Efektifitas Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Arbitrase pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)Kota Medan

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE
A. Pengertian Umum Tentang Arbitrase
Kata Arbitrase berasal dari bahasa Latin “Arbitrare” yang artinya kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut “kebijaksanaan”. Bahwa tidak cukup
kalau hanya menurut kebijaksanaan dalam menyelesaikan perkara sehingga dalam
memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu
mendasarkan diri pada hukum yaitu hukum yang dimaksud ialah hukum yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa (choice of law), dan selalu mendasarkan diri pada
dasar keadilan dan kepatutan (ex a quoet bono). 8
Perkataan arbitrase berasal dari “arbitrare” (bahasa latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan suatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya
arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah – olah
seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak
mengindahkan norma –norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sengketa
tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau
majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim atau
pengadilan.9
Arbitrase sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan
menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus
berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa.

Selain dari itu yang paling esensi adalah “independensi” dari arbiter dalam

8

9

Frans Hendra Winarta.,Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia &
Internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hlm. 36
Frans Hendra Winarta., ibid, hlm. 36-37

14
14
Universitas Sumatera Utara

melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan
“cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun sengketa.10
Menelusuri sekilas dari sejarah arbitrase pada umumnya, sebenarnya cikal bakal
lembaga arbitrase sudah ada zaman Yunani Kuno, terus berkembang pada Zaman
Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan
Belanda. Kemudian menyebar ke prancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700),

Denmark (1795), dan USA (1870). Di Indonesia, kita sudah mengenal lembaga
arbitrase ini, bahkan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRV),
yang berlaku sejak tahun 1849, juga terdapat pasal-pasal tentang Arbitrase.11
Mengenai sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia, di Indonesia

pada

zaman Golongan Eropa (di zaman penjajahan belanda), keberadaan lembaga arbitrase
sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah diperkenalkan dalam
peraturan perundang-Undangan sejak berlakunya Kitab Undang – Undang Hukum
Acara Perdata Belanda di Indonesia, Yaitu sejak mulai berlakunya RV yang terdapat
dalam S.1847-552 Jo. S.1849-63 RV ini sebenarnya merupakan Kitab Hukum Acara
Perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Sedangkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi golongan bumi putera adalah HIR (untuk
jawa dan madura) dan RBg (untuk luar jawa dan madura).Akan tetapi, berdasarkan
Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg maka ketentuan tentang arbitrase yang terdapat
dalam RV dinyatakan berlaku juga untuk golongan bumiputera, yang diperuntukan
bagi golongan eropa dan dipersamakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 615 s/d 651
Rv ( Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering ), Kitab Hukum Acara Belanda di
Indonesia. Sedangkan pada zaman Golongan Bumi Putera melalui pasal 377 HIR,


10

Fitri Hidayati., Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaia Sengketa Perbankan, FHUSU 2014., hlm.16
11
Munir Fuad, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis)., PT.Citra Adtya
Bakti.,Bandung 2000., hlm. 14

15
Universitas Sumatera Utara

Pasal 705 RBg, ketentuan arbitrase berlaku bagi Golongan Bumiputera yang
menyatakan : “Jika orang Indonesia dan Timur Asing menghendaki perselisihan
mereka diputuskan oleh Juru Pisah maka mereka wajib menuruti peradilan pengadilan
perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.12
Dengan adanya Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg ini, maka sejak zaman
pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya telah terdapat landasan hukum bagi
golongan bumi putera untuk dapat menggunakan system pemeriksaan perkara lewat
arbitrase secara prosedural, sementara secara material, dasar hukum berlakunya
pengadilan adalah lewat prinsip kebebasan berkontrak seperti yang terdapat dalam

Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 ayat KUHPerdata.
Selanjutnya ketentuan mengenai diperbolehkan menggunakan arbitrase
sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdapat dalam penjelasan
pasal 3 ayat (1) Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain :
“bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
lembaga arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk di eksekusi dari
pengadilan.
Dalam Undang –undang Nomor 4 tahun 2004 sebagai pengganti Undang –
undang Nomor 14 tahun 1970 masih mempertahankan Pasal 3 ayat (1) yang
menyatakan “ Pasal ini mengandung arti bahwa disamping Pengadilan Negara tidak
diperkenankan lagi adanya peradilan – peradilan yang dilakukan oleh bukan Badan
Peradilan Negara. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan atas dasar perdamaiann
atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Sama halnya dengan Undang –

