Jual Beli Dalam Islam (1)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah
pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asysyira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’. Hukum jual beli pada dasarnya dibolehkan oleh ajaran
islam. Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :
“…. Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan
dengan jalan jual beli, suka sama suka….” (Q.S. An-Nisa’ : 29).
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang
harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:

Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli


Objek akad (barang dan harga)




Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)

Barang- barang yang terlarang diperjual belikan adalah : barang yan g haram
dimakan, khamar, buah-buahan yang belum dapat dimakan,air, barang-barang yang samar
dan barang- barang yang dapat dijadikan sarana ma’shiyat.
Berdasarkan uraian pada latar belakang, penulis tertarik untuk mengetahui pengertian jual
beli, landasan atau hukum jual beli, pandangan ulama mengenai jual beli, serta macammacam jual beli. Karya tulis ini penulis beri judul “Jual Beli dalam Islam”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada karya tulis ini adalah: apa saja pengertian jual beli, apa landasan
atau hukum jual beli, bagaiana pandangan ulama mengenai jual beli, serta macam-macam
jual beli.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian jual beli, landasan hukum jual beli, pandangan ulama
mengenai jual beli, serta macam-macam jual beli.
2. Menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih
lanjut di lokasi yang berbeda.
3. Untuk menambah wawasan mengenai jual beli dalam islam.
BAB II

PEMBAHASAN
1

2.1 Pengertian Jual Beli dalam Islam
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara
khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asySyara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk
saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah
dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh
al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak
milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh alSyafi’iyah)
f. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul
dengan cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan
hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal.
126)

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak,
yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2.2 Landasan atau Dasar Hukum mengenai Jual Beli
1. Al-Qur’an
– Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari
Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan
Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan
perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
– Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S.
Al-Baqarah 2 : 275)
2

Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan
pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.

Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk
menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah
membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
– Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah
2 : 282)
Ibnu Juraij berkata, “Barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan
persaksian”. Abu Sa’id, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij dan Ibnu
Zaid serta lainnya mengatakan bahwa pada mulanya menulis utang piutang dan jual beli
itu hukumnya wajib, kemudian di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya)”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
– Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa’ 4 : 29)
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”,
yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan
tetapi berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di antara
penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir
Ibnu Katsir)

– Allah Swt berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al
Qashash 28 : 77)
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab,
“Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar,
dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah
jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain. Rasulullah Saw
bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar
adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”.
(HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,
“Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman
3

jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa

bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. AlBaqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar
selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih) Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang
yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR
Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Hukumnya berubah menjadi haram kalau
meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan kewajiban
ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli]. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum’at,
maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan
semua pekerjaannya. Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli
dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram.

Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5 : 2). Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki),
hukumnya berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar
(penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar & harga melonjak naik.
2.3 Pandangan Ulama mengenai Jual Beli
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai (harga) adalah dinar
emas dan dirham perak. Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam
mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk seluruh bentuk simpanan harta
kekayaan. Emas dan perak adalah benda yang disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini
untuk menilai harta dan kekayaan.
Walaupun, karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat, namun tujuan utama dan
akhirnya adalah menguasai emas dan perak. Semua benda lain senantiasa terkait perubahan
harga pasar, namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah ukuran keuntungan,
harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3 yaitu :

4

— Penyimpan Nilai (Store of Value)
Yaitu uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap (stabil).

— Satuan Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit of
Account) untuk menimbang atau menilai suatu barang atau jasa. Allah Swt menjadikan
uang dinar dan dirham sebagai hakim dan penengah di antara harta benda lainnya sehingga
harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham (menjadi satuan
nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
— Alat Tukar (Medium of Exchange)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai alat tukar (Medium of Exchange) untuk
melakukan transaksi perdagangan barang atau jasa.
Uang dinar dan dirham menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya.
Karena uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat
bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222) Kenapa
emas dan perak? Menurut Al-Ghazali dikarenakan kedua barang tambang itulah yang dapat
tahan lama dan mempunyai keistimewaan dibanding dengan barang yang lain serta
keduanya mempunyai nilai atau harga yang sama (stabil). Al-Maqrizi, ulama abad ke-8
Hijriyah, salah seorang murid Ibnu Khaldun. Beliau memangku jabatan hakim (qadhi alQudah) madzhab Maliki pada masa amirat Sultan Barquq (784 – 801 H). (Zainab alKhudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, hal. 16)
Pada tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo.
Jabatan tersebut diembannya selama 2 tahun. Pada masa ini, al-Maqrizi mulai banyak
bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan dan mudharabah sehingga
perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang dan kaidah-kaidah

