Revitalisasi Kelompok Arisan Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus pada Etnis Minangakabau yang Merantau ke Kota Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Perkembangan migrasi di Indonesia memberikan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan Indonesia. Pada pemerintahan orde baru, program migrasi penduduk ke
berbagai wilayah Indonesia menjadi salah satu program pemerintah yang penting, program ini
dikenal dengan

“transmigrasi”. Bambang Ismawan (dalam Sri, 1986: 129) mengungkapkan, pada

tahun 1983 penduduk Indonesia berjumlah 160 juta jiwa dan lebih dari 60% dari penduduk
Indonesia tersebut berada di pulau Jawa dan pulau Madura. Kepadatan penduduk pulau Jawa 700
jiwa per km2, sedangkan di luar pulau Jawa hanya sekitar 30 jiwa per km2. Untuk menanggulangi
masalah ini, maka pemerintah telah menyelenggarakan program transmigrasi. Selain itu, program
transmigrasi tidak hanya bertujuan menyeimbangkan penyebaran penduduk melaui pemindahan
dari wilayah padat ke wilayah jarang, tetapi mempunyai tujuan yang lebih luas dalam kerangka
pembangunan nasional. Sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi sebagai tercantum dalam pasal 2
Undang-undang No. 3 Tahun 1972 ditujukan kepada terlaksananya transmigrasi suakarsa (spontan)

yang teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk mencapai: (a) Peningkatan taraf hidup. (b)
Pembangunan daerah. (c) Keseimbangan penyebaran penduduk. (d) Pembangunan yang merata di
seluruh Indonesia. (e) Pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia. (f) Kesatuan dan
persatuan bangsa. (g) Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Terdapat kecenderungan umum bahwa masyarakat yang memiliki pandangan negatif
terhadap wilayah di luar ranah budayanya cenderung sedikit sulit untuk meninggalkan daerah
asalnya. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang mempunyai pandangan positif terhadap wilayah di
luar ranah budayannya akan lebih mudah untuk melakukan migrasi karena tidak ada hambatan
kultural sama sekali. Secara tradisional, orang Jawa termaksud suku bangsa yang memandang
daerah luar ranah budaya mereka dengan image negatif. Mereka menyebut wilayah diluar ranah

Universitas Sumatera Utara

budaya meraka dengan sebutan sabrang. Kalau ranah Jawa dipandang halus dan sakral, wilayah
sabrang sebaliknya, dipandang kasar, profan dan merupakan wilayah yang berbahaya. Image
tentang hal ini tergambar dalam lakon wayangan dengan mengambarkan tokoh dari sabrang yang
kasar, dengan muka warna merah dan hidung yang mendongkak ke atas, (Sairin, 2002: 81-84).
Berbeda dengan pandangan orang Jawa perihal wilayah diluar ranah budayanya, suku
Minangkabau memandang wilayah yang ada di luar ranah budayanya atau daerah “rantau” sebagai
daerah yang penting sebagai daya dalam pengembangan kampung halaman agar lebih maju. Pelly

(1998: 9-10) mengungkapakan, bagi etnis Minangkabau daerah perantauan berfungsi sebagai untuk
memperkaya dan menguatkan alam Minangkabau; gagasan ini merupakan dasar dari “misi budaya”
yang menggerakkan orang Minangkabau untuk merantau. Orang Minangkabau mendorong kaum
muda mereka untuk merantau; namun ketika mereka kembali dari daerah rantau, mereka harus
membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Karena itu
orang Minang tidak hanya membawa misi budaya mereka ke daerah rantau, tetapi juga membawa
perubahan-perubahan dan rumusan-rumusan baru dalam adat mereka.
Mayoritas orang Minangkabau merantau ke pulau Jawa dan Sumatera untuk berdagang.
Kecenderungan orang Minangkabau untuk berdagang sudah berlangsung lama, khususnya di pulau
Sumatera, seperti kota Medan. Naim (2013: 104) mengungkapkan, migrasi masyarakat etnis
Minangkabau ke kota Medan mulai masiv bermula pada akhir abad yang lalu tatkala perkebunanperkebunan besar mulai dibuka. Diperkenalkannya industri pertanian menyebabkan timbulnya
perkembangan-perkembangan pada sektor-sektor lain, seperti perbaikan pada sektor komunikasi,
bertumbuhnya lembaga-lembaga perdagangan dan munculnya kegiatan-kegiatan dalam berbagai
macam jasa. Orang-orang Minangkabau bedatangan ke sana bukanlah untuk memburuh di
perkebunan tetapi untuk berdagang. Malah kenyataanya memang mereka menghindari kerja berkuli
seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jawa yang dibawa dengan tujuan untuk diperkerjakan
sebagai buruh kontrak. Banyak dari mereka yang menjajakan barang dagangannya dari perkerbunan
satu ke perkebunan yang lain atau menentap di kota untuk berdagang.

Universitas Sumatera Utara


Hingga saat ini, kota Medan tetap menjadi salah satu kota tujuan dari banyak perantau
Minangkabau. Hal ini karena kota Medan memiliki kondisi pertumbuhan ekonomi yang baik dan
stabil dan menjadi basic kekuatan ekonomi provinsi Sumatera Utara, sebab aktivitas ekonomi
penduduk dan pemerintahan Sumatera Utara terkosentrasi di kota Medan. Tingginya aktivitas
ekonomi membuat modernisasi berkembang cepat di kota Medan yang memberikan pengaruh
terhadap interaksi di dalam masyarakat kota Medan yang lebih bersifat efesien dan rasional. Dan
sektor industri menjadi pengerak utama perekonomian kota Medan. Kondisi ini yang menjadikan
produktifitas di kota Medan jauh lebih tinggi dari pada desa-desa dan kota-kota kecil yang ada di
Sumatera Utara khususnya. Arus modernisasi serta pertumbuhan ekonomi yang didorongan dengan
industrialisasi menjadikan kota Medan sebagai kota metropolitan dan mejadikannya sebagai kota
tujuan dari perantau dari seluruh wilayah Indonesia, khususnya bagi perantau etnis Minangkabau.