12

Munir Fuady.,Ibid.,hlm.26

16

Universitas Sumatera Utara

Undang Nomor 48 tahun 2009, pada pasal 58 – 61 Bab XII menyatakan tetap
diperbolehkan .
Perkembangan arbitrase berikutnya dimulai sejak tahun 1977 dengan
dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas prakarsa Kamar
Dagang Indonesia (KADIN). Setelah lama adanya pembahasan mengenai perubahan
menegani pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara Nasional
Maupun Internasional serta perlunya perlembagaan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) / Alternative Dispute Resolution ( ADR), maka melalui perangkat perundang –
undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 Pemerintah mengesahkan Undang – undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dunia usaha dalam lalu lintas
perdagangan baik Nasional maupun Internasional, khusus setelah adanya WTO
(World Trade Organization) serta perkembangan Hukum pada umumnya. Maka
ketentuan – ketentuan yang diatur dalam HIR, RBg dan RV sebagai pedoman
arbitrase dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman.Sebagai Kesimpulan: dengan diundangkannya Undang – undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka ketentuan
mengenai Arbitrase yang diatur dalam HIR, RBg, dan RV dinyatakan tidak berlaku

lagi. Dengan berlakunya Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, maka
keseluruhan ketentuan arbitrase dalam RV dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini
dengan tegas disebutkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tersebut menyatakan sebagai berikut :13
“ Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement

13

Munir Fuady.,Ibid, hlm. 28

17
Universitas Sumatera Utara

Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, staatsblad 1847:52) dan Pasal
377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine indonesisch
Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227)
dinyatakn tidak berlaku lagi.”
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan umum

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak yang bersangkutan secara
tertulis. Dibukanya peluang tersebut sangat tepat guna memenuhi keinginan para
pelaku bisnis yang ingin menyelesaikan sengketa secara cepat diluar peradilan
umum.Sampai saat ini perangkat peraturan perundang – undangan tentang arbitrase di
Indonesia belum memadai. Oleh karena itu lahirnya Undang – undang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa diharapkan akan disambut pelaku bisnis nasional
maupun internasional.14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Arbitrase mempunyai arti sebagai
usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.15
Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 30 tahun 1999
serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur
penting dari arbitrase, yaitu :16
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau diluar pengadilan.
2. Atas dasar perjajian tertulis dari para pihak.
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau sudah terjadi
14

Hadi Setia Tunggal , Himpunan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Harvindo, 2002, hlm. iii
15
Pasal 1 butir 1 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif
16
Fitri Hidayati., Op.,Cit.,hlm.37

18
Universitas Sumatera Utara

4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang
mengambil keputusan.
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Arbitrase yang diatur dalam Undang – undang ini merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa diluar peradilan umum yang didasarkan atas
perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa
dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa yang terkait
mengenai perdagangan dan hak hak yang menurut hukum dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat meraka.
Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.17
Dari uraian diatas, perjanjian arbitrase diatas dapat di ketahui bahwa :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
Dasar dari perjanjian arbitrase adalah didasarkan pada Asas Kebebasan
Berkontrak, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.18 Sehingga apa
yang telah diperjanjikan para pihak secara sah maka akan mengikat sebagai
undang – undang. Dan untuk sah nya suatu perjanjian harus memenuhi syarat
sahnya suatu perjanjian. Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. 19 Jika
Pasal 1 butir 3 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan
Penyelesaian Sengketa Alternatif
18
Pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
19
Pasal 1321 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
17


19
Universitas Sumatera Utara

kesepakatan itu dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.Dalam syarat sahnya suatu perjanjian unsur ini disebut
dengan syarat subjektif.
2. Adanya klausula arbitrase
Yaitu merupakan suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian
yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul dikemudian hari
sehubungan dengan perjanjian akan diselesaikan dan diserahkan secara arbitrase
untuk diputuskan. Atau dengan kata lain para pihak yang bersengketa telah
sepakat untuk menyelesaiakan sengketa secara arbitrase yang dituangkan dalam
bentuk suatu perjanjian pernyelesaian sengketa.
3. Dapat dibuat sebelum timbul sengketa atau setelah timbul sengketa
-

Sebelum timbul sengketa (Pactum de compromitendo)
Bahwa perjanjian arbitrase yang dimuat dalam klausula arbitrase yang
menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul dikemudian hari
sehubungan dengan perjanjian akan diserahkan pada arbitrase untuk

diputuskan.20
Cara pembuatan klausula pactum de compromitendo, tidak tegas diatur dalam
pasal 2 diatas namun dari segi penafsiran dan praktek dijumpai 2 (dua) cara
yang dibenarkan :
a. Mencantumkan kalusula arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok yaitu
perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausul arbitrase.
b. Dimuat dalam akta tersendiri atau terpisah dari perjanjian pokok. Dari
kedua cara diatas tetap berpegang pada ketentuan bahwa akta persetujuan
arbitrase harus dibuat “sebelum” perselisihan/sengketa terjadi.
20

