Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

6

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Allorerung et al. (2010) adalah
Kingdom: Plantae, Divisi: Embryophyta siphonagama, Kelas: Angiospermae,
Ordo: Monocotyledonae, Famili: Arecaceae (Dahulu Palmae), Sub-famili:
Cocoideae, Genus: Elaeis, Spesies: Elaeis guineensis Jacq.
Sebagaimana tanaman monokotil, kelapa sawit memiliki akar serabut yang
terdiri dari akar utama, akar sekunder, akar tersier, dan akar rambut. Akar utama
(primer) merupakan akar yang pertumbuhannya lurus vertikal ke bawah, searah
pusat bumi. Fungsi utama akar primer adalah menunjang batang agar batang tetap
berdiri kokoh. Akar sekunder dan akar tersier biasanya menyebar secara
horizontal hingga radius yang sama panjang daun, pada zontal hingga radius yang
sama dengan panjang daun, pada kedalaman kurang dari 150 cm, bahkan sebagian
muncul ke permukaan tanah. fungsi utama akar sekunder adalah menjangkau
unsur hara dan air dalam tanah (Hadi, 2004).
Batang kelapa sawit tumbuh tegak (phototrophy) dibalut oleh pangkal
pelepah daun. Batang berbentuk silinderis dan mempunyai diameter 45 - 60 cm
pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar (gemuk) di sebut
bongkol batang atau bowl. Sampai tanaman berumur 3 tahun batang belum terlihat

karena masih terbungkus kelapa yang belum tunas. Tergantung dari varietas dan
kondisi lingkungannya yaitu pupuk yang diberikan, iklim, kerapatan tanam;
kecepatan tumbuh pertahun rata-rata 20 - 60 cm. Tinggi tanaman juga sangat
bervariasi dan diperkebunan umumnya tinggi tanaman mencapai 15 - 18 m
(Soehardjo, 1999).

Universitas Sumatera Utara

7

Daun terdiri atas tangkai daun (petiole) yang apada kedua tepinya terdapat
dua baris duri (spines). Tangkai daun bersambung dengan tulang daun utama
(rachis), yang jauh lebih panjang dari tangkaiaa dan pada kiri-kanannya terdapat
anak-anak daun (pinna; pinnata). Daun pertama yang keluar pada stadium benih
berbentuk lanset (lanceolate), beberapa minggu kemudian berbentuk daun seperti
bulu (pinnate) atau menyirip. Misalnya pada bibit berumur lima bulan susunan
daun terdiri atas 5 lanset, 4 berbelah dua dan 10 berbentuk buluh . susunan daun
kelapa mirip dengan kelapa (nyiur), yaitu membentuk daun menyirip
(Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Susunan bunga terdiri dari karangan bunga yang terdiri dari bunga jantan

(tepung sari) dan bunga betina (putik). Namun, ada juga tanaman kelapa sawit
yang hanya memproduksi bunga jantan. Umumnya bunga jantan dan bunga betina
terdapat dalam dua tandan yang terpisah. Namun, adakalanya bunga jantan dan
betina terdapat dalam tandan yang sama. Bunga jantan selalu masak lebih dahulu
pada bunga betina. Karena itu, penyerbukannya sendiri antara bunga jantan dan
betina dalam satu tandan sangat jarang terjadi. Masa reseptif (masa putik dapat
menerima tepung sari) adalah 3 x 24 jam. Setelah itu, putik akan berwarna hitam
dan mengering (Sastrosayono, 2003).
Hasil utama perkebunan kelapa sawit adalah buah kelapa sawit.
Selanjutnya, buah kelapa sawit di proses (ekstraksi) di pabrik penggiling (mill)
sehingga menghasilkan ekstrak, berupa minyak kelapa sawit yang mentah atau
CPO (Crude Palm Oil) dan minyak kelapa sawit KPO (Kernel Palm Oil). Tandan
bunga betina yang telah menjadi buah disebut tandan buah segar (TBS). Setiap
TBS pada tanaman dewasa umumnya terdiri dari 1.000 - 2.000 buah. Setiap buah

