Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berb (1)
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Berbasis Wawasan Multikulturalisme
Syarif Hidayatullah
This article presents the findings or the research on the learning of Islamic
education at general universities. The subject was studied in relation to
the need for the development of multicultural perspectives in the learning
of Islamic education. The main focuses of this study are to identify the
problems of multiculturalism and the urgency of integrating multicultural
pers!)e(:thres into the learning of Islamic education; and to formulate the
strategy for developing multicultural perspectives in the learning of
Islamic education.
This study found among others tv,;o important findings. First, the learning
or Islamic education at general universities still faces problems such as
exdusivism and a lack of
on moral values that support religious
harmony. Therefore, there
an urgent need to develop multicultural
perspectives in the learning of Islamic education. Second, strategies that could
be devised to build up multicultural perspectives in the learning of Islamic
education are among others the development of multiculturalism-based
curricula and the introduction of democratic leadership among teachers and
lectures in the learning process of Islamic education.
Key words:
"learning .. Islamic education .. multiculturalism
Salah saw masalah yang krusial dan seringkali rnenjadi ganjalan dalarn
rnembangun kehldupan harmonis dalarn kehidupan rnanusia, yang
kini terajut dalarn apa yang disebut oleh Lester R. Kurtz (1995: 2)
sebagai global village, adalah keniscayaan akan wawasan dan
kesadaran rnultikulturalisme dad seluruh penduduk sernesta ini.
Wawasan dan kesadaran multikulturalisrne ini, tidak bisa tidak,
merupakan irnperatif dari peradaban yang rnenjadi rahlrn kehldupan
manusia itu sendiri. Karena, kita senyatanya adalah rnasyarakat
,.mlll/ PENAMAS Vol. XXlll No . .3 Th. 2010
289
290
Sytlrif Hidtl!ftltulhlh
plural dan multikultural, yang ditunjukkan oleh kondisi semakin
bercampur baumya penduduk dunia yang mampu memberikan
tekanan pada sistem pemerintahan, pendidikan, dan ekonomi yang
telah mapan untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam
kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari latar
belakang etnik dan bangsa. Setiap orang lahir dengan perbedaan
dan keunikannya masing-masing. Namun, disparitas dalam
kebudayaan, sumber daya, dan harapan-harapan juga telah melahirkan ketidakpuasan dan konflik sosial, sehingga perbedaan nasionalitas,etnisitas, dan ras, yang muncul bersamaan dengan perbedaan
agama, posisi sosial, dan ekonomi, seringkali berpotensi menghasilkan benturan yang semakin besar dan luas (Baidhawy 2005:4).
Kendati terjadi banyak konflik sosial yang diakibatkan keragaman agama, namun menafikan keberadaan tradisi-tradisi agama di
muka bumi ini, baik di Barat maupun di Timur, mernpakan pekerjaan sia-sia. Sebab, perbedaan dan keragamaan agama merupakan
sebuah fakta multikulturalisme yang mau tidak mau harns diterima
danhadapi. Masing-masing agama mempunyai hakhidup yang sarna
dan mempunyai cara untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya
sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dapat dilakukan. Menurul
M. Amin Abdullah (2005:2), cara yang paling tepat untuk melakukar
hal ini adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan, menurutnya
merupakan alat yang paling efektif untuk meneruskan, melang·
gengkan, mengawetkan, dan mengonservasi tradisi apa pun dar
satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad satu ke abad ケ。ョセ@
lain. Mengingat terjadinya beberapa konflik sosial keagamaan dar
demi terjaminnya hak-hak hidup dan kultural, perIu segera dirinti!
dan dikembangkan pengelolaan pendidikan yang mampu menjad
faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran nilai-nila
kehidupan multikultural. Paradigma pendidikan multikultura
mengisyaratkan individu untuk belajar bersama dengan individl
lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan salin)
memahami.l Termasuk dalam persoalan pengelolaan pendidikaJ
multikultural adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaral
matakuliah Pendidikan Agama Islam (P AI) di Perguruan Tingg
Umum (PTU) dengan berbasis pada terbangunnya kesadaran da:
wawasan multikulturalisme tersebut.
Tulisan ini hendak mengkaji masalah multikulturalisme dala!
P AI dengan fokus pada tiga aspek: problem multikulturalisme dalar
pembelajaran PAl, urgensi wawasan multikulturalisme dalal
}lIrnal PENAMAS Vol. XXIII No.3 Til. 2010
Pembellljnran Pendidiktm Aga_ lsI4m
291
pembelajaran P AI, dan strategi implementasi wawasanmultikulturalisme dalam pembelajaran PAI.
Studi ini merupakan penelitian kualitiatif yang menggunakan
pendekatan deskriptik, interpretatif dan reflektif. Pengumpulan data,
balk primer dan sekimder, menggunakan teknik studi literatur.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Tilaar (2004:73 dan 101), gelombang globalisasi yang melanda duma memicu hembusan angin multikulturalisme di tengah
kehidupan kita masa kini. Melalui duma maya yang semakin mempersempit jarak dan melahirkan berbagai jenis fantasi manusia, umat
manusia dewasa ini bukan hanya mengenal budayanya sendiri tetapi
juga mengenal, bahkan mengadopsi, berbagai jenis budaya-budaya
lain dari luar. Multikulturalisme bukan lagi sekadar pengenalan
terhadap berbagai jenis budaya di duma ini, melainkan juga telah
menjadi tuntutan dari berbagai komumtas untuk memiliki bt,tdayabudaya tersebut. Dengan demikian, membangun masyarakat yang
demokratis dan multikultural seolah menjadi imperatif dari
kebudayaan di era modern dan era globaliasasi ini. Tentu saja,
membanglID masyarakat demokratis yang multikultural ini bukanlah
suatu pekerjaan mudah dan ringan, namun dibutuhkan upaya secius
dari segenap kita. Apalagi, negeri kita adalah sebuah negeri yang
memiliki disparitas dan keragaman ras, budaya, bahasa, dan agama
yang sangat tinggi. Hal ini mengharuskan sistem pendidikan nasional
kita unt:uk berperan dan terlibat di dalamnY,L Pendidikan
multikultural telah menjadi suatu tuntutan yang tidak dapat ditawartawar lagi di dalam membangun Indonesia baru, yang lebih demokratis dan multikulturaL
Dalam konteks pendidikan keagamaan, khususnya Islam,
menurut Sangkot Strait, ada empat isu pokok yang dipandang sebagai
dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang
keagamaan. Pertama, kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesanNya (wahyu). Kedua, kesatuan kenabian. Ketiga, tidak ada paksaan
dalam beragama. Terakhir, pengakuan terhadap eksistensi agama
lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah
merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasilikasi didukung
oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk
menjadi justifikasi bagi yang lain. 2
,,,mal PENAMAS Vol. XXIII No.3 Tit. 2010
292
S1JIIrif Hidnylltull1lh
Pendidikan Islam, menurut M. Amin Abdullah (2005: 73-82)
menghadapi tantangan modemitas yang sekaligus memertgaruh
perkembangan nilai-nilai multikulturalisme di dalamnya. Salal
satunya adalah revolusi inforrnasi, yang mempertegas kenyataal
sernakin kuatnya kesadaran adanya "orang lain" ill luar diri daJ
kelompok kita sendiri, ill mana mereka memiliki hak dan kewajibru
sarna seperti yang kita miliki. Plt.ualitas irnan dan budaya dalam er,
globalitas semakin disadari dan dirasakan keberadaannya ole]
berbagai pemeluk agama. Dengan mempertimbangkan tantangru
modernitas ini rnaka, diperlukan rekonstruksi pendidikan Islar.
