Efektifitas Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Arbitrase pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)Kota Medan

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentag Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Kepmen 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas Dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Perma Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum terhadap Putusan BPSK

Perma Nomor1 Tahun 1995 Tentang Hak Uji Materil

Buku dan Internet

Adinugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, kencana, Jakarta, 2008.

Chrisyanti, Celina Trisiwi. Hukum perlindungan konsumen, sinar grafika, Jakarta,2014. Fuady, Munir.Arbitrase nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2000.

Hidayanti, Fitri. Efektivitas Penerapan Arbitrase Dalam Menyelesaian Sengketa Perbankan, FH USU, 2014.

Irawan, Candra.Aspek hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alterntive dispute resolution) di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, 2010

Rahmawati Intan Nur, & Rukiyah Lubis.Win-win Solution Sengketa Konsumen, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014.

Sofie, Yusuf .Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakhti, Bandung, 2003.


(6)

Tunggal, Hadi Setia.Himpunan UUD tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, harfindo, Jakarta 2002.

Usman, Khotibul. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,Jakarta , PT. Suka Buku., 2013. Usman, Rahmadi.Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya

Bakhti, Bandung, 2013.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 2011.

http://fh.unsoed.ac.id/files/fileku/dokumen/permasalahandankendalapenyelesaiansengketakon sumenmelaluiBPSK/html1/=1.

http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian.keunggulan-dan.html/m=1 http://repositori.usu.ac.id/bistream/html=123456

Wawancara

Wawancara dengan Ketua BPSK kota Medan atas nama H. M. Dharma Bakhti, SE.,SH.,Msi. Wawancara dengan majelis dari unsur konsumen di BPSK kota Medan atas nama Siti Aisyah

Dana,SH

Wawancara dengan pelaku usaha (PT. PLN(Persero) Wil.Sumut atas nama Putri sebagai kuasa hukumnya.

Wawancara dengan konsumen atas nama Yusuf konsumen Adira Finance. Wawancara dengan bagian Administrasi BPSK atas nama Vivi Afriani


(7)

BAB III

ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN SENGEKETA KONSUMEN

A. Pengertian Umum Tentang Sengketa Konsumen

Dalam kosakata Inggris terdapat dua istilah mengenai sengketa, yakni “conflict ” dan “dispute” yang kedua – duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat di bedakan. Kosakata “conflict” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Konflict”, sedangkan kosakata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosakata “Sengketa”. Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinan. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain. Sengketa atau konflik hakikatnya merupakan bentuk akuntabilitas dari suatu perbedaan dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara kedua belah pihak.39

Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah yang menjadi sengketa apabila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartikan sebagai “pertentangan” diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik, dapat mengganggu hubungan diantara mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahanya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya, para pihak


(8)

tersebut dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya.Dengan demikian, sengketalah yang timbul.40

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara yang pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa yang setua keberadaan manusia itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu kedalam bermacam – macam konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, maupun dengan dirinya sendiri. Namun karena kodrat manusia juga, manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat bertahan hidup. Sejarah menunjukan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, kebutuhannnya, serta nilai – nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula konflik dan cara – cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu lain dari kelompok yang berbeda akan ditransformasi menjadi konflik kelompok dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia yang berkembang semakin kompleks mambawa serta perubahan posisi menjadi individu – individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan – kepentingan yang tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik; cara penyelesaiannya; serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itupun ikut mengalami perkembangan.41

40 Rachmadi Usman., Ibid., hlm.3-4 41 Rachmadi Usman., Ibid,,hlm. 4


(9)

Salah satu bukti bahwasanya hal-hal yang disebutkan diatas mengalami perkembangan, ialah sekarang telah dikenal dengan adanya sengketa konsumen.Sengketa konsumen berarti sengketa atau konflik yang timbul antara para konsumen. Sengketa konsumen ini merupakan salah satu bentuk dari perkembangan hukum perdata. Sebagaimana yang kita ketahui hukum bersifat dinamis dan universal atau dengan kata lain mengikuti zaman yang terus berkembang. Sepanjang ada perubahan atau adanya kebutuhan terhadap peraturan baru disebabkan hal – hal tertentu yang membutuhkan ada peraturan tersebut, maka peraturan dan segala aturan pun terbentuk.Agar tetap tercapainya tujuan dari suatu NKRI yang disebutkan dalam pembukaan UUD 1945.Sehingga sengketa konsumen merupakan bentuk dari perkembangan yang telah disebutkan diatas, dan terdapat pula aturan didalamya untuk mencapai tujuan negara.

Sebelum membahas mengenai apa itu Sengketa Konsumen secara luas, terlebih dahulu kita harus pamahami apa itu Sengketa dan apapula Konsumen itu. untuk pemahaman mengenai Sengketa sudah disebutkan dihalaman sebelumnya kemudian untuk pemahaman menganai apa tu konsumen, dapat diterangkan sebagai berikut :

Pengertian konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dalam Pasal 1 ayat (2) yakni :

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masayarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Unsur-unsur definisi konsumen :42

a. Setiap Orang


(10)

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setip orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan / atau jasa.Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individu yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (recht persoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person diatas, dengan menyebutkan kata – kata : “ orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan.Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas dari badan hukum.

UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan kata “konsumen”.Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha”yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminology lainyang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus – kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.

b. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).Istilah “pemakai” dalam dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan/jasa yang dipakai tidak semerta-merta hasil dari transaksi jual – beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara mambayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa


(11)

itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulangtahunnya.Isi paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari pasar swalayan.

Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga ? Jika ia menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat baginya? hal ini patut dipertanyakan. Jika menggunakan prinsip privity of contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak pasar swalayan karena si pembeli parsel ialah orang lain. Dengan demikian, UUPK sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.

Konsumen memang tidak sadar pembeli (buyer) atau (koper) tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang.Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode.Dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen.Istilahnya product knowledge. Untuk itu , dibagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjual belikan. Orang yang mengkonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen.Oleh karena itu, wajib dilindungi hak – haknya.