Pasal 2 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

20
Universitas Sumatera Utara

-

Setelah timbul sengketa ( acta kompromis)
Bahwa perjanjian arbitrase dibuat berdasarkan kesepakatan antara para pihak
yang telah terlibat sengketa, mengajukan sengketa mereka agar diputuskan
oleh arbiter.21
Cara pembuatan akta kompromis ialah :
a. Pembuatan akta kompromis dilakukan setelah timbul sengketa.
b. Bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan.
c. Akta kompromis harus ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Dalam hal
para pihak tidak bisa menandatangani , akta kompromis harus dimuat
didepan notaris.
d. Isi akta kompromis memuat :
- Masalah yang dipersengketakan
- Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak
- Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase
- Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan
- Nama lengkap sekretaris
- Jangka waktu penyelesaian sengketa
- Pernyataan kesediaan dari arbiter dan
- Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menganggung
segala yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
e. Akta kompromis batal demi hukum apabila tidak memenuhi ketentuan
mengenai isi akta diatas22.

Pasal 9 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
22
Pasal 9 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
21

21
Universitas Sumatera Utara

Perbedaan antara Pactum De Compromitendo dengan Acta Compromis pada
dasarnya antara istilah keduanya tidak ada perbedaan yang signifikan, karena
keduanya mempunyai akibat hukum yaitu :
a) Sengketa yang akan timbul atau yang sudah timbul tidak akan diperiksa dan
diputus oleh pengadilan sehingga tidak perlu diselesaikna melalui prosedur
beracara gugat menggugat dan banding.
b) Sengketa yang akan timbul atau yang sudah timbul akan diperiksa dan diputus
oleh arbiter atau para arbiter dimana kedua belah pihak berkewajiban
membantu pelaksanaan dan kelancaran arbitrase serta menaati putusan yang
diajukan.
Namun demikian jika ingin tetap membedakan keduanya maka :
Pactum de compromitendo adalah kesepakatan antara kedua belah pihak sebelum
timbul sengketa sedangkan Acta Compromis adalah kesepatan yang dibuat setelah
adanya sengketa.
4. Bentuk perjanjiannya adalah tertulis
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa diluar peradilan yang
saat ini banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun
internasional.Hal ini karena melalui lembaga arbitrse, sebuah sengketa bisnis
dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif cepat dengan prosedur sederhana,
serta putusan yang dihasilkan dapat lebih mudah diprediksi oleh pihak – pihak
yang bersengketa.

Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau voorwaar delijke
verbintenis.Perjanjian arbitrase tidak termasuk pasa pengertian ketentuan pasal 12531267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrse tidak digantungkan
22
Universitas Sumatera Utara

kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian aarbitrase tidak
mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah
cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” (disputes settelement)
atau diference yang terjadi antar pihak yang berjanji. Jadi, fokus perjanjian arbitrase
semata–mata ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari
perjanjian para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian perselisihan
yang timbul dari perjanjian, tidak diajukan dan diperiksa oleh badan peradilan resmi,
tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim
disebut “wasit” atau “arbitrase”. Kalau begitu, jelas terlihat dimana letak perjanjian
arbitrse.Letaknya

bukan

pada

masalah

“pelaksanaan”

perjanjian,

mengenai

penyelesaian “perselisihan” perjanjian. Jika pada perjanjian bersyarat yang lazim juga
disebut cotrractsbeding, pelaksanaan dan pemenuhan perjanjian digantungkan ( af
hangen) pada suatu kejadian atau perbuatan di masa yang akan datang (toekomsting),
pada perjanjian arbitrase, dicantumkan atau disepakati suatu cara penyelesaian sengketa
yang timbul di masa yang akan datang. Selanjutnya syarat yang terdapat pada perjanjian
bersyarat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dalam perjanjian.Syarat dalam
perjanjian bersyarat bukan tambahan yang ditempelkan dalam perjanjian.Syarat tersebut
meliputi pokok atau materi perjanjian.23
Dalam memberikan pengertian tentang arbitrase, tidak terdapat satu pun
pengertian yang komprehensif dan akurat yang menggambarkan seluruh system
arbitrase.Dengan demikian sulit untuk memberikan satu pengertian yang universal
mengenai arbitarse. Oleh karena itu baik menurut ahli maupun peraturan perundang –
undangan memberikan pengertian yang berbeda mengenai Arbitrse, meskipun pada
intinya mengandung unsur yang sama.

