DUNIA PANDANG DAN PANDANGAN DUNIA Menela

DUNIA PANDANG
DAN PANDANGAN DUNIA
Menelaah Subkultur Manga dan Otaku
Oleh: Hikmat Darmawan1

Seeing comes before words.
(John Berger, Ways of Seeing, 1972)

Ketika Obama mengumumkan pembunuhan Osama, dan
memutuskan tak akan menerbitkan foto-foto mayat musuh nomor
wahid Amerika Serikat (AS) itu, terjadi perdebatan keras. Banyak
sekali yang merasa, pengumuman itu tak absah, tak "benar", jika
tiada gambar yang mendukungnya. Seperti kata Fred Ritchin,
profesor fotografi New York University, "I don't think society
tolerates the invisible anymore. Everything has to be imaged."2
Segalanya dalam dunia kiwari harus diimajikan, digambarkan,
dirupakan. Dan itu semakin jadi desakan, karena teknologi informasi
memang semakin memfasilitasi budaya visual.
Pada 1996, saya bekerja di radio M97 FM (almarhum) dan mencicipi
tahap awal internet di Indonesia, mencoba mengunduh versi digital
kitab Leviathan karya Thomas Hobbes ke sebuah disket

berkapasitas 1,2 Megabyte (MB) di komputer kantor saya. Setelah
semalam suntuk mengunduh, komputer itu hang (macet), dan
disket saya rusak.
Pada 2010, di Tokyo, saya sering sekali mengunduh file komik
digital, musik, atau film, dengan kecepatan hingga 500 Kilobyte (KB)
per detik. Dengan kecepatan itu, Kitab Leviathan versi digital yang
saya coba unduh pada 1995 itu semestinya bisa diunduh dalam
waktu sedikit lebih dari dua detik! Niscaya dengan demikian, tak
perlu komputer saya sampai hang segala.
Ilustrasi kecepatan itu dapat menggambarkan sebuah lingkungan
informasi yang semakin lama semakin padat berjejal. Kapasitas
penampungan dan sirkulasi data serta informasi yang semakin
besar dan cepat itu memungkinkan semakin sibuknya sirkulasi data
1 Penulis adalah redaktur Rumahfilm.org dan mendapatkan grant dari Asian
Public Intelectuals Fellowship Program 2010-2011, Nippon Foundation, untuk
meneliti selama setahun tentang Globalisasi Subkultur Manga dan Identitas Visual
di Jepang dan Thailand.
2 Doctored bin Laden corpses photos go viral, global, dalam The Jakarta Post,
Friday, May 06, 2011.


yang tak lagi cukup hanya berupa teks: gambar, informasi visual,
video, menjadi seperti keharusan, sebuah kehadiran yang lekat
dalam peradaban kiwari, tersebar, saling bertukar, membentuk cara
berpikir semakin banyak orang di muka bumi.
Gambaran Marshall McLuhan masihlah jitu tentang pergeseran
budaya ini. Ia menggambarkan adanya pergeseran dari "jagat
Gutenberg" ke "desa Global". Gutenberg3, kita tahu, memungkinkan
peradaban modern tumbuh dalam karakternya sebagai puncak
capaian peradaban kata: ketika penyebaran modus berpikir abjadiah
dan tekstual menjadi semakin cepat, semakin luas, semakin
menetap.
Dalam jagat Gutenberg, modus membaca yang semakin massal
membentuk cara pikir sebagian besar manusia di dalamnya: runut
berurut sesuai laju pembacaan aksara (dengan kata lain: linear),
abstrak atau cenderung mengabstraksi, dan kategoris.
McLuhan menggambarkan bahwa jagat Gutenberg itu mulai buyar
dengan kehadiran era (media) elektrik: telepon, radio, dan
terutama, televisi. Dan McLuhan meramalkan teknologi internet,
yang akan membuyar lebih berai jagat Gutenberg4:
The next medium, whatever it is - it may be the extension of

consciousness - will include television as its content, not as its
environment, and will transform television into an art form. A
computer as a research and communication instrument could
enhance retrieval, obsolesce mass library organization, retrieve the
individual's encyclopedic function and flip into a private line to
speedily tailored data of a saleable kind.

Berainya jagat Gutenberg, mencipta sebuah keadaan yang disebut
McLuhan sebagai "global village", sebuah keadaan yang ia yakini
terdiri dari memanjangnya kesadaran manusia (melalui sesuatu
yang kemudian kita kenal sebagai internet itu), luruhnya (atau
setidaknya, merelatifnya) jarak fisik antarmanusia, dan menguatnya
desakan agar setiap kelompok, negara, manusia, saling terkait dan
terlibat.
Dalam keadaan pasca-Jagat Gutenberg itu, yang mencuat kembali
menepis kuasa peradaban Kata, adalah kelisanan dan budaya
visual. Kelisanan (orality), walau juga memikul Kata seperti dalam
peradaban Aksara, memiliki sifat non-linear, non-kategoris, tak ajeg,
berlawanan dengan sifat-sifat keberaksaraan. Percakapan lisan
3 Johannes Gutenberg, menciptakan mesin cetak modern pada abad ke-15,

dengan alat press dari kayu dan penataan letak huruf dengan tangan. Istilah
"jagat Gutenberg" dipakai Marshall McLuhan, khususnya dalam bukunya, The
Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1963), untuk
menggambarkan peradaban modern selama 500 tahun sebelum Era Elektronik di
abad ke-20, yang ditengarai bercirikan "tipografikal" dan "mekanikal".
4 Marshall McLuhan, The Gutenberg Galaxy, 1963.

terbaik, obrolan paling mengasyikkan, biasanya adalah sebuah olahkekacauan yang menggairahkan: cenderung tak runut, tak lengkap,
berkelok-kelok tak terduga.
Seiring dengan keberlisanan itu, mencuat juga yang visual. Baik
keberlisanan maupun yang visual, disebut "mencuat kembali",
karena sebermula keduanya adalah hal yang dominan sebelum era
keberaksaraan yang mengukuh dalam era Jagat Gutenberg.

