Realitas Sosial Sirang So Sirang (Pisah Tidak Pisah)(Studi Kasus Pada Suami Dan Istri Di Etnis Batak Toba Kristen Yang Mengalami Sirang So Sirang Di Kota Medan)

(1)

REALITAS SOSIAL SIRANG SO SIRANG (PISAH TIDAK PISAH) (Studi Kasus Pada Suami dan Istri di Etnis Batak Toba Kristen Yang

Mengalami Sirang So Sirang Di Kota Medan)

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

SKRIPSI Diajukan Oleh: DELPA E PASARIBU

060901026

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : DELPA E PASARIBU

NIM : 060901026

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL : REALITAS SOSIAL SIRANG SO

SIRANG (PISAH TIDAK PISAH)

(Studi Kasus Pada Suami dan Istri di Etnis Batak Toba Kristen yang Mengalami Sitang So Sirang Di Kota Medan)

DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

Dra.H.MARHAENI MUNTHE,M.Si Dra. LINA SUDARWATI,M.Si NIP.196305261990032001 NIP. 19660318989032001

DEKAN


(3)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan da;am perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Tetapi kegagalan dalam rumah tangga tidak semua keluarga mengakhirinya dengan perceraian, tetapi keluarga tersebut mengambil keputusan sirang so sirang. Yang dimana keluarga tersebut tidak ada perkataan cerai, atau tidak ada keputusan dari kedua belah pihak yang mengatakan cerai. Tetapi sirang so sirang itu seperti pisah ranjang atau pisah dari keluarga tersebut dengan tidak berfungsinya layaknya sebuah keluarga seperti suami harus melindungi istrinya dan istri harus melayani suaminya. Dalam sirang so sirang ini fungsi keluarga itu tidak berfungsi atau tidak terjadi lagi.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil beberapa informan yaitu 2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan yang sekarang ini telah mengalami sirang so sirang dalam keluarganya yang berada di wilayah kota Medan. Dan 6 informan biasa yang terdiri dari penatua gereja, tokoh adat dan masyarakat biasa. Penelitian ini dilakukan hanya kepada suku Batak Toba dan beragama Kristen. Alasan menggunakan penelitian dengan metode kualitatif ini untuk memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam, karena kasus yang diangkat cukup sensitif.

Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa terjadinya sirang so sirang yang terjadi dikalangan Batak Toba Kristen itu adalah merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam mengakhiri setiap permasalahan yang terus menerus yang tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan sirang so sirang dalam keluarganya diantaranya : adanya pihak ketiga dalam sebuah keluarga, adanya tindakan kekerasan yang dialami seorang istri, tidak memiliki keturunan anak (anak laki-laki), faktor ekonomi, konflik atau pertengkaran yang terus menerus.

Penelitian juga terdapat yang memutuskan sirang so sirang bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki atau suami juga melakukannya. Terjadinya sirang so sirang dikalangan Batak Toba Kristen itu didasari oleh faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern (dari dalam keluarga) tersebut yaitu terjadinya konflik, perselisihan, pertengkaran yang terus menerus sehingga sulit untuk dipertahankan lagi. Sedangkan faktor ekstern (faktor dari luar) yaitu masuknya budaya Barat yang banyak diadopsi masyarakat, kurangnya bimbingan konselirng dari gereja kepada keluarga, dan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan masuknya budaya Barat sehingga terjadi memudarnya budaya, nilai-nilai agama, adat. Faktor dari luar ini memberi peluang kepada sebuah keluarga untuk mengambil keputusan dengan sirang so sirang.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangakan wanita bertindak sebagai istri. Perkawinan adalah gabungan antara dua manusia yang awalnya mungkin mempunyai tujuan dan mimpi yang sama, atau yang merasa dapat menjalankan walau dengan perbedaan yang ada dan pemahaman yang tidak sama dan untuk keberhasilan perkawinan itu diperlukan keinginan, tekat dan usaha dari keduanya. Bukanlah suatu aib jika keutuhan itu memang tidak dapat lagi dipertahanka 2010, pkl.10.00).

Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan penting untuk menjaga keutuhan lembaga tersebut. Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal selama-lamanya. Horton mengatakan arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain.. perayaan dan upacara agama


(5)

perkawinan adalah salah satu cara untuk mengumumkan status baru tersebut. Adanya perkawinan tersebut maka bukan hanya suami istri saja yang terlibat dalam perkawinan tetapi melibatkan hubungan antara keluarga istri dan keluarga suami serta orang lain yang ikut melibatkan diri didalamnya. Perkawinan itu tidak hanya semata - mata menjadi urusan kedua mempelai saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diberkati Tuhan sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita.

Dalam hubungan perkawinan maka akan terbentuk keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, terutama peran dan fungsi suami dan isteri dan juga anggota keluarga lainnya. Keluarga terdiri dari bebrapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antar anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tidak bahagia (disharmonis). Membahas tentang keluarga, biasanya kita akan langsung berpikir tentang suami, istri dan anak-anak. Yang disebut dengan keluarga adalah hubungan yang didasarkan pada pertalian perkawinan atau kehidupan suami istri yang disebut dengan keluarga inti (conjugal Family). Pada pola keluarga konjugal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Selain itu sistem keluarga itu mengandalkan pasangan suami istri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga masing-masing yang terdiri dari suami isteri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi penyangga kehidupan pasangan suami isteri. Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang tergantung pada kerabatnya, sehingga kewajiban yang tua menjadi berkurang dan keluarga konjugal tidak banyak


(6)

menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan tidak efekrif lagi, sehingga beban emosional dan finansial keluarga conjugal menjadi lebih berat. Tipe keluarga seperti ini lah yang sekarang dilaksanakan oleh banyak masyarakat di perkotaan. Sehingga hal tersebut yang dapat memicu terjadinya Sirang so Sirang khususnya bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kota. Keputusan Sirang so Sirang tersebut akibat dari tipe keluarga konjugal yang menghilangkan atau mengabaikan beberapa fungsi dari kerabat luas atau pihak para tetua dalam keluarga besar, seperti yang ada dalam sistem kekerabatan Batak Toba. Keluarga ideal tidak terlepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga itu adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi.

Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur khususnya masyarakat Batak Toba dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Agama yang dianut oleh suku Batak Toba umumnya adalah Kristen. Di masyarakat suku Batak Toba, agama dan budaya tidak dapat dipisahkan sehingga perkawinan sangat lekat dengan adanya pesta adat yang diselenggarakan setelah upacara pemberkatan di gereja oleh pendeta. Dalam suku Batak Toba perkawinan adalah hal yang sangat penting. Yang menyebabkan perkawinan itu penting adalah karena tujuan dari


(7)

perkawinan itu sendiri. Tujuan perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah tanggung jawab terhadap naluri biologis dalam melanjutkan garis keturunan.

Disamping karena ingin mencapai tujuan perkawinan itu sendiri, setiap pasangan suami istri pasti menginginkan keluarga yang sempurna dan kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan yang diinginkan. Keadaan tersebut pasti diinginkan oleh semua pasangan, baik itu keluarga Batak Toba ataupun keluarga lainnya. Namun kenyataannya dalam kehidupan berumah tangga, pasti ada saja kendala atau masalah yang harus dihadapi oleh suami istri. Hal tersebut tidak lepas dari perbedaan dasar yaitu perbedaan sifat dan prinsip antara suami dan istri. Dan tidak jarang juga rumah tangga keluarga Batak Toba yang mengalami hal tersebut. Hal tersebut tidak dapat kita katakan hanya sekedar dari pribadi mereka masing-masing, banyak juga dari pihak-pihak luar, khususnya pihak keluarga masing-masing contohnya saja mertua atau orangtua mereka. Oleh karena itu juga, ujung dari masalah-masalah tersebut juga beragam. Tetapi karena sebagian besar masyarakat Batak Toba beragama Kristen, yang menurut agama Kristen bahwa perkawinan itu hanya bisa dilakukan satu kali seumur hidup atau tidak ada boleh terjadi perceraian, maka yang terjadi adalah hubungan pisah tidak pisah (sirang so sirang). Sirang so sirang (pisah tidak pisah) adalah alternatif yang banyak dipilih oleh orang Batak Toba sebagai jalan keluar dari masalah keluarganya tanpa adanya perceraian. Karena perceraian dalam masyarakat Batak Toba sangat jarang bahkan tidak diijinkan oleh agama dan kebudayaan itu sendiri. Dengan adanya adat yang mengikat atau mengendalikan kehidupan masyarakat akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang


(8)

sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak Toba tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu begitu teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama suami isteri, dengan adanya prinsip tersebut maka kesempatan masyarakat juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian. Hal tersebut yang menjadi penyebab masyarakat lebih memilih tindakan Sirang so Sirang dari pada melakukan perceraian.

Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini memang benar, khususnya dalam hubungannya dengan agama yang menitikberatkan transendesi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya dan kemerdekaan masyarkat yang mapan. (Bagong Suyanto, 2004)

Dikarenakan pengaruh agama diatas tadi terhadap budaya-budaya dalam Batak Toba maka banyak terjadi pembaharuan budaya atau kebiasaan. Dari perubahan tersebut, dalam hal ini yang dapat kita lihat adalah pengaruhnya terhadap sistem perkawinan. Sehingga dalam masyarakat Batak Toba terbangun beberapa realitas dalam bentuk dan kebudayaan perkawinan itu sendiri. Salah satu


(9)

realitas sosial yang terjadi sekarang ini dalam masyarakat Batak Toba yaitu adanya keluarga yang mengalami Sirang so Sirang. Dimana Sirang so Sirang itu adalah status yang dianggap kurang jelas hubungannya. Keluarga tersebut belum resmi cerai dan juga tidak ada hubungan yang baik layaknya sebuah keluarga yang harus menjalankan fungsi masing-masing anggota keluarga. Sebuah keluarga pasti menginginkan keluarga tersebut keluarga yang ideal dan keluarga yang kekal. Terciptanya sebuah keluarga yang kekal tidak terlepas dari norma-norma, nilai adat dan agama yang selalu mengarahkan keluarga tersebut ke keluarga yang kekal.

Pandangan agama Kristen terhadap keluarga itu membawa keluarga Kristen itu kearah keluarga yang ideal, dimana banyak ajaran Kristen yang mengatur jalannya bahtera keluarga itu. Kumpulan ajaran kepada beragam anggota jemaat yaitu kepada para suami dan istri, orang tua dan anak-anak, hamba-hamba dan tuan-tuan. Dalam setiap hubungan berpasangan agama Kristen memberikan ajaran tentang bagaimana masing-masing seharusnya tunduk kepada yang lain. Pandangan Gereja tradisional telah menempatkan perempuan sebagai pendamping bagi laki-laki. Tetapi ketika diterapkan dalam realitas sosial sehari-hari terjadi perbedaan dalam menafsirkan arti "pendamping yang sepadan". Perbedaan tafsiran tersebut berdarnpak luas dan memasuki setiap segmen kehidupan relasi antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang terlihat adalah tersubordinasinya perempuan bila dibandingkan dengan laki-laki. Kedudukan dan peran perempuan Batak Toba Kristen dipengaruhi oleh sistem nilai atau ideologi dan stereotip jender yang berlaku di masyarakat Batak Toba. Ideologi atau sistem


(10)

nilai dan stereotip jender yang berlaku terbentuk sebagai hasil tarik-menarik dari kekuatan sosial budaya pada masyarakat Batak Toba.

Salah satu ajaran agama Kristen dalam Efesus 5:22 terhadap keluarga dikatakan “Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus., Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuhmu”

Istri tunduk kepada suaminya karena dia kepala yang menyerahkan hidupnya bagi sang istri. Suami harus tunduk kepada istrinya dengan mengasihinya seperti Kristus mengasihi Jemaat - dengan menyerahkan hidupnya bagi sang istri. Anak-anak tunduk kepada orang-tuanya dengan mentaatinya. Para ayah tunduk kepada anak-anak dengan membesarkan mereka untuk mengenal Tuhan. Sama dengan hamba-hamba dan tuan-tuan.

Dengan adanya nilai-nilai, norma dan agama dalam sebuah keluarga akan mempersempit terjadinya pemutusan hubungan perkawinan dengan perceraian. Adanya norma dan agama yang mengikat keluarga agar keluarga tersebut berjalan sesuai dengan harapan. Banyaknya sekarang ini keluarga yang mengalami Sirang so Sirang membuat peneliti tertarik untuk meneliti “ Realitas Sirang So Sirang di kalangan masyarakat Suku Batak Toba di kota Medan”, adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan agama yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat tetapi sudah banyak keluarga yang bukan lagi menjadi keluarga yang diharapkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan adat tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah


(11)

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya Sirang So Sirang dalam hubungan perkawinan dalam Batak Toba Kristen selain nilai adat dan agama?

2. Bagaimana interaksi atau hubungan suami atau isteri dan keluarga yang mengalami Sirang so Sirang tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya Sirang so Sirang dalam perkawinan suku Batak Toba Kristen selain nilai adat dan agama. 2. Untuk mengetahui bagaimana interaksi atau hubungan antara suami atau isteri dan keluarga yang mengalami Sirang so Sirang.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perpisahan (Sirang so Sirang) yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba Kristen.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature kajian terhadap perkembangan ilmu sosiologi. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikutnya khususnya kajian yang berhubungan dengan perpisahan (Sirang so Sirang) dalam masyarakat Batak Toba Kristen.


(12)

1.5 Definisi Konsep

Konsep adalah suatu istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau yang menyatakan suatu ide gagasan untuk memperjelas suatu keadaan suatu penelitian (Iqbal Hasan 2002;17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut : a. Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembanggkan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan.

b. Perkawinan Pada Masyarakat Batak

Perkawinan pada masyarakat Batak adalah penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban baru serta pengakuan status baru oleh orang lain dan bukan hanya melibatkan pasangan suami istri saja tetapi juga keluarga dari kedua belah pihak dengan awal acara pemberkatan pernikahan di gereja oleh pendeta lalu dilanjutkan oleh acara adat.

c. Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami isteri, ayah dan ibu, putra dan putrid, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama


(13)

d. Batak Toba

Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatera Utara berasal dari Sumatera Utara.

e. Adat Batak

Adat batak adalah persatupaduan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi kehidupan, keagamaan, hukum, kemasyarakatan ataupun kekerabatan dan sebagainya.

f. Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama dalam waktu yang cukup lama sehingga suatu kesatuan social dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Soekanto : 1982)

g. Sirang So Sirang

Sirang so Sirang adalah status sebuah keluarga yang tidak jelas hubungannya. Dimana keluarga tersebut dikatakan cerai kenyataannya tidak dikatakan masih ada hubungan juga tidak karena keluarga tersebut tidak menjalankan fungsi keluarga itu sebagaimana seharusnya sebagai keluarga.

h. Realitas Sosial

terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.

i. Masalah Sosial

Masalah sosial adalah gejala atau fenomena sosial yang tidak sesuai antara apa yang dikehendaki masyarakat dengan apa yang terjadi. Beberapa masalah


(14)

sosial penting yang sering muncul dalam kehidupan di masyarakat diantaranya kemiskinan, kejahatan, disorganisas keluarga, masalah remaja, masalah kelainan seksual dan masalah kependudukan.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Koenjaraningrat (2002) bahwa perkawinan merupakan suatu saat yang terpenting pada daur hidup dari semua manusia diseluruh dunia, karena merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederatan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk satu tali hubungan sosial yang baru dan juga jumlah anggota keluarga bertambah. Masuknya keluarga suami/isteri menimbulkan banyak sekali peran kewajiban baru dan juga penyesuaian dan ketegangan-ketegangan baru. Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami itu sendiri. Menurut H.R.Otje Salman Soemadingrat (2002;173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan.

Emile Durkheim mengatakan bahwa “ ikatan kekeluargaan (perkawinan) dengan suasana tradisi dan adat-istiadat oleh karena adanya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akan bergeser kearah kontrak berdasarkan pengaturan oleh Negara” (Doyle,1990). Ada banyak tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan/keluarga dewasa ini: (1) Goncangnya lembaga perkawinan akibat dari polygamy (permaduan). (2) Melunturnya cinta suami isteri. (3) Faktor penghambat luar keluarga yaitu keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, hukum perundang-undangan yang mentolerir perceraian, ledakan penduduk,


(16)

keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari strukstur patriakhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung permisif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks (BKKBN,2004). Clayton mengatakan bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi didalam suatu keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam keluarga ( Kamanto Sunarto, 2000).

Pada dasarnya, di antara para sosiolog menghadapi masalah dalam menjelaskan konsep keluarga, tetapi mereka berupaya menjembataninya dengan memberikan definisi pada beberapa konsep kunci mengenai keluarga. Beberapa konsep kunci yang dibahas oleh kalangan sosiolog diantaranya keluarga, sanak famili dan pernikahan. Giddens misalanya, mendefinisikan keluarga dengan ‘sekelompok orang yang mempunyai kaitan langsung hubungan kerabat (kin) yang di dalamnya terdapat orang-orang dewasa yang bertanggungjawab dalam pengasuhan anak’ (Giddens, 2001:173). Sementara menurut yang lainnya, keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang satu sama lain memiliki hubungan keturunan, pernikahan atau adopsi (Parsell, 1987:295, Kornblum, 2000:502, Macionis, 2000:299) memiliki kerjasama dalam pemenuhan ekonomi dan pengasuhan anak (Zenden, 1988:337). Menurut Sunarti (2004, 63) dalam sosiologi keluarga biasanya dikenal pembedaan antara keluarga yang bersistem kongjunguinal dan keluarga bersistem kongnjugal. Keluarga yang bersistem


(17)

kosanguinal menekankan pada pentingnya ikatan darah. Misalnya hubungan seseorang dengan orangtuanya.Keluarga yang bersistem Konjugal menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami istri) yang cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orang tua. Lembaga keluarga memegang peranan penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebagai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi; dan juga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan social bagi suami isteri, ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaaan bersama. Sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Baik itu merupakan hubungan cinta atau kekuasaan, hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain, demikian halnya terhadap kepuasan-kepuasan yang tidak mementingkan diri sendiri. Pekerjaan yang dilakukan seorang diri pun menimbulkan kebahagiaan. Penderitaan dan kebahagiaan manusia itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan di satu pihak, menimbulkan ketidaksenangan pada pihak lain.

