Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Keluarga Miskin Pasca Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM): (Studi Kasus Terhadap Keluarga Miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan)

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

STRATEGI ADAPTASI SOSIAL EKONOMI KELUARGA MISKIN
PASCA KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM)
(Studi Kasus terhadap Keluarga Miskin di Kelurahan Pulo Brayan Kota,
Kecamatan Medan Barat, Medan)
Hendra Wahyudi
Sismudjito
Abstract: Facing difficulties each and every day, including after the rise of oil price,
unfortunate (poor) community already have their own strategy. The strategy stress on
’what they do have” rather than ’what they don’t have”. The community also has high
fighting spirit, because, by nature, they have to struggle and use everything they have to
survive. The adaptation strategy manifest in different behavior, some of them try to find
part time or extra job, reduce unnecessary expenses, apply subsistence strategy, and build
social network with people around them.
Keywords: poverty, coping strategies, oil price rising
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan masalah sosial
laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah
masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah

kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang
senantiasa relevan untuk dikaji secara terus
menerus. Bukan saja karena masalah kemiskinan
telah ada sejak lama, melainkan pula karena
hingga kini belum bisa dientaskan dan bahkan
kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan
krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh
bangsa Indonesia (Alfian, 2000: 13).
Dengan kekayaan alam yang melimpah
dan potensi pemanfaatan nyaris tanpa batas, tidak
berlebihan kiranya jika mengharapkan penghidupan
yang layak. Sandang, pangan, maupun papan
tersedia dalam jumlah cukup dan harga
terjangkau. Penghasilan pun mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan lainnya.
Namun, Indonesia memang sebuah
negara yang penuh paradoks. Negara ini subur
dan kekayaan alamnya melimpah, namun
sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin.
Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999,

penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar
24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta
orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun
menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada

tahun 2004. Tetapi siapa yang dapat menjamin
bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus
turun? Situasi terbaik terjadi antara tahun 19871996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di
bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada
tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya
mencapai 11,3% (Dikutip dari http://www.
ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm).
Hasil pendataan BPS yang baru-baru ini
dilakukan menunjukkan, penduduk miskin pada
2004 sebanyak 36,1 juta jiwa atau setara dengan
9 juta rumah tangga miskin. BPS memperkirakan
rumah tangga miskin secara nasional tahun 2005
mencapai 15,5 juta jiwa atau sama dengan 62 juta
jiwa penduduk miskin (Dikutip dari http://www.
pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/02/teropong/

0401.htm).
Akar kemiskinan di Indonesia tidak
hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan
seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan
produktifnya secara penuh harus diperhitungkan.
Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara
faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan
pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor
eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan
pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat
miskin juga termasuk faktor eksternal.

Hendra Wahyudi adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USU
Sismudjito adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU Medan

83
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2


Gambar 1.
Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1976 – 2004
Grafik Perkembangan Jmlah Penduduk Miskin di
Indonesia 1976-2004

Jumlah Penduduk

60
50
Kota

40

Desa

30

Indonesia


20
10

20
03

20
01

19
99

19
96

19
90

19
84


19
80

19
76

0

Tahun

Sumber: BPS, 2005

Sementara itu, keterbatasan wawasan,
kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk,
serta rendahnya etos kerja, semuanya merupakan
faktor internal. Faktor-faktor internal dapat
dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal
juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah
pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya

gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya
pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam.
Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah akibat dari
kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga
pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya
pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan
akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja,
dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam
proses saling terkait.
Meskipun masyarakat miskin telah
mendapatkan bantuan program pengentasan
kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang
diharapkan. Masyarakat miskin yang telah
tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap
saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya.
Karena itu, pasti ada yang salah dalam
pelaksanaan program pengentasan kemiskinan
tersebut.
Kehidupan rakyat miskin nampaknya

memang belum akan menjadi lebih mudah.
Harga-harga
kebutuhan
pokok
semakin
membubung tinggi, nyaris tak terjangkau, seiring
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
secara berkala, sementara upaya penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan pemerintah tak
kunjung mampu mengentaskan kemiskinan
secara menyeluruh.

84

Pemerintah bukannya tak menyadari
bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) akan berdampak pada makin sulitnya
rakyat miskin bertahan hidup, namun tetap saja
kebijakan ini harus dilakukan. Alasan utamanya,
harga minyak dunia yang membumbung tinggi

sekitar 64,5 dolar AS per barel menyebabkan
subsidi BBM meningkat drastis. Jika harga BBM
domestik tidak naik, beban anggaran yang harus
ditanggung negara untuk subsidi BBM
diperkirakan mencapai Rp 130-140 triliun.
Selain
itu,
argumentasi
tentang
keniscayaan kenaikan harga BBM yang diajukan
kepada publik pun bertambah dengan besarnya
tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Tekanan
terhadap rupiah itu juga akibat besarnya
permintaan valuta asing oleh Pertamina yang
jumlahnya mencapai sekitar US$1,6 milyar per
bulan, untuk mengimpor BBM yang harganya
disubsidi.
Argumentasi-argumentasi tersebut melengkapi argumentasi yang pernah dikemukakan pada
kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya,
yang berkisar pada beberapa alasan utama.

1) Di balik angka subsidi BBM yang
sedemikian besar, ternyata hanya sebagian
kecil yang tepat sasaran. Selama ini, subsidi
BBM diduga lebih banyak dinikmati
golongan menengah ke atas.
2) Perbedaan signifikan harga BBM domestik
dibanding harga BBM di luar negeri
memotivasi pihak-pihak tertentu untuk
melakukan penyelundupan minyak mentah ke
luar negeri. Bahkan tidak tanggung-tanggung
sejumlah oknum Pertamina tertangkap tangan
terlibat ''bisnis ekspor BBM ilegal''.