dengan beberapa upaya, seperti intemaliasi nilai-nilai tasawuf yan;
dapat menekankan kematangan dan kedewasaan berpikir daJ
berprilaku melalui penanarnan sifat rendah hati, kesabaran, tolerans
tenggang rasa, kepuasan batiniah, cara berpikir matang da:
seterusnya. Upaya lain ialah mengenalkan berbagai jalinan strukturc
melalui pendekatan-pendekatan yang lebih historis-empiri
terhadap realitas kehidupan sehari-hari era modemitas agar pesert
didik mengenal liku-liku kehidupan modem dan sekaligus dap.
mencari jalan keluar yang tepat secara agamis berdasarkan nila
nilai rohaniah-Hahiah.
Zakiyuddin Baidhawy telah mekakukan kajian terhadap basi
teologis dan karakteristik serta asurnsi dalam pendidikan agam
yang berwawasan multikulturalisme. Menurutnya, ada beberap
karakteristik utama yang hams dkembangkan, yaitu, pertama, belaj.
hidup dalam perbedaan; kedua, membangun saling percaya (mutw
trust); ketiga, memelihara saling pengertian (mutual understanding
keempat, menunjukkan sikap saling menghargai (mutual respect
kelima, terbuka dalam berpikir; keenam, apresiasi dan independens
dan, ketujuh, resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan (2005;7<
84).
Sementara Ngainun Nairn dan Achmad Sauqi (2008:161-24:
mengkaji secara eksploratif kerangka operasional pendidika
pluraHs-multikultural dalam sistem pendidikan nasional da
pendidikan agarna di Indonesia. Menurut mereka, kerangka Opl
rasional pendidikan pluralis-multikultural yang perlu dikembangka
rneliputi: pertama, politik penilldikan pluralis-multikultural; kedu
epistemologi pendidikan pluralis-multikultural; kenga, reorienta
pembelajaran agarna; keempat, kunkulum pluralis-multikulfura
dan, kelima, desain pembelajaran pluralis-multikultural.
/11"",1 PENAMAS Vol.
xxm No.3 Th. 2010
Perubebzjllrnn Pendidiklln Agtima Islam
293
LANDASAN TEORl
Dalam konteks memimpikan dunia modern yang memiliki
kewarganegaraan yang demokratis, hal yang paling ditakuti Robert
W. Hefner (2007:1-16) adalah terjadinya perpecahan etnis, religius,
dan linguistis yang tajam dalam masyarakat. Bagaimana mencapai
sivilitas dan kewarganegaraan inklusif dalam masyarakatmasyarakat yang sangat plural saat ini nyaris telah menjadi masalah
yang universal. Persoalan multikulturalisme ini hingga saat ini masih
menjadi pembahasan yang menarik dan tak kunjung usai.
Menurut Supartiningsih (2008:12,47, dan 60), banyak pemikiran
alternatif untuk memberi rambu-rambu dalam hidup bersama dalam
masyarakat multikultural, yakni dad model tawar-menawar,
kompromi, konsensus, konflik, dominasi, hingga pemaksaan. Dalam
kasus Indonesia, kendati mozaik model multikulturalisme telah
digunakan sebagai acuan foundingfathersdalam mendesain apa yang
dinamakan kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam penjelasan
pasal32 UUD 1945 bahwa kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah, namun wajah bangs a ini seringkali
menampilkan konflik sosiaL
Dengan demikian, untuk membangun harrooni internal dalam
masyakarakat yang plural tidaklah cukup mengandalkan proses
alamiah semata. Lebih dari itu, hal ini sangat membutuhkan upayaupaya sistema tis, termasuk melalui pengembangan pendidikan
multikulturaL Sebab, pendidikan merupakan media strategis untuk
menumbuhkan kesadaran multikultural dalam kehidupan nyata.
Diskursus tentang pendidikan multikultural sudah mulai
bermunculan dalarn beberapa waktu terakhir di Indonesia. Pend idikan multikultural dan pluralisrne diartikan oleh Frans Magnis
Suseno sebagai suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk
membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas
batas kelornpok etnis atau tradjsi dan agama kHa, sehingga kita
mampu melihat kemanusian sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan rnaupun kesamaan cita-cita (dikutip dalam Ngainun Nairn
dan Achmad Sauqi 2008:50).
Tumol PENAMAS Vol. XXlll No.3 Th. 2010
PEMBAHASAN
Pembelajaran PAl dan Problem Multi1culturalisme
Sebagai bagian dari sistem pendidi kan nasional, Pendidikan Agama
termasuk mata kuliah Penliidikan Agama Islam (PAI), mempunya
tanggung jawab dalam penyebaran nilai-nilai pluralisme
multikulturalisme, inkluslvisme dan toferansi. Namun, pad,
kenyataannya Pendidikan Agama Islam yang selama ini diajarkal
di sekolah, termasuk PrU, pesantren, madrasah dan institusi Islarr
gagal menjalankan tugas tersebut, bahkan, sebaliknya, turu
memberikan kontribusi berkembangnya eksklusivisme dalam Islarr
Kautsar Azhari Noer menyebutkan paling, tidak 。セ@
empat fakto
penyebab kegagalan tersebut. Pertama, penekawm ー・ョ、ゥセャ@
agama lebih pad a proses transfer i.ln;l.u agama 、。イゥーセjェ@
transformasi nilai-nilai keagamaan 、セ@
moral セ@
didik. KOOiu
adanya sikap bahwa pendidikan agama エゥセ@
セ「uゥ」、mエN@
"hiasan kurikulum" belaka atau sebagai "pelengkap" yang 、ゥーセ@
sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai mora
yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, ォ。ウゥィケョセ@
persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi. Keempa'
kurangnyaperhatian untuk mempe1ajari agama-agama lain.3
Pembentukan pendidikan yang mampu menghasilkan manusi
yang memiliki kesadaran multikulturalisme memerIuka:
rekonstruksi pendidikan sosial keagamaan untuk mempertegu:
dimensi kontrak sosial keagamaan dalam pendidikan agam.