Pada Masyarakat Batak memandang bahwa perkawinan sebagai hal yang sakral, suci, perpaduan hakikat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Perkawinan itu sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan (maksudnya bahwa


(18)

setiap anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh/berumahtangga).

2.1. Teori Pertukaran Sosial

Menurut Peter Blaw teori pertukaran sosial itu adalah untuk “memahami struktur sosial berdasarkan analisis proses sosial yang mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.. Blaw bermaksud menganalisis struktur sosial yang lebih kompleks, melebihi Homans yang memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kehidupan sosial mendasar. Blaw memusatkan perhatian kepada proses pertukaran yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antarindividu maupun kelompok. Pertukaran social yang dimaksud disini terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan yang berhenti apabila reaksi-reaksi-reaksi-reaksi yang diharapkan ini tidak kunjung datang. Prinsip-prinsip teori pertukaran yang diterapkan oleh Pieter M Blaw di dalam menganalisa hubungan social antara orang yang saling mencintai, seperti hal nya dengan perkawinan. Hubungan social dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum didasarkan pada apakah reward yang ditukarkan itu bersifat intrinsik (termasuk kasih sayang, kehormatan atau kecantikan) atau ekstrinsik (seperti uang, barang-barang). Reward yang intrinsik berasal dari hubungan itu sendiri. Sebaliknya, hubungan ekstrinsik berfungsi sebagai alat bagi suatu reward yang lainnya, dan bukan reward untuk hubungan sendiri. Dalam kasus seperti itu, reward dapat dilepaskan dari hubungan tertentu, dan pada prinsipnya dapat diperoleh dari setiap pasangan pertukaran (Doyle Paul Johnson,1990:77)


(19)

Blaw juga mengatakan “kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada dan memperlakukan sangsi negatif”. Norma dan Nilai. Menurut Blaw, mekanisme yang menengahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Ada mekanisme lain yang menengahi antara struktur sosial, tetapi Blaw memusatkan perhatian pada konsensus nilai. Menurutnya konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri itu dan mendapat persetujuan implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas kelompok. Dengan kata lain, kelompok atau kolektivitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dengan individu.

Dahulu perkawinan masyarakat Batak adalah sakral tetapi jika memperhatikan perkembangan sekarang ini , apakah masih bisa tetap demikian. Karena menurut Rajamarpodang, dikatakan sudah banyak masalah yang timbul bahwa perkawinan itu sudah semakin umum sifatnya. Masalah ini dapat saja timbul karena adanya campur tangan yang besar dari pihak keluarga kedua belah pihak pasangan suami istri tersebut. Hal ini disebabkan sebagaimana yang telah dikatakan bahwa perkawinan orang Batak itu tidak hanya melibatkan pasangan suami istri saja tetapi melibatkan keluarga kedua belah pihak, sehingga dalam setiap masalah apapun peranan keluarga ini sangat besar. Jika sebuah perkawinan orang Batak tidak memiliki keturunan (atau anak laki-laki) maka pihak keluarga suami berusaha untuk mencari istri lain bagi anaknya sampai dapat memiliki anak


(20)

laki-laki (keturunan sebagai penerus marga). Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpecahan antara pasangan suami dan istri karena si istri tidak mau diduakan dan akhirnya memilih untuk berpisah saja, tetapi karena adanya efek atau akibat dari perpisahan tersebut banyak di alami oleh pihak si istri sebagai contohnya saja dalam perkumpulan marga suaminya, si istri tidak lagi termasuk perkumpulan itu, maka pilihan yang tepat atau baik dirasakan si istri adalah pisah ranjang (Sirang so Sirang). Adanya pengaruh dari luar (dari keluarga kedua belah pihak) dapat membawa perubahan pada keluarga itu sendiri. Perubahan ini mengakibatkan penilaian kembali dari moral dan nilai masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada di masyarakat.

Teori Pertukaran sosial ada di pendekatan objektif. Pendekatan ini disebut “obyektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia yang dapat diamati oleh pancaindra (penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan pembau), dapat diukur dan diramalkan. Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan berpisah.


(21)

2.2. Teori Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Tori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroperasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.

Dalam Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Teori pilihan rasional Coleman tanpak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditetentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ritzer (2004:394). Ada dua unsur utama dalam teori Coleman,


(22)

yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Coleman. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro. (Ritzer 2004:394-395).

Masyarakat Batak Toba memandang perkawinan sebagai suatu hal yang sakral dan suci, yaitu perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Perkawinan itu sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan yang artinya adalah setiap anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh atau berumah tangga. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat unik. Keunikan ini menjadi cirri khas masyarakat Batak bahkan setelah memeluk agama Kristen. Pengaruh masuknya agama Kristen ini jelas kelihatan dalam masyarakat Batak sebab sebelumnya orang Batak boleh mempunyai banyak istri (poligami) tetapi setelah agama Kristen masuk maka keadaan pun berubah.


(23)

Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya Batak itu sendiri yang dapat merasakan bagaimana hikmat dan teguhnya perkawinan masyarakat Batak. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu dapat teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama antara suami dan istri.

Terjadinya masalah-masalah yang ada dalam sebuah keluarga, tidak selamanya dapat diselesaikan dengan baik. Dan sebagian masalah tersebut terselesaikan berujung pada perceraian, dan sebagian masalah itu juga dipertahankan hanya mempertimbangkan hal-hal lain yang dianggap nantinya bisa diperbaiki. Tetapi, dalam sebagian keluarga tidak berani untuk mengambil keputusan untuk bercerai tetapi mencoba untuk lepas dari keluarga itu tanpa adanya keputusan yang jelas. Seperti halnya seorang istri yang memilih jauh dari keluarganya atau tidak lagi satu atap dengan suaminya. Itu dikarenakan dia tidak mendapatkan status bercerai, disatu sisi si istri masih menyandang status sebagai istri, di sisi lain dia tidak menjalankan fungsinya sebagai istri lagi.

Terjadinya sirang so sirang dalam masyarakat itu di sebabkan oleh berbagai hal yang dimana istri atau suami itu membuat sebuah pilihan yang dianggap rasional dalam mengatasi masalahnya. Dalam teori pertukaran sosial bahwa seorang suami yang telah melakukan sirang so sirang kepada istrinya dimana si suami tersebut tidak mendapatkan sesuatu hal dari istrinya tersebut, tetapi dia bisa mendapatkannya dari yang lain. Seperti halnya dengan kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga. Dalam adat Batak Toba bahwa kehadiran


(24)

seorang anak sangat diharapkan, apalagi anak laki-laki yang merupakan penerus garis keturunan. Seorang istri harus mampu memberikan seorang anak dalam sebuah keluarga, dan apabila tidak mampu memberikan anak tersebut, maka istri tersebut harus menerima dia di madu atau di ceraikan ataupun hal lainnya dari pihak keluarga suami.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan yang semakin tidak dapat terelakkan oleh setiap pihak, yang setiap hari semakin meluas, maka perubahan sosial dan budaya yang nyata tersebut juga berakibat pada berubahnya kehidupan keluarga. Terjadinya perubahan penilaian dan aspirasi individual serta kolektif manusia seperti juga cara berpikir manusia dan bertindak. Perubahan ini membawa kesulitan-kesulitan yang tidak sedikit juga pada keluarga. Dalam mengembangkan kemampuannya yang begitu luas, banyak keluarga tidak selalu sanggup mengendalikan kekuatannya untuk tetap bertahan dalam mempertahankan kehidupan rumah tangganya.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualiatatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data /informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Alasannya adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasaan dan kesempatan peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensistif.

3.2 .Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Medan. Lokasi penelitian ini diambil karea penduduk Kota Medan sangat kompleks baik dari segi budaya maupun ekonomi sehingga orang Batak yang tinggal di Medan dapat mewakili orang Batak dalam menjawab masalah Sirang so Sirang dalam perkawinan masyarakat Batak.

