Parmalim (Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim Di Kota Medan)

(1)

(Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Kota Medan)

PARMALIM

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

Benny Rafael Pardosi

060905031

Departemen Antropologi Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi Ini Disetujui Untuk Diperbanyak Dan Dipertahankan Oleh:

Nama : Benny Rafael Pardosi Nim : 060905031

Departemen : Antropologi Judul : PARMALIM

(Studi Deskriptif Mengenai Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim Di Kota Medan)

Medan, Agustus 2010

Pembimbing Skripsi An Ketua Departemen Sekretaris,

Drs. Irfan, M.Si Drs. Irfan, M.Si

NIP: 196411041991031002 NIP: 196411041991031002

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alah Bapa, Putra dan Roh Kudus

yang bertahtah dalam kerajaan sorga. Atas segala berkat dan anugrah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul

“Starategi Adaptasi Penganut Agama Malim di Kota Medan” dalam

mempertahankan eksistensi ajaran agama Malim. Penelitian ini dilakukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1, bidang Antropologi Sosial

di Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

Pertama-tama penulis mempersembahkan skripsi ini secara spesial dan

teristimewa, sebagai tanda bakti serta ucapan terimakasih yang tiada terhingga

kepada ayah dan ibu tercinta Hotly Pardosi dan Delika Pasaribu atas rasa sayang

dan cinta, dukungan dan doa yang tiada hentinya diberikan kepada penulis hingga

akhirnya penulis bisa mengakhiri skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Ketiga

adek penulis Reni Agus Pardosi, Erwita Pardosi dan Sri Sariyanti Pardosi yang

menjadi tempat peneliti berkeluh kesah dan menumpahkan segala perasaan peneliti,

terimakasih untuk motivasi dan kasih sayang kalian buat aku, kita harus bisa

menjadi anak yang sukses membanggakan buat papa dan mama…Ok!!

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan

pengghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat dan turut

serta membantu penulis untuk mengembangkan diri , terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan


(4)

2. Bapaka Drs. Zulkifly Lubis, M.A. sebagai ketua Departemen Antropologi

Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan

skripsi.

3. Bapak Drs. Irfan, Msi sebagai Pembimbing Utama, yang telah bersedia

meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan telah

memberikan bekal ilmu yangsangat berharga bagi penulis.

4. Bapak Drs. Agustrisno, MSP sebagai Ketua Penguji, yang telah

memberikan masukan guna perbaikan hasil penelitian ini

5. Ibu Dra. Rytha Tambunan, M.Si sebagai Penguji Kedua, yang telah

memberikan masukan guna perbaikan hasil penelitian ini.

6. Seluruh Dosen FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi yang

telah banyak meneteskan ilmunya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan perkuliahan pada Departemen Antropologi FISIP USU

7. Seluruh Staf di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi,

sepesialku untuk kak Nur dan kak Sofi yang sudah membantu penulis

dalam mengurus kelancaran administrasi selama dalam perkuliahan.

8. Seluruh Penganut Agama Malim se kota Medan terutama untuk

Ulupunguan Medan Amang Simanjuntak serta Naposo Bulung Tunas

Naimbaru dan Lurahan Sutan Fauzi A Lubis,S.STP,M.Si beserta stafnya

di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai yang telah banyak

membantu dan memberikan informasi yang dibutuhkan penulis dalam


(5)

9. Rekan-rekan kerabatku mahasiswa Antropologi FISIP USU dari berbagai

sangkatan terutama untuk angkatan 2006: Alfian, Luksan, Fadly, Hendra,

Badai, Umar, Nanta, Deni, Wilfrid, Riky, Aros, Nuel, Noprianto, Charles,

Kevin, Eni, Melda, Ruli, Danur, Mardiana, Rere, Mimi, Lisma, Geby,

Hema, Desy, Fika, Yani, Santa, Helena, Ayu, Ingrid, Erika. Terimakasih

sudah menjadi kerabat seperjuangan bagiku.

10.Keluarga besar Op. Benny Pardosi dan Op. Lafrida, tulang Nukdin

Pasaribu (yang selalu isiin pulsa buat aku) Pastor Luis Uran (yang selalu

memotivasi aku) Forman Pane (sahabatku ke lapangan penelitian),

anak-anak MENWA USU, teman kost 21. Terimakasih atas motivasi dan

semangat yang selalu kalian berikan buat aku.

11.Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini,

yang telah membantu penulis selama penulisan skripsi ini. Kepada

semuanya penulis mengucapkan terimakasih.

Kiranya Bapa Sorgawi Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan semua pihak kepada

penulis. Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, terdapat kekurangan

dan kelemahan, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih apabila ada kritik dan

saran yang bersifat membangun dari pembaca dalam penyempurnaan tulisan ini.

Medan,………2010 Penulis


(6)

1. Sampel dan Populasi………...….16

DAFTAR ISI I. Halaman Persembahan...i

II. Kata Pengantar………...……….…...ii

III. Daftar Isi………..………...iv

IV. Abstrak………...…...viii

BAB. 1. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………7

C. Lokasi Penelitian………..7

D. Tujuan Penelitian………..8

E. Manfaat Penelitian………...8

F. Kajian Pustaka……….…….9

G. Metode Penelitian……….…..…16

2. Tipe dan Pendekatan Penelitian………..…...17

3. Teknik Pengumpulan Data……….……17

4. Penentuan Informan………...……….18

5. Teknis Analisis Data………...…….19

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……….………..20

2.1. Gambaran Umum Kota Medan.……….………20

2.2. Kota Medan Secara Geografis………...….…..20

2.3. Kota Medan Secara Demografis………...…22

2.4. Kota Medan Secara Kultural………..24

2.5. Kota Medan Secara Sosial……….……....24


(7)

2.7. Potensi Wilayah………..………..26

2.7.1. Data Umum………...……..26

2.7.2. Pelayanan Umum………...……27

2.7.3. Pendidikan………..……28

2.8. Kelurahan Binjai………..………29

2.8.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan…………...………29

2.8.2. Potensi Sumber Daya Manusia……….31

2.8.3. Mata Pencaharian Pokok………..………33

2.8.4. Berdasarkan Etnis………..………34

2.8.5. Berdasarkan Agama………..……36

BAB. III. KEBERADAAN PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN………...40

3.1. Peresmian Agama Malim………...……….41

3.2. Kondisi Kota Medan Sebelum Kedatangan Penganut Agama Malim...………...….……45

3.3. Sejarah Migrasi Penganut Agama Malim ke Kota Medan…..………47

3.3.1. Motifasi Meninggalkan Kampung Halaman……...………50

3.4. Ajaran dan Sumber Hukum Agama Malim………..…………53

3.4.1 Tujuan Agana Malim………..………53

3.4.2. Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Malim…….……54

3.4.3. Konsep Dosa Menurut Agama Malim………..………57

3.4.4. Pustaha Habonaran………...……….59

3.4.5. Tona, Poda, Patik, dan Uhum………...……….61


(8)

3.5.1. Struktur Organisasi………...……70

3.5.2. Pengankatan Pimpinan Pusat dan Cabang...72

4.5.3. Keanggotaan Penganut Agama Malim………..…….75

BAB. IV. STRATEGI ADAPTASI PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN………...……...…77

4.1. Pola Kehidupan Penganut Agama Malim di Medan…………..……77

4.1.1. Hungan Dengan Kampung Halaman………...……83

4.1.2. Peranan Sosialisasi Keluarga Dalam Mempertahankan Agama Malim………...…….87

4.2. Jabu Parsantian (Rumah Ibadah)...……..……91

4.3. Aktifitas Dalam Keagamaan………...……96

4.3.1. Upacara Mararisabtu (Ibadat Mingguan pada Hari Sabtu)………...……..97

4.3.2. Upacara Martutuaek (Kelahiran Anak)………...……99

4.3.3. Upacara Pasahat Tondi (Kematian)……….……..102

4.3.4. Upacara Mardebata (Sembah Debata)………..…….103

4.3.5. Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)…...…104

4.3.6. Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)…..…106

4.3.7. Upacara Manganggir (Pensucian Diri)……….….108

4.3.8. Pelean dalam Upacara Agama………....…109

4.3.9. Tortor dalam Upacara Agama………....………110

4.4. Dalam Bidang Sosial………..……111

4.5. Dalam Bidang Ekonomi………115


(9)

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN………...…….119

KESIMPULAN……….……119

SARAN………..………121

Daftar Pustaka………..…...122 Lampiran:

Interview Guide

Daftar informan

Daftar Istilah

Bagan: Struktur Pemerintahan Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai 2010


(10)

ABSTRAK

Pardosi, Benny Rafael 2010, Judul: Parmalim (Studi Deskriptif tentang

Strategi Adaptaasi Penganut Agama Malim di Kota Medan). Skripsi ini terdiri

dari: 5 bab, 121 halaman, 10 tabel, 7 gambar, 2 daftar pustaka, 8 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang “Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim

di Kota Medan” yang berlokasi di Simpang Limun, Kelurahan Binjai, Kecamatan

Medan Denai, Kotamadya Medan. Kajian ini membahas permasalahan tentang strategi adaptasi penganut agama Malim di kota Medan khusunya di daerah Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Adaptasi penganut agama Malim terhadap masyarakat setempat yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat dalam mempertahankan eksistensi agama Malim.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses strategi adaptasi baik di dalam kelompok penganut agama Malim dan terhadap masyarakat setempat di luar komunitas penganut agama Malim yang dilakuakan Parmalim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan, khusunya di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Strategi adaptasi yang dilakukan dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat strategi adaptasi penganut agama Malim dan aspek-aspek yang mempengaruhi mereka untuk melakukan migrasi ke kota Medan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada informan. Observasi dilengkapi denga kamera foto. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview). Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakuakn dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan dan dilakukan dengan cara on

going analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi adaptasi penganut agama

Malim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan tergolong

ke dalam adaptasi autoplastis. Adaptasi penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan / dijalanaknnya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.