Sebermula adalah pandang
Sebermula bukanlah Kata, tapi Pandang. Demikianlah kata John
Berger dalam karya seminalnya, Ways of Seeing.
Tapi, metafor Injili yang masyhur itu, bahwa "Sebermula adalah
Kata"5, agaknya kadung melekat dalam benak manusia Jagat
Gutenberg dan keturunan dekatnya. Metafor dari Perjanjian Lama,

yang mengisahkan Asal Usul Alam Semesta itu, seakan
mengukuhkan sebuah imajinasi kolektif bahwa dunia Kata lebih tua
–dan karenanya, lebih otoritatif dan sakral– dari dunia Pandang.
Padahal, jelas: dunia Pandang hadir lebih dulu dalam kronologi
sejarah umat manusia, daripada dunia Kata. Lebih dari 30.000 tahun
lalu, di jantung benua Eropa yang kini dikenal sebagai Prancis dan
Spanyol, manusia mulai membuat benda-benda "tak berguna"
seperti ornamen dan batu-batu serta tulang yang diberi hias.
Serbahias sederhana itu pula mulai ditatahkan di dinding-dinding
gua.
Antara tahun 35.000 – 8.000 SM, para pembuat kriya dari zaman
Paleolithic membuat banyak gambar, lukisan, dan patung serta
pahatan di dinding-dinding gua seperti di Lascaux, Prancis, dan
Altamira di Spanyol, juga di gua-gua Afrika dan Asia. Makna-makna
kriya-kriya itu telah hilang dalam waktu, jadi teka-teki bagi manusia
modern. Tapi, cukuplah kita tahu bahwa pemaknaan-pemaknaan
terhadap simbol-simbol visual itu pernah ada, dan itu jadi langkah
besar menuju proses panjang penciptaan keberaksaraan.6
Di aras individual sendiri, memandang tetaplah lebih dulu ada
daripada Kata. Demikianlah proses berpikir manusia. Seperti ungkap

John Berger7:
Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it
speaks.

5 Saya memakai ungkapan/terjemahan Sapardi Djoko Damono, untuk "In the
beginning, there was the Word".
6 Penciptaan sistem tulisan sendiri terjadi antara 10.000 – 5.000 SM. Georges
Jean, Signs, Symbols, and Ciphers, Discoveries, Harry N. Abrams, Inc., Publishers.
7 John Berger, Ways of Seeing, British Broadcasting Corporation and Penguin.

Seorang kanak mencerap yang terpandang olehnya, dan lama
kemudian ia belajar menamainya, memahami dunia yang
terpandang olehnya dengan bantuan sistem tanda bernama bahasa.
Dengan kata lain, seorang kanak, memandang dunia dan kemudian
belajar kata-kata. Dan demikianlah pula yang selalu terjadi pada
kita, rupanya.
Kita memandang dunia lebih dulu, agar kita paham tempat kita di
dunia ini. Kita menjelaskan dunia dengan kata, tapi Kata tak pernah
menggugurkan fakta bahwa kita dikelilingi dunia yang terpandang
itu:

It is seeing which establishes our place in the surrounding world; we
explain that world with words, but words can never undo the fact
that we are surrounded by it.8

Dunia Pandang dapat dipengaruhi Dunia Kata. Dan sejak era filsafat
Yunani Kuno yang kemudian dikukuhkan oleh tradisi tiga agama
semit dan Renaissance, Dunia Kata berlagak superior terhadap
Dunia Pandang.
Tapi, Dunia Kata tak pernah mampu menaklukkan sepenuhnya
Dunia Pandang. Sejauh-jauhnya, Kata hanyalah memengaruhi Cara
Pandang. Sedang Dunia Pandang sendiri selalu ada, tanpa
menunggu Kata. Seperti diungkai oleh Berger, setiap laku
Memandang, selalu mengandung Cara Memandang (tak perlu
menunggu Kata memberi Cara Pandang itu).9
We only see what we look at. To look is an act of choice. As a result
of this act, what we see is brought within our reach –though not
necessarily within arm's reach. To touch something is to situate
oneself in relation to it. (Close your eyes, move round the room and
notice how the faculty of touch is like a static, limited form of sight.)
We never look at just one thing: we are always looking at the

relation between things and ourselves.

Kata membantu kita menafsir Dunia Pandang. Kita menafsir yang
terpandang. Kita juga menafsir Cara Pandang yang terbit dari laku
memandang. Ketika tafsir-tafsir itu dirangkum, disistematisasi,
bisalah ia menjadi Pandangan Dunia.
Pandangan Dunia bisa menjadi alat bantu, bisa jadi pengganggu
dalam kita memandang dunia. Karena merupakan akumulasi tafsir
kita terhadap dunia yang kita pandang, Pandangan Dunia
memudahkan seseorang untuk untuk semakin memahami dunia dan
berfungsi di dalamnya. Tapi, Pandangan Dunia juga bisa justru

8 John Berger, idem.
9 John Berger, idem.

mengaburkan, menghalangi kita mendapati Dunia Pandang secara
apa adanya.10
Lalu bagaimana hubungan Pandangan Dunia dan Dunia Pandang di
dalam dunia yang semakin visual kini? Kasus globalisasi budaya
popular Jepang yang porsi besarnya adalah globalisasi subkultur

manga, akan menampakkan gejala-gejala menarik mengenai
hubungan tersebut.

Rayuan Jepang?
Globalisasi budaya popular Jepang, saya kira, lebih merupakan
gejala semakin siapnya dunia menerima partikularitas budaya
popular Jepang, ketimbang kehebatan intrinsik produk-produk
budaya popular itu sendiri.
Ini bukan skeptisisme terhadap ke-Jepang-an produk-produk budaya
pop itu, tapi skeptisisme terhadap anggapan bahwa muatan/isi/yang
intrinsik dalam sebuah produk budaya punya kekuatan mutlak dan
jadi satu-satunya faktor kejayaannya di dunia global. Dunia tak
bekerja dengan cara begitu. Selalu ada yang intrinsik, dan yang
ekstrinsik. Selalu ada yang suprastruktur, dan yang infrastruktur.
Dan, lebih sering daripada tidak, yang ekstrinsik dan yang
infrastruktur lebih berpengaruh daripada yang intrinsik dan yang
suprastruktur.
Dalam hal mengglobalnya J-Pop11, dinamika sosial-ekonomi Jepang
pada zaman Showa tampak sangat menentukan. Sesudah
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke-2 melawan Sekutu, Jepang

mengadopsi ekonomi konsumsi model AS secara penuh. Seperti AS,
industrialisasi Jepang terutama diarahkan untuk memproduksi
10 Sebetulnya, kalimat "apa adanya" di sini problematik. Kalimat tersebut
mengesankan bahwa kita bisa memandang benda-benda tanpa "gangguan" apa
pun: seakan benda-benda yang terpandang oleh kita dapat masuk ke dalam
benak, sepenuhnya, begitu saja. Padahal, seperti kata Edmund Fieldman, "people
see images, not things" dan image (imaji) adalah "…the result of endowing optical
sensation with meaning." Tapi, yang saya maksud dengan "apa adanya" itu lebih
berupa: tindakan memandang imaji dengan pemaknaan yang tak melekat pada
Kata, tapi pada koherensi visual.
11 J-Pop adalah istilah yang bisa dipakai untuk menyebut berbagai produk
budaya pop Jepang secara umum, khususnya yang berkenaan dengan manga
(komik Jepang), anime (animasi Jepang), musik, siaran televisi, film, dan
sebagainya, khususnya yang tercipta dalam periode sesudah Perang Dunia ke-2,
era Showa, hingga kini. Tapi, istilah ini lebih sering dipakai untuk aliran musik pop
di Jepang, khususnya yang keluar sejak 1990-an. Di sini, saya pakai sebagai
sebutan untuk budaya pop Jepang era Showa hingga kini secara umum.

benda-benda konsumtif, yang disangga oleh sistem keuangan yang
melayani kebutuhan-kebutuhan konsumtif tersebut.

