Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata Prain) Terhadap Mencit Jantan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 UraianTumbuhan Lidah Mertua
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Menurut Chase, dkk (2009), sistematika dari tumbuhan lidah mertua adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Monocotyledonae

Ordo

: Asparagales

Suku


: Asparagaceae

Genus

: Sansevieria

Spesies

: Sansevieria trifasciata

2.1.2 Nama Lain
Di Indonesia, tumbuhan ini umumnya di kenal dengan sebutan lidah
mertua. Nama daerah dari tumbuhan lidah mertua, yaitu ki kolo, letah menyawak
(Sumatera), nanas belanda (Sunda), pacing towo (Jawa) dan mandafika (Madura)
(Utami, 2008).
2.1.3 Morfologi
Lidah mertua merupakan herba menahun, tinggi mencapai 1,8 m dengan
akar rimpang berwarna merah-kuning. Daun tunggal, kaku dan keras, permukaan
licin, berkumpul sebagai roset akar, yaitu 2-6 helai daun tumbuh berkumpul di
pangkal akar. Helaian daun panjang menyempit dengan bagian tepi agak melekuk

ke dalam menyerupai talang, ujung runcing, pangkal menyempit, kedua

5

permukaan daun berwarna hijau dengan garis-garis bergelombang horizontal dan
tepi daun berwarna kuning cerah, panjang 5-175 cm, lebar 4-9 cm. Bunga
majemuk dalam tandan dengan panjang 30-80 cm. Kuntum bunga 3-8 kuntum
berkumpul membentuk bulir, berwarna hijau muda, harum dan mekar sepanjang
malam. Buah buni, berbiji 1-3, bulat dengan diameter 3 mm dan berwarna merah
tua (Dalimartha, 2007).
2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat adalah daun. Daun
lidah mertua mengandung saponin dan polifenol (Dalimartha, 2007). Daun lidah
mertua digunakan untuk mengobati flu, batuk, kekurangan vitamin C, bisul,
borok, bengkak (memar) dan penyubur rambut (Dalimartha, 2007; Hariana,
2007).
2.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Tujuan utama
dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin

zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia
tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid
dan lain-lain (Ditjen POM. 2000).
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari
jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi
dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada
derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).

6

Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering
digunakan yaitu cara dingin dan cara panas.
2.2.1 Cara Dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. maserasi
Maserasi

adalah

penyarian


simplisia

dengan

cara

perendaman

menggunakan pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi
kinetik sedangkan yang dilakukan penambahan ulang pelarut setelah dilakukan
penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
b. perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator
dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat.
2.2.2 Cara Panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a. refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya
menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut
akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
b. digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada

7

temperatur 40 - 50°C.
c. sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.
d. infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.
e. dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit.
2.3 Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan
(Priyanto, 2009). Menurut Wisaksono (2002), toksisitas adalah potensi bahan
kimia untuk meracuni tubuh orang yang terpapar.
Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji
untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Uji toksisitas
dilakukan

untuk

memperoleh

informasi

yang

dapat


digunakan

untuk

mengevaluasi resiko akibat pajanan bahan kimia yang terjadi (Klassen, 2012).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem
biologik dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data
yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat

8

ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan pemakainya (OECD, 2008).
Penelitian

toksisitas

konvensional


pada

hewan

coba

sering

mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis
untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga
kategori (Lu, 1994):
a. uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
b. uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan
memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka
waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing.
c. uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia
berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian
besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus
dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.

Efek toksik dari uji toksisitas sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran,
maupun mekanisme kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi
biokimiawi antara toksikan dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Sifat
efek toksik pun dapat berbeda-beda. Beberapa efek toksik yang dapat ditimbulkan
antara lain (Lu, 1994):
a. efek lokal dan sistemik
Efek lokal dapat diakibatkan oleh senyawa kaustik misalnya pada saluran
pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau uap pada saluran nafas.
Efek lokal seperti ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup. Efek

9

sistemik terjadi hanya setelah toksikan diserap dan tersebar ke bagian lain tubuh.
Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja.
b. efek berpulih dan nirpulih
Efek toksik disebut berpulih (reversibel) jika efek itu dapat hilang dengan
sendirinya. Sebaliknya, efek nirpulih (ireversibel) akan menetap atau justru
bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek nirpulih di antaranya
karsinoma, mutasi, kerusakan saraf dan sirosis hati.
c. efek segera dan tertunda