(11)

ABSTRAK

Pardosi, Benny Rafael 2010, Judul: Parmalim (Studi Deskriptif tentang

Strategi Adaptaasi Penganut Agama Malim di Kota Medan). Skripsi ini terdiri

dari: 5 bab, 121 halaman, 10 tabel, 7 gambar, 2 daftar pustaka, 8 lampiran.

Penelitian ini mengkaji tentang “Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim

di Kota Medan” yang berlokasi di Simpang Limun, Kelurahan Binjai, Kecamatan

Medan Denai, Kotamadya Medan. Kajian ini membahas permasalahan tentang strategi adaptasi penganut agama Malim di kota Medan khusunya di daerah Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Adaptasi penganut agama Malim terhadap masyarakat setempat yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat dalam mempertahankan eksistensi agama Malim.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan secara mendalam tentang proses strategi adaptasi baik di dalam kelompok penganut agama Malim dan terhadap masyarakat setempat di luar komunitas penganut agama Malim yang dilakuakan Parmalim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan, khusunya di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Strategi adaptasi yang dilakukan dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang melihat strategi adaptasi penganut agama Malim dan aspek-aspek yang mempengaruhi mereka untuk melakukan migrasi ke kota Medan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan observasi partisipasi dan wawancara kepada informan. Observasi dilengkapi denga kamera foto. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interview). Instrumen yang digunakan, selain peneliti juga dibantu pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder dan catatan lapangan. Analisa data dilakuakn dari awal hingga penelitian berlangsung yang diurutkan dan dilakukan dengan cara on

going analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi adaptasi penganut agama

Malim dalam mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan tergolong

ke dalam adaptasi autoplastis. Adaptasi penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan / dijalanaknnya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.


(12)

BAB. 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk.

Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang

jelas dan dapat membedakan diantara mereka (masyarakat Indonesia) suatu suku

bangsa sebagai salah satu unsur kemajemukan Indonesia, tersebar dan mendiami

seluruh kepulauan nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 380 suku bangsa dan

kurang lebih 200 bahasa daerah. Keseluruhan kelompok suku bangsa ini bercorak

Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat

dicerai-beraikan, masing-masing suku bangsa terwujud sebagai satuan masyarakat

dan kebudayaan yang masing-masing berdiri sendiri dan disatukan oleh kekuatan

nasional suatu bangsa (Suparlan 1982:227).

Setiap suku bangsa yang mempunyai cara hidup dan budaya yang berlaku

dalam masyarakat suku bangsa masing-masing, sehingga mencerminkan adanya

perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang

lainya. Perbedaan yang ada diantara kebudayaan suku bangsa di Indonesia pada

hakekatnya adalah perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan

kebudayaan masing-masing serta oleh adanya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Sehingga diperlukan interaksi, interaksi merupakan tindakan yang saling

berhubungan antara dua orang pelaku atau lebih dalam suatu masyarakat. Interaksi

yang terjadi dalam masyarakat pedesaan akan berbeda dengan interaksi masyarakat


(13)

keadaan masyarakat kota yang relatif heterogen dibanding dengan masyarakat

pedesaan yang secara umum bersifat homogen.

Menurut (Bangun 1987:19) salah satu dari sekian banyak masalah yang

dihadapi daerah perkotaan yang ada di Indonesia ialah hubungan antara suku

bangsa yang berdiam secara bersama-sama dalam suatu kota. Masalah ini

sebenarnya merupaka masalah sosial yang sangat berhubungan erat dengan aspek

kehidupan lainya dari masyarakat.

Suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat perkotaan yang sejak

puluhan tahun yang lalu adalah semakin membengkaknya laju migrasi ke kota. Hal

ini erat hubunganya dengan pendapat yang muncul di tengah masyarakat yang

menyatakan bahwa kota adalah tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih

baik, dan kota adalah pusat dari segala kemajuan sehingga kota menjadi tumpuan

bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan.

Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia yang juga menjadi kota

tujuan para perantau dari berbagai daerah sehingga komposisi penduduk kota

Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda bersamaan dengan pola

budaya yang dibawanya masing-masing dari daerah asal. Keanekaan pola budaya

inilah yang menjadikan Medan sebagai kota yang dimukimi oleh masyarakat yang

majemuk

Dari komposisi suku bangsa yang ada di kota Medan tahun 1983 (Pelly

1983:2) diketahui persentase orang Melayu sebagai penduduk asli kota Medan

hanya sebesar 8,57% dari jumlah keseluruhan penduduk kota Medan yang

bejumlah 1,4 juta jiwa. Sehingga (91,43%) adalah suku bangsa pendatang. Dari


(14)

pendatang terbesar yaitu: Jawa 29,41%, Batak Toba: 14,11%, Cina: 12,84%,

Mandailing: 11,91% dan Minangkabau: 10,93% sedangkan persentase kelompok

suku bangsa pendatang lainya, seperti: Karo, Aceh dan Sunda masing-masing

kurang dari 4% dan Simalungun, Dairi, Nias masing-masing kurang dari 1% saja.

Para pendatang tersebut selain menerima pengaruh dari daerah lain dan

menerima bentuk modernisasi kehidupan kota, mereka juga berusaha

mempertahankan adat-istiadatnya sebagai sesuatu yang vital dalam gelombang

urbanisasi (Situmorang 1983:83) sehingga kota Medan kalau dilihat dari fakta

sosialnya tidak satu kelompok suku bangsapun yang merupakan kelompok

mayoritas dalam jumlah, ataupun menduduki posisi dominan yang dapat berfungsi

sebagai wadah pembauran atau malting poin (Bruner 1980:169).

Diantara suku bangsa yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya

adalah suku bangsa Batak Toba, sebagian dari suku bangsa Batak Toba itu sendiri

masih menganut Ugamo Malim atau Parmalim. Kata Parmalim berasal dari bahasa

Batak Toba yang terdiri dari dua kata yaitu: par- yang berarti pengikut dan kata

malim mempunyai arti suci. Dengan demikian Parmalim dapat diartikan sebagai

pengikut ajaran kesucian (hamalimon) pada masyarakat Batak Toba.

Parmalim sebenarnya adalah suatu identitas pribadi sementara

kelembagaanya disebut dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan,

Parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim”sebagai

identitas lembaganya. (kutipan dari

Agama Malim merupakan salah satu kepercayaan turun-temurun yang

dianut oleh suku bangsa Batak Toba yang penyebaranya berasal dari kabupaten


(15)

oleh Raja Marnangkok Naipospos. Prmalim menyebut agamanya dengan sebutan

Ugomo Malim yang merupakan agama asli suku bangsa Batak Toba, dan

merupakan kelanjutan agama lama (Situmorang 1993:230) Dasar kepercayaan

agama ini adalah melakukan titah-titah yang dipercayai berasal dari Debata

Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta manusia, langit dan

bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba. Segala

perintah dan ajaran Debata Mulajadi Nabolon disampaikan melalui Raja Nasiak

Bagi yaitu: Sisingamangaraja XII yang disebut juga sebagai Nabi Parmalim.

Sisingamangaraja XII adalah salah satu wujud roh yang diyakini kesaktianya,

karena dialah yang “maningahon adat dohot uhum” (menyampaikan adat dan

hukum) kepada keturunanya.

Saat ini di kota Medan panganut agama Malim jumlahnya relatif kecil.,

sekitar 600 orang. Mereka terus berjuang agar eksistensinya tidak hilang. Selama

65 tahun lamanya Indonesia merdeka dan sudah selama itu pula UUD menjamin

kebebasan beragama, namun sampai sekarang Parmalim belum bisa menikmati

kemerdekaan berkeyakinan.

(kutipan da

tersingkir)

Berdasarkan penelitian yag dilakukan Dr. Usman Pelly MA, bahwa

penganut agama Malim berjumlah sekitar 5.000 jiwa yang terdiri dari 660 rumah

tangga (RT) pada lima lokasi penelitianya yaitu: Huta Tinggi Laguboti (Tapanuli

Utara), Pematang Siantar termasuk di Kota Madya Medan, Binjai dan disekitar


(16)

Menurut Irfan Simatupang dalam skripsinya yang berjudul: Kepercayaan

Orang Barus Terhadap Jenis Kematian yang Dijaga, menyatakan bahwa terdapat

1.298 jiwa penganut agama Malim yang berada di kecamatan Barus dan

mempunyai tempat ibadah yang disebut dengan Parsantian (tidak termasuk dalam

daerah penelitian Usman Pelly) . Masing-masing Parsantian terdapat di desa

Ladang Tengah, desa Lobu Tua dan desa Potar (Simatupang, 1990.41). Dengan

demikian dapat diasumsikan bahwa jumlah penganut agama Malim saat itu sekitar

6.298 jiwa dari ke-enam daerah penelitian.

Dalam buku Situmorang agama Malim didirikan oleh seorang tokoh

sipiritual yaitu Guru Somalaing Pardede pada tahun 1890-an yang merupakan

penasehat dan pembantu utama Sisingamangaraja XII dalam masa perlawanan

penjajahan Belanda. Saat itu kepercayaan ini telah menjadikan Sisingamangaraja

XII sebagai tokoh sentral karena dianggap sebagai titisan Mulajadi Nabolon

(Situmorang 2004: 65-72).