Pendidikan agama perIu direkonstruksi kembali agar lebf
menekankan pada proses edukasi sosial yang tidak semata-mat
individual, tetapi juga memperkenalkan social contract. Denga
demikian, dalam diri peserta didik tertanam suatu keyakinan bahw
kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak ha
lebih-Iebih dalam bidang akidah, iman, kredo. Namun, den
menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupa
bersama, apalagi dalam membangun kerukunan umat beragamc
mau tidak mau kita harus rela me.njalin kerja ウ。ュセエゥiN@
bentu
sosial antarsesama kelompok キヲuBァセ@
ュ。ウケイセLG@
.,.'
ini, diharapkan akan terjadi ー・ャGjェ。ィョLセZ@
pembelajaran menuju ke arah terciptanya
'
multikultural pada anak d i d i k . ;
Problem perbedaan tidak hanya dia1ami ー。セABL@
antarumat beragama, namun juga terdapat paalmas
lumtll PENAMAS Vol. XXllI No.3 Th. 2010
Peml1elajaran Pendidikan Agmna Islam
295
agama. Persoalan keragarnan sebenarnya tidak lepas dad interpretasi
manusia akan teks sud yang dipercaya sebagai ungkapan langsung
dari Tuhan kepada man usia. Proses interpretasi niscaya tidak
terhindar dari adanya keragaman hasH penafsiran disebabkan
berbagai faktor, seperti budaya, politik, ekonomi, pendidikan, atau
perbedaan tingkat peradaban. Setiap agama memiliki nilai-nilai khas
atau nilai partikular yang hanya dimiliki oleh masing-masingagama,
di samping nilai universal yang terdapat secara umum pada semua
agama. Berkaitan dengannilai patrikular dan nilai universal ini, Amin
Abdullah (dikutip dalam Nairn dan Sauqi 2008:133) menyarankan
agar ketika menghadapi pemeluk agama berbeda, hendaknya kita
lebih mengedepankan nilai-nilai universal saja; seperti keadilan,
kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, dan
kejujuran. Sedangkan, nilai-nilai partikularnya hendaknya tetap
diposisikan dalam exclusive locus, yaitu wilayah komunitas yang
mempercayai nilai partikular ihl saja.
Pendidikan sendiri memiliki beragam fungsi yang signifikan. Pendidikan dapat berfungsi sebagai alat untuk transfer dan transformasi
. ilmu pengetahuan dan teknologi. 1a juga menjadi media pembentuk
watak dan kepribadian, menanamkan nilai dan moral keagamaan,
serta kesadaran berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, pendidikan di setiap jenjang mulai dad yang rendah hlngga jenjang tertinggi, perlu didesain dalam rangka membangun dan memberikan
gambaran ideal ten tang pluralitas dan multikulhlraL Pendidikan
hendaknya diorientasikan secara bersama untuk menghadapi reaIitas
kemajemukan subyek dan obyek pembelajarannya. Jika yang
dikedepankan adalah egosentrisme dan eksklusivitas masingmasing, maka pendidikan justru akan menjadi problematika
tersendiri bagi peran dunia pendidikan dalam penguatan masyarakat
madani melalui pengembangan keruktL'1an umat beragama (Naim
dan Sauqi 2008:27).
Urgensi Wawasan Multikulturalisme
dalam Pembelajaran PAl
Menurut Abdullah AIy, pendidikan multikultural sesungguhnya
bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural
merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman,
dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan
pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain
yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural.
JlImal PENAMAS Vol. XXIll No.3 TI!. 2010
296
Syarif Hidayntulhrh
Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural eduCfltion, interethnic
education, transcultural education, multiethnic education, dan crosscultural education. Sejak 2002 hingga sekarang, wacana pendidikan
multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media,
seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya
pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional d:
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada 16-19 Juli 2002 adalat
salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnyc:
pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar ini juga memilik
kepedulian yang sama,bahwa wacana pendidikan multikultura
perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan. 4
Memerhatikan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwi
pendidikanmultikultural menemukan relevansinya untuk kontek:
Indonesia. Pendidikan multikultural yang selama ini ban
diwacanakan oleh para pemerhati pendidikan sudah saatnya untuJ
disambut oleh para pengambil kebijakan dan para praktis
pendidikan. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalaJ
dengan semangat semboyan bangsa Indonesia: "Bhinneka Tungga
lka". Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memilik
pengertian bahwa Indonesia merupakan salah saht bangsa di duni
yang terdiri dati beragam suku dan ras, yang mempunyai buday,
bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatua
Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untu
mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity), yan
terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua franca
13.000 pulau, 6 agama besar dengan jumlah penganut terbanyal
dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Denga
semboyan ini diharapkan masing-masing individu
kelompo
yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersaht da
bekerjasama unllik membangun bangsanya secara lebih kuat.
Sayangnya, selama pemerintahan Orde Baru-:-bahkan hingga El
Reformasi saat ini-keragaman tersebut belum
secal
proporsional, dengan menerima perbedaan,mengakuidan セ・ョァィ。@
gainya. Yang terjadi adalah proses ー・ョケイ。ァセ@
dan pengabaic
terhadap perbedaan yang ada, baik dari se& sセuゥ@
「。ィウセ@
agam
maupun budaya. SemboyanUBhinnekll TunggaIIka;c" PliJl diteraplq
secara berat sebelah. aイエゥョケ。セ@
semangat セ・Mゥォ。エZャ「ィ@
セヲエqャBjNェ@
dari pada seman gat ke-bhinneka-an 、。ャュᄋー・ョァiッセ@
ーLセァ。[@
Indonesia. Pengelolaan negara dengan penekanan pada sヲ[ュ。ョセ@
ke-ika-an dari pada semangat ke-bhinneka-an tersebut sang
mewarnai konsep dan praktik pendidikan di Indonesia. Indikatom:
Jumnl PENAMAS Vol. XXlIl No.3 Til. 2010
terlihat pada, pertama, terjadinya penyeragaman terhadap berbagai
aspek pendidikan-seperti kurikultun, metode pembelajaran, dan
manajemen kelas; kedua, terjadi sentralisasi pendidikan, yang sarat
dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dati atas, sebagai akibat
dari paradigma pendidikan sentralistik (top-down); ketiga, belum
adanya proses menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar
belakang siswa dan mahasiswa yang menyangkut budaya, etnik,
bahasa, dan agama. 5
Padahal, menurut Irwan Abdullah (2009:64), Bhinneka Tunggal
Ika dibutuhkan untuk mengikat pluralitas budaya Indonesia
sehingga kesalahan pengelolaan keragaman budaya ini akan
melahirkan akibat-akibat bur uk. Konflik bernuansa SARA yang
kerap terjadi di Indonesia diakibatkan, salah satunya, oleh lemahnya
pemahaman dan pemaknaan konsep kearifan budaya. Konflik akan
muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil dalam masyarakat.
Fenomena divergen-disintegratif yang kian nyata dalam
masayarakat menimbulkan fragmentasi kelompok dan konflik
horizontal yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Fenomena
divergen-disintegratif ini berupa menguatnya rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, kelompok, dan agama. Fenomena ini merupakan
ancamaan nyata dan serius yang harus dijawab dengan pemupukan
nilai-nilai toleransi, inklusivisme, penolakan berbagai jenis
fundamentalisme, dan kemampuan untuk mengembangkan
diskursus dalam masyarakat multikultural. Tentu saja, untuk
menumbuhkan kemampuan ini, dibutuhkan institusi pendidikan
yang
mengembangkan kesadaran hidup bersama dalam
kemajemukan (Supartiningsih 2008:59-60).