Perkembangan penduduk etnis Minangkabau di kota Medan
Tahun

Total penduduk kota

Etnis Minangkabau


Persentase

Medan
1980

1.378.955

96.802

7.02%

2000

1.905.587

144.252

7.57%

2010


2 097 610

181.403

8.64%

Sumber: Wikipedia;dan BPS Sumatera Utara

Menurut Naim, masyarakat etnis Minangkabau di kota Medan pada umumnya menempati
strata ekonomi bagian bawah agak ke atas (upper lower) dan menengah, dan hanya sebagian kecil
yang menempati di lapisan atas (Naim, 2013: 107). Orang Minangkabau yang menempati strata
ekonomi lapisan atas pada umumnya bermukim di daerah sekitar pusat kota, dan kompleks
perumahan. Dan mereka mayoritas bekerja pada sektor formal, seperti anggota DPRD, dosen,
kedokteran, dan pejabat vital di instasi pemerintah maupun swasta. Pada sektor informalnya,
banyak dari mereka bermatapencarian sebagai pedagang di pusat pasar dan pajak ikan. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

perantau Minangkabau yang menempati kelas menengah banyak bermukim di daerah pinggiran

kota Medan yang memiliki aktivitas ekonomi yang intensif dan produktif, seperti di kecamatan
Medan Area, Kampung Lalang, dan Medan Maimun. Dan mayoritas dari mereka bekerja pada sektor
informal yang bergantung pada keterampilan menjahit, memasak, dan berdagang. Dan peratau etnis
Minangkabau menempati strata ekonomi upper lower banyak bermukim di daerah jalan Bromo,
kecamatan Medan Tembung dan sebagian di kampung Aur. Dan mayoritas bekerja pada sektor
informal yang produktivitasnya rendah dan sebagai buruh, seperti penarik becak bermotor, buruh
pabrik, buruh di pasar dan pedagang kaki lima. Keterampilan yang tidak memadai serta pendidikan
yang rendah, yang menjadikan beberapa dari perantau Minang bekerja pada sektor informal yang
produkifitasnya rendah dan sebagai buruh kasar, sehingga mereka hanya mendapatkan pendapatan
yang rendah dan menjadikan mereka kesulitan dalam beradaptasi dan termarginalkan.
Mengacu pada pada penelitian Naim (2013: 107) yang menempatkan mayoritas etnis
Minangkabau pada strata ekonomi upper lower dan menengah, hal ini mengindikasikan lemahnya
adaptasi perantau Minangkabau dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang terjadi di
kota Medan. Naim menemukan bahwa kecenderungan orang Minangkabau memilih berusaha di
dunia perdagangan di karenakan prinsip mereka pada kebebasan pribadi dan bergantung pada diri
sendiri. Kesukaran mereka dalam menemukan dan mempercayai partner dagangnya berdampak
pada sulitnya bagi mereka ke luar dari tingkat perdagangan kecil, (Naim, 2013: 172). Oleh sebab itu,
sebagian besar etnis Minangkabau di kota Medan yang bekerja di sektor Informal yang
produktivitasnya rendah hingga menengah, seperti penjahit, usaha rumah makan, pedagang kaki
lima, usaha konveksi jenis tekstil dan lain-lain. Berbeda dengan etnis Minangkabau, etnis Cina di kota

Medan dapat berkembang jauh lebih baik dari etnis Minangkabau, meskipun mereka juga
mempunyai kecenderungan yang sama seperti etnis Minangkabau dalam sektor Informal, namun
mereka cukup berhasil dalam menguasai sektor informal yang memiliki produktifitas yang tinggi
seperti, usaha suku cadang kendaraan, grosir bahan jenis tekstil, usaha sembako, dan perbengkelan.
Lubis (1999) dalam penelitiannya yang berjudul komunikasi antar budaya; studi kasus etnik Batak

Universitas Sumatera Utara

Toba & etnik Cina, mengungkapkan bahwa keberhasilan entik Cina di kota Medan salah satunya
adalah karena mereka memelihara keseimbangan dengan sesama etniknya dengan membentuk
perkumpulan kekerabatan dan ikatan pedagang. Dan meskipun etnis Cina cenderung membentuk
pemukiman yang ekslusif dan segregatip (menyendiri dan terpisah), mereka mampu membangun
komunikasi terbuka yang dengan etnik lain dalam hal perdagangan sehingga mereka mampu
mengembangkan usaha dagangnya.
Meskipun etnis Cina dan etnis Minangkabau memiliki kecenderungan yang sama dalam
berusaha di bidang perdagangan, akan tetapi mereka memiliki prisnsip dan sudut pandang yang
berbeda dalam perdagangan. Seakan menyadari kelemahan mereka (etnis Minangkabau), orang
Minangkabau di kota Medan mulai membentuk berbagai bentuk perkumpulan guna membangun
solidaritas yang diharapkan dapat berimplikasi pada hirarki dan kesejahteraan hidup mereka di kota
Medan, dan salah satu contohnya dengan membentuk kelompok arisan.


Pembentukan kelompok sosial seperti arisan, merupakan salah satu langkah untuk
menciptakan kekuatan ekonomi yang berbasis masyarakat. Muller (dalam Soetomo, 2008: 259)
mengungkapkan, bahwa masyarakat mempunyai kapasitas paling tidak secara embrional untuk
mengelola masalah sosial, memenuhi berbagai kebutuhannya dengan memanfaatkan sumber daya
yang tersedia dan menciptakan atau memanfaatkan peluang yang terbuka. Kesemua itu berdampak
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berakar dari kehidupan masyarakat yang tertata
dalam suatu sistem yang di dalamnya terkandung beberapa komponen: (1) struktur kebudayaan
yang berupa kebudayaan materiil maupun nonmateriil sperti nilai, agama, tradisi, kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi. (2) struktur sosial yang mengandung lapisan dan golongan (menurut etnik,
ras, agama, kelamin, daerah), satuan-satuan sosial, bentuk-bentuk organisasi, pembagian kerja. (3)
institusi-institusi yang berupa aturan, sanksi, lambang, ritual. (4) struktur mentalitas yang berupa
sikap, pola, perilaku, peranan sosial. Badaruddin (2005: 49) mengamati pembentukan kelompok

Universitas Sumatera Utara

arisan sebagai suatu jaringan sosial ekonomi, merupakan asosiasi yang tumbuh dari individu-individu
dalam komunitas untuk menghadapi persoalan ekonomi mereka, memerlukan adanya saling percaya
di antara sesama anggotanya, melahirkan norma-norma yang disepakati dan dipatuhi bersama.
Potensi modal sosial seperti itu (yang sudah mulai tererosi), sudah selayaknya untuk dikembangkan

