PIAGAM MADINAH DAN EKSISTENSI NEGARA BAN
TUGAS
STUDI INTENSIF AL-QURAN
Materi: Mu’amalah dalam Perspektif Al Quran
(Dr. H. A. Malik Madaniy, M.A)
Oleh:
Dinia Anggraheni
Prodi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanan
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2016
Piagam Madinah dan Eksistensi Negara Bangsa
Dinia Anggraheni
Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia
[email protected]
1.
PENDAHULUAN
Siyasah adalah satu dari cabang dari mu‟amalah. Mu‟amalah adalah salah
satu cabang syari‟ah yang mengatur tata hubungan manusia dengan sesama dalam
kehidupan dunia. Islam sebagai agama yang syamil (komprehensif) dan kamil
(sempurna) tidak luput dalam memperhatikan permasalahan kenegaraan, agar
penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat berjalan dengan damai dan baik.
Ilmu tentang kenegaraan masuk kedalam siyasah yang di dalamnya terdapat
aturan yang terkait dengan urusan pemerintahan, baik ke dalam maupun keluar
(dalam hubungan internasional).1
Hubungan antara agama dan negara atau politik masih menjadi
perbincangan di kalangan ulama, pemikir Muslim, maupun gerakan Islam.
Perbedaan pendapat tentang masalah ini masih terus terjadi dan dimungkinkan
akan berlangsung lama.
Dalam masa modern-kontemporer, posisi dan hubungan antara Islam dan
negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan
politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan
agama (religiously unfriendly-secularism), seperti Turki. Kedua, pemisahan yang
disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology),
seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara
1
Madaniy, A. Malik. Materi Prajabatan Calon Dosen UII Studi Intensif Al Quran: Aspek-Aspek
Ajaran Islam. 2016
2
negara dan agama. Ketiga, penyatuan agama dengan negara, seperti Arab Saudi,
yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.2
Indonesia sebagai negara yang berpengalaman sebagai negara yang
memisahkan permasalahan agama dengan negara, tetapi tidak serta merta
memisahakan menjadi catatan yang menarik sebagai negara bangsa dengan
mayoritas penduduk beragama Islam. Hal tersebut akan semakin menarik jika
dihubungkan dengan melihat sejarah Islam tentang Piagam Madinah.
2.
PIAGAM MADINAH
2.1
Latar Belakang dibuatnya Piagam Madinah
Kota Madinah adalah kota hijrah Rasulullah untuk melanjutkan
perjuangan dakwah setelah dakwah di Kota Mekah semakin sulit. Cobaan dan
siksaan oleh orang-orang Quraisy kepada umat Islam semakin tak terbendung.
Bukan karena alasan menyerah, tetapi berdasarkan perintah Allah untuk berhijrah
sebagaimana disebut dalam An Nisa sebagai berikut.
“Sesungguhnya
orang-orang
yang
diwafatkan
malaikat
dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu
2
Azra, Azyumardi. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, h. 115
3
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”3
Hijrahnya Rasulullah ke Kota Madinah tentu memerlukan solusi agar
dakwah Islam dapat terlaksana dengan baik dan aman mengingat masyarakat Kota
Madinah yang majemuk. Kedatangan Rasulullah pun disambut positif.
Setelah Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah,
komposisi penduduk Kota Madinah terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu
golongan Muslim (terdiri dari Kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri
dari banyak suku kecil dan didominasi dua suku terbesar, suku „Aus dan Khazraj),
dan golongan Yahudi (terdiri dari banyak suku, di Madinah suku terbesar mereka
adalah Banu Nadhir, Banu Quraizhah, dan Banu Qainuqa).4
Disamping kondisi masyarakat Kota Madinah yang majemuk, Madinah
diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antar dua suku besar Madinah, „Aus
dan Khazraj, konflik dua suku Arab tersebut dengan suku-suku Yahudi, juga
perselisihan antara Yahudi dengan Yahudi. Mereka semua saling berebut
pengaruh masyarakat Madinah untuk menjadi penguasa kota itu.5
Kehidupan politik masyarakat Arab yang berbasis suku ashabiyyat
(solidaritas yang menumbuhkan sikap loyalitas kepada kesatuan suku, solidaritas
antara anggota suku diikat oleh pertalian darah), memunculkan semangat
eksklusivisme pada setiap suku, sehingga mereka mudah terpecah belah dan
bermusuhan serta tiap-tiap suku tidak mempunyai keprihatinan sosial terhadap
suku lain.6
Agama dan keyakinan masyarakat Madinah juga terbagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu Islam, Paganisme, dan Yahudi. Realitas yang sering terjadi
3
Al Quran Surat An Nisa (4) : 97
Irsyad, Ali. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Madinah. Fakultas
Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2009, h. 1
5
Ibid, h.2
6
Ibid
4
4
adalah masing-masing pemeluk agama mengklaim bahwa agama yang
diyakininya yang paling benar. Perdebatan seputar masalah keagamaan sering
terjadi dan seakan tidak ada habisnya. Keadaan ini mempertemukan ketauhidan
dengan agama pagan yang poliestik (mempercayai banyak Tuhan).
Keadaan Madinah yang diisi banyak pertikaian antar suku dan perdebatan
agama menyebabkan kondisi politik Madinah berada pada kondisi kekosonga
kepemimpinan. Masyarakat Madinah sudah menginginkan perdamaian sampai
umat Islam masuk ke Madinah pada 622 M. Dengan diprakasai oleh Rasulullah
dan didukung oleh semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian
bersama di antara mereka. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Piagam
Madinah. Piagam Madinah dipandang sebagai keberhasilan Nabi Muhammad
mendirikan sebuah Negara dengan adanya konstitusi yang pertama bagi sebuah
negara Islam.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, disebutkan
Abu Juhaifa bertanya kepada Ali bin Abi Thalib r.a.: “Apakah ada wahyu selain
dalam Kitab Allah? Jawab Ali: “Saya tidak mengetahui kecuali faham yang
diberikan Allah dalam Al Quran dan apa yang ada dalam shahifah ini (Piagam
Madinah). Apa yang ada dalam shahifah itu? Jawab Ali: tentang diat, tebusan
tawanan, dan seorang muslim yang tidak dibunuh lantaran membunuh orang
kafir .7 Untuk waktu kapan Piagam Madinah itu dibuat ada beberapa pendapat,
tetapi disimpulkan bahwa pembuatannya diperkirakan sebelum terjadinya Perang
Badar pada tahun pertama hijrah.