Universitas Sumatera Utara

8

berdiameter 1,5 - 3 cm. Berat setiap butir buah adalah 10 – 30 g, sehingga satu

TBS pada tanaman dewasa beratnya mencapai 10- 40 kg. Pada umur 3 tahun atau
saat tanaman berbuah untuk pertama kali, berat TBS adalah 3 – 6 kg
(Soehardjo, 1999).
Pada umumnya tanaman kelapa sawit menghasilkan jenis buah nigrescens
atau virescens (Hartley, 1988). Buah nigrescens mengakumulasi antosianin dalam
jumlah yang besar sehingga menyebabkan warnanya ungu gelap hingga hitam
pada bagian ujung buah dan kuning pada bagian dasar saat belum matang, dengan
perubahan warna yang sedikit dari bagian ujungnya saat pematangan. Buah
virescens berwarna hijau saat belum matang, dan menjadi oranye karena
akumulasi karotenoid dan degradasi klorofil yang berhubungan dengan
pematangan buah (Sambanthamurthi et al., 2000).
Dalam kondisi utuh (tidak pecah), biji kelapa sawit bersifat dorman sampai
sekitar enam bulan. Kondisi dorman ini dapat dipatahkan, antara lain dengan
pemanasan biji (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Syarat Tumbuh
Curah hujan yang ideal berkisar 2.000 – 3.500 mm/th yang merata
sepanjang tahun dengan minimal 100 mm/bulan. Di luar kisaran tersebut tanaman
akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Curah hujan
antara 1700 – 2.500 mm/th dan 3.500 – 4.000 mm/th menyebabkan tanaman akan
mengalami sedikit hambatan. Di lokasi dengan curah hujan kurang dari

1.450 mm/th dan lebih dari 5.000 mm/th sudah tidak sesuai untuk sawit. Suhu
rata-rata tahunan untuk pertumbuhan dan produksi sawit berkisar antara
24 – 29oC, dengan produksi terbaik antara 25 – 27oC. Di daerah tropis, suhu udara

Universitas Sumatera Utara

9

sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat di atas permukaan laut (dpl). Tinggi
tempat optimal adalah 200 m dpl, dan disarankan tidak lebih dari 400 m dpl,
meskipun di beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai pertanaman
sawit yang cukup baik hingga ketinggian 500 m dpl. Di daerah yang banyak
berawan menyebabkan intensitas matahari yang diterima daun sawit menjadi lebih
rendah. Sebaliknya meskipun curah hujan relatif tinggi tetapi lebih banyak terjadi
sore hingga malam dan perawanan kurang, maka intensitas matahari bias cukup
untuk mendukung fotosintesis yang tinggi. Makin tinggi tempat, suhu makin
rendah dan biasanya disertai perawanan yang lebih lama atau curah hujan yang
tinggi dan makin menjauh dari garis khatulistiwa penyinaran matahari makin
berkurang. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran antara 5 dan 12 jam/hari
(Allorerung et al., 2010).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol,
Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai
dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah
5,0 – 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase
(beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan
padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o
(Kiswanto et al., 2008).
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik sederhana yang
digunakan untuk memperbanyak molekul DNA secara invitro di dalam
laboratorium. Hasil perbanyakan molekul DNA sangat banyak, karena jumlah
perbanyakan molekul DNA bertambah secara eksponensial. Oleh sebab itu, ribuan

Universitas Sumatera Utara

10

molekul DNA dapat dibuat dalam waktu yang singkat. PCR dapat diaplikasikan
dalam analisis genetik, seperti: diagnosis medis, dan forensik. PCR merupakan
metode yang sangat sensitif sehingga dari satu pasang molekul DNA dapat

diperbanyak menjadi jutaan kali lipat setelah 30 - 40 siklus PCR (Mullis, 1990).
PCR banyak digunakan untuk banyak keperluan karena memiliki beberapa
keuntungan diantaranya cepat, memerlukan DNA dalam jumlah yang sedikit, dan
dapat dilakukan pada tahap dini dengan teknik isolasi DNA sederhana. Hal-hal
yang mempengaruhi keberhasilan dalam reaksi PCR adalah sekuen primer, dNTP,
enzim polymerase, dan suhu annealing (Graham, 1997).
Kemajuan teknologi telah memungkinkan para ilmuan untuk meniru
urutan nukleotida suatu gen dengan cara melakukan amplifikasi DNA dengan
teknik reaksi berantai polimerase (PCR). Amplifikasi DNA dilakukan secara in
vitro (di dalam tabung) dengan menggunakan: (1) enzim DNA polymerase; (2)
dNTP (dinukleotida triphosphat; (3) oligonukleotida primer; dan (4) molekul
DNA cetakan (DNA template) (Yuwono, 2006).
Reaksi PCR secara umum dilakukan dalam empat tahap. Molekul DNA
rantai ganda akan diurai menjadi molekul tunggal dengan pemanasan. Primer akan
menempel pada molekul DNA rantai tunggal pada tempat yang sudah ditentukan.
Selanjutnya enzim polimerase akan memperpanjang primer dengan basa nitrogen
yang tersedia. Tahapan tersebut merupakan cara untuk menggandakan molekul
DNA yang diinginkan (Mullis, 1990). Tahap peleburan (melting) atau denaturasi
merupakan tahap awal reaksi yang berlangsung pada suhu tinggi, yaitu 94 – 96 °C
sehingga ikatan hidrogen DNA terputus atau terdenaturasi dan DNA menjadi