dan dikreasikan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Modal sosial lebih menekankan pada potensi dari interaksi sosial dan kearifan masyarakat
yang ada sehingga hal ini sangat bermanfaat sebagai upaya penanganan masalah sosial yang ada
didalam masyarakat. Soetomo (2008: 269) berpendapat bahwa, dalam realitas kehidupan,
pemanfaatan modal sosial guna penanganan masalah sosial oleh masyarakat dapat dilihat dari
beberapa bentuk. Diantaranya yang banyak dijumpai adalah dalam bentuk tindakan bersama untuk
meningkatkan kualitas hidup, pemberian jaminan sosial kepada warga masyarakat dan
meminimalisir serta penyelesaian konflik sosial.
Selain itu, didalam kelompok arisan lebih mengedepankan pada prinsip gotong royong dan
kekeluargaan. Sebagai mana kita ketahui bahwa sistem gotong royong adalah sistem yang telah
dianut oleh masayarakat Indonesia sejak lama, dan hal itu sudah menjadi ciri kebudayaan bangsa
Indonesia. Namun, dalam perkembangannya kelompok arisan mengalami transformasi karena
dipengaruhi oleh modernisasi dan westernisasi, sehingga pembentukan kelompok arisan didasari
oleh kepentingan materialisme dan konsumerisme oleh pihak tertentu. Oleh karena itu, perlu kita
mengembangkan kelompok arisan yang berlandasakan pada prinsip gotong royong agar kita dapat
mempertahankan kearifan lokal masyarakat Indonesia dan sekaligus dapat memanfaatkannya
sebagai metode untuk menekan kemiskinan di Indonesia khususnya di kota Medan.
Kelompok arisan yang syarat akan modal sosial merupakan salah satu cara yang efektif untuk
menciptakan integrasi antar masyarakat dalam membangun dan menciptakan ekonomi yang mandiri
dalam masyarakat, khususnya bagi perantau Minang di kota Medan yang mayoritas berkerja pada

sektor informal. Pekerjaan pada sektor informal rentan terhadap kemiskinan, hal ini disebabkan

Universitas Sumatera Utara

lemahnya perlindungan hukum pada sektor informal, modal yang dimiliki terbatas, serta sistem dan
teknologi yang digunakan masih sederhana. Dengan kelompok arisan akan terbentuk solidaritas
antar perantau Minang yang ada di kota Medan, baik itu perantau Minang yang menempati strata
ekonomi atas, menengah hingga upper lower. Sehingga langkah tersebut diharapkan dapat
meningkatkan prestise perantau etnis Minangkabau yang ada di kota Medan dan dapat berpengaruh
terhadap peningkatan kesejahteraan perantau Minang yang ada di Medan.
Berdasarkan tulisan diatas, penulis tertarik untuk meneliti kondisi sosial dari perantau
Minangkabau yang ada di kota Medan, khusunya yang sudah menetap di kota Medan selama 5
tahun atau lebih. Dalam hal ini peneliti ingin melihat bagaimana pemanfaatan kelompok arisan
sebagai strategi adapatsi perantau Minangkabau yang ada di Medan dalam aspek ekonomi dan
sosialnya dan bagaimana interaksi dan relasi yang dibangun oleh antar perantau Minangkabau
dalam kelompok arisan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas maka yang menjadi perumusan masalah
penelitian ini adalah :

1. Bagaimana strategi adaptasi ekonomi dan sosial masyarakat Minangkabau di kota Medan pada
fase awal merantau?
2. Hal-hal apa saja yang direvitalisasi dalam kelompok arisan Minangkabau?
3. Bagaimana implikasinya terhadap peningkatan ekonomi dan kondisi sosialnya?

Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan modal
sosial dan proses interaksi yang terbentuk di dalam kelompok arisan masyarakat Minagkabau
sehingga dapat mendukung perantau Minangkabau dalam beradapatasi di kota Medan dalam aspek
ekonomi dan sosialnya. Sehingga di harapakan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan
etnis Minangkabau di kota Medan.

1.4

Manfaat Peneltian

1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memberikan informasi dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi peneliti lain khususnya peneliti dalam bidang sosiologi ekonomi yang
berfokus pada pembentukan modal sosial yang didalam masyarakat sebagai upaya pada masalah
kemiskinan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapa memberikan kontribusi pada sosiologi
kependudukan terkait pola penyebaran penduduk dari masyarakat Minangkabau yang ada dikota
Medan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak pemerintah dan
akademisi sebagai model dalam pemberdayaan kelompok sosial yang ada didalam masyarakat.
Selain itu penelitian ini secara khusus diharapkan dapat bermanfaat bagi perantau untuk dapat lebih
menguatkan modal sosial dan jaringan sebagai langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
dan mobititas sosialnya.

Universitas Sumatera Utara

1.5

Tinjauan Pustaka

1.5.1

Adaptasi Perantau Minangkabau
Migrasi penduduk berkontribusi dalam perkembangan pembangunan dan perekonomian

Nasional, serta sebagai metode yang efektif dalam penyebaran dan memperkenalkan ragam
kebudayaan suku-suku dan etnis yang ada di Indonesia. Masyarakat etnis Minangkabau merupakan
salah satu etnis di Indonesia yang memiliki kecendenrungan yang besar dalam bermigrasi, yang
secara khas mereka sebut “merantau”. Naim (2013: 3) menetapkan terdapat enam unsur pokok
mengenai konsep merantau dalam kajian sosiologi, adalah sebagai berikut:
1. Meninggalkan kampung halaman.
2. Dengan kemauan sendiri.
3. Untuk jangka waktu lama atau tidak.
4. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman.
5. Biasanya dengan maksud kembali pulang.
6. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Dari berbagai kajian empirik, mengungkapkan bahwa tradisi merantau dalam masyarakat
didasari oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam hal sumber mata pencarian pada daerah asalnya. Perihal ini terkait dengan
kondisi pembangunan sangat berpengaruh besar terhadap produktivitas masyarakat. Hal ini
karena pembangunan sebagai penunjang kelancaran aktivitas dari masyarakat, baik itu dalam
aspek ekonomi dan sosialnya. Kondisi pembangunan yang rendah akan berpengaruh terhadap
rendahnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu peningkatan jumlah angkatan kerja
yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di daerah asalanya m
enjadikan sebagian masyarakat merantau ke kota-kota besar. Kondisi ini pada umumnya dialami
di daerah pedesaan yang memiliki akses yang jauh dan sulit untuk ke kota besar. Kartasasmita
(1995: 391) mengungkapkan, daerah pedesaan umumnya memiliki kondisi yang kurang

Universitas Sumatera Utara

menguntungkan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Keterbatasan inilah, yakni dalam hal
penyediaan lapangan pekerjaan, lahan usaha, serta saran dan prasarana pelayanan dasar di
pedesaan, yang mendorong terjadinya migrasi ke kota besar.
2. Involusi pertanian di daerah pedesaan. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat dan kurang terkontrol mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk di pedesaan.
Akibatnya, terjadi penyempitan lahan pertanian yang disebabkan oleh budaya pembagian lahan
pertanian oleh masyarakat dan juga pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan
pemukiman penduduk. Dengan begitu, pendapatan dari hasil pertanian semakin menurun
sehingga mendorong sebagian dari masyarakat desa malakukan urbanisasi untuk bekerja di
perkotaan dan hanya menyisakan masyarakat generasi tua di pedesaan.
3. Kualitas pendidikan yang rendah. Selain faktor ekonomi, kualitas pendidikan juga menjadi salah
satu faktor yang mendorong masyarakat untuk berpindah ke kota. Pendidikan Indonesia banyak
mengalami ketimpangan, khususnya antara desa dan kota. Pemenuhan fasilitas pendidikan
seperti kualitas bangunan sekolah, sarana pendidikan, dan tenaga pengajar, jauh lebih baik di
kota dari pada di desa. Pemerintah banyak berfokus pada kualitas pendidikan di kota dan
terkesan mengabaikan kualitas pendidikan yang ada di desa. Kondisi tersebut yang menjadi
salah satu pendorong berpindahnya masyarakat ke kota khususnya ke kota besar.
4. Budaya merantau yang ada didalam masyarakat. Budaya merupakan norma dan nilai yang
ditetapkan secara konsensus di dalam masyarakat yang memberikan pengaruh individu dalam
bertindak dan berprilaku dalam masyarakat. Dalam konteks migrasi, budaya memiliki peran
dalam membagun dan menciptakan persepsi mengenai wilayah di luar tepat asalnya. Pelly
(1998: 293) mengungkapkan bawah, merantau adalah suatu pranata budaya, yang melibatkan
keseluruhan kehidupan manusia, tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah tindakan yang sarat
dengan motivasi ekonomi. Oleh karena itu, faktor-faktor budaya seperti nilai yang terkait dalam
hubungan antara alam kampung halaman (home land) dan alam rantau (migratory area) banyak
berpengaruh dalam membentuk tindakan seseorang untuk pergi merantau atau kembali