Datang dan menetapnya suatu suku bangsa dengan membawa serta

adat-istiadat, agama dan prinsip hidup yang berbeda, dapat mendatangkan masalah yang

rasial atau kecemburuan yang semakin lama semakin nyata. Hal demikian bisa

terjadi apabila suku pendatang tersebut memiliki keengganan untuk berbaur dengan

penduduk setempat yang didatanginya.

Medan sebagai salah satu kota yang banyak didatangi, tidak jarang kita

temui dalam proses adaptasi timbul rasa kedaerahan (primordial) oleh kelompok

suku bangsa baru, karena dengan hadirnya kelompok suku bangsa baru timbul


(17)

sosial budaya yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan dengan corak

kehidupan masyarakat setempat.

Berbeda halnya dengan Konghuchu yang dikenal sebagai agama etnis

Tionghoa, salah satu agama “pendatang” di bumi nusantara, begitu mudah

mendapat pengakuan sebagai agama di masa pemerintahan presiden Abdurrahman

Wahid dengan keputusan presiden (kepres) No. 6/2000, dan kini etnis Tionghoa

bahkan dapat merayakan Imlek secara bebas dan terbuka. (kutipan dari

Saat ini Parmalim sebagai salah satu dari agama asli nusantara, justru

termarginalisasi hanya diakui berdasarkan UU No 23 tahun 2006 tentang

Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah diberikan kesempatan untuk dicatatkan

sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun

mereka tidak diberi pengakuan sebagai agama.

Berdasarkan latar belakang di atas dan pengamatan peneliti terhadap

Parmalim sebagai kelompok minoritas bagi penduduk kota Medan yang bersifat

heterogen, sudah didatangi oleh berbagai kelompok suku bangsa, serta saling

mempengaruhi melalui interaksi antar suku bangsa yag berbeda. Sehingga penulis

merasa tertarik untuk meneliti Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim di

Medan Dalam penelitian ini yang diutamakan adalah strategi adaptasi suku bangsa

Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim dalam mempertahankan

eksistensi agama Malim di Medan yang berpusat di Kelurahan Binjai Kecamatan

Medan Denai Kotamadya Medan. Strategi adaptasi yang dimaksud dalam


(18)

penduduk setempat, karena bagaimanapun juga dengan adanya suku bangsa dengan

latar belakang budaya yang berbeda dalam suatu daerah yang bersifat heterogen

pasti akan terjadi percampuran atau pembauran dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan

yang diajukan adalah Stategi Adaptasi Penganut Agama Malim di kota Medan.

Permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 Bagaimana latar belakang kedatangan penganut agama Malim di kota

Medan.

2 Bagaimana keberadaan penganut agama Malim di kota Medan

3 Bagaimana Strategi Adaptasi Penganut Agama Malim dalam

mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan.

4 Bagaimana aktifitas agama, sosial, budaya dan ekonomi penganut agama

Malim di kota Medan.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukanya penelitian adalah di kota Medan karena Medan sangat

kompleks dengan berbagai macam organisasi etnis dan pluralisme budaya. Lebih

tepatnya peneliti memfokuskan penelitian di kelurahan Binjai Kecamatan Medan

Denai. Alasan pemilihan tempat ini karena banyaknya terdapat penganut agama

Malim dan merupakan tempat berkumpul bersama muda-mudi Parmalim serta

tempat dilakukanya Mararisabtu yaitu hari peribadatan atau hari suci yang


(19)

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukanya penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang kedatangan penganut agama Malim di

kota Medan.

2. Untuk mengetahui keberadaan penganut agama Malim di kota Medan.

3. Untuk mengetahui Strategi Adaptasi Penganut Ugamo Malim dalam

mempertahankan eksistensi agama Malim di kota Medan

4. Untuk mengetahui usaha dan aktifitas yang dilakukan penganut agama

Malim untuk mempertahankan Parmalim sebagai identitas pribadi di kota

Medan.

5. Untuk menjelaskan keberadaan penganut agama Malim sebagai penganut

agama tradisional Batak Toba di kota Medan.

E. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan di atas, maka diharapkan penelitian ini

bermanfaat untuk:

1. Memberi pengetahuan bagi peneliti dan pembaca tentang penganut agama

Malim.

2. Sebagai penambah wawasan pengetahuan tentang strategi adaptasi

penganut Ugamo Malim di kota Medan.

3. Menggali, menganalisa dan mengkaji tentang usaha dan aktifitas yang

dilakukan oleh penganut agama Malim untuk mempertahankan Parmalim


(20)

4. Memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam

membuat berbagai kebijakan yang terkait dengan penganut agama Malim.

5. Menambah wawasan berfikir generasi muda mengenai kebudayaan dan

agama suku bangsa Batak Toba yang menganut agama Malim.

F. Kajian Pustaka

Secara umum disebagian kota besar di Indonesia pertumbuhan

penduduknya lebih banyak disebabkan migrasi dari pada pertumbuhan penduduk

secara alami (kelahiran) kota menjadi salah satu contoh yang tepat untuk melihat

berbagai kelompok suku bangsa, yang kemudian membentuk suatu pranata baru

yang menjadi dasar hubungan sosial yang mereka lakukan, (Bruner 1980:161) hal

ini dimungkinkan karena para kelompok suku bangsa pendatang saling brinteraksi

dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menurut (Soemardjan 1981:20)

bahwa kebudayaan suatu masyarakat pada pokoknya berfungsi menghubungkan

manusia dengan alam sekitarnya dan dengan masyarakat di mana manusia itu

menjadi warganya.

Penduduk kota Medan terdiri atas berbagai suku bangsa dengan pola

budaya yang berbeda, salah satu dari berbagai suku bangsa tersebut adalah

Parmalim. Gerak migrasi yang dilakuka oleh Parmalim tentu memiliki latar

belakang yang mendorong mereka bersedia keluar dari daerahnya bersamaan

dengan kesiapan untuk bertahan hidup di kota Medan yang sejak akhir abad ke-19

telah menjadi kota moderen dan mengalami banyak perubahan.

Para perantau yang datang dan tinggal serta menetap di luar dari daerah asal


(21)

melakukan perpindahan, suku bangsa pendatang akan turut membawa adat-istiadat,

norma, agama dan berbagai bentuk organisasi sosial ke dalam lingkungan sosial

budaya setempat. Budaya setempat ini bisa merupakan sesuatu yang baru bagi suku

bangsa pendatang. Ditempat tujuan kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari daerah

asal akan mengalami perubahan termasuk orientasi terhadap kampung halaman.

(Naim, 1984:73)

Menurut (Koenjaraningrat 1986:248) migrasi menyebabkan paham-paham

kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu dalam

kelompok dihubungkan dengan unsur kebudayaan lain. Lebih lanjut (Cohen

1985:2) menyatakan apabila kelompok suku bangsa memasuki daerah yang masih

baru baginya, dimana kebudayaan itu terpisah secara fisik dengan kebudayaan

asalnya akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan sosial-budaya dan secara

fisik di tempat yang baru didatanginya.

Menurut (Suharsono 1977:48) di dalam kebudayaan itu manusia memeliki

seperangkat pengetahuan yang dipakai untuk memahami serta menginterpretasikan

dirinya dengan lingkungan yang baru. Manusia juga mempunyai pengetahuan

kebudayaan yang dipakai sehubungan dalam menghadapi kebudayaan suku bangsa

asal setempat. Pengetahuan itu tentunya sangat banyak mendukung terhadap proses

adaptasi.

Untuk mempertahankan agar suku bangsa pendatang dapat hidup bertahan

di daerah lain, setiap suku bangsa mempunyai strategi adaptasi terhadap budaya

lokal. Pada umumnya kebudayaan itu bersifat adaptif, karena kebudayaan itu

membekali manusia dengan cara-cara penyesuaian psikologis dan penyesuaian


(22)

sebagai hasil interaksi antara nature (internal) dan nurture (external) yang

melahirkan potensi diri masing-masing individu berupa sikap,tingkah laku dan

budaya dan lain-lain yang lebih berpengaruh terhadap dirinya, melalui tiga proses

strategi adaptasi yaitu: Pertama, mengubah sikap dan perilaku diri sendiri /

dipengaruhi agar sesuai dengan lingkungannya disebut Alloplastis. Ke dua,

mengadakan perubahan pada diri sendiri dan pada lingkungan yang dalam

kemampuan dan kekuatannya. (geneplastis) saling mempengaruhi. Ke tiga dengan

mengubah lingkungan sosial sesuai dengan yang diharapkan / mempengaruhi

lingkungan, sepanjang hal tersebut memungkinkan (Autoplastis) (Ebner dan Ebner

1987:28).

Proses adaptasi suatu suku bangsa sehingga dapat diterima oleh lingkungan

yang baru, akan memakan waktu yang cukup lama sehingga dapat hidup dengan

serasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Adaptasi adalah suatu proses untuk

memenuhi beberapa syarat dasar manusia agar tetap dapat melangkahkan

kehidupan dalam lingkungan tempat hidupnya. Syarat-syarat dasar tersebut

meliputi syarat dasar alamiah (biologis), syarat dasar kejiwaan dan syarat dasar

sosial (Parsudi Suparlan 1980:6)

Bagi suku bangsa pendatang pola budaya kelompok yang dimasukinya

bukanlah suatu tempat yang sudah biasa baginya sehingga sangat diperlukan suatu

pemahaman lebih lanjut melalui proses adaptasi terhadap daerah yang baru

baginya. Karena daerah yang didatangi penuh dengan situasi-situasi problematik

yang angat sulit dikuasainya.