(12)

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity contract) dengan produsen atau penjual adalah pendefenisian konsumen yang paling sederhana di Amerika Serikat cara pandang seperti itu telah ditinggalkan, walaupun baru dilakukan pada awal abad ke-20. Konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung asalkan ia memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk .

c. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa sebagai pengganti terminology tersebut digunakan kata produk.Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa.Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah – istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.”

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjjukan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.Artinya, harus lebih dari satu orang.Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.


(13)

Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen.Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen.Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.

d. Yang Tersedia Didalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran.Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.Misalnya, perusahaan pengembangan (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, jenis–jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures traiding, keberadaan barang yang diperjual belikan bukan sesuatu yang diutamakan .

e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain. Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditunjuk untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan penguraian unsur tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditunjukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang


(14)

yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya.Misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen diberbagai negara.Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian kosumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit meneteapkan batasan – batsan seperti itu.

Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu :43

1. Penyebutan sengketa konsumen sebagaibagian dari sebutan institusi administrasi negara yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 1 Butir 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) Jo. Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).;

2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada bab iini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu : Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK);

Kosakata sengketa (conflict;dispute) mestinya tidak hanya bersifat merusak (destructive) dan merugikan (harmful), melainkan membangun (contructive), menarik/menantang, serta dinamis sebagai katalisator perubahan.

43 Yusuf Shofie.,Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori & Praktek Penegakan


(15)

Ada beberapa kunci untuk memahami pengertian “sengketa konsumen” dalam kerangka undang – undang perlindungan konsumen(UUPK) dengan menggunakan metode penafsiran. Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut Undang – Undang Pelindungan Konsumen (UUPK) berikut dikutipkan batasan keduanya:

“konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain , maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk d perdagangkan” (Pasal 1 butir 2 Undang– Undang Perlindungan Konsumen)

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau yang melakukan kegiatan dalam wilayah Negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen)

Konsumen dipastikan setiap orang atau individu pemakai barang dan/atau jasa untuk keperluan sendiri, keluarga atau pihak lain. John F. Kennedy (mantan Presiden Amerika Serikat), mengatakan bahwa secara definisi konsumen adalah kita semua; mereka adalah kelompok ekonomis dalam perekonomian yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hamper setiap keputusan masalah-masalah ekonomi yang bersifat perdata dan publik. Kata Kennedy mereka satu – satunya kelompok penting dalam perekonimian yang secara efektif tidak terorganisir serta pandangan – pandangan mereka sering tidak di dengar.

Perlindungan yang di berikan Undang – Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya pada konsumen secara individu, melainkan juga di perluas pada makhluk hidup lain. Namun ternyata batasan konsumen menurut Undang – Undang


(16)

Perlindungan Konsumen ini tidak di perluas individu pihak ketiga yang di rugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang dan atau jasa.

Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau (BPSK) pada Pasal 1 butir 11 Undang – Undang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa yang di maksud dengan “sengketa konsumen” yaitu : sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku Usaha disitu, yaitu :

1. Setiap orang atau individu;

2. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum;

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi :

“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen ”

Jadi, sengketa sesama pelaku usaha bukanlah sengketa konsumen karenanya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak dapatlah digunakan pelaku usaha.

Konflik atau sengketa antata konsumen dan pelaku usaha pada umumnya didasarkan kepada kepada hal – hal yang tidak dikehendaki bahkan tidak diduga oleh konsumen sebelumnya. Dari berbagai macam penyebab timbulnya sengketa, secara terperinci sengketa konsumen terkait lima hal, yaitu sebagai berikut : 44

1. Barang yang tidak standart adalah barang yang tidak memenuhi ketentuan spesifikasi tekhnis, di bakukan, termasuk tata cara dan metode yang di susun berdasarkan


(17)

consensus semua pihak yang terkait dengan memerhatikan syarat – syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini dan akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar – besarnya. Standart nasional Indonesia selanjutnya di sebut SNI adalah standart yang di tetapkan oleh BSN (Badan Standarisasi Nasional) yang berlaku secara nasional. SNI wajib adalah memberlakukan SNI secara wajib di seluruh Indonesia yang di tetapkan oleh Mentri teknis terkait.

2. Informasi yang Mengelabui

Ada perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang memberikan informasi atas barang atau jasa yang ditawarkan untuk diperdangangkan dengan tidak lengkap, tidak benar, tidak wajar , dan tidak jujur. 3. Cara Menjual yang Merugikan

Ada juga perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbutan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam hal cara menjual barang atau jasa (obral, undian, lelang, dan cara paksaaan) dengan mengelabui atau menyesatkan konsumen. Contonya, sebuah tooko menyebarkan brosur yang menyatakan bahwa produk yang dijual didiskon 30%, tapi ternyata harga barang tersebut telah dinaikan sebelumnya sebesar 30 %.

4. Cidera Janji (Wanprestasi)

Ada perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dan atau ditandatangani. Untuk menentukan apakah perbuatan pelaku usaha yang merugikan konsumen baik dilihat dari sisi kerugian materi maupun kerugian kesehatan, dapat digugat atau diadukan ke BPSK maka


(18)

terlebih dahulu harus dilihat, diuji, dan dikaji apakah perbuatan pelaku usaha terrsebut dapat menjadi Objek Sengketa Konsumen di BPSK. 45

Untuk menentukan apakah perbuatan pelaku usaha dapat dijadikan Objek Sengketa Konsumen menurut Undanng-Undang Nomor 8 Tahun 1999, terlebih dahulu perlu dipahami oleh semua pihak, khususnya anggota BPSK, bahwa Undang-undang No. 8 Tahun 1999 merupakan payung terhadap undang-undang sektor lainnya sepanjang muatan materi undang-undang tersebut juga bertujuan untuk melindungi konsumen seperti Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Menurut Undang-undang tentang pangan tersebut, pelaku usaha dilarang memperdagangkan pangan yang tercemar, dalam hal ini kadaluwarsa. Pelaku Usaha tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, juga melanggar Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini, keberadaan, sifat, dan fungsi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 merupakan pengikat terhadap undang-undang sector lainnya yang bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan sektor lainnya.