7
Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyarakat
Madinah. Portal Garuda. Dalam:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&title=PIAGAM%20MA
DINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%20KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20M
ADINAH
5
2.2
Isi Piagam Madinah
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan isi dan pokok-pokok yang
terkandung di dalam Piagam Madinah.
Musthafa as Siba‟i dalam bukunya menyebut garis-garis besar yang
terkandung di dalam Piagam Madinah adalah sebagai berikut.
a.
Kesatuan umat Islam tanpa diskriminasi.
b.
Kesamaan hak dan kehormatan di antara anak bangsa.
c.
Kerja sama untuk menolak segala bentuk kezaliman, kejahatan, dan
permusuhan.
d.
Partisipasi semua elemen dalam perundingan dengan para musuh, tidak
seorang mukmin pun membuat perjanjian damai tanpa mukmin lain.
e.
Mendirikan sebuah masyarakat di atas pondasi sistem terbaik, terarah dan
terlurus.
f.
Melawan setiap orang yang berusaha keluar dari negara dan dari perjanjian
umumnya dan wajib menolak untuk memberikan bantuan kepadanya.
g.
Menjaga orang-orang yang hendak hidup bersama kaum muslimin secara
damai dan berusaha menolak setiap kedzaliman yang bisa menimpa mereka.
h.
Orang-orang nonIslam wajib memberikan kontribusi materi kepada negara
sebagaimana kaum muslimin.
i.
Bagi kaum nonmuslim wajib bekerja sama dengan kaum muslimin untuk
menolak mara bahaya yang bisa mengganggu eksistensi negara dan melawan
setiap musuh.
j.
Wajib pula bagi mereka untuk berpartisipasi menanggung biaya perang
selama negara dalam kondisi perang.
k.
Menjadi kewajiban negara untuk menolong orang yang dizalimi diantara
mereka, sebagaiman negara juga wajib menolong setiap muslim yang
teraniaya.
6
l.
Bagi kaum muslimin dan nonmuslimin untuk menolak pemberian
perlindungan kepada musuh-musuh negara dan para pendukungnya.
m. Jika kemaslahatan muslimin terjamin dalam sebuah perjanjian damai, wajib
hukumnya bagi setiap anak bangsa, muslim atau nonmuslim untuk menerima
perjanjian damai tersebut.
Adapun Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy dalam kitabnya Fiqhus
Sirah, mengemukakan bahwa perjanjian tersebut menunjukkan kepada beberapa
hukum yang sangat penting dalam syariat Islam, diantaranya adalah sebagai
berikut.
Pertama, pasal pertama dalam Piagam Madinah menunjukkan bahwa
Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum
Muslimin dan menjadikan mereka satu umat. Semua perbedaan akan sirna di
dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Hal ini tampak jelas dalam pernyataan
Rasulullah saw, “Kaum Muslimin, baik yang berasal dari Quraisy, dari
Madinah, maupun dari kabilah lain yang bergabung dan berjuang bersamasama, semuanya itu adalah satu umat.”
Kedua, pasal kedua dan ketiga menunjukkan bahwa diantara ciri khas
terpenting dari masyarakat Islam ialah tumbuhnya nilai solidaritas serta jiwa
senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggung
jawab kepada yang lainnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Bahkan
semua hukum syariat Islam didasarkan pada asas
tanggung
jawab
seraya
menjelaskan cara-cara pelaksanaan prinsip solidaritas dan takaful (jiwa senasib
dan sepenanggungan) sesama kaum Muslimin.
Ketiga, pasal keenam menunjukkan betapa dalamnya asas persamaan
kaum Muslimin. Ia bukan hanya slogan yang diucapkan, melainkan merupakan
salah satu rukun syariat yang terpenting bagi masyarakat Islam yang harus
diterapkan secara detil dan sempurna. Contoh pelaksanaan persamaan sesama
7
kaum Muslimin ini dapat kita baca dari pernyataan Rasulullah saw, “Jaminan
Allah SWT adalah satu: Dia melindungi orang-orang yang lemah (atas orangorang yang kuat)”. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapa pun
orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan. Siapa saja di antara kaum
Muslimin yang memberikan jaminan kepada seseorang maka tidak boleh bagi
orang lain, baik rakyat biasa maupun penguasa, untuk menodai kehormatan
jaminan ini.
Keempat, pasal kesebelas menunjukkan bahwa hakim yang adil bagi
kaum Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syariat
dan hukum Allah SWT, yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah SWT
dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika
mereka kepada selain sumber ini, mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di
dunia dan siksa Allah SWT di akhirat.
Itulah keempat hukum yang terkandung di dalam perjanjian tersebut yang
menjadi dasar tegaknya negara Islam di Madinah dan minhaj bagi kaum Muslimin
dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat baru.
Dengan demikian Piagam Madinah mampu mengubah eksistensi orangorang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi
masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas
politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama,
bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari
pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak
mereka sendiri.
Disamping itu Piagam Madinah sering disebut sebagai contoh untuk
sebuah masyarakat modern, kemodernan Piagam Madinah ini adalah bahwa ia
mengakui kestaraan dua partner yang membuat perjanjian ini, agama masing-
8
masing diakui, dan tidak ada yang boleh merasa lebih unggul dari yang lain. Jadi
semua yang terikat didalam perjanjian ini diakui kesetaraan mereka tanpa syarat.8
3.
ISLAM DAN KONSEP NEGARA
Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka
mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan
sebagai faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan rakyat
baik lahir maupun batin.9
Abu Hamid al Gazzali dalam suatu karyanya yang berjudul, al Iqtisad fi al
I’tiqad menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling
ketergantungan yang sangat erat. Sehubungan dengan persoalan ini, al Gazzali
menulis sebagai berikut.
“Agama merupakan dasar, dan sultan adalah penjaganya. Sesungguhnya
kekuasaan (sultan) itu hukumnya merupakan keniscayaan (daruri) bagi ketertiban
dunia dan ketertiban dunia merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat.
Hal itu merupakan tujuan yang sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu,
keharusan adanya imam merupakan salah satu bentuk keniscayaan agama yang
tidak bisa diabaikan”.10 Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan politik dan agama terdapat ketergantungan.
