Revitalisasi Kelompok Arisan Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus pada Etnis Minangakabau yang Merantau ke Kota Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

Badaruddin, Nasution, M. Arif, dan Subhilhar. 2005. Isu-isu Kelautan: Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Hasbullah, Jousari. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press

Huraerah, Abu, dan Purwanto. 2006. Dinamika Kelompok. Bandung: PT Refika Aditama.

Kartasasmita, Ginandjar. 1995. Pembangunan Untuk Rakyat. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

Kato, Tsuyoushi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Persfektif Sejarah. Jakarta: Balai Pustaka.

Lendriyono, Fauzik. (ed). 2007. Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Malang: UMM Press.

Lubis, Suwardi. 1999. Komunikasi Antar Budaya: Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina. Medan: USU Press.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(2)

Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiadi, M, Elly. Dkk., 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.

Sri, Swarsono, Edi dan Masri Singarimbun. (ed). 1986. Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI Press.

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. 2010. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumarto, Agus Herta. 2010. Jurus Mabuk Membangun Ekonomi Rakyat. Jakarta: PT Indeks.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sumber lain:

Garnasih, Rahmi. 2011. Peran Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Perempuan Pada Sektor Informal (Studi Kasus Pada Pedagang Nasi Di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok). Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. Diambil dari


(3)

Keluarga-Besar-Tujuh-Koto-Medan-dihadiri-Wakil-Bupati-dan-tokoh-Padang-Pariaman.html#.V0JKwCt97IU


(4)

BAB III

3.1 Gambaran Umum Kota Medan 3.1.1 Geografis

Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara yang secara geografis terletak di 3,30o-3,34o LU dan 98,35o-98,44o BT dengan topografi cenderung miring ke utara dan terletak pada ketinggian 2,5-37,5 MDPL (meter di atas permukaan laut) yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur.

Secara geografis kota Medan merupakan wilayah yang stategis sebagai wilayah perdagangan barang dan jasa, hal ini dikerenakan letaknya yang sangat dekat dengan selat Malaka yang merupakan salah satu jalur perdagangan Internasional dan domestik yang sangat berpengaruh pada era pra-kolonial hingga sekarang. Kondisi geografis ini yang salah satu hal yang menyebabkan banyaknya berdiri bangunan ruko (rumah toko), perkantoran, dan perhotelan di kota Medan, khusunya pada pusat kota, sedangkan untuk pemukiman masyarakat lebih diarahkan ke pinggiran kota Medan. Kota Medan memiliki 21 kecamatan dan 158 kelurahan.

Tabel 1: Kecamatan di kota Medan serta luas wilayahnya 2009-2013

No Kecamatan Luas (Km2) Persentase (%) 1. Medan Tuntungan 20,68 7,80

2. Medan Johor 14,58 5,50

3. Medan Amplas 11,19 4,22

4. Medan Denai 9,05 3,41

5. Medan Area 5,52 2,08


(5)

7. Medan Maimun 2,98 1,13 8. Medan Polonia 9,01 3,40

9. Medan Baru 5,84 2,20

10. Medan Selayang 12,81 4,83 11. Medan Sunggal 15,44 5,83 12. Medan Halvetia 13,16 4,97 13 Medan Petisah 6,62 2,57

14 Medan Barat 5,33 2,01

15 Medan Timur 7,76 2,93

16 Medan Perjuangan 4,09 1,54 17 Medan Tembung 7,99 3,01

18 Medan Deli 20,84 7,86

19 Medan Labuhan 36,67 13,83 20 Medan Marelan 23,82 8,99 21 Medan Belawan 26,25 9,90

Jumlah 265,10 100,00

Sumber: Medan Dalam Angka 2014

3.1.2 Demografi a. Penduduk

Berdasarkan data dari Medan dalam angka 2014, tercatat penduduk kota Medan pada tahun 2013 berjumlah 2.135.516 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 8.055 jiwa/km2 dan jumlah KK (kepala keluarga) sebanyak 493.366 keluarga.


(6)

Tabel 2: Rincian jumlah penduduk kota Medan

No Kecamatan Jumlah KK 1 Medan Tuntungan 19.306 2 Medan Johor 29.134 3 Medan Amplas 26.985 4 Medan Denai 31.620 5 Medan Area 21.762 6 Medan Kota 17.197 7 Medan Maimun 9.220 8 Medan Polonia 12.242 9 Medan Baru 10.764 10 Medan Selayang 26.928 11 Medan Sunggal 26.395 12 Medan Halvetia 32.338 13 Medan Petisah 15.272 14 Medan Barat 16.550 15 Medan Timur 25.389 16 Medan Perjuangan 22.545 17 Medan Tembung 30.186 18 Medan Deli 39.308 19 Medan Labuhan 25.156 20 Medan Marelan 33.781 21 Medan Belawan 21.288

Jumlah 493.366


(7)

Perekonomi masyarakat di kota Medan sebagian besar bertumpu pada sektor perdagangan barang dan jasa.

Selain sektor perdagangan, sektor kemasyarakatan yang juga memberikan kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja di kota Medan. Tingginya animo masyarakat kota Medan yang bekerja dalam sektor kemasyarakatan didukung dan dipengaruhi oleh peningkatan sistem dan gaji yang diberlakukan pemerintah.

Tabel 3 : Jenis Pekerjaan Masyarakat kota Medan

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Pertanian Tanaman Padi dan Palawija 7.682

2 Perkebunan 6.741

3 Perikanan 15.682

4 Industri Pengolahan 78.111

5 Konstruksi/Bangunan 51.903

6 Perdagangan 211.217

7 Hotel dan Rumah Makan 22.885

8 Transportasi dan Pergudangan 76.994 9 Informasi dan Komunikasi 12.540

10 Keuangan dan Asuransi 20.675

11 Jasa Pendidikan 41.117

12 Jasa Kesehatan 19.248

13 Jasa Kemasyarakatan 157.591

14 Lainnya 50.012

Sumber : Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Masyarakat kota Medan merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam etnis, ras dan agama. Keberagaman etnis, ras dan agama masyarakat di kota Medan bermula pada era kolonia Belanda yang membawa masyarakat dari luar wilayah Sumatera Timur untuk dijadikan buruh di


(8)

perkebunan-perkebunan Belanda pada saat itu. Dan setelah era pasca-kolonial, kota Medan mulai berkembang sebagai kota perdagang hingga sampai sekarang menjadi salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Dan pertumbuhan ekonomi di kota Medan yang baik dan cenderung stabil yang menjadi daya tarik bagi masyarakat di sekitarnya bahkan beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera, yang bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu indikator kemajemukan masyarakat di kota Medan yang terdiri dari beragam etnis dan agama. Berdasarkan dari aspek agama, agama Islam merupakan agama yang dominan di kota Medan, yang sebagian besar dianut oleh masyarakat etnis Minangkabau, Jawa, Mandailing, Aceh, dan Melayu. Lalu agama dominan kedua adalah Kristen yang sebagian besar di anut oleh etnis Batak dan etnis Cina.

Tabel 4 : Penduduk Menurut Wilayah dan agama yang Dianut

Kecamatan

Agama

Islam Kristen Katolik Hindu Budha

Khong Hu Chu 1 Medan

Tuntungan

31.567 39.427 5.454 115 226 4

2 Medan Johor 83.765 24.706 3.413 398 11.412 13

3 Medan Amplas 85.804 24.520 1.868 27 758 3

4 Medan Denai 99.633 33.770 1.797 48 5.561 18

5 Medan Area 66.296 5.410 586 28 23.753 41

6 Medan Kota 34.502 20.687 1.024 72 16.201 6

7 Medan Maimun 27.897 2.709 483 435 8.030 10

8 Medan Polonia 36.043 7.547 844 1.205 6.939 4

9 Medan Baru 17.182 16.818 1.679 656 2.003 6

10 Medan Selayang

56.522 33.703 4.750 1.211 1.024 9

11 Medan Sunggal 78.977 18.841 2.188 1.578 11.098 18 12 Medan Halvetia 91.530 38.581 3.606 468 3.688 9 13 Medan Petisah 28.120 16.879 1.197 1.255 14.198 17


(9)

Sumbe r: Data

Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang paling mendasar dalam sebuah pembangunan dan merupakan salah satu indikator terpenting dalam tatanan sosial masyarakat, sebab baik dan tingginya persentase pendidikan dalam masyarakat cenderung akan berpengaruh terhadap baiknya proses pembangunan dan kondisi sosial yang didalam masyarakat. Kesadaran masyarakat di kota Medan akan pentingnya pendidikan dapat dilihat pada jumlah penduduk yang berpartisipasi dalam pendidikan formal yang terdapat pada tabel 4.

14 Medan Barat 43.991 10.368 1.007 593 14.720 11 15 Medan Timur 68.831 16.463 1.246 428 20.373 58 16 Medan

Perjuangan

56.423 24.378 1.172 291 11.006 15

17 Medan Tembung

94.999 23.380 1.985 57 13.065 14

18 Medan Deli 137.090 20.550 798 203 7.540 28

19 Medan Labuhan 81.195 22.214 1.235 17 5.405 55

20 Medan Marelan 127.513 6.388 565 181 5.694 28

21 Medan Belawan 74.348 17.914 655 30 2.113 3


(10)

Tabel 4: Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan formal.

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Sekolah Dasar/ Sederajat 286.986

2 Sekolah Menengah Pertama/ Sederajat 347.260 3 Sekolah Menengah Atas/ Sederajat 745.711

4 Diploma III 46.330

5 Strata 1 (S1) 132.130

6 Strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) 9.638

Total 1.568.055

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

Berdasarkan data dari BPS (badan pusat statistika) Sumatera utara, total penduduk kota Medan pada tahun 2010 berjumlah 2.097.610, dan jika di persentasekan dengan jumlah penduduk berdasarkan pendidikan formal, maka sekitar 74,75 persen penduduk kota Medan yang berpartisipasi dalam pendidikan.

c. Sosial dan Budaya

Masyarakat di kota Medan merupakan masyarakat yang heterogen, yang didalamnya terdiri dari berbagai etnis dan agama yang berbeda, baik itu pribumi maupun non-pribumi. Keberagaman etnis di kota Medan tampak dari berdirinya beberapa bangunan yang memiliki corak yang khas terhadap etnis tertentu, seperti contohnya gedung Wisma Bahagia yang merupakan bangunan yang memiliki corak bangunan khas etnis Batak, lalu Rumah Gadang Banuhampu yang merupakan bangunan yang bercorak khas etnis Minangkabau, kemudian Vihara Gunung Timur Sakti bangunan yang berciri khas etnis Cina, lalu India, dan yang paling termashur adalah Istana Maimun yang merupakan bangunan yang memiliki corak khas etnis Melayu yang sekaligus merupakan salah satu ikon pariwisata kota Medan.


(11)

Meskipun masyarakat di kota Medan bersifat heterogen, akan tetapi pola pemukiman masyarakatnya cenderung bersifat homogen berdasarkan kesamaan etnis maupun agamanya, etnis yang paling mencolok dalam memmbuat pola pemukiman bersifat homogen adalah etnis Minangkabau, Mandailing, Batak, Cina, dan India. Etnis Minangkabau di kota Medan sebagian besar bermukim di Kecamatan Medan Area, lalu etnis Mandailing sebagian besar bermukim di Kecamatan Medan Tembung, kemudian etnis Batak sebagian besar bermukim di daerah pinggiran kota Medan, seperti kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Amplas, lalu etnis Cina yang sebagian besar bermukim di pusat dan kawasan yang dekat dengan pusat kota Medan seperti kecamatan Medan Area dan kecamatan Medan Maimun, dan etnis India yang berfokus pada kawasan-kawasan yang terdapat kuil Hindu seperti di kecamatan Medan Polonia dan Medan Petisah.