Dalam ekonomi konsumsi tersebut, life style (gaya hidup) menjadi
salah satu penggerak utama gerak-gerik ekonomi-sosial sebuah
negara.12 Dan di Jepang, lebih dari kebanyakan negara lain di dunia,
ekonomi-konsumsi itu mengambil bentuk yang sangat visual. Gaya
hidup konsumtif Jepang terutama sejak zaman Showa berkembang
meluas dalam samudera citra, imaji, visualisasi.
Bagi banyak pengamat, Jepang, lebih dari kebanyakan negara yang
ada, memang bisa dijelaskan dari budaya visualnya. Roland Barthes
dengan jitu menyebut Jepang sebagai "Empire of signs". Donald
Richie menyebut Jepang dari segi ekonomi-konsumsi-nya sebagai
"The Image Factory". Fokus Richie, dalam bukunya yang berjudul
demikian, adalah pembacaan terhadap "fad & fashions in Japan".
Dengan fokus itu, Richie menunjukkan salah satu variabel penting
dalam terbentuknya corak Jepang pada model ekonomi-konsumsi
yang mereka adopsi13:
…(I)n a place so status conscious as Japan, self-image is important
and new image indicators are in demand.

Kebutuhan besar akan indikator-indikator citra baru membuat kata
Imeji Cheinji (dari "image change") jadi popular di kalangan muda
Jepang.
Kebutuhan akan pencitraan itu sendiri, sebetulnya, amatlah besar di
Jepang: itulah kenapa banyak sekali aparatus pencintraan pribadi
(seperti jas dan dasi ala Barat bagi para salary man, atau kimono
pada saat-saat tertentu) yang tampak menjadi semacam gaya
nasional, dipakai kaum tua dan muda. Tapi, kalangan muda adalah
salah satu kelompok pembelanja (konsumen) terpenting di Jepang,
di samping kaum perempuan dan ibu rumah tangga.
Hal ini, tentu saja dapat kita temui di negeri-negeri lain. Apalagi,
pada masyarakat-masyarakat yang mengadopsi model ekonomikonsumsi. Tapi, kata Richie:
12 Penggerak utama lainnya, jika kasusnya adalah AS, sebetulnya, adalah
militerisme. Ditilik dari segi ini, maka kita bisa mempertanyakan, apakah ekonomi
AS sepenuhnya menggunakan model ekonomi konsumsi jika ternyata perang
menjadi penggerak ekonomi yang jauh lebih besar? Tapi, saya menganggap
bahwa model ekonomi-konsumsi, dengan life style sebagai penggeraknya,
tetaplah utama, karena model ekonomi tersebut menciptakan penyangga berupa
sistem keuangan macam perbankan dan sistem kartu kredit, yang galibnya
adalah untuk meladeni konsumsi masyarakat. Dalam kasus Jepang, ekonomiperang bahkan terhenti setelah Perang Dunia II, menyebabkan model ekonomikonsumsinya betul-betul dominan.
13 Donald Richie, The Image Factory: Fads & Fashions in Japan, Reaktion Books,
2003.

…Japanese society includes conformism as a major ingredient and
everyone wanting to do everything at the same time creates a need
which the fad fashion factories fill.

Saya tak sepakat dengan asumsi Richie bahwa yang suprastruktur
("nilai konformisme" dan "kesadaran status") melahirkan model
ekonomi-konsumsi yang dijalani Jepang sejak zaman Showa hingga
kini. Kekalahan militer Jepang dari AS adalah alasan utama orientasi
ekonomi Jepang yang sebelumnya digerakkan oleh dan mengarah
untuk meladeni militerisme.
Tapi, Richie berhasil menunjukkan relasi antara model ekonomikonsumsi Jepang dengan budaya visual negeri itu. Dengan
memahami relasi itu, mudahlah kita melihat bagaimana di saat
dunia mengalami globalisasi yang bercirikan dominasi budaya
visual, maka produk-produk ekonomi-konsumsi Jepang berbalik
menjadi Rayuan tak tertahankan bagi dunia:
The successful and self-perpetuating factory which is Japan's image
enterprise has operated for centuries but it is only now, in this age
of instant communication, that it reveals itself as a major industry.

Bagi Richie, malah Jepang itu sendiri bisa dipandang sebagai sebuah
"pabrik imaji". Jalinan ekonomi-sosial-budaya Jepang tampak bagi
Richie sebagai sebuah kumpulan pabrik imaji, penghasil budaya
visualisasi yang paling terkomersialkan dalam masyarakat modern.
Richie membahas fashion & fad di Jepang, sembari meluaskan
makna fashion yang ia pakai: mencakup pakaian, gadgets,
sikap/lagak, dan kepercayaan.
Though most countries now have highly evolved image cultures,
Japan's seem more noticeable, perhaps because it is more
commercialized than many. Its use of image in fashion, graphics,
packaging, advertisement and all forms of entertainment is indeed
something startling. Perhaps consequently, though the reliance of
image rather than thought is everywhere a definition of modern
culture, it sometimes seems as though no other place has carried
this reliance to further extremes than Japan.

Dan salah satu ekstrem yang sangat terasa dalam budaya visual
Jepang adalah: kehadiran yang sangat kuat dari subkultur manga
(komik Jepang) yang, di sini, saya artikan mencakup juga subkultur
anime, games, toys, dan cosplay (dari "costume playing" atau
permainan kostum).
Di Jepang, di kota-kota besar macam Tokyo, Yokohama, atau Osaka,
hingga ke kota-kota kecil, hingga pedesaan, nyaris selalu kita jumpai
subkultur manga tersebut. Pada tanda-tanda jalan, pada iklan-iklan
billboard atau selebaran-selebaran yang dikirim ke kotak-kotak pos
rumah dan apartemen, pada lambang-lambang kota atau lembaga-

lembaga pemerintahan, pada petunjuk-petunjuk di stasiun dan
halte, toko, serta menu restoran, dan banyak lagi: selalu ada
karakter-karakter komik, atau bercorak komik, yang khas Jepang;
atau informasi-informasi berbentuk gambar-gambar tersusun secara
sekuensial.
Terasa bahwa manga lebih dari sekadar bacaan hiburan bagi anak di
Jepang: subkultur ini turut mendefinisikan budaya visual Jepang.
Subkultur manga dan Pandangan Dunia
Kehadiran yang kuat dari subkultur manga tersebut, bagi banyak
pengamat, dianggap terkait dengan akar budaya visual di Jepang
yang tertanam kuat di keberaksaraan mereka: fakta bahwa mereka
adalah kebudayaan yang disangga oleh huruf-huruf Kanji.
Huruf-huruf Kanji yang diimpor dari Cina, adalah ideografi yang pada
dasarnya merupakan imaji –atau, boleh juga disebut, gambarsimbolik. Setiap karakter Kanji melambangkan sebuah (atau lebih)
ide. Seperti kata Frederick Schodt14:
The Japanese are predisposed to more visual forms of
communication owing to their writing system. Calligraphy… might
be said to fuse drawing and writing. The individual ideograph… is a
simple picture that represents a tangible object or an abstraction
concept, emotion, or action… in fact, a form of cartooning.