Efek segera yaitu efek yang timbul segera setelah satu kali pajanan,
sedangkan efek tertunda timbul beberapa waktu setelah pajanan.
d. efek morfologis, fungsionalis dan biokimiawi
Efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis
pada morfologi jaringan. Efek fungsionalis biasanya berupa perubahan berpulih
pada fungsi organ sasaran. Efek biokimiawi adalah efek toksik yang tidak
menyebabkan perubahan morfologis.
2.3.1 Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut secara umum merupakan uji yang pertama dilakukan. Uji
ini memberikan data pada toksisitas relatif yang meningkat dari dosis tunggal
hingga dosis berganda. Uji standar tersedia dalam pemberian secara oral, dermal
dan inhalasi (Gupta dan Bhardwaj, 2012). Parameter-parameter dasar dalam
pengujian toksisitas akut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

10

Tabel 2.1 Parameter dasar pengujian toksisitas akut
Spesies
Tikus lebih disukai pada uji oral dan inhalasi, kelinci lebih
disukai pada uji secara dermal

Umur

Dewasa

Jumlah Hewan

5 jenis setiap jenis kelamin per level dosis

Dosis

Tiga level dosis yang direkomendasikan, pemberian secara
dosis tunggal selama 24 jam untuk uji oral dan dermal dan
4 jam untuk uji inhalasi

Waktu Pengamatan

14 hari
(Gupta dan Bhardwaj, 2012)

Prinsip uji toksisitas akut yaitu sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis
diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok,
kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian.
Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan
diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksik (BPOM RI., 2014). Tujuan
toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, menentukan
organ sasaran dan kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah
pemaparan suatu zat secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang
dapat digunakan untuk merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk
memperoleh nilai LD50 suatu sediaan (BPOM RI., 2014).
Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk menentukan
dosis letal median (LD50) toksikan. LD50 didefinisikan sebagai “dosis tunggal
suatu bahan yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba”.
Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan
efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya
digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994). LD50 adalah dosis
perkiraan bahwa ketika racun itu diberikan langsung kepada hewan uji,

11

menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari
tes atau LC50 merupakan konsentrasi perkiraan, dalam lingkungan hewan yang
terpapar, yang akan membunuh 50% dari populasi di bawah kondisi yang
ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi, 2000).
Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:
a. klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya dapat dilihat pada
Tabel 2.2 (BPOM RI., 2014):
Tabel 2.2 Klasifikasi lazim zat kimia
Tingkat Toksisitas
LD50

Klasifikasi

1

≤ 1 mg/kg

Sangat toksik

2

1-50 mg/kg

Toksik

3

50-500 mg/kg

Toksik sedang

4

500-5000 mg/kg

Toksik ringan

5

5-15 g/kg

Praktis tidak toksik

6

≥ 15 g/kg

Relatif tidak membahayakan

b. evaluasi dampak keracunan yang tidak sengaja; perencanaan penelitian
toksisitas subkronik dan kronik pada hewan, memberikan informasi tentang
mekanisme toksisitas, pengaruh umur, seks, faktor penjamu dan faktor
lingkungan lainnya dan variasi respons antar spesies dan antar strain hewan;
memberikan informasi tentang reaktivitas suatu populasi hewan (Lu, 1994).
2.3.2 Uji Toksisitas Subkronik
Uji toksisitas subkronik dilakukan dengan memberikan bahan berulang,
setiap hari /lima hari seminggu, selama jangka waktu 10% dari masa hidup hewan
(Retnomurti, 2008). Uji toksisitas subkronik meneliti toksisitas yang disebabkan
oleh dosis berulang dalam jangka waktu tertentu (Hodgson dan Levi, 2000).

12

Tujuan toksisitas subkronik oral pada rodensia adalah untuk memperoleh
informasi (BPOM RI., 2014):
a. efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut.
b. efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu
tertentu.
c. dosis yang tidak menimbulkan efek toksik (No Observed-Adverse EffectLevel/NOAEL).
d. mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu.
Pengamatan yang dilakukan dalam pengujian toksisitas subkronis adalah
pengamatan pada awal pemberian senyawa meliputi penampakan fisik (kematian,
membran mucus, kulit dan lain sebagainya), konsumsi makanan, berat badan,
respon neurologi, kelakuan yang tidak normal, pernafasan, ECG, EEG,
hematologi, pemeriksaan darah, urin. Pengamatan pada akhir pengujian meliputi
nekropsi dan histologi (Hodgson dan Levi, 2000).
2.3.3 Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Perlu dilakukan uji toksisitas kronik mengingat pemakaian obat
seringkali memerlukan waktu yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang
masa hidup si pemakai (OECD, 2008).
Uji toksisitas kronik menentukan toksisitas dari keberadaan bahan yang
sebagian besar terdapat dalam kehidupan. Uji ini mirip dengan uji subkronis tetapi