Al Gazzali menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat berdiri sendiri dan membutuhkan orang lain karena ada beberapa faktor
8
Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada Awal Peradaban
Islam. Dalam:
https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIAN_SYAMILAH_PERT
AMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABAN_ISLAM
9
M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”,
Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13, dalam Sahri, Konsep Negara dan
Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum,
Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 520
10
Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah, 1988), h.148149 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali,
Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 522
9
yaitu, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup manusia, keniscayaan
perlunya bantuan orang lain (tolong-menolong) dalam pengadaan bahan makanan,
pakaian, dan pendidikan anak. Berdasarkan hal tersebut, al Gazzali mengajukan
teori pembentukan kebutuhan hidup yang menurutnya, merupakan faktor utama
pembentukan sebuah negara.11
Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan
negara
dalam
Islam
selalu
terjadi
dalam
suasana yang stigmatis. Ini
disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang
paling mengesankan sepanjang sejarah
umat
manusia.
Kedua,
sepanjang
sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militerpolitik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh
Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen) dengan kulminasinya berupa
pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan
dunia
Kristen
saat
itu),
kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya
dimenangkan
oleh
Islam, lalu
berkembang dalam tatanan
dunia
yang
dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang
paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat
yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir.
Dunia Islam dalam posisi "kalah", maka pembicaraan tentang Islam berkenaan
dengan
pandangannya
tentang
negara berlangsung
dalam
kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh".12
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun,
membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan
11
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan
dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2,
Desember 2013, h. 529
12
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional yang Tak
Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September 2010, h.112
10
menjadi
tiga
jenis.
Pertama,
politik
atau
pemerintahan
yang
proses
pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat
dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang
pembentukannya
berusaha
didasarkan
proses
atas pertimbangan akal semata dengan tanpa
mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi
pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses
pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang
telah digariskan oleh shari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa
Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu maslahat yang
diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun
menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy, yang kedua
dengan sebutan al-siyâsah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan alsiyasah al-diniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian -
kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi
lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama
yang
mewajibkan
adanya pemerintahan,
mekipun
kajian
klasik
dan
kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan
itu. Kewajiban ini didasarkan pada :
a.
Ijma shahabat,
b.
Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat
tidak adanya pemerintahan,
c.
Melaksanakan tugas-tugas keagamaan,
d.
Mewujudkan keadilan yang sempurna.13
13
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional yang Tak
Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September 2010, h.113-114
11
4.
KORELASI PIAGAM MADINAH DAN PANCASILA
Konsep negara bangsa yang diterapkan di Indonesia yaitu sebagai negara
yang religiously friendly ideology, dimana agama bersahabat dengan negara,
agama tidak sebagai bentuk negara, tetapi agama tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan bernegara. Agama Islam adalah agama yang dipeluk sekitar 88%
penduduk Indonesia. Islam tidak menjadi agama resmi, tetapi jika dilihat pada
dasar negara Indonesia, Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”
menunjukkan bahwa Indonesia meletakkan agama pada tempat yang sangat
terhormat.
Realitas Islam politik, harus diakui, menjadi semakin rumit dengan adanya
semangat “Kebangkitan Islam”, yang juga melanda banyak kalangan Muslimin
Indonesia sejak dasawarsa 1990-an, yang berusaha memberikan pemaknaan
“baru” terhadap Islam. Hasilnya, cita, aspirasi, realitas, dan praksis politik
Islam/Muslim sejak kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya kian terlibat dalam
konteks dan pertarungan kian intens, yang pada gilirannya membuat ekspresi
Islam politik menjadi semakin terfragmentasi.14
Meningkatnya penggunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik
Indonesia dewasa ini-seperti terakhir terlihat kembali dalam Pilpres 2014 antara
pasangan Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK dengan seluruh parpol dan pemilih
pendukung masing-masing-sekali lagi membuktikan agama tetap dianggap
kalangan
politik
tertentu
sebagai
potensi
penting
untuk
mengarahkan
perkembangan politik.15
Harus diakui, di Indonesia hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan
agama dalam politik. Namun, Indonesia sudah memiliki jalan tengah di antara dua
14
Azra, Azyumardi. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, h.117
15
Ibid, h. 123
12
kutub ekstrem yaitu Pancasila dan UUD 1945 termasuk berbagai amandemennya
yang memberikan tempat khusus kepada agama.
Jika kembali ke pembahasan tentang Piagam Madinah, dapat disimpulkan
bahwa Piagam Madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada
perjanjian masyarakat Madinah yang majemuk/heterogen. Piagam Madinah juga
menyatakan metode dalam memecahkan persoalan antar etnis/kelompok secara
damai tanpa memaksa untuk memeluk satu agama, satu bahasa, dan satu budaya.
Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari keberhasilan Rasulullah Muhammad
sebagai pemimpin yang diplomatis.
Sebagaimana Piagam Madinah, Pancasila juga memiliki sejarah tersendiri.
Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri
negara, dan dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Proses formal
tersebut dilakukan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemedekaan Indoensia
(PPKI) pertama, sidang Panitia 9, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan
secara yurudis sebagai dasar negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia
untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia.
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai
pandangan hidup masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk
memahami Pancasila secara komprehensif dan integral terutama dalam kaitannya
dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building) yang akhirakhir ini menunjukkan adanya dekadensi/degradasi, menjadi sangat penting.16
Pancasila dalam konteks Indoensia tentu saja sangat berhubungan dengan
realitas masyarakatnya yang sangat plural. Pancasila lahir dari situasi dan kondisi
“masyarakat bineka”, dan masih akan terus bergulat dalam kebinekaan itu. Oleh
16
Baidhawy, Zakiyuddin. Fikih Kebinekaan: Piagama Madinah dan Pancasila: Prinsip-Prinsip
Kehidupan Bersama: Berbangsa dan Bernegara, h. 132
13
karena itu, kebinekaan itu juga perlu diinterpretasi ulang mengikuti semangat
zamannya.17
Pancasila sebagai ideologi pembangunan nasional yang dapat diharapkan
dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bersama sedang
mengalami krisis kepercayaan. Ruh Pancasila tidak lagi menyemangati gelora
pembangunan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.18
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini sebagian masih bercitacita mengembalikan tujuh kata pada sila pertama Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Piagam Jakarta. Sebagian lain, berjuang menegakkan syariat
Islam sebagai dasar negara. Sebagian lagi, menolak mentah-mentah bukan hanya
Pancasila, bahkan juga bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hendak
menggantikannya dengan khilafah Islamiyyah dan syariat Islam.19
Umat Islam yang kontribusinya terhadap berdirinya negara-bangsa
Indonesia dan lahirnya dasa negara , Pancasila tidak dapat diragukan lagi sedang
mengalami krisis kepercayaan. Kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas
bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar lainnya-UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika-sebagai ideologi “thagut” yang harus dimusnahkan.