3.2 Profil Umum Kelompok Arisan Sungai Sarik

Kelompok arisan Sungai Sarik merupakan kelompok arisan yang dibentuk dengan tujuan membentuk persatuanperantau Minangkabau yang ada di kota Medan, khususnya perantau Minangkabau yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, Sumatera Barat. Meskipun begitu, tidak ada batasan dan aturan bahwa untuk menjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik haruslah berasal dari kecamatan Sungai Sarik, setiap perantau Minangkabau yang ada di kota Medan bisa untuk menjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Hal seperti yang di ungkapakan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai atau yang lebih dikenal dalam kelompok arisan dengan Mak Dirih, yang mana beliau merupakan ketua dari kelompok arisan Sungai Sarik:

untukjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik enggak ada aturan musti kampungnyadari Sungai Sarik,yang terpenting dia beragama Islam, kalau adapun orang Jawa atau Batak mau ikut punenggak apa-apa.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Mak Dirih, kelompok arisan Sungai Sarik dibentuk pada tahun 1983. Pada saat itu anggota kelompok hanya terdiri dari 10 kepala keluarga, yang di adakan di Jalan Binjai gang Jadidi kediamannya Alm. Mak Katik yang sekaligus pada saat itu menjabat sebagai ketua kelompok arisan Sungai Sarik.


(12)

Kini anggota kelompok arisan Sungai Sarik berjumlah 39 KK (kepala keluarga) yang diketuai oleh bapak Muhammad Idris Panyalai, dan sekretarisnya adalah bapak Usman Sikumbang, lalu bapak Bashar Koto sebagai bendaharanya.

Kelompok arisan Sungai Sarik melakukan pertemuan setiap sebulan sekali pada hari Minggu di setiap awal bulan. Penetapan tempat pertemuan ditentukan dengan cara diundi. Sebelumnya, mereka telah menuliskan nama-nama-setiap anggota dalam secarik kertas kecil, kemudian kertas-kertas yang berisi nama anggota kelompok arisan Sungai Sarik tersebut di masukkan ke dalam sebuah botol yang kemudian akan dipilih secara acak, dan nama yang terpilih mendapatkan uang arisan sekaligus rumahnya menjadi tempat pertemuan pada bulan depan. Dan pengundian tersebut dilakukan dalam sekali putar, yaitu jika semua anggota sudah mendapat bagian dari undian.

Adapun uang yang kumpulkan dari setiap anggota jumlahnya sekarang sebanyak 50.000 rupiah, yang di dalam nya 40.000 untuk uang arisan dan 10.000 untuk uang kas, yang secara rinci diungkapkan dalam wawancara dengan bapak Bashar Koto,

“dari 50.000 itu, 10.000 nya dimasukkan ke dalam kas arisan. Yang 10.000 itu gunanya untuk uang bantuan, misalnya nati diantara kita ada yang dapat kemalangan, kayak meninggal, sakit, malahan waktu itu pernah ada yang rumahnya kebakaran, kita juga kasih. Misalnya ada di keluarga dari salah satu anggota arisan yang meninggal, itu di kasih 500.000, terus kalau sakitnya parah biasanya di kasih 750.000. kalau yang kebakaran waktu itu, kalau ngak salah 500.000 juga. Tapi jumlah uang tadi itu, itu cuma dari uang kas aja, nanti ada tambahan dari uang sumbangan dari yang lainnya”

3.3 Profil Informan

1. Akir Sani Mandai

Bapak Akir Sani Mandai Merupakan perantau Minangkabau berusia 48 tahun yang berasal dari desa Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dan jenjang pendidikannya hanya sampai SD (sekolah dasar). Seperti dari kebanyakan dari orang Minangkabau yang hidup di pedesaan lainnya, bapak Akir Sani


(13)

Mandai merantau pada usia muda, saat itu dia merantau ke Pekanbaru pada umur 19 tahun di karenakan ajakan oleh mamak nya. Selama di Pekanbaru bekerja di tempat mamak nya, yang kebetulan memiliki usaha perternakan ayam. Sebelum merantau ke Medan, ia sempat merantau ke Palembang pada tahun 1989 dengan ajakan eloknya untuk berjualan buah-buahan. Kemudian pada tahun 1993 ia merantau ke Medan bersama dengan adiknya Rizal Mandai. Saat di Medan keduanya menumpang di rumah mandeh nya, sekaligus bekerja dengan mandehnya tersebut berjualan dan menawarkan barang songkok dan berbagai pakaian wanita dari pasar ke pasar. Saat ini bapak Akir Sani mendapatkan penghasilan melalui usaha konveksi tas sekolah, rak sepatu, dan tali pinggang, dengan penghasilan sekitar 10.000.000 sampai 15.000.000/bulan. Selain ikut kelompok arisan Sungai Sarik, bapak Akir Sani Mandai juga aktif di komunitas KBTK (keluarga besar Tujuh Koto). Dan di ketahui pula bahwa bapak Akir Sani Mandai merupakan adik tiri dari bapak Usman Sikumbang.

2. Bashar Koto

Bapak Bashar Koto merupakan perantau Minangkabau yang berusia 53 tahun yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan Tsanawiyah. Sebelum merantau ke Medan, bapak Bashar Koto merantau ke Pekanbaru pada usia 17 tahun, saat itu ia merantau di karenakan ajakan oleh orang yang satu kampung denganya. Dan saat di Pekanbaru ia bekerja di temapat orang sekampung dengannya tersebut, yang saat itu memiliki usaha bumbu-bumbu. Namun, di Pekanbaru ia tidak lama, hanya 3 tahun, setelah itu ia kembali ke kampung. Kemudian pada tahun 1985 ia merantau ke Medan dan bertempat tinggal serta bekerja dengan apak

nya. Apak nya memiliki usaha Tailor di jalan Pandu yang di kenal dengan nama “Rahmad” dan ia bekerja sebagai tukang jahit. Kini ia memiliki usaha konveksi baju celemek, sarung bantal dan juga memiliki grosir kauskaki, lobe, sarung tangan, dan sebagainya. dari usahanya tersebut ia memiliki penghasilan sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/ bulan. di dalam kelompok arisan bapak Bashar Koto menjabat sebagai bendahara.


(14)

3. Basrial EfendiKoto

Bapak Basrial Efendi Koto merupakan perantau Minangkabau dengan usia 48 tahun, yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTP. Bapak Basrial merantau ke Medan pada usia 21 tahun tepatnya pada tahun 1989. Awal bapak Basrial merantau ke Medan ia tingggal di tempat elok nya di jalan Pasar Merah, dan dengan elok nya tersebut ia bekerja sebagai penjahit baju sekolah dan telekung. Hingga saat ini bapak Basrial memiliki peghasilan dari usaha bejualan nasi di Batangkuis dan di terkadang ia juga menjualkan kain-kain restan dari Jawa, kepada pengusaha-pengusaha konveksi. Saat ini memiliki penghasilan sekitar 5.000.000 sampai 10.000.000/bulan.

4. Eryatman Tanjung

Bapak Eryatman Tanjung merupakan perantau Minangkabau berusia 54 tahun, berasal dari Batu Basa, Pariangan, Tanah Datar, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTA. Sebelum merantau ke Medan, pada tahun 1984 bapak Eryatman Tanjung merantau ke Jakarta, di sana ia bekerja di tempat saudaranya sebagai penjahit seprei, gorden, taplak meja dan sebagainya. Kurang lebih hanya 2 tahun di Jakarta, di karenakan menikah dengan adik bapak Muhammad Idris, bapak Eryatman kembali ke Sumatera Barat dan kemudian ia dengan isterinya merantau ke kota Padang. Saat di Padang, bapak Eryatman membuka usaha konveksi sarung bantal, seprei, dan bantal. Bapak Eryatman mulai merantau pada tahun 1993, dan hingga sekarang ia memiliki usaha bakal kain yang sebelumnya ia berjualan di pasar Sukaramai dan sekarang di pindah ke pasar Sentral. Dari usahanya tersebut, kurang lebih penghasilan bapak Eryatman sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/bulan. Di ketahui bahwa bapak Eryatman tak hanya ikut dalam kelompok arisan Sungai Sarik, tapi ia juga ikut dalam kelompok arisan BASIS (Batu Basa Saiyo Sakato), dan ia menjabat sebagai ketua. Kemudian bapak Eryatman juga aktif di IKMKP (ikatan keluarga Minang kecamatan Pariangan) sebagai Humas.


(15)

5. Ismail Jambak

Bapak Ismail Jambak merupakan perantau Minangkabau yang berusia 48 tahun, yang berasal dari dari desa Toboh, Nan Sabarih, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTP. Pada sat usia 21 tahun ia merantau ke Jambi dikarenakan ajakan abang kandungnya untuk membantu usaha abangnya yang pada saat itu memiliki usaha santan kelapa. Bapak Ismail Jambak merantau ke Medan pada 1996, dan saat pertama kali merantau ke Medan ia menumpang di rumah Almarhum Mak Katik di Kampung Lalang. Kini bapak Ismail Jambak berpenghasilan dari usaha kelapa santan di pasar Kampung Lalang, dengan peghasilan sekitar 10.000.000 sampai 15.000.000/bulannya. Dan di ketahui bahwa bapak Ismail Jambak merupakan keponakannya dari Almarhum Mak Katik yang merupakan ketua pertama dari kelompok arisan Sungai Sarik.

6. Muhammad Idris Panyalai

Bapak Muhammad Idris Panyalai atau yang banyak di kenal sebagai Mak Dirih, merupakan perantau Minangkabau berusia 73 tahun, yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman. Jenjang pendidikan bapak Muhammad Idris sendiri hanya bersekolah sampai kelas 4 SD. Sama seperti dari kebanyakan orang Minangkabau di pedesaan, bapak Muhammad Idris Panyalai merantau pada saat remaja yaitu pada usia 17 tahun. Banda Aceh merupakan kota tempat awal ia merantau, saat itu ia bekerja dengan saudara dari bapaknya sebagai distibutor telur ayang ke pasar-pasar tradisional yang ada di Banda Aceh. Bapak Muhammad Idris merantau ke Medan pada tahun 1974. Pada awal merantau ke Medan, bapak Muhammad Idris berjualan peralatan rumah tangga dengan meggunakan becak yang dibuat sedemikian rupa untuk dapat membawa barang dagangannya. Ia berjualan kaki lima dari pasar ke pasar namun pasar yang jadi prioritas utamanya adalah pasa Petisah. Berselang beberapa tahun ia menyewa toko di pasar petisah dan berjualan yang sama dengan sebelumnya. Dan di pasar Petisah lah ia dan Mak Katik sering bertemu, karena pada saat itu Almarhum Mak Katik berprofesi sebagai tukang emas yang bekeliling dari pasar kepasar lainnya. Dan dari Mak Katik lah bapak Muhammad Idris Panyalai belajar menempah emas. Saat ini bapak


(16)

Muhammad Idris Panyalai tidak lagi berjualan, dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya ia bergantung pada rumah-rumah yang ia kontrakkan dan dari nafkah anak-anaknya. Di kelompok arisan bapak Muhammad Idris Panyalai merupakan salah satu orang yang pertama kali mendirikan kelompok arisan Sungai Sarik dan kini menjabat sebagai ketua kelompok arisan Sungai Sarik.

7. Muhammad Iqbal Tanjung

Bapak Muhammad Iqbal Tanjung merupakan perantau Minangkabau yang berusia 47 tahun, yang berasal dari Bukittiggi, dengan jenjang pendidikan tamatan S1 Ekonomi. Bapak Muhammad Iqbal juga merupakan menantu dari bapak Muhammad Idris Panyalai. Bapak Muhammad Iqbal tanjung awal Merantau ke kota Medan pada tahun 1989 dengan tujuan untuk berkuliah di UMSU (Universitas Muhammadiayah Sumatera Utara). Saat ia kuliah di UMSU, ia terkadang menyempatkan diri untuk berjualan sepatu yang ia ambil dari saudaranya yang pembuat sepatu, kemudian ia berjualan di pasar-pasar dan tempat keramaian yang ada di kota Medan, dan terkadang ia membawa beberapa pasang sepatu ke kampus untuk ia jualkan kepada teman-temannya. Saat ini bapak Muhammad Iqbal memiliki usaha grosir pakaian di pasar Sentral dengan penghasilan bersih sekitar 20.000.000 sampai 25.000.000/ bulan.