Universitas Sumatera Utara

ketempat kelahirannya, memboyong atau tidak hasil usahanya di rantau ke kampung
halamannya. Selain itu, Kato (2005: 113) mengungkapkan, kecendrungan laki-laki Minangkabau
untuk pergi merantau, dalam arti meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan,
ilmu pengetahuan, dan kemahsyuran, mulai diperhatikan pada permulaan abad ke-20.
Lekkerkerker, dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1916, mencoba menjelaskan apa yang
menyebabkan gejala ini. Di berpendapat bahwa “penyakit merantau” berhubungan erat dengan
kedudukan laki-laki dalam masyarakat Minangkabau. Ia melihat bahwa merantau adalah sebuah
cara bagi kaum laki-laki Minangkabau untuk melarikan diri dari “matriarchy” (kekuasaan kaum
wanita). Secara sadar atau tidak, seorang lelaki Minangkabau selalu berusaha mencari sebuah
tempat dimana dia dapat menemui ‘kebebasannya’ dan ‘kepribadiannya’.
Budaya merantau bagi masyarakat etnis Minangkabau memiliki makna yang penting bagi
perkembangan “alam Minangkabau”. Sebab, masyarakat etnis Minangkabau yang merantau tidak
hanya berorientasi pada kesejahteraan hidup dan peningkatan mobilitas sosialnya, akan tetapi juga
sebagai agen perubahan bagi kampung halamannya. Pelly (1998: 10) mengungkapkan perubahan
yang dilakukan oleh perantau etnis Minangkabau dengan membawa harta dan pengetahuan yang
dibawa ke kampung halamannya. Mereka menggunakan harta itu untuk membangun atau
memperbaiki rumah-rumah para saudara perempuan atau isteri-isteri mereka atau guna
membelikan mereka tanah. Mereka juga mengajarkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru untuk
mengubah dan memajukan negeri dan adat matrilinial mereka. Bahkan diperkenalkannya
pengetahuan-pengetahuan baru telah membawa perubahan-perubahan dalam “Dunia” mereka, dan
perubahan-perubahan ini dibawa kembali ke daerah rantau sebagai pedoman bagi para perantau
Minang di sana. Berikut siklus merantau etnis Minangkabau pada Gambar 1.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Sisklus Migrasi Minangkabau.

Sumber:

Misi Budaya dan Perubahan Budaya

Pelly,

(Alam Minagkabau)

(Alam Rantau)

1998: 11.

.
Penyeba
ran
Kesejahteraan, Pengetahuan, dan Prestise

pendud
uk etnis
Minangk
abau di Indonesia bagian barat sebagian besar didasari pada aspek ekonomi, oleh sebab itu
masyarakat Etnis Minangkabau banyak tersebar di wilayah Indonesia, khususnya kota-kota besar di
Indonesia bagian barat, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Pekanbaru, dan kota-kota besar
lainnya yang memiliki memiliki tingkat pembangunan dan perekonomian yang baik. Berdasarkan
perkembangan pola merantau etnis Minangkabau, Kato (2005: 13-14) membedakan tiga jenis cara
merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau, yaitu:
1. Merantau untuk pemekaran nagari, yang terjadi pada awal abad ke-19. Merantau untuk
pemekaran nagari merupakan mobilitas geografis untuk membuka perkampungan baru.
Biasanya alasan yang paling utama adalah kurangnya tanah untuk digarap dan jumlah penduduk
yang semakin meningkat. Pekerjaan ditempat yang baru pun masih ada hubungannya dengan
pertanian.perpindahan dimaksudkan untuk tinggal menetap di tempat yang baru. Hubungan
antara tempat yang lama dan yang baru kadang-kadang dipertahankan.
2. Merantau keliling, ini terjadi pada akhir abad ke-19. Merantau keliling dilakukan oleh lelaki, baik
yang sudah menikah maupun yang bujangan. Selain terbatasnya lahan pertanian (yang disebut

Universitas Sumatera Utara

faktor pendorong), mobilitas mereka dipengaruhi oleh adanya kesempatan-kesempatan di
tempat lain (faktor penarik) dan juga oleh hasrat pribadi. Pekerjaan yang dicari bukan alam
bidang pertanian; mereka adalah saudagar, pegawai kantor, guru dan pengrajin. Hubungan
dengan kampung asalnya tetap dijaga. Jenis mobilitas ini tidak permanen; perantauan jenis ini
membentuk sebuah pola melingkar antara daerah rantau dengan kampung halamannya.
3. Merantau Cino, ini di mulai dari tahun 1950-an samapai sekarang. Merantau Cino memiliki
tekanan pada mobilitas geografis oleh keluarga-keluarga inti, baik yang sudah terbentuk atau
yang akan dibentuk. Perpindahan ini menuju ke tempat-tempat yang jauh dan ke kota-kota
besar, seperti Jakarta. Faktor penarik dan faktor pendorong adalah unsur penting dalam dalam
merantau Cino, sebagaimana halnya dalam merantau keliling. Rantai sirkulasi bolak-balik antara
kampung halaman dan kota yang dituju perantau rapuh atau putus sama sekali. Mereka jarang
pulang kampung untuk berkunjung. Mobilitas ini bersifat setengah permanen, ini bukan
diniatkan, melainkan akibat dari perantauan itu sendiri.