Setiap kelompok suku bangsa yang datang ke Medan harus bersedia hidup


(23)

Untuk dapat bertahan maka kelompok pendatang segera berinteraksi dan

beradaptasi dengan masyarakat setempat yang telah memiliki budaya

masing-masing. (Soejono 1990:67) menyatakan: “interaksi adalah kunci dari semua

kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan ada kehidupan bersama”. Sehingga perantau harus menyesuaikan diri kepada budaya masyarakat

daerah rantau dan kepada masyarakat budaya penerima yang dijumpainya.

Penyesuaiaan diri perantau melalui penyesuaian budaya yang telah

dibawanya dari daerah asal dengan budaya daerah yang dijumpainya cenderung

mengarah kepada bentuk asimilasi budaya yang mungkin saja berlangsung tanpa

batas Akan tetapi interaksi tidak saja cukup untuk kelompok masyarakat pendatang

bertahan dan beradaptasi, oleh sebab itu strategi adaptasi lain tentu digunakan

kaum pendatang untuk segera berbaur dengan masyarakat setempat, seperti

perkawinan campur yang kemungkinan dilakukan oleh Parmalim dengan

penduduk setempat. (Soerjono 1982) perkawinan merupakan salah satu bentuk

proses asimilasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pendatang agar segera dapat

diterima.

Dalam menjalankan ajaranya, salah satu buku yang dimliki Ugamo Malim

yaitu Pustaha Batak, dimana pustaha ini berarti segala patik, poda , tona dan

uhum, tetapi pustaha ini tidak bisa dimiliki oleh seluruh umat Parmalim, hanya

orang-orang tertentu yang boleh memiliki pustaha ini yang dianggap bisa

memahami isi dari pustaha tersebut. Sehingga inti dari ajaran Ugamo Malim

adalah: “Tona Marisi Poda, Poda Mardasarhon Patik” artinya: “ Pesan Berisi

Nasihat, Nasihat Berdasarkan Hukum atau Aturan” segala patik dalam agama


(24)

parpunguan Mararisabtu selalu diucapkan sehingga seluruh umat Parmalim sudah

menghafalnya dan tinggal pelaksanaan di dalam kehidupan sehari-hari (dikutip dari

skripsi Tety Irawati Nadapdap 2009).

Menurut hasil penelitian (Irfan, 1990:56) di desa Uratan sebagai salah satu

desa dari kecamatan Barus yang jumlah penduduknya sekitar 1.068 jiwa termasuk

Parmalim pada tahun 1988. di desa Uratan tersebut tidak ada penduduk yang

mengaku sebagai penganut Ugamo Malim dan tidak ada penduduk yang pergi ke

Parsantian (tempat peribadatan Ugamo Malim) untuk beribadat. Namun ketika

diadakan sensus penduduk, mereka menyebut sebagai pemeluk agama Kristen

Protestan atau Katolik. Karena walaupun mereka telah keluar dari kelompok gereja,

mereka bisa masuk kembali setelah lebih kurang satu tahun kemudian setelah

mereka mengaku telah bertobat. Derkirakan di desa ini banyak penduduk yang

tidak menganut salah satu agama dari ke lima agama yang diakui berdasarkan

Undang Undang. Hal ini diakui karena di desa tersebut masih banyak penduduk

yang menggunakan Upacara Margondang (biasanya ilakukan oleh penganut

Ugamo Malim) untuk memanggil atau memuja leluhur mereka. Upacara Margondang tidak diijinkan oleh Huria (gereja) jadi jika ada diantara penduduk

yang margondang secara otomatis mereka keluar dari Huria (anggota gereja).

Setiap kelompok pendatang di kota, harus mampu menyesuaikan diri

dengan kondisi dan budaya yang sangat beraneka ragam. Tujuannya agar setiap

kelompok pendatang diterima oleh penduduk setempat. Seperti yang dilakukan

oleh masyarakat suku bangsa Mandailing untuk mempermudah adaptasi telah


(25)

permukaaan, mereka berbahasa Melayu, menanggalkan marganya, serta mengaku

diri sebagai orang Melayu (Pelly 1998:53).

Di kota Medan, agama berperan penting dalam mengekspresikan identitas

mereka sebagai kelompok masyarakat. Hal ini dilakuka untuk pengkususan diri

mereka dengan masyarakat lainya. Akan tetapi di kota Medan tidak ada komunitas

yang diidentikkan dengan agama maupun dengan kampung halaman mereka,

seperti kampung Keling yang saat ini telah berganti nama menjdi kampung

Madras. Kebanyakan para perantau mendirikan asosiasi etnik dan kedaerahan di

kota, sering dengan memakai nama desa di kampung halaman masing-masing,

tujuan utamanya adalah sebagai penyangga antara perantau baru yang masih

kebingungan dengan lingkungan kota yang tidak bersahabat.

Di Medan begitu banyak asosiasi yang bersifat kedaerahan maupun agama

yang didirikan oleh etnis pendatang (Pelly 1998:42) sebagai wahana untuk

mengekspresikan identitas suku bangsa mereka. Asosiasi ini dibentuk untuk

menjaga dan mempertahankan budaya yang mereka miliki walau telah berbaur

dengan budaya masyarakat setempat..

Bruner dalam (Koentjaranigrat 1990:6) menyatakan bahwa: “Di daerah

pedesaan sikap patuh pada adat-istiadat dijaga sangat ketat, namun di kota sikap tersebut sangat berkurang”. Dalam kasus suku bangsa Batak Toba di Medan,

tenyata suku bangsa Batak Toba sangat patuh terhadap adat-istiadatnya. Sedangkan

di Bandung, suku bangsa Batak Toba masih memperhatikan adat-istiadat mereka,

namun mereka juga berusaha menyesuaikan diri dengan kebudayaan Sunda. Bruner


(26)

dominan, seperti halnya kota Medan, suku bangsa Batak Toba mengorientasikan

diri kepada kebudayaanya sendiri dan mengintensipkan adat-istiadat tradisionalnya.

(Soemardjan 1988) menjelaskan bahwa mausia dalam melakukan migrasi

mempunyai beberapa alasan tertentu yang pada dasarnya tidak akan terlepas dari

alasan eknomi. Alasan ekonomi dapat dikategorikan sebagai alasan utama manusia

dalam melakukan suatu migrasi, untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari

daerah asalnya.

Hubungan budaya para imigran dan adaptasi terhadap penduduk setempat

akan mempengaruhi bagaimana masyarakat pendatang berkembang dan dapat

berperan dalam kemajuan kota tempat tinggalnya. Satu hal yang perlu diperhatikan

bahwa masyarakat pendatang menyadari bahwa penduduk setempat tidak begitu

saja megijinkan masyarakat pendatang ikut menikmati sumber daya dan berperan

serta dalam pemerinntahanya (Pelly 1998:3) sebab biasanya masyarakat pendatang

tidak begitu saja melepaskan hubunganya dengan daerah asal, tetapi hubungan

tersebut akan terus terjalin, sehingga jiwa naionalisme mereka terkadang

diragukan.

Ditempat yang baru suku bangsa pendatang di dalam proses adaptasi akan

sampai kepada tiga pilihan: pertama adalah, apakah pola-pola sosial budaya yang

diwariskan oleh nenek moyangnya akan dipertahankan, dan yang kedua adalah

apakah pendatang baru itu akan mengadaptasikan dirinya dengan pola-pola sosial

budaya setempat dan ke tiga apakah pendatang akan merubah pola-pola sosial

budaya yang dibawanya di daerah tujuan migrasi.

Strategi adaptasi adalah rencana yang dilakukan dan diterapkan oleh kaum


(27)

untuk memperoleh keseimbangan yang positif dengan kondisi pemikiran yang baru

(Pelly 1983:107) Hal strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

usaha-usaha dari manusia yang sudah direncanakanya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di lingkungan agar mereka tetap bisa mempertahankan agamanya, dalam hal ini pengaut Ugamo Malim di kota Medan.

G. Metode Penelitian 1. Populkasi dan Sampel

Polulasi dari penelitian ini adalah penganut agama Malim / Parmalim, yang

tinggal di daerah kota Medan. Mengingat kemampuan peneliti yang terbatas baik

dana maupun waktu, penulis akan mengambil sampel pada sebuah kelurahan yaitu

kelurahan Binjai terdapat di kecamatan Medan Denai.

Kriteria pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pengamatan peneliti

masih terdapatnya penganut agama Malim yang masih tetap mempertahankan

eksistensi agama Malim di kota Medan. Hai ini dapat terlihat dengan adanya

aktifitas keagamaan (parpunguan) yang masih tetap dijalankan pada setiap hari

Sabtu (mararisabtu) dan upacara keagamaan lainya.

Penelitian ini mengkaji penganut agama Malim secara keseluruhan,

kelurahan Binjai hanya dijadikan sebagai lokasi operasional. Adapun data yang

diperoleh dari luar dapat digunakan sebagai bahan pendukung terhadap data dan

informasi yang didapat dari kelurahan Binjai. Semua data dan informasi yang di

peroleh di luar daerah kelurahan Binjai masih terdapat dalam ruang lingkup kota


(28)

2. Tipe dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan

kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memaparkan gejala sosial yang

terdapat dalam masyarakat. Dengan mengkaji strategi adaptasi yang diterapkan

oleh suku bangsa Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim di kota

Medan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan

dalam rangka mencapai tujuan penelitian, berupa data primer dan data sekunder.

Data apapun yang hendak dikumpulkan dalam suatu penelitian, akan diperoleh

melalui metode-metode tertentu, pada sumber-sumber tertentu dan dengan

menggunakan alat atau instrumen tertentu, yang dipilih berdasarkan pada berbagai

faktor tertentu jenis data dan ciri informasi yang didapat maka metode yang

digunakan tidak selalu sama untuk setiap informa, (Faisal 1989:51) jenis data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder.