8. Rizal Mandai

Bapak Rizal Mandai merupakan perantau Minangkabau berusia 46 tahun , yang berasal dari Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SD (sekolah dasar). Di ketahui bahwa bapak Rizal Mandai adalah adik kandung bapak Akir Sani Mandai dan sekaligus adik tirinya dari bapak Usman Sikumbang. Sebelum merantau ke Medan dengan bapak Akir Sani Mandai, bapak Rizal Mandai merantau ke Bukittinggi pada umur 18 tahun. Pada saat itu ia merantau dengan orang yang satu kampung dengannya dan juga bekerja dengannya. Namun itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar 1,5 tahun ia di Bukittinggi, kemudian kembali ke kampung. Saat dikampung ia memiliki usaha menjual barang-barang rumah tangga dengan berkeliling menggunakan becak dan terkadang


(17)

menjadi supir angkutan umum. Kemudian pada tahun 1993 ia dengan abangnya Akir Sani Mandai merantau ke Medan. Sama seperti abangnya, ia tinggal dan bekerja dengan mandeh nya. Namun ia tidak tinggal lama dengan mandeh nya di karenakan ia dan mendeh nya berkonflik. Setelah itu ia bermukim di tempat pekerjaannya yang baru di tempat pembuatan prabotan-prabotan rumah tangga. Kini bapak Rizal Mandai memiliki usaha pembuatan prabotan-prabotan rumah tangga di Bandar Setia, dengan penghasilan 10.000.000 sampai 15.000.000/bulan.

9. Usman Sikumbang

Bapak Usman Sikumbang merupakan perantau Minangkabau yang berusia 51 tahun dan berasal dari desa Sungai Sarik, VII Koto, Pariaman, dengan jenjang pendidikan tamatan SD (sekolah dasar). Bapak Usman Sikumbang merupakan kakak tiri dari bapak Akir Sani Mandai dan Rizal Mandai. Dan karena ekonomi keluarga yang sulit pada waktu itu mendorong bapak Usman Sikumbang merantau pada usia yang sangat muda yaitu pada usia 17 tahun. Oleh sebab itu, orang yang satu kampung dengannya mengajak ia untuk meratau ke Pekanbaru dengan berjualan pakaian wanita dengan kaki lima di pasar-pasar Pekanbaru. Perantauannya di Pekanbaru tidak lama, kurang lebih hanya 1 tahun, kemudian ia kembali ke kampung. selama di kampung ia bekerja di tempat pembuatan batu bata dan terkadang berjualan jajanan seperti Es krim, salak, dan sebagainya, di pasar dekat pantai Gondariah. Kemudian pada tahun 1986 ia disuruh oleh Mak Katik untuk ke Medan, dan selama tinggal dengan Mak Katik, bapak Usman Sikumbang belajar menempah emas. Kini bapak Usman Sikumbang memiliki usaha toko emas di pajak sentral dengan penghasilan 20.000.000 sampai 25.000.000/bulan. Di dalam kelompok arisan Sungai Sarik, bapak Usman Sikumbang menjabat sebagai wakil ketua merangkap juga sebgai sekretaris.

10. Zulkarnain Panyalai

Bapak Zulkarnain Panyalai merupakan perantau Minangkabau yang berusia 38 tahun yang berasal dari Padang Panjang, dengan jenjang pendidikan tamatan SLTA. Bapak Zulkarnain


(18)

merupakan keponakan dari bapak Muhammad Idris Panyalai. Bapak Zulkarnain merantau ke Medan pada tahun 2000 karena ajakan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai. Pada awal merantau ke Medan, bapak Zulkarnain Panyalai tinggal dan belajar berjualan dan menempah emas dengan bapak Muhammad Idris Panyalai. Saat ini bapak Zulkarnain Panyalai berprofesi sebagai penerima tempahan emas dari toko-toko emas di kota Medan dan sekaligus mempunyai toko emas di pajak Horas Siantar. Dari usahanya tersebut ia mendapatkan penghasilan sekitar 15.000.000 sampai 20.000.000/bulan.


(19)

BAB IV

INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Strategi Adaptasi Perantau Minangkabau Pada Fase Awal Merantau di Kota Medan. 4.1.1 Motivasi Ekonomi Perantau Minangkabau di Kota Medan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan olah Naim (2013: 179), sebanyak 65% orang Minangkabau berprofesi dalam sektor perdagangan, 17% yang memilih sebagai pegawai negeri/swasta, dan 18% diantaranya memilih profesi yang berkaitan dengan sektor pendidikan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pelly (1994: 139), bahwa ada tiga profesi yang sangat disukai oleh orang Mingkabau, dan salah satunya adalah berdagang.

Kecenderungan orang Minangkabau memilih profesi pada sektor perdagangan membuat mereka banyak menyebar di kota-kota besar di Indonesia yang memilki perekonomian yang baik, yang kota-kota tersebut banyak terdapat di Indonesia bagian barat, seperti contohnya, kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Pekanbaru, dan kota-kota lainnya. Hal ini dibuktikan juga dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Naim (2013: 191), bahwa sekitar 39% orang Minangkabau bermigrasi atau merantau ke kota Jakarta, 22% lainnya merantau ke Sumatera Utara, 20% lainnya merantau ke Riau/Jambi, lalu sekitar 9% ke Sumatera Selatan, dan sisa 2% tersebar di wilayah-wilayah lainnya termaksud Malaysia dan Singapura. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa motivasi merantau sebagian besar dari orang Minangkabau di dasari pada faktor ekonomi.

Di balik motivasi ekonomi merantau masyarakat Minangkabau yang cenderung bersifat meterialistis, kebiasaan merantau pada masyarakat Minangkabau secara tidak langsung membentuk nilai-nilai kemandirian pada masyarakatnya, khususnya pada pemudanya untuk dapat hidup mandiri. Hal ini tampak bangaimana mereka mendorong kaum mudanya untuk segera mencari pekerjaan baik itu dalam ranahnya maupun di perantauan, sebagaimana yang terungkap dari pepatah Minangkabau yang berbunyi“Ka rantau madang dahulu, babuah babungo alun,yang artinya bahwa


(20)

kita haruslah pergi merantau jika di kampung kita tidak bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak mampu membantu keluarga sendiri.

Kota Medan, sebagai salah kota yang sering menjadi tujuan orang Minangkabau, bahkan migrasi orang Minangkabau ke kota Medan sudah berlangsung sejak lama sebelum berkembangannya industri-industri pertanian di kota Medan (Naim, 2013:104). Meskipun begitu, bukan berarti adaptasi aspek ekonomi orang Minangkabau di kota Medan berjalan dengan baik. Hampir sebagian besar suku Minangkabau yang di kota Medan berkerja pada sektor informal menengah-kebawah, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang berada kelas atas.

Ada beberapa hal yang membuat orang Minagkabau di kota Medan mengalami kesulitan dalam beradapatasi, khususnya pada aspek ekonominya. Pertama, adalah dikarenakan banyak diantara perantau Minangkabau berlatar belakang pendidikan yang rendah. Merujuk dari hasil penelitian Naim (2013: 179), yang mengungkapkan bahwa kebutuhan orang Minangkabau akan pendidikan lebih tinggi di daerah rantau dari pada orang Minangkabau yang ada di Sumatera Barat, hal ini disebabkan sarana pendidikan di Sumatera Barat masih belum memadai dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Selain itu, sebagian besar informan yang diwawancarai diketahui lebih banyak hanya memperoleh pendidikan SLTP/ sederajatnya. Dan hal yang serupa juga ditambahkan oleh bapakBashar Koto,

“kebanyakan kawan-kawan bapak yang pergi merantau cuma tamatan SLTP sama kayak bapak, malahan ada juga yang enggak sampai tamat SD. Soalnya waktu zaman bapak sekolah banyak anggapan anak-anak seusia bapak waktu itu sekolah cuma buat tahu perkalian, pertambahan dan pembagian, selebihnya enggak penting.”

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Ismail Jambak,

“sewaktu bapak dikampung, anak-anak yang seusia bapak, kebanyakan cuma tamatan SMP sama SD, kalau yang SMA sama yang kuliah masih sedikit waktu zaman bapak, tapi kalau sekarang sudah mulai banyak.”


(21)

Kedua, sebagian besar mereka yang merantau ke Medan berasal dari pedesaaan. Rata-rata orang Minangkabau yang memiliki intensitas merantau yang tinggi sebagian besar berasal dari wilayah pedesaan, yang umumnya dari desa-desa di kabupaten Pariaman, Agam, Tanah Datar, dan Solok, (Naim, 2013: 185). Dan hal itu juga dibuktikan dari semua infoman yang diwawancarai mengungkapkan bahwa mereka berasal dari salah satu desa yang berada di kabupaten yang telah sebutkan diatas.

Ketiga, Sebagian besar masyarakat Minangkabau yang merantau ke Medan pada saat remaja, sekitar umur 20 tahun kebawah. Merantau pada saat remaja merupakan hal yang sudah umum terjadi dalam masyarakat Minangkabau, khususnya yang berasal dari pedesaan. Pada umur sekitar 20 tahun kebawah, masyarakat Minangkabau umumnya merantau ke daerah-daerah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung halamannya atau dari Sumatera Barat, seperti kota Bukittinggi, kota Padang, Pekanbaru, dan Medan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“di kampung bapak anak-anak umur dibawah 20 tahun, yang pergi merantau udah biasa. Biasanya kalo umur segitu mereka merantau kebanyakan merantaunya ke Pekanbaru, Bukittinggi, Medan, sama Padang. Tapi yang paling sering ke Pekanbaru sama Bukittinggi”

Bagi orang Minangkabau yang merantau saat remaja, mereka jarang sekali merantau dalam jangka waktu yang panjang. Sebagian besar dari mereka akan kembali ke kampung bila ada waktu. Pola merantau ini merupakan pola merantau keliling yang sebagaimana yang diungkapakan oleh Kato (2005: 14). Selain itu, ada beberapa alasan orang Minangkabau merantau pada saat remaja.

Pertama, sebagai pengalaman dan modal sebelum merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, dan kota-kota yang besar lainnya yang ada di pulau Jawa. Dalam hal ini beberapa orang Minangkabau menjadikan kota-kota yang berada tidak jauh dari kampungnya atau dari Sumatera Barat sebagai batu loncatan atau rantau tahapan. Hal ini karena, bagi sebagian masyarakat Minangkabau berpandangan bahwa kota Jakarta, dan kota-kota besar lainnya yang ada di pulau Jawa lebih


(22)

menjanjikan dan lebih besar peluangnya untuk sukses. Sehingga ia menjadikan beberapa kota yang terdekat sebagai tempat ia mendapatkan pengalaman dan modal, baik itu berupa harta maupun

skill. Hal ii sangat berkaitan sekali dengan hasil penelitian Naim (2013: 191), yang menyatakan bahwa sebanyak 39% orang Minangkabau memilih merantau ke Jakarta dan 22% memilih merantau ke beberapa daerah di Sumatera Utara. Dan orang Minangkabau yang memilih untuk langsung merantau ke Jakarta sebanyak 45%, sedangkan hampir sebagiannya berasal dari rantau tahapan, seperti Sumatera Utara 16%, Riau/Jambi 23%, Sumatera Selatan 9%, dan dari wilayah di Pulau Jawa sebanyak 7%.