23

Khotibul Umam,Op.cit.,hlm. 45

23
Universitas Sumatera Utara

Secara terminologi, definisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta
ahli hukum adalah :
Franky Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works
mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih
oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah
yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan
dali- dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semulauntuk menerima
putusan tersebut secara final dan mengikat.”
Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication
of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute,
agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.”
(arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk
mengatisipasi kemungkinan sengketa yang terjadi atau sengketa yang sedang terjadi,
para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil
keputusan yang akan memberikan beberapa macam pilihan).
Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya bahwa
arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi
dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang diambil untuk
mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak.24
Menurut Mertokusumo, Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan
untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter. Sedangkan
menurut Prof.Subekti, Arbitrase adalah penyelesaian atau perumusan sengketa oleh

24

Fitri Hidayati.,Op.,Cit.,hlm.19

24
Universitas Sumatera Utara

seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.25
H.Priyatna Abdurasyid, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti pihak yang
bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti – bukti yang diajukan
oleh para pihak.
Dan menurut H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk
arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak yang
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh
para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.26
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Peyelesaian Sengketa, arbitrase adalah : Cara penyelesaian
sengketa perdata diluar peradlian umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.
Dari rumusan pasal 1 angka (1) diatas, dapat disimpulkan bahwa :
Sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan
yang telah disepakati secara tertulis bahwa jika terjadi perkara atau sengketa
mengenai perjanjian yang telah mereka buat, maka mereka memilih jalan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan
umum. Sedangkan yang bersifat perdata antara lain :

25

http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian-html/m=1,diaksestanggal 21
Februari 2016
26
http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian-keunggulandan.html/m=1,diaksestanggal 21 Februari 2016

25
Universitas Sumatera Utara

a. Perdagangan /bisnis/kontrak
b. Perkawinan
c. Perceraian
d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
e. Hibah
f. Pengangkatan Anak.
Maka timbul pula pertanyaan, apakah semua sengketa diatas dapat diselesaikan secara
arbitrase?maka jawabannya adalah tidak. Sengketamengenai hal diatas ialah sengketa
keperdataan bukan berarti semua sengketa tersebut diatas dapat diselesaiakn secara
arbitrase.Sengketa yang dapat diselesaikan secara arbitrase sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya ialah sengketa yang telah ada kesepakatan oleh para pihak
untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara arbitrase dan sengketa tersebut ialah
sengketa yang berkaitan dengan perniagaan.
Bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang



undangan

dikuasai

sepenuhnya

oleh

para

pihak

yang

bersengketa.Sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah
sengketa yang menurut aturan perundang – undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.27
Demikian juga dalam kancah Internasional, terdapat beberapa sengketa
keperdataan yang tidak dapat diselesaiakan melalui arbitrse, yaitu :
1. Persolan status perseorangan, misalnya masalah kewarganegaraan, keabsahan
perkawinan, dll
27

Pasal 5 ayat 1 Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

26
Universitas Sumatera Utara

2. Kepailitan, yang berhubungan dengan ketidak mampuan perusahaan memenuhi
kewajibannya
3. Perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum, misalnya menyangkut
memutuskan pencucian uang
4. Keabsahan hak milik intelektual, misalnya paten, merek, hak cipta
5. Sengketa Hub.industrial .mislanya masalah serikat keraja, boikot, mogok , dll
6. Masalah Linkungan hidup, dan persaingan usaha.

B. Jenis – jenis Arbitrase
Dilihat dari ketentuan Undang – undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Konversi Internasional, serta
dalam kenyataan yang biasa dilakukan oleh masyarakat, arbitrase dapat dibedakan
dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
1. Arbitrase Bersifat Ad Hoc atau Arbitrase Volunteer
Merupakan Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau
memutuskan perselisihan tertentu.Arbitrase ad hoc (voluntary arbitration) adalah
arbitrase yang dibentuk secara insidentil untuk menyelesaikan sengketa tertentu
dalam jangka waktu tertentu dan apabila sengketa tersebut sudah diselesaikan,
dengan sendirinya arbitrase menjadi bubar atau dibubarkan.Arbitrase Ad Hoc
sering digunakan oleh masyarakat hukum adat, sengketa pertanahan, ganti-rugi,
sengketa perburuhan. Menurut Gunawan Widjaja, para pihak dapat mengatur
sendiri bagaimana pelaksanaan pemilih arbiter, kerangka kerja, prosedur arbitrse
dan aparatur administratif dari arbitrase ad hoc. Namun dalam pelaksanaannya,
arbitrase ad hoc ini mengalami kesulitan.Kesulitan antara melakukan Negosiasi