Untuk mendapat data tersebut peneliti menggunakan teknik pengumpul data

melalui:

a. Field research (penelitia lapangan) untuk data primer

Yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan di lapangan dalam hal ini

pengumpulan data yang ada di kota Medan yang berpusat di Kelurahan

Binjai-Kecamata Medan Denai.

Adapun teknik pengumpulan datanya dengan cara:


(29)

Yaitu peneliti turun langsung kelapangan melakukan pengamatan terhadap

bagaimana strategi adaptasi penganut Ugama Malim untuk mempertahankan

eksistensi agamanya, bagaimana menjalankan ibadah keagamanya, bagaimana

kehidupan sosial-budaya dan ekonomi Parmalim di kota Medan.

Wawancara mendalam

Bertujuan untuk mengumpulkan keterangan dari proses tanya-jawab

langsung. Untuk melengkapi wawancara ini maka digunakan daftar pertanyaan

yang telah disusun sebelumnya disebut dengan pedoman wawancara (intervieu

guide)

b. Library research (telaah kepustakaan) untuk data sekunder

Yaitu cara memperoleh data yang di peroleh melalui studi keputakaan.

Dalam penelitian ini kajian pustaka dilakukan untuk mendapatkan data yang

bersifat teoritis, asas-asas, konsepsi, jurnal, tulisan dan catatan lainya yang

berhubungan dengan topik penelitian.

4. Penentuan Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat

Batak Toba yang menganut Ugamo Malim atau Parmalim dan masyarakat yang

dapat memberikan informasi terkait dengan masalah yang diketahui. Peneliti

membagi dua tipe informan yaitu informan kunci dan informan biasa.

1. informan kunci

Orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman luas tentang

keberadaan Parmalim yang telah diakui oleh penganut Ugamo Malim di Medan

dan masih aktif dalam kepengurusan Ugamo Malim yaitu ulupunguan, bendahara


(30)

2. informan biasa

Merupakan orang-orang yang dapat memberikan informasi yang terkait

dengan masalah yang diteliti untuk melengkapi data yang sudah ada. Informan

biasa dimaksud adalah orang-orang yang terlibat dan mengetahui tentang kegiatan

Ugamo Malim.

5. Teknis Analisis Data

Setelah penelitian lapangan selesai dikerjakan, keseluruhan data yang di

pilih dikumpulkan terlebih dahulu untuk diperiksa kembali, untuk mengetahui

apakah semua data yang diperlukan sudah memadai dan telah lengkap dan jelas.

Setiap informasi yang didapat, direkam dalam bentuk catatan lapangan, baik itu

data utama berupa hasil wawancara maupun dari data penunjang lainya. Setelah

seluruh data terkumpul, maka dilakukan analisa data dan interpretasi data dengan

mengacu pada data tinjauan pustaka.

Sedangkan hasil observasi diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya

hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Berdasarkan data yang diperoleh

diinterpretasikan untuk menggambarkan dengan jelas keadaan yang ada melalui

kalimat. Selanjutnya dikategorikan secara sistematis sehingga pada hasil akhir dari

keseluruhan penelitian mempunyai arti yang tertuang dalam bentuk karya tulis


(31)

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Gambaran Umum Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera

Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis

secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan

sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan

pemerintah daerah.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab

berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat

dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia,

Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan

diperkirakan memiliki pangsa pasar barang asa yang relatif besar. Hal ini tidak

terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007

diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis

dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan

sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional

asional.

2.2. Kota Medan Secara Geografis

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja

pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial

ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara

simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk


(32)

administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun

1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September

1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan

dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya

Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September

1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian

mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan

dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui

Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei

1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH

Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996

tentang pendefisitan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992

tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II

Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21

Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan

administrative ini, kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan

secara sosial - ekonomis akibat penanaman modal (investasi).

Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan

berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan


(33)

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber

Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya

secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya

alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli

Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota

Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan

yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah

sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat

Malaka, Maka kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk)

kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar

negeri (ekspor - impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong

perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah

terbangun Belawan dan pusat kota Medan saat ini.

2.3. Kota Medan Secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur

agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adapt istiadat. Hal ini

memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.

Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi

demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan

dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat

kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi


(34)

perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan

yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu

pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan

kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah.

Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain

perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga

disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat

kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan

pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak

banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak

banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai

dinamika social yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.

Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas),

meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,

termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan

yang diterapkan.Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun

kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga

cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau


(35)

2.4. Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal

Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya,

budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya

nilai–nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak

satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat

diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat

menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah,

alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan

kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu

primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh

karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan

dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

2.5. Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan,

keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan

penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana

pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi

masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh

pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .

Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan


(36)

dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling

berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender

dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak

mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan

perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan

secara bermartabat .

2.6. Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Denai terletak di wilayah Tenggara Kota Medan dengan

batas-batas sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan

Kota dan Kecamatan Medan Area. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten

Deli Serdang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Amplas.

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung. Dengan luas

wilayah kecamatan Medan Denai 11,19 KM²

Kecamatan Medan Denai adalah wilayah Timur Kota Medan yang

berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang., dengan penduduknya

berjumlah 137.690 jiwa (tahun 2006). Daerah ini pada dahulunya adalah bekas

perkebunan Tembakau Deli yang amat terkenal itu. Karena merupakan daerah

pengembangan maka di Kecamatan Medan Denai ini banyak terdapat usaha

Agrobisnis seperti Pengolahan Kopi. Potensi dan Produk Unggulan dari Kecamatan

ini berupa Produksi Sepatu dan Sandal, Produksi Moulding dan Bahan Bangunan,


(37)

2.7. Potensi Wilayah 2.7.2. Data Umum

Kecamatan Medan Denai sebagai sebuah kecamatan bagian dari kota

Medan dengan luas wilayah 9.827 km2. Dengan luas wilayah yang demikian

kecamatan Medan Denai dihuni 144.768 jiwa penduduk pada tahun 2008. Jumlah

penduduk yang demikian terbagi dalam enam kelurahan dan 82 lingkungan. Salah

satunya adalah kelurahan Binjai dengan luas wilayah 414 Ha terbagi dalam 13

lingkungan dengan total jumlah penduduk 47.344 jiwa. Masing-masing lingkungan

dalam kecamatan Medan Denai dihubungkan dengan jalan aspal sepanjang 93.95

Km. Data umum kecamatan Medan Denai dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.7.1 : Data Umum Kecamatan Medan Denai

No Data Umum Keterangan

1 Luas 9.827 km²

2 Jumlah Kelurahan 6 kelurahan

3 Jumlah Penduduk 144.768 jiwa

4 Panjang Jalan Aspal 93,95 km

5 Jumlah Lingkungan 82 Lingkungan

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.2. Pelayanan Umum

Dalam memenuhi kebutuhan penduduk Kecamatan Medan Denai

pemerintah Kotamadya Medan menyediakan pelayanan umum yang dapat


(38)

tersebut merupakan suatu keharusan bagi masyarakat. Di mana semakin banyaknya

pelayanan umum yang diberikan pemerintah kepada warganya menunjukkan

bahwa daerah tersebut adalah daerah yang maju dan tergolong makmur

penduduknya.

Adapun berbagai pelayanan yang diberikan adalah berupa air bersih. Jika

dilihat dari persentasenya adalah sebesar 66,19% yang dapat digunakan penduduk

untuk keperluan minum, cuci, mandi dan sebagainya.

Untuk keperluan listrik pemerintah memberikan pelayanan sebesar 91,50%.

Pelayanan listrik yang demikian maksimal sangat membantu penduduk dalam

melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan

barang-barang elektronik. Untuk mempermudah masyarakat dalam melakukan hubungan

jarak jauh pemerintah menyediakan telepon umum dengan penyediaan keperluan

sebesar 33,50%.

Pemerintah juga menyediakan 10 porsil lapangan olahraga. Pelayanan ini

dapat dinikmati oleh semua warganya yang dapat digunakan sebagai sarana

pengembangan bakat dalam bidang olahraga. Selain itu penyediaan lapangan 10

porsil ini akan merangsang minat warganya untuk tetap berolahraga khususnya

generasi muda. Dalam menjalankan ibadahnya pemerintah mendirikan 133 unit

rumah ibadah. Dengan penyediaan rumah ibadah sebanyak ini dapat menunjukkan

masyarakat kecamatan Medan Denai yang majemuk dan religius. Pemerintah juga

menyediakan sarana pelayanan umum di bidang kesehatan berupa 1 unit rumah


(39)

Tabel 2.7.2 : Pelayanan Umum Kecamatan Medan Denai

No Jenis Pelayanan Keterangan

1 Air Bersih 66,29%

2 Listrik 91,50%

3 Telepon 33,50%

4 Gas 24,60%

5 Lapangan Olahraga 10 persil

6 Rumah Ibadah 133 unit

7 Rumah Sakit 1 unit

8 Puskesmas 4 unit

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.7.4. Pendidikan

Pelayanan dibidang pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat

diperlukan setiap individu untuk mencapai sumber daya manusia yang potensial

dan mampu bersaing sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Untuk

keperluan pendidikan warganya pemerintah menyediakan SD/sederajat 44 unit,

SLTP/sederajat 15 unit, SMU/sederajat 16 unit. Dan terdapat juga jenis pendidikan


(40)