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

3) Kenaikan harga BBM tersebut akan memacu
masyarakat bukan saja berhemat di dalam
pemakaian BBM, tetapi juga akan memacu

diversifikasi dan ekstensifikasi pemakaian
energi dalam negeri. Hal itu akan mendorong
ditemukannya penggunaan sumber energi
alternatif non-BBM.
4) Untuk memenuhi asas keadilan, pemberian
subsidi haruslah tepat sasaran, yakni terbatas
hanya pada kalangan yang miskin. Untuk itu,
jenis BBM yang umumnya dikonsumsi
kalangan menengah ke atas dan kalangan
industri, seperti premium dan minyak solar,
tidak seharusnya disubsidi lagi. Hanya jenis
BBM yang umum digunakan rakyat kecil,
seperti minyak tanah, yang masih layak
disubsidi.
Tetapi, sebagaimana pada kebijakan
serupa sebelumnya, kenaikan BBM sebesar ratarata 30 persen pada 1 Oktober 2005 lalu ternyata
lebih banyak menimbulkan dampak negatif
ketimbang mendatangkan manfaat sebagaimana
yang dikemukakan pemerintah. Pemerintah
terbukti tak mampu mengisolasi dampak
kenaikan harga BBM agar tidak berimbas pada
kelompok miskin. Perlu digaris bawahi bahwa
dampak kenaikan BBM tampaknya sangat
“menyakitkan'' bagi kelompok miskin. Sebab
kenaikan harga BBM akan menyebabkan inflasi
pada semua harga output di segenap sektor
ekonomi.
Di samping itu, kenaikan harga tersebut
juga berdampak terhadap penurunan lapangan
kerja karena terjadinya penurunan output pada
sebagian besar sektor ekonomi. Dampak
kenaikan harga BBM berimplikasi memperparah
tingkat pengangguran yang sudah tinggi saat ini.
Ini semakin diperburuk lagi dengan kenyataan
bahwa Indonesia tidak memiliki fasilitas
tunjangan kemiskinan dan pengangguran seperti
yang dimiliki negara-negara maju.
Pemerintah mengatakan bahwa alokasi
subsidi untuk BBM yang dicabut dari kelompok
menengah ke atas akan dialokasikan untuk
subsidi bagi kesehatan dan pendidikan kelompok
miskin. Tapi, keraguan publik tentang retorika
pemerintah tentang subsidi langsung untuk orang
miskin
mendapatkan
pembenaran.
Pasca
kenaikan BBM, publik begitu gencar dijejali
berita kasus busung lapar, orang-orang miskin
yang kesulitan menyekolahkan anaknya, dan
sulitnya mendapatkan akses pengobatan.

Program kompensasi yang dilaksanakan
pemerintah, termasuk penyaluran Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi keluarga miskin
nyata-nyata tak mampu menanggulangi semua
dampak negatif akibat kenaikan BBM.
Pemberian bantuan subsidi langsung ini tidak
akan memecahkan masalah kemiskinan. Subsidi
lebih banyak bersifat membantu sesaat karena
daya beli masyarakat miskin yang sangat lemah.
Bantuan Langsung Tunai atau dana
kompensasi BBM yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat miskin adalah bias
penanggulangan kemiskinan, karena dinilai
hanya akan menciptakan sindrom ketergantungan
bagi masyarakat miskin. Sesungguhnya, BLT
hanya cocok diberikan bagi kelompok
masyarakat yang tidak berdaya (disable group),
misalnya orang cacat dan jompo terlantar.
Menghadapi kesulitan yang bertubi-tubi,
termasuk pasca kenaikan harga BBM,
sesungguhnya masyarakat miskin sudah memiliki
strategi tersendiri. Strategi yang menekankan
pada “apa yang dimiliki” ketimbang “apa yang
tidak dimiliki”. Miskin konotasinya biasanya “tak
punya apa-apa”. Miskin juga berarti tidak mampu
mengimbangi tingkat kebutuhan hidup standar.
Akan tetapi, dalam kemiskinan, biasanya masih
ada semangat untuk hidup.
Semangat juang umumnya cukup tinggi,
karena secara alami, harus mempertahankan diri
untuk hidup. Potensi tersebut bisa berbentuk aset
personal dan sosial, serta berbagai strategi adaptasi
dan penanganan masalah (coping strategies) yang
telah dijalankan secara lokal. Inilah yang hendak
diteliti lebih lanjut di Kelurahan Pulo Brayan
Kota, Kecamatan Medan Barat, Medan. Lokasi
dipilih karena di sana terdapat cukup banyak
keluarga miskin yang tetap dapat bertahan pasca
kenaikan harga BBM karena mampu mengembangkan strategi adaptasi sosial ekonomi tertentu.
Rumusan masalah yang hendak diteliti
adalah:
“Bagaimanakah strategi adaptasi sosial ekonomi
keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan
hidup pasca kenaikan harga BBM?”
PEMBAHASAN
Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 1011) memberikan beberapa batasan pengertian dari
adaptasi sosial, yakni:
1) Proses mengatasi halangan-halangan dari
lingkungan.

85
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk
menyalurkan ketegangan.
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan
dengan situasi yang berubah.
4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang
diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas
untuk kepentingan lingkungan dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya
sebagai hasil seleksi alamiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses
penyesuaian.
Penyesuaian
dari
individu,
kelompok, maupun unit sosial terhadap normanorma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi
yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses penyesuaian
tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa
penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan
tertentu (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya:
a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b. Menyalurkan ketegangan sosial.
c. Mempertahankan kelanggengan kelompok
atau unit sosial.
d. Bertahan hidup.
Proses perubahan dan penciptaan kondisi
pada umumnya sering terjadi di masyarakat
perkotaan. Akses terhadap teknologi (informasi,
telekomunikasi, dan transportasi) memungkinkan
masyarakat perkotaan untuk lebih cepat
mengetahui
serta
menerima
perubahan
dibandingkan kelompok masyarakat lain. Tidak
mengherankan, jika masyarakat perkotaan
cenderung bersifat dinamis, terutama dalam hal
penyesuaian karakteristik kehidupan sosial, yang
meliputi:
a. Perubahan jumlah dan ukuran rumah tangga.
b. Transisi atau peralihan lapangan pekerjaan.
c. Penyesuaian dalam cara-cara pemenuhan
kebutuhan.
d. Perubahan peran serta individu dalam
angkatan kerja.
e. Peningkatan mobilitas penduduk.
Akan tetapi, tidak semua lapisan
masyarakat perkotaan dapat sedemikian mudah
menyesuaikan diri terhadap perubahan, baik itu
perubahan yang bersumber dari faktor internal
maupun eksternal, disengaja ataupun tidak
disengaja. Masyarakat miskin, misalnya,
memiliki keterbatasan dalam mencari dan