berutas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama

Universitas Sumatera Utara

11

(sampai 5 menit) untuk memastikan semua utas DNA terpisah. Pemisahan ini
menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi template bagi primer. Tahap
kedua adalah penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA
template yang komplementer uruta basanya. Hal ini dilakukan pada suhu antara
45 – 60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan
tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Tahap
ketiga adalah pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari
jenis DNA-polimerase yang dipakai. Proses ini biasanya menggunakan
Taq-polimerase dan dilakukan pada suhu 72°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
Setelah tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Tahap 4 menunjukkan
perkembangan yang terjadi pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat denaturasi dan
renaturasi, beberapa utas baru menjadi template bagi primer lain dan akhirnya
terdapat utas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah
DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.

Tahapan amplifikasi DNA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema tahapan amplifikasi DNA pada PCR (Mullis, 1990)

Universitas Sumatera Utara

12

Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak
terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah
polimerase DNA terbatas, dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target.
Ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan
primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan
berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh
juga pada efektifitas dan efisiensi proses PCR (Handoyo dan Rudiretna, 2000).
Genetik Beta Karoten
Didapati nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi sebesar 84,8% untuk
karakter kandungan beta karoten pada tanaman kelapa sawit. Hal ini
mengindikasikan adanya peran efek gen aditif. Dapat diambil kesimpulan bahwa
faktor genetik untuk karakter kandungan beta karoten lebih berperan dari pada

faktor lingkungan (Putri, 2010).
Heritabilitas beta karoten pada gandum durum (Santra et al., 2005) dan
sorghum (Reddy et al., 2005) bervariasi mulai 67 hingga 99%. Nilai duga
heritabilitas pada selada dan jagung lebih rendah namun tergolong cukup tinggi
yaitu 50,81%. Studi sebelumnya telah disepakati bahwa faktor lingkungan
berpengaruh sangat kecil sekali terhadap karakter karotenoid.
Moehs et al. (2001) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa dalam
lintasan metabolisme pembentukan kandungan beta karoten pada buah, yang
berperan adalah enzim kunci yaitu lycopene β-cyclase, yang diduga dikendalikan
oleh satu gen (single gen) yaitu gen lycopene β-cyclase, sehingga nilai duga
heritabilitas arti luas untuk kandungan beta karoten pada umumnya tinggi untuk
beberapa tanaman. Pewarisan dari sifat beta karoten pada seleksi persilangan

Universitas Sumatera Utara

13

varietas tanaman tomat beta karoten rendah dengan varietas beta karoten tinggi
telah diteliti. Gen tunggal yang dinyatakan sebagai gen B, didapatkan untuk
pewarisan beta karoten berdasarkan analisis populasi F1, F2, dan Fa dari

persilangan tersebut. Gen ini diyakini berperan sebagai lycopene untuk
membentuk beta karoten. Gen-gen yang lain diasumsikan fungsinya sebagai
pengubah komponen yang lebih sederhana dari beta karoten seperti zeta karoten
dan phytofluene menjadi lycopene pada saat gen tersebut ada dalam keadaan
heterozigot atau homozigot dominan (Lincoln, 1950).
Rasid et al., (2003) yang melakukan penelitian di Malaysia berhasil
mendapatkan fragmen sekuen DNA sebesar 675 bp melalui RT-PCR yang
menyandi lycopene β-cyclase dari jaringan mesokarp kelapa sawit umur 17
minggu. Disebutkan di dalam penelitannya bahwa dugaan koding sekuen lycopene
β-cyclase kelapa sawit memiliki kesamaan 80% dengan lycopene β-cyclase dari
tanaman Narcisus pseudonarcissus, Sandersonia aurantiaca, Citrus sinensis dan
Capsicum annuum yang berperan dalam pembentukan beta karoten. Penelitian
amplifikasi RT-PCR oleh Rasid et al. (2008) pada E. oleifera telah berhasil
melakukan kloning koding sekuen partial DNA untuk phytoene synthase gene.
Rasid et al. (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa secara
keseluruhan