Tabel 2.7.3 : Sarana Pendidikan Kecamatan Medan Denai

No Jenis Pendidikan Keterangan

1 SD / Sederajat 44 unit

2 SLTP / Sederajat 15 unit

3 SMU / Sederajat 16 unit

4 Akademi 3 unit

5 Universitas -

Sumber Data: Kantor Camat Medan Denai

2.8. Kelurahan Binjai

2.8.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan

Pada tabel berikut ini dapat terlihat secara terperinci pemanfaatan wilayah

dengan penggunaan luas wilayah yang sangat efesien dalam pengunaan lahan

dalam tata ruang daerah perkotaan. Dimana luas daerah pemukiman lebih luas dari

luas wilayah lainya yakni 300 ha. Dengan luas wilayah pemukiman yang demikian

dibarengi dengan luas wilayah persawahan seluas 0,20 ha, sebagai lahan

persawahan yang dapat dimanfaatkan sebagian kecil masyarakatnya. Adapun jenis

daerah persawahan yang dikelola oleh masyarakat di Kelurahan Binjai adalah

merupakan daerah persawahan yang pasang surut dimana musim tanam yang


(41)

Tabel 2.8.1 : Luas Wilayah Menurut Penggunaan

No Penggunaan Luas

1 Luas Pemukiman 300 Ha

2 Luas Persawahan 0,20 Ha

3 Luas Kuburan 0,07 Ha

4 Luas Pekarangan 0,60 Ha

5 Luas Taman 0,05 Ha

6 Luas Daerah perkantoran 0,30 Ha

7 Luas Prasarana umum lainnya 0,02 Ha

Total luas wilayah 414 Ha

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

Menurut informasi yang diperoleh penulis penggunaan lahan pertanian di

Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai semakin lama semakin berkurang, hal

tersebut dimungkinkan terjadi seiring dengan berkembangnya pengelolaan tata

ruang kota Medan menuju kota metropolitan. Sehingga tidak sedikit jumlah

penduduk yang mengalihkan daerah persawahan menjadi daerah pemukiman. Ada

juga sebagian peduduk yang memilih lahan pertanianya dijual untuk keperluan lain,


(42)

2.8.5. Potensi Sumber Daya Manusia

Pada tabel berikut ini dapat diketahui bahwa keluraham Binjai Kecamatan

Medan Denai merupakan penduduk yang sangat sadar akan pentingnya pendidikan

dengan terdapatnya jumlah tamatan SMA / sederajat sebanyak 3984 orang laki-laki

dan 4244 orang perempuan. Selain penduduk tamatan SMA tedapat juga penduduk

yang sudah menempug perguruan tinggi dengan jumlah penduduk yangsudah

memperoleh gelas S-1 / sederajat sebnyak 866 orang laki-laki dan 622 orang

perempuan. Terdapat juga penduduk yang sudah memperoleh gelar S-2 / sederajat,

jumlah laki-laki sebanyak 145 orang dan 131 orang perempuan dan tamatan S-3 /

sederajat, laki-laki sebanyak 22 orang dan 13 orang perempuan.

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut umlah penduduk tamatan SMA /

sederajat berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki , dengan

selisih perbandingan sebanyak 260 orang perempuan. Sementara hal tersebut

berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan

kejenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data yang terlihat di atas jumlah

penduduk laki-laki yang melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih

banyak dari jumlah perempuan.

Tabel 2.8.2 : Potensi Sumber Daya Manusia

No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan

1 Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 879 Orang 906 Orang

2 Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play Group 669 Orang 750 Orang

3 Usia 7-17 tahun yang tidak pernah sekolah 405 Orang 424 Orang


(43)

5 Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah 430 Orang 702 Orang

6 Usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak tamat 907 Orang 710 Orang

7 Tamat SD / sederajat 2030 Orang 2064 Orang

8 Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTA 1747 Orang 1809 Orang

9 Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 1073 Orang 1356 Orang

10 Tamat SMP / sederajat 1747 Orang 1809 Orang

11 Tamat SMA / sederajat 3984 Orang 4244 Orang

12 Tamat D-I / sederajat 318 Orang 192 Orang

13 Tamat D-II / sederajat 105 Orang 101 Orang

14 Tamat D-III / sederajat 181 Orang 202 Orang

15 Tamat S-1 / sederajat 866 Orang 662 Orang

16 Tamat S-2 / sederajat 145 Orang 131 Orang

17 Tamat S-3 / sederajat 22 Orang 13 Orang

18 Tamat SLB A 3 Orang 4 Orang

19 Tamat SLB B 1 Orang 1 Orang

20 Tamat SLB C 1 Orang 1 Orang

J u m l a h 17686 Orang 18461 Orang

J u m l a h T o t a l 36147 Orang


(44)

2.8.6. Mata Pencaharian Pokok

Berdasarkan data pada tabel dibawah ini jenis pekerjaan yang paling banyak

dilakukan masyarakat adalah karyawan perusahaan swasta dengan rincian laki-laki

sebanyak 1353 orang dan perempuan sebanyak 756 orang, diikuti dengan jumlah

penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil 625 orang laki-laki dan

perempuan 442 orang dan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pengusaha

kecil dan menengah sebanyak 598 orang laki-laki dan 292 orang perempuan.

Dengan melihat uraian data penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian pokok

dapat diperoleh gambaran bahwa penduduk kelurahan Binjai kecamatan Medan

Denai adalah penduduk yang sudah tersepeialisasi berdasarkan keahlian

masing-masing yang diperoleh dalam memperoleh jenis pekerjaan yang diminati

Tabel 2.8.3 : Mata Pencaharian Pokok

No Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan

1 Petani 43 Orang 45 Orang 2 Buruh migrant 82 Orang 66 Orang 3 Pegawai Negeri Sipil 625 Orang 442 Orang 4 Pengrajin Industri Rumah Tangga 134 Orang 89 Orang 5 Pedagang Keliling 265 Orang 87 Orang 6 Peternak 24 Orang - 7 Montir 60 Orang 6 Orang 8 Dokter Swasta 20 Orang 9 Orang 9 Bidan Swasta - 36 Orang 10 Perawat Swasta 2 Orang 27 Orang 11 Pembantu Rumah Tangga 39 Orang 328 Orang 12 TNI 34 Orang 3 Orang 13 POLRI 313 Orang 19 Orang 14 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 342 Orang 142 Orang 15 Pengusaha kecil dan menengah 598 Orang 292 Orang


(45)

16 Pengacara 3 Orang - 17 Notaris 1 Orang 1 Orang 18 Dukun Kampung Terlatih 2 Orang 3 Orang 19 Jasa Pengobatan Alternatif 7 Orang 6 Orang 20 Dosen Swasta 34 Orang 23 Orang 21 Arsitektur 3 Orang - 22 Senima/Artis 3 Orang - 23 Karyawan Perusahaan Swasta 1353 Orang 756 Orang 24 Karyawan Perusahaan Pemerintah 214 Orang 86 Orang 25 Pendeta 4 Orang - Orang 26 Buruh Kasar 46 Orang 14 Orang 27 Wiraswasta 302 Orang 1471 Orang 28 Jasa dan lain-lain 728 Orang 618 Orang

J u m l a h T o t a l P e n d u d u k 8 5 1 0 O r a n g

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.7. Berdasarkan Etnis

Bedasarkan pada tabel pengelompokan penduduk menurut etnis dapat

dilihat data yang menunjukkan jumlah penduduk terbanyak adalah etnis Batak,

yang berjumlah laki-laki sebanyak 9657 orang dan perempuan sebanyak 10616

orang. Dan etnis terbanyak peringkat kedua adalah etnis jawa sebanyak 5028 orang

laki-laki dan permpuan 5282 orang. Dari data dapat pula dilihat hampir setiap

jumlah perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin, dimana jumlah

penduduk perempuan cenderung lebih banyak dari jumlah perempuan.

Data jumlah penduduk menurut etnis tersebut juga menunjukkan bahwa


(46)

maka sangatlah tepat mengkaji strategi adaptasi penganut agama Malim dalam

mempertahankan eksistensi agama yang mereka miliki yaitu agama Malim

khususnya di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai dan di kota Medan secara

umum.

Tabel 2.8.4 : Penduduk Berdasarkan Etnis

No Etnis Laki-laki Perempuan

1 Aceh 405 Orang 472 Orang

2 Batak 9657 Orang 10616 Orang

3 Nias 509 Orang 502 Orang

4 Melayu 1487 Orang 1636 Orang

5 Minang 4778 Orang 5601 Orang

6 Betawi 58 Orang 67 Orang

7 Sunda 175 Orang 243 Orang

8 Jawa 5028 Orang 5284 Orang

9 Madura 31 Orang 42 Orang

10 Bali 3 Orang 3 Orang

11 Banjar 329 Orang 337 Orang

12 Bugis 11 Orang 17 Orang

13 Makasar 14 Orang 21 Orang

14 Ambon 2 Orang 2 Orang

15 Flores 4 Orang 7 Orang

16 Cina 2 Orang 3 Orang


(47)

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

2.8.5. Berdasarkan Agama

Sebagai negara yang besar Indonesia merupakan negara yang memiliki

masyarakat yang majemuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya

perbedaan-perbedaan yang jelas dan dapat membedakan diantara mereka

(masyarakat Indonesia) salah satu dari kemajemukan yang dimiliki Bangsa

Indonesia adalah kemajemukan dibidang agama.

Di Indonesia ada lima agama yang diakui oleh negara yaitu: agama Islam

sebagai agama yang terbanyak penganutnya, agama Kristen, agama Katolik, agama

Hindu, dan agama Budha, serta ditambah dengan agama Konghuchu yang

belakangan ini diakui dan diahkan keberadaanya di Indonesia sebagai agama.