27
Universitas Sumatera Utara

dan menetapkan aturan prosedural arbitrase, kesulitan dalam merencanakan
metode pemilihan arbitrase yang dapat diterima kedua belah pihak.Oleh karena itu
lebih sering dipilih arbitrase institusional.28
Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga
yang didirikan dan melekat pada suatu badan atau lembaga tertentu.Sifatnya
permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai
akibat pelaksanaan perjanjian.Setelah selesai memutuskan sengketa, arbitrase
institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki
prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersenddiri. Arbiternya ditentukan
dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.29
2. Arbitrase Bersifat Institusional atau Permanen
Merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”
sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar,
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Arbitase Institusional
adalah arbitrase yang sifatnya permanen atau melembaga, yaitu suatu organisasi
tertentu yang menyediakan jasa administrasi yang meliputi pengawasan terhadap
proses arbitrase, aturan – aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak dan
pengangkatan para arbiter.
Kedua arbitrase tersebut sama-sama mempunyai wewenang untuk mengadili dan
memutus sengketa atau perselisihan yang terjadi antra para pihak yang mengadakan
perjanjian dibidang perdagangan dan hak.30 Dari keterangan diatas, dapat diketahui

28

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penylesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
(Alternative Dispute Resolution) Di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung 2010, hlm.64
29
Fitri Hidayati.,Op.,Cit.,hlm.40
30
Rachmadi Usman., Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013, hlm.165

28
Universitas Sumatera Utara

pula beberapa perbedaan antara Lembaga Arbitrase Institusional dengan Lembaga
Arbitrse Ad Hoc ;
1. Arbitrase Institusional bersifat permanen atau selamanya. Sedangkan Arbitrse Ad
Hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselilisah selesai diputus.
2. Arbitrase Institusional sudah ada atau sudah berdisi sebelum suatu perselisihan
timbul. Sedangkan Arbitrse Ad Hoc didirikan setelah perselisihan timbul.
3. Arbitrase Institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya
tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut. Sedangkan Arbitrase
Ad Hoc sama sekali tidak terdapat ketentuan tersebut.
Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati oleh para
pihak adalah jenis ad hoc, dapat dilihat dari rumusan klausula. Apabila klausula
pactum de compromitendo atau acta compromise menyatakan perselisihan akan
diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase institusional. Atau
dengan kata lain, apabila klausula menyebut arbitrase yang akan menyelesaikan
perselisihan terdiri atas arbiter perseorangan, arbitrase yang disepakati adalah
jenis arbitrase ad hoc. Ciri pokoknya penunjukan para arbiternya secara
perseorangan.31
Pada prinsinya Arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu
badan arbitrase.Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan
kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan
salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan
tatacara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun mengenai tata

31

Rachmadi Usman.,S.H.,M.H.,Ibid, hlm. 166

29
Universitas Sumatera Utara

cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya
mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.32
C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE
Pada umumnya lembaga Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
1. Dijamin kerahasiaan sengketa antara para pihak;
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksankan;33
6. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan
pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap para pihak yang
bersengketa.
7. Suatu perjanjian arbitrase (klausula arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhir
atau batalnya perjanjian pokok.
8. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan
perdamaian diantara para pihak para pihak yang bersengketa.34
32
33

34

Rachmadi Usman.,.,Ibid,hlm.166-167
Penjelasan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Alinea Ke-4
Frans Hendra Winarta.,Hukum Op.,Cit.,hlm.62

30
Universitas Sumatera Utara

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di
negara – negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase.
Satu - satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya
karena keputusannya tidak dipublikasikan.Namun demikian penyelesaian sengketa
melalui arbitrase masih lebih diminati dari pada litigasi.
Selain banyak kelebihan dari penggunaan Arbitrase dalam penyelesaian sengketa ,
dalam prosesnya terdapat beberapa kelemahan arbitrase antara lain :
1. Arbitrase belum dikenal secara luas baik oleh masyarakat bisnis, bahkan
masyarakat akademis. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui

keberadaan

dan

kiprah

dari

lembaga



lembaga

seperti

BANI,BPSK,dll.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan
memasukan perkarannya kepada lembaga – lembaga Arbitrase. Hal ini dapat
dilihat dari setidaknya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga
Arbitrase yang ada .
3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan
melakukan eksekusi putusannya. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap
hasil – hasil penyelesaian yang dicapai dalam arbitrase, sehingga mereka
seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan lain sebagainya.
4. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis.sebagai salah satu mekanisme extra
judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu diatas etika bisnis, seperti kejujuran dan
kewajaran.35