Pendidikan, menurut Bahtiar Effendy (2001:45-51), merupakan
instrumen perubahan yang sangat penting, terutama berkaitan
dengan sikap mental dan nilai. Pendidikan masih dinilai sebagai
infrastruktur paling memungkinkan untuk proses transformasi nilai
dalam masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan penghargaan
atas reahtas keagamaan yang plural, kendati pun di bidang
pendidikan agama kita masih perIu mengembangkan toleransi
beragama. Dalam konteks kebijakan, pemerintah melalui
Kementerian Agama, telah menggulirkan konsep "trilogi kerukunan
umat beragama", yaitu kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat
beragama dan pemerintah. Konsep ini merupakan kebijakan yang
monumental dan sangat khas dalam pengelolaan keragaman SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) di Indonesia.
"mUll PENAMAS Vol. XXIll No.3 Th. 2010
SARA sendiri, セョオイエ@
,Th. sオセ。ー@
(dikutip dala,m EIga
Sarapung dan Zuly セLRPZ@
Lセス@
セ@
dbt 「セ@
yang
melahirkan bangsa Indonesia. Sifat-silat asasi dati kemajemukan
SARA diturunkan menjadi sifat-sifat asasi bangsa Indonesia dan
menjadi' ciri Indonesia yang tidak bisa ditolek dan dipungkiri.
Menolak kenyataan ini maka bisa dimaknai 「。ィキセ@
kita menolak
dan membenci diri kita sendiri. Namun bagi Elga Sarapung dan
Zuly Qodir (2002:5), kemajemukan SARA ini pedu diwaspadai
karena ia berpotensi melahirkan konflik, baik yang konstruktif
maupun destruktif. Sayangnya, pendidikan di Indonesia selatna ini
tidak memberikan keterbukaan masyarakatdalam menyikapi konflik
yang diakibatkan perbedaan-perbedaan. Masyarakat tidak didik
untuk dapat menghadapi dan mengelola konflk dengan berpijak
pada kesadaran dan kemampuan untuk menerima pluralitas dan
kepelbagaiansecara obyektif dan terbuka. Dengan demikian, institusi
pendidikan ditantang untuk melakukan proses transformasi dari
konflikmenjadi perdamaian. Sebab, ー・イ、。ュゥョオセァウ@
yang ideal dari semua bangsa dan harapan umat manusia di muka
bwniini.
Dengan demikian, sangatlah urgen untuk memberikan wawasan
multikulturalisme dalam sistem pendidikan yang dijalankan di neger!
ini, tidak terkecuali dalam pembelajaran PAI di perguruan tinggi
umum (PTU). Apalagi mengingat bahwa matakuliahPAI adalahsalah
satu matakuliah dari kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK), yang memiliki tujuan khusus dalam membentuk
kepribadian setiap mahasiswa calon sarjana dan pemim.pin bangsa
di masa depan.
Multikulturalisme, menurut Baidhawy (2005:v), memang tengah
menjadi isu penting, terutama setelah munculnya serangkaian
konflik etnik dan agama di Indonesia, sebagai ekses dari kegagalan
dalam pengelolaan keragamansuku, bahasa, agama, maupun budaya
yang kita miliki. Oleh sebab itu, beberapa pakar yang memiliki shared
concern terhadap gagasan ini mulai merintis pentingnya pendidikan
multikultural untuk masyarakat Indonesia. Pendidikan multikultural
ini merupakan suatu pendidikan yang dirancang khusus untuk
menciptakan struktur dan proses yang membuka ォ・ウュー。エョセ@
bagi semua ekspresi kultural( komunitas ー・jゥG。、「セョ@
maupun '
individu. Pendidikan multikulturat bukan hanya, berhubungan
dengan belajar dan mengajar deftgan ュ・ョァオヲエ。セ@
セ・イ「。Dゥ@
'
perspektif dan bahasa, namun, juga tentang 「。ァゥセ・エャ|D@
membentuk pandangan dunia. Dengan kata lam. ウゥエ・セーョ、@
... .
'''''''''' PENAMAS Vol. XXIII No. " TIt. 2010
セ@
. '.
GBZセL@
Pe...belajIJran Perutidikan
Agtlmtl
1514...
299
dan pembelajaran hendak mampu membangkitkan kesadaran
multikuItural dad setiap peserta didiknya, termasuk dalam
matakuliah PAl ini.
Oleh karena itu, pembelajaran P AI yang berwawasan multikultural adalah suatu pembelajaran yang diarahkan untuk
menegaskan artikulasi multikulturalisme yang biasa didefinisikan
sebagai gerakan sosial-intelektual yang mendorong nilai-nilai
keragaman sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa
semua kelompok budaya, diberlakukan secara equal (setara) dan
sama-sama dihormati. Ada empat alasan utama bagi urgensi membangun kesadaranmultikultural dalam sistem pendidikan
kewarganegaraan pada umurnnya dan pendidikan agama, termasuk
PAl, pada khususnya. Pertama, realitas bangsa yang plural. Kedua;
pengaruh budaya dan etnisitas terhadap perkembangan manusia.
Ketiga, benturan global antar kebudayaan. Keempat, problem
efektifitas belajar untuk menanamkan kesadaran akan perbedaan
(Baidhawy 2005:21-30).
Strategi Implementasi Wawasan Multikulturalisme
dalam Pembelajaran PAl
Untuk membahas strategi implementasi wawasan multikulturalisme
dalam pembelajaran P AI, diperlukan pendekatan pedagogik.
Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh,
membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan
multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu
ditekankan,
masalah didaktik dan metodik Masalah didaktik
peflu mendapat tekanan dengan alasan bahwa didaktik merupakan
bagian dari ilmu pendidikan yang membahas ten tang cara membuat
persiapan pembelajaran dan mengorganisasikan bahan pembelajaran,
Didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau
kurikulum dalam pendidikan multikultural. Sedangkan metodik
merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang
cara mengajarkan suatu mata pelajaran dengan dikaitkan pada
manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan
multikulturaL 6
Dari aspek didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek
penting dalam pendidikan multikultural. Oleh karena HUt
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam masa depan
yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme ini menjadi sangat
penting.
JrlTTwl PENAMAS Vol. XXIIl No, 3 Til, 2010
Pendidikan ュオャセエイ。@
adalah proses ー・ョLセ。アァ@
se1unm
potensi manusia yang tnenghargai pturatitas, 、G。ャイゥエ・セウョケ@
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, clan alirar
(agama). Sedangkan dalamarti sempit pendidikan multikutural ada.
lah suatu program dalam praktik pendidikan yang di dalamnya tidalc
hanya dikembangkan potensi セオウゥ。L@
namun juga ditanamkar
pemahaman dan penghargaan akan keserba-majemukan manusia,
sehfugga akan terpatri sikap tulus dan toleran tanpa adanya diBl
Berbasis Wawasan Multikulturalisme
Syarif Hidayatullah
This article presents the findings or the research on the learning of Islamic
education at general universities. The subject was studied in relation to
the need for the development of multicultural perspectives in the learning
of Islamic education. The main focuses of this study are to identify the
problems of multiculturalism and the urgency of integrating multicultural
pers!)e(:thres into the learning of Islamic education; and to formulate the
strategy for developing multicultural perspectives in the learning of
Islamic education.