5. Klausula Baku

Ada juga perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha untuk mencantumkan Kalausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan konsumen.Sebagai contoh, dalam karcis parker tertera kalimat yang berbunyi “Jika Kendaraan rusak atau hilang, pengelola parkir tidak bertanggung jawab.”46

Seharusnya jika terjadi kerusakan atau kehilangan di wilayah parkir Pelaku Usaha maka, Pelaku Usaha tersebutlah harusnya bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian yang dialami konsumen.Setidaknya Pelaku Usaha menyediakan pelayanan

45Intan Nur Rahmawanti, & Rukiyah Lubis, Ibid,hlm.40 46Intan Nur Rahmawanti, & Rukiyah Lubis.,Ibid, hlm.40-41


(19)

yang tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen dan dapat dikatakan pula bahwa kerusakan dan/atau sampai terjadinya kehilangan tersebut adalah merupakan Tanggung Jawab dari Pelaku Usaha atas usaha yang dikelolanya.

Dari beberapa uraian diatas mengenai Sengketa Konsumen, kesimpulannya tidak yang menyebutkan secara jelas apa itu sebenarnya sengketa konsumen. Batasan – batasan mengenai apa itu sengketa dan apa itu konsumen. Berebeda – beda pemaparannya menurut ahli dan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perllindungan Konsumen itu sendiri.

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaaian Sengketa Konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :

a. Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan

1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri.

2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. b. Penyelesaain sengketa konsumen melalui proses litigasi.47

Ad.a Penyelesaiansengketa konsumen diluar pengadilan

1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa.

Mengenai penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, yang dilakukan atau ditempuh dengan jalur atau secara damai oleh para pihak yang bersengketapun dilakukan pula pada proses penyelesaian sengketa secara arbitrase. Sehingga terdapat kesamaan bahwa bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan ,

47

Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga BPSK atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradlan umum.


(20)

ialah dengan cara damai yang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk memperoleh penyelesaian sengketa tersebut. Adapun isi pasal dari Penyelesaian sengeketa diluar pengadilan yang dilakukan secara damai menurut Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah:

(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.

(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

Sedangkan Penyelesaian sengketa konsumen secara damai oleh para pihak yang bersengketa, disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu :

“ penyelesaian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa .” Dalam ayat (1) UUPK tersebut, menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan diluar pengadilan ialah mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.Meskipun majelis arbiter dan tempat untuk menyelesaikan sengketa secara arbitrase tersebut telah ditentukan, tetapi upaya damailah yang tetap diusahakan terlebih dahulu kepada kedua belah pihak.

Sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 Ayat (2) UUPK tersebut, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan


(21)

penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.48

2) Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah.Cepat karena Undang-Undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja, BPSK wajib memberikan putusannya.49 Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.

Setiap Konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya ke BPSK, baik secara langsung maupun diwakili oleh kuasanya dan maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa, atau warga negara asing. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau

48

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 99


(22)

mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.50Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen itu.51

Namun pada kenyataannya, setiap pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasanya yang telah merugikan konsumen, semata-mata haruslah ada kerugian baik materi ataupun immateri terlebih dahulu baru kemudian pelaku usaha tersebut berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasanya. Dengan kata lain harus ada kerugian terlebih dahulu lalu ada upaya perbaikan dari pelaku usaha atas kesalahnnya. Maka timbulah pertanyaan, apakah harus konsumen merasa dirugikan terlebih dahulu baru ada bentuk perubahan atau kehati-hatian dari Pelaku Usaha atas Produk baranng dan/atau Jasanya? Sehingga jaminanlah sebagai bentuk salah satu tanggung jawabnya Pelaku Usaha tersebut, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 UUPK tersebut, berupa tulisan :

“tidak akan terulang kembali perbuatan yang merugikan konsumen.”

Pada prinsipnya penyelesaian sengketa kosumen diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win solution). Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa di luar pengadilan mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dari yang paling kecil kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan diluar pengadilan diharapkan

50

Penjelan mengenai Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(23)

sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa konsumen yang tak hanya menyelesaikan sengketa saja, tetapi dapat tetap menciptakan keharmonisan hubungan antara para pihak yang bersengketa. Serta apa-apa yang dijadikan putusan penyelesaian di luar pengadilan tersebut adalah putusan yang akurat dan memang dapat dilaksanakan oleh para pihak tersebut dengan baik .52

Faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu :53

a) Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela;

b) Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak yang ketiga; c) Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal;

d) Apakah para pihaak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil;

e) Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain;

f) Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak;

Selanjutnya, dikemukakan bahwa tidak semua model penyelesaian sengketa diluar pengadilan/alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa altenatif yang baik setidak – tidaknyaharuslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

a) Haruslah efesien dari segi waktu; b) Haruslah hemat biaya;

52

Susanti Adi Nugroho.,Ibid,hlm.101


(24)

c) Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh; d) Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa;

e) Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur;

f) Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di masyarakat dan para pihak yang bersengketa;

g) Putusannya harus final dan mengikat;

h) Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi;

i) Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas di mana penyelesaian sengketa dilaksanakan.

Table 1 : Sisi Baik dan Sisi Lemah dari Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

No

Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Sisi Baik Sisi Lemah

1. Badan Pengadilan - Menerapkan Norma publik - Ada precedent

- Deterrence effect - Keseragaman - Independensi - Putusan mengikat - Keterbukaan - Dapat dieksekusi - Melembaga

- Pendanaan secara publik

- Mahal

- Memakai lawyer sehingga mereka tidak terkontrol - Keputusan tidak terduga - Tidak ahli substansi - Menunda-nunda - Banyak butuh waktu - Masalah diredefinisidan

dipersempit

- Ganti-rugi terbatas - Tidak ada kompromi - Polarisasi cenderung

bermusuhan 2. Arbitrase - Privacy forum dikontrol para

pihak

- Dapat dieksekusi

- Tidak ada Norma Publik - Tidak ada precedent - Tidak ada keseragaman


(25)

- Cepat - Ahli

- Gantirugi tailor make

- Dapat dipilih norma yang sesuai

- Kurang berkualitas

- Dibebani oleh legalisasi yang semakin banyak

3. Mediasi /Negosiasi - Privacy

- Forum dikontrol para pihak - Merefleksi kepentingan dan

prioritas para pihak

- Mempertahankan kelanjutan hubungan para pihak

- Fleksibel

- Putusan yang terintegrasi - Tertuju pada masalah dasar - Menjadi pendidikan terhadap

para pihak

- Putusan cenderung

dijalankan oleh para pihak yang bersengketa.