Lalu yang kedua, tekanan ekonomi. Kondisi ini umumnya terjadi pada masyarakat pedesaan. Dorongan merantau atas didasari faktor ekonomi akan lebih kuat dirasakan apabila sumber penghasilan tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dan sebagaimana kita ketahui, hampir sebagian besar masyarakat pedesaan di Sumatera Barat bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber matapencariannya. Hal ini yang kemudian menciptakan adanya keterbatasan sumber matapencarian di wilayah-wilayah pedesaan di Sumatera Barat. Kondisi ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kuatnya dorongan laki-laki untuk merantau, tidak terkecuali bagi mereka yang masih dalam kelompok usia remaja. Semakin berat tekanan ekonomi yang ia rasakan, maka akan semakin kuat pula keinginannya untuk merantau, dengan tujuan untuk dapat memperbaiki perekonomiannya dan keluarganya. Hal ini ditambah lagi dengan rendahnya tinggat pendidikan pada masyarakat Minangkabau, khususnya di pedesaan, yang membuat mereka hanya berfokus pada aspek ekonomi. Hal ini lah yang menjadi alasan bapak Akir Sani Mandai untuk merantau pada saat remaja,

“awal bapak merantau itu ke Pekanbaru, waktu itu kalau enggak salah bapak umur 19 tahun. Di Pekanbaru bapak tinggal sama mamak bapak. Yah namanya di kampung, kerjaanya cuma betani sama beladang aja, makanya laki-laki yang sebaya bapak waktu itu banyak yang merantau”


(23)

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“hampir semua abangnya bapak merantau kecuali yang nomer empat, dialah yang bantu-bantu ibu bapak betani. Karena dirasa susah hidup dikampung, lagian kasihan kalau harus bergantung sama orang tua bapak, jadi umur 17 tahun bapak coba-coba pergi merantau ke Pekanbaru ikut orang di kampung bapak buat jualan kaki lima, jualan songkok, jilbab, baju.”

4.1.2 Pola Kediaman Perantau

Dalam fase awal merantau, laki-laki Minangkabau yang belum menikah saat merantau ke Medan, lazimnya menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki perekonomian yang cukup baik di Medan, dan ada juga sebagian kecil yang mengontrak di rumah bersama dengan teman yang ia kenal. Dan cara ini dibenarkan oleh beberapa informan yang merantau ke Medan dengan status belum menikah, seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan yang bapak Basrial Efendi Tanjung,

“waktu pertama kali datang ke Medan pak Bas tinggal di rumah saudara pak Bas yang di Pasar Merah, kalau pas bas manggilnya elok si Er”

Hal serupa juga dilakukan oleh bapak Bashar Koto,

“kebetulan bapak punya apak di Jalan Ismaliyah. Jadi kurang lebih 3 tahun pertama bapak merantau di Medan tinggalnya di rumah apak bapak. Karena segan bapak numpang di situ lama-lama, terakhir bapak kotrak rumah di jalan Utama sama kawan-kawan yang kerjanya di jalan Pandu juga. ”

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perantau Minangkabau untuk menginap di rumah kerabatnya. Pertama, karena ikatan persaudaraan yang dekat. Perantau Minangkabau akan menumpang di rumah saudaranya apabila dia merasa kalau dia dengan saudaranya tersebut memiliki ikatan sosial yang baik. Biasanya perantau Minangkabau akan memilih menumpang dengan saudara kandunganya atau kerabat yang memiliki ikatan darah yang sangat dekat dengan kedua orang tuanya seperti paman atau bibinya, karena bagianya


(24)

akan mudah untuk berkomunikasi dan akan memperkecil konflik diantara keduanya yang dapat menganggu kenyamanannya. Sedangkan untuk kerabat yang memiliki ikatan darah ataupun ikatan sosial yang agak sedikit jauh darinya, untuk menumpang maka dia akan mempertimbangkan soal kenyamaan dari dirinya dan juga dari kerabatnya. Apabila menurutnya dia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi deng saudaranya tersebut, dan dapat menimbulkan konflik diantara keduannya apa bila ia menumpang dengan saudaranya tersebut, maka ia akan lebih memilih untuk mengontrak rumah atau kos. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Bashar Koto, Usman Sikumbang, Akir Sani Mandai yang mana pada awal mereka merantau ke Medan, mereka menumpang dengan saudaranya yang memiliki ikatan darah yang dekat dengan orang tuannya.

Lalu pertimbangan kedua, untuk menghemat pengeluaran selama fase awal ia merantau di Medan. Sebelumnnya telah di ungkapkan, bahwa sebagian besar perantau Minangkabau merantau pada usia muda, sekitar umur 20-an, bahkan kurang dari itu. Pada usia tersebut mereka sepenuhnya belum mandiri secara ekonomi, dan hanya memiliki keahlian yang tidak cukup memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Sehingga terkadang mereka terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang memiliki pendapatan yang rendah seperti kuli, penarik becak, buruh pabrik, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dengan menginanap di rumah kerabat, sedikit-banyak membantu pengeluarannya selama fase awal ia merantau di Medan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Rizal Mandai, yang merupakan adik kandung dari Akir Sani Mandai,

“kalau tinggal di rumah saudara yang pastinya kita enggak perlu cari rumah kontrakan, terus yang paling enaknya tempat tinggalnya gratis, enggak perlu keluar biaya banyak buat makan. Terus kalau lagi enggak punya uang, kita masih bisa makan”

Kemudian yang ketiga, sebagai cara untuk meningkatkan skillnya untuk dapat beradaptasi dalam aspek ekonomi pada fase awal ia merantau. Sebagian besar perantau


(25)

Minangkabau yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, bertumpu pada pekerjaan di sektor perdagangan dan sebagai penjahit. Dan untuk survive, mereka memerlukan keterampilan yang memadai. Namun, yang sering menjadi permasalahan umum bagi perantau Minangkabau di kota Medan, hampir sebagian besar dari mereka hanya memilki keterampilan yang seadanya, terlebih lagi mereka yang berasal dari wilayah pedesaan. Untuk itu, pada fase awal merantau mereka memerlukan semacam pembimbing atau yang dapat mengajarkannya beberapa keterampilan yang dapat mereka manfaatkan dalam mendapatkan penghasilan. Oleh sebab itu, sangat jarang sekali didapati perantau Minangkabau yang mau menumpang di rumah kerabatnya yang bekerja pada sektor yang produktivitasnya rendah, seperti penarik becak, kuli, buruh, pegawai toko di pasar, dan sebagainya. Mereka lebih cenderung menumpang di rumah kerabatnya yang memiliki usaha yang memiliki produktivitas menengah-keatas, seperti pedang tekstil, toko emas, konvesksi pakaian, dan sebagainya. Dengan begitu, mereka dapat belajar beberapa hal dari kerabatnya, sehingga kedepannya ia memiliki skillyang dapat membantunya dalam beradaptasi dalam aspek ekonominya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Akir Sani Mandai,

“waktu bapak tinggal sama pak Aris, bapak di suruh jualan songkok ke pajak-pajak. Karena disuruh kesana-kesini jadi bapak tau gimana cara jualan, tau dimana tempat-tempat ngambil barang, mengolah barang. Setelah itu bapak di suruh buat barang sendiri sama pak Aris, modalnya sebagian di tambahin pak Aris“

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“waktu bapak tinggal sama mak Katik, disitulah bapak mulai belajar cara menempah emas. Awal-awal belajar bapak disuruh ngebentukin tembaga dulu, lalu setelah kira-kira bisa, baru lah bapak mulai terima tempahan dari orang lain. Kira-kira cuma lima tahun bapak kerja sama mak Katik, setelah itu bapak buka toko emas di Karo”

Namun, berbeda cara adapatasi fase awal merantau bagi orang Minangkabau yang sudah menikah. Pria Minangkabau yang sudah menikah umumnya pergi merantau tanpa


(26)

membawa keluarganya. Mereka meninggalkan keluarganya di kampung, dan pergi merantau untuk mencari daerah rantau mana yang menurut mereka cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat mereka bermukim yang kemudian mereka akan membawa keluarganya ke daerah tersebut. Dalam mencari perantauan yang sesuai untuk ia bermukim, umumnya laki-laki Minangkabau akan merantau ke beberapa kota-kota besar yang menurutnya memiliki potensi ekonomi yang baik. Namun, jangka waktu mereka merantau tidak lama, mereka akan merantau ke suatu kota, lalu kemudian dalam jangka waktu beberapa bulan mereka kembali ke kampung, dan jika menurutnya daerah perantaunnya sesuai, maka ia akan membawa keluarganya untuk bermukim di daerah perantau tersebut. Hal ini sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara dengan bapak Eryatman Tanjung,

“waktu itu ibu (Istrinya) masih di Padang, bapak merantau ke Medan perginya

sendirian, soalnya kurang enak kalau numpang bawa istri di rumah saudara, lagian bapak di Medan waktu itu masih belum pasti mau kerja apa, masih bingung. Setelah dapat gambaran usaha apa yang mau di buat, terus rumah yang mau dikontrakin juga udah dapat, barulah bapak balek ke Padang jemput ibu. Sebelum bapak bawa ibu ke Medan sekitar hapir tiga bulan juga waktu itu bapak di Medan”

4.1.3 Sumber Pendapatan

Hal yang menarik dari orang Minangkabau, walaupun sebagian besar dari mereka berasal dari desa, namun tidak ada diantara mereka yang bekerja sebagai petani di perantauaanya atau bagi orang Minangkabau yang tinggal di pesisir juga tidak bekerja sebagai nelayan. Berbeda dengan suku Banjar yang banyak dari mereka yang setelah merantau berprofesi sebagai nelayan, yang mereka banyak tersebar di wilayah pesisir pulau Kalimantan dan Sumatera. Artinya, dalam penetapan sumber matapencarian, orang Minangkabau tidak terpengaruh dengan sumber matapencarian sebelummnya saat dia kampung.


(27)

Pada saat fase awal merantau ke Medan, kebanyakan dari perantau Minangkabau yang datang dari desa, rata-rata usia mereka berkisar dibawah 25 tahun. Sudah tentu, modal yang mereka punya, baik itu berupa harta maupun keterampilan, terkadang tidak memadai untuk mereka berdagang. Dan hal ini bisa mengarahkan mereka pada pekerjaan yang produktivitasnya rendah, seperti kuli pasar, buruh, dan sebagainya.

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh orang Minangkabau dalam mendapatkan penghasilan saat awal ia merantau ke Medan. Pertama, dengan bekerja pada saudara, kerabat, atau teman yang mereka kenal yang ada di kota Medan. Cara ini umumnya dilakukan oleh perantau Minangkabau yang berusia muda saat merantau ke Medan. Dan ini juga merupakan salah satu pertimbangan orang Minangkabau menumpang di rumah saudara dan kerabatnya yang ada di perantauaanya.. Hal ini sebagaimana yang juga dilakukan oleh bapak Basrial Efendi Koto,

“pak Bas kerjanya di situ juga, di rumah elok pak Bas yang di Pasar Merah itu,

waktu itu pak Bas jadi tukang jahit baju-baju anak-anak sekolah, kadang telekung”

Kedua, ada beberapa dari orang Minangkabau yang meminjam modal kepada

saudaranya, modal tersebut dapat berupa uang maupun barang, yang kemudian pergunakan untuk di berdagang atau buka usaha setelahnya. Dan cara ini biasanya dilakukan oleh perantau Minangkabau yang membawa keluarganya merantau ke Medan. Namun, dalam cara ini jarang sekali perantau Minangkabau di dapati mendapat modal berupa uang, rata-rata dari mereka mendapatkan modal berupa barang yang kemudian ia bisa jualkan. Barang dagangannya ia dapatkan berasal dari saudara atau kerabatnya yang ada di kota Medan yang memiliki usaha konveksi atau grosir. Hal sebagaimana terungkap dari wawancara dengan bapak Muhammad Iqbal Tanjung,

“waktu kuliah bapak jualan sepatu. Kebetulan saudara bapak ada yang punya koveksi sepatu. Jadi bapak ambillah beberapa model sepatu, bapak bawa ke kampus, bapak masukin ke tas, dua sampe tiga pasang nanti bapak tawarin sama


(28)

kawan-kawan bapak, biasanya sepatu yang bapak bawa ke kampus sepatu cewek. Terus kalau hari Minggu bapak jualan di depan taman Ria yang sekarang jadi Carefour, kadang bapak jualan juga di pajak Petisah, Sukarame juga pernah. Itu sepatu yang berapa laku itu yang bapak bayar, nanti yang enggak laku bapak balikin sama saudara bapak.”