Tapi, kita juga perlu memerhatikan faktor pertumbuhan infrastruktur
penerbitan komik Jepang antara 1945 hingga 1980-an, persis
berbarengan dan melekat pada zaman Showa. Dalam periode itu,
lembaga-lembaga dan pakem-pakem industrial maupun bahasa
visual manga diciptakan, dijelajahi, dieksploitasi, dikukuhkan.
Periode ini amatlah penting, sehingga dari sejarah 1000-an tahun
manga di Jepang, produksi manga pada periode 1945 hingga 1980an itulah yang dianggap sebagai definisi manga oleh banyak orang
di luar Jepang. Pengertian ini disebut oleh Natsu Onoda Power15,
sebagai pengertian "manga" yang dituliskan dalam aksara Latin dan
dipahami secara umum di Barat: komik Jepang modern yang lahir
sesudah Perang Dunia II yang dipelopori oleh Osamu Tezuka.
Power mencatat ada empat pengertian manga berdasarkan aksara
yang digunakan untuk menuliskan kata itu. Pengertian Barat/dunia
akan manga itu, dikategorikan Power sebagai makna "manga" yang
dituliskan dalam aksara Latin. Sementara di Jepang sendiri, sesuai
sistem penulisan yang berlaku di Jepang, "manga" bisa dituliskan
14 Frederick L. Schodt, Manga! Manga! The World of Japanese Comics,
Kondansha, Tokyo, 1983.
15 Natsu Onoda Power, God of Comics: Osamu Tezuka and the Creation of PostWar II Manga, University of Mississippi, 2009.

dalam aksara Kanji, Hiragana, atau Katakana, dan ketiganya
mengandung makna berbeda:

Manga yang ditulis dalam aksara Kanji (di baris pertama), menurut
catatan yang dirangkum Power, terdiri dari dua karakter, Man dan
Ga.
Karakter Man berarti: (1) menyebar, atau mencakup permukaan
besar, (2) lama dan berkelanjutan, (3) ceracau, longgar, iseng, atau
tak ada pekerjaan, atau santai, (4) kelayapan, atau melakukan
sesuatu tanpa kesadaran.
Sedangkan karakter Ga melambangkan petak sawah, garis
pembatas, pembagian, atau menciptakan sebuah perbatasan, atau
membagi suatu area menjadi beberapa area lebih kecil. Dari
pengertian ini, maka karakter Ga juga menjadi aksara untuk kata
bermakna "gambar", "lukisan", "seni garis", dan "film", sekaligus
juga melambangkan kegiatan "menggambar" atau "melukis".
Gabungan dua karakter itu menjadi kata "Manga" adalah ciptaan di
Jepang yang terutama dipopularkan oleh Hokusai, seniman ukiyo-e
masyhur dari abad ke-18. Maknanya, kurang lebih: "gambar-gambar
urakan".
Sejarawan Shimizu Isao mencatat bahwa "Manga" dalam tulisan
Kanji lebih mengacu pada bentuk-bentuk komik Jepang dari masa
sebelum abad ke-20, dimulai oleh sketsa-sketsa spontan Hokusai
yang berkembang jadi seni gambar-gambar satire hingga akhir abad
ke-19 di Jepang. Dengan fokus pemaknaan ini, Isao mengartikan
"Manga" sebagai "gambar-gambar yang dibuat dalam semangat
satire dan bermain-main".16

16 Natsu Onoda Power, idem.

Power lanjut mencatat bahwa "Manga" dalam tulisan Hiragana lebih
menekankan makna humornya, ketimbang berbau politik macam
dalam satire. Sementara "Manga" dalam Katakana, lebih
menekankan periode sejarahnya: seni komik dan kartun yang
berkembang pada masyarakat modern Jepang –yang mencakup
periode sejak awal kehadiran media modern di Jepang setelah
Restorasi Meiji.
Dalam pemakaian sehari-hari, apalagi di luar Jepang, kata "Manga"
kini lebih mengacu pada gaya visual tertentu –tepatnya, gaya visual
yang jadi pakem di genre paling popular manga: shonen manga
(komik Jepang untuk ABG lelaki) dan shoujo (komik Jepang untuk
ABG perempuan). Maka demikianlah, salah kaprah yang cukup
umum itu: bahwa manga bermakna komik dengan gaya gambar
orang-orang yang distilisasi dan berciri menonjol mata bulat besar,
serta cenderung memuat adegan saru (bermuatan seksual) yang
biasa disebut "hentai".
Jika kita toh mau menekankan perhatian pada gaya visual manga,
saya menawarkan bagan ciri visual sebagai berikut sebagai
"identitas" manga (dan untuk memudahkan, saya mencoba
mengontraskannya dengan gaya visual yang umum di komik-komik
Eropa dan AS):
ELEMEN
VISUAL\TRADIS
I
KOMIK
GARIS/BENTUK

FIGURATIF

WARNA

JEPANG
1. Warisan
Tradisi Rupa
sejak Cina
Kuno
(bertumpu
pada tinta
dan
semacam cat
air)

EROPA

1. Impresionism
e-Puitis
2. Non-Mimesis
(2 Dimensi) 
Non-Realisme
 Idealisasiartistik

1. Warisan
Tradisi
Rupa
sejak
Renaissan
ce: logis,
disiplin yg
ditetapka
n
lembaga
(sekolah
seni),
dsb.
1. Fisiognom
i
2. Mimesis 
Realisme

Idealisasilogis

1. Berasal dari

1. Berasal

AMERIKA
1. Warisan
Tradisi
Media
(Benjami
n
Franklin)
dan Pulp
Fiction:
semilogis,
otodidak
1. Stereotip
e
2. Mimesis

Realisme

Idealisasi
-fantastik
1. Berasal

tradisi alam/
warna-warna
bunga,
makanan, dll.
(warna2
kontras,
kalem)

RUANG

1. Kukan/Supes
u: ruang
kosong
tidaklah
kosong.
2. Ma: prinsip
pembauran
ruang dan
waktu:
gambaran
ruang
menandakan
aliran waktu.

WAKTU

1. Tekanan pada
momen (Zen
Time) 
Waktu
sebagai
Mosaik.
2. “Individu
meluas,
menyatu
dengan
alam”
menyatu
dengan gerak
(movement)

dari
tradisi
Seni
Rupa/Seni
Lukis
Barat
(Referensi
aliran
seni lukis,
berdisipli
n).
1. Demokras
i Ruang 
model
penggara
pan latar
yang
ditradisik
an oleh
Hergé,
yang
kemudian
kita kenal
sebagai
tradisi
clear line.

dari
tradisi
Media
Cetak
(Yellow
Kid) 
Pulp
fiction
(warna2
kontras,
agresif)
1. Latar Cerita 
ruang dalam
panil sebagai
pendukung
teks, sebagai
pelengkap
ilustrasi.