- Kurang kemampuan untuk memaksa partisipasi para pihak

- Tidak mengikat - Kurang terbuka

- Tidak ada kewenangan eksekusi

- Tidak ada jaminan due process

- Hasil tidak adil jika skill tidak seimbang (dalam negosiasi)

- Sukar dieksekusi

- Hasil menjadi tidak penting - Tidak ada aplikasi /

perkembangan. Sumber :Susanti Adi Nugroho, Ibid, hlm. 103

Tata cara penyelesaian sengeketa konsumen oleh BPSK ditur dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal. UUPK menentukan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.54


(26)

Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah Lembaga Penyelesaian sengketa melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

Kemudian berdasarkan isi Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 diatas, maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukkan dengan cara berikut :55

1. Konsultasi

Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.

2. Negosiasi

Negosiasi adalah proses consensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan diantara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan William Ury adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase atau litigasi).

Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, diman para pihak masih beritikad baik untu duduk bersama dan memecahkan masalah.Nehosiasi


(27)

dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.

3. Mediasi

Dalam Pasal 6 ayt (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang seorang mediator. Menurut Riskin dan Wetsbrook mediasi merupakan

Mediation is an informal process in which a neutral third party helps oter resove a dispute or plan a transition but does not (and ordinarily does not have the power to )impose a solution.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa.Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persolan –persolan yang dikuasakan padanya.

Dalam sengketa dimana salah satu pihak yang kuat dan cenderung menunjukan kekuasaannya, pihak ketiga memgang pernan penting untuk menyetarakannya.Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa arah tanpa arahan konkret dari pihak ketiga.

Peran utama seorang mediator adalah ia harus mampu merangsang para pihak untuk menciptakan solusi yang kreatif, dan hal ini hanya dapat dilakukan apabila ia


(28)

benar-benar memahami kepentingan dari masing-masing pihak yang bersengketa, sehingga para pihak dapat menemukan solusi yang memenuhi kepentingan para pihak yang bersifat fundamental. Kelebihan yang mendasar dari suatu mediator tergambar dari pendapat yang berbunyi :

the parties are provided a forum where they can vven their feelings while telling their „stories‟ so that they feel heard and understood ”

Sehingga mediator memampukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan kepala yang jernih dan objektivitas maupun tulisan yang dapat gianggap sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu perdamaian dimuka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa si pengadilan.

4. Konsiliasi

Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan (litigasi), melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik dalam maupun diluar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian.Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas substansi dari perselisihan.Ketentuan tentang konsiliasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (10) dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri.Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.


(29)

5. Penilaian Ahli

Yang dimaksud dengan penilaian adalah hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam pasal 1 angka 8 Undang- Undang Nomor 30 tahun 1999 berbunyi :

Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memeberi konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang melakuknannya.Oleh sebab itu, pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari para pihak secara bersama-sama dengan malalui mekanisme sebagaimana halnya suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisiha atau sengketa, maka pendapat hukum ini bersifat final.Sebenarnya sifat dari pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk putusan lembaga arbitrase.

Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk mendapatkan kesepakatan dari pelaku usaha (tergugat) mengenai bentuk dan besarnya ganti-rugi serta untuk tidak terjadinya kesalahan yang sama maka didalam Pasal 45 Undang – Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999, mencantumkan bahwa :

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.


(30)

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditemouh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaiamana daiatur dalam undang-undang. (4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan,

gugaatan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan berhasil oleh salah satu pihak yang bersengketa.

Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai kewajiban menjaga ketertiban jalannya persidangan. Terdapat 3 (tiga) tata cara persidangan di BPSK (Pasal 54 ayat 4 Jo. Pasal 26 sampai dengan pasal 36 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), yaitu :56

1. Persidangan dengan cara konsiliasi;

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK ditangani Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersikap pasif dalam persidngan sengan cara konsiliasi. Sebagai pemerantara antara para pihak yang bersegketa, Majelis BPSK bertugas (Pasal 28 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001):

a. Memanggil konsumen an pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

d. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 (dua) (Pasal 29 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian


(31)

sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK betindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

2. Persidangan dengan cara mediasi;

Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemerataan dan penasihat Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara mediasi terlihat dari tugas Majelis BPSK, yaitu :

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahlli bila diperlukan;

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersegketa;

e. Secara aktif memberikan sarana atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen; sesuai dengan peratutan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 (dua) (Pasal 31 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK betindak pasif sebagai konsiliator.Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

3. Persidangan dengan cara arbitase;

Pada persidangan dengan cara ini para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2 (dua) tahap (Pasal 32 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, para pihak memilih arbiter dari angoota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan


(32)

konsumen sebagai anggota Majelis BPSK.Kedua, arbiter yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK.Jadi, unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis.

Ad.b. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi

Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara :57

1) Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instrument hukum hukum perdata dan dapat digunakan dengan prosedur:58

a) Gugatan perdata konvensional;

b) Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action); c) Gugatan/hak gugat LSM/Or-Nop (legal standing); d) Gugatan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait. 2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana.

3) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrument hukum tata usaha negara, dan melalui mekanisme hukum hak menguji materil.

1) Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instumen hukum perdata/litigasi di Peradilan Umum

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 59 Dengan memperhatikan Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadillan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi

57

Susanti Adi Nugroho., Op.Cit,hlm. 126

58Pasal 46 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 59Pasal 45 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(33)

dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan menngajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen. Gugatan perdata ini diajukan melalui pengadilan negeri ditempat kedudukan konsumen. Dengan berlakunya UUPK,60 maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi di ajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat.

