Pengaruh Faktor Ibu terhadap Kelahiran Prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Prematur
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah
bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang.
Himpunan Kedokteran Fetomernal POGI di Semarang tahun 2005
menetapkan bahwa persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22 – 37 minggu (Prawiroharjo, 2012).

2.2. Etiologi
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial.
Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik

mempunyai

pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya resiko tunggal
dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak
kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator
biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks,
yaitu :

2.2.1. Akativasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun
janin, akibat stress pada ibu atau janin.
2.2.2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistematik akibat infeksi asenden dari
traktus genitourinaria atau infeksi sistematk.
2.2.3. Perdarahan desidua

2.2.4. Peregangan uterus patologik
2.2.5. Kelainan pada uterus atau serviks
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan
prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi,
menyebabkan persalinan prematur atau seorang dokter terpaksa mengakhiri
kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan.

2.3. Faktor yang Memengaruhi Kelahiran Prematur
2.3.1. Pengetahuan
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan hasil peginderaan
manusia terhadap suatu objek , sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indera penglihatan (mata) dan indera pendengar (telinga). Pengetahuan
adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indera manusia

yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (Notoatmojo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2007), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang berisi pertanyaan tentang isi materi yang ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden. Sebelum orang mengadopsiperilaku
baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :

a. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Merasa tertarik (Interest) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c. Menimbang-nimbang (Evaluation) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
kehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Bloom (dalam Notoatmodjo, 2000) pengetahuan yang dicakup dalam