Lalu cara yang ketiga, meminta informasi pekerjaan dari saudara, kerabat, atau temannya yang ada di Medan. Meskipun sedikit sekali ditemui perantau Minangkabau yang melakukan cara ini, namun, cara seperti ini biasanya dilakukan oleh orang Minangkabau dengan tujuan awal ia ke Medan adalah untuk kuliah. Dan tujuan ia bekerja adalah untuk menambah biaya kebutuhan hidupnya selama kuliah yang mungkin kurang cukup ia dapatkan dari orang tua atau saudaranya di kampung.

4.1.4 Kegoncangan Budaya

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada fase awal merantau ke kota Medan, banyak dari perantau Minangkabau, khususnya bagi mereka yang berasal dari daerah pedesaan, akan mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Perantau Minangkabau yang awalnya ia terbiasa dengan kehidupan di kampung halamannya dengan adat istiadat yang lebih bersifat komunal dan tradisional, lalu kemudian merasa kesuliatan karena harus beradaptasi dengan kondisi sosial di perkotaan yang lebih bersifat individualistis dan modern. Sehingga terkadang memunculkan perasaan merasa asing dan minder pada sebagian perantau Minangkabau. Pada kasus perantau Minangkabau, “kegoncangan budaya” yang mereka di alami tidak berlangsung terlalu lama dan berdampak buruk terhadap kehidupan sosialnya. Sedikit kesusahan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi adalah merupakan yang wajar terjadi, sebab dalam proses adaptasi sosial, seseorang akan mencoba belajar dalam memahami karater lingkungannya sebelum ia dapat betul-betul masuk dan membaur dengan lingkungannya. Hal ini lah yang sama dirasakan oleh bapak Basrial Efendi Koto,


(29)

“petama-tama merantau ke Medan pas Bas bergaulnya cuma sama anak-anak tukang kerja aja. kalau main-main sama anak-anak di sekitar rumah elok pak Bas, enggak ada, ada pun cuma sekedar basa basi aja. soalnya di lingkungan rumah elok pas Bas itu kebanyakan orang Batak, makanya pak Bas kurang akrab sama orang-orang itu. ”

Terdapat beberapa faktor yang mendukung perantau Minangkabau dalam bersosialisasi pada fase awal mereka merantau ke Medan. Pertama, orang Minangkabau sudah berkembang lama di kota Medan. Perkembangan orang Minangkabau di kota Medan suadah berlangsung lama sejak industri-industri perkebuanan banyak berkembang di Sumatera Timur, (Naim, 2013: 104). Dengan rentang yang begitu lama, arus migrasi orang Minangkabau ke kota Medan membuat populasi orang Minangkabau semakin bertambah, bahkan beberapa wilayah di kota Medan disematkan sebagai wilayahnya orang Minangkabau. Dengan populasi yang cukup banyak tersebut, menempatkan orang Minangkabau dalam posisi sebagai bagian masyarakat kota Medan, sama seperti masyarakat etnis Melayu, Batak, Jawa, dan Cina. Sehingga dengan kondisi tersebut, mendorong banyaknya terbentuk kelompok-kelompok paguyuban Minangkabau dan organisasi yang di dalamnya banyak terdiri orang Minangkabau, seperti pada organisasi Muhammadiyah sebagaimana yang diungkapkan oleh Usman Pelly di dalam karya ilmahnya Urbanisasi dan

adaptasi: peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing. Dengan begitu,

perantau-perantau Minangkabau tersebut dapat memanfaatkan kelompok-kelompok paguyuban maupun organisasi Muhmmadiyah sebagai wadah serta sarana agar ia dapat bersosialisasi dengan masyarakat kota Medan. Hal ini di dukung oleh ungkapan bapak Eryatman Tanjung,

“selain ikut IKMKP bapak juga ikut organisasi Muhammadiyah, kalau bapak terdaftar sebagai anggota Muhammadiyah di gang Pisang. Bapak jadi anggota di Muhammadiyah udah lama, kalau enggak salah setelah 6 bulan bapak pindah ke Medan, baru bapak masuk Muhamamadiyah. Karena menurut bapak kalau kita mau dapat kawan yang baik, carinya di tempat tepat, kayak misalnya di oraganisasi Muhammadiyah misalnya, terus kawan-kwan STM di dekat rumah.”


(30)

Kedua, membangun ikatan sosial dengan saudara atau kerabat. Pada proses

bersosialisasi, langkah awal yang umumnya dilakukan oleh orang Minangkabau pada awal ia merantau ke Medan maupun ke daerah-daerah lain ialah membangun ikatan sosial dan kontak sosial yang baik dengan saudara atau kerabat yang ada di Medan. Orang Minangkabau menjadikan saudara dan kerabat yang ada di Medan menjadi sarana awal ia mendapatkan informasi dalam mempelajari karakter dan gambaran kondisi sosial yang ada di kota Medan sebelum ia dapat beradapatsi secara baik di kota Medan. Dan di lain hal, keberadaan saudara dan kerabat di kota Medan menjadi tempat yang paling sering dituju oleh orang Minangkabau apabila ia mendapatkan masalah selama ia di Medan.

4.2 Gambaran Umum Interaksi Etnis Minangkabau di Kota Medan Dalam Aspek Ekonominya.

Dan dalam aspek ekonomi, seperti yang diperkirakan, bahwa mayoritas orang Minangkabau di kota Medan bergerak dalam bidang perdagangan. Dibandingkan dengan jenis perdagangan lainnya, orang Minangkabau lebih menonjol di bidang perdagangan tekstil, makanan dan emas. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan jumlah pedagang Minangkabau yang ada di beberapa pasar besar di kota Medan, yaitu seperti pasar Sentral lama, pasar Sukaramai, dan pasar Brayan yang didominasi oleh Orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“di sentral kebanyakan orang Minang jualan kain-kain bakal, toko emas, grosir pakaian, terus yang punya kedai-kedai nasi, rata-rata orang Minang yang punya. Kebanyakan buka toko di dalam pajak sentral lama, kalau pajak Sentral baru kayaknya ada tapi enggak sebanyak di pajak Sentral lama, soalnya di sana kebanyakan yang punya toko di sana orang-orang Cina, terus yang ruko-ruko yang ada di pinggir jalan itu juga orang Cina juga kebanyakan, kalau orang pribuminya kebanyakan di pajak sentral lama lah. Kalau di sini (pajak sentral lama) sekitar 40% orang Minang yang jualan.


(31)

Sementara di pasar Sentral baru, Pasar Hongkong dan Pasar Ikan, hampir seluruhnya di kuasai oleh orang Cina. Komodiatas perdagangan besar, seperti perdagangan suku cadang, baik itu kendaraan maupun mesin, grosir tekstil, serta perdagangan ekspor-inpor maupun antar kota dikuasai oleh etnis Cina.

Yang menariknya, banyak dari orang Minangkabau yang berprofesi sebagai konveksi lebih cenderung membeli bakal tekstil dari orang Cina dari pada orang Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“itulah salahnya orang awak ini (orang Minang). Ngambil untung tinggi-tinggi, padahal sesama orang awaknya. Beda sama orang Cina. Orang itu berani ngambil untung sedikit, tapikan barang itu berputar terus makanya banyak yang langganannya. Makanya banyak orang Minanang yang usaha konveksi belanja sama Cina dari pada sama orang awak. Itu makanya orang awak ini enggak maju-maju di Medan, asik dijengkalin Cina aja harganya. Ya tapi kalau sama bapak, kalau misalnya harga sama orang awak atau orang indonesia, sama harganya sama orang Cina, bapak lebih milih belanja sama orang kita.”

Sebagaimana yang diungkapakan oleh bapak Bashar Koto diatas, diantara sesama orang Minangkabau di kota Medan seperti ada disintegrasi. Meskipun berasal dari etnis yang sama, bahkan mungkin dari asal daerah yang sama, ternyata tidak menjamin hubungan antar orang Minangkabau di kota Medan dalam bidang perdagangan terjalin kuat. Hal ini membuktikan bahwa pada aspek ekonomi, orang Minangkabau lebih cenderung mengedepankan orientasi komersialnya dari pada rasa primordialnya.

Dan jika merujuk pada kondisi sosial, meskipun orang Minangkabau yang ada di kota Medan hidup berkelompok, orang Minangkabau yang menempati strata ekonomi rendah lebih cenderung untuk lebih mengelompok dengan orang Minangkabau yang memiliki kondisi ekonomi yang sama dengan mereka, hal ini tampak dari pola pemukimannya, dimana orang Minangkabau yang menempati strata ekonomi menengah-kebawah umumnya tinggal kawasan-kawasan pinggir kota seperti ddi kecamatan Medan Area, kota Maksum dan kecamatan Medan Perjuangan. Sedangkan orang Minangkabau yang menempati strata


(32)

ekonomi atas tinggal di peumahan mewah dan di kawasan-kawasan elite yang memiliki akses yang dekat dengan pusat kota, seperti Medan Baru.

Selain itu, perbedaan strata ekonomi pada orang Mianangkabau juga berdampak pada kurang eratnya ikatan persaudaraan antar orang Minangkabau di kota Medan. Meskipun beberapa dari orang Minangkabau yang berasal dari daerah yang sama, dan sudah saling mengenal saat di kampung halaman, namun saat di kota Medan, mereka yang memiliki strata ekonomi yang berbeda, belum tentu hubungan persaudaraan antar orang Minang tersebut menjadi erat. Umumnya, orang Minangkabau di kota Medan lebih erat hubungannya dengan sesama orang Minangkabau yang memiliki kesamaan strata ekonomi atau yang memiliki profesi yang sama. Bagi orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu di pasar dan bertemu dengan pedagang-pedagang lainnya, khususnya pedagang Minangkabau. Karena itensitas waktu yang lebih lama dipakai untuk bertemu dengan sesama pedagang orang Minangkabau, sehingga sangat wajar, bila orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang membentuk ikatan yang kuat antar sesama mereka. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Eryatman Tanjung,

“karena bapak pedagang, tentunya kawan-kawan bapak kebanyakan pedagang juga. Dan memang harus seperti itu, sebab kalau kita mau jadi pedagang kita harus banyak bergaul, apalagi sama orang-orang yang udah besar usahanya, terus udah sering belanja ke Jawa. karena dari mereka kita bisa dapat informasi dimana bisa dapat barang yang murah”

Namun, dalam sektor pedagangan, jarak antara kelas sosial atas, menengah dan bawah pada orang Minangkabau tidak terlalu jauh. Hal ini di karenakan diantara orang Minangkabau tersebut terbentuk hubungan simbiosis antar kelas tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada bapak Bashar Koto yang mempunyai usaha konveksi baju celemek dan sarung bantal, serta grosir kaos kaki, sarung tangan, dan sebagainya. Dan bapak Bashar Koto mempunyai tujuh pegawai, yang lima diantaranya merupakan orang Minangkabau. Dan dari beberapa pelanggan bapak Bashar Koto ada yang beretnis Minangkabau.


(33)

Begitu pula dengan orang Minangkabau yang bekerja non-perdagangan, seperti tenaga pendidik, profesional, buruh pabrik, dan pegawai swasta/negeri, mereka juga cenderung membentuk kelompok mereka sendiri yang berdasarkan kesamaan profesi mereka. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan orang Minangkabau yang beprofesi dalam sektor perdagangan, antara orang Minangkabau yang berada di strata ekonomi kelas atas dengan orang Minangkabau strata ekonomi kelas bawah memiliki jarak hubungan yang jauh. Disini perbedaan kelas terlihat antara kelas bawah dangan kelas atas, sedangkan mereka yang kelas menengah merupakan kelas yang sedikit lebih fleksibel ke kelas atas maupun masyarakat Minangkabau kelas bawah.

4.3 Hubungan antara perantau Minangkabau dengan Nilai-nilai Adat Istiadat Minangkabau

Hakikat dari merantau bagi orang Minangkabau adalah bertujuan untuk memperkaya dan memperkokoh adat Minangkabau dengan cara menunjukkan eksisitensi budaya dan sosialnya di “alam rantau” serta membawa ide, nilai-nilai dan harta yang berasal dari rantau yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan keberlangsungan adat Minangkabau. Hal ini menunjukkan bahwa orang Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang masyarakatnya mau menerima perubahan-perubahan yang datangnya dari luar adatnya, selama perubahan-perubahan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan adat Minangkabau yang sudah ada dan mengakar dalam masyarakatnya.