3.3. Unit Analisis dan Informan.

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto,1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini keluarga Batak Toba Kristen yang telah berpisah tetapi belum bercerai secara resmi (agama dan adat yang bertempat tingal di wilayah kota Medan. Dari keseluruhan


(26)

unit analisis ini akan diambil informan yang dianggap dapat menjawab permasalahan penelitian ini. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriteria informan kunci sebagai berikut.

- Suami atau istri yang berpisah tetapi status dari keluarga tersebut tidak jelas bercerai atau masih ada hubungan.

- Berasal dari suku Batak Toba Kristen.

Sedangkan yang menjadi informan biasa adalah penatua adat (raja adat), tokoh marga yang tahu tentang adat batak toba dan masyarakat biasa suku Batak Toba .

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai sumber data guna menunjang penelitian ini maka peneliti akan mengumpulkan data melalui :

1. Data Primer

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer yang dilakukan dengan :

- Observasi

Observasi/pengamatan ini didasarkan atas pengamatan secara langsung dengan tujuan untuk melihat bagaimana antara orang tua dengan anak, maupun istri dan suami. Sehingga dapat ditemukan data yang diperlukan. Pengalaman langsung adalah merupakan alat ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Dengan pengalaman ini memungkinkan peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terrjadi pada keadaan yang sebenarnya.


(27)

- Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam yaitu untuk mendapatkan data secara lengkap sebagaimana yang dinginkan, dibantu oleh instrumen penelitian. Wawancara mendalam yang dilakukan peneliti dalam hal ini karena permasalahannya yang sangat sensitive.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. (Maleong,1993:103).

Data mentah yang sudah terkumpul melalui observasi dan wawancara mendalam akan diolah dan dianalisis untuk menemukan makna setiap data/informasi, hubungan antara satu dengan yang lainnya. Memberikan tafsiran yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalahnya secara keseluruhan agar dapat menjawab masalah dalam penelitian ini.


(28)

3.6. Jadwal kegiatan

3.7. Keterbatasan Penelitian

Selama dalam penelitian penulis mempunyai banyak kendala dan keterbatasan penulis dalam mendapatkan data yaitu:

1. Peneliti mengalami kesulitan dalam mencari data perkawinan yang mengalami Sirang so Sirang, karena tidak ada data tertulis dari pengadilan seperti data perceraian.

2. Dalam pencarian alamat informan peneliti sangat kewalahan, karena peneliti merupakan penduduk pendatang di kota Medan jadi pencarian alamat tersebut menjadi sedikit sulit dirasakan oleh peneliti.

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √ √

8 Bimbingan √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √


(29)

3. Dalam wawancara informan sebagian kurang terbuka, peneliti berusaha agar informan mau bersikap terbuka dalam memberikan informasi mengenai keluarganya.

4. Dalam pencarian informan tokoh agama dan adat peneliti sangat kewalahan karena peneliti selain bukan berasal dari Gereja suku, peneliti juga tidak terlalu mengerti mengenai adat istiadat Batak Toba.


(30)

BAB IV

INTEPRETASI DATA

4.1 Setting Lokasi

4.1.1 Sejarah Kota Medan

Kota Medan dahulu merupakan kampung kecil yang berada disalah satu tanah datar atau Medan yang pada waktu itu kita kenal sebagai “Kampung Medan Putri”, letaknya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Selama kurang lebih 80 tahun, Medan telah berkembang menjadi kota Medan seperti saat ini. Menurut Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya yang berjul “Riwayat Hamparan Perak” tahun 1971, Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang Encik Pulo Brayan. Guru Patimpus juga merupakan nenek moyang Datuk Hamparan Perak(Dua Belas Duta) dan Datuk Suka Piring, yaitu dua dari tempat Kepala suku Kesultanan Deli. Dalam bahasa Karo, kata “Guru” berarti “Dukun” ataupun “orang pintar” kemudian kata”Pa” merupakan sebutan untuk seorang bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang. Sedangkan kata “Timpus” berarti “Bundelan, bungkus atau balut”. Dengan demikian Guru Patimpus dapat diartikan sebagai seorang dukun yang memiliki kebiasaan memungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan dibadan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan disekitar Balai Kota Medan.


(31)

Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat dimana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata “Medan” itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis portugis yang berasal dari awal abad ke-16 disebutkan bahwa Kota Medan berasal dari nama “Medina”, sedangkan dari sumber lainnya menyatakan bahwa Medan berasal dari bahasa India”Meiden”, yang lebih kacau lagi bahwa ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata”Medan” karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai Medan pertemuan. Bila kita menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku Karo, tentunya kata Medan itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah satu kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwira Prinst, 2002: kata Medan berarti ‘menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah “orang pintar” yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional karo pada masa tersebut.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku Karo, hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan beregelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil KerajaanAceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Dimasa pemerintahan Sultan Deli kedua Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang Kavaleri di Medan. Sejak saat itu Medan menjadi membayar upeti kepada Sultan Deli. Diluar pulau Jawa, Medan


(32)

merupakan contoh perkembangan kota yang pesat. Medan semula hanya bernama Kampung Medan, terletak di pertemuan sungai Deli dan sungan Babura. Guru Patimpus, seorang Karo mulai merintis pemukiman Medan pada tahun 1590. Tembakau kemudian mengubah kampong Medan menjadi pusat perdagangan sejak 1642. John Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menemukan bahwa Medan saat itu masih merupakan sebuah kampong kecil berpenduduk sekitar 200 orang. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858 , setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannnya, Deli, Langkat dan Serdang. ( Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, BPS Kota Medan)

Medan mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys Van der falk dan Eliot, pedagang tembakau asal Belanda mempelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, Pindah ke Deli diajak seorang Arab-Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau ditanah milik Sultan Deli seluas 4000 bahu di Tanjung Spasi, dekat Labuhan Maret 1864, Niunhuys megirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya, ternyata daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik. Hal ini menarik investor-investor asing dan menyebabkan banyak orang-orang dari daerah lain yang pindah kedaerah Deli untuk mencari nafkah.


(33)

Perjanjian tembakau ditandangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Niunhuys bersama Jannsen, P.W.Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari labuhan ke kampung Medan. ( Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, BPS Kota Medan)

Kantor baru itu dibangun di penggir sunga Deli, tepatnya di kantor PTPN II(eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktifitas pemerintahan Propinsi Sumatera Timur dan Kerajaan Deli serta pusat perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru didaerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta Sunga Beras dan Klumpang pada tahun 1875. Tahun 1918, Medan dijadikan Kota Praja, tetapi tidak termasuk didalamnya daerah kota Maksum dan daerah Sungai kera yang tetap berada di bawah Kesultanan Deli. Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa dan terdiri dari 409 orang bangsa Eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia,8269 orang bangsa Cina, dan 130 orang bangsa Asia lainnya. Berdasarkan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU, terhitung mulai tanggal 21 september 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat. Keputusan tersebut disusul oleh Maklumat Walikota Nomor 21 tanggal 29 september 1951 yang merupakan luas kota Medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi 4 kecamatan, yaitu: -Kecamatan Medan


(34)

-Kecamatan Medan Timur -Kecamatan Medan Barat

-Kecamatan Medan Baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.

Melalui UU Darurat No.7 dan 8 tahun 1056 dibentuk propinsi Sumatera Utara Daerah Tingkat II antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan khususnya memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan penduduk. Oleh karena itu, dikeluarkan Perintah No.22 tahun 1973, dengan masuknya beberapa Kabupaten Deli Sedang kedalam kota Medan, sehingga belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat persetujuan Mendagri No.140/22/1/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151 kelurahan. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah RI No.35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan termasuk kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di Kota Daerah Tingkat II Medan, sehingga sebelumnya terdiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan. (Kota Medan Dalam Angka 2009,BPS kota Medan,hal 26). Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera Utara, yang terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3° 30'-98°-3° 43' LU dan 98° 35'-98° 44'BT. Permukaan tanahnya cendrung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m diatas permukaan laut. Luas Kota Medan saat ini adalah 265.10 km². Sebelumnya hingga 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 52 32 km², namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.


(35)

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan :

-Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

-Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

-Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang -Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang (....Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, bps Kota Medan , hal 11)

Laju pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang terjadi jika dibandingkan dengan sebelumnya dan dinyatakan dengan persentase. Komposisi penduduk Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan, didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada masing-masing kelompok usia penduduk. Proporsisi penduduk berdasarkan usia, dapat dilihat bahwa penduduk paling banyak adalah yang berada pada usia 20-24 dengan perincian penduduk laki-laki 116.164 jiwa, 11,23% sedangkan perempuan 121.385 jiwa, 11,58%. Dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2009 yang paling banyak adalah perempuan dengan total keseluruhan 1.048.460 jiwa sedangkan laki-laki hanya 1.034.696 jiwa.