This study found among others tv,;o important findings. First, the learning
or Islamic education at general universities still faces problems such as
exdusivism and a lack of
on moral values that support religious
harmony. Therefore, there
an urgent need to develop multicultural
perspectives in the learning of Islamic education. Second, strategies that could
be devised to build up multicultural perspectives in the learning of Islamic
education are among others the development of multiculturalism-based
curricula and the introduction of democratic leadership among teachers and
lectures in the learning process of Islamic education.
Key words:
"learning .. Islamic education .. multiculturalism
Salah saw masalah yang krusial dan seringkali rnenjadi ganjalan dalarn
rnembangun kehldupan harmonis dalarn kehidupan rnanusia, yang
kini terajut dalarn apa yang disebut oleh Lester R. Kurtz (1995: 2)
sebagai global village, adalah keniscayaan akan wawasan dan
kesadaran rnultikulturalisme dad seluruh penduduk sernesta ini.
Wawasan dan kesadaran multikulturalisrne ini, tidak bisa tidak,
merupakan irnperatif dari peradaban yang rnenjadi rahlrn kehldupan
manusia itu sendiri. Karena, kita senyatanya adalah rnasyarakat
,.mlll/ PENAMAS Vol. XXlll No . .3 Th. 2010
289
290
Sytlrif Hidtl!ftltulhlh
plural dan multikultural, yang ditunjukkan oleh kondisi semakin
bercampur baumya penduduk dunia yang mampu memberikan
tekanan pada sistem pemerintahan, pendidikan, dan ekonomi yang
telah mapan untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam
kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari latar
belakang etnik dan bangsa. Setiap orang lahir dengan perbedaan
dan keunikannya masing-masing. Namun, disparitas dalam
kebudayaan, sumber daya, dan harapan-harapan juga telah melahirkan ketidakpuasan dan konflik sosial, sehingga perbedaan nasionalitas,etnisitas, dan ras, yang muncul bersamaan dengan perbedaan
agama, posisi sosial, dan ekonomi, seringkali berpotensi menghasilkan benturan yang semakin besar dan luas (Baidhawy 2005:4).
Kendati terjadi banyak konflik sosial yang diakibatkan keragaman agama, namun menafikan keberadaan tradisi-tradisi agama di
muka bumi ini, baik di Barat maupun di Timur, mernpakan pekerjaan sia-sia. Sebab, perbedaan dan keragamaan agama merupakan
sebuah fakta multikulturalisme yang mau tidak mau harns diterima
danhadapi. Masing-masing agama mempunyai hakhidup yang sarna
dan mempunyai cara untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya
sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dapat dilakukan. Menurul
M. Amin Abdullah (2005:2), cara yang paling tepat untuk melakukar
hal ini adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan, menurutnya
merupakan alat yang paling efektif untuk meneruskan, melang·
gengkan, mengawetkan, dan mengonservasi tradisi apa pun dar
satu generasi ke generasi selanjutnya, dari abad satu ke abad ケ。ョセ@
lain. Mengingat terjadinya beberapa konflik sosial keagamaan dar
demi terjaminnya hak-hak hidup dan kultural, perIu segera dirinti!
dan dikembangkan pengelolaan pendidikan yang mampu menjad
faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran nilai-nila
kehidupan multikultural. Paradigma pendidikan multikultura
mengisyaratkan individu untuk belajar bersama dengan individl
lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan salin)
memahami.l Termasuk dalam persoalan pengelolaan pendidikaJ
multikultural adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaral
matakuliah Pendidikan Agama Islam (P AI) di Perguruan Tingg
Umum (PTU) dengan berbasis pada terbangunnya kesadaran da:
wawasan multikulturalisme tersebut.
Tulisan ini hendak mengkaji masalah multikulturalisme dala!
P AI dengan fokus pada tiga aspek: problem multikulturalisme dalar
pembelajaran PAl, urgensi wawasan multikulturalisme dalal
}lIrnal PENAMAS Vol. XXIII No.3 Til. 2010
Pembellljnran Pendidiktm Aga_ lsI4m
291
pembelajaran P AI, dan strategi implementasi wawasanmultikulturalisme dalam pembelajaran PAI.
Studi ini merupakan penelitian kualitiatif yang menggunakan
pendekatan deskriptik, interpretatif dan reflektif. Pengumpulan data,
balk primer dan sekimder, menggunakan teknik studi literatur.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Tilaar (2004:73 dan 101), gelombang globalisasi yang melanda duma memicu hembusan angin multikulturalisme di tengah
kehidupan kita masa kini. Melalui duma maya yang semakin mempersempit jarak dan melahirkan berbagai jenis fantasi manusia, umat
manusia dewasa ini bukan hanya mengenal budayanya sendiri tetapi
juga mengenal, bahkan mengadopsi, berbagai jenis budaya-budaya
lain dari luar. Multikulturalisme bukan lagi sekadar pengenalan
terhadap berbagai jenis budaya di duma ini, melainkan juga telah
menjadi tuntutan dari berbagai komumtas untuk memiliki bt,tdayabudaya tersebut. Dengan demikian, membangun masyarakat yang
demokratis dan multikultural seolah menjadi imperatif dari
kebudayaan di era modern dan era globaliasasi ini. Tentu saja,
membanglID masyarakat demokratis yang multikultural ini bukanlah
suatu pekerjaan mudah dan ringan, namun dibutuhkan upaya secius
dari segenap kita. Apalagi, negeri kita adalah sebuah negeri yang
memiliki disparitas dan keragaman ras, budaya, bahasa, dan agama
yang sangat tinggi. Hal ini mengharuskan sistem pendidikan nasional
kita unt:uk berperan dan terlibat di dalamnY,L Pendidikan
multikultural telah menjadi suatu tuntutan yang tidak dapat ditawartawar lagi di dalam membangun Indonesia baru, yang lebih demokratis dan multikulturaL
Dalam konteks pendidikan keagamaan, khususnya Islam,
menurut Sangkot Strait, ada empat isu pokok yang dipandang sebagai
dasar pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang
keagamaan. Pertama, kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesanNya (wahyu). Kedua, kesatuan kenabian. Ketiga, tidak ada paksaan
dalam beragama. Terakhir, pengakuan terhadap eksistensi agama
lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah
merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasilikasi didukung
oleh teks (wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk
menjadi justifikasi bagi yang lain. 2
,,,mal PENAMAS Vol. XXIII No.3 Tit. 2010
292
S1JIIrif Hidnylltull1lh
Pendidikan Islam, menurut M. Amin Abdullah (2005: 73-82)
menghadapi tantangan modemitas yang sekaligus memertgaruh
perkembangan nilai-nilai multikulturalisme di dalamnya. Salal
satunya adalah revolusi inforrnasi, yang mempertegas kenyataal
sernakin kuatnya kesadaran adanya "orang lain" ill luar diri daJ
kelompok kita sendiri, ill mana mereka memiliki hak dan kewajibru
sarna seperti yang kita miliki. Plt.ualitas irnan dan budaya dalam er,
globalitas semakin disadari dan dirasakan keberadaannya ole]
berbagai pemeluk agama. Dengan mempertimbangkan tantangru
modernitas ini rnaka, diperlukan rekonstruksi pendidikan Islar.