1. Waktu
Kronologi
s/linear
2. Ideas of
movemen
t

1. Waktu
kronologi
s/linear,
dengan
tekanan
pada aksi
 Ideas
of Action

Sebagai catatan: pencirian gaya visual komik-komik Jepang, Eropa
(Barat), dan AS di atas tentu saja merupakan pemampatan gaya
visual umum di ketiga domain utama komik dunia tersebut. Juga,
perlu ditekankan di sini, bahwa perkembangan belakangan komik
dunia, dengan globalisasi manga yang menguat sejak pertengahan
1990-an, telah menyebabkan pembauran gaya-gaya tersebut dalam
karya-karya kontemporer komik di Jepang, Eropa, AS, maupun
belahan bumi lain, termasuk di Indonesia.

Contoh menarik adalah pernyataan Taiyo Matsumoto17, semacam
kredonya dalam mencari gaya pribadi bagi komik-komiknya.
Menurut Matsumoto, komik Jepang berciri "ringan hati", sementara
komik Eropa berciri "intelektual", dan komik AS bersifat "cool" atau
menekankan unsur "keren". Matsumoto sendiri, dalam komikkomiknya, berhasrat meramu yang terbaik dari ketiga khasanah
komik dunia itu.
Pernyataan Matsumoto tersebut bisa kita anggap sebuah petunjuk
tentang cara pandang yang ada di dalam Manga. "Ringan hati" tak
hanya merujuk pada rasa yang muncul dalam isi-cerita, dalam arti
bermakna condong pada humor –walau, jelas dari sejarahnya,
Manga memang lekat dengan humor. "Ringan hati" itu sebetulnya
bisa kita rasakan dalam melihat sajian visual dalam Manga: gambargambar, juga tuturan-visual (visual storytelling), yang seolah
menjauh dari keserbaseriusan, dari beban-beban intelektualisasi,
malah kadang juga dari beban-beban estetisasi seperti yang dikenal
dalam tradisi gambar/rupa Barat (yang memang berciri intelektual
itu), hanya menyarankan nikmat dalam kebermainan.
Memandang komik-komik Jepang, khususnya yang di arus
utamanya, kita biasa melihat keberlebih-lebihan, kelokan-kelokan
adegan antarpanil yang tak terduga (gambar realis di satu panel,
yang langsung menjadi sangat ngartun di panil lain –seperti yang
sering kita lihat, misalnya, dalam serial City Hunter). Keberlebihlebihan yang lazim dalam sebuah eskapisme.
Tapi, kita bisa curiga, ini eskapisme yang bukan sekadar ajakan lari
sesaat dari kehidupan nyata yang penuh masalah di luar komik. Ini,
agaknya, berkaitan dengan cara pandang para komikus dan
pembaca komik Jepang (malah, karena begitu lekatnya komik
dengan masyarakat Jepang, bolehlah dibilang bahwa ini berkaitan
dengan cara pandang orang Jepang umumnya) pada hidup, pada
dunia.
Sifat "ringan hati" dalam gaya dan cerita Manga, mungkin bisa kita
kaitkan dengan cara pandang yang terkait dengan sebuah asas
estetika yang sangat masyhur di Jepang: Wabi Sabi.
Wabi: kesukaan pada yang sahaja dan yang sunyi. Sabi: pandangan
yang menekankan kefanaan hidup.

17 Taiyo Matsumoto adalah komikus pencipta Tekkin Kenkurito (Black & White)
dan Go Go Monster. Pernyataannya ini disebut sebagai gaya "remix" dalam Krazy!
The Delirious World of Anime + Comics + Video Games + Art, Vancouver Art
Gallery, Douglas & McIntyre & University of California Press.

Pastilah sukar memandang, misalnya, Hentai18 dan berpikir bahwa
itu terkait dengan Wabi Sabi. Tapi, segala keberlebih-lebihan dan
visualisasi gaduh di panil-panil Hentai (atau di panil-panil Shonen
Manga) terbaca oleh saya sebagai sebuah pesta dalam kefanaan,
pengakuan bahwa tak ada yang serius, yang perlu dimurungkan,
yang harus direnung-renungkan terlalu dalam. Hidup hanya
sementara, maka berpestalah!
Dalam karya-karya semacam ini, Sabi dieksploitasi menjadi
semacam orgy kefanaan. Sabi mengalahkan Wabi –tapi tetaplah
eksploitasi ini lahir dari rahim pandangan dunia yang sama:
kefanaan yang tak melahirkan intelektualisasi ala Peradaban Kata,
tapi hanya melahirkan keberjarakan pada dunia. Keberjarakan yang
memungkinkan permainan-permainan "gila", di samping
kebersyukuran yang tenang semacam taman Zen, yang seringkali
tak terpahami oleh pandangan-pandangan dunia yang tumbuh di
belahan bumi lain.
Fakta bahwa industri dan subkultur Manga lahir, tumbuh, dan
meraksasa sesudah Perang Dunia II jelas berpengaruh terhadap
cara pandang ini, di samping latar sejarahnya yang lebih panjang
lagi itu. Sejarah senirupa Jepang dan sejarah Manga antik sejak
Toba-e di kuil Nara, memang menyediakan bahan baku utama bagi
kebesaran industri dan subkultur Manga di Jepang.
Sejarah yang merangkum tumbuhnya nilai-nilai, sikap, serta
pandangan dunia yang lahir dan lekat pada (1) Situasi geografis
yang serbakontras dan keadaan selalu hidup dengan bencana di
Jepang, serta (2) hibridasi budaya, akibat kecenderungan Jepang
mengadopsi secara sepenuh hati pengaruh-pengaruh luar sejak
Tiongkok Kuno hingga Barat sejak Restorasi Meiji, dan (3)
kecenderungan Jepang pada "mentalitas Galapagos"19, atau
pengucilan diri.
Tapi, sejarah khusus Manga modern yang lekat pada kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II, dan pilihannya untuk mengadopsi
penuh-penuh ekonomi-konsumsi model AS, melahirkan corak khusus
subkultur manga, atau yang disebut Richie sebagai fashion & fad
khas pabrik imaji Jepang.
18 Secara harfiah, berarti "penyimpangan (seksual)". Di luar Jepang, kata
"hentai" adalah sebutan untuk komik, film animasi, dan video-video porno atau
bermuatan seksual yang eksplisit. Di Jepang sendiri, karya-karya tersebut biasa
disebut karya-karya untuk "Adult".
19 "Mentalitas Galapagos" adalah sebuah isu yang sempat hangat di mediamedia Jepang, dalam menyoroti kecenderungan warga dan negara Jepang untuk
mengucilkan diri dari dunia. Bermula dari kritik terhadap teknologi handphone
seperti yang dikembangkan oleh DoCoMo, yang dianggap bermental Galapagos
(diambil dari nama pulau yang unik dan menarik perhatian Darwin, karena
keterkucilan sekaligus hibridasi berbagai spesies di pulau itu, yang
memungkinkannya mengembangkan teori evolusi), karena hanya ada dan bisa
dipakai di Jepang.

