Mutu Pelayanan Resep di Puskesmas Kecamatan Martapura Kabupaten OKU Timur

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian
yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi
pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien (Menkes, RI., 2004).
Menurut Purwastuti, digolongkan pelayananan kefarmasian sebagai salah satu
pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti
ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien
dihadapkan beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi.
Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak
hanya mempertimbangkan aspek produk saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan
relasinya (Purwastuti, 2005).
2.1.1 Pengelolaan Perbekalan Kefarmasian
Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu kegiatan
pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta
pemantuan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan

ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis habis pakai yang efisien,
efektif, dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian,

6

Universitas Sumatera Utara

mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan (Menkes, RI., 2014).
Kepala ruang farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk menjamin terlaksananya pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai yang
baik.
Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis pakai meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis
pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan
puskesmas.
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
i.


perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati
kebutuhan;

ii. meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan
iii. meningkatkan efisiensi penggunaan obat.
Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap
periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas.
b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai
Tujuan permintaan obat dan bahas medis habis pakai adalah memenuhi
kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan pemerintah daerah setempat.

7

Universitas Sumatera Utara

c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai
Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan dalam

menerima obat dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.
Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas yang terlibat
dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan,
pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat dan bahan medis habis pakai berikut
kelengkapan catatan yang menyertainya. Masa kadaluwarsa minimal dari obat yang
diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.
d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari
kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di Puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan obat dan
bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
i. bentuk dan jenis sediaan;
ii. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban);
iii. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan
iv. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.


e. Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai

8

Universitas Sumatera Utara

Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara merata dan
teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan
jaringannya.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu
yang tepat.
f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai
Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk
memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan
obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan
dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian obat terdiri dari:

i. pengendalian persediaan;
ii. pengendalian penggunaan; dan
iii. penanganan obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai secara tertib, baik obat dan
bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di
Puskesmas atau unit pelayanan lainnya (Menkes, RI., 2014).
Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah:
i. bukti bahwa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai telah dilakukan;

9

Universitas Sumatera Utara

ii. sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
iii. sumber data untuk pembuatan laporan.
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai
dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:

i. mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat dan
bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan
pelayanan;
ii. memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai;
dan
iii. memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan (Menkes, RI., 2014).
2.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan
media habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien (Menkes, RI., 2014).
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
i. meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan kefarmasian di
Puskesmas;
ii. memberikan pelayanan kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan
dan efisiensi obat dan bahan medis habis pakai;
iii. meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam pelayanan kefarmasian;

10


Universitas Sumatera Utara

iv. melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional (Menkes, RI., 2014).
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian Resep, Penyerahan obat, dan Pemberian informasi obat
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun
rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
i. nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien;
ii. nama, dan paraf dokter;
iii. tanggal resep;
iv. ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
i. bentuk, dan kekuatan sediaan;
ii. dosis dan jumlah obat;
iii. stabilitas dan ketersediaan;
iv. aturan dan cara penggunaan;

v. inkompatibilitas (ketidakcampuran obat).
Persyaratan klinis meliputi:
i. indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;
ii. ketepatan duplikasi pengobatan;
iii. alergi, indikasi dan efek samping obat
iv. kontra indikasi;
v. efek adiktif.

11

Universitas Sumatera Utara

Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan
kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan
label/etiket, menyerahkan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.
Tujuan:
i. pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan;
ii. pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
i. menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat;
ii. menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat
(contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan mempertimbangkan
stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai);
iii. menunjang penggunaan obat yang rasional (Menkes, RI., 2014).
c. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal

12

Universitas Sumatera Utara


pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas,
cara penyimpanan dan penggunaan obat.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat
risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial,
karakteristik obat, kompleksitas pengobatan, komploksitas penggunaan obat,
kebinggungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana
menggunakan obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di
rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi obat
(Menkes, RI., 2014).
d. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
i. memeriksa obat pasien;
ii. memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien;
iii. memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat;
iv. berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi

pasien.
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya
kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Untuk itu, perlu juga
dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud

13

Universitas Sumatera Utara

komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga
tercapai keberhasilan terapi obat.
e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
i. menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal
dan frekuensinya jarang;
ii. menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal
atau yang baru saja ditemukan (Menkes, RI., 2014).
f. Pemantauan terapi obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi
obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek
samping.
Tujuan:
i. mendeteksi masalah yang terkait dengan obat;
ii. memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat
(Menkes, RI., 2014).
g. Evaluasi penggunaan obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman
dan terjangkau (rasional).
Tujuan:

14

Universitas Sumatera Utara

i. mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu;
ii. melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu (Menkes, RI.,
2014).