dengan beberapa upaya, seperti intemaliasi nilai-nilai tasawuf yan;
dapat menekankan kematangan dan kedewasaan berpikir daJ
berprilaku melalui penanarnan sifat rendah hati, kesabaran, tolerans
tenggang rasa, kepuasan batiniah, cara berpikir matang da:
seterusnya. Upaya lain ialah mengenalkan berbagai jalinan strukturc
melalui pendekatan-pendekatan yang lebih historis-empiri
terhadap realitas kehidupan sehari-hari era modemitas agar pesert
didik mengenal liku-liku kehidupan modem dan sekaligus dap.
mencari jalan keluar yang tepat secara agamis berdasarkan nila
nilai rohaniah-Hahiah.
Zakiyuddin Baidhawy telah mekakukan kajian terhadap basi
teologis dan karakteristik serta asurnsi dalam pendidikan agam
yang berwawasan multikulturalisme. Menurutnya, ada beberap
karakteristik utama yang hams dkembangkan, yaitu, pertama, belaj.
hidup dalam perbedaan; kedua, membangun saling percaya (mutw
trust); ketiga, memelihara saling pengertian (mutual understanding
keempat, menunjukkan sikap saling menghargai (mutual respect
kelima, terbuka dalam berpikir; keenam, apresiasi dan independens
dan, ketujuh, resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan (2005;7<
84).
Sementara Ngainun Nairn dan Achmad Sauqi (2008:161-24:
mengkaji secara eksploratif kerangka operasional pendidika
pluraHs-multikultural dalam sistem pendidikan nasional da
pendidikan agarna di Indonesia. Menurut mereka, kerangka Opl
rasional pendidikan pluralis-multikultural yang perlu dikembangka
rneliputi: pertama, politik penilldikan pluralis-multikultural; kedu
epistemologi pendidikan pluralis-multikultural; kenga, reorienta
pembelajaran agarna; keempat, kunkulum pluralis-multikulfura
dan, kelima, desain pembelajaran pluralis-multikultural.
/11"",1 PENAMAS Vol.
xxm No.3 Th. 2010
Perubebzjllrnn Pendidiklln Agtima Islam
293
LANDASAN TEORl
Dalam konteks memimpikan dunia modern yang memiliki
kewarganegaraan yang demokratis, hal yang paling ditakuti Robert
W. Hefner (2007:1-16) adalah terjadinya perpecahan etnis, religius,
dan linguistis yang tajam dalam masyarakat. Bagaimana mencapai
sivilitas dan kewarganegaraan inklusif dalam masyarakatmasyarakat yang sangat plural saat ini nyaris telah menjadi masalah
yang universal. Persoalan multikulturalisme ini hingga saat ini masih
menjadi pembahasan yang menarik dan tak kunjung usai.
Menurut Supartiningsih (2008:12,47, dan 60), banyak pemikiran
alternatif untuk memberi rambu-rambu dalam hidup bersama dalam
masyarakat multikultural, yakni dad model tawar-menawar,
kompromi, konsensus, konflik, dominasi, hingga pemaksaan. Dalam
kasus Indonesia, kendati mozaik model multikulturalisme telah
digunakan sebagai acuan foundingfathersdalam mendesain apa yang
dinamakan kebudayaan bangsa, seperti terungkap dalam penjelasan
pasal32 UUD 1945 bahwa kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah, namun wajah bangs a ini seringkali
menampilkan konflik sosiaL
Dengan demikian, untuk membangun harrooni internal dalam
masyakarakat yang plural tidaklah cukup mengandalkan proses
alamiah semata. Lebih dari itu, hal ini sangat membutuhkan upayaupaya sistema tis, termasuk melalui pengembangan pendidikan
multikulturaL Sebab, pendidikan merupakan media strategis untuk
menumbuhkan kesadaran multikultural dalam kehidupan nyata.
Diskursus tentang pendidikan multikultural sudah mulai
bermunculan dalarn beberapa waktu terakhir di Indonesia. Pend idikan multikultural dan pluralisrne diartikan oleh Frans Magnis
Suseno sebagai suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk
membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas
batas kelornpok etnis atau tradjsi dan agama kHa, sehingga kita
mampu melihat kemanusian sebagai sebuah keluarga yang memiliki
perbedaan rnaupun kesamaan cita-cita (dikutip dalam Ngainun Nairn
dan Achmad Sauqi 2008:50).
Tumol PENAMAS Vol. XXlll No.3 Th. 2010
PEMBAHASAN
Pembelajaran PAl dan Problem Multi1culturalisme
Sebagai bagian dari sistem pendidi kan nasional, Pendidikan Agama
termasuk mata kuliah Penliidikan Agama Islam (PAI), mempunya
tanggung jawab dalam penyebaran nilai-nilai pluralisme
multikulturalisme, inkluslvisme dan toferansi. Namun, pad,
kenyataannya Pendidikan Agama Islam yang selama ini diajarkal
di sekolah, termasuk PrU, pesantren, madrasah dan institusi Islarr
gagal menjalankan tugas tersebut, bahkan, sebaliknya, turu
memberikan kontribusi berkembangnya eksklusivisme dalam Islarr
Kautsar Azhari Noer menyebutkan paling, tidak 。セ@
empat fakto
penyebab kegagalan tersebut. Pertama, penekawm ー・ョ、ゥセャ@
agama lebih pad a proses transfer i.ln;l.u agama 、。イゥーセjェ@
transformasi nilai-nilai keagamaan 、セ@
moral セ@
didik. KOOiu
adanya sikap bahwa pendidikan agama エゥセ@
セ「uゥ」、mエN@
"hiasan kurikulum" belaka atau sebagai "pelengkap" yang 、ゥーセ@
sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai mora
yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, ォ。ウゥィケョセ@
persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi. Keempa'
kurangnyaperhatian untuk mempe1ajari agama-agama lain.3
Pembentukan pendidikan yang mampu menghasilkan manusi
yang memiliki kesadaran multikulturalisme memerIuka:
rekonstruksi pendidikan sosial keagamaan untuk mempertegu:
dimensi kontrak sosial keagamaan dalam pendidikan agam.