Sementara yang lainnya mengusung Tauhid Hakimiyah sebagaimana dipahami
Jamaah Islamiyah (JI) yang mengharuskan negara ini menjadi “Negara Islam” dan
syariat Islam sebagai dasar dan konstitusi negara. Untuk mencapai tujuan mereka,
kelompok NII menyatakan pemberontakan (bughat) terhadap pemerintahan yang
sah dan melakukaan perampokan (fai’) untuk membiayai perjuangan mereka.
Sementara itu, kelompok JI menghalalkan terorisme (irhabiyyah) untuk meraih
17
Ibid, h. 143.
Ibid, h. 147
19
Ibid
18
14
tujuan mereka. Pada akhirnya, sila-sila Pancasila dan maknya mulai disangsikan
dan ditolak keberadaanya.20
Sesungguhnya Pancasila jika diaplikasikan dan dipahami dengan baik
dapat berlaku seperti halnya Piagam Madinah yang dapat menjadi kontrak sosial
masyarakat yang bersifat heterogen seperti di Indonesia. Umat beragama dapat
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing
dengan damai tanpa ada paksaan untuk ikut dalam satu agama terwujud dalam sila
pertama Pancasila. Empat sila berikutnya adalah perwujudan dari sila pertama
pada empat ranah kehidupan.
Sila kedua adalah bentuk pengejawantahan Ketuhanan pada level
hubungan dan relasi antarmanusia. Sila ini menyatakan prinsip “kesatuan
kemanusiaan” karena mereka berasal dari satu Pencipta dan nenek moyang yang
sama, egalitarianisme (persamaan kemanusiaan dan relasi dalam kesetaraan), dan
menolak etnosentrisme (dominasi ras dan diskriminasi) atas nama apa pun yang
menjadi antitesis (kemusyrikan) atas Ketuhanan Yang Maha Esa.21
Sila persatuan mengejawantahkan spirit “integrasi dan kesatuan” seluruh
tingkat kebinekaan bangsa baik dalam hal multiagama, multikultur, dan multietnik
dalam ketunggalan sebagai bangsa, dan sekaligus integral dan bersatu dalam
keanekaragaman. Sila ini tegas menolak vhauvinisme etnik kapan dan di
manapun, karena sikap tersbut sangat berpotensi melahirkan ketegangan dan
konflik, serta memperparah situasi konflik dan ketegangan yang sudah ada. 22
Sila kerakyatan memperlihatkan bahwa “kedaulatan Tuhan” sudah
dilimpahkan sepenuhnya kepada umat manusia, sehingga yang ada tinggal
“kedaulatan rakyat”. Kedaulatan rakyat bersanding erat dengan “kepemimpinan”
(ra’iyah) dan mensyaratkan tanggung jawab (amanah, responsibility). Maka,
20
Ibid, h.148
Ibid, h. 157
22
Ibid
21
15
kedaulatan rakyat yang sejati menyatakan bahwa rakyat dapat membuat kontrak
politik untuk memilih dan mengangkat pemimpin, pemimpin merupakan daulat
rakyat yang bertugas melayani kepentingan-kepentingan rakyat.23
Sila keadilan sosial mencerminkan suatu upaya membumikan “Keadilan
Tuhan” pada domain keadilan distributif, komutatif, dan legal yang terukur secara
kuantitatif maupun kualitatif. Distribusi kesejahteraan bagi seluruh rakyat
dikatakan adil jika melibatkan partisipasi mereka dalam pemerataan sumber daya
alam dan lingkungan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Keadilan
bersifat komutatif yang menghendaki penghargaan atas martabat dan hak-hak
manusia. Karena itu, Pancasila menolak segala bentuk ektremitas baik dalam
bentuk individualisme maupun kolektivisme.24
Pancasila secara teologis filosofis menunjukkan secara terang benderang
bahwa ada hubungan antara hablun min Allah dan hablun min al-na. Kesalehan
orang beriman sebagai hamba Allah bermuara dan berdampak pada relasi sosialhorizontal.
Dapat disimpulkan bahwa Pancasila pada hakikatnya dapat dipandang
sebagai wajah Tauhid Sosial yang termanifestasi dalam kehidupan sosial-politik.
Pancasila merupakan bagian dari sistem ideologi yang memiliki dasar-dasar
teologi dan filosofi Islam yang nilai-nilainya dapat diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
23
24
Ibid, h.158
Ibid
16
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah,
1988), h.148-149 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam
Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
Vol.47, No.2, Desember 2013
Al Quran
Azra, Azyumardi. 2015. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara
(Pergulatan Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Bandung: PT Mizan
Pustaka
Baidhawy, Zakiyuddin. 2015. Fikih Kebinekaan: Piagama Madinah dan
Pancasila:
Prinsip-Prinsip
Kehidupan
Bersama:
Berbangsa
dan
Bernegara . Bandung: PT Mizan Pustaka
Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada
Awal Peradaban Islam. Dalam:
Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan
Masyarakat Madinah. Portal Garuda . Dalam:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&t
itle=PIAGAM%20MADINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%2
0KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20MADINAH
https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIA
N_SYAMILAH_PERTAMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABA
N_ISLAM
Irsyad, Ali. 2009. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap
Masyarakat Madinah. Fakultas Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta.
M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran
Politik Islam”, Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13,
dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih
Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2,
Desember 2013
Madaniy, A. Malik. 2016. Materi Prajabatan Calon Dosen UII Studi Intensif Al
Quran: Aspek-Aspek Ajaran Islam.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan
Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013
17
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional
yang Tak Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September
2010
18
STUDI INTENSIF AL-QURAN
Materi: Mu’amalah dalam Perspektif Al Quran
(Dr. H. A. Malik Madaniy, M.A)
Oleh:
Dinia Anggraheni
Prodi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanan
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2016
Piagam Madinah dan Eksistensi Negara Bangsa
Dinia Anggraheni
Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia
[email protected]
1.
PENDAHULUAN
Siyasah adalah satu dari cabang dari mu‟amalah. Mu‟amalah adalah salah
satu cabang syari‟ah yang mengatur tata hubungan manusia dengan sesama dalam
kehidupan dunia. Islam sebagai agama yang syamil (komprehensif) dan kamil
(sempurna) tidak luput dalam memperhatikan permasalahan kenegaraan, agar
penyelenggaraan kehidupan bernegara dapat berjalan dengan damai dan baik.