2.2 Pelayanan Resep
Pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis
dokter, dokter gigi, kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku (Menkes, RI., 2014).
2.2.1 Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker,
baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014).
Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca
dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan obat kepada dokter
penulis resep.

2.2.2 Standar Penulisan Resep
Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambilah). Dibelakang
tanda ini (R/) biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Suatu resep yang lengkap
harus memuat:
a. nama, alamat dan nomor izin praktek dokter atau dokter gigi
b. tanggal, penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
c. memberikan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep

15

Universitas Sumatera Utara

d. tanda tangan atau paraf dokter penulisan dokter penulisan resep sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
e. nama pasien, jenis kelamin, umur, serta alamat
f. tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya
melebihi dosis maksimal.
2.2.3 Skrining Resep
Skrining resep adalah hasil evaluasi dengan cara membandingkan literatur dan
ketentuan yang telah ditetapkan terhadap resep dokter. Tahapan proses skrining resep
meliputi:
a. melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu: nama dokter,
nomor izin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf
dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin dan berat badan
pasien
b. melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat
c. mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), membuat kartu
pengobatan pasien
d. mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan (Menkes,
RI., 2004).
2.2.4 Indikator Mutu Pelayanan Resep
Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, digunakan
tujuh indikator untuk evaluasi mutu pelayanan yaitu:
a. Peracikan

16

Universitas Sumatera Utara

Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas, dan
memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus
dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat
serta penulisan etiket yang benar.
b. Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c. Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga
terjaga kualitasnya.
d. Penyerahan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

e. Informasi obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti,
akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien
sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi.
f. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan,
dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau

17

Universitas Sumatera Utara

penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit
kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
g. Monitoring penggunaan obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan kronis lainnya.

2.3 Kepuasan Pasien
2.3.1 Definisi Kepuasan Pasien
Kepuasaan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah
membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapanharapannya (Kothler, 2003).
Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen merupakan
elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien dan lebih
efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien.
Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen
terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu
sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen,
meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap
populasi sasaran (Sari, 2008).

18

Universitas Sumatera Utara

Kepuasaan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang
sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen
lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006).
2.3.2 Faktor-Faktor Kepuasan Pasien
Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih sulit.
Kepuasan konsumen merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat
kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen
adalah faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008).
Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor:
a. sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen;
b. prosedur yang tidak membingungkan konsumen;
c. waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen;
d. keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen;
e. proses penyembuhan yang dirasakan konsumen.
Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima
mengacu pada beberapa faktor antara lain:
a. Kualitas produk atau jasa
Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk
atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk
atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa
yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan.
b. Kualitas pelayanan

19

Universitas Sumatera Utara

Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan
dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang
baik atau sesuai dengan yang diharapkannya.
c. Faktor emosional
Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien
memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan rumah sakit mahal.
Cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
d. Harga
Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan
kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini
mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal
harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan
rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang
lebih tinggi pada pasien.
e. Biaya
Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan,
cenderung puas terhadap jasa pelayanan.
Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang
profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus:
a. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik;
b. mampu mengambil keputusan yang tepat;
c. mampu berkomunikasi antar profesi;
d. mampu mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier;

20

Universitas Sumatera Utara

e. membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan (Menkes, RI., 2004).
Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuran produk dan jasa.
Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan
konsumen (Harianto, 2005).
Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu:
a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan
dengan tepat dan terpercaya.
b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang
memberikan jasa dengan cepat.
c. Keyakinan

(confidence),

pengetahuan

dan

kesopanan

karyawan

serta

kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau
assurance.

d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi
pelanggan.
e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media
komunikasi (Supranto, 2006).

2.4 Puskesmas
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan apabila
di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah

21

Universitas Sumatera Utara

kerja dibagi antar Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu
desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Menkes, RI., 2004).
Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah
Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya
satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di
wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:
a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan;
b. pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan; dan
c. pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.
Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan
pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:
a. papan nama apotek yang dapat terlihat jelas oleh pasien
b. ruang tunggu yang nyaman bagi pasien
c. peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan
miligram, mortir-stamper, gelas ukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain
d. tersedia tempat dan alat untuk mendisiplinkan formasi obat bebas dalam upaya
penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan
majalah kesehatan
e. tersedia sumber informasi dan literatur obat yang memadai untuk pelayanan
informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisi terakhir, Informasi
Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI)
f. tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai

22

Universitas Sumatera Utara

g. tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria, serum dan
vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
h. tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau computer agar
pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat
dipantau dengan baik
i. tempat penyerahan obat yang memadai, yang kemungkinan untuk melakukan
pelayanan informasi obat (Menkes, RI., 2004).

23

Universitas Sumatera Utara