Pelly menjelaskan bahwa, dalam budaya merantau etnis Minangkabau, mereka
mempertahankan hubungan antara “alam Minangkabau” dengan daerah rantau yang merupakan
suatu proses guna menegaskan identitas Minangkabau mereka baik di kampung halaman maupun di
daerah rantau, (1998: 11). Pernyataan Pelly tersebut didukung dengan ditemukannya bangunanbangunan yang berciri khas etnis Minangkabau serta upacara-upacara adat etnis Minangkabau yang
tersebar di beberapa wilayah Indonesia di luar provinsi Sumatera Barat sebagai bukti bahwa budaya
etnis Minangkabau juga berkembang di luar tanah adatnya.
Dalam beradaptasi, para perantau Minang yang baru biasanya dapat menumpangkan dirinya
kepada kerabatnya yang telah lebih dulu maju di pasar-pasar atau ditoko-toko, dan kemudian akan
melepaskan diri segera setelah mereka sanggup berusaha sendiri, (Naim, 2013: 109). Dan usaha
yang cenderung di pilih oleh masyarakat etnis Minangkabau adalah usaha di sektor informal seperti

Universitas Sumatera Utara

berdagang, penjahit dan usaha rumah makan. Pelly (1994: 150) mengungkapakan, banyak orang
Minangkabau berkosentrasi pada pekerjaan-pekerjaan ekonomi pasar misalnya berjualan tekstil,
membuat sepatu, dan menjahit. Pekerjaan-pekerjaan ini cocok dengan tradisi migrasi sirkular
mereka dan memiliki tiga ciri penting: 1) pekerjaan-pekerjaan tersebut bersifat mobil; 2) tidak
memerlukan modal besar; dan 3) mudah dibawa pindah atau ditutup untuk sementara ketika
mereka harus pulang menengok kampung halaman.
Naim mengungkapkan beberapa tipe pekerjaan masyarakat etnis Minang pada umumnya:
1. Tipe pertama, pedagang. Baik Usman Pelly dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi
Budaya Minangkabau dan Mandailing maupun Naim dalam Merantau; Pola Migrasi Suku
Minangkabau, keduanya sama-sama sepakat bahwa usaha pedagangan merupakan usaha yang
paling banyak dipilih masyarakat Minangbau.

Kebanyakan orang Minangkabau di rantau

berusaha di dunia perdagangan dikarenakan dengan menjadi pedagang mereka dapat
menyalurkan bakat alamiah mereka dan menjadi tuan atas diri sendiri. Bila mereka harus pergi ,
mereka berangkat dengan keinginan untk memperluas perdagangan yang telah mereka miliki
dikampung untuk memindahkan kantor pusat perdagangan mereka ke Jakarta atau Surabaya.
Cukup banyak contoh keberhasilan mereka yang tampak melalui sejumlah usaha yang telah
mereka bina di kota-kota tersebut di atas. Walaupun demikian, jumlah tersebut masih saja
teralu kecil kalau dibandingkan dengan jumlah totla populasi kelompok etnis mereka, (Naim,
2013: 172-173).
2. Tipe kedua, pegawai di instasi pemerintah maupun swasta. Pelajar-pelajar Minagkabau pada
umumnya cenderung untuk menyenangi bidang satra dan sosial daripada disiplin ilmu eksakta
dan teknologi. Dengan demikian, hasrat untuk menjadi pegawai merupakan dorongan yang kuat
dalam diri mereka. Ini juga terbukti dalam jawaban kuesioner yang diajukan Rektor Universitas
Andalas Padang kepada para mahasiswa tingkat pertama tahun 1970 mengenai profesi apa

Universitas Sumatera Utara

yang disenangi setelah mereka meneyelesaikan kuliah. Rata-rata meneunjukkan preferensi yang
tinggi untuk menjadi pegawai (lebih 80%), (Naim, 2013: 175).
3. Tipe ketiga, tenaga profesional. Selama priode kolonial, sangat jarang orang Minangkabau yang
memasuki birikrasi, tetapi setelah kemerdekaan, banyak dari mereka yang berpendidikan Islam
menjadi pegawai kantor urusan agama (KUA). Sejak 1970 banyak pemuda Minangkabau telah
memilih karir sebagai dosen, dokter, notaris publik, dan wartawan, jadi bukan sebagai
usahawan atau pedagang. Mereka mengetahui bahwa situasi perdagangan besar itu sulit untuk
orang Minangkabau dan mereka melihat masih ada peluang-peluang lain diluar dunia
perdagangan. Akhirnya perdagangan pasar telah menjadi lapangan pekerjaan untuk mereka
yang kurang terdidik atau drop out. Kareana sebagian besar orang Minagkabau yang cakap
menghindari dunia perdagangan maka terjadilah dampak jangka panjang yang negatif terhadap
dominasi orang Minangkabau atas perdagangan di kota, (Pelly, 1998: 158-159).
4. Tipe keempat, tenaga pendidik. Sebagian besar dari mereka yang telah menyelesaikan sekolah
Normal tersebut dikirim ke sekolah-sekolah di berbagai daerah yang terpencar di seluruh
Indonesia dan sekaligus menjadikan mereka kelas peantau elite. Tatkala cita-cita kaum pembaru
sedang berkembang dalam tahun-tahun 20-an dan 30-an di Indonesia, sesungguhnya
merekalah yang menggerakkannya dan mereka yang menuangkannya di sekolah-sekolah serta
organisasi yang mereka dirikan diberbagai tempat, (Naim, 2013: 177).

Mengacu pada tipe-tipe pekerjaan masyarakat etnis Minang diatas, kita menemukan
beberapa kesimpulan, pertama, meskipun usaha perdagangan merupakan usaha yang mayoritas
digeluti oleh masyarakat Minangkabau namun hanya sedikit sekali dari mereka yang sukses dalam
bidang tersebut. Kedua, salah satu faktor merosotnya usaha perdagangan pada etnis Minangkabau
dikarenakan orang Minangkabau yang terdidik sebagian besar bekarja sebagai pegawai dan tenaga
profesional, sehingga pada usaha pedagangan banyak digeluti oleh mereka yang pendidikannya
rendah.

Universitas Sumatera Utara

1.5.2

Modal Sosial dalam Pembangunan
Fukuyama secara sederhana mendefenisikan modal sosial adalah sebagai serangkaian nilai

dan norma Informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka (dalam Soetomo, 2010: 86). Dan Putnam
(dalam Garnasih, 2011: 36) berpendapat bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan
masyarakat madani (civic community). Sebab, modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek
utama organisasi sosial yang dapat meningkatkan efesiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas
tindakan yang terkoordinasi. Dan aspek utama itu adalah sebagai berikut:
7.

Trust (kepercayaan). Fukuyama menyakini bahwa kepercayaan adalah by product yang sangat
penting dari norma-norma sosial koperatif yang memunculkan modal sosial. Jika masyarakat
bisa diandalkan untuk tetap menjaga komitmen, mengembangkan norma-norma saling
menolong yang terhormat, dan menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok
akan terbentuk secara lebih cepat, dan kelompok yang terbentuk itu mampu mencapai tujuantujuan bersama secara lebih efesien, (dalam Soetomo, 2010: 87) .

8.