Dengan berlakunya UUPK, ketentuan Pasal 23 Jo. Pasal 45 UUPK ini merupakan lex spesialis terhadap HIR/RBg. Sesuai dengan adagium lex spesialis derogat lex generalis”, yang berkaitan dengan ketentuan khusus mengeyampingkan ketentuan umum, maka ketentuan pasal 23 Jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha.Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa.61

Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak – hak konsumen melalui peradilan negeri, dengan menggunakan instrument hukum acara perdata (konvensional), dilakukan oleh seorang konsumen, atau lebih atapun ahli warisnya.Pasal 26 ayat (1) butir a UUPK ini, tidak menegaskan instrument hukum tersebut, betapapun lemahnya instrument hukum itu ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap konsumen. Dalam hukum acara perdata konvensional dikenal siapa yang mendalilkan, ia harus membuktikan. Karena banyaknya kasus ketidak adilan

60

Pasal 23 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


(34)

yang dialami oleh konsumen pada umumnya pada posisi yang lemah, dan hukum acara perdata HIR/RBg tidak lagi sepenuhnya mampu menampung perkembangan – perkembangan tuntutan keadilan dan masyarakat pencari keadilan, maka UUPK telah menerobos prinsip –prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat dipegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia.

UUPK membawa perbaikan, berupa pembaharuan yang selama ini menghambat penyelesaian sengketa konsumen dengan mengedepankan alterrnatif penyelesaian sengketa yang sam sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu dimungkinkannya gugatan perwakilan kelompok/class action, hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Organisasi Non–Pemerintah lain (legal standing), dan gugatan yang diajukan oleh pemerintah atau instansi yang terkait terhadap pelaku usaha. Meskipun ketiga jenis gugatan tersebut secara prinsip berbeda, tetapi dalam praktik pelaksanaannya sering kali rancu, karena kurangnya pemahaman bagi pelaksana–pelaksananya, disamping belum adanya peraturan pemerintah yang mengaturnya.62

2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana

Dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 terdapat sejumlah norma – norma hukum pidana dalam hukum pidana terdapat asas tidak tertulis bahwa sanksi pidana di gunakan sehemat mungkin oleh masyarakat atau dengan kata lain penggunaan sanksi pidana hanya sebagai ultimo remedium. Semua norma Perlindungan Konsumen dalam UUPK memiliki sanksi pidana. Dalam pada itu, hukum pidana sebagai sarana perlindungan sosial (social defense) bertujuan melindungi kepentingan – kepentingan masyarakat.

a. Pemeliharaan tertib masyarakat.


(35)

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian dan bahaya – bahaya yang tidak dapat di benarkan yang di lakukan oleh orang lain.

c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelangggar hukum.

d. Pemeliharaan/mempertahankan integritas pandangan- pandangan dasar tentang keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Sanksi pidana dalam UUPK dalam batas – batas tertentu di pandang sepadan dengan kebuutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan – kepentingan tersebuut, yang secara lebih khusus kepentingan – kepentingan itu di rumuskan dalam hak – hak konsumen. 63Adanya sanksi perdata, dan sanksi administrasi negara dalam UUPK merupakan sarana- sarana non pidana yang diharapkan memiliki pengaruh preventif.Hukum pidana baru digunakan, bila instrumen – instrument hukum lainnya sudah yidak berdaya lagi untuk melindungi konsumen (ultimum remedium).Sebaliknya, UUPK telah memulai paradigm baru, bahwa hukum pidana digunakan bersama-sama dengan instrumen hukum lainnya (premium remedium).

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen, posisi tersangka dan terdakwa ada pada pelaku usaha, baik perorangan atau korporasi.Peran konsumen dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai halnya korban dalam perkara pidana lainnya, yaitu masih terbatas sebagai saksi korban.64

3) Penyelesaian sengketa konsumen melaului instrument Peradilan Tata Usaha Negara dan melalui mekanisme hukum Hak Uji Materil.

a) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrument Peradilan Tata Usaha Negara.

63 Susanti Adi Nugroho.,Ibid,hlm.133 64 Susanti Adi Nugroho.,Ibid, hlm.135


(36)

Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata usaha negara.

Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata berhadapan dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya keputusan tata usaha negara, sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan prundang-undangan yang berlaku.65

Pengertian pejabat tata usaha negara termasuk badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Keputusan tata usaha negara itu harus berupa penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat kongkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum dari seorang atau badan hukum perdata.66

Untuk membedakan apakah perbuatan pemerintah merupakan perbuatan hukum public atau hukum perdata perlu di perhatikan ciri-ciri hukum tersebut yaitu:

Ciri-ciri hukum publik terdiri dari:67

(1) Keputusannya sepihak/unilateral (kewenangannya bersumber dari hukum publik).

(2) Vertikal.

(3) Ada hubungan sub ordonansi/hierarki. (4) Keputusannya berlaku umum.

65 Pasal 1 butir 4 UU Nomor 9 tahun 2004, tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

66 Pasal 1 butir 2 UU Nomor 9 tahun 2004, tentangPerubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.


(37)

Sedangkan ciri-ciri hukum perdata terdiri dari : (1) Ada dua pihak atau lebih / bilateral.

(2) Antara pihak-pihak mempunyai hubungan yang sejajar. (3) Parallel.

(4) Hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersangkutan saja.

Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) UUPK terkesan hanya membolehkan gugatan ini konsumen ini, diajukan ke lingkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi peradilan tata usaha negara.Kendati demikian jika konsumen diarikan secara luas, yakni mencakup juga penerima jasa layanan publik tentu peradilan tata usaha negara seharusnya patut juga melayani gugatan tersebu.Untuk itu perlu diperhatikan, bahwa syarat-syarat bahwa sengketa itu berawal dari adanya penetapan tertulis bersifat konkrit, individual dan final harus tetap dipenuhi.