86

menerapkan alternatif-alternatif untuk adaptasi
sosial. Akibatnya, masyarakat miskin mungkin
hanya memiliki sedikit sekali prospek kemajuan.
Meski menyadari perlunya diadakan
perubahan atas keadaannya sekarang, masyarakat
miskin kerap mengalami kesulitan untuk
menjajaki kemungkinan-kemungkinan yang
tersedia. Potensi perubahan dengan menggunakan
sumber daya internal sangat minimal, karena
tidak ada surplus yang dapat disisihkan atau
digunakan demi keperluan lain (Baross, 1999: 1).
Dalam menghadapi berbagai kesulitan,
masyarakat miskin tampaknya memiliki dan
mengembangkan strategi tertentu untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apa
yang dalam pandangan pihak luar merupakan
tindak irasional, dalam kenyataannya, mungkin
merupakan satu-satunya pemecahan dari
himpitan kesulitan sosial ekonomi.
Strategi adaptasi dimaksud, oleh Edi
Suharto, seorang pengamat masalah kemiskinan
dari Institut Pertanian Bogor (Suharto, 2002: 1),
disebut juga dengan istilah coping strategies.
Secara umum, coping strategies dapat
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
dalam menerapkan seperangkat cara untuk
mengatasi
berbagai
permasalahan
yang
melingkupi kehidupannya. Dalam konteks
keluarga miskin, strategi penanganan masalah ini
pada dasarnya merupakan kemampuan segenap
anggota keluarga dalam mengelola atau
mengelola berbagai aset yang dimilikinya. Bisa
juga dipersamakan dengan kapabilitas keluarga
miskin dalam menanggapi goncangan dan
tekanan (shock and stress). Beberapa pengamat
masalah sosial mengistilahkannya dengan nama
“aset portfolio management”.
Berdasarkan konsepsi ini, Moser (dalam
Suharto, 2002) membuat kerangka analisis yang
disebut “The Aset Vulnerability Framework”.
Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset
yang dapat digunakan untuk melakukan
penyesuaian atau pengembangan strategi tertentu
dalam mempertahankan kelangsungan hidup
seperti:
1. Aset Tenaga Kerja (Labour Asets)
Misalnya meningkatkan keterlibatan wanita
dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja
membantu ekonomi rumah tangga.
2. Aset Modal Manusia (Human Capital Asets)
Misalnya memanfaatkan status kesehatan
yang dapat menentukan kapasitas orang
untuk bekerja atau keterampilan dan

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

pendidikan yang menentukan umpan balik
atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang
dikeluarkannya.
3. Aset Produktif (Productive Asets)
Contohnya menggunakan rumah, sawah,
ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.
4. Aset Relasi Rumah Tangga atau Keluarga
(Household Relation Asets)
Misalnya memanfaatkan
jaringan
dan
dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok
etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme
“uang kiriman” (remittances).
5. Aset Modal Sosial (Social Capital Asets)
Misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga
sosial lokal, arisan, dan pemberi kredit
informal dalam proses dan sistem
perekonomian keluarga.
Sebagian besar penelitian mengenai
coping strategies menggunakan keluarga atau
rumah tangga sebagai unit analisis, misalnya
penelitian Ellis (1998), Chambers dan Conway
(1992), dan Suharto (2002). Meskipun istilah
keluarga dan rumah tangga sering dipertukarkan,
keduanya memiliki sedikit perbedaan. Keluarga
menunjuk pada hubungan normatif antara orangorang yang memiliki ikatan biologis. Sedangkan
rumah tangga menunjuk pada sekumpulan orang
yang hidup satu atap namun tidak selalu memiliki
hubungan darah. Baik anggota keluarga maupun
rumah tangga umumnya memiliki kesepakatan
untuk menggunakan sumber-sumber yang
dimilikinya secara bersama-sama.
Konsep mata pencaharian (livelihood)
sangat penting dalam memahami coping
strategies karena merupakan bagian dari atau
bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan
strategi mata pencaharian (livelihood strategies).
Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan
(baik yang bersifat tunai maupun barang),
lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak
kepemilikan yang diperlukan guna mendukung
dan menjamin kehidupan.
Suatu kehidupan ditunjang oleh interaksi
antara orang, aset nyata dan aset tidak nyata.
Orang menunjuk pada kemampuan mencari
nafkah (livelihood capabilities), aset nyata
menunjuk pada simpanan (makanan, emas,
tabungan) dan sumber-sumber (tanah, air, sawah,
tanaman, binatang ternak), sedangkan aset tidak
nyata menunjuk pada klaim dan akses yang
merupakan
kesempatan-kesempatan
untuk
menggunakan sumber, simpanan, pelayanan,

informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan,
makanan dan pendapatan.
Pada mulanya, konsep coping strategies
sering dipergunakan untuk menunjukkan strategi
bertahan hidup (survival strategies) keluarga di
pedesaan negara-negara berkembang dalam
menghadapi kondisi kritis, seperti bencana alam,
kekeringan, gagal panen dan sebagainya.
Belakangan ini, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa konsep ini ternyata dipraktikkan juga oleh
keluarga di wilayah perkotaan dan tidak
hanya di negara berkembang, melainkan pula
di negara-negara maju (Suharto, 2002: 1).
Di wilayah perkotaan, keluarga miskin
cenderung menghadapi masalah yang lebih berat
dan kompleks. Di perkotaan, sumber daya alam
umumnya tidak dapat digunakan secara bebas,
sistem kekerabatan lebih lemah, kondisi
lingkungan juga lebih berat dan kerap berbahaya
(polusi, kejahatan). Dalam garis besar, beberapa
bentuk coping strategies keluarga miskin dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
a. Peningkatan Aset
Melibatkan lebih banyak anggota keluarga
untuk bekerja, memulai usaha kecil-kecilan,
memulung barang-barang bekas, menyewakan
kamar, menggadaikan barang, meminjam
uang di bank atau lintah darat.
b. Pengontrolan Konsumsi dan Pengeluaran
Mengurangi jenis dan pola makan, membeli
barang-barang murah, mengurangi pengeluaran
untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi
kunjungan ke desa, memperbaiki rumah atau
alat-alat rumah tangga sendiri.
c. Pengubahan Komposisi Keluarga
Migrasi ke desa atau ke kota lain,
meningkatkan jumlah anggota rumah tangga
untuk memaksimalkan pendapatan, menitipkan anak ke kerabat atau keluarga lain baik
secara temporer maupun permanen.
Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Tim Peneliti Departemen Sosial RI di 17
Propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan
Maluku Utara) menunjukkan bahwa kapabilitas
keluarga miskin dalam menanggapi goncangan
dan tekanan (shock and stress) merupakan aspek
penting dalam menunjukkan keberfungsian