Ilmu tentang kenegaraan masuk kedalam siyasah yang di dalamnya terdapat
aturan yang terkait dengan urusan pemerintahan, baik ke dalam maupun keluar
(dalam hubungan internasional).1
Hubungan antara agama dan negara atau politik masih menjadi
perbincangan di kalangan ulama, pemikir Muslim, maupun gerakan Islam.
Perbedaan pendapat tentang masalah ini masih terus terjadi dan dimungkinkan
akan berlangsung lama.
Dalam masa modern-kontemporer, posisi dan hubungan antara Islam dan
negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan
politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan
agama (religiously unfriendly-secularism), seperti Turki. Kedua, pemisahan yang
disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology),
seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara
1
Madaniy, A. Malik. Materi Prajabatan Calon Dosen UII Studi Intensif Al Quran: Aspek-Aspek
Ajaran Islam. 2016
2
negara dan agama. Ketiga, penyatuan agama dengan negara, seperti Arab Saudi,
yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.2
Indonesia sebagai negara yang berpengalaman sebagai negara yang
memisahkan permasalahan agama dengan negara, tetapi tidak serta merta
memisahakan menjadi catatan yang menarik sebagai negara bangsa dengan
mayoritas penduduk beragama Islam. Hal tersebut akan semakin menarik jika
dihubungkan dengan melihat sejarah Islam tentang Piagam Madinah.
2.
PIAGAM MADINAH
2.1
Latar Belakang dibuatnya Piagam Madinah
Kota Madinah adalah kota hijrah Rasulullah untuk melanjutkan
perjuangan dakwah setelah dakwah di Kota Mekah semakin sulit. Cobaan dan
siksaan oleh orang-orang Quraisy kepada umat Islam semakin tak terbendung.
Bukan karena alasan menyerah, tetapi berdasarkan perintah Allah untuk berhijrah
sebagaimana disebut dalam An Nisa sebagai berikut.
“Sesungguhnya
orang-orang
yang
diwafatkan
malaikat
dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu
2
Azra, Azyumardi. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, h. 115
3
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.” Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”3
Hijrahnya Rasulullah ke Kota Madinah tentu memerlukan solusi agar
dakwah Islam dapat terlaksana dengan baik dan aman mengingat masyarakat Kota
Madinah yang majemuk. Kedatangan Rasulullah pun disambut positif.
Setelah Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah,
komposisi penduduk Kota Madinah terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu
golongan Muslim (terdiri dari Kaum Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri
dari banyak suku kecil dan didominasi dua suku terbesar, suku „Aus dan Khazraj),
dan golongan Yahudi (terdiri dari banyak suku, di Madinah suku terbesar mereka
adalah Banu Nadhir, Banu Quraizhah, dan Banu Qainuqa).4
Disamping kondisi masyarakat Kota Madinah yang majemuk, Madinah
diwarnai peperangan antar suku. Peperangan antar dua suku besar Madinah, „Aus
dan Khazraj, konflik dua suku Arab tersebut dengan suku-suku Yahudi, juga
perselisihan antara Yahudi dengan Yahudi. Mereka semua saling berebut
pengaruh masyarakat Madinah untuk menjadi penguasa kota itu.5
Kehidupan politik masyarakat Arab yang berbasis suku ashabiyyat
(solidaritas yang menumbuhkan sikap loyalitas kepada kesatuan suku, solidaritas
antara anggota suku diikat oleh pertalian darah), memunculkan semangat
eksklusivisme pada setiap suku, sehingga mereka mudah terpecah belah dan
bermusuhan serta tiap-tiap suku tidak mempunyai keprihatinan sosial terhadap
suku lain.6
Agama dan keyakinan masyarakat Madinah juga terbagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu Islam, Paganisme, dan Yahudi. Realitas yang sering terjadi
3
Al Quran Surat An Nisa (4) : 97
Irsyad, Ali. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Madinah. Fakultas
Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta, 2009, h. 1
5
Ibid, h.2
6
Ibid
4
4
adalah masing-masing pemeluk agama mengklaim bahwa agama yang
diyakininya yang paling benar. Perdebatan seputar masalah keagamaan sering
terjadi dan seakan tidak ada habisnya. Keadaan ini mempertemukan ketauhidan
dengan agama pagan yang poliestik (mempercayai banyak Tuhan).
Keadaan Madinah yang diisi banyak pertikaian antar suku dan perdebatan
agama menyebabkan kondisi politik Madinah berada pada kondisi kekosonga
kepemimpinan. Masyarakat Madinah sudah menginginkan perdamaian sampai
umat Islam masuk ke Madinah pada 622 M. Dengan diprakasai oleh Rasulullah
dan didukung oleh semua golongan masyarakat, disepakatilah sebuah perjanjian
bersama di antara mereka. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Piagam
Madinah. Piagam Madinah dipandang sebagai keberhasilan Nabi Muhammad
mendirikan sebuah Negara dengan adanya konstitusi yang pertama bagi sebuah
negara Islam.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, disebutkan
Abu Juhaifa bertanya kepada Ali bin Abi Thalib r.a.: “Apakah ada wahyu selain
dalam Kitab Allah? Jawab Ali: “Saya tidak mengetahui kecuali faham yang
diberikan Allah dalam Al Quran dan apa yang ada dalam shahifah ini (Piagam
Madinah). Apa yang ada dalam shahifah itu? Jawab Ali: tentang diat, tebusan
tawanan, dan seorang muslim yang tidak dibunuh lantaran membunuh orang
kafir .7 Untuk waktu kapan Piagam Madinah itu dibuat ada beberapa pendapat,
tetapi disimpulkan bahwa pembuatannya diperkirakan sebelum terjadinya Perang
Badar pada tahun pertama hijrah.
7
Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan Masyarakat
Madinah. Portal Garuda. Dalam:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&title=PIAGAM%20MA
DINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%20KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20M
ADINAH
5
2.2
Isi Piagam Madinah
Para ahli berbeda pendapat dalam menjelaskan isi dan pokok-pokok yang
terkandung di dalam Piagam Madinah.
Musthafa as Siba‟i dalam bukunya menyebut garis-garis besar yang
terkandung di dalam Piagam Madinah adalah sebagai berikut.
a.
Kesatuan umat Islam tanpa diskriminasi.
b.
Kesamaan hak dan kehormatan di antara anak bangsa.
c.
Kerja sama untuk menolak segala bentuk kezaliman, kejahatan, dan
permusuhan.
d.
Partisipasi semua elemen dalam perundingan dengan para musuh, tidak
seorang mukmin pun membuat perjanjian damai tanpa mukmin lain.
e.