Dan meskipun orang Minangkabau telah merantau dan jauh dari kampungan halamannya, namun adat Minangkabau masih memiliki relevansi dengan kehidupan orang Minangkabau yang berada di perantauaan. Akan tetapi, keterikatan antara adat Minangkabau dengan perantau tidak terlalu kuat, ikatan antara adat Minangkabau denga perantau Minangkabau cenderung hanya sebatas pada deologi kesukuan saja, sedangkan dalam hidup


(34)

bermasyarakat, perantau Minangkabau cenderung lebih menyesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Selain itu, tidak banyak perantau Minangkabau yang melakukan prosesi-prosesi adat Minangkabau sebagaimana yang ada di lakukan masyarakat di kampung halamannya, seperti contohnya dalam prosesi pernikahan. Sebagian besar orang Minangkabau di kota Medan pada prosesi pernikahan hanya sebatas memakai pakaian adat saja untuk menunjukkan identitas kesuku mereka, seperti yang dilakukan oleh masyarakat umum lainnya, sedangkan hakikat prosesi pernikahan tersebut tidak sama seperti prosesi pernikahan yang sesuai dengan ketentuan adat Minangkabau yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“model acara pernikahan yang ada kayak biasanya itu enggak sama kayak di kampung Itu kalo di Pariaman kalau ada orang nikah, pengantinnya diarak keliling kampung, baru malamnya acara manjalangnnya si perempuang ke tempat si laki-laki. Karena panjang prosesnya terus banyak ini itunya makanya orang pariaman yang ada di Medan mana ada yang buat kaya gitu, kita kan pastinya nyari praktis aja”

Lemahnya ikatan adat Minangkabau dengan perantau Minangkabau dikota Medan salah satunya disebabkan oleh amalgamasi. Pernikahan antar suku yang berbeda atau amalgamasi sangat umum terjadi di kota-kota besar, termaksud juga di Medan. Di sisi lain amalgamasi merupakan sebagai bentuk kemajemukan yang terjalin baik di kota tersebut, namun dari aspek budaya, amalgamasi juga akan mengikis budaya dan nilai adat dari etnis yang melakukan amalgamasi tersebut, bahkan menghilangkan identitas kesukuannya. Kondisi ini di karenakan beberapa orang Minangkabau yang melakukan amalgamsi tidak memperkenalkan budaya dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Minangkabau kepada anak-anaknya, sehingga bisa jadi budaya Minangkabau bagi anak tersebut menjadi asing baginya. Sehingga banyak kita jumpai, orang Minangkabau “generasi kedua” atau anak dari perantau Minangkabau yang dibesarkan di perantauan, banyak yang tidak mengetahui


(35)

nilai-nilai dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Bashar Koto,

“kalau soal budaya, orang Minang di kota Medan ini bapak lihat semakin hilang identitas budaya nya, udah enggak kenal lagi sama budayanya sendiri. Buktinya, berapa banyak anak-anak yang orang tuanya orang Minang pandai bahasa Minang, sedikit sekali. Itu juga karena salah orang tuanya juga yang malas pakai bahasa Minang di rumahnya, jadi wajar aja anak-anaknya enggak ada yang bisa bicara bahasa Minang. Dari bahasa aja banyak yang enggak bisa apalagi soal adat Minang yang lainnya”

Meskipun hubungannya dengan adat Minangkabau cenderung lemah, namun perantau Minangkabau di Medan memilki hubungan emosional yang cukup kuat dengan sesamanya, hal ini ditunjukkan orang Minangkabau dengan kerap mengunakan ungkapan “urang awak” kepada orang-orang yang sama berasal dari suku Minangkabau, yang atinya ”orang kita”. Ungkapan tersebut menunjukkan rasa primordialisme bagi orang Miangkabau di kota Medan. Selain itu, orang Minangkabau di kota Medan juga cenderung hidup bekelompok dengan sesama orang Minangkabau baik dalam pola pemukiman, yang banyak bermukim di kawasan kecamatan Aur, kecamatan Medan Area dan kecamatan Medan Perjuangan, maupun dengan membentuk kelompok persatuan, seperti contohnya PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), IKGS (Ikatan Keluarga Gasan Saiyo), BASIS (Batu Basa Saiyo Sakato), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), dan sebagainya.

4.4 Revitalisasi Kelompok ArisanMinangkabau dan Implikasinya Terhadap Perekonomian dan Sosial dari Perantau Minangkabau.

4.4.1 Eksistensi Kelompok Arisan Sungai Sarik.

Sudah menjadi sifat manusia untuk hidup berkelompok satu dengan yang lainnya, hal ini di karenakan salah satu hal yang bisa kita dapat dari hidup berkelomok adalah kita dapat menunjukkan eksistensi kita kepada masyarakat. Begitu pula pada suatu masyarakat atau komunitas sosial, dimana dalam hal ini salah satu bentuk eksistensi dari masyarakat


(36)

Minangkabau di kota Medan adalah dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial Minangkabau di kota Medan.

Kelompok sosial Minangkabau yang banyak berkembang di kota Medan sebagian besar dalam bentuk komunitas paguyuban, seperti PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman), KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto), IKMKP (Ikatan Keluarga Masyarakat Kecamatan Pariangan), dan sebagainya. Yang jika kita perhatikan, bahwa hampir sebagian besar dalam penamaan kelompok pagyuban tersebut menggunakan nama kecamatan atau kabupaten yang ada Sumatera Barat.

Dan memang pada dasarnya, sebagian besar kelompok-kelompok sosial Minangkabau dibentuk sesuai tempat asal mereka masing, misalnya mereka yang berasal dari daerah Pariaman maka kelompoknya adalah PKDP, dan mereka yang berasal dari Solok maka kelompoknya S3 (Solok Saiyo Sakato), dan sebagainya. Sehingga hal tersebut memunculkan persepsi rendahnya solidaritas diantara orang Minangkabau. Akan tetapi persepsi tersebut adalah sebuah kekeliruan, hal ini diketahui melalui hasil wawancara dengan bapak Akir Sani Mandai yang juga merupakan anggota kelompok KBTK (Keluarga Besar Tujuh Koto),

“sebenarnya fungsi Tujuh Koto (kelompok KBTK) itu hampir sama kayak lembaga adat kerapatan nagari kalau di kampung, jadi segala hal yang berkitan dengan adat dan masyarakat itu di musyawarahin di lembaga adat, misalnya ada yang kemalangan orang kita, kayak misalnya sakit atau meninggal, nanti bisa kita bantu. Terus kalau misalnya ada anak kita yang disini mau nikah, ninik mamak nanti bermusyawarah, pantas atau enggak anak kita dinikahkan sama laki-laki ini, mana tahu ada di antara ninik mamak atau yang lainnya tahu kalau kelakuan laki-laki yang mau dinikahkan sama anak kita ini kelakuaannya enggak baik, itu kan bisa jadi pertimbangan sama keluarganya”

Dari wawancara tersebut, diketahui bahwa salah satu fungsi dibentuknya komunitas paguyuban di kota Medan, selain sebagai wadah interaksi antar perantau Minangkabau juga sebagai replika dari lembaga adat Minangkabau. Dan setiap komunitas paguyuban Minangkabau mewakili daerah asalnya, sebab meskipun mereka sama-sama tergolong etnis


(37)

Minangkabau, akan tetapi belum tentu adat istiadat daerah satu dengan yang lainnya sama. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa, sedikit banyaknya orang Minangkabau di kota Medan masih terhubung dengan adat istiadat di kampung halamannya.

Berbeda dengan komunitas paguyuban Minangkabau, pada kelompok arisan yang sebagaimana pada kelompok arisan Sungai Sarik, hanya memiliki struktur anggota yang jauh lebih sederhana. Bila pada komunitas paguyuban Minangkabau, struktur anggota lebih bersifat kompleks seperti halnya pada lembaga dan oraganisasi, sedangkan kelompok arisan Sungai Sarik hanya terdiri dari ketua, Wakil ketua/sekretaris, bendahara, dan selebihnya merupakan anggota. Dan tak hanya itu, kelompok arisan Sungai Sarik tidak memerlukan sebuah gedung sebagai sekretarianya sebagaimana pada komunitas paguyuban Minangkabau, sebab sebagian besar kegiatan kelompok di lakukan secara bergantian di rumah-rumah anggota kelompok, dengan cara di undi pada satiap kegiatan arisan. Dengan cara tersebut, dapat menumbuhkan rasa persaudaran diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik, karena saat anggota kelompok melakukan kegiatan arisan ke rumah salah satu anggota kelompok arisan, maka setiap anggota akan dapat saling mengetahui secara umum mengenai kondisi perekonomian setiap anggota arisan Sungai Sarik.

Salah satu ciri khas dari kelompok arisan pada umumnya terletak pada kegiatan-kegiatan kolektifnya. Diantara beragam kegiatan-kegiatan kolektif kelompok arisan Sungai Sarik, kegiatan arisan merupakan kegiatan kolektif anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang paling intens dilakukan oleh anggota kelompok arisan Sungai Sarik, walaupun juga terdapat beberapa kegiatan kolektif lainnya sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

”arisannya cuma sekali aja dalam sebulan, setiap hari Minggu di awal bulan. Terus kalau acara jalan-jalannya dibuat dua kali dalam setahun, sebenarnya awalnya acara jalan-jalan itu dibuat sekali dalam setahun, waktu libur anak sekolah, jadi anak-anak bisa ikut. Terus karena yang ibu-ibunya minta di buat acaranya dua kali dalam setahun, karena rasa mereka kurang kalau cuma di


(38)

buat sekali dalam setahun, makanya sekarang acara jalan-jalannya dibuat dua kali dalam setahun.”

Dari hasil wawancara diatas, serangkaian kegiatan kolektif tersebut tak hanya dipandang sebagai bentuk kegiatan formal dari keumuman kelompok arisan Sungai Sarik, akan tetapi kegiatan kolektif tersebut merupakan salah satu bentuk cara dari kelompok arisan Sungai Sarik untuk menjadi wadah yang dapat membetuk ikatan kekeluargaan di antara anggota kelompok, dan hal ini kemudian di perkuat dengan variasi kegiatan lainnya dalam bentuk perjalanan wisata dengan mengikutsertakan anak-anak dari anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Dengan menambahkan variasi kegiatan kolektif diluar keumuman kelompok arisan, hal ini dapat menambah kesan positif anggota kelompok dan masyarakat terhadap kelompok arisan Sungai Sarik, sehingga kelompok arisan dipandang tidak monoton, dengan kegiatan yang biasa pada kelompok arisan pada umumnya.