Keenam agama tesebut adalah agama “pendatang” di bumi nusantara

Indonesia selain dari agama pendatang trersebut, Bangsa Indonesia sudah sejak

dulu kala telah mempunyai agama tradisional yang lahir dari ibu pertiwi bangsa

Indonesia salah satrunya adalah agama Malim yang dimiliki oleh suku bangsa

Batak Toba yang berpusat di kecamatan Laguboti Kabupaten Tobasamosir. Agama

Malim tersebut masih tetap dipertahankan oleh pengikutnya yang disebut Parmalim

secara turun-temurun hingga saat ini.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun di Indonesia dijumpai

kemajemukan dalam beragama, bukan berarti hubungan antar agama yang satu

dengan agama yang lainya menjadi tidak harmonis. Realita ini dapat dilihat pada

acara hari besar keagamaan tertentu yang tidak hanya di hadiri oleh penduduk


(48)

Demiklian juga dengan agama Malim sebagai agama yang minoritas tetap bisa

berdampingan dengan agama mayoritas dan telah diakui keberadaanya oleh negara.

Kondisi diatas juga terlihat di kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai,

dimana perbedaan dalam hal beragama bukanlah sebagai alat untuk

membeda-bedakan warganya melainkan dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya budaya

bangsa.

Tabel 2.8.5 : Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Laki-laki Perempuan

1 Islam 14031 Orang 14621 Orang

2 Kristen 6452 Orang 7825 Orang

3 Katolik 856 Orang 954 Orang

4 Hindu 26 Orang 37 Orang

5 Budha - -

6 Konghuchu - -

7 Kepercayaan Kepada Tuhan YME 4 Orang 4 Orang

8 Ajaran Kepercayaan lainnya 3 Orang 4 Orang

J u m l a h 21372 Orang 23445 Orang

Sumber Data: Buku Profil Kelurahan Binjai Tahun 2008

Seperti yang terlihat pada tabel di atas bahwa agama yang paling banyak

penganutnya di kelurahan Binjai yaitu agama Islam denngan jumlah penganut

terbanyak yaitu 14.031 orang laki-laki dan 14.621 orang perempuan. Kemudian


(49)

agama Konghuchu tidak mempunyai penganut walaupun agama ini merupakan

agama resmi yang keberadaanya telah diakui oleh negara.

Akan tetapi selain dari adanya ke enam agama tersebut di kelurahan Binjai

terdapat juga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan jumlah

penganut laki-laki 4 orang dan perempuan 4 orang dengan total penganut 8 orang.

Dan terdapat juga Aliran Kepercayaan Lainya dengan jumlah penganut laki-laki 3

orang dan perempuan 4 orang dengan total jumlah penganut 7 orang.

Ahmad Efendi seorang staff kelurahan menyatakan bahwa: jumlah

penduduk yang terdaftar sebagai pemeluk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang

Maha Esa dan Aliran Kepercayaan yang berjumlah 15 orang adalah penganut

agama Malim. Lebih lanjut Ahmad Efendi menjelaskan perbedaan pilihan yang

dilakukan oleh penganut agama Malim terhadap dua jenis kepercayaan tersebut

adalah atas keinginan mereka untuk dicantumkan status keagamaan yang dianut

pada kolom agama KTP. Berdasarkan informasi yang di peroleh peneliti dai pihak

kelurahan bahwa agama tradisional yang ada di kelurahan Binjai kecamatan Medan

Denai hanyalah agama Malim.

Adapun alasan pemilihan penganut agama Malim untuk memilih

mencantumkan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esapada kolom agama

KTP, menurut Supano seorang staff kelurahan Binjai yang menangani

kepengurusan KTP menyatakan:

“adanya pemilihan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk dicantumkan pada kolom agama KTP adalah berdasarkan keinginan Parmalim itu sendiri. Hal ini mereka lakukan sejak diberlakukanya UU No. 23 tahun 2006 tentang Undang Administrasi kependudukan. Dengan adanya Undang-Undang tersebut Parmalim Memperoleh kesempatan dicatatkan sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberikan pengakuan sebagai agama”.


(50)

Lebih lanjut Supano menjelaskan:

“sebelum diberlakukanya UU NO. 23 tahun 2006 yang mengatur tentang administrasi kependudukan, penganut agama Malim lebih memilih untuk dicantumkan tanda “-“ pada kolom KTP yang mereka miliki. Jumlah penduduk yang menggunakan tanda “-“ pada kolom agama KTP berdasarkan data kelurahan disebut dengan Aliran Kepercayaan Lainya, namun yang sebenarnya mereka adalah Parmalim. Namun walaupun telah diberlakukan UU No. 26 yang telah memberikan kesempatan kepada Parmalim untuk memilih Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dicantumkan pada kolom agama KTP yang mereka miliki, hingga saat ini masih terdapat penganut agama Malim yang memilih mengunakan / mencantumkan tanda “-“ pada kolom agama KTP yang dimilikinya”.


(51)

BAB. III. KEBERADAAN PENGANUT AGAMA MALIM DI KOTA MEDAN

Keberadaan penganut agama Malim, tentu tidak dapat dipisahkan dari

ajaran dan sumber hukum yang dijalankan di kota Medan. Menurut ulupunguan

Parmalim sekota Medan (amang Simanjuntak) jumlah Parmalim saat ini kurang

lebih 40 kk jika diasumsikan 1 kk terdiri dari 4 orang maka jumlah Parmalim

sekota Medan sebanyak 160 jiwa. Menurut penganut agama Malim ajaran agama

Malim tersebut berasal dari Debata Mulajadi Nabolon dan sebagian lagi berasal

dari para Malim Debata. Semua ajaran agama yang diperoleh dibagi menjadi empat

jenis yaitu: tona (pesan), poda (sabda), patik (peraturan) dan uhum (hukum).

Sebagian ajaran itu tercantum dalam pustaha habanaron yaitu semacam kitab suci

atau kumpulan peraturan-peraturan yang isinya mengatur hubungan antara manusia

dengan Debata dan hubungan manusia dengan sesamanya.

Sejak zaman dahulu istilah ugamo atau agama telah dikenal dalam bahasa

Batak. Istilah tersebut bukanlah yang baru muncul di kalangan orang Batak.

Menurut istilah agama Malim, ugamo atau agama adalah jalan perjumpaan antara

manusia dengan Debata melalui sesaji yang bersih dan suci (dalam perdomuan ni

hajolmaon tu Debata marhite pelean na ias) orang yang masuk dalam agama Malim disebut parugamo Malim (pengikut ugamo Malim) yang sering disingkat

dengan parmalim (penganut agama Malim). Dengan demikian Parmalim berarti

orang-orang yang menuruti ajaran Malim atau kehidupan Malim yang diwujudkan

dengan pengumpulan ramuan benda-benda pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran


(52)

3.1. Peresmian Agama Malim

Beberapa ratus tahun sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah

Batak dan sebelum agama Malim resmi ada, kepercayaan dan ajaran keagamaan

Malim, dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mulajadi Nabolon. Suruhan Debata yang membawa ajaran keagaman itu dinamakan malim Debata.

Ada empat orang yang tercatat sebagai malim yang diutus Debata khusus

kepada suku bangsa Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja

Sisingamangaraja, da Raja Nasiakbagi. Empat orang Malim. Debata ini diyakini

sebagai manusia terpilih dari tengah-tengah suku bangsa Batak. Mereka diutus

untuk membawa berita keagamaan kepada suku bangsa Batak secara bertahap

selama kurun waktu lebih kurang 400 tahun (Gultom, 2010:92).

Akan tetapi pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja,

ajaran keagamaan itu belum dibungkus dalam sebutan nama agama. Atau lain

perkataan bahwa ajaran itu belum resmi menjadi sebuah agama. Ia hanya sebuah

bentuk kepercayaan yang di dalamnya ada amalan-amalan (ritual) sebagai sarana

tali penghubung antara manusia dengan Debata dan supranatural lainnya. Semua

mereka yang tercatat sebagai Malim Debata itu disebut sebagai orang yang

memiliki harajaon malim (kerajaan malim) di Banua Tonga (bumi) ini. Kerajaan

malim yang mereka pegang itu diyakini dalam agama Malim berasal dari Debata Mulajadi Nabolon.

Raja Uti sebagai malim Debata yang petama adalah seorang pemimpin

umat yang kharismatis dan disegani di zamannya. Dia tampil di tengah-tengah suku

Batak ketika masyarakatnya pada satu masa itu dalam keadaan chaos yang ditandai


(53)

Di samping itu suku Batak ketika itu mengalami guncangan kepercayaan kepada

Debata Mulajadi Nabolon dengan mengubah kepercayaannya kepada sipalebegu

(menyembah ruh-ruh) atau boleh juga disebut berpaham animisme. Di kala itulah

dia muncul sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan manusia dari

kesesatan dan mengembalkan kepercayaan untuk menyembah kepada Debata

Mulajadi Nabolon. Dialah yang pertema membentuk ajran “marsuhi ni ampang na opat” (ampang yang bersegi empat atau SUSANO) yang terdiri dari tona, poda, patik, dan uhum yang diyakini ajaran itu telah ada di Banua Ginjang sebelum

diturunkan ke bumi ini. Pendek kata, kehadiran dari Raja Uti di tengah-tengah

masyarakat Batak membawa misi untuk mengembalikan suku bangsa Batak supaya

berketuhanan sekaligus memberikan pedoman hidp kepada masyarakat Batak.

Beberapa lama setelah itu, Debata mengutus Tuhan Simarimbulubosi

sebagai malim yang kedua untuk melanjutkan ajaran yang dibawa oleh Raja Uti.