87
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

sosial. Secara konseptual aspek ini juga didasari
teori coping strategies. Dalam penelitian ini,
strategi dimaksud dapat dipilah menjadi dua
yakni strategi yang berkaitan dengan ekonomi
dan non-ekonomi (Tim Peneliti, 2003: 6).
Coping strategies dalam mengatasi
goncangan dan tekanan ekonomi terdapat
berbagai cara yang ditempuh oleh keluarga yang
diteliti. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori, yaitu:
a.Strategi Aktif
Yaitu strategi yang mengoptimalkan segala
potensi keluarga untuk (misalnya melakukan
aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja,
memanfaatkan sumber atau tanaman liar di
lingkungan sekitar dan sebagainya.
b. Strategi Pasif
Yaitu mengurangi pengeluaran keluarga
(misalnya pengeluaran biaya untuk sandang,
pangan, pendidikan, dan sebagainya).
c. Strategi Jaringan
Misalnya menjalin relasi, baik secara informal
maupun formal dengan lingkungan sosialnya
dan lingkungan kelembagaan (misalnya:
meminjam uang tetangga, mengutang ke
warung,
memanfaatkan
program
anti
kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau
bank, dan sebagainya).
Adapun coping strategies dalam mengatasi
goncangan dan tekanan non-ekonomi terdapat
pula cara yang ditempuh oleh kepala keluarga.
Strategi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi
tiga kategori yakni:
a. Strategi Aktif
Yakni melakukan berbagai kegiatan untuk
memperoleh dukungan emosional (misalnya:
lebih giat dalam beribadah, mencari nasihat
orang lain).
b. Strategi Pasif
Yaitu berusaha menghindari risiko yang
diakibatkan oleh goncangan non-ekonomi
(misalnya
mengurangi
biaya
sosial,
kesehatan, pendidikan, dan pasrah kepada
keadaan).
c. Strategi Jaringan
Misalnya menjalin relasi untuk memperoleh
bantuan baik secara informal maupun formal
dari pihak lain (misalnya: teman, tetangga,
sanak keluarga).

88

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang akan dilakukan
adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus (case study) tipe deskriptif. Studi kasus
merupakan suatu pendekatan dalam penelitian
studi kasus yang penelaahannya terhadap satu
kasus dilakukan secara intensif, mendalam,
mendetail, dan komprehensif. Studi kasus bisa
dilaksanakan atas individu atau kelompok
(Sanapiah, 2003: 22).
Adapun studi kasus tipe deskriptif dapat
melacak urutan peristiwa hubungan antarpribadi,
menggambarkan subbudaya, dan menemukan
fenomena kunci (Yin, 2003: 5). Hubungan antar
pribadi dan subbudaya adalah hal-hal yang
hampir pasti ditemukan dalam suatu strategi
adaptasi sosial ekonomi. Itulah sebabnya, peneliti
memilih mengaplikasikan jenis penelitian ini.
Lokasi penelitian adalah di Kelurahan
Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat,
Medan. Lokasi dipilih karena di sana terdapat
cukup banyak keluarga miskin (sekitar 30% dari
total 1.154 KK, yakni sejumlah 346 KK) yang
tetap dapat bertahan pascakenaikan harga BBM
karena mampu mengembangkan strategi adaptasi
sosial ekonomi tertentu.
Unit analisis adalah keluarga miskin di
Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan
Barat, Medan, yang berjumlah sekitar 346
Rumah Tangga.
Sedangkan kriteria informan keluarga
miskin tersebut adalah:
1. Tergolong miskin, dengan kriteria utama
berpendapatan sebesar Rp.143.595,/bulan/
kapita. Apabila rata-rata anggota rumah
tangga berjumlah 4,36 jiwa, maka rumah
tangga/keluarga yang berpenghasilan Rp.
626.000,-/bulan adalah dalam ambang
kemiskinan atau dapat dikategorikan miskin.
2. Merupakan suatu keluarga, yang terdiri atas
suami, istri, anak, dan kerabat lain yang
ditanggung.
3. Dapat mempertahankan kelangsungan hidup
pasca kenaikan harga BBM dengan
mengembangkan cara atau strategi tertentu.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Kemiskinan tampaknya sudah menjadi
persoalan klasik yang terus-menerus dihadapi
bangsa ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan
kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan
tetap menjadi masalah yang tidak juga
terselesaikan.
Berbagai pihak telah sepakat bahwa
kemiskinan mempunyai banyak dimensi. Agar
dapat memahami watak kemiskinan secara utuh,
tidak cukup sekedar mendefinisikan kemiskinan
sebagai miskin diukur dari tingkat pendapatan
atau konsumsi. Kemiskinan tidak semata-mata
dibatasi pada masalah pendapatan dan konsumsi,
tetapi juga berkaitan dengan kesehatan,
pendidikan, kerentanan terhadap goncangan,
partisipasi dalam kegiatan sosial dan politik, dan
banyak aspek kehidupan lainnya.
Di Kelurahan Pulo Brayan Kota,
Kecamatan Medan Barat, misalnya, sebagian
besar informan mengaku memiliki penghasilan
tetap setiap bulannya (dalam hal sumber
perolehan maupun nominal). Namun, ada juga
informan yang tidak mempunyai penghasilan
tetap. Mereka biasanya hanya mengandalkan
pekerjaan tidak tetap atau sesewaktu untuk
memperoleh penghasilan.
Untungnya, sebagian informan menyatakan bahwa ada pihak-pihak yang memberikan
bantuan finansial secara rutin kepada mereka.
Pihak tersebut bisa saja keluarga terdekat, seperti
anak atau menantu yang telah mapan. Namun ada
juga yang memperoleh bantuan finansial dari
pemerintah, dalam bentuk BLT (Bantuan
Langsung Tunai) atau program pengentasan
kemiskinan lainnya.
Informan lainnya menerima bantuan
finansial, tapi sifatnya tidak rutin, hanya
sewaktu-waktu saja. Ada juga informan yang tak
pernah memperoleh bantuan finansial dari pihak
manapun.
Dalam rangka mengurangi subsidi bahan
bakar minyak (BBM), pada 1 Oktober 2005,
pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan
harga BBM. Tingkat kenaikan kali ini tergolong
tinggi dibanding kenaikan-kenaikan harga BBM
sebelumnya, yaitu bensin sebesar 87,5%, solar
104,8%, dan minyak tanah 185,7%. Keputusan
ini dilatarbelakangi oleh:
1. Peningkatan harga BBM di pasar dunia yang
melonjak tajam sehingga berakibat pada
makin besarnya penyediaan dana subsidi
yang dengan sendirinya makin membebani
anggaran belanja negara.
2. Pemberian subsidi selama ini cenderung
lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat
menengah ke atas.