Selain itu komposisi dari anggota kelompok arisan Minangkabau Sungai Sarik juga mendukung dalam membangun ikatan kekeluargaan dalam kelompok arisan. Sebagaimana di ketahui bersama, bahwa dalam membentuk sebuah kelompok, orang Minangkabau cenderung membentuk kelompok berdasarkan kesamaan asal daerah, begitu pula dengan kelompok arisan. Namun hal ini berbeda dari kelompok arisan Sungai Sarik, mekipun dalam perekrutan anggota mereka mengacu pada asal daerah yang sama, namun ketetapan ini tidaklah kaku seperti pada komunitas paguyuban Minangkabau. Sebab jika pada komunitas paguyuban Minangkabau di bentuk sebagai replika lembaga adat, berbeda dengan kelompok arisan Minangkabau yang dibentuk dengan tujuan untuk memebentuk rasa kekeluargaan di antara perantau Minangkabau. Pada kelompok arisan Sungai Sarik dalam perekrutan anggota yang tidak terlalu mengkhususkan anggotanya harusa berasal dari desa atau daerah asal yang sama adalah kelompok arisan Sungai Sarik, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,


(39)

“untukjadi anggota kelompok arisan Sungai Sarik enggak ada aturan musti

kampungnyadari Sungai Sarik, yang terpenting dia beragama Islam, kalau adapun orang jawa atau batak mau ikut pun enggak apa-apa. Lagian banyak juga yang ikut arisan Sungai sarik tapi kampungnya bukan di Sungai Sarik, kayak si Ery (Eryatman Tanjung), kampungnya di batu basa di Pariangan, terus keponakan inyiak si zul (Zulkarnain Panyalai) dia besarnya di Padang Panjang, si Hisyam dari Agam, sama menantu inyiak si ketek (Muhammad Iqbal Tanjung). Yang penting dalam kelompok arisan ini bagaimana kita bisa “sadantiang bak basi saciok bak ayam” kalau ada satu diantara kita yang terkena masalah, semuanya ikut membantu”

Dan hal ini di dukung dengan ditemukan beberapa anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang tidak berasal dari desa Sungai Sarik, namun memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota lainnya, seperti halnya pada bapak Eryatman Tanjung yang merupakan perantau Minangkabau yang berasal dari desa Batu Basa, Pariangan, Tanah Datar, yang merupakan adik ipar dari bapak Muhammad Idris Panyalai, kemudian bapak Zulkarnain Panyalai, yang merupakan perantau Minangkabau dari Padang Panjang, yang merupakan keponakan dari bapak Muhammad Idris Panyalai, lalu bapak Ismail Jambak yang berasal dari desa Toboh, Nan Sabarih, Pariaman, yang merupakan keponakan dari Almarhum Mak Katik, yang merupakan ketua kelompok arisan sebelum bapak Muhammad Idris Panyalai, dan masih ada beberapa lainnya yang bukan berasal dari Sungai Sarik. Hal ini membuktikan bahwa dalam kelompok arisan Minangkabau lebih mengedepankan pada asas kekeluargaan dari pada kedaerahan.

Dan begitu kentalnya hubungan kekeluargaan pada kelompok arisan Sungai Sarik, hal ini ditunjukkan dari beberapa dari anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang diketahui memiliki hubungan kekerabatan dengan beberapa dari mereka, seperti contohnya pada bapak Akir Sani yang merupakan kakak kandung dari Rizal Mandai yang juga diketahui memiliki hubungan saudara tiri dengan bapak Usman Sikumbang, dan banyak diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik yang memiliki hubungan kerabat dengan bapak Muhammad Idris Panyalai, seperti bapak Zulkarnain Panyalai, bapak Eryatman Tanjung, dan beberapa


(40)

lainnya. Sehingga secara emosional, hubungan kekeluargaan tersebut telah ada pada setiap anggota kelompok arisan, dan kelompok arisan hanya tinggal bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada pada anggota kelompok arisan Sungai Sarik menjadi hal bermanfaat.

Dari hasil uraian di diatas, jika kaitkan dengan kelompok-kelompok arisan yang banyak berkembang di kota-kota besar di Indonesia, kita akan dapati berbagai konsep yang berbeda pada setiap kelompok arisan. Sebab kelompok arisan merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang mana dalam pembentukan dan penetapan sistem, struktur, dan nilai-nilai yang dipakai, akan dikelola sesuai dengan kebutuhan dari anggota kelompok tersebut, hal itulah yang membuat setiap kelompok arisan memiliki konsep yang berbeda-beda, seperti contohnya kelompok arisan sosialita, kelompok arisan Paguyuban, kelompok arisan pemberdayaan masyrakat, dan sebagainya.

Ditengah pesatnya industrialisasi dan modernisasi, mengembangkan nilai-nilai sosial dan kearifan lokal masyarakat menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Sebab banyak kita temukan beragam berita, baik dari media cetak atau online maupun secara langsung, mengenai beragam penyimpangan sosial dan kriminalitas dalam masyarakat yang semakin mengahwatirkan, khususnya pada kota-kota besar. Salah satu indikasi terjadinya hal tersebut adalah karena masyarakat mengalami anomi terhadap nilai-nilai agama dan budaya.

Dan untuk itu, menjadi hal yang penting untuk merevitalisasi kelompok-kelompok arisan yang berkembang dalam masyarakat agar untuk lebih mengedepankan asas agama, budaya, dan modal sosial dalam setiap kegiatan kolektif yang mereka laukan.

4.4.2 Modal Sosial dalam Kelompok Arisan MinangkabauSungai Sarik

Badaruddin (2005: 49) mengamati pembentukan kelompok arisan sebagai suatu jaringan sosial ekonomi, merupakan asosiasi yang tumbuh dari individu-individu dalam komunitas untuk menghadapi persoalan ekonomi mereka, memerlukan adanya saling percaya


(41)

di antara sesama anggotanya, melahirkan norma-norma yang disepakati dan dipatuhi bersama. Potensi modal sosial seperti itu (yang sudah mulai tererosi), sudah selayaknya untuk dikembangkan dan dikreasikan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Sedangkan modal sosial merupakan sebuah konsep yang lebih menekankan pada pengembangan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat sehingga dapat bermanfaat dalam penanganan masalah sosial yang ada pada masyarakat. Berkaitan dengan kelompok arisan Minangkabau, diperlukan tiga aspek untuk mendukung terbentuknya modal sosial yang ada dalam kelompok arisan.

4.4.2.1Kepercayaan

Menurut Francois, kepercayaan merupakan komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur masyarakat yang akan membentuk kekayaan modal sosial. Hal ini akan menciptakan suatu siklus sosial yang membuat kepercayaan yang tinggi (diwujudkan dalam tindakan untuk mencapai kepentingan bersama) berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat (Hasbullah, 2006: 12). Kepercayaan merupakan aspek paling penting dalam membangun modal sosial dalam sebuah kelompok. Sebab, suatu ikatan sosial yang terjalin tanpa adanya rasa saling percaya dari kedua belah pihak, maka hubungan diantara mereka tidak akan terjalin dengan baik dan tidak akan bertahan lama. Di kedua belah akan pihak saling mencurigai satu dengan yang lainnya, dampak terburuk dari hal ini adalah terjadinya konflik diantara kedua belah pihak, baik itu konflik laten maupun manifest.

Dalam sebuah kelompok, kepercayaan menjadi modal penting dalam keberlangsungan dan keefektivan sebuah kelompok. Karena jika dalam sebuah kelompok, dimana kepercayaan antara individu satu dengan lainnya mulai rusak, maka hal ini akan berdampak pada rusaknya kerjasama yang baik antar komponen dalam kelompok tersebut, yang kemudian akan berdampak pada disfungsinya kelompok tersebut. Dan begitu juga sebaliknya, kelompok


(42)

yang berhasil dalam membangun kepercayaan di antara anggota kelompoknya, akan dapat berfungsi efektif sehingga kelompok tersebut dapat mencapai tujuan yang telah di tetapkan bersama serta dapat menangani permasalahan-permasalahan yang timbul, baik itu datangnya dari dalam kelompok maupun datang dari luar kelompok.

Dalam membangun kepercayaan diantara individu tidak bisa terjadi begitu saja, perlu langkah yang tepat dalam membangun kepercayaan diantara anggota kelompok. Dalam hal ini sedikitnya ada tiga hal pokok yang ada dalam kelompok arisan Sungai Sarik yang dapat membangun kepercayaan diantara anggota kelompok. Pertama, mengintensifkan kegiatan-kegiatan kolektif. Kegiatan-kegiatan-kegiatan kolektif yang umum dilakukan oleh kelompok arisan, seperti halnya berkumpul secara bergantian dari rumah ke rumah anggota kelompok arisan, memiliki pengaruh yang besar dalam menumbuhkan kepercayaan diatara anggota kelompok arisan, sebab dalam kegiatan kolektif tersebut setiap anggota kelompok arisan akan saling melakukan kontak sosial dengan anggota lainnya. Kontak sosial yang dilakukan oleh kelompok arisan dapat berbagai hal, sebagaimana yang ada dalam kelompok arisan Sungai Sarik, dimana sebelum acara arisan dimulai, yaitu pada waktu setelah shalat Ashar, di pagi harinya ibu-ibu yang rumahnya berdekatan dengan rumah yang akan di selenggarakan arisan akan datang dan ikut membantu dalam menyediakan makan yang akan di sajikan saat arisan. Dan pada saat anggota kelompok mulai berdatangan ke rumah, mereka akan saling berkomunikasi satu dangan yang lainnya. Menurut Setiadi (2006: 96) saat seseorang berkomunikasi satu dengan lainnya, mereka akan berusaha untuk menyampaikan pesan dari satu pihak kepihak lain sebaik mungkin, sehingga akan timbul perasaan saling pengertian. Dan kedekatan sesorang kepada orang lain bisa di lihat dari seberapa intens mereka melakukan kontak sosial, semakin sering ia melakukan kontak sosial dengan orang tersebut itu menunjukkan ada rasa saling kepercayaan yang terbentuk diantara mereka


(43)

Kedua, kerja sama yang baik antara satu dengan lainnya. Pada setiap kelompok,

lembaga, organisasi dan sebagainya, pasti mempunyai struktur anggota, seperti ketua, Sekretaris, bendahara yang setiap komponen tersebut memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelompok. Seperti contohnya pada bagian bendahara yang bertanggung jawab untuk menjaga uang kas kelompok. dalam mengangkat sesorang menjadi pemimpin atau jabatan penting lainnya pada suatu kelompok memerlukan rasa saling kepercayaan satu dengan yang lainnya, agar pada kelompok tersebut terjalin kerjasama yang efektif. Seperti halnya pada kelompok arisan Sungai Sarik, yang dalam penetapan jabatan seseorang dalam kelompok arisan Sungai Sarik di lakukan secara terbuka, yang sebagaimana prosesnya di ungkapkan oleh bapak Muhammad Idris Panyalai,

“setelah inyiak Katik Meninggal, semuanya sepakat inyiak yang gantikannya jadi ketua. Sampai sekarang belum ada pemilihan ketua, tapi kalau bendahara setiap 5 tahun sekali diganti. Nanti inyiak sarankan tiga nama yang akan dipilih jadi bendahara, siapa yang setuju si buyung ini jadi bendahara angkat tangan, baru yang paling banyak dapat suara dia yang di pilih jadi bendahara”

Dan hal yang serupa juga diungkapkan oleh bapak Muhammad Iqbal Tanjung,

“waktu pemilihan abak (Muhammad Idris Panyalai) jadi ketua bapak enggak tahu, soalnya bapak ikut arisan ini masih baru, tahun 2007 bapak baru ikut arisan. Mungkin karena dia yang paling dituakan arisan makanya di yang tunjuk jadi ketua, lagiankan kemekannya kan banyak di arisan ini, jadi biar gampang ngaturnya, tinggal di suruh aja sama abak”

Dan bapak Usman Sikumbang mengungkapkan bagaimana dia diangkat menjadi wakil ketua sekaligus menrangkap jadi sekretaris arisan.

“bapak jadi sekretaris karena di suruhnya sama mak dirih, bukan dipilih pake voting gitu. Karena mak Dirih yang ngakat, yang lain setuju ajanya. Tapi kalau milih bendahara baru pake voting. Lagiankan tugas bapak kan Cuma jadi sekretaris, tugasnya ngabarin sama yang lain kalau misalnya anak si itu Nikah, ada yang Meninggal, Sakit, sama gantiin mak Dirih kalau berhalangan datang di arisan. Kalau bendahara kan beda, tugasnyakan megang uang, jadi yang dipilih yang memang bisa di percaya, makanya waktu pemilihan pak Bashar sebagai bendahara arisan dipilihnya dengan cara voting”


(44)

Ketiga, komposisi anggota yang memiliki ikatan emosional yang kuat. Sebagaimana

yang sudah diterangkan sebelumnya, sebagian besar kelompok sosial Minangkabau di kota Medan dibentuk berdasarkan kesamaan tempat asal. Dan pada saat orang Minangkabau merantau ke suatu daerah, ia akan lebih cenderung berteman dekat dengan orang yang memiliki etnis yang sama dengannya, terlebih lagi diketahui lagi mereka berasal dari kebupaten, atau kecamatan, atau desa yang sama. Hal ini sebagaimana yang ada dalam wawancara dengan bapak Basrial Efendi Koto,

“kalau ditanya lebih enak temanan sama yang sekampung atau yang se profesi, sebenarnya lebih enak berteman sama yang sekampung, tapi kalau bisa teman sekampung dan se profesi. Lagiankan orang Minang ini usahanyakan hampir rata-rata bedagang, orang-orang kampung pak Bas rata-rata sama kayak pak Bas pedagang juga. Kalau di Batangkuis orang Minang masih sedikit, makanya pak Bas sering main-main ke Bromo, karena di Bromo banyak orang kampung bapak di sana”

Selain di karenakan dari tempat yang sama, kepercayaan yang kuat pada kelompok arisan Sungai Sarik atau dari beberapa kelompok arisan Minangkabau lainnya adalah dimana dari beberapa orang dari anggota kelompok arisan tersebut saling bersaudara satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, untuk membangun kepercayaan dalam kelompok arisan tidaklah terlalu sulit, di karenakan sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya, dan sedikit banyaknya mereka sudah mengenal karakternya masing-masing.