Corak khusus itu mencakup motif-motif yang seringkali hadir dalam
manga dan anime (animasi Jepang), juga game dan novel-novel pop
mereka: (1) motif apokoliptik (bisa diduga, motif ini lahir dari
pengalaman bom atom di Hiroshima & Nagasaki, dan gempa-gempa
besar serta tsunami di Jepang), (2) motif kawaii (bisa diduga ini
terkait erat dengan semakin pentingnya perempuan sebagai
kekuatan pasar ekonomi-konsumsi Jepang), (3) motif nostalgia,
khususnya nostalgia pada periode Edo dan Jepang periode 1980-an,
dan (4) tumbuhnya motif-motif Moe (sebuah kata yang sukar
diartikan, "Moe") yang terjalin erat dengan tumbuhnya subkultur
Otaku.
Otaku sebagai Database Animal
Hiroki Azuma, filsuf Jepang kiwari yang mengaku secara terbuka
sebagai seorang Otaku, menulis dalam karya seminalnya, Otaku,
Japan's Database Animals:
I suppose that everyone has heard of "otaku." Simply put, it is a
general term referring to those who indulge in forms of subculture
strongly linked to anime, video games, computers, science fiction,
special-effects, anime figurines, and so on. …(A)ny attempt to
consider seriously the contemporary conditions of Japanese culture
must include an investigation of otaku culture.20

Dalam analisisnya terhadap subkultur Otaku, Azuma berhasil
menerapkan kerangka teori posmodernisme secara operasional.
Istilah-istilah kunci yang biasanya hanya abstrak atau terlalu
spekulatif dari posmodernisme, seperti "hilangnya narasi besar" dan
"simulakra", secara menarik tampak sangat cocok ketika dipakai
untuk menerangkan hakikat dari subkultur ini. Sekaligus, telaahnya
tentang para Otaku sebagai makhluk baru dari zaman KapitalismeAkhir ini menampakkan petunjuk tentang apa yang menjadi
konsekuensi pergeseran sosial-budaya-ekonomi di dunia saat ini.
Kita tahu, "posmodern" telah jadi sebuah kata yang lajak. Bahkan
genit. Azuma, di sini, memperlakukan posmodern sebagai sebuah
gambaran mengenai struktur sosial di dalam sebuah masyarakat
yang telah tiba pada kondisi Kapitalisme Mutakhir (Late Capitalism).
Atau, bisa juga dikatakan: "posmodern" di sini tak lebih dari sebuah
modus konsumsi di dalam sebuah struktur sosial Late Capitalism,
yang mengambil ekonomi-konsumsi model AS.
Dua sifat posmodern yang dianggap Azuma mencari sifat dari
subkultur Otaku itu adalah: (1) merajalelanya simulakra, dalam

20 Hiroki Azuma, Otaku, Japan's Database Animals, University of Minnesota Press,
2009 (translation). Edisi aslinya dalam bahasa Jepang, terbit pertama kali pada
2001.

bentuk meluasnya pasar bagi karya-karya turunan (atau derivative
works) di dalam subkultur Otaku.
I use the phrase "derivative works" as a general term for the largely
eroticized rereading and reproduction of original manga, anime, and
games sold in the form of fanzines, fan figures, and the like.

Di Jepang, lakon karya-karya turunan ini mewujud sangat kongkret,
menjadi sebuah pasar berbentuk konvensi doujinshi (kurang lebih:
fan fiction) yang masyhur dengan nama Comiket (Comic Market)
yang dilaksanakan di Tokyo dua kali setahun, setiap Musim Panas
dan Musim Dingin. Setiap dilaksanakan, Comiket mampu menyerap
500 ribu pengunjung dalam dua hari acara, dengan peserta 30 ribu
"circle" atawa Studio/Komunitas. Di luar Comiket, ada banyak sekali
konvensi, festival, pameran serupa di tingkat lokal di seluruh
Jepang.
Seperti dicatat Azuma, kaum Otaku21 melahap dengan rakus baik
karya-karya asli mau pun karya-karya turunan itu. Bagi mereka,
karya asli tak memberi intensitas keterlibatan emosional yang lebih
tinggi daripada karya turunan. Yang tiruan, sama absahnya dengan
yang asli. Bukan terutama karena penilaian (atau keterlibatan
emosional khalayak) terhadap yang asli menurun, tapi lebih karena
penilaian serta keterlibatan emosional terhadap yang tiruan/turunan
meningkat.
…the high value otaku place on such products is extremely close to
the future of the culture industry as envisioned by …Jean
Braudrillard. Braudrillard predicts that in postmodern society the
distinction between original products and commodities and their
copies weakens, while an interim form called the simulacrum, which
is neither original nor copy, becomes dominant.

Untuk menekankan betapa jauhnya peningkatan nilai yang tiruan
itu, Azuma mencatat bahwa belakangan, di Comiket, bahkan para
produsen yang menghasilkan karya-karya "asli" seperti pencipta
Sailor Moon atau perusahaan produsen Evangelion turut menjual
karya-karya parodi dari produk-produk "asli" mereka. Obsesi
terhadap keaslian menjadi tak relevan lagi.
Sifat posmodern subkultur Otaku, menurut Azuma, yang ke-(2)
adalah: luruhnya Narasi Besar. Atau, dalam praktiknya di kalangan
Otaku: pemaknaan keutamaan fiksi di atas pemaknaan lain.
Pengutamaan fiksi di atas modus pemaknaan lain tersebut
menentukan pilihan-pilihan Otaku dalam hobi mereka, maupun
dalam hubungan antarmanusia yang mereka jalankan. Dengan
21 Di sini, baik Azuma maupun saya, tentu saja melakukan generalisasi. Tak
semua pengunjung dan pembelanja di Comiket adalah kaum Otaku –bisa jadi, ada
yang sekadar turis, seperti saya pada Summer Comiket 2010. Apalagi, kaum
Otaku sendiri mengembangkan pemahaman yang seringkali rigid untuk
mengategorikan apakah seseorang masuk Otaku atau bukan.

mengutip ulasan Nakajima Azusa tentang kelahiran dan perilaku
Otaku, Azuma mengungkap:
For the otaku, certainly the fictional is taken far more seriously than
social reality.