timbangan. (Hammad bin Abdurrahman al-Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al-iqtishad alIslamii, 2/208). Menurut al-Maqrizi, baik pada masa sebelum atau setelah kedatangan Islam,
uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan harga barang dan nilai upah. Untuk
mencapai tujuan ini, uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. (Al-Maqrizi, alNuqud al-‘Arabiyah al-Islamiyah wa ‘ilm al-Namyat, hal. 73)
2.4 Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjaudari segi objek jual beli, dari segi
pelaku jual beli, dari segi hukum jual beli, dari segi pertukaran jual beli, dan dari segi harga
jual beli:
1. Macam- Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Obyek Jual Beli:
a. Jual beli benda yang kelihatan
Yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjual belikan ada
di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh
dilakukan, seperti membeli beras di pasar.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
5

Yaitu jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk
jual beli yang tidak tunai, salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang
seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barangbarangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan
ketika akad.
c. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat

Yaitu jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu sehingga
dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat
menimbulkan kerugian salah satu pihak.
2. Macam-Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Pelaku Akad (Subyek)
a. Dengan lisan
Penyampaian akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang seperti dengan berbicara.
b. Dengan perantara atau utusan
Penyampaian akad jual beli melalui perantara, utusan, tulisan, atau surat-menyurat sama
halnya dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya Via Pos dan Giro. Jual beli ini dilakukan
antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tetapi melalui Pos dan
Giro, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara’.
c. Jual beli dengan perbuatan
Yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul, seperti seseorang mengambil
rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual kemudian diberikan
uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat
ijab qabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang
sebab ijab qabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian lainnya, seperti Imam Nawawi
membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa
ijab qabul terlebih dahulu.
3. Macam-Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Hukum

a. Jual beli yang sah menurut hukum
Yaitu jual beli yang memenuhi syarat-syarat dan rukun jual beli serta tidak terdapat unsur
yang menyebabkan tidak sahnya jual beli.
1) Rukun Jual Beli. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
a) Bai’ (penjual)
b) Mustari (pembeli)
c) Ma’qud ‘alaih (barang yang dijual)
d) Shighat (Ijab dan Qabul)
2) Syarat Sah Jual Beli
Jual beli dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat:
a) Berakal
b) Dengan kehendaknya sendiri
c) Keadaannya tidak mubazir (pemboros).
d) Baligh
Syarat-syarat Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
a) Bendanya suci
b) Dapat dimanfaatkan
c) Milik sendiri
6