3. Perbedaan harga yang besar antara dalam dan
luar negeri memicu terjadinya penyelundupan
BBM ke luar Indonesia.
Sejak awal, sebenarnya pola subsidi yang
dilekatkan pada sumber daya (resource-based
subsidy) seperti berlaku pada BBM tersebut
dikritik para pakar. Pola subsidi tersebut hanya
akan menguntungkan mereka yang berdaya beli
tinggi. Sementara masyarakat yang berdaya beli
rendah hanya sedikit sekali menikmatinya. Oleh
karena itu, sebagai gantinya diusulkan agar
subsidi tersebut langsung diberikan kepada
mereka yang tepat melalui mekanisme userbased subsidy. Pola ini pula yang diterapkan
dalam penyaluran dana Rp 800 milyar yang
diperoleh dari kenaikan harga BBM rata-rata
12% tersebut, seperti dalam bentuk pembangunan
prasarana dan bantuan kredit, penyaluran dana
bentuk tunai (cash transfer).
Penghapusan subsidi BBM tersebut juga
merupakan konsekuensi langsung dari kesepakatan
Indonesia dengan IMF (International Monetary
Fund) yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent),
yang salah satu klausulnya menghendaki
penyesuaian dan reformasi struktur ekonomi,
termasuk penghapusan segala bentuk subsidi
yang tidak efisien. Program penyesuaian
struktural yang dimaksud secara ringkas dapat
digambarkan sebagai upaya yang dilakukan suatu
negara agar merampingkan ekonominya menuju
ekonomi pasar (market-driven economy).
Namun, tak urung, pasca kenaikan harga
BBM per 1 Oktober 2005 lalu, seluruh informan
merasakan makin sulitnya memenuhi kebutuhan
hidup. Bagaimana tidak, menyusul kenaikan
harga BBM, harga barang-barang kebutuhan
pokok pun turut meningkat. Padahal, penghasilan
informan tidak bertambah. Akibatnya, setiap hari
informan harus berjuang untuk sekedar bisa
mencukupi kebutuhan hidup.
Kenaikan harga BBM menambah beban
hidup masyarakat. Mereka tidak hanya
menghadapi kenaikan harga BBM, tetapi juga
kenaikan berantai berbagai harga barang dan jasa
kebutuhan sehari-hari yang mengikutinya.
Kenaikan harga tersebut berpengaruh langsung
pada penurunan daya beli sebagian besar
masyarakat, terutama rumah tangga miskin.
Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12
Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Subsidi Langsung
Tunai (SLT) kepada Rumah Tangga Miskin.

89
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

Subsidi Langsung Tunai (SLT) diberikan
kepada rumah tangga miskin yang diidentifikasi
oleh BPS dengan menggunakan metode uji
pendekatan kemampuan (proxy-means testing).
Setiap rumah tangga menerima Rp 100.000 per
bulan yang diberikan tiga bulan sekali. Pada
pencairan tahap pertama yang direalisasikan
sejak 1 Oktober 2005, pemerintah menyediakan
dana sebesar Rp 4,6 triliun bagi sekitar 15,5 juta
rumah tangga. Penyaluran dana dilaksanakan
oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya.
Strategi Adaptasi (Coping Strategy) Keluarga
Miskin
Strategi adaptasi (coping strategy)
menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun
perilaku,
untuk
menguasai,
mentoleransi,
mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi
atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan
perkataan lain strategi coping merupakan suatu
proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi stres yang
menekan akibat dari masalah yang sedang
dihadapinya (dalam hal ini dampak negatif
kenaikan harga BBM yang diikuti meningkatnya
harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya)
dengan cara melakukan perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman
dalam dirinya.
Untuk menyiasati kenaikan harga BBM
yang diikuti kenaikan harga barang-barang
kebutuhan pokok lainnya, semua informan
mengaku memiliki cara dan strategi tertentu.
Informan sepakat bahwa cara serta strategi
tersebut mutlak diperlukan agar tetap dapat
bertahan menghadapi beratnya hidup.
Dalam menghadapi berbagai kesulitan,
masyarakat miskin tampaknya memiliki dan
mengembangkan strategi tertentu untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apa
yang dalam pandangan pihak luar merupakan
tindak irasional, dalam kenyataannya, mungkin
merupakan satu-satunya pemecahan dari
himpitan kesulitan sosial ekonomi.
Sebagian informan berupaya mencari
pekerjaan sampingan untuk memperoleh
penghasilan tambahan. Bagi ibu-ibu, misalnya,
bisa menerima pesanan makanan, membuka
kedai makan sederhana atau warung kecil,
menjajakan pakaian atau perabot rumah tangga
dari rumah ke rumah secara tunai/kredit,
mengambil jahitan atau bordir pakaian, menjual
sulaman, menawarkan jasa pijat, atau berkeliling