(36)

4.1.2. Gambaran Masyarakat Kota Medan

Penduduk asli Sumatera Utara adalah suku bangsa Melayu yang berdiam di Pesisir Timur Sunatera Utara. Penduduk pada daerah ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Penduduk lainnya yang berada didaerah pedalaman sumatera utara , seperti suku bangsa batak umumnya adalah bermata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan hasil hutan, sedangkan pola mata pencaharian suku lainnya yang merupakan pendatang berkembang sesuai dengan perkembangan perkebunan-perkebunan yang dibuka pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk menopang perkembangan perkebunan pada masa dibuka oleh pemerintah Belanda , mereka menjalankan politik “pintu Terbuka” bagi pendatang atau perantau dari berbagai daerah didalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan ini merangsang berbagai suku bangsa yang ada disekitar Sumatera Timur seperti Aceh, Batak dan Minangkabau untuk dating merantau ke Sumatera Utara dan kota yang menjadi sarana utama dari perantau itu adalah Kota Medan.

Persentase jumlah penduduk kota Medan dilihat dari kelompok Etnis pada tahun 2009 terdapat suku bangsa jawa dengan jumlah penduduk laki-laki sekitar 33,02% dan penduduk suku jawa perempuan adalah 33,03%, maka jumlah penduduk untuk etnis suku jawa sebanyak 33,03%, suku Batak Toba dengan persentase penduduk laki-laki sebanyak 19,06% dan penduduk etnis toba perempuan sebanyak 19,35% , sehingga jumlah penduduk Batak Toba berjumlah 19,21%. Penduduk etnis Cina laki-laki sebanyak 10,65%, dan perempuan 10,66% sehingga jumlah penduduk etnis Cina sekitar 10,65%. Etnis Mandailing dan Angkola laki-laki sebanyak 9,37% dan perempuan sebanyak 9,38% sehingga


(37)

jumlah penduduknya sekitar 9,38%. Etnis Minang laki-laki sebanyak 8,72 dan perempuan sebanyak 8,48% sehingga jumlah penduduknya sekitar 8,60%. Penduduk Suku Melayu sekitar 6,59%. Suku Karo berjumlah 4,20%, Aceh memiliki persentase jumlah penduduk sekitar 2,78%, Simalungun berjumlah 0,69%, Nias berjumlah 0,69%, Pakpak berjumlah 0,34% dan suku lainnya terdapat persentasenya sekitar 3,95%.(Kota Medan Dalam Angka, 2009). Dari data diatas menunjukan bahwa jumlah penduduk yang lebih mayoritas adalah suku Jawa, sedangkan yang paling rendah persentasenya adalah suku Pakpak. Dalam penelitian yang dilakukan bahwa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Suku Batak Toba yang jumlah persentase penduduknya di Kota Medan adalah sekitar 19,21%. Persentase laki-laki etnis batak toba sekitar 19,06% dan perempuan sekitar 19,35%. Selisih antara jumlah persentase laki-laki dan perempuan Etnis Batak Toba yang ada di Kota Medan adalah 0,19%. Masyarakat kota Medan pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor pariwisata. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi daerah. Karena penduduk mengalami peningkatan dan berarti pula kebutuhan ekonomi juga akan bertambah. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau sering disebut PDRB atas dasar harga konstan setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB atas dasar harga konstan. Sejalan dengan peningkatan PDRB ADH konstan tahun 2000 kota Medan selama periode 2005-2007, pertumbuhan ekonomi kota Medan selama


(38)

periode yang sama, meningkat rata-rata di atas 7,77 persen

Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya untuk bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat kota Medan dapat digolongkan ekonomi yang memiliki perkembangan yang yang sangat maju, karena di daerah kota Medan merupakan daerah yang sangat strategis dan sangat banyak usaha-usaha yang ada. Sehingga di Medan sangat banyak lowongan kerja yang mampu menampung pekerja-pekerja, baik itu yang telah tamat dari perguruan tinggi yang ada di Kota Medan maupun yang berasal dari luar datang ke Medan hanya untuk mencari kerja. Ini menggambarkan bahwa kota Medan itu memiliki potensi ekonomi yang tinggi, yang tidak kalah dari daerah-daerah lain yang juga memiliki sosial ekonomi yang tinggi 2010).

Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama sektor perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di kota Medan mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim usaha dan perdagangan yang dapat memberikan citra yang positif bagi kota Medan, meskipun terdapat berbagai konflik yang terjadi, tetapi masing-masing kelompok


(39)

atau masyarakat masih mampu mengendalikan atau meredam konflik tersebut, sehingga kota Medan yang dikenal dengan kota yang masyarakatnya majemuk dikatakan sebagai salah satu kota yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama etnis dan lain etnis, kumpulan marga dan sebagainya

Interaksi sosial yang terjadi antar etnis di kota Medan menunjukkan keberadaan penduduk kota Medan mengalami perkembangan pertumbuhan perekonomian, ini dilihat dari keberadaan penduduk kota Medan yang mempunyai keinginan bekerja keras. Perselisihan yang ada antar etnis tidak membuat penduduk kota Medan untuk terus berpacu dalam memajukan dan mensejahterakan kota Medan untuk dapat lebih maju lagi. Interaksi yang terjadi pada masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang merupakan interaksi yang sangat positif, dimana interaksi yang dijalin tidak menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Tingkat perekonomian yang semakin maju dengan masuknya orang luar untuk membuka lapangan pekerjaan di kota Medan. Kebanyakan yang memiliki usaha-usaha yang ada di kota Medan adalah orang asing. Ini menggambarkan bahwa masyarakat kota Medan Wellcome dengan pendatang baru. Penduduk kota Medan yang memiliki masyarakat yang majemuk yang dimana masyarakat terdiri


(40)

dari berbagai suku. Interaksi yang terjadi dengan masyarakat pribumi Sumatera Utara sangat terjalin dengan baik, ini terlihat dari konflik-konflik yang terjadi dapat di kendalikan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan dan juga budaya kerjasama yang ada di Kota Medan yang dapat digolongkan dengan baik. Dalam bidang politik juga bahwa masyarakat tidak terlalu memandang SARA( Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) terbukti dengan suku yang dapat digolongkan Minoritas dikota Medan dapat memimpin sebuah provinsi, itu merupakan wujud nyata yang dapat dilihat bahwa masyarakat tidak mempersoalkan yang namanya SARA.

Persentase jumlah penduduk agama Islam di kota Medan sebanyak 67,83%, persentase agama katolik sebanyak 2,89%, Agama Kristen Protestan sebanyak 18,13%, Agama Budha sebanyak 10,4% dan agama Hindu sebanyak 0,68% dan lainnya sekitar 0,07 %. Dari data tersebut bahwa yang persentase jumlah penduduk yang tertinggi di Kota Medan adalah Agama Islam, sedangkan untuk Agama Kristen hanya 18,13%. Dan yang menjadi sasaran dari penelitian adalah agama Kristen Protest

4.1.3. Gambaran Etnis Batak Toba Di Kota Medan

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat kota Medan masih sangat baik, dimana dari hasil pengamatan juga bahwa setiap etnis-etnis/suku-suku, marga masih mempunyai berupa persekutuan atau perkumpulan yang dapat meningkatkan kekerabatan keluarga tersebut. Perkumpulan marga juga dapat mendorong meningkatkan kekerabatan dan juga dapat meningkatkan ekonomi


(41)

keluarga. Seperti halnya dengan Dalihan Na Tolu bagi suku Batak Toba yang berfungsi memberi keseimbangan dalam kekerabatan. Dalihan Na Tolu ini dapat menumbuhkan sistem kekerabatan yang baik yang dimanapun dan kapanpun akan selalu berfungsi, meskipun tidak berada dikampung halamannya atau telah merantau, maka falsafah Dalihan Na Tolu akan selalu tetap ada. Adat-istiadat juga sangat dijunjung tinggi membuat sistem kekerabatan itu semakin baik. Karena bagi suku Batak Toba bahwa yang paling dikenal adalah adatnya yang dikenal begitu dijunjung tinggi, orang tidak mempunyai adat dalam suku batak Toba dianggap hal yang tidak baik. Orang yang diangkat menjadi orang batak Toba saja di buat adatnya, apalagi orang yang asli batak toba, maka seharusnya akan ber adat. Aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Etnis batak Toba di kota Medan mulai aktif mulai dari subuh. Banyak kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat kota Medan demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Seperti halnya para inang-ingang parengge-rengge, para inang-inang parrengge-rengge ini sudah mulai bekerja mulai jam 3 pagi,mereka sudah ke berangkat ke pajak untuk berjualan. Para ibu-ibu ini berjualan sampai sekitar jam 10 pagi . Sebagian mereka sampai sore bekerja sebagai parengge-rengge. Tidak jauh beda dengan bapak-bapak yang mulai dari pagi mereka mengais rejeki, yaitu para bapak-bapak supir angkut(oplet). Mereka juga mulai dari jam 3 atau jam 4 mereka sudah keluar dari rumah dan mencari sewa, dan kebanyakan sewa mereka adalah para inang-inang parengge-rengge. Para bapak-bapak ini selain mencari sewa kearah pajak-pajak, mereka juga mencari sewa kearah terminal amplas, karena sebagian bus yang berasal dari luar kota menuju Medan sampai dikota Medan adalah pagi, para bapak-bapak supir angkot ini sudah standby di terminal amplas menunggu bus


(42)

dari luar kota datang. Tidak kalah juga dengan para bapak-bapak tukang becak, sebagian bapak-bapak ini hampir 24 jam stanby menunggu sewa. Mereka siap sedia mengantarkan sewa kapan dan kemanapun.