35

Candra Irawan, Op.,Ci.t, hlm. 55

31
Universitas Sumatera Utara

5. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih
menjadi hal yang sulit.
6. Pada umumnya pihak – pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaanperusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan kehendak para pihak
yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.36
Selain keenam hal diatas , masih ada 2 (dua) kelemahan arbitrase adalah :
1. Masih terjadinya tarik menarik yurisdiksi antara pengadilan negeri dan lembaga
arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang terikat dalam perjanjian
arbitrase. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidak pastian hukum dan pada
akhirnya pelaku bisnis meragukan efektivitas lembaga arbitrase dalam
penyelesaian sengketa bisnis, secara cepat, efektif, efesien, serta final.
2. Putusan Arbitrase tidak berlaku serta merta, namun membutuhkan fiat eksekusi
dari ketua pengadilan negeri setempat. Hal ini mengesankan putusan arbitase tidak
final dan non eksekutorial.37
D. Faktor – Faktor Yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase
Dalam Menyelesaikan Sengketa
Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu
metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat ini
berkembang di masyarakat.Masyarakat juga memikirkan kelanjutan hubungan sosial
kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal yang mereka inginkan
menyangkut hubungan baik dan kompromis tersebut tidak bisa mereka dapatkan
melalui sebuah penyelesaian sengketa yang terstruktur melalui cara litigasi atau
penyelesaian sengketa di pengadilan. Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan
36
37

Frans Hendra Winarta,Op.,Cit.,hlm.63
Candra Irawan, Op.Cit, hlm. 55

32
Universitas Sumatera Utara

pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh
pihak yang memiliki kekuatan financial atau kekuatan politik, cara – cara negosiasi
dan mediasi tidaklah akan berjalan efektif, karena pihak yang kuat merasa yakin
bahwa dengan cara dan dalam forum apapun dapat memenangkan sengketa.
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan setelah terbukti banyak
menimbulkan ketidak puasan pada para pihak-pihak yang bersengketa maupun
masyarakat luas. Ketidak puasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan
sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak
memanusiawikan pihak – pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak
bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lainlain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.Seperti halnya dengan
negosiasi dan mediasi, arbitrase lebih dipilih karena para pihak cenderung tidak
mempercayai lembaga peradilan tersebut.Para pihak yang bersengketa tidak memiliki
kemampuan untuk mengetahui siapa yang menang ataupun kalah dalam suatu proses
penyelesaian sengketa litigasi, para pihak akan mengeluarkan biaya besar yang
dikeluarkan para pihak tersebut dapat diminimalisir sehingga para pihak pun lebih
memilih arbitrase dari pada proses penyelesaian secara litigasi. Dengan kata lain
penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan cara yang efektif dari segi
financial karena biayanya yang terjangkau. Sama halnya dengan biaya, para pihak
juga tidak ingin membuang waktu hanya untuk berperkara di pengadilan saja, masih
banyak kepentingan dan urusan lain yang harus mereka selesaikan disamping
sengketa yang tengah mereka hadapi. Agar penyelesaian sengketa menjadi lebih
hemat waktu, para pihak sengketa tertarik untuk memilih penyelesaian sengketa
malalui arbitrase.Selain putusan bisa didapat dengan cepat, putusan arbitrase ini
bersifat final. Faktor lain mendorong para pihak sengketa melakukan arbitrase adalah

33
Universitas Sumatera Utara

karena arbitrase memberikan kebebasan yang sebenar-benarnya kepada para pihak
dalam menentukan arbiter, pilihan hukum, proses, serta tempat penyelenggaraan
arbitrase. Namun tetap pada akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh
terhadap putusan arbitrase yang mengikat mereka tersebut. Dari faktor-faktor yang
telah diuraikan diatas, dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa
arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang
memiliki manfaat serta kemudahan – kemudahan yang sangat besar sehingga
mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase dalam
menyelesaiakan sengketa.38

38

Fitri Hidayati., Op.,Cit, hlm.50-52

34
Universitas Sumatera Utara