Pendidikan agama perIu direkonstruksi kembali agar lebf
menekankan pada proses edukasi sosial yang tidak semata-mat
individual, tetapi juga memperkenalkan social contract. Denga
demikian, dalam diri peserta didik tertanam suatu keyakinan bahw
kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak ha
lebih-Iebih dalam bidang akidah, iman, kredo. Namun, den
menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupa
bersama, apalagi dalam membangun kerukunan umat beragamc
mau tidak mau kita harus rela me.njalin kerja ウ。ュセエゥiN@
bentu
sosial antarsesama kelompok キヲuBァセ@
ュ。ウケイセLG@
.,.'
ini, diharapkan akan terjadi ー・ャGjェ。ィョLセZ@
pembelajaran menuju ke arah terciptanya
'
multikultural pada anak d i d i k . ;
Problem perbedaan tidak hanya dia1ami ー。セABL@
antarumat beragama, namun juga terdapat paalmas
lumtll PENAMAS Vol. XXllI No.3 Th. 2010
Peml1elajaran Pendidikan Agmna Islam
295
agama. Persoalan keragarnan sebenarnya tidak lepas dad interpretasi
manusia akan teks sud yang dipercaya sebagai ungkapan langsung
dari Tuhan kepada man usia. Proses interpretasi niscaya tidak
terhindar dari adanya keragaman hasH penafsiran disebabkan
berbagai faktor, seperti budaya, politik, ekonomi, pendidikan, atau
perbedaan tingkat peradaban. Setiap agama memiliki nilai-nilai khas
atau nilai partikular yang hanya dimiliki oleh masing-masingagama,
di samping nilai universal yang terdapat secara umum pada semua
agama. Berkaitan dengannilai patrikular dan nilai universal ini, Amin
Abdullah (dikutip dalam Nairn dan Sauqi 2008:133) menyarankan
agar ketika menghadapi pemeluk agama berbeda, hendaknya kita
lebih mengedepankan nilai-nilai universal saja; seperti keadilan,
kemanusiaan, kesetaraan, berbuat baik terhadap sesama, dan
kejujuran. Sedangkan, nilai-nilai partikularnya hendaknya tetap
diposisikan dalam exclusive locus, yaitu wilayah komunitas yang
mempercayai nilai partikular ihl saja.
Pendidikan sendiri memiliki beragam fungsi yang signifikan. Pendidikan dapat berfungsi sebagai alat untuk transfer dan transformasi
. ilmu pengetahuan dan teknologi. 1a juga menjadi media pembentuk
watak dan kepribadian, menanamkan nilai dan moral keagamaan,
serta kesadaran berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, pendidikan di setiap jenjang mulai dad yang rendah hlngga jenjang tertinggi, perlu didesain dalam rangka membangun dan memberikan
gambaran ideal ten tang pluralitas dan multikulhlraL Pendidikan
hendaknya diorientasikan secara bersama untuk menghadapi reaIitas
kemajemukan subyek dan obyek pembelajarannya. Jika yang
dikedepankan adalah egosentrisme dan eksklusivitas masingmasing, maka pendidikan justru akan menjadi problematika
tersendiri bagi peran dunia pendidikan dalam penguatan masyarakat
madani melalui pengembangan keruktL'1an umat beragama (Naim
dan Sauqi 2008:27).
Urgensi Wawasan Multikulturalisme
dalam Pembelajaran PAl
Menurut Abdullah AIy, pendidikan multikultural sesungguhnya
bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural
merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman,
dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan
pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain
yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural.
JlImal PENAMAS Vol. XXIll No.3 TI!. 2010
296
Syarif Hidayntulhrh
Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural eduCfltion, interethnic
education, transcultural education, multiethnic education, dan crosscultural education. Sejak 2002 hingga sekarang, wacana pendidikan
multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media,
seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya
pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional d:
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada 16-19 Juli 2002 adalat
salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnyc:
pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar ini juga memilik
kepedulian yang sama,bahwa wacana pendidikan multikultura
perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan. 4
Memerhatikan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwi
pendidikanmultikultural menemukan relevansinya untuk kontek:
Indonesia. Pendidikan multikultural yang selama ini ban
diwacanakan oleh para pemerhati pendidikan sudah saatnya untuJ
disambut oleh para pengambil kebijakan dan para praktis
pendidikan. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalaJ
dengan semangat semboyan bangsa Indonesia: "Bhinneka Tungga
lka". Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memilik
pengertian bahwa Indonesia merupakan salah saht bangsa di duni
yang terdiri dati beragam suku dan ras, yang mempunyai buday,
bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatua
Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untu
mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity), yan
terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua franca
13.000 pulau, 6 agama besar dengan jumlah penganut terbanyal
dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Denga
semboyan ini diharapkan masing-masing individu
kelompo
yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersaht da
bekerjasama unllik membangun bangsanya secara lebih kuat.
Sayangnya, selama pemerintahan Orde Baru-:-bahkan hingga El
Reformasi saat ini-keragaman tersebut belum
secal
proporsional, dengan menerima perbedaan,mengakuidan セ・ョァィ。@
gainya. Yang terjadi adalah proses ー・ョケイ。ァセ@
dan pengabaic
terhadap perbedaan yang ada, baik dari se& sセuゥ@
「。ィウセ@
agam
maupun budaya. SemboyanUBhinnekll TunggaIIka;c" PliJl diteraplq
secara berat sebelah. aイエゥョケ。セ@
semangat セ・Mゥォ。エZャ「ィ@
セヲエqャBjNェ@
dari pada seman gat ke-bhinneka-an 、。ャュᄋー・ョァiッセ@
ーLセァ。[@
Indonesia. Pengelolaan negara dengan penekanan pada sヲ[ュ。ョセ@
ke-ika-an dari pada semangat ke-bhinneka-an tersebut sang
mewarnai konsep dan praktik pendidikan di Indonesia. Indikatom:
Jumnl PENAMAS Vol. XXlIl No.3 Til. 2010
terlihat pada, pertama, terjadinya penyeragaman terhadap berbagai
aspek pendidikan-seperti kurikultun, metode pembelajaran, dan
manajemen kelas; kedua, terjadi sentralisasi pendidikan, yang sarat
dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dati atas, sebagai akibat
dari paradigma pendidikan sentralistik (top-down); ketiga, belum
adanya proses menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar
belakang siswa dan mahasiswa yang menyangkut budaya, etnik,
bahasa, dan agama. 5
Padahal, menurut Irwan Abdullah (2009:64), Bhinneka Tunggal
Ika dibutuhkan untuk mengikat pluralitas budaya Indonesia
sehingga kesalahan pengelolaan keragaman budaya ini akan
melahirkan akibat-akibat bur uk. Konflik bernuansa SARA yang
kerap terjadi di Indonesia diakibatkan, salah satunya, oleh lemahnya
pemahaman dan pemaknaan konsep kearifan budaya. Konflik akan
muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil dalam masyarakat.
Fenomena divergen-disintegratif yang kian nyata dalam
masayarakat menimbulkan fragmentasi kelompok dan konflik
horizontal yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Fenomena
divergen-disintegratif ini berupa menguatnya rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, kelompok, dan agama. Fenomena ini merupakan
ancamaan nyata dan serius yang harus dijawab dengan pemupukan
nilai-nilai toleransi, inklusivisme, penolakan berbagai jenis
fundamentalisme, dan kemampuan untuk mengembangkan
diskursus dalam masyarakat multikultural. Tentu saja, untuk
menumbuhkan kemampuan ini, dibutuhkan institusi pendidikan
yang
mengembangkan kesadaran hidup bersama dalam
kemajemukan (Supartiningsih 2008:59-60).
Pendidikan, menurut Bahtiar Effendy (2001:45-51), merupakan
instrumen perubahan yang sangat penting, terutama berkaitan
dengan sikap mental dan nilai. Pendidikan masih dinilai sebagai
infrastruktur paling memungkinkan untuk proses transformasi nilai
dalam masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan penghargaan
atas reahtas keagamaan yang plural, kendati pun di bidang
pendidikan agama kita masih perIu mengembangkan toleransi
beragama. Dalam konteks kebijakan, pemerintah melalui
Kementerian Agama, telah menggulirkan konsep "trilogi kerukunan
umat beragama", yaitu kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat
beragama dan pemerintah. Konsep ini merupakan kebijakan yang
monumental dan sangat khas dalam pengelolaan keragaman SARA
(Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) di Indonesia.
"mUll PENAMAS Vol. XXIll No.3 Th. 2010
SARA sendiri, セョオイエ@
,Th. sオセ。ー@
(dikutip dala,m EIga
Sarapung dan Zuly セLRPZ@
Lセス@
セ@
dbt 「セ@
yang
melahirkan bangsa Indonesia. Sifat-silat asasi dati kemajemukan
SARA diturunkan menjadi sifat-sifat asasi bangsa Indonesia dan
menjadi' ciri Indonesia yang tidak bisa ditolek dan dipungkiri.
Menolak kenyataan ini maka bisa dimaknai 「。ィキセ@
kita menolak
dan membenci diri kita sendiri. Namun bagi Elga Sarapung dan
Zuly Qodir (2002:5), kemajemukan SARA ini pedu diwaspadai
karena ia berpotensi melahirkan konflik, baik yang konstruktif
maupun destruktif. Sayangnya, pendidikan di Indonesia selatna ini
tidak memberikan keterbukaan masyarakatdalam menyikapi konflik
yang diakibatkan perbedaan-perbedaan. Masyarakat tidak didik
untuk dapat menghadapi dan mengelola konflk dengan berpijak
pada kesadaran dan kemampuan untuk menerima pluralitas dan
kepelbagaiansecara obyektif dan terbuka. Dengan demikian, institusi
pendidikan ditantang untuk melakukan proses transformasi dari
konflikmenjadi perdamaian. Sebab, ー・イ、。ュゥョオセァウ@
yang ideal dari semua bangsa dan harapan umat manusia di muka
bwniini.
Dengan demikian, sangatlah urgen untuk memberikan wawasan
multikulturalisme dalam sistem pendidikan yang dijalankan di neger!
ini, tidak terkecuali dalam pembelajaran PAI di perguruan tinggi
umum (PTU). Apalagi mengingat bahwa matakuliahPAI adalahsalah
satu matakuliah dari kelompok Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK), yang memiliki tujuan khusus dalam membentuk
kepribadian setiap mahasiswa calon sarjana dan pemim.pin bangsa
di masa depan.
Multikulturalisme, menurut Baidhawy (2005:v), memang tengah
menjadi isu penting, terutama setelah munculnya serangkaian
konflik etnik dan agama di Indonesia, sebagai ekses dari kegagalan
dalam pengelolaan keragamansuku, bahasa, agama, maupun budaya
yang kita miliki. Oleh sebab itu, beberapa pakar yang memiliki shared
concern terhadap gagasan ini mulai merintis pentingnya pendidikan
multikultural untuk masyarakat Indonesia. Pendidikan multikultural
ini merupakan suatu pendidikan yang dirancang khusus untuk
menciptakan struktur dan proses yang membuka ォ・ウュー。エョセ@
bagi semua ekspresi kultural( komunitas ー・jゥG。、「セョ@
maupun '
individu. Pendidikan multikulturat bukan hanya, berhubungan
dengan belajar dan mengajar deftgan ュ・ョァオヲエ。セ@
セ・イ「。Dゥ@
'
perspektif dan bahasa, namun, juga tentang 「。ァゥセ・エャ|D@
membentuk pandangan dunia. Dengan kata lam. ウゥエ・セーョ、@
... .
'''''''''' PENAMAS Vol. XXIII No. " TIt. 2010
セ@
. '.
GBZセL@
Pe...belajIJran Perutidikan
Agtlmtl
1514...
299
dan pembelajaran hendak mampu membangkitkan kesadaran
multikuItural dad setiap peserta didiknya, termasuk dalam
matakuliah PAl ini.
Oleh karena itu, pembelajaran P AI yang berwawasan multikultural adalah suatu pembelajaran yang diarahkan untuk
menegaskan artikulasi multikulturalisme yang biasa didefinisikan
sebagai gerakan sosial-intelektual yang mendorong nilai-nilai
keragaman sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa
semua kelompok budaya, diberlakukan secara equal (setara) dan
sama-sama dihormati. Ada empat alasan utama bagi urgensi membangun kesadaranmultikultural dalam sistem pendidikan
kewarganegaraan pada umurnnya dan pendidikan agama, termasuk
PAl, pada khususnya. Pertama, realitas bangsa yang plural. Kedua;
pengaruh budaya dan etnisitas terhadap perkembangan manusia.
Ketiga, benturan global antar kebudayaan. Keempat, problem
efektifitas belajar untuk menanamkan kesadaran akan perbedaan
(Baidhawy 2005:21-30).
Strategi Implementasi Wawasan Multikulturalisme
dalam Pembelajaran PAl
Untuk membahas strategi implementasi wawasan multikulturalisme
dalam pembelajaran P AI, diperlukan pendekatan pedagogik.
Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh,
membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan
multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu
ditekankan,
masalah didaktik dan metodik Masalah didaktik
peflu mendapat tekanan dengan alasan bahwa didaktik merupakan
bagian dari ilmu pendidikan yang membahas ten tang cara membuat
persiapan pembelajaran dan mengorganisasikan bahan pembelajaran,
Didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau
kurikulum dalam pendidikan multikultural. Sedangkan metodik
merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang
cara mengajarkan suatu mata pelajaran dengan dikaitkan pada
manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan
multikulturaL 6
Dari aspek didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek
penting dalam pendidikan multikultural. Oleh karena HUt
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam masa depan
yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme ini menjadi sangat
penting.
JrlTTwl PENAMAS Vol. XXIIl No, 3 Til, 2010
Pendidikan ュオャセエイ。@
adalah proses ー・ョLセ。アァ@
se1unm
potensi manusia yang tnenghargai pturatitas, 、G。ャイゥエ・セウョケ@
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, clan alirar
(agama). Sedangkan dalamarti sempit pendidikan multikutural ada.
lah suatu program dalam praktik pendidikan yang di dalamnya tidalc
hanya dikembangkan potensi セオウゥ。L@
namun juga ditanamkar
pemahaman dan penghargaan akan keserba-majemukan manusia,
sehfugga akan terpatri sikap tulus dan toleran tanpa adanya diBl