memberikan hasil yang positif kepada pengaruh pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi makanan yang mempunyai kadar lemak dan kolesterol yang tinggi, kadar gula yang tinggi, konsumsi daging merah dan daging olahan, dan fast food yang berlebihan dalam kehidupan seharian, dan diet rendah serat terhadap kejadian stroke iskemik (Frank B, 2003).

Pola makan yang baik dan seimbang adalah konsumsi makanan yang terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein hewani dan nabati, lemak, serta sumber vitamin dan mineral dalam kuantiti dan porsi yang tepat. Pola makan yang seimbang ini dapat menghindari dan mencegah pelbagai penyakit yang mampu mengancam kesehatan manusia seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, hipertensi, dan kanker (Yuliarti, 2009).

Makanan yang dikonsumsi setiap hari harus memenuhi tiga fungsi makanan yaitu zat tenaga (karbohidrat), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (vitamin dan mineral). Konsumsi makanan pada setiap hari juga mesti beranekaragam karena makanan beranekaragam ini dapat memenuhi dan melengkapi zat gizi yang kurang dalam badan sehingga masukan zat gizi dalam badan kita sentiasa seimbang (Almatsier, 2004).

Namun, terlebih konsumsi makanan dan zat-zat tertentu juga dapat memberikan efek yang buruk terhadap kesehatan manusia. Pola makan seperti ini disebut pola makan tidak seimbang ataupun pola makan tidak sehat.. Pola makan yang tidak sehat dapat disebabkan oleh dua faktor yang dominan yaitu kebiasaan makan makanan jajanan yang tinggi kalori dan minyak dan juga kebiasaan makan makanan yang tinggi kadar lemak dan kolesterol seperti fast food. Kedua-dua faktor ini dapat menimbulkan penimbunan lemak dalam pembuluh darah. Pola makan yang mengandungi lemak yang tinggi tapi rendah serat dan karbohidrat juga akan menimbulkan akibat yang tidak baik bagi tubuh. Selain menimbun lemak, makanan tersebut dapat mengganggu metabolisme dan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Jika kadar kolesterol meninggi dalam darah, kejadian penebalan dinding pembuluh darah akan dipercepat dan akhirnya akan terjadi penyempitan dan suatu waktu terjadi penyumbatan (clot atau blockage). Penyumbatan inilah yang akan seterusnya menyebabkan terjadinya stroke iskemik (Yulia, 2013).


(5)

Berdasarkan hasil penelitian di kebanyakan negara dikatakan bahwa serangan stroke dapat dicegah oleh semua orang, terutamanya mereka yang mempunyai risiko stroke jika dari awal mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi dan mengikuti pola makan yang sehat dengan penuh disiplin dengan tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi, dan mengikuti langkah-langkah hidup sehat sejahtera lainnya dengan melakukan olahraga secara teratur dan menghindari pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi (Suyono, 2005).

Menurut Lumbantobing (2003), telah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke dalam Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999. Antaranya adalah memasyarakatkan pola makan yang sehat dan bebas stroke dengan menghindari alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, mengurangi dan menghindari makanan berkolesterol tinggi, lemak yang berlebihan dalam makanan, pengendalian faktor pemicu stroke seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, serta menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang.

2.3. Outcome Stroke

Fungsi yang hilang setelah terserang stroke selalu dibayangkan sebagai disabilitas, impairment, dan handicaps. Oleh itu, World Health Organization

(WHO)telah membuat garis batas sebagai berikut (Caplan, 2000) :

a. Disabilitas merupakan ketidakmampuan atau keterbatasan melaksanakan atau menjalankan aktivitas dengan cara yang normal seperti yang dilakukan orang sehat.

b. Impairment pula merupakan suatu kekurangan atau abnormalitas fisiologis,psikologis, fungsi atau strktur anatomis.

c. Handicap membawa maksud gangguan yang dialami yang disebabkan oleh disabilitas atau impairment seseorang individu yang dapat membataskan perannya sebagai orang normal.


(6)

Menurut Weimar dkk (2002), walaupun terdapat investigasi klinis stroke yang selalunya menggunakan mortalitas (kematian) sebagai outcome, terdapat juga outcome lain yang juga penting untuk penelitian klinis dan berkaitan dengan pasien stroke seperti tingkat disabilitas dan perubahan fungsi tubuh yang dialami pasien stroke. Beberapa alat telah diperkenalkan dan diperkembangkan untuk menilai tingkat disabilitas dan perubahan fungsi tubuh yang dialami oleh pasien stroke. Antara instrumen yang paling sering digunakan dalam kebanyakan peneliitian klinis adalah skala Barthel Index. Skala ini digunakan secara umum untuk menilai outcome pasien stroke karena skala ini mudah untuk digunakan dan merupakan pengukuran yang sensitif terhadap derajat keparahan stroke.

Berdasarkan Kyungwon dkk (2004), penilaian tingkat disabilitas yang tepat dan akurat pada pasien stroke memainkan peranan yang penting untuk kualitas perawatan dan untuk pengukuran outcome dari penanganan stroke.

Agency for Health Care Policy and Research Post-Stroke Rehabilitation Panel

telah merekomendasikan penggunaan alat dan instrumen yang standard dan terpercaya untuk menilai disabilitas pasien stroke yaitu Barthel Index (BI).

Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan telah dimodikasi dan diubah kepada suatu teknik mengukur prestasi dan performa pasien berdasarkan 10 kegiatan hidup harian yang bisa digolongkan kepada dua kelompok yaitu :

a. Kelompok perawatan diri seperti makan, membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan buang air kecil, dan penggunaan toilet.

b. Kelompok mobilitas seperti berjalan, berpindah, dan naik tangga.

Skor Barthel Index berada dalam rentang 0-100 dengan skor maksimum, 100 yang menginterpretasikan fungsi fisik pasien benar-benar tanpa bantuan langsung (independen) dan nilai terendah, 0 yang membawa maksud pasien mengalami ketergantungan total (dependen). Tingkat ketergantungan (skor BI) pasien amat dipengaruhi oleh keparahan stroke yang dialami mereka. Dimana, skor BI yang tinggi yang diperoleh pasien menunjukkan tingkat keparahan stroke yang lebih ringan (Sulter dkk, 1999).