Norms (norma-norma). Norma merupakan bentuk pengendalian hubungan atara manusia di
dalam masyarakat yang terbentuk atas empat aspek; pertama, cara (usage). Lebih menekankan
pada penilaian sikap antar individu atau kelompok dalam berhubungan. Dan cara (usage)
sifatnya tidaklah tetap dan dapat berubah. Kedua, kebiasaan (folkways). Perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai
perbuatan tersebut. Ketiga, tata kelakuan (mores). Suatu perbuatan yang sifatnya memaksa
anggota masyarakat untuk menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan yang di tetapkan.
Keempat, adat istiadat (costum). Tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat
dengan pola-pola perilaku masyarakat, (Soekanto: 2009: 174). Peran norma dalam
pembentukan modal sosial adalah sebagai alat kontrol masyarakat yang sekaligus dapat
mendorong masyarakat untuk membangun keberaturan dalam sistem sosialnya, sehingga akan
menciptakan integrasi yang sifatnya terus-menerus.

Universitas Sumatera Utara

9.

Networks (jaringan-jaringan). Parsons mendefenisikan jaringan sosial merupakan suatu jaringan
tipe khusus, dimana “ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titk lain dalam jaringan adalah
hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang
menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia, (dalam Agusyanto, 2007: 13).
Terbentuknya sebuah jaringan sosial merupakan tahap penting dalam menciptakan tindakan
kolektifitas dalam masyarakat, sehingga tindakan kolektifitas tersebut dapat diarahkan kepada
usaha peningkatan kesejahteraan bersama dan pemecahan masalah sosial. Kualitas dan
kuantitas jaringan sosial akan turut mempengaruhi pada efensisensi modal sosial.

Uphoff (dalam Soetomo, 2008: 268) berpendapat, modal sosial dapat dibedakan dalam dua
kategori; fenomena kognitif dan struktural. Dalam fenomena kognitif, modal sosial tumbuh dari
proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya termasuk nilai dan norma. Pada
tingkat yang lebih abstrak perwujudannya dapat berbentuk gagasan (ideas). Apabila gagasan
tersebut diterima oleh kalangan luas masyarakat, misalnya karena disadari manfaatnya, maka akan
menjadi acuan dalam pola berfikir dan pola tindakan masyarakatnya termasuk dalam merespon
masalah sosial. Bentuk modal sosial ini dapat menjadi pendorong tindakan bersama dan kepedulian
sosial bagi sesama warga masyarakat. Dimensi struktural. Fenomena modal sosial terkait dengan
organisasi sosial dan institusi sosial yang didalamnya terkandung peranan, aturan dan prosedur yang
dapat membentuk jaringan yang luas dalam mendorong kerja sama. Dalam banyak hal modal sosial
yang berbentuk fenomena struktural ini dapat berfungsi memfasilitasi ideas dan ideal agar dapat
teraktualisasi melalui berbagai bentuk tindakan bersama warga masyarakat.

Aiyar (dalam Adi, 2008: 308) mengemukakan tiga macam bentuk modal sosial, yaitu:
1. Bording capital yang merupakan modal sosial yang mengikat anggota masyarakat dalam satu
kelompok tertentu. Modal sosial bentuk ini di contohkan seperti kolektifitas antar individu di

Universitas Sumatera Utara

dalam melakukan kegiatan kelompok. Modal sosial ini menjadi sangat penting untuk
ditumbuhkan dan dikembangkan dalam masyarakat, sebab kekuatan ekonomi nasional sangat
bergantung pada produktivitas masyarakatnya. Dengan modal sosial, potensi-potensi yang ada
di dalam masyarakat akan dikelola secara kolektif sehingga dapat menciptakan masyarakat yang
mandiri secara ekonomi.
2. Bridging capital yang merupakan salah satu bentuk modal sosial yang menghubungkan warga
masyarakat dari kelompok sosial yang berbeda. Modal sosial ini terdapat pada kelmpokkelompok yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, seperti LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat). Bentuk modal sosial ini sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat, hal ini
karena minimnya dukungan pemerintah dan keterbatasan finansial. Selain itu, adanya indikasi
politik dalam kelompok pemerdayaan, membuat simpati dan kepercayaan masyarakat akan
kelompok pemberdaayaan tersebut menurun. Untuk itu pemerintah yang memilki kewenangan
yang tinggi diharapkan bisa menumbuhkan kembali bentuk modal sosial Bridging capital di
dalam masyarakat agar terwujudnya pembangunan yang bersifat merakyat.
3. Linking capital yang merupakan suatu ikatan antar kelompok warga masyarakat yang lemah dan
kurang berdaya, dengan kelompok warga masyarakat yang lebih berdaya (powerful people),
misalnya bank, polisi, dinas pertanian, dan sebagainya. Khusus di Indonesia modal sosial ini
hampir sedikit kita jumpai, terlebih lagi pada instasi pemerintahan. Marjinalisasi kaum miskin
tak hanya dilakukan oleh masyarakat kelas atas namun juga oleh instasi pemerintahan. Sulitnya
akses masyarakat kelas bawah ke pemerintahan adalah salah satu bentuk marginalisasi yang
dilakukan

oleh

instasi

pemerintahan

kepada

masyarakat

kelas

bawah,

akibatnya

berkembangnya sinisme didalam masyarakat khusunya masyarakat kelas bawah kepada
pemerintahan. Dalam kasus ini perlu adanya pembenahan sistem didalam pemerintahan yang
dapat bersinergi dan berintegrasi dengan masyarakat kelas bawah.

Universitas Sumatera Utara

Dalam perspektif pembangunan, mengembangkan dan meperkuat modal sosial di dalam
masyarakat berdampak pada peningkatan proses pembangunan dan dapat meminimalisir tingkat
kemiskinan dalam masyarakat. Soetomo (2010: 89) menemukan bahwa dewasa ini orang tidak lagi
melihat modal hanya dari segi modal finansial dan modal fisik saja, melainkan juga human capital.
Berdasarkan pendapat Coleman, human capital tidak terbatas berasal dari pengetahuan dan
keterampilan, melainkan juga berasal dari kemampuan untuk bekerja sama guna mencapai tujuan
bersama yang kemudian disebut sebagai modal sosial.sama halnya apabila akan dimanfaatkan untuk
kepentingan tranksaksi ekonomis pada umumnya dan keuntungan ekonomi pada khususnya, jika
mdal sosial ini dimanfaatkan untuk usaha dan tindakan bagi kesejahteraan bersama juga perlu digali,
diidentifikasi dan kemudian dimanfaatkan untuk mendukung berbagai usaha pembangunan untuk
kepentingan warga masyarakat. Dalam hal ini peranan dan kontribusinya juga sejalan dengan bidang
ekonomi yaitu meringankan beban pemerintah dalam usaha mewujudkan kesejahteraan sosial
warganya.
Dalam perkembangannya, modal sosial di indonesia sebagai salah satu metode
pembangunan ekonomi masyarakat merupakan konsep yang baru, ini terlihat dari masih awamnya
program pemerintah yang menggunakan konsep modal sosial, seperti PNPM (program nasional
pemberdayaan masyarakat) mandiri. Akan tetapi, pada dasarnya konsep modal sosial itu sendiri
sudah ada pada masyarakat Indonesia sejak lama, hal ini di tandai dengan berbagai upacara adat di
Indonesia yang terdapat modal sosial didalamnya, seperti upacara merdang merdem pada etnis
Batak Karo, upacara rambu solo di Tana Toraja, tradisi mengangkat rumah di Sulawesi dan tradisi
gotong-royong yang khas dalam masyarakat Indonesia. Modal sosial dan prinsip gotong-royong pada
dasarnya merupakan konsep yang sama, ini karena keduanya sama-sama mengkaji tentang tindakan
kolektif antar individu atau kelompok yang dasari oleh rasa saling percaya dan kesamaan norma dan
nilai untuk mencapai tujuan bersama. Namun, selama ini prinsip gotong royong dimaknai sebagai
suatu kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat dalam satu momentum acara. Padahal bila
prinsip ini dikembangkan secara continue maka akan memberikan manfaat nilai ekonomis kepada