Kaum Otaku mengidentifikasi diri tidak dengan melekatkan dirinya
pada sebuah hubungan pribadi dengan orang lain, tapi lebih pada
relasi mereka dengan benda-benda, dan wilayah-wilayah
kebendaan. Kenapa? Menurut Nakajima, "…because even after the
paternal or national authority has been toppled, otaku must search
for a group which they should belong."
Azuma buru-buru menekankan bahwa bukan berarti kaum Otaku tak
punya kemampuan membedakan kenyataan dan fiksi (setidaknya,
tak semua Otaku demikian).
Their preference for fiction over social reality not because they
cannot distinguish between them but rather as a result of having
considered which is the more effective for their human relations, the
value standards of social reality or those of fiction. …And, to that
extent, it is they who may be said to be socially engaged and
realistic in Japan today, by virtue of not choosing the "social reality".
Otaku shut themselves into the hobby community not because they
deny sociality but rather because, as social values and standards are
already dysfunctional, they feel a pressing need to construct
alternative values and standards.

Lakon pencarian nilai-nilai dan standar alternatif tersebut terjadi
karena kebutuhan manusia untuk mencari makna tak bisa
dibungkam begitu saja dengan luruhnya Narasi-narasi Besar.
"Makna" atau "pemaknaan", adalah sebuah upaya menjelaskan diri
dan dunia dalam relasi dengan sebuah Narasi Besar, sebuah
Pandangan Dunia. Dalam situasi tak ada lagi Narasi Besar yang bisa
diyakini, bagaimana kita bisa tetap meraih kebermaknaan? Dengan
mencipta Narasi Besar baru? Atau mengisi lubang hitam ketiadaan
Narasi Besar itu dengan sesuatu yang lain?
Di sinilah, Fiksi dalam pengertian yang telah disebut-sebut tadi,
difungsikan sebagai sesuatu seolah-olah Narasi Besar. Dan,
sekaligus, produk-produk yang dikonsumsi kaum Otaku itu
difungsikan sebagai narasi-narasi kecil, yang difungsikan sebagai
keping-keping yang akan membentuk Narasi Besar pengganti itu.
Saya ajak Anda untuk membayangkan lakon ini juga terjadi pada
seluruh wilayah konsumsi dalam masyarakat kapitalistik kiwari:
ranah fashion, kuliner, otomotif, desain, musik, sastra, arsitektur,
senirupa dan sebagainya. Produk-produk konsumtif itu tak lagi
hanya benda-benda, tapi sejumlah tak terpermanai Narasi Kecil.

Kita, para warga masyarakat ekonomi-konsumtif yang (mau tak
mau, saat ini) mengambil model AS sebagaimana Jepang sejak
zaman Showa, mencoba membangun kebermaknaan dari Narasinarasi kecil itu: benda-benda yang kita pulung atau kita beli dari
samudera benda yang kadang mewujud dalam mal, pasar, atau
online market macam Amazon atau e-Bay.
Namun, dalam model ini, Fiksi pengganti Narasi Besar itu kewalahan
untuk menepis penempatannya sebagai bukan pengganti, tapi
sebuah Tiruan (dari Narasi Besar). Generasi lanjutan dari Otaku22,
yang hidup dalam situasi pasar dan kapitalisme mutakhir yang lebih
rumit dari masa 1980-an, tumbuh dengan lakon baru: ketiadaan
kebutuhan akan pemaknaan.
Azuma menyebut generasi baru, atau model baru konsumen, Otaku
ini sebagai "animal" –sebuah penyebutan bukan untuk menghina,
tapi berdasarkan sebuah analisis dari filsuf Rusia, Alexandre Kojeve,
yang memerikan proses perubahan sistem ekonomi pasca-Perang
Dunia II di AS sebagai proses animalization: perilaku konsumsi yang
menggerus kebermaknaan yang menjadi hasrat manusia
sebagaimana yang didefinisikan oleh Renaissance.
Azuma memandang bahwa pandangan Kojeve terhadap AS itu
terlalu sederhana, dan berdasarkan prasangka-prasangka setengah
matang. Tapi, ia melihat bahwa asumsi dasar Kojeve itu mampu
menjelaskan perilaku Otaku generasi mutakhir.
Sebagaimana dikutip Azuma, Kojéve membedakan "manusia" dan
"hewan" dari pembedaan antara "hasrat" (desire) dan "kebutuhan"
(need): Manusia punya hasrat, dan hewan hanya punya kebutuhan.
Different from need, desire does not disappear when the object of
desire is obtained and the lack is satisfied. For Kojéve and French
thinkers influenced by him, a favorite example of this variety of
craving is the male's sexual desire for the female. The male desire
for the female does not end even when the male obtains a partner's
body, but rather swells more and more…. This is because sexual
desire is not a simple thing satisfied with a sense of physiological
climax; rather it has a complex structure, wherein the desire of the
other is itself desired. …Humans differ from animals in their selfconsciousness; the reason they can build social relations is because
they have intersubjective desire. Animal needs can be satisfied
without the other, but for human desires the other is essentially
necessary.

Namun, berbeda dengan Kojéve, Azuma tak memberi pemaknaan
negatif proses animalisasi yang terjadi pada generasi baru Otaku
22 Konvensi umum kalangan pengamat Otaku, termasuk yang dianut oleh
Azuma, menyebutkan bahwa Otaku terdiri dari 2 atau 3 generasi, bermulai dari
mereka yang lahir dan dewasa pada era awal Showa, 1950-an hingga awal 1970an, dan generasi terbaru yang lahir pada 1980-an serta tumbuh pada 1990-an
hingga kini.

itu. Bagi Azuma, menjadi "hewan" dalam pengertian Kojéve itu tak
lebih dari sebuah konsekuensi logis ketika para konsumen yang
telah kehilangan Narasi Besar, menjalani "takdir" mereka tanpa
kepura-puraaan lagi, tanpa keseolah-olahan bahwa kita bisa mengisi
kekosongan Narasi Besar itu dengan Narasi Pengganti atau Tiruan.
Di sumur tanpa dasar kekosongan Narasi Besar, kini hadir sesuatu
yang lebih realistik (setidaknya, jika kita mengikuti analisis Azuma):
sebuah database yang terus meluas dan merumit tentang unsurunsur konsumsi yang dipilih sebuah kelompok konsumen.
Kebutuhan-kebutuhan akan makna kini diisi oleh tindakan-tindakan
mengolah, membongkar-pasang, data-data. Sisa keseolah-olahan itu
tinggal pada ranah emosi: kebutuhan psikologis untuk merasa
senang, sedih, dan semacamnya, bisa dipenuhi secara artifisial
lewat pemilihan dan pemunculan jalinan data-data tertentu.
Contoh yang diberikan Azuma adalah bagaimana penggunaan
unsur-unsur Moe dalam game, anime, atau manga. "Moe" kurang
lebih adalah sebuah relasi artifisial dalam konsumsi subkultur Otaku
terhadap sebuah atau sekumpulan tanda-tanda visual dalam
produk-produk yang mereka nikmati. Misalnya, telinga kucing
memunculkan Moe rasa sayang terhadap yang imut. Atau pose-pose
dan percakapan tertentu akan menerbitkan Moe seolah-olah rasa
haru atau sedih.
Dengan kata lain, Moe adalah sebuah proses decoding yang terjadi
saat seseorang mengonsumsi sekumpulan tanda dalam teks budaya
popular yang mereka nikmati, sebagai pengganti kebermaknaan
yang tak mungkin lagi ada karena disfungsi menyeluruh Narasi
Besar maupun penggantinya. (Tentu saja, kata "Moe", sejauh ini,
adalah sebuah kata eksklusif yang digunakan bagi konsumsi budaya
Pop Jepang, khususnya dalam subkultur Otaku.)
Sekali lagi, saya ajak Anda untuk meluaskan lakon ini ke wilayah
budaya Pop selain J-Pop: apakah Anda telah terbiasa memunculkan
emosi-emosi artifisial saat menikmati lagu-lagu tertentu, misalnya,
dan menemukan kode-kode kapan kita harus "sedih", kapan kita
harus "bahagia", kapan kita harus merasa sedang "memberontak"?
Saya bahkan mengajak Anda membayangkan, bagaimana proses
decoding serupa terjadi juga pada teks-teks keagamaan mutakhir
seperti yang kita lihat sehari-hari di sekeliling kita. Misalnya, apakah
rasa haru yang muncul pada saat Anda mengikuti acara-acara doa
Arifin Ilham atau pelatihan-pelatihan ESQ itu adalah nyata, atau
hanyalah ketaatan terhadap kode-kode serupa Moe di ranah agama
pop saat ini?