Untuk memudahkan akses masyarakat, khususnya konsumen dalam berhubungan dengan pelayanan aparat birokrasi negara, diberbagai negara didirikan komisi khusus yang antara lain bertugas menerima pengaduan dari masyarakat atas kerugian yang dideritanya akibat perilaku penyelenggara pemerintahan. Di Indonesia, dengan Kepres Nomor 44 Tahun 2000, dibentuk Komisi Ombudsman, sebagai Instansi Independen yang diperlukan untuk mengawasi administrasi negara guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik, berdasarkan asas negara hukum serta kepatutan dan penghormatan hak asasi manusia, dengan tugas pokok Komisi Ombudsman; a) Melayani keluhan masyarakat atas keputusan atau tindakan penyelenggara negara

dan pemerintah yang dirasakan tidak adil, tidak patut, merugikan, atau melawan hukum .

b) Meningkatkan pengawasan terhadap institusi dan instansi pemerintahan, termasuk peradilan, dengan memberikan klarifikasi, informasi, dan rekomendasi, kepada


(38)

instansi pelapor yang diikuti dengan pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional.

Keberadaan Ombudsman ini memiliki arti penting dalam gerakan perlindungan konsumen. Diperkirakan akan banyak kasus-kasus keluhan konsumen terhadap kualitas layanan publik yang selama ini seperti mengalami jalan buntu, akan dapat dibantu penyelesaiannya melalui komsi tersebut. Kiprah tim ombudsman juga diharapkan dapat mengatasi terputusnya akses masyarakat konsumen terhadap pejabat atau badan pelaksana layanan publik yang sering menutup diri. Kasus – kasus yang kerap kali menimbulkan frustasi masyarakat itu barangkali tidak terselesaikan karena sebagaian besar memang tidak dapat dikonstruksikan sebagai sengketa tata usaha negara, ataupun kalau dapat digugat melalui peradilan umum, konsumen sendiri segan menempuhnya karena proses yang panjang dan berliku-liku. 68

b) Penyelesaian sengketa konsumen melalui mekanisme hukum hak uji materiil (judicial review)

Hak uji materil lebih dikenal dengan sebutan judicial review yang dalam Pasal 1 butir 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999 disebutkan, “Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadp peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan. 69 ” Konsumen atau sekelompok konsumen dapat menggunakan instrument hukum hak uji materiil yang menyangkut kebijakan berbagai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUPK.

68

Susanti Adi Nugroh, Ibid,hlm. 140

69 PERMA Nomor 1 Tahun 1999 ini mancabut PERMA Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak


(39)

H.R.Sri Soematri menyatakan hak menguji dapat dibedakan :70 (1) Hak menguji formal

Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif terjelma melalui cara – cara atau prosedur sebagaimana ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dari penegertian tersebut dalam hak menguji formal, yang dinilai adalah tata cara pembentukannya apakah sesuai atau tidak.

(2) Hak menguji materiil

Hak menguji materiil adalaha suatu hak untuk menelit idan menilai apakah suatu peraturan benar-benar telah dibuat oleh pembentuk peraturan yang berhak untuk membuatnya. Dan apakah semua peraturan isinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen

Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrase (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijakan itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dapat menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-norma lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan.Kesan tersebut sebenarnya keliru karena arbitrase atau majelis tersebut menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Menurut Undang- Undang Nomoor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah :


(40)

“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”

Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), arbirase memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan industri keuangan baik yang bersifat Nasional maupun Internasional. Sedanngkan menurut peraturan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian (Pasal 1 AD BAMUI).

Menurut ketiga pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah :

1) Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa – sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.

2) Penyelesaia sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industry, dan keuangan.

3) Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan menngikat (final dan binding).

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut sistem arbitrase sebagai salah satu kewenangan BPSK untuk meyelesaikan sengketa konsumen. Di dalam Pasal 1 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disebutkan Arbitrase adalah


(41)

proses penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Sesuai dengan ketentuan beracara di BPSK, prosedur penyelesaian melalui arbitrase adalah sebagai berikut :

1. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis.

2. Arbiter yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.

Adapun bentuk Format Surat Pernyataan untuk memilih penyelesaian sengketa secara “arbitrase” yang diberikan oleh salah satu Majelis BPSK Kota Medan ialah :

SURAT PERNYATAAN UNTUK MEMILIH PENYELESAIAN SENGEKETA

DENGAN CARA “ARBITRASE”71

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

(ialah Para pihak yang bersengketa baik Konsumen Maupun Pelaku Usaha )

I. Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Dalam Hal ini disebut sebagai Pihak I (Konsumen)

II. Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Dalam Hal ini disebut sebgai Pihak II (Pelaku Usaha)

71

Formulir Surat Pernyataan memilih penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, yang diberikan kepada penulis pada tanggal 06 Maret 2016


(42)

Antara Konsumen dengan Pelaku Usaha telah setuju dan sepakat untuk memilih Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara “ARBITRASE” dan untuk itu kami memilih Majelis tersebut sebagai berikut :

1. Unsur Pemerintah : 2. Unsur Konsumen : 3. Unsur Pelaku Usaha :

Demikianlah Surat Pernyataan ini kami perbuat dengan sebenarnya. Kemudian

ditandangani oleh Para Pihak serta Para Majelis BPSK Kota Medan yang telaah dipilih sebagai majelis arbiter.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Jo. Pasal 32 ayat (1) Kepmen 350/MPP/KEP/12/2001, menyebutkan bahwa :

“ Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase oleh para pihak yang bersengketa, dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak .”

“Dalam penyelesaian sengketa kosnumen dengan cara arbitrase para pihak memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berasal dari unsur pelaku usaha dan kosnumen sebagai anggota majelis ” Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.72

Selanjutnya pada tahap persidangan prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Ketua mejelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai uapaya – upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

72 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


(43)

2. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Mejelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal – hal yang dipersengketakan.

Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka persidangan pertama majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.

Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib memuat putusan dan membentuk penetapan perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persingan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat yang diperlukan.

Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat – lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretaris BPSK. Namun pada beberapa BPSK tidak selalu menerapkan ketentuan ini, mengingat jam kerja seluruh BPSK di Indonesia tidaklah sama. Bilamana pada persidangan ke II


(44)

(kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.

Prosedur penyelesaian dengan menggunakan arbitrase bagaikan sebuah simalakama bagi kedua belah pihak. Terkadang pihak yang lemah disarankan untuk tidak memilih prosedur arbitrase ini dikarenakan proses yang harus ditempuh dalam hal upaya hukum akan menyulitkannya. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya peraturan arbitrase BPSK di Indonesia. Sehingga memerlukan campur tangan lembaga peradilan untuk memberi kepastian hukum, meskipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat.