Universitas Sumatera Utara

masyarakat, sehingga dapat berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan
pengembangan prinsip gotong royong tersebut yang membentuk modal sosial. Artinya, potensi
mengembangkan dan memperkuat modal sosial dalam masyarakat Indonesia sangatlah besar, sebab
pada masyarakat Indonesia sedikit-banyaknya sudah memiliki pondasi terbentuknya modal sosial.
Langkah merevitalisasi kembali kegiatan-kegiatan masyarakat indonesia yang beracuan pada
pengembangan modal sosial dalam masyarakat perlu menjadi perhatian, khususnya pemerintah dan
akademisi. Dalam aspek ekonomi, modal sosial menjadi hal penting di samping dengan modal
finansial, sumber daya manusia, dan sumber daya alam. Modal sosial mememiliki fungsi sebagai nilai
ekonomi, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi pertama. Menurut Sumarto (2010: 32) modal sosial berfungsi dalam hal efesiensi sistem
pasar, birokrasi dan negara. Modal sosial yang kuat akan mampu mengurangi biaya transaksi
dalam berbagai tahap proses dan kegiatan ekonomi maupun kebijakan negara. Bila dalam suatu
komunitas masyarakat mempunyai modal sosial yang tinggi maka proses transaksi dan birokrasi
tidak memerlukan tahap-tahap dan prosedur yang rumit dan panjang. Hal ini karena didalam
komunitas tersebut sudah ada kepercayaan dan jalinan ketergantungan yang tinggi sehingga
proses-proses bisnis berjalan atas asas kekeluargaan.
2. Fungsi kedua. Menurut Vina Salviana DS, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan
proyek pembangunan, terutama terlihat dari kemampuan komunitas dalam merajut institusi
atau pranata (crafting institution), (dalam Lendriyono, 2007: 81). Putnam menjelaskan bahwa,
kerjasama mudah terjadi di suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang
substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan antar warga,
(dalam Garnasih, 2011: 36). Institusi yang memiliki modal sosial yang kuat mempunyai kapasitas
untuk membangun kekuatan ekonomi masyarakat dengan potensi yang ada, melalui proses
dinamika interaksi dan jaringan sosialnya, sehingga keterbatasan potensi yang ada di dalam
masyarakat masih bisa di optimalkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salman
(dalam Badaruddin, 2005: 50) mengemukakan bahwa upaya reduksi kemiskinan melalui potensi

Universitas Sumatera Utara

modal sosial dapat dilakukan dengan cara, pertama, upaya reduksi kemiskinan hendaknya
diarahkan pada pencapaian di tingkat rakyat miskin yang tidak hanya bermakna keluarnya
mereka dari situasi kemiskinan secara temporer, melainkan juga bermakna pada penciptaan
kemampuan bagi mereka untuk secara mandiri mengatasi masalah dan keluar dari krisis ketika
terjadi perubahan kondisi yang mengiringnya kembali pada situasi miskin. Kedua, dalam upaya
reduksi kemiskinan, persiapan sosial dan penambahan sumber daya sama pentingnya.

Dalam aspek sosial, fungsi modal sosial untuk menciptakan ikatan yang kuat didalam
masyarakat Indonesia. Dan sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah negara dengan keberagaman
budaya, setiap budaya memiliki ide, nilai, dan norma-norma yang berbeda-beda. Perbedaan latar
belakang budaya tersebut bisa menimbulkan disintergrasi antar kelompok masyarakat yang dapat
memicu timbulnya konflik karena adanya sikap entnosentrisme dalam masyarakat. Kondisi ini
dipahami benar oleh para founding father negara Indonesia dengan merumuskan sila ketiga didalam
pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pada sila ketiga menegaskan “persatuan Indonesia”,
dimaknai agar bangsa Indonesia senantiasa mengaplikasikan prinsip gotong-royong atau modal
sosial dalam hidup bermasyarakat dan bernegara agar terciptanya kerukunan dan solidaritas antar
budaya yang ada di Indonesia.

1.5.3

Pengembangan Masyarakat Dalam Kelompok Arisan
Kelompok arisan merupakan salah satu bentuk kelompok sosial di dalam masyarakat yang

berorientasi pada nilai-nilai ekonomi dan melakukan pertemuan secara berkala.. Terbentuknya
kelompok sosial merupakan manifestasi dari kodrat manusia yang secara individual tidak akan
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari individu lainnya. Bales (dalam
Huraerah, 2006: 3) menjelaskan bahwa kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berinteraksi

Universitas Sumatera Utara

dengan sesamanya secara tatap muka atau serangkaian pertemuan, dimana masing-masing anggota
tersebut saling menerima impresi atau persepsi anggota lain dalam suatu waktu tertentu dan
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kemudian, yang membuat masing-masing anggota bereaksi
sebagai reaksi individual.
Soekanto (2009: 101) mengungkapkan, tidak setiap himpunan manusia dapat dinamakan
kelompok sosial jika telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu, antara lain:
1. Adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan sebagian dari
kelompok yang bersangkutan. Kesadaran individu sebagai bagian dari anggota kelompok
merupakan dasar terpenting untuk membentuk solidaritas dan kolektifitas kelompok, hal ini
dapat ditujukkan dengan penggunaan simbolik kelompoknya dan

ikut dalam kegiatan

kelompok.
2. Ada hubungan timbal-balik antar anggota yang satu dengan anggota lainnya. Kelompok
memiliki sebuah struktur yang terdiri dari beberapa individu yang memiliki peran dan fungsi
yang saling terintegrasi satu dengan yang lain. Intergrasi antar individu ini yang menciptakan
sistem kelompok agar tercapainya tujuan bersama. Oleh karena itu, bila terjadi disintegrasi
pada anggota kelompok maka akan terjadi disfungsi pada kelompok tersebut.
3.

Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat, yang
dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik
yang sama dan lain-lain. Tentu faktor mempunyai musuh bersama misalnya, dapat pula menjadi
fator pengikat/pemersatu.

4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku. Berkaitan pada point kedua, peraturan
dibentuk agar setiap anggota kelompok mengetahui dan menjalankan fungsi dan perannya
sesuai dengan batasan-batasannya dengan tujuan agar terciptanya keteraturan dan
keseimbangan dalam sistem kelompok tersebut. Tujuan dari sebuah kelompok merupakan

Universitas Sumatera Utara

proyeksi dari kesamaan ide, nilai dan norma dari kelompok tersebut. Oleh karena itu, setiap
kelompok memiliki sikap yang berbeda, hal itu berdasarkan dari tujuan kelompok tersebut.
5. Bersistem dan berproses. Sistem yang efektif dan efesien akan berpengaruh pada proses
pencapaian tujuan kelompok yang sesuai dengan yang diharapkan.

Pola interaksi dalam setiap kelompok arisan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, hal
ini didasari pada konstruksi nilai dan norma dalam kelompok tersebut. Seperti contohnya, kelompok
arisan kaum jetset dengan kelompok arisan etnis Minangkabau. Meskipun kedua kelompok sosial
tersebut sama-sama menggunakan konsep “arisan” yaitu melakuan pertemuan secara berkala dan
sama-sama berorientasi pada nilai-nilai ekonomi, akan tetapi konstruksi nilai dan norma dalam
kedua kelompok tersebut sangat berbeda. Pada umumnya individu yang masuk dalam kelompok
arisan kaum jetset adalah untuk menunjukkan kelas sosialnya, sedangkan individu yang ikut dalam
kelompok arisan etnis Minangkabau bertujuan untuk menjalin ikatan yang bersifat primordial yang
cenderung tidak membedakan kelas sosialnya. Terkait dengan pola interaksi dalam kelompok sosial,
Ferdinand Tonnies (dalam Soekanto, 2009: 116-118) membedakan kelompok sosial dalam dua jenis
kelompok, yaitu:
1. Gameinschaft (paguyuban). Paguyuban merupakan bentuk kelompok sosial yang setiap individu
memiliki ikatan batin yang murni, alamiah, dan kekal. Tonnie mengemukakan, bahwa pada
kelompok sosial paguyuban terdapat suatu keinginan bersama (common will), pengertian
(understanding), serta aturan-aturan yang ditetapkan secara kolektif. Dan apabila terjadi
disfungsi dalam kelompok tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dengan melibatkan
semua anggota kelompok. Selain itu, kelompok paguyuban bersifat eksklusif, sehingga hanya
orang tertentu yang bisa masuk kedalam lingkaran kelompok tersebut. pada kelompok
Gameinschaft, Tonnies membagi pada tiga tipe:

Universitas Sumatera Utara

a. Gameinschaft of blood, yaitu kelompok sosial yang terbentuk atas ikatan keturunan.
Contohnya : keluarga.
b. Gameinschaft of place, yaitu kelompok sosial yang terbentuk atas kesamaan asal daerah
kelahiran dan tempat tinggal. Contohnya: kelompok arisan masyarakat minang di kota
Medan.
c. Gameinschaft of mind, yaitu kelompok sosial yang terbentuk atas kesamaan ideologi.
Contohnya: komunitas Indonesia mengajar.

2. Gesellschaft (patembayan). Patembayan merupakan kelompok sosial yang terbentuk karena
adanya kesepakatan dan kepentingan antar individu. Relasi tersebut akan berakhir setelah
tercapainya kesepakatan yang telah ditentukan dan memiliki jangka waktu yang pendek. Sama
seperti pada solidaritas organis Emile Durkheim, kelompok ini membentuk struktur yang terdiri
dari individu yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda.

Salah satu nilai positif dari terbentuknya kelompok arisan adalah penanaman rasa solidaritas
antar anggota melalui tindakan-tindakan kolektif, dan salah satu contoh yang paling umum yaitu di
bentuknya pertemuan secara berkala. Meskipun dalam intensitas waktu yang singkat, namun hal itu
dirasa cukup sebagai dasar untuk memupuk rasa solidaritas antar individu dalam skala kecil, yang
kemudian diharapkan akan terus berkembang seiring dengan semakin luasnya cakupan jaringan
sosial dan semakin kompleksnya struktur kelompok arisan tersebut. Tekait hal tersebut, Emile
Durkheim (dalam Sunarto, 2004:128) membedakan kelompok berdasarkan solidaritasnya dalam dua
bentuk:
1. Solidaritas Mekanik.
Durkheim menempatkan solidaritas ini pada bentuk masyarakat yang masih sederhana, atau
yang disebut segmental. Pada masyarakat ini kita akan menemukan pemukiman masyarakat

Universitas Sumatera Utara

yang terdiri kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa keluarga yang saling tersebar
dan terpisah. Setiap kelompok tersebut mampu memenuhi keperluannya sehari-hari tanpa
memerlukan bantuan dari kelompok lainnya. Dalam masyarakat ini belum mengenal adanya
pembagian kerja. Setiap individu di dalam kelompok tersebut memiliki peran yang sama dalam
kelompok tersebut. Karena setiap individu memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan
segala aktivitas yang ada. Oleh karena itu, tidak ada ketergantungan antara individu satu
dengan yang lain dalam masyarakat ini. Durkheim berpendapat bahwa kelompok masyarakat
tersebut terbentuk atas kesadaran kolektif yang dasari oleh kepercayaan antar individu yang
diikat oleh sesuatu yang Durkheim sebut sebagai hati nurani kolektif (collective conscience),
yaitu suatu kesadaran setiap individu terhadap keseluruhan perasaan dan kepercayaan
kelompok tersebut. Jika terjadi pelanggaran, maka sanksi yang ditetapkan bersifat represif
dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan didalam masyarakat tersebut.
2. Solidaritas organik.
Solidaritas organik merupakan tahapan selanjutnya dari solidaritas mekanik. Pada solidaritas
organik, masyarakat sudah mengenal adanya pembagian kerja, karena anggota masyarakat
tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, sehingga terbentuklah ketergantung
antar anggota masyarakat tersebut. Hal ini serupa dengan organisme biologis, dimana setiap
komponen yang ada dalam struktrur masyarakat memiliki peran dan fungsinya masing-masing
dan saling ketergantungan antar anggota satu dengan lainnya. Oleh karena itu, jika terjadi
disfungsi pada beberapa komponen masyarakat tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan
gangguan pada kelangsungan aktivitas masyarakat. Durkheim menjelaskan bahwa pada
solidaritas organik, an