90

menawarkan jasa mengerjakan pekerjaan rumah
tangga seperti mencuci, menyetrika, dan
membersihkan rumah.
Sedangkan para bapak memilih untuk
mencari pekerjaan sampingan dengan menjadi
makelar atau perantara dalam jual beli tanah,
rumah, atau barang-barang elektronik. Ada juga
yang membuka kedai kopi, warung rokok,
maupun tempat cuci kendaraan (doorsmeer).
Selain itu, masih ada yang menggunakan waktu
senggangnya di akhir pekan untuk bertukang
(membuat perlengkapan rumah tangga dari bahan
kayu untuk dijual) atau menawarkan jasa
mengecat pagar dan rumah bila dibutuhkan.
Informan yang bekerja sebagai karyawan
atau buruh pabrik biasanya mencari penghasilan
tambahan dengan bekerja lembur. Hal hampir
serupa dilakukan oleh informan yang berprofesi
sebagai penarik becak atau supir angkot, dengan
menambah jam kerja.
Sebagian informan juga mendayagunakan
segenap potensi yang telah dimiliki demi
membantu memenuhi kebutuhan hidup. Ada
informan yang menggunakan sepeda motor
miliknya untuk menawarkan jasa ojek. Ada yang
menyewakan kamar rumah pada anak kost. Ada
juga yang merelakan sebagian lahan pekarangan
depan rumahnya dijadikan tempat berjualan oleh
orang lain, dengan memungut sewa harian.
Singkat kata, semua potensi dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
Informan yang memiliki pekarangan
cukup luas menggunakannya pula untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidup. Menanam sayuran,
misalnya, adalah salah satu hal yang dilakukan
informan. Selain menghemat, karena tidak perlu
lagi membeli sayuran, bila hasilnya berlebih juga
bisa dijual kepada tetangga yang membutuhkan
atau dititipkan di warung terdekat. Tomat, cabe,
sawi, selada, dan tanaman berumur singkat lain
biasa dijadikan pilihan karena tak terlalu rumit
perawatannya serta cepat menghasilkan.
Informan lainnya juga memelihara ayam
dan bebek. Selain bisa diambil telurnya, bila ada
keperluan, seperti misalnya menyambut kedatangan
kerabat atau menjelang perayaan hari besar
keagamaan, ternak tersebut juga bisa disembelih
untuk dikonsumsi dagingnya. Informan mengaku
membeli ayam dan bebek itu saat masih baru
menetas dan memeliharanya hingga bisa
dimanfaatkan. Untuk pakan, informan biasanya
mempergunakan sisa makanan atau bagian
sayuran yang tidak terpakai lagi, sehingga tak

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

perlu ada pengeluaran tambahan guna membeli
pakan ternak.
Mengurangi kualitas dan kuantitas bahan
makanan yang dibeli juga dilakukan oleh
sebagian informan pasca kenaikan harga BBM.
Sebagai contoh, jika dahulu bisa membeli beras
berkualitas sedang (medium), sekarang hanya
mampu memperoleh beras berkualitas rendah
dengan harga yang sama. Lauk pauk pun
demikian halnya. Bila dulu informan dapat
mengkonsumsi daging (ayam atau sapi)
seminggu sekali, kini tidak lagi. Tempe, tahu, dan
telur banyak dijadikan alternatif.
Kualitas maupun kuantitas bahan
makanan yang dibeli sehari-hari boleh saja
dikurangi, namun tentunya tetap harus
mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Untuk itu, informan mesti bisa menyiasati
keadaan. Cara yang dilakukan informan, antara
lain, dengan mengurangi atau memperkecil
ukuran potongan bahan makanan. Dengan
potongan kecil, seluruh anggota keluarga pasti
mendapat bagian. Sedangkan beras, kadangkala
ditanak hingga menjadi bubur agar cukup
dikonsumsi seluruh anggota keluarga.
Informan berusaha pula menghemat atau
mengurangi pengeluaran. Pengeluaran yang
dikurangi biasanya yang dianggap tidak terlalu
penting. Uang saku anak, misalnya, bisa dikurangi,
bahkan dihapuskan. Sebagai gantinya, informan
membuatkan sarapan untuk anak sebelum
berangkat sekolah. Informan juga mengusahakan
selalu membeli barang kebutuhannya di pasar,
karena harga-harga yang ditawarkan lebih murah
ketimbang warung. Membeli makanan jadi juga
dihindari sebab harganya lebih mahal daripada
jika memasak sendiri.
Semua informan menyatakan dirinya
cukup aktif menjalin hubungan dan bergaul
dengan masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan
agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat
dan bisa mengandalkan hubungan yang telah
terjalin jika sewaktu-waktu mengalami kesulitan.
Kegiatan yang dilakukan informan
bersama sesama warga, antara lain, arisan STM
dan pengajian. Kegiatan tersebut dilaksanakan
secara rutin, diikuti oleh warga sekitar untuk
menjalin silaturahmi serta membicarakan
berbagai masalah. Dalam kegiatan ini, juga
sering ada warga yang berbagi kisah tentang
kesulitan yang dialami, biasanya akan banyak
warga
lain
yang
berusaha
membantu
menawarkan solusi.