13

memerlukan waktu yang lebih lama dan melibatkan kelompok yang lebih besar
dari hewan pada uji toksisitas subkronik (Gupta dan Bhardwaj, 2012). Pada tikus,
paparan kronik biasanya 6 bulan sampai 2 tahun. Untuk hewan selain tikus
biasanya selama satu tahun tetapi mungkin lebih lama (Cassaret dan Doull, 2008).
2.4 Pengujian In Vivo
Pengujian secara in vivo adalah pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan hewan percobaan untuk mengetahui metabolisme suatu senyawa di
dalam tubuh. Hewan percobaan yang digunakan pada percobaan secara in vivo
harus dari jenis mamalia, karena hasilnya dapat diterapkan pada manusia.
(Retnomurti, 2008). Mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis digunakan
untuk penelitian yang bersifat kuantitatif karena sifatnya yang mudah
berkembangbiak. Selain itu, dalam bidang peternakan mencit tidak membutuhkan
biaya yang mahal, efisien dalam waktu, dan kemampuan reproduksi tinggi dengan
waktu yang singkat (Hadriyanah, 2008).
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Pribadi, 2008).
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Subfilum: Vertebrata
Kelas: Mamalia
Ordo: Rodentia
Famili: Muridae
Genus: Mus
Spesies: Mus musculus

14

Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya (Retnomurti, 2008):
Lama hidup: 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis: 9 bulan
Lama hamil: 19-21 hari
Umur dewasa: 35 hari
Umur dikawinkan: 8 minggu
Berat dewasa: 20-40 gram (jantan); 18-35 gram (betina)
2.5 Hati
2.5.1 Anatomi Hati
Hati adalah organ terbesar yang terdapat di dalam tubuh kita, letaknya di
rongga perut di sebelah kanan bawah diafragma. Hati berwarna merah tua dan
beratnya ± 1,5 kg. Hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri.
Permukaan atas berbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma, permukaan
bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan yang disebut fisura tranversus
(Irianto, 2004).
Hati tersusun oleh beberapa tipe sel, yaitu:
a. hepatosit
Sel-sel ini merupakan 70% dari semua sel di hati dan 90% dari berat hati
total. Hepatosit tersusun dalam unit-unit fungsional yang disebut asinus atau
lobules. Setiap lobules memiliki sebuah vena sentral (vena terminalis) dan traktus
portal yang terletak di perifer.
b. sel duktus biliaris
Sel-sel duktus biliaris membentuk duktus dalam traktus portal lobulus hepar.
Duktus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu berjalan menuju hilus

15

hepar, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap membesar.
c. sel vaskular
Hati memiliki pendarahan ganda. Organ ini menerima darah melalui arteri
hepatika dan vena porta. Arteri hepatika dan vena porta masuk ke hati di porta
hepatis lalu bercabang menjadi pembuluh yang lebih halus berjalan sejajar sampai
mencapai vena sentralis.
d. sinusoid
Sinusoid hati adalah saluran darah yang melebar dan berliku-liku, sinusoid
hati dipisahkan dari hepatosit dibawahnya oleh spatium perisinusoideum (disse)
subendotelial. Akibatnya, zat makanan yang mengalir di dalam sinusoid memiliki
akses langsung melalui dinding endothelial yang tidak utuh dengan hepatosit.
Struktur dan jalur sinusoid yang berliku di hati memungkinkan pertukaran zat
yang efisien antara hepatosit dan darah. Selain sel endotel, sinusoid hati juga
mengandung makrofag, yang disebut sel kuppfer (macrophagocytus stellatus),
terletak di sepanjang sinusoid.
e. kandung empedu
Kandung empedu adalah organ kecil berongga yang melekat pada
permukaan bawah hati. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir
melalui kanalikuli dan disimpan di dalam kandung empedu (Eroschenko, 2004).
Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri hepatika
kiri dan kanan, dan darah vena dari vena porta hepatika yang mengalir dari
saluran pencernaan dan limpa (Underwood, 1994). Sebanyak 80% dari aliran
darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya
(20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen. Darah