Mendirikan sebuah masyarakat di atas pondasi sistem terbaik, terarah dan
terlurus.
f.
Melawan setiap orang yang berusaha keluar dari negara dan dari perjanjian
umumnya dan wajib menolak untuk memberikan bantuan kepadanya.
g.
Menjaga orang-orang yang hendak hidup bersama kaum muslimin secara
damai dan berusaha menolak setiap kedzaliman yang bisa menimpa mereka.
h.
Orang-orang nonIslam wajib memberikan kontribusi materi kepada negara
sebagaimana kaum muslimin.
i.
Bagi kaum nonmuslim wajib bekerja sama dengan kaum muslimin untuk
menolak mara bahaya yang bisa mengganggu eksistensi negara dan melawan
setiap musuh.
j.
Wajib pula bagi mereka untuk berpartisipasi menanggung biaya perang
selama negara dalam kondisi perang.
k.
Menjadi kewajiban negara untuk menolong orang yang dizalimi diantara
mereka, sebagaiman negara juga wajib menolong setiap muslim yang
teraniaya.
6
l.
Bagi kaum muslimin dan nonmuslimin untuk menolak pemberian
perlindungan kepada musuh-musuh negara dan para pendukungnya.
m. Jika kemaslahatan muslimin terjamin dalam sebuah perjanjian damai, wajib
hukumnya bagi setiap anak bangsa, muslim atau nonmuslim untuk menerima
perjanjian damai tersebut.
Adapun Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy dalam kitabnya Fiqhus
Sirah, mengemukakan bahwa perjanjian tersebut menunjukkan kepada beberapa
hukum yang sangat penting dalam syariat Islam, diantaranya adalah sebagai
berikut.
Pertama, pasal pertama dalam Piagam Madinah menunjukkan bahwa
Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum
Muslimin dan menjadikan mereka satu umat. Semua perbedaan akan sirna di
dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Hal ini tampak jelas dalam pernyataan
Rasulullah saw, “Kaum Muslimin, baik yang berasal dari Quraisy, dari
Madinah, maupun dari kabilah lain yang bergabung dan berjuang bersamasama, semuanya itu adalah satu umat.”
Kedua, pasal kedua dan ketiga menunjukkan bahwa diantara ciri khas
terpenting dari masyarakat Islam ialah tumbuhnya nilai solidaritas serta jiwa
senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggung
jawab kepada yang lainnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Bahkan
semua hukum syariat Islam didasarkan pada asas
tanggung
jawab
seraya
menjelaskan cara-cara pelaksanaan prinsip solidaritas dan takaful (jiwa senasib
dan sepenanggungan) sesama kaum Muslimin.
Ketiga, pasal keenam menunjukkan betapa dalamnya asas persamaan
kaum Muslimin. Ia bukan hanya slogan yang diucapkan, melainkan merupakan
salah satu rukun syariat yang terpenting bagi masyarakat Islam yang harus
diterapkan secara detil dan sempurna. Contoh pelaksanaan persamaan sesama
7
kaum Muslimin ini dapat kita baca dari pernyataan Rasulullah saw, “Jaminan
Allah SWT adalah satu: Dia melindungi orang-orang yang lemah (atas orangorang yang kuat)”. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapa pun
orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan. Siapa saja di antara kaum
Muslimin yang memberikan jaminan kepada seseorang maka tidak boleh bagi
orang lain, baik rakyat biasa maupun penguasa, untuk menodai kehormatan
jaminan ini.
Keempat, pasal kesebelas menunjukkan bahwa hakim yang adil bagi
kaum Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syariat
dan hukum Allah SWT, yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah SWT
dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika
mereka kepada selain sumber ini, mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di
dunia dan siksa Allah SWT di akhirat.
Itulah keempat hukum yang terkandung di dalam perjanjian tersebut yang
menjadi dasar tegaknya negara Islam di Madinah dan minhaj bagi kaum Muslimin
dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat baru.
Dengan demikian Piagam Madinah mampu mengubah eksistensi orangorang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi
masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas
politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama,
bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari
pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak
mereka sendiri.
Disamping itu Piagam Madinah sering disebut sebagai contoh untuk
sebuah masyarakat modern, kemodernan Piagam Madinah ini adalah bahwa ia
mengakui kestaraan dua partner yang membuat perjanjian ini, agama masing-
8
masing diakui, dan tidak ada yang boleh merasa lebih unggul dari yang lain. Jadi
semua yang terikat didalam perjanjian ini diakui kesetaraan mereka tanpa syarat.8
3.
ISLAM DAN KONSEP NEGARA
Konsep negara dan pemerintahan merupakan suatu ijtihad yang
merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka
mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara serta pemerintahan
sebagai faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan rakyat
baik lahir maupun batin.9
Abu Hamid al Gazzali dalam suatu karyanya yang berjudul, al Iqtisad fi al
I’tiqad menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling
ketergantungan yang sangat erat. Sehubungan dengan persoalan ini, al Gazzali
menulis sebagai berikut.
“Agama merupakan dasar, dan sultan adalah penjaganya. Sesungguhnya
kekuasaan (sultan) itu hukumnya merupakan keniscayaan (daruri) bagi ketertiban
dunia dan ketertiban dunia merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat.
Hal itu merupakan tujuan yang sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu,
keharusan adanya imam merupakan salah satu bentuk keniscayaan agama yang
tidak bisa diabaikan”.10 Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan politik dan agama terdapat ketergantungan.
Al Gazzali menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat berdiri sendiri dan membutuhkan orang lain karena ada beberapa faktor
8
Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada Awal Peradaban
Islam. Dalam:
https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIAN_SYAMILAH_PERT
AMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABAN_ISLAM
9
M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”,
Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13, dalam Sahri, Konsep Negara dan
Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum,
Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 520
10
Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah, 1988), h.148149 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali,
Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013, h. 522
9
yaitu, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup manusia, keniscayaan
perlunya bantuan orang lain (tolong-menolong) dalam pengadaan bahan makanan,
pakaian, dan pendidikan anak. Berdasarkan hal tersebut, al Gazzali mengajukan
teori pembentukan kebutuhan hidup yang menurutnya, merupakan faktor utama
pembentukan sebuah negara.11
Dalam kajian historis, pembicaraan hubungan antara agama dan
negara
dalam
Islam
selalu
terjadi
dalam
suasana yang stigmatis. Ini
disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang
paling mengesankan sepanjang sejarah
umat
manusia.