Berkaitan dengan kepercayaan diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik, hal sederhana seperti memilih ketua kelompok dan bendahara merupakan sebuah bentuk kepercayaan diantara anggota kelompok sudah mulai terbentuk, hal ini karena adanya rasa percaya dari anggota kelompok arisan bahwa individu yang mereka pilih atau tumjuk menjadi ketua dan bendahara adalah orang dapat mengelola dan mengatur agar kelompok arisan Sungai Sarik ini dapat terus berjalan, termaksud juga dalam mengelola uang iuran, mereka percaya bahwa uang iuran yang mereka kumpulkan akan aman dengan bendahara yang mereka pilih.


(45)

Pada tahap selanjutnya, kepercayaan itu berkembang dalam skala yang lebih kecil yaitu diantara kedua anggota kelompok arisan Sungai Sarik. Terkadang diantara anggota kelompok ada yang tidak bisa berhadir pada kegiatan arisan, dan sudah menjadi hal yang lumrah dalam kelompok arisan Sungai Sarik, dimana salah satu diantara anggota kelompok membayarkan iuran anggota yang tidak hadir tersebut yang kemudian akan di ganti di lain hari. Hal ini seseuai dengan pernyataan bapak Ismail Jambak,

“kalau ada yang tidak datang, biasanya dia menitipkan uang sama yang datang arisan atau dipinjam dulu uangnya buat bayar iuran, nanti baru di gantinya. Titip uang kayak gitu udah biasa, malahan kalau misalnya yang namanya keluar terus orang nya tidak bisa hadir, nanti uang arisan itu di titipkan sama orang yang dekat sama rumahnya atau sama yang bisa mengantarkan.”

Dan ternyata rasa saling percaya diantara anggota kelompok arisan Sungai Sarik tak hanya berkembang pada kegiatan kelompok arisan Sungai Sarik saja, hal ini mampu berkembangan di luar dari kegiatan kelompok arisan. Hal ini ditandai dengan, beberapa dari anggota kelompok arisan saling membantu satu dengan lainnya dalam masalah ekonomi, seperti halnya memberikan pinjaman kepada salah satu anggota sebagai membantunya menambah modal, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Usman Sikumbang,

“Waktu itu bapak pernah meminjam uang sama pak bashar, karena bapak ada keperluan buat ganti emas orang yang di kasihkan sama bapak untuk di tempah, tapi emas itu di curi waktu bapak ke kampung lalang. Bapak pinjam uang sama pak Bashar sebanyak 5 juta, janjinya bapak 5 bulan udah lunas, tapi ternyata molor 3 bulan, karena ada keperluan mendesak juga waktu itu. Tapi untung aja pak Bashar bisa paham dan percaya sama bapak, karena bapak sama pak Bashar udah lama saling kenal, jadi dia tahu bagaimana sifat awak, awak pun tahu bagaimana sifat dia. Kalau berteman ini yang penting jujur, karena kalau orang dah kenal kita bukan orang jujur, orang akan sulit percaya lagi sama kita.”

4.4.2.2Norma

Norma merupakan sebuah komitmen yang dibentuk bersama dengan tujuan sebagai pengendali hubungan antar individu di dalam masyarakat atau sebuah kelompok. Dan pada sebuah kelompok, peran moral tak hanya berfungsi sebagai pengendali hubungan antar anggota, tapi ia juga yang mengorganisasikan pemikiran, pengalaman, dan tidakan anggota


(1)

ABSTRAK

Kelompok sosial memiliki peran yang besar dalam membentuk modal sosial dalam masyarakat, dan salah satunya adalah kelompok arisan. Untuk membentuk itu, perlu upaya revitalisasi kelompok arisan yang dapat lebih mengedepankan dan mengembangkan potensi-potensi masyarakat yang mampu mendukung terbentuknya modal sosial dalam masyarakat tersebut. Dan pentingnya pengembangan modal sosial di tengah-tengah masyarakat dikarenakan modal sosial memiliki kempuan untuk mengatasi masalah-malah sosial yang dalam masyarakat dengan cara memafaatkan potensi-potensi dari masyarakat itu sendiri. Begitu pula pada masyarakat etnis Minangkabau, di mana banyak dari enis Minangkabau yang merantau ke kota Medan dan mengalami beragam permasalahan sosial dan ekonomi. Dan utuk itu, keberadaan kelompok-kelompok arisan paguyuban Minangkabau sedikit banyaknya memberikan kontribusi dalam adaptasi orang Minangkabau di kota Medan, khususnya bagi perantau Minangkabau.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tujuan untuk dapat menegetahui serta untuk menjelaskan lebih dalam mengenai pengembangan modal sosial yang ada dalam kelompok arisan Minangkabau. Adapun teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan observasi,. Data yang diperoleh kemudian akan diinterpretasikan dalam bentuk narasi dan deskripsi. Informan dalam penelitian ini berjumlah sepuluh orang yang keseluruhannya merupakan perantau Minangkabau dan terdiri dari beragam profesi.

Ada tiga pokok kesimpulan dalam penelitian ini, 1) dalam aspek ekonomi orang Minangkabau di kota Medan banyak yang menempati kelas menegah-upper lower. 2) terkait dengan budaya, orang ikatan orang Minangkabau di kota Medan dengan adat Minangkabau tidak terlalu kuat, sehingga banyak diantara orang Minangkabau d kota Medan memiliki pegetahuan sedikit tentang budayanya, khusunya pada orang Minangkabau “generasi kedua”. 3) dalam kelompok arisan Minangkabau terjalin solidaritas dan ikatan kekeluargaan yang kuat di antara anggota kelompok, hal ini di karenakan diantara mereka ada yang memiliki ikatan kekerabatan satu dengan yang lain serta bersifat paguyuban yang berasal dari daerah yang sama.


(2)

KATA PENGANTAR

Hal pertama yang pantas di ungkapkan oleh seorang Muslim dalam banyak kesempatannya adalah bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena dengan ridho-NYA lah penulis dapat di berikana kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Revitalisasi kelompok Arisan Sebagai Strategi Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus Pada Etnis Minangakabau Yang Merantau Ke Kota Medan). Dalam Skripsi ini penulis

mencoba memaparkan serangkaian potensi sosial yang ada dalam kelompok arisan Minangkabau yang dapat mendukung terbentuknya modal sosial di dalam kelompok arisan Minangkabau tersebut.

Kemudian penulis sangat berterimakasih kepada ibunda tercinta Emi Mursida dan ayahanda tercinta Arisman, SE yang telah mendukung penulis, baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di FISIP USU. Dan penulis menyadari dan mememahami betul bahwa dalam penyajian materi skripsi ini masih terdapat kesalahan-kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis akan berlapang dada dalam menerima kritik dan saran yang bersifat membangun agar menjadi masukan bagi penulis untuk memperbaiki skripsi ini.

Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, sudah sewajarnyalah penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.SI selaku Dekan FISIP USU.


(3)

3. Bapak Prof. Dr, M. Arif Nasution, MA, selaku Dosen Pembimbing Penulis yang telah meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran, dan banyak masukan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Staf Pengajar FISIP USU, khususnya Bapak dan Ibu dosen Departemen Sosiologi yang telah membagi ilmu selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Sosiologi serta kepada jajaran staff administrasi yang telah membantu dalam berbagai proses administrasi dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Terimaksih kepada adik-adik penulis, Nurul Hidayah, Darman Hidayah, dan Dina Fitri Fadhillah yang telah memberikan dukungan motivasi selama masa perkuliahan penulis.

6. Dan penulis juga bertemakasih yang kepada sahabat penulis Muhammad Ali Syabana Harahap dan Taufik Ismail yang banyak memberikan masukan dan saran selama masa perkuliahan penulis serta memeberi dukungan dalam banyak kesempatan.

7. Serta penulis sangat berterimakasih kepada teman-teman di Departemen Sosiologi 2010, khususnya kepada Aditya Fritama, Hilal Tantowi, Rahmadsyah, Aris Prasetyo, Ismail Jahidin, Fahmi Iskandar, Rifki Hutriawan, Dewi Septria, Riswan Efendi, Prayugo Utomo, M. Utuh Habib, yang memberikan banyak berkontribusi selama proses perkuliahan penulis selama di Departemen Sosiologi FISIP USU.

8. Dan terimakasih yang sangat besar saya ucapkan kepada seluruh anggota kelompok arisan Sungai Sarik, terlebih khususnya kepada bapak Akir Sani Mandai, Bashar Koto, Basrial E. Koto, Eryatman Tanjung, Ismail Jambak, M. Idris Panyalai, M. Iqbal Tanjung, Rizal Mandai, Usman Sikumbang, Zulkarnain Panyalai, yang mana mereka semua telah bayak sekali membantu penulis dalam memberikan informasi dan tanggapan yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi penulis.


(4)

9. Terimakasih buat semua pihak-pihak lainnya yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Atas dukungan dari pihak-pihak tersebut, penulis mengucapkan terimakasih banyak. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan.

Medan, 04 Juni 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI... ...v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Perumusan Masalah ...9

1.3 Tujuan Penelitian ...10

1.4 Manfaat Penelitian ...10

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Adaptasi Perantau Minangkabau...11

1.5.2 Modal Sosial Dalam Pembangunan...20

1.5.3 Pengembangan Masyarakat Dalam Kelompok Arisan...28

1.6 Defenisi Konsep 1.6.1 Revitalisasi...35

1.6.2 Kelompok Arisan...35

1.6.3 Strategi Adaptasi...36

1.6.4 Perantau...36

1.6.5 Modal Sosial...36

1.6.6 Adaptasi Ekonomi...36

1.6.7 Adaptasi Sosial...37

BAB II METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Jenis Penelitian...38

2.2 Lokasi Penelitan...38

2.3 Unit Analisis dan Informan...39

2.4 Teknik Pengumpulan Data...41

2.5 Interpretasi Data...43

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Kota Medan 3.1.1 Geografi...44

3.1.2 Demografi...46

3.2 Profil Umum Kelompok Arisan Sungai Sarik...52

3.3 Profil Informan...54

BAB IV INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Strategi Adaptasi Perantau Minangkabau pada Fase Awal Merantau di Kota Medan 4.1.1 Motivasi Ekonomi Perantau Minangkabau di Kota Medan...61

4.1.2 Pola Kediaman Perantau...66

4.1.3 Sumber Pendapatan...70

4.1.4 Kegoncangan Budaya...72

4.2 Gambaran Umum Interaksi Etnis Minangkabau di Kota Medan Dalam Aspek Ekonominya...74 4.3 Hubungan Antara Perantau Minangkabau Dengan Nilai-Nilai


(6)

Adat Istiadat Minangkabau...78 4.4 Revitalisasi Kelompok Arisan Minangkabau dan Implikasinya

Terhadap Perekonomian dan Sosial dari Perantau Minangkabau

4.4.1 Eksistensi Kelompok Arisan Sungai Sarik...80 4.4.2 Modal Soial Dalam Kelompok Arisan

Minangkabau Sungai Sarik...86 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……….102 5.2 Saran………...104 DAFTAR PUSTAKA………105