Bagi para pihak yang memiliki posisi kuat, mekanisme melalaui arbitrase ini menjadi pilihan.Kerena melalui prosedur ini BPSK dapat menjatuhkan hukum berupa kewajiban tertentu kepada pihak lawan yang harus dilaksanakan seperti halnya putusan pengadilan.Ketika pihaknya memeiliki kekuatan pada bukti – bukti formal dan fakta – fakta yang diujui leewat saksi-saksi, BPSK memiliki kemungkinan menjatuhkan putusan sesuai dengan harapannya.

Meskipun putusan arbitrase BPSK apabila tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen putusan BPSK bersifat final dan mengingat. Hal ini mengandung pengertian bahwa putusan BPSK harus dilaksanakan. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sesungguhnya hanya memperkenankan keberatan terhadap putusan BPSK dalam hal putusan BPSK memenuhi syarat pembatalan


(45)

sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. Setelah putusan arbitrase BSPK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.73

D. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan Sengketa Secara Arbitrase

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pasal 1 Butir 11 UUPK menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus – kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha/produsen, biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan ditutup. Pembentuk BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan konsumen yang secara sosial dan financial tidak seimbang dengan pelaku usaha.

Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21hari kerja, dan tidak


(46)

dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Keberadaaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.74

Salah satu Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Jo. Menperindag Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsilliasi , mediasi, dan arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan 3 (tiga) cara , yaitu: a. Konsiliasi;

b. Mediasi, dan; c. Arbitrase;

Adapun Tugas dan wewenang BPSK , yaitu : 75

a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.

f. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

74 Susanti Adi Nugroho., Ibid hlm. 74


(47)

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

h. Memanggil, mengahadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.

i. Meminta bantuan penyidik, untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g, huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, ataub alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dari pihak konsumen.

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian terdapat fungsi strategis dari BPSK adalah :

a. BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha. Termasuk disini klausula baku yang dikeluarkan PT. PLN (persero) di bidang telekomunikasi, bank-bank milik pemerintah swasta, perusahaan leasing/pembiayaan, dan lain-lain.

c. Salah satu fungsi strategis adalah untuk menciptakan keseimbangan kepentingan – kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan usaha perushaan – perusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha usaha atau perusahaan – perusahaan milik negara.


(48)

Dilihat dari ketentuan Pasal 52 huruf b,c, dan e UUPK, dapat diketahui BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa diluar pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) UUPK, tetapi meliputi kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaaan pelaku usaha yang diduga melanggar UUPK.76

Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya mengenai penyelesaian sengketa secara Konsiliasi, Mediasi serta Arbitrase. Ketiga bentuk penyelesaian ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang ditempuh para pihak yang bersengketa di Badan Penyelesaian sengketa Konsumen. Untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi, maka yang berwenang untuk menetapkan siapa yang menjadi personilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur pemerintah maupun anggota majelis yang berasal dari unsur konsumen dan unsur pelaku usaha adalah ketua BPSK.

Hal ini berbeda dengan majelis yang akan menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak berwenang untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota majelis. Yang berwenang menentukan siapa yang duduk di majelis adalah para pihak yang bersengketa, para pihak dapat memilih dengan bebas salah satu dari anggota konsumen berhak memilih bebas salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota majelis. Demikian juga pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter, yang akan menjadi anggota majelis. Penyelesaian sengketa atau persidangan secara arbitrase adalah proses


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat manusia kejalan benar jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Penulisan skripsi ini adalah sebagai satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Kekhususan Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut penulis membuat skripsi ini dengan

judul “Efektifitas Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan”.

Bahwa dalam Penulisan Skripsi ini, penulis menyadari adanya banyak kesalahan & kekurangan baik dalam segi penguasaan pembahasan, tata bahasa, ataupun substansi isi dari penulisan skripsi ini. Maka dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf dan mohon diberikan kritik maupun saran agar dapat terwujudnya penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, oleh karena itu izinkan penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan, waktu, dan ilmu yang telah diberikan kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah membina mahasiswa baik didalam maupun luar kampus .

2. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.,M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting, SH.,M.Hum Selaku Pembantu Dekan-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bapak Syafruddin S. Hasibuan Selaku Pembantu Dekan-II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bapak O.K.Saidin, SH.,M.Hum Selaku Pembantu Dekan-III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Husni,SH.,M.H Selaku Dosen Pembimbing I, yang dengan ikhlas, sabar, dan berbaik hati memberikan bimbingan, baik kritikan maupun saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(2)

4. Ibu Maria Kaban, SH., M.Hum Selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan ikhlas, sabar, dan tulus membimbing saya dalam bentuk petunjuk, kritikan, saran, dan motivasi maupun semangat yang sangat besar sehingga penulis mempunyai kepercayaan diri dalam menyelesaikan skripsi hingga selesai.

5. Bapak Prof.Dr.Hasyim Purba, SH.,M.Hum, selaku Dosen dan Ketua Departemen keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis untuk beberapa matakuliah serta telah banyak memberikan saran – saran dan pengarahan dalam proses awal pembutan skripsi.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik serta membimbing penulis selama proses perkuliahan sampai tingkat akhir memperoleh gelar Sarjana Hukum .