Kedua,
sepanjang
sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen
Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militerpolitik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir seluruh
Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen) dengan kulminasinya berupa
pembebasan Konstantinopel (ibukota Eropa dan
dunia
Kristen
saat
itu),
kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun akhirnya
dimenangkan
oleh
Islam, lalu
berkembang dalam tatanan
dunia
yang
dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang
paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat
yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir.
Dunia Islam dalam posisi "kalah", maka pembicaraan tentang Islam berkenaan
dengan
pandangannya
tentang
negara berlangsung
dalam
kepahitan
menghadapi Barat sebagai "musuh".12
Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun,
membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan
11
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan
dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol.47, No.2,
Desember 2013, h. 529
12
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional yang Tak
Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September 2010, h.112
10
menjadi
tiga
jenis.
Pertama,
politik
atau
pemerintahan
yang
proses
pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat
dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang
pembentukannya
berusaha
didasarkan
proses
atas pertimbangan akal semata dengan tanpa
mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi
pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses
pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang
telah digariskan oleh shari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa
Tuhan sebagai pembuat syari‟ah adalah yang paling tahu maslahat yang
diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun
menyebut jenis yang pertama dengan sebutan al-mulk al-thabi’iy, yang kedua
dengan sebutan al-siyâsah al- madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan alsiyasah al-diniyah atau syar’iyyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian -
kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi
lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama
yang
mewajibkan
adanya pemerintahan,
mekipun
kajian
klasik
dan
kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan
itu. Kewajiban ini didasarkan pada :
a.
Ijma shahabat,
b.
Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau akibat
tidak adanya pemerintahan,
c.
Melaksanakan tugas-tugas keagamaan,
d.
Mewujudkan keadilan yang sempurna.13
13
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional yang Tak
Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September 2010, h.113-114
11
4.
KORELASI PIAGAM MADINAH DAN PANCASILA
Konsep negara bangsa yang diterapkan di Indonesia yaitu sebagai negara
yang religiously friendly ideology, dimana agama bersahabat dengan negara,
agama tidak sebagai bentuk negara, tetapi agama tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan bernegara. Agama Islam adalah agama yang dipeluk sekitar 88%
penduduk Indonesia. Islam tidak menjadi agama resmi, tetapi jika dilihat pada
dasar negara Indonesia, Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”
menunjukkan bahwa Indonesia meletakkan agama pada tempat yang sangat
terhormat.
Realitas Islam politik, harus diakui, menjadi semakin rumit dengan adanya
semangat “Kebangkitan Islam”, yang juga melanda banyak kalangan Muslimin
Indonesia sejak dasawarsa 1990-an, yang berusaha memberikan pemaknaan
“baru” terhadap Islam. Hasilnya, cita, aspirasi, realitas, dan praksis politik
Islam/Muslim sejak kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya kian terlibat dalam
konteks dan pertarungan kian intens, yang pada gilirannya membuat ekspresi
Islam politik menjadi semakin terfragmentasi.14
Meningkatnya penggunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik
Indonesia dewasa ini-seperti terakhir terlihat kembali dalam Pilpres 2014 antara
pasangan Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK dengan seluruh parpol dan pemilih
pendukung masing-masing-sekali lagi membuktikan agama tetap dianggap
kalangan
politik
tertentu
sebagai
potensi
penting
untuk
mengarahkan
perkembangan politik.15
Harus diakui, di Indonesia hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan
agama dalam politik. Namun, Indonesia sudah memiliki jalan tengah di antara dua
14
Azra, Azyumardi. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara (Pergulatan Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, h.117
15
Ibid, h. 123
12
kutub ekstrem yaitu Pancasila dan UUD 1945 termasuk berbagai amandemennya
yang memberikan tempat khusus kepada agama.
Jika kembali ke pembahasan tentang Piagam Madinah, dapat disimpulkan
bahwa Piagam Madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada
perjanjian masyarakat Madinah yang majemuk/heterogen. Piagam Madinah juga
menyatakan metode dalam memecahkan persoalan antar etnis/kelompok secara
damai tanpa memaksa untuk memeluk satu agama, satu bahasa, dan satu budaya.
Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari keberhasilan Rasulullah Muhammad
sebagai pemimpin yang diplomatis.
Sebagaimana Piagam Madinah, Pancasila juga memiliki sejarah tersendiri.
Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri
negara, dan dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Proses formal
tersebut dilakukan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemedekaan Indoensia
(PPKI) pertama, sidang Panitia 9, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan
secara yurudis sebagai dasar negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia
untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia.
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai
pandangan hidup masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk
memahami Pancasila secara komprehensif dan integral terutama dalam kaitannya
dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building) yang akhirakhir ini menunjukkan adanya dekadensi/degradasi, menjadi sangat penting.16
Pancasila dalam konteks Indoensia tentu saja sangat berhubungan dengan
realitas masyarakatnya yang sangat plural. Pancasila lahir dari situasi dan kondisi
“masyarakat bineka”, dan masih akan terus bergulat dalam kebinekaan itu. Oleh
16
Baidhawy, Zakiyuddin. Fikih Kebinekaan: Piagama Madinah dan Pancasila: Prinsip-Prinsip
Kehidupan Bersama: Berbangsa dan Bernegara, h. 132
13
karena itu, kebinekaan itu juga perlu diinterpretasi ulang mengikuti semangat
zamannya.17
Pancasila sebagai ideologi pembangunan nasional yang dapat diharapkan
dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bersama sedang
mengalami krisis kepercayaan. Ruh Pancasila tidak lagi menyemangati gelora
pembangunan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.18
Umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini sebagian masih bercitacita mengembalikan tujuh kata pada sila pertama Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Piagam Jakarta. Sebagian lain, berjuang menegakkan syariat
Islam sebagai dasar negara. Sebagian lagi, menolak mentah-mentah bukan hanya
Pancasila, bahkan juga bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hendak
menggantikannya dengan khilafah Islamiyyah dan syariat Islam.19
Umat Islam yang kontribusinya terhadap berdirinya negara-bangsa
Indonesia dan lahirnya dasa negara , Pancasila tidak dapat diragukan lagi sedang
mengalami krisis kepercayaan. Kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas
bahkan menyebut Pancasila dan tiga pilar lainnya-UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika-sebagai ideologi “thagut” yang harus dimusnahkan.
Sementara yang lainnya mengusung Tauhid Hakimiyah sebagaimana dipahami
Jamaah Islamiyah (JI) yang mengharuskan negara ini menjadi “Negara Islam” dan
syariat Islam sebagai dasar dan konstitusi negara. Untuk mencapai tujuan mereka,
kelompok NII menyatakan pemberontakan (bughat) terhadap pemerintahan yang
sah dan melakukaan perampokan (fai’) untuk membiayai perjuangan mereka.