Kedatangannya adalah untuk memantapkan keimanan suku bangsa Batak agar tetap

berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Bagi agama Malim, kehadiran

Simarimbulobosi pada masa itu diyakini adalah berkat kasih Debata kepada suku

bangsa Batak. Akan tetapi, setelah Simarimbuobosi meninggalkan umatnya pergi

menghadap na torasna (bapaknya) di Banua Ginjang, kekacauan sosial muncul

kembali yang sama dahsyatnya dengan kekacauan yang terjadi sebelum Raja Uti

didaulat sebagai Malim Debata. Inti penyebabnya adalah karena mereka semakin

jauh dari Debata dan berbuat jahat semaunya sehingga masa itu kemudian dikenang

sebagai masa lumlam (jahiliah). Meskipun demikian Debata masih tetap

memberikan kasihnya kepada suku bangsa Batak. Debata mendaulat seorang lagi


(54)

Sisingamangaraja untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang

dimilikinya dengan maksud agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata

Mulajadi Nabalon.

Kehadiran Sisingamangaraja beberapa puluh tahun setelah

Simarimbulubosi, tugasnya adalah mengisbatkan adat, patik, dan uhum (hukum)

bagi bangsa Batak sebagai panduan hidup dalam bermasyarakat. Perlu dicatat bahw

secara fisik yang bernama Sisingamangaraja berjumlah dua belas orang sehingga

untuk penyebutannya dinamakan Sisingamangaraja I hingga XII. Akan tetapi

menurut kepercayaan agama Malim bahwa ruh Sisingamangaraja itu hanya satu,

karena ruh ada pada diri mereka adalah titisan atau pancaran ruh dari Debata

Mulajadi Nabolon.

Pada masa Sisingamangaraja XII, penjajah Belanda mulai datang di Tanah

Batak. Peperangan berlangsung selama 30 tahun yang disebut dengan perang

Batak. Dalam suatu penyerbuan ke tempat persembunyiannya. Sisingamangaraja

XII ditembak mati oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Christoffel. Pihak

Belanda mengumumkan bahwa Sisingamangaraja XII telah gugur pada 21 Juni

1907. Akan tetapi, menurut kepercayaan agama Malim Sisingamangaraja XII itu

bukanlah mati, karena beberapa lama setelah peristiwa penembakan itu, tiba-tiba

muncul yang bernama Raja Nasiakbagi yang tersebar di seluruh tanah Batak.

Belakangan dipercayai bahwa yang bernama Raja Nasiakbagi itulah sebenarnya

Sisingamangaraja yang diyakini sudah berubah nama.

Tampilnya sosok misterius Raja Nasiakbagi tentu membawa kesan yang

menggembirakan bagi masyarakat Batak pada umumnya dan semakin mempertebal


(55)

kehadiran sosok yang bernama Raja Nasiakbagi tidak begitu banyak orang yang

mengenalnya, kecuali hanya murid-muridnya. Dia tidak lagi memegang pucuk

kekuasaaan kerajaan, melainkan hanya memfokuskan diri kepada pembinaan

rohani umatnya yaitu mengajarkan hamalimon (keagamaan). Pada suatu ketika,

Raja Nasiakbagi memberikan arahan kepada murid-muridnya. Dalam pertemuan

itu dia berkata: “malim ma hamu” (malimlah kalian). Maksudnya, “Sucilah kamu

atau senantiasalah suci dalam keagamaan”. Dengan adanya pengarahan ini, maka

sejak itu pulalah ajaran yang dibawanya resmi dan populer disebut agama Malim.

Momen pendeklarasian agama ini sesungguhnya bukan saja bermaksud

untuk memantapkan keimanan para pengikutnya, tetapi sekaligus menunjukkan

kepada dunia luar terutama kepada agama pendatang bahwa kepercayaan dan

ajaran yang diwariskan nenek moyang mereka masih tetap eksis. Seperti

dimaklumi pada masa itu, kegiatan kristenisasi sudah semakin gencar dan meluas

di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa itu ada kekhawatiran bagi pengikut

agama Malim bahwa kehadiran agama Kristen di tanah Batak suatu ketika akan

mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup agama Malim pada masa yang

akan datang.

Setelah Nasiakbagi pergi meninggalkan umatnya, agama Malim diwariskan

kepada salah seorang murid setianya yaitu Raja Mulia Naipospos. Dia diserahi

tugas mempertahankan dan melanjutkan penyiaran agama Malim untuk masa

selanjutnya. Penyerahan mandat itu merujuk kepada pidatonya yang terakhir sekali

yang diengar oleh semua murid-muridnya. Di dalam pidato itu Raja Nasiakbagi

berkata bahwa “siapa-siapa yang patuh dan taat kepada Raja Mulia, maka samalah


(1)

Daftar Informan

Nama: Erica Sitorus Usia: 27 tahun

Pekerjaan: Pegawai Swasta Agama: Malim / Parmalim Nama: Alboin Sitorus Umur: 19 tahun

Pekerjaan: pelajar SMA Agama: Malim / Parmalim Nama: Bintang Torop Tiroi S Umur: 47 tahun

Pekerjaan: ibu rumah tangga Agama: Malim / Parmalim Nama: Boike Sitorua Umur: 26 tahhun

Pekerjaan: Pegawai Swasta Agama: Malim / Parmalim Nama: Damayanty Sirait Umur: 30 tahun

Pekerjaan: Pegawai Swasta Agama: Malim / Parmalim

Nama: Herbang Sirait Umur: 28 tahun

Pekerjaan: Mahasiswa Agama: Malim / Parmalim Nama: N Manurung Umur: 34 tahun

Pekerjaan: PNS-Bidan Agama: Malim / Parmalim Nama: Kasman Sirait Umur: 52 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta Agama; Malim / Parmalim


(2)

Nama: Maradu Naipospos Umur: 22 tahun

Pekerjaan: Pelajar-Mahasiswa Agama; Malim / Parmalim Nama: Mariduk Samosir Umur: 35 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta Agama: Malim / Parmalim Nama: Mindo Sirait

Umur: 23 tahun

Pekerjaan: Pelajar-Mahasiswa Agama; malim / Parmalim Nama: Wilhan Naipospos Umur: 33 tahun

Pekerjaan: Pegawai Swasta Agama; malim / Parmalim Nama: Rischard Sinaga Umur: 17 tahun

Pekerjaan: Pelajar-SMA Agama: Malim / Parmalim Nama: Rominda Sirait Umur: 21 tahun

Pekerjaan: Pelajar-Mahasiswa Agama: Malim / Parmalim Nama: Acholder Sirait Umur: 37 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta Agama: malim / Parmalim Nama: Ado Sirait

Umur: 23 tahun

Pekerjaan; Pelajar-Mahasiswa Agama: Malim / Parmalim Nama: Tony Sirait

Umur: 35 tahun

Pekerjaan: Pegawai Swasta Agama: Malim / Parmalim


(3)

Nama: Sutan Fauzi A. Lubis Umur 31 tahun

Pekerjaan: PNS – Lurah Binjai Agama: Islam

Nama: Ahmad Efendi Umur: 41 tahun

Pekerjaan: PNS – Staff Kelurahan Binjai Agama: Islam

Nama: Supano Umur: 43 tahun

Pekerjaan: PNS – Staff Kelurahan Binjai Agama: Islam

Nama: Marini Umur: 19 tahun

Pekerjaan: Wiraswasta Agama: Islam


(4)

Daftar Istilah

Amang : bapak

Ari hatutubu : hari kelahiran

Ari holang : hari cuti / istirahat

Ari Sabtu : hari Sabtu

Bangke : bangkai

Banua ginjang : benua atas

Banua tonga : benua tengah

Banua toru : benua bawah

Begu : hantu

Boru : anak perempuan

Datu : dukun / tabib

Hagogoon : kekuatan

Hamalimon : kesalehan / ketakwaan

Harajaon Malim : kerajaan Malim

Horas : selamat

Ihutan : yang di ikuti, ketua agama pusat Parmalim

Langgatan : tempat sesaji, podium

Malim ni Debata : utusan Debata

Mamasu-masu : memberkati perkawinan

Mamangir : mensicikan diri


(5)

Mual : mata air

Naposo : yang muda

Na ramun : yang kotor, haram

Pangurason : air pensucian

Parbuesanti : sekumpulan makanan persembahan

Pandupaan : tempat dupa

Parhalaan : kalender Batak Toba

Parsantian : tempat peribadatan

Patik : peraturan, perintah

Pelean : sesaji, persembahan

Poda : nasehat

Punguan : perkumpulan, cabang

Tondi : ruh, jiwa

Tor-tor : tarian

Tongo-tongo : doa-doa

Ulos : kain panjang tenunan


(6)

STRUKTUR PEMERINTAHAN KELURAHAN BINJAI

KECAMATAN MEDAN DENAI TAHUN 2010

Lurah : Sutan Fauzi A. Lubis,S.STP, M.Si NIP. 19781211 199810 1001

Jabatan Temporal

Sekretaris : Dartamaswin NIP. 400 040 582

Kaur pemerintahan Supano NIP. 400 044 383

Kaur Kesra H. Olub Rambe NIP. 400 033 586

Kaur Umum Ahmad Efendi NIP. 400 041 502

Kaur Ekbang Karlina NIP. 010 246 363

Kaur Keuangan ………

Lingkungan I Mhd. Nurdin S

Lingkungan II Jainul Arifin Lingkungan VI Abd.Rahman I. Lingkungan III T. Armansyah Lingkungan IV H. Marpaung Lingkungan V P. Aruan Lingkungan VII Nurka Rambe Lingkungan VIII Sofianto Lingkungan XII M.Ikhsan HTS Lingkungan IX M.Sy. Harianja Lingkungan X Jafer Sihombing Lingkungan XI Syaiful A. M

Lingkungan XIII Abdul Mutalib Lingkungan XVI Bakri Lingkungan XIV Bangun Siregar Lingkungan XV E.E. Siagian