Berbeda dengan mayarakat yang bekerja di kantor, baik PNS, pegawai swasta, dan pekerja-pekerja di supermarket atau Mall/plaza. Mereka yang bekerja di sektorr ini sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh inang-inang parengge-rengge dan bapak-bapak tukang becak dan super angkut tersebut. Mereka mulai bekerja jam 8 pagi dan kalau mereka bekerja di PNS atau pegawai swasta mereka hanya bekerja sampai jam 4 atau 5 sore. Berbeda juga dengan swalayan atau Mall yang mulai jam 8 sampai jam 10 malam buka. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat kota Medan juga dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang tinggal di pinggiran rel atau di kolong jembatan atau juga di pinggiran-pinggiran sungai. Banyak juga yang mengais rejeki dengan mecari barang-barang bekas, dalam mencari barang-barang bekas mereka tidak memandang umur, baik itu anak, ibu, bapak mereka bersama-sama mencari barang-barang bekas. Mereka sudah mulai mencari sejak subuh ke tempat sampah, dan pada siang hari sebagian dari mereka mengamen persimpangan lampu merah. Dari hasi pengamatan penulis, di kota Medan sangat banyak orang yang mengamen. Mereka terdiri dari ayah, ibu atau anak-anak mereka.

Interaksi pada keluarga Batak khususnya Batak Toba dilihat dari nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat itu sendiri. Ini dilihat pada istilah yang dikenal dengan sebutan Dalihan Natolu. Pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai lembaga kekerabatan yang didasarkan pada Dalihan Natolu. Dalihan Natolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi


(43)

Tiga Tungku Sejarangan. Di dalam sistem sosial tersebut terdapat tiga kelompok kekerabatan yang menjadi unit-unit fungsionalnya. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal artinya Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Ompunta naparjolo martungkot salagunde. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat identik dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak. Apakah yang disebut dengan Dalihan Na Tolu Paopat Sihal-Sihal itu. Dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut : Somba Marhula-Hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru. “Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna”.

Somba marhula-hula. Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk


(44)

sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat. Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya. Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula. Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isisnya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru). Dalam budaya Batak, ada umpasa Litok aek ditoruan, tujulu ni jalanan. Hal ini terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup. Ada pemikiran, semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau


(45)

menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula, sehingga pernyataan siraraon do gadongna dianggap menjadi bala dalam kehidupannya. Untuk menghilangkan bala itu, diadakanlah upacara adat mamboan sipanganon untuk memohon ampun apabila ada kesalahan-kesalahan generasi terdahulu kepada pihak hula-hula. Upacara mamboan sipanganon disampaikan kepada keturunan pihak hula-hula setaraf generasi terdahulu atau tingkat yang dianggap pernah terjadi kesalahan itu.

Dalam berbagai agama, ibu sangat diagungkan. Bahkan ada ungkapan sorga ada ditelapak kaki ibu. Dalam agama Kristen, hukum Taurat ke V menyebutkan, hormatilah ibu-bapamu agar lanjut usiamu. Tidaklah bertentangan bila falsafah dalihan na tolu somba marhula-hula diterapkan. Karena kita menghormati keluarga ibu yang kita cintai itu. Dalam agama Kristen disebutkan, kalau menghormati orang tua, akan mendapat berkat dan lanjut usia. Manat Mardongan Tubu. Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Dongan Tubu dalam adat Batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau ada satu marga mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga tersebut yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kawin.


(46)

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik .

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kawin atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan. Apabila dalam suatu adat Batak terdapat pelecehan atau sikap meremehkan teman semarganya, biasanya akan berakhir dengan perdebatan sengit bahkan pada perkelahian. Hal itu dapat dipahami, karena suatu keluarga yang bersaudara antara abang dan adik tidak terdapat batas-batas. Bahkan karena diikat oleh kasih sayang, dalam adat Batak , namardongan tubu dapat selalu memanggil nama, khususnya kepada tingkat di bawahnya. Misalnya panggilan “ho”, “langkam”, “amani aha”, dll panggilan yang sangat akrab, namun harus diingat dalam keakraban itulah terdapat peluang-peluang sakit hati yang menimbulkan pertikaian atau perkelahian. Hal ini dapat terjadi pada tonggo raja (perencanaan acara puncak adat) yang tidak menempatkan posisi dongan tubu sesuai dengan kepentingan adat.


(47)

Dalam kasus lain, manat mardongan tubu sangat perlu diingat dalam masalah harta warisan atau masalah kepemilikan. Karena dalam kenyataannya, masalah warisanlah penyebab terbesar pertikaian di kalangan namardongan tubu. Hal itu terbukti pula dalam persidangan-persidangan pengadilan negeri di Bona Pasogit yang bertikai akibat harta warisan (terutama tanah) sering membawa korban jiwa. Pertikaian akibat harta warisan antara boru ke hula-hula sangat jarang sekali. Dalam ungkapan (umpasa) batak ada istilah jolo diseat hata asa di seat raut. Artinya, sebaiknya segala sesuatu itu dimusyawarahkan dulu sebaik-baiknya, barulah dilaksanakan. Umumnya umpasa itu disampaikan dalam rangka pembagian jambar, yang diatur oleh pihak-pihak namardongan tubu. Itulah sebabnya ada ungkapan marpanungkun (konsultasi). Patutak Pande Bosi, soban bulu panggorgorina. Marpukpak angka na marhahamaranggi (na mardongan tubu) angka boru ma pangolanina. Pandai Besi (pande bosi) biasanya dalam membentuk tempahannya sangat riuh bunyi peralatannya, namun untuk menjadikan tempahan itu harus ada kayu atau arang yang membakarnya supaya jadi baik. Demikian diumpamakan, kalau pihak hula-hula namardongan tubu bertikai karena sesuatu hal, agar tercapai kebaikan, pihak boru berperan sebagai penengah, bukan terlihat dalam pertikaian itu. Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.


(48)

4.2 Profil Informan

4.2.1 Informan Kunci (Suami atau Istri Yang Sirang So Sirang) 1. N.M (Perempuan, 45 Tahun)

N M adalah perempuan yang sekarang berusia 45 tahun. Ibu dari 1 orang anak perempuan ini lahir di Muara tanggal 12 Oktober 1966. N M adalah seorang Ibu rumah tangga yang sekarang bertempat tinggal di Jl. Sakura Helvetia, Medan. N M menikah pada tahun 1989 saat umur 23 tahun. Awalnya N M memulai hidup di Medan ini dikarenakan kemauan suaminya dengan alasan sulit mendapatkan pekerjaan di kampung mereka karena pada saat itu N M dan suaminya hanya menjalankan usaha keluarga mereka dengan menggarap lahan milik orang tua suami Ibu N M. Awalnya mereka merantau ke Medan, N M dan suaminya bekerja sebagai buruh-buruh pabrik.

Pada tahun 1992 di tahun ke 3 usia pernikahan mereka, N M dan suaminya memutuskan untuk mengangkat seorang anak. Hal tersebut adalah sebagian dari usaha mereka agar segera mendapatkan keturunan. Mereka mendengarkan saran-saran dari para keluarga dan juga tetangga-tetangga mereka bahwa dengan mengangkat anak bisa “memancing” supaya mereka segera mendapatkan keturunan juga. Tetapi kenyataan berkata lain, setelah ditunggu-tunggu sampai usia pernikahan mereka yang ke 6 tahun, pernikahan mereka mulai tidak bisa diselamatkan lagi, karena memang dari tahun pernikahan yg ke 3 pun saat mereka mengangkat anak, pertengkaran dan perselisihan sudah sering terjadi diantara mereka. Menurut N M penyebab mereka berpisah saat itu adalah dikarenakan keluarga mereka tidak memiliki anak atau keturunan.