16

meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava
inferior (Underwood, 1994).
2.5.2 Fungsi Hati
Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar
obat dan toksikan (Lu, 1994). Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan
kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu:
a. fungsi pembentukan dan eksresi empedu
Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengeksresikan sekitar satu liter
empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak
dalam usus halus.
b. fungsi metabolik
Hati berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.
c. fungsi pertahanan tubuh
Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan
oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis atau
konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat
yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer
yang terdapat di dinding sinusoid hati.
2.5.3 Biokimia Hati
Hati mampu mengsekresikan enzim - enzim transaminase saat selnya
mengalami gangguan. Transaminase merupakan indikator yang peka pada
kerusakan sel-sel hati (Husadha, 1996). Enzim-enzim tersebut adalah:

17

a. ALT (alanin aminotransferase)
Enzim ini mengkatalis pemindahan satu gugus amino antara lain alanin
dan α-ketoglutarat menjadi glutamate dan piruvat yang bersifat reversibel.
Terdapat banyak di hepatosit dan konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain.
Aktivitas normal dalam darah 5 – 35 U/L pada manusia (Husadha, 1996), pada
mencit adalah 25 – 200 IU/L (Hall, 2007). ALT lebih sensitif dibandingkan AST
(Sacher dan Person, 2002).
b. AST (aspartat aminotransferase)
Enzim ini berfungsi sebagai katalisator reaksi antara asam aspartat dan
asam α-ketoglutarat menjadi glutamate dan oksalasetat yang bersifat reversibel.
AST terdapat lebih banyak di jantung dibandingkan di hati, selain itu enzim ini
juga terdapat di otot rangka, otak dan ginjal. Aktivitas normal dalam darah 10 –
40 U/L dan meningkat tajam apabila terjadi infark miokardium (Husadha, 1996).
Enzim ini kurang spesifik untuk penyakit hati (Gaze, 2007).
Ketika sel hati mengalami kerusakan, enzim transaminase tersebut berada
di dalam darah, sehingga dapat diukur aktivitasnya. Hal ini disebabkan karena
terjadi kerusakan pada struktur dan fungsi membran sel hati, aktivitas ALT lebih
dini dan lebih cepat meningkat dari aktivitas AST (Widmann, 1995).
2.5.4 Gangguan Fungsi Hati Akibat Zat Toksik
Jenis-jenis kerusakan hati yang disebabkan oleh zat toksik antara lain (Lu,
1994):
a. steatosis (perlemakan hati)
Steatosis atau perlemakan hatu yaitu jika hati mengandung berat lipid lebih
dari 5%, sehingga terjadi lesi yang bersifat akut maupun kronis.

18

b. kolestasis
Kolestasis bersifat akut dan lebih jarang ditemukan jika dibandingkan
steatosis dan nekrosis. Contoh penyebabnya yaitu klorpromazin dan eritromisin
laktobionat.
c. karsiogenesis
Karsinoma hepatoseluler adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum
pada hati. Contoh penyebab karsiogenesis seperti vinil klorida, aflaktosin dan
dioksin.
d. nekrosis
Nekrosis adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat sentral atau
perifer, dan biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia
telah dilaporkan dan terbukti sebagai penyebab nekrosis hati. Nekrosis hati
merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya, tetapi tidak selalu kritis
karena mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk pertumbuhan kembali. Contoh
penyebab nekrosis hati yaitu karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, isoniazida dan
parasetamol. Nekrosis hati oleh parasetamol bersifat sentrilobular.
e. sirosis
Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar
hati. Pada sebagian besar kasus, sirosis disebabkan nekrosis sel tunggal karena
kurangnya mekanisme perbaikan sehingga terjadi fibroblastik dan pembentukan
jaringan parut. Penyebab sirosis yang paling penting adalah penggunaan kronis
alkohol.
f. hepatitis yang mirip hepatitis virus
Berbagai macam obat mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak

19

dapat dibedakan dari hepatitis virus. Pada umumnya, obat itu mempunyai ciri-ciri
berikut:
i. kerusakan hati semacam itu tidak dapat diperlihatkan pada hewan.
ii. tampaknya beberapa efek pada manusia tidak berkaitan dengan dosis.
iii. masa laten sangat beragam.
iv. toksisitas hanya muncul pada beberapa individu yang rentan.
v. gambaran histopatologi lebih beragam.
vi. biasanya pasien memperlihatkan tanda-tanda hipersensitivitas lain dan kadangkadang bereaksi terhadap suatu dosis tantangan.
vii. demam, ruam dan eosinofilia sering ditemukan.

20