7. Seluruh Staf Biro Pendidikan , yang telah membantu memberikan pengarahan dan bantuan selama perkuliahan serta dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Kak Siti Aisyah Dana, SH Selaku Majelis Di BPSK Kota Medan yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kak, semoga Allah membalas kebaikan kebaikan kakak. Dan merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis dalam kesempatan ini untuk mengucapkan terimakasih yang luar biasa kepada :

1. Ayahku tersayang Khairil Anwar, SH.,MsI dan Mamaku Wonder Womenku Neny Sofyanti Silalahi, atas kasih sayang, didikan, semangat, motivasi, arahan, kesabaran yang semuanya diberikan dengan rasa tulus ikhlas serta masih banyak hal – hal baik lain yang tak terucapkan sebagai bentuk penyampaian tanda terima – kasih dari dasar lubuk hati . Terimakasih Mama & Ayah, sudah menjadi tempat keluh kesah, tempat penyejuk hati, engkau pemberian dari sang Illahi Rabbi yang sangat berarti. Semoga mama & ayah selalu diberi keberkahan, kemuliaan, dilindungi oleh Allah SWT, didunia maupun di akhirat, semoga uti bisa menjadi kebanggakan ayah dan mama. 2. Adik–adik ku, Nia Andriani, dan Muhammad Arya Nugraha, terimakasih ya adik-

adik kakak yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. I love you so much. 3. Khusus Buat seseorang yang selalu membantu, selalu ada dan selalu memberikan

semangat dalam proses penyelesaian skripsi maupun keluh-kesah lain. Terimakasih Muhammad Wirandy Pratama, Am.d, sudah menjadi pelipur laraku. Untuk saat ini rasa terima-kasih adalah perwakilan yang dapat disampaikan sebagai pengungkap dari segala rasa.


(3)

4. Sahabat – sahabatku Dewi Sartika, S.Ked, Ruth Angelina, Lisa Ahyuni, Siti Fariza, Putri Desi Perdana, Miftahul Aini, Yulia Resa, Crissya Josepha Tarigan, Arini Sulastiwi, Yurizka Ashifa, Siti Hariyati, Aulia Mahzuro Risky, terimakasih sahabat-sahabat atas waktu dan semangat kalian selama ini. Kebersamaan kita takkan kulupakan. Semoga kita selalu dapat berbagi kisah – kasih di masa depan.

5. Dan terakhir, kepada Mahasiswa – mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik Senior, Junior, mapun seangkatan yang tak dapat disebutkan satu – persatu , yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Sebagi penutup kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak lain, khususnya bagi penulis sebagai penambah wawasan ilmu hukum pada umumnya di bidang arbitrase pada sengketa konsumen khususnya. Dan semoga ilmu yang diperoleh bermanfaat untuk agama , nusa dan bangsa.

Medan, April 2016 Hormat Penulis,


(4)

ABSTRAK

** Putri Khairani ; Mahasiswa Fakultas Hukum USU** ** Muhammad Husni,SH.,MH ; Dosen Pembimbing I** ** Maria Kaban,SH.,M.Hum ; Dosen Pembimbing II**

Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak.Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum dengan memperhatikan Pasal 45 UUPK.Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).Tujuan pembentukan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku usaha dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi. Keberadaan BPSK diharapkan akan menjadi bagian dari payung hukum agar dapat menjamin adanya kepatian hukum dan semata – mata untuk kepentingan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dari pelaksanaan putusan secara arbitrase bagi para pihak yang bersengketa di BPSK Kota Medan , baik prosedur putusan mapun pelaksanaan putusannya, faktor penghambat pelaksanaan putusan serta keberhasilan dan kegagalan penyelesaian sengketa secara arbitrase di BPSK Kota Medan. Penelitin ini di laksanakan di BPSK yang berlokasi di Kota Medan.

Penulis menggunakan metode penelitian yuridis – Normatif, dan empiris dalam mewujudkan tulisan ini.Dengan melakukan peneleitian terhadap pustakan dan melakukan penelitian secara wawancara langsung dengan anggota Majelis BPSK Kota Medan , baik dari Unsur Konsumen mapun Pelaku Usaha, wawancara dengan Konsumen dan Pelaku Usaha , serta dengan Panitera atau sekretariat BPSK Kota Medan. Adapun hasil yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain adalah, dengan adanya Undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, lahirlah sebuah lembaga yang berfungsi untuk menangani masalah sengketa konsusmen yaitu BPSK. Sengketa yang masuk ke dalam BPSK diselesiakan secara arbitrase, mediasi, dan konsiliasi sehingga menghasilkan putusan BPSK .

Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat berarti sudah tidak ada upaya hukum untuk putusan tersebut.Namun Undang – undang telah menegaskan bahwa pihak yang tidak menerima terhadap putusan tersebut dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Putusan yang dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri adalah putusan yang diselesaikan secara arbitrase. Proses penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase dilakukan dengan asas cepat, mudah, dan murah. Proses penyelesaian sengketa di BPSK Kota Medan khususnya penyelesaian sengketa secara arbitrase, berjalan tidak efektif, karena dilihat dari wawancara yang dilakukan dan adanya beberapa jumlah keberatan terhadap putusan BPSK yang diajukan ke Pengadilan Negeri Khususnya penyelesaian secara arbitrase di BPSK Kota Medan.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..……… ..i

ABSTRAK ………ii

DAFTAR ISI ……….…………iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….………..……….1

B. Rumusan Masalah ……….……….………….8

C. Tujuan Penelitian ……….8

D. Manfaat Penellitian ………..9

E. Keaslian Penulisan ………...9

F. Metode Penelitian ……….………10

G. Sistematika Penulisan ………12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Pengertian Umum tentang Arbitrase ………...14

B. Jenis-jenis Arbitrase ………...27

C. Kelebihan dan kekurangan Arbitrase ………30

D. Faktor yang mempengaruhi menyelesaiakan sengketea secara Arbitrase.32 BAB III : ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian Umum Tentang Sengketa Konsumen ………...35

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen ……….47

C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen………67

D. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase ………...…...73

E. Dasar hukum pemberlakuan arbitrase sebagai upaya penyelesaian sengketa alternatif di BPSK Kota Medan ………..……….80

BAB IV : EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF MELALUI ARBITRASE PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA MEDAN


(6)

A. Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase dan Pelaksanaan Putusan Bagi Para Pihak Yang Bersengketa Pada Badan Penyelesaiaan Sengketa Konsumen Kota

Medan………...………84

B. Faktor penghambat Pelaksanaan Putusan Arbitrase Bagi Para Pihak Yang Bersengketa Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan...102 C. Keberhasilan dan Kegagalan Pelaksanaan Putusan Arbitase Bagi Para Pihak Yang Bersengketa dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Dilakukan Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota

Medan.…………...…...110

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 124

B. Saran ……….127

DAFTAR PUSTAKA ………...129 LAMPIRAN