(49)

2. L T (Perempuan, 51 Tahun)

L T adalah seorang guru di salah satu Sekolah Dasar di kota Medan. Beliau lahir tgl 11 Maret tahun 1960 dan sekarang berusia 51 tahun. L T bertempat tinggal di Jl. Mandala ,Medan. Ibu ini sengaja membeli rumah di daerah tersebut agar dekat dengan tempatnya mengajar. Ibu L T menikah tahun 1983 dan dikaruniai 2 orang anak, yaitu anak laki-laki dan perempuan. Setelah 2 tahun pernikahan bahkan semenjak tahun pertama pernikahan sudah terjadi pertengkaran-pertengkaran yang tidak dapat dihindari. Banyak sekali pemicu nya, salah satunya karena pada saat itu suami Ibu L T belum juga mendapatkan pekerjaan untuk dapat menghidupi keluarganya. Dikatakan Ibu L T selama pernikahan mereka, Ibu L T merasa tidak sejahtera dan tidak bahagia, hal tersebut juga yang menjadi pemicu pertengkaran setiap saat di rumah. Selain penyebab diatas, awal penyebab hubungan Ibu L T dan suaminya tidak harmonis adalah karena Ibu L T selalu membahas atau menyinggung-nyinggung tentang hal perjodohan mereka dulu yang terlalu dipaksakan oleh orang tua mereka masing-masing.

Suami Ibu L T merasa tidak senang dan merasa dibanding-bandingkan dengan laki-laki yang dulu sempat berhubungan dengan Ibu L T sebelum mereka menikah. Ibu L T sering menyinggung tentang laki-laki tersebut lebih bisa diandalkan sebagai kepala rumah tangga yang bisa menafkahi keluarganya dari pada suami Ibu L T. Masalah tersebutlah yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga Ibu L T.


(50)

3. E S (Perempuan, 24 Tahun)

E S adalah seorang perempuan yang baru berusia 24 tahun dan masih tergolong sangat muda saat memutuskan untuk menikah. E S lahir di Pekanbaru, Riau. Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA, E S memilih untuk merantau ke Medan dan bekerja di kota tersebut. Setelah 2 tahun bekerja, E S bertemu dengan T S dan mereka langsung menikah setahun kemudian tahun 2009. Tidak lama setelah mereka menikah, mereka langsung dikaruniai anak. Saat bulan ke 5 mereka menikah, mulai terjadi pertengkaran dan perdebatan. Dan hal tersebut terjadi setiap hari. Ditambah juga karena mereka tinggal di rumah orangtua suami E S, maka mereka juga ikut campur dalam segala masalah rumahtangga E S dan suaminya. Saat itu E S dan suaminya sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, seluruh kebutuhan keluarganya E S dan suaminya di biayai oleh orangtua suami E S. Disamping karena mereka baru saja menikah, alasan yang membuat mereka harus tinggal di rumah orangtua suami ES adalah karena suami E S adalah anak satu-satunya. Semenjak mereka sudah memberitahukan niat mereka untuk menikah, orangtua suami E S sudah mengatakan mereka harus tinggal di rumah orangtua suaminya.

Oleh karena itu, dari awal pihak mertua ES selalu mengontrol dan ikut campur dalam segala masalah yang terjadi di rumah tangga mereka tanpa terkecuali. Penyebab mereka bertengkar kata ES sebagian besar karena adanya ikut campur pihak mertua ES. Contohnya saja karena ES belum juga dapat pekerjaan, mertua ES selalu bilang ke suami ES supaya memarahi ES karena tidak berusaha mencari pekerjaan, padahal menurut ES yang seharusnya dipaksa bekerja dan mencari nafkah itu adalah suami. Hal tersebut yang membuat ES


(51)

mulai tidak nyaman tinggal bersama mertuanya. Selain itu juga hal yang paling membuat ES yakin untuk berpisah saat itu adalah karena pihak mertua ES menuduh bahwa anak yang dikandung ES bukanlah cucu mereka, karena jarak dari pernikahan mereka dan saat ES diketahui sedang mengandung sangat dekat sekali. Saat itu suami ES juga tidak berusaha membela atau mencoba untuk menyelesaikan masalahnya dan menjelaskan apa yang terjadi pada keluarganya. Maka saat ES mengandung 5 bulan, pihak mertua ES sudah berusaha mengusir ES dari rumah dan suami ES juga jadi jarang pulang kerumah.

Penyebab ES mengambil keputusan untuk berpisah saat itu adalah karena ikut campur pihak mertuanya dan perlakuan mereka terhadap ES yang sudah melampaui kesabaran ES. Setelah berpisah, ES kembali tinggal di rumah orangtuanya sampai dia melahirkan anaknya. Dan setelah beberapa bulan kemudian, ES kembali tinggal dan bekerja di Medan.

4. S S (Perempuan, 34 Tahun)

S S adalah seorang wanita berusia 34 tahun yang lahir pada 21 Januari tahun 1977. S S bertempat tinggal di Jl. Jamin Ginting Pasar 7 , Medan. S S melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas di Medan pada tahun 1995. Setelah menyelesaikan pendidikannya, S S kemudian menikah tahun 2005. Dua tahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak. Dan herannya setelah mereka memiliki anak, hubungan mereka jadi semakin renggang dan selalu ada saja masalah untuk dipertengkarkan. Saat mereka menikah sampai mereka punya anak, kebutuhan mereka masih dibiayai oleh mertua SS. Awal pertengkaran karena mereka sudah binggung membiayai kebutuhan anak mereka. Sedangkan mereka


(52)

saja masih ditolong oleh mertua SS. Semenjak itu SS selalu mendesak suaminya untuk segera bekerja supaya mereka bisa membiayai kebutuhan anak mereka dan anak mereka bisa tetap tinggal dan dirawat bersama mereka. Tapi tetap saja suaminya SS bersikeras untuk tidak bekerja dengan alasan gaji di Medan sedikit. Dan suaminya menyuruh anak mereka dirawat di rumah mertua SS, tetapi karena SS bersikeras juga supaya anaknya tinggal tetap bersama mereka, maka setiap hari semakin besar saja masalah dan pertengkaran mereka. SS mengatakan dia malu terus-menerus masih mengharapkan biaya dari mertuanya sedangkan mereka sudah memiliki keluarga sendiri dan juga anak. Tetapi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi keputusan suaminya, maka SS pun memutuskan untuk berpisah. Semenjak berpisah SS menitipkan anaknya di rumah orang tuanya dan SS kembali tinggal dan bekerja di Medan seorang diri.

5. NM (Perempuan, 49 Tahun)

Perempuan berusia 49 tahun ini lahir pada tanggal 2 September 1962. Ibu ini sehari-harinya bekerja sebagai pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari di salah satu pasar tradisional yang ada di kota Medan. NM bertempat tinggal di Jl. Rakyat Pasar 2, Medan Perjuangan di bagian Timur kota Medan. NM tinggal di Medan semenjak menikah yaitu dari tahun 1987. Setahun kemudian mereka langsung dikaruniai seorang anak perempuan. Awalnya hubungan NM dan suaminya baik-baik saja dan keluarga mertua NM pun juga sama baiknya. Tetapi menginjak 5 tahun pernikahan, kondisi rumahtangga mereka mulai renggang, hal tersebut dikarenakan keluarga NM belum juga mempunyai anak laki-laki. Setiap hari mertua NM mulai menggoyang hubungan NM dan suaminya dengan cara


(53)

selalu mengatakan supaya suaminya NM menikah lagi dan mencari perempuan lain agar suaminya NM bisa memiliki keturunan laki-laki. Karena selalu di goncang dan di pengaruhi oleh orangtuanya, maka suami NM pun menuruti kemauan orangtuanya. Karena NM bersikeras tidak mau dimadu, maka suaminya setiap hari bertingkah dan melakukan hal-hal yang tidak baik, seperti berjudi, mabuk-mabukan berhutang dimana-mana dan juga main perempuan. Hasilnya, NM memilih untuk berpisah saja karena tidak bisa lagi sabar dengan kelakuan suaminya tersebut yang setiap hari semakin menjadi.

6. S T (Perempuan,40 Tahun)

Perempuan berusia 40 Tahun yang lahir tahun 1971 ini lahir di Dolok Sanggul. Pekerjaan sehari-hari Ibu ini untuk mencari uang adalah sebagai pembantu rumah tangga atau mencuci baju di rumah-rumah disekitar tempat tinggalnya yang berada di jalan Durian, Medan Timur. ST menikah dengan laki-laki bernama PS pada tahun 1994 Dan dari pernikahan tersebut mereka memperoleh 3 orang anak. Awal pernikahan mereka, hubungan mereka termasuk harmonis sebagai keluarga. Tetapi mulai menginjak tahun ke 6 usia pernikahan mereka, mulai terjadi pertengkaran dikarenakan masalah dalam keluarga semakin kompleks. Dari berbagai masalah yang ada seperti masalah kebutuhan sehari-hari, keuangan keluarga, masalah pekerjaan suami ST yang tidak ada, kebutuhan sekolah anak-anak mereka dan juga masalah kekerasan yang dilakukan oleh suami ST. Menurut ST penyebab atau masalah yang paling mempengaruhi keharmonisan keluarga mereka adalah karena suami ST sering memukul ST saat ST tidak mau memberikan uang kepada suaminya untuk dihabiskan dengan


(54)

teman-teman suaminya sementara ST yang sendiri banting tulang mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarga.