Sebagian besar informan mengaku
bahwa mereka pernah meminjam uang dari
sesama warga yang telah memiliki jalinan
hubungan. Terkadang mereka juga berhutang di
warung milik tetangganya. Ini dilakukan bila ada
kebutuhan mendesak sementara informan sedang
tidak memiliki uang. Adanya pinjaman dan
pemberian hutang ini dirasakan informan sangat
membantu.
Para ahli menggolongkan dua strategi
coping yang biasanya digunakan oleh individu,
yaitu:
¾ Problem-Solving Focused Coping
Di mana individu secara aktif mencari
penyelesaian
dari
masalah
untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres.
¾ Emotion-Focused Coping
Di mana individu melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi
yang penuh tekanan.
Dalam hal ini, yang dilakukan oleh
informan untuk menyiasati kesulitan hidup pascakenaikan harga BBM adalah problem-solving
focused coping, di mana mereka secara aktif
mencari penyelesaian dari masalah untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres.
Cara individu menangani situasi yang
mengandung tekanan ditentukan oleh sumber
daya individu yang meliputi kesehatan
fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah,
keterampilan sosial dan dukungan sosial dan
materi.
1. Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting,
karena selama dalam usaha mengatasi stres,
individu dituntut untuk mengerahkan tenaga
yang cukup besar.
2. Keyakinan atau Pandangan Positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis
yang sangat penting, seperti keyakinan akan
nasib (eksternal locus of control) yang
mengerahkan individu pada penilaian
ketidakberdayaan (helplessness) yang akan
menurunkan kemampuan strategi coping tipe
problem-solving focused coping.
3. Keterampilan Memecahkan Masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisis situasi,

91
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

mengidentifikasi masalah dengan tujuan
untuk menghasilkan alternatif tindakan,
kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin
dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan
rencana dengan melakukan suatu tindakan
yang tepat.
4. Keterampilan Sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan
cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku di masyarakat.
5. Dukungan Sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri
individu yang diberikan oleh orang tua,
anggota keluarga lain, saudara, teman, dan
lingkungan masyarakat sekitarnya.
6. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya berupa
uang, barang barang atau layanan yang
biasanya dapat dibeli.
Kesadaran akan pentingnya penanganan
kemiskinan lokal yang berkelanjutan yang
menekankan pada penguatan solusi-solusi yang
ditemukan oleh orang yang bersangkutan
semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih
memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang
dimiliki oleh orang miskin” ketimbang “apa yang
tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi
sasaran pengkajian.
Menuju Program Pengentasan Kemiskinan
yang Berpihak pada Masyarakat Miskin
Bantuan dari pemerintah pernah diterima
oleh sebagian informan. Jika dahulu ada program
JPS (Jaring Pengaman Sosial) untuk meredam
dampak krisis moneter dan menahan laju
peningkatan jumlah penduduk miskin, kini ada
BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin
(Beras untuk rakyat Miskin). BLT, yang
dimaksudkan sebagai pengganti subsidi BBM
disalurkan
setiap
3
bulan
sebesar
Rp 300.000,/KK. Sedangkan Raskin dapat dibeli
seharga Rp 1.000,-/kg, dengan jatah 10–15
kg/KK/bulan. Semuanya merupakan bantuan
pemerintah bagi keluarga miskin. Tapi ada juga
informan yang tidak mendapatkannya walau telah
didata dan tercatat sebagai keluarga miskin.
Ada juga informan yang sebenarnya
tergolong mampu secara finansial malah
memperoleh BLT. Informan mengaku hal ini

92

dilakukannya dengan memalsukan data, bekerja
sama dengan oknum kepala lingkungan setempat.
Saat diminta mengemukakan tanggapannya
mengenai program pengentasan kemiskinan dan
kompensasi subsidi BBM yang dilaksanakan oleh
pemerintah, semua informan mengaku sangat
setuju bila program maupun bantuan tersebut
terus dilaksanakan. Hanya saja, menurut
informan, memang masih banyak hal yang perlu
dibenahi, terutama berkaitan distribusi serta
mekanisme
penyalurannya.
Juga
perlu
diperhatikan dan diawasi agar tepat sasaran
diterima oleh orang yang benar-benar berhak
serta membutuhkannya.
Di masa mendatang, informan berharap
bahwa pemerintah dapat lebih menunjukkan
keberpihakan kepada rakyat miskin dalam
kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Kenaikan
harga BBM, misalnya, sebisa mungkin
diharapkan dihindari karena dampaknya sangat
berat dirasakan oleh keluarga miskin. Program
pengentasan kemiskinan dan kompensasi subsidi
BBM juga dianggap perlu dilanjutkan dengan
melakukan pembenahan dalam berbagai aspek
pelaksanaannya.
Kemiskinan dalam pengertian konvensional
pada umumnya (income) komunitas yang berada
di bawah satu garis kemiskinan tertentu. Oleh
karena itu sering sekali upaya pengentasan
kemiskinan hanya bertumpu pada upaya
peningkatan pendapatan komunitas tersebut.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa
pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi
pendapatan saja tidak mampu memecahkan
permasalahan komunitas. Karena permasalahan
kemiskinan komunitas bukan hanya masalah
ekonomi namun meliputi berbagai masalah
lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini
disebut dengan kemiskinan plural. Menurut para
pakar, sekurang-kurangnya ada 6 macam
kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu:
1. Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah,
jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas
air bersih mahal.
2. Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk
(sanitasi, sarana pembuangan sampah,
polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada
jaminan atas hak pemilikan tanah.
3. Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan
formal buruk, terbatasnya akses atas
informasi yang menyebabkan terbatasnya
kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi
untuk mengupayakan perubahan.

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan
kontrol atas proses pengambilan keputusan
yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran
antarkelompok sosial, terfragmentasi.
6. Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak
berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi
maupun komunitas.
Bila ditinjau dari konsep kebutuhan,
maka 6 macam kemiskinan ini bisa diatasi
dengan pemenuhan dua macam kebutuhan di
atas. Kemiskinan ekonomi diatasi dengan
memenuhi kebutuhan praktis sedang kemiskinan
yang lain diatasi dengan pemenuhan kebutuhan
strategis.
Penanggulangan kemiskinan yang selama
ini terjadi memperlihatkan beberapa kekeliruan
paradigmatik, antara lain pertama, masih
berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek
multidimensional. Penanggulangan kemiskinan
dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi
terbukti
mengalami
kegagalan,
karena
pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam
soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan
kemiskinan yang sebenarnya. Dalam konteks
budaya, orang miskin diindikasikan dengan
terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis,
fatalistik, ketidakberdayaan, dan sebagainya.
Sementara dalam konteks dimensi struktural atau
politik, orang yang mengalami kemiskinan
ekonomi pada hakikatnya karena mengalami
kemiskinan struktural dan politis.
Kedua,
lebih
bernuansa
karitatif
(kemurahan hati) ketimbang produktivitas.
Penanggulangan kemiskinan yang hanya
didasarkan atas karitatif, tidak akan muncul
dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk
berupaya bagaimana mengatasi kemiskinannya.
Mereka akan selalu menggantungkan diri pada
bantuan yang diberikan pihak lain. Padahal
program penanggulangan kemiskinan seharusnya
diarahkan supaya mereka menjadi produktif.
Ketiga,
memposisikan
masyarakat
miskin sebagai obyek daripada subyek.
Seharusnya, mereka dijadikan sebagai subyek,
yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat
dalam aktivitas program penanggulangan
kemiskinan.
Keempat, pemerintah masih sebagai
penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan
kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai
penguasa yang kerapkali turut campur tangan

terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin.
Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak
sebagai fasilitator, yang tugasnya mengembangkan
potensi-potensi yang mereka miliki. Dalam hal
ini, Suharto (2003) mengatakan bahwa
paradigma baru menekankan “apa yang dimiliki
orang miskin” ketimbang “apa yang tidak
dimiliki orang miskin”. Potensi orang miskin
tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial,
serta berbagai strategi penanganan masalah
(coping strategies) yang telah dijalankannya
secara lokal.
Mencermati
beberapa
kekeliruan
paradigmatis penanggulangan kemiskinan tadi,
ada strategi yang harus dilakukan untuk
mengatasi kemiskinan.
1. Karena kemiskinan bersifat multidimensional,
maka program pengentasan kemiskinan
seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan
aspek ekonomi tapi memperhatikan dimensi
lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan
pokok memang perlu mendapat prioritas,
namun juga harus mengejar target mengatasi
kemiskinan nonekonomis. Strategi pengentasan
kemiskinan hendaknya diarahkan untuk
mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti
apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan,
dan sebagainya. Apabila budaya ini tidak
dihilangkan, kemiskinan ekonomi akan sulit
untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah
pengentasan kemiskinan yang efektif harus
pula mengatasi hambatan-hambatan yang
sifatnya struktural dan politis.
2. Untuk meningkatkan kemampuan dan
mendorong produktivitas, strategi yang
dipilih adalah peningkatan kemampuan
dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan
kesehatan dan pendidikan, peningkatan
keterampilan usaha, teknologi, perluasan
jaringan kerja (networking), serta informasi
pasar.
3. Melibatkan
masyarakat
miskin
dalam
keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan,
mulai
dari
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi, bahkan pada
proses pengambilan keputusan.
4. Strategi pemberdayaan. Masyarakat miskin
adalah kelompok yang mampu membangun
dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi
kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur
dirinya.

93
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2

Dalam kaitan ini, upaya memberdayakan
masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan
melalui tiga cara, yaitu : (1) menciptakan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa
setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi
(daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3)
memberdayakan pula mengandung arti melindungi.
Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan
upaya yang lebih efektif dalam mengatasi
kemiskinan.
Kemiskinan sebagai masalah nasional,
tidak dapat hanya diselesaikan oleh pemerintah
melalui berbagai kebijaksanaan pembangunan,
tetapi juga harus menjadi tanggung jawab
bersama bagi semua pelaku pembangunan
termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci
pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi
kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut
serta dalam proses produksi dan kepemilikan aset
produksi.

94

PENUTUP
1. Kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak)
dipastikan akan semakin memberatkan
masyarakat, terutama kalangan miskin. Oleh
sebab itu, pemerintah diharapkan bisa lebih
berpihak pada kepentingan rakyat, dengan
mempertimbangkan secara seksama bila
hendak menaikkan harga BBM di masa
mendatang. Sedapat mungkin, bila masih ada
alternatif kebijakan lain yang bisa ditempuh,
disarankan agar menghindari menaikkan
harga BBM.
2. Hendaknya diperhatikan dengan seksama
agar penyaluran dana kompensasi subsidi
BBM benar-benar diterima oleh yang berhak
dan membutuhkannya.
3. Strategi adaptasi sosial ekonomi masyarakat
miskin perlu dihargai sebagai suatu bentuk
inisiatif menghadapi sulitnya keadaan,
namun perlu diawasi agar jangan sampai
malah semakin menjerat mereka dalam
perangkap kemiskinan.
4. Dalam perumusan kebijakan pengentasan
kemiskinan,
pemerintah
perlu
lebih
memperhatikan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat miskin.

Universitas Sumatera Utara

Wahyudi dan Sismudjito, Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi...

DAFTAR PUSTAKA
Alfian, et al. (ed.). 2000. Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Jakarta, Pulsar.
Alfian. 2001. Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya. Jakarta, Pustaka Kalam.
Ali, Muhammad. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Bandung, Alumni.
Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta, UI Press.
Aminuddin. 2000. Sosiologi: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Baross, Zsu Zsa. 1999. Prospek Perubahan bagi Golongan Miskin Kota (artikel online di
http://www.jurnal_prisma.co.id)
Black, James A. (penerjemah E. Koeswara, dkk.). 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial.
Bandung, Eresco.
BPS (Badan Pusat Statistik). 1999. Penduduk Miskin (Poor Population). Berita Resmi Statistik
Penduduk Miskin. No.04/Thn.II/9, Juli. Jakarta: CBS.
BPS – Depsos. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002. BPS Jakarta Indonesia.
Faisal, Sanapiah. 1999. Format-Format penelitian sosial. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Singarimbun, Masri. 1980. Penduduk dan Kemiskinan. Jakarta, Bhrata Karya Akasara.
Soekanto, Soerjono. 1999. Kamus Sosiologi. Jakarta, Rajawali Pers.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Spektrum Pemikiran.
Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi. Jakarta,
Rineka Cipta.
Unaradjan, Dolet. 2000. Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta, Grasindo.
Usman, Husaini. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta, Bumi Aksara.
Situs Internet/Website:
ƒ http://www.bps.go.id
ƒ http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_2.htm (Jurnal Ekonomi Rakyat)
ƒ http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/kliping/data_access.show_file_clp?v_filename=F8437/
Menyoal%20Argumentasi%20Kenaikan%20Harga%20BBM.htm
ƒ http://www.pemkomedan.go.id/medan_barat_miskin.htm
ƒ http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/02/teropong/0401.htm

95
Universitas Sumatera Utara