Tiga Pertanyaan
Baiklah, jika memang dalam dunia yang semakin visual kini ternyata
ciri-ciri Otaku sebagai lakon ekonomi-konsumsi mutakhir merambah
dan jadi masa depan kemanusiaan kita, ada tiga pertanyaan yang
segera membersit di kepala saya.
Maka, Di Manakah Kesadaran Kritis?
Penerimaan Azuma yang sangat positif terhadap animalisasi dalam
konsumsi budaya pop Jepang di kalangan Otaku itu cukup
mengganggu saya. Bahwa penerimaan itu realistik, adalah satu hal.
Tapi, yang segera terasa bagi saya adalah betapa proses animalisasi
itu maupun penerimaan padanya menyisakan sebuah blind spot
yang tipikal: di manakah kesadaran kritis yang selalu muncul saat
kita memperhitungkan keadaan struktural kelas-kelas sosial dalam
masyarakat modern, late-modern, atau apa lah namanya?
Kesadaran kritis, atau kebutuhan akan kesadaran kritis itu, mau tak
mau harus diperhitungkan begitu kita ngeh bahwa masalah
kesenjangan kelas akibat ketakadilan sistemik dalam masyarakat
modern (dan ketika masyarakat ini kini mengglobal, maka
ketakadilan itu pun semakin bersifat global) tak pernah benar-benar
tuntas diselesaikan. Kesenjangan kelas adalah keadaan struktural
yang akan selalu menghantui model ekonomi-konsumsi secanggih
apa pun.
Apakah Gempa Tohoku Memberi Pelajaran Baru Tentang Realitas?
Setelah gempa Tohoku terjadi pada 11 Maret 2011, berkekuatan 9
Skala Richter disusul tsunami dan krisis nuklir Fukushima yang
berlarut-larut, sebuah krisis terburuk Jepang sejak Perang Dunia II,
lampu-lampu dan lautan signage digital di Tokyo padam untuk
sekian lama. Sempat hilang lautan neon sebagaimana tampak
memikat dan ajaib di dalam Lost in Translation, sebuah film yang
memandang Jepang dalam ketakjuban dan rasa tersesat. Suasana
muram dan lebih gelap itu membuat saya bertanya-tanya: telah
tibakah akhir dari ekonomi sureal di megapolitan Tokyo? Inikah
sebuah kenyataan baru? Inikah sebuah pelajaran baru tentang
kenyataan? Sebab, kelompok database animal sebagaimana
diungkap secara antusias oleh Azuma, seakan ia sebuah masa
depan budaya manusia, saya lihat tak punya kemampuan untuk
menerima kenyataan Jepang seusai bencana agung itu: para Otaku
itu tak terlihat aktif dalam protes antinuklir terbesar dalam
beberapa dekade di Shinjuku dan Shibuya; mereka juga tak
terlampau tampak keterlibatan mereka dalam suasana melewati
krisis di sana, kecuali sekadarnya. Apakah Database mereka tak
membekali mereka kemampuan untuk menghadapi kenyataan

besar krisis Jepang tersebut? Bencana macam Gempa Tohoku lebih
besar, ternyata, dari database raksasa mereka.

Dunia Pandang Sebagai De Facto:
Munculnya Tolok Ukur Baru "Ketertinggalan"?
Di sisi lain, ulasan tentang Otaku dan globalisasi subkultur Manga
juga menampakkan sebuah kenyataan ini: dominasi Dunia Pandang
dalam dunia masa kini adalah de facto, kenyataan yang tak bisa
ditampik. Dunia telah semakin visual: kita sedang kembali ke situasi
sebelum Peradaban Kata, dalam versi yang canggih. Narasi Besar
memang telah runtuh, dan pertempuran permaknaan semakin
terasa rumit di ranah narasi-narasi kecil yang jadi samudera penuh
gejolak di dalam hidup keseharian kita. Maka, tampaklah
kesenjangan-kesenjangan baru. Misalnya, kesenjangan yang muncul
akibat pergeseran dari ekonomi model industri klasik yang muncul
di masa Revolusi Industri abad ke-19 hingga pertengahan abad ke20, menuju ekonomi berbasis pengetahuan yang disangga oleh
teknologi informasi. Dalam situasi ini, budaya dan peradaban visual
menjadi sesuatu yang esensial: ideologi lawas tak lagi bermakna di
hadapan televisi dan Youtube; kebermaknaan tak bisa lagi
mengandalkan pada moralitas linear ala Jagat Gutenberg.
Ketakmampuan beradaptasi dalam situasi ini menghasilkan posisiposisi wagu dan kontraproduktif. Contoh paling nyata adalah responrespon banyak kelompok Islam terhadap Dunia Rupa di Indonesia:
isu-isu seperti pembongkaran patung Tiga Mojang di Bekasi atau
patung Budha di Tanjung Balai; penghakiman moral berlebihan
terhadap kasus video Ariel; penolakan menghormati bendera;
kegigihan Tiffatul Sembiring untuk memandang internet dari
potensinya menjadi media pornografi; pengutukan dan kemarahan
terhadap kasus kartun Nabi di Eropa; dan banyak lagi. Seakan-akan,
sebagian umat Islam Indonesia (dan dunia) sedang melakukan
"perjuangan melawan rupa". Tapi, "perjuangan" macam ini patut
dikritisi dengan kuat: apakah itu tak akan membawa umat Islam,
yang dalam doktrinnya memang cenderung menampik budaya
visual, akan semakin tertinggal dalam Dunia Pandang yang semakin
dominan kini? Tidakkah terhadap soal ini, umat Islam perlu
melakukan sebuah reposisi?