d) Kemampuan untuk menyerahkanya
e) Barangnya diketahui
f) Barangnya dikuasai
b. Jual beli yang sah tapi terlarang
Ada beberapa cara jual beli yang dilarang oleh agama walaupun sah. Karena
mengakibatkan beberapa hal yaitu, menyakiti si penjual atau pembeli, meloncatnya harga
menjadi tinggi sekali di pasaran, menggoncangkan ketentraman umum.
Jual beli yang sah tapi terlarang meliputi:
1) Jual beli tabungan dengan tabungan.
2) Membeli barang yang sedang ditawar orang lain yang masih dalam masa khiyar.
3) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar sedang ia tidak
ingin kepada barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli
barang itu.
4) Menemui dengan menghentikan orang-orang dari desa yang membawa barang ke
pasar, dan membelinya dengan harga murah sebelum mereka (orang-orang desa itu)
mengetahui harga barang tersebut di pasar menurut yang sebenarnya.
5) Membeli barang untuk ditimbun dengan cara memborong semua barang di pasar,
dengan maksud agar tidak ada orang lain yang memilikinya, dan menjualnya nanti
dengan harga mahal yang berlipat ganda.
6) Menjual belikan barang yang sah, tetapi untuk digunakan sebagai alat maksiat,
misalnya menjual belikan ayam jago untuk dijadikan binatang aduan atau barangbarang yang lain untuk alat maksiat.
c. Jual Beli yang Terlarang dan Tidak Sah Hukumnya.
Beberapa contoh jual beli yang tidak sah hukumnya, antara lain sebagai berikut :
1) Jual beli barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, bangkai,
dan khamar. Rasulullah bersabda, yang artinya :
2) “Dari Jahir r.a, Rasulullah saw. Bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala” (HR. Bukhari dan
Muslim).
3) Tapi diperbolehkan menjual kotoran sapi, unta, domba sebagai pupuk untuk
menyuburkan tanah.[5]
4) Jual beli Sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan
betina agar dapat memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena
Rasulullah Saw, bersabda :
5) “Dari Umar r.a., berkata; Rasulullah Saw. telah melarang menjual mani binatang”
(HR. Bukhari).
6) Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini
dilarang karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rasulullah Saw.
bersabda :
“Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah Saw. telah melarang penjualan sesuatu yang masih
dalam kandungan induknya” (HR. Bukhari dan Muslim).

7

Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud
muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di
sawah. Hal ini dilarang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
8) Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk
dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecilkecil, dan yang lainnya.
9) Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalkan
seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang
hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan atau kemungkinan akan menimbulkan kerugian
bagi salah satu pihak.
10)
Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti
seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan
pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah
jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan qabul.
11)
Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah
yang kering. Hal ini dilarang Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
“Dari Anas r.a., ia berkata; Rasulullah Saw. melarang jual beli muhaqallah,
mukhadharah, mulammassah, munabadzah, dan muzabanah” (HR. Bukhari).
4. Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Pertukaran
a. Jual beli saham (Pesanan)
Jual beli saham adalah juual beli melalui pesanan, yaitu jual beli dengan cara
menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
b. Jual beli muqayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthalaq adalah jual beli barang dengan suatu yang telah disepakati
sebagai alat penukaran seperti uang
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli alat tukar dengan alat penukaran adalah jual beli barang yang bisa
dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainya, seperti uang perak
dengan uang emas.
5. Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Segi Harga
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
b. Jual beli yang tidak menguntungkan (at-tauliyah)
Yaitu jual beli yang tidak menguntungkan yang menjual barang dengan harga
aslinya, sehingga penjual tidak mendapatkan keuntungan.
c. Jual beli rugi(al-khasarah).
d. Jual beli al-musawah.
7)

BAB III

8

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak bisa lepas dari aktifitas menjual ataupun
membeli. Jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima bendabenda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara’ dan disepakati.
Jual beli memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar jual beli tersebut bisa
dikatakan sah. Jual beli dapat dibedakan dalam beberapa macam yaitu ditinjau dari segi
obyek jual beli, dari segi pelaku akad, dari segi hukum, dari segi pertukaran, dan dari segi
harta. Adapun jual beli yang dilarang oleh islam yaitu, terlarang sebab ahliah (ahli
akad),terlarang akibat sebab shighat,terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan), dan
terlarang sebab syara’.
3.2 Saran
Jual beli harus dilakukan seminar atau sosialisasi, karena setiap
masyarakat perlusosialisasi agar masyarakat mengetahui jual beli yang sah karena jual
beli dilakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semua itu untuk
mendukung terlaksananya prinsip jual beli secara Syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah. Yocyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

9

Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Ibrahim Muhammad Al Jamal. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani Jakarta. 1995.
Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
Yazid Afandi. Fiqh Muamalah. Yoocyakarta: Logung Jakarta. 2009.
https://www.bing.com/search?q=macam+macam+jual+beli. Di unduh 13 april 2016. 20:20.

10