“Yah, apalah kerjaku ini dek, Cuma babu orang nya aku ini. Berapalah sanggup uang ku dapat dari seorang babu atau pembantu. Apalagi pendidikanku hanya sampai SMP aja. Itu pun mau dibagi lagi sama hura-huranya suami ku!” kata Ibu ST.

7. P.N (Lk,39 Tahun)

P.N bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan di Kota Medan. Tempat tinggap PN saat ini beralamat di Jl. Pendidikan, Medan Perjuangan, PN berusia 39 Tahun. PN lahir di Medan dan seluruh keluarganya juga bertrempat tinggal di Medan. PN menikah dengan FH yang bekerja sebagai pedagang disalah satu pasar tradisional. Selama perkawinan mereka tidak dikaruniai anak.

Dengan ketidakhadiran seorang anak dalam keluarga PN, berbagai konflik terjadi. Semua itu diawali dari campur tangan orangtua atau keluarga dari PN. Keluarga PN menginginkan dan mengharapkan kehadiran seorang anak dalam keluarga PN. PN yang selalu ditekan oleh kedua orang tuanya membuat dia harus memilih untuk bertahan atau menuruti keinginan keluarganya. Karena ketidakberdayaan akan keadaan rumahtangganya yang memang pada kenyataannya tidak dapat memberikan keturunan, maka PN memilih mengambil keputusan Sirang So Sirang dan mencari pendamping baru dalam hidupnya, dengan harapan pendampingnya tersebut dapat memberikan anak atau penerus garis keturunan keluarganya.


(1)

tidak nyaman lagi karena sang suami sebagai kepala rumah tangga tidak berfungsi lagi.

5. Akibat Pertengkaran Yang Terus Menerus

Pertengkaran yang terus menerus juga merupakaan salah satu penyebab tidak harmonisnya bahkan sampai menyebabkan perpisahan (Sirang so Sirang). Penyebab pertengkaran dalam rumah tangga dapat berasal dari masalah anak, ketidak cocokkan prinsip dalam mengatur segala kebutuhan dalam rumah tangga, masalah kebutuhan sehari-hari (ekonomi), dan masalah kecemburuan pada pihak ketiga.

Keluarga bagi masyarakat Batak Toba Kristen sangat penting. Bagi orang Batak keluarga adalah yang paling utama dan harus di nomor satukan kepentingannya. Masyarakat Batak Toba bahkan dapat dikatakan “wajib”, karena dengan menikah dan mempunyai anak maka akan meneruskan keturunan dan dalam Batak Toba ada kewajiban harus memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan atau pembawa marga selanjutnya agar marga tidak terputus begitu saja. Seperti yang dikatakan oleh informan NM.S diatas tadi, bahwa berkeluarga adalah “hagabeon” kata sanjungan bagi orang Batak Toba yang sudah memiliki keturunan atau anak. Keluarga dalam ajaran Kristen yaitu keluarga adalah kelompok yang ditunjuk Allah yang di dalamnya karunia pernikahan dinikmati, dan anak-anak diasuh, dididik, serta dibesarkan. Kata orang setiap pernikahan pasti ada ‘bumbu-bumbu’ nya yaitu pertengkaran-pertengkaran yang dialami oleh pasangan suami istri. Hal tersebut biasa terjadi dalam hubungan perkawinan. Pertengkaran atau permasalahan dalam kehidupan rumahtangga dapat berakibat memperkuat hubungan batin atau kasih sayang antar suami istri, bahkan juga


(2)

sebaliknya dapat memperkeruh dan menghancurkan hubungan perkawinan itu sendiri. Hal tersebut tergantung pada cara atau antisipasi pasangan tersebut dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada dan hasilnya juga tergantung pada keinginan dan keadaan seperti apa yang dikehendaki pasangan suami istri tersebut.

Maka disini untuk mengantisipasi terjadinya pertengkaran atau permasalahan yang dapat memperkeruh keadaan, peran komunikasi antara suami dan istri dalam keluarga adalah sangat penting. Karena komunikasi dapat berperan di antaranya:

1. Sebagai pencair kebekuan hubungan interaksi antara suami dan istri, 2. Meluruskan kesalahpahaman kedua pihak yang bertengkar karena

perbedaan agama atau iman,

3. Mencegah timbulnya ketidakpuasan di antara keduanya, dan

4. Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan masing- masing pasangan secara lebih terbuka.

Dalam suatu hubungan dibutuhkan beberapa aspek yang dapat diterapkan oleh keluarga, yaitu:

1. Kematangan emosi dan pikiran

Jika terjadi masalah, kedua belah pihak atau paling tidak salah satu pihak dapat berpikir secara jernih, tenang dan lebih obyektif dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan keluarganya.


(3)

Jika salah satu pihak tidak dapat melaksanakan salah satu komitmen awal, maka pihak yang satunya berusaha bertoleransi dengan hal tersebut dan bersama-sama mengkoreksi perbuatannya masing-masing.

3. Perhatian

Saling perhatian yang terjalin di antara suami-istri akan sangat membantu mereka untuk membangun hubungan yang harmonis dan lepas dari segala pertengkaran.

4. Penerimaan

Sikap menerima terhadap kekurangan sangat perlu, supaya tidak menimbulkan kekesalan.

5. Pengertian

Sikap saling pengertian akan membantu kerjasama suami dan istri dalam mengelola segala kebutuhan keuarga.

6. Kepercayaan

Kepercayaan adalah kunci keberhasilan dalam segala bentuk komunikasi antar suami dan istri. Dengan saling percaya, maka tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dan merugikan pihak yang lainnya. Perpisahan (Sirang so Sirang) bukanlah hal yang terbaik karena ada dampak-dampak buruk yang harus Anda hadapi. Walaupun perkawinan Anda tampak hampir hancur, tidaklah baik untuk menghancurkannya dengan memutuskan untuk berpisah. Berpikirlah untuk mempertahankan perkawinan Anda demi anak dan keluarga Anda. Jika pasangan Anda tampaknya tidak baik atau tidak menyayangi Anda, cobalah komunikasikan hal ini dengan pasangan Anda dengan cara yang baik karena kebanyakan faktor perpisahan karena


(4)

kegagalan berkomunikasi. Hindari berpikir untuk berselingkuh karena hal itu akan memperburuk keadaan. Perpisahan bukanlah jalan keluar terbaik. Sebelum berpisah pertimbangkan secara matang akibatnya hingga jauh ke depan. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa perkawinan yang bermasalah masih bisa diselamatkan tanpa perlu adanya keputusan untuk berpisah (Sirang so Sirang), karena sebenarnya tidak aka nada dampak positifnya sama sekali bagi semua pihak dalam keluarga.

Setelah terjadinya Sirang so Sirang biasanya hubungan atau interaksi yang terbangun antara suami dan istri menjadi semakin buruk dan bahkan tidak jarang yang saling bermusuhan dan saling tidak memperdulikan keadaan pasangannya masing-masing. Selain interaksi antara suami dan istri tidak lupa juga dengan bagaimana interaksi yang terjadi antara keluarga dengan keluarga dikedua belah pihak. Dan kenyataan yang ada dimasyarakat Batak Toba, jika hubungan perkawinan anak-anak mereka hancur atau berpisah (Sirang so Sirang), maka hubungan antara keluarga pun juga menjadi putus hubungan sama sekali dan tidak ada lagi interaksi yang bagus dan baik di kedua keluarga masing-masing dan bahkan tidak jarang juga menyulut permusuhan dan pertikaian yang tidak habis-habisnya karena permasalahan antar anak-anak mereka.


(5)

Arikunto, Suharsimi .2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan , Praktek.jakarta:PT Rineka Cipta

Batara Munti, Ratna (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000

Diana Ribka, Pangemaran, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998

Gunung Mulia.2004

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Djambatan. 2002

Koentjaraningrat, dkk.. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Pajung Bangun, hal.94. Penerbit Djmbatan 2007

Nainggolan Togar,Dr. Batak Toba Toba Di Jakarta. Medan: Bina Media.2006 Poloma, Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press dan yayasan

solidaritas Gajah Mada, 1997

Sanderson, Stephen K. Sosiologi makro: Sebuah pendekatan terhadap realitas sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995

Siahaan, Nalom. Adat Dalihan Natolu. Medan: Prima Anugerah, 1982

Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. 2004 Suyanto Bagong. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Prenada Media.2004


(6)

Yayasan Obor Indonesia, , 2005

Sudhiarsa, Raymundus, (ed.). Kearifan Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Lamalera, 2008

Sosrodihardjo, Prof.soedjito. SH,MA. 2009,100

Ritzer George ,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Group.cetakan ke enam. 2008

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004, h. 2

Situs Web:

pukul 19.00

juli 2010 pukul 16.00