Sementara itu, kelompok JI menghalalkan terorisme (irhabiyyah) untuk meraih
17
Ibid, h. 143.
Ibid, h. 147
19
Ibid
18
14
tujuan mereka. Pada akhirnya, sila-sila Pancasila dan maknya mulai disangsikan
dan ditolak keberadaanya.20
Sesungguhnya Pancasila jika diaplikasikan dan dipahami dengan baik
dapat berlaku seperti halnya Piagam Madinah yang dapat menjadi kontrak sosial
masyarakat yang bersifat heterogen seperti di Indonesia. Umat beragama dapat
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing
dengan damai tanpa ada paksaan untuk ikut dalam satu agama terwujud dalam sila
pertama Pancasila. Empat sila berikutnya adalah perwujudan dari sila pertama
pada empat ranah kehidupan.
Sila kedua adalah bentuk pengejawantahan Ketuhanan pada level
hubungan dan relasi antarmanusia. Sila ini menyatakan prinsip “kesatuan
kemanusiaan” karena mereka berasal dari satu Pencipta dan nenek moyang yang
sama, egalitarianisme (persamaan kemanusiaan dan relasi dalam kesetaraan), dan
menolak etnosentrisme (dominasi ras dan diskriminasi) atas nama apa pun yang
menjadi antitesis (kemusyrikan) atas Ketuhanan Yang Maha Esa.21
Sila persatuan mengejawantahkan spirit “integrasi dan kesatuan” seluruh
tingkat kebinekaan bangsa baik dalam hal multiagama, multikultur, dan multietnik
dalam ketunggalan sebagai bangsa, dan sekaligus integral dan bersatu dalam
keanekaragaman. Sila ini tegas menolak vhauvinisme etnik kapan dan di
manapun, karena sikap tersbut sangat berpotensi melahirkan ketegangan dan
konflik, serta memperparah situasi konflik dan ketegangan yang sudah ada. 22
Sila kerakyatan memperlihatkan bahwa “kedaulatan Tuhan” sudah
dilimpahkan sepenuhnya kepada umat manusia, sehingga yang ada tinggal
“kedaulatan rakyat”. Kedaulatan rakyat bersanding erat dengan “kepemimpinan”
(ra’iyah) dan mensyaratkan tanggung jawab (amanah, responsibility). Maka,
20
Ibid, h.148
Ibid, h. 157
22
Ibid
21
15
kedaulatan rakyat yang sejati menyatakan bahwa rakyat dapat membuat kontrak
politik untuk memilih dan mengangkat pemimpin, pemimpin merupakan daulat
rakyat yang bertugas melayani kepentingan-kepentingan rakyat.23
Sila keadilan sosial mencerminkan suatu upaya membumikan “Keadilan
Tuhan” pada domain keadilan distributif, komutatif, dan legal yang terukur secara
kuantitatif maupun kualitatif. Distribusi kesejahteraan bagi seluruh rakyat
dikatakan adil jika melibatkan partisipasi mereka dalam pemerataan sumber daya
alam dan lingkungan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Keadilan
bersifat komutatif yang menghendaki penghargaan atas martabat dan hak-hak
manusia. Karena itu, Pancasila menolak segala bentuk ektremitas baik dalam
bentuk individualisme maupun kolektivisme.24
Pancasila secara teologis filosofis menunjukkan secara terang benderang
bahwa ada hubungan antara hablun min Allah dan hablun min al-na. Kesalehan
orang beriman sebagai hamba Allah bermuara dan berdampak pada relasi sosialhorizontal.
Dapat disimpulkan bahwa Pancasila pada hakikatnya dapat dipandang
sebagai wajah Tauhid Sosial yang termanifestasi dalam kehidupan sosial-politik.
Pancasila merupakan bagian dari sistem ideologi yang memiliki dasar-dasar
teologi dan filosofi Islam yang nilai-nilainya dapat diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
23
24
Ibid, h.158
Ibid
16
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid al Gazzali, Al Iqtisad fi al I‟tiqad, (Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah,
1988), h.148-149 dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam
Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
Vol.47, No.2, Desember 2013
Al Quran
Azra, Azyumardi. 2015. Fikih Kebinekaan: Islam dan Konsep Negara
(Pergulatan Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Bandung: PT Mizan
Pustaka
Baidhawy, Zakiyuddin. 2015. Fikih Kebinekaan: Piagama Madinah dan
Pancasila:
Prinsip-Prinsip
Kehidupan
Bersama:
Berbangsa
dan
Bernegara . Bandung: PT Mizan Pustaka
Chonyta, Didin, Piagam Madinah: Perjanjian Syamilah Pertama di Dunia, Pada
Awal Peradaban Islam. Dalam:
Fakhri, Muhammad, Jurnal: Piagam Madinah sebagai Pilar Dasar Kerukunan
Masyarakat Madinah. Portal Garuda . Dalam:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=275078&val=7148&t
itle=PIAGAM%20MADINAH%20SEBAGAI%20PILAR%20DASAR%2
0KERUKUNAN%20MASYARAKAT%20MADINAH
https://www.academia.edu/12630474/PIAGAM_MADINAH_PERJANJIA
N_SYAMILAH_PERTAMA_DI_DUNIA_PADA_AWAL_PERADABA
N_ISLAM
Irsyad, Ali. 2009. Skripsi: Piagam Madinah dan Pengaruhnya terhadap
Masyarakat Madinah. Fakultas Adab UIN Sunan Kaliaga, Yogyakarta.
M.Din Syamsudin, “Usaha Pendirian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran
Politik Islam”, Ulum al Quran, Vol.IV, No. 2, (Jakarta, LSAF, 1993), h.13,
dalam Sahri, Konsep Negara dan Pemerintahan dalam Perspektif Fikih
Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2,
Desember 2013
Madaniy, A. Malik. 2016. Materi Prajabatan Calon Dosen UII Studi Intensif Al
Quran: Aspek-Aspek Ajaran Islam.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 dalam Sahri, Konsep Negara dan
Pemerintahan dalam Perspektif Fikih Siyasah Al Gazzali, Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol.47, No.2, Desember 2013
17
Zionis, Rijal Mumazziq, Konsep Kenegaraan dalam Islam: Perdebatan Relasional
yang Tak Kunjung Tuntas. Jurnal Falasifa, Vol 1, No. 2, 2 September
2010
18