pola

ekpresi


gen

target

lycopene

β-cyclase

(lcyb)

dan

lycopene ε-cyclase (lcye) mengindikasikan beberapa tingkatan regulasi diferensial
dari gen-gen ini dipengaruhi oleh stadia perkembangan maupun tipe jaringan
tanaman kelapa sawit. Dalam jaringan mesokarp, lcyb terkespresi cukup tinggi
pada mesokarp muda (5 minggu setelah anthesis (MSA)). Tingkatan ekspresi lalu
menurun pada jaringan mesokarp berumur 7, 9, 11, 13, 15 MSA dan meningkat

Universitas Sumatera Utara

14

lagi pada 17 dan 19 MSA hingga hampir menyamai tingkatan ekspresi gen pada 5
MSA. Sebaliknya tingkat ekspresi gen lcye rendah pada jaringan mesokarp di
semua stadia.
Primer Spesifik
Primer berfungsi sebagai penginisiasi reaksi polimerase DNA secara
in vitro. Tanpa primer reaksi polimerase DNA tidak akan terjadi meskipun enzim
dan komponen lainnya sedah tersedia. Selain itu, primer bertanggung jawab untuk
mengenali dan menandai fragmen sampel DNA (template DNA) yang akan
diamplifikasi (Zein dan Prawiradilaga, 2013).
Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik seperti RAPD, RFLP,
dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu
organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida
khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10 - 20 nukleotida dan
dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang
primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok
organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk
mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut.
Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer,
komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus
dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik
(Suryanto, 2003).
Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang
mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada
ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada

Universitas Sumatera Utara

15

ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan
selama 1 - 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan
DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikan menjadi 72oC selam 1,5 menit. Pada suhu
ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru
berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerase,
rantai DNA akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA
rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA
cetakan dengan rantai DNA yang baru hasil polimerase selanjutnya akan
didenaturasi lagi dengan menaikan suhu inkubasi menjadi 95oC. Rantai DNA
yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi
polimerase berikutnya (Yuwono, 2006).
Memilih primer yang sesuai mungkin adalah faktor tunggal yang paling
penting mempengaruhi polymerase chain reaction (PCR). Amplifikasi spesifik
dari target yang diharapkan membutuhkan primer yang tidak dapat cocok dengan
target lainnya pada beberapa orientasi dan dalam jarak tertentu yang
memungkinkan terjadinya proses amplifikasi yang tidak diinginkan. Proses
mendesain primer spesifik pada umumnya melibatkan dua tahap. Pertama, daerah
apit primer yang diinginkan dapat diciptakan baik secara manual ataupun
menggunakan software tool; lalu dicari database sekuen nukleotida yang sesuai
menggunakan alat seperti BLAST untuk mengamati target-target potensial
(Ye et al., 2012)

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit ( Elaeis Guineensis Jacq.) Dengan Menggunakan Media Sekam Padi dan Frekuensi Penyiraman di Main Nursery

10 98 74

Perbandingan antara Metode SYBR Green dan Metode Hydrolysis Probe dalam Analisis DNA Gelatin Sapi dan DNA Gelatin Babi dengan Menggunakan Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR)

1 64 90

Analisis Cemaran Daging Babi Pada Kornet Sapi di Wilayah Ciputat dengan Menggunakan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

3 16 72

Perbandingan antara metode SYBR green dan metode hydrolysis probe dalam analisis DNA gelatin sapi dan DNA gelatin babi dengan menggunakan real time PCR

1 33 90

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

2 16 75

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

0 0 13

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

0 0 2

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

0 0 5

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

1 2 3

Identifikasi Fragmen DNA Genomik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil PCR (Polymerase Chain Reaction) Menggunakan Primer Spesifik untuk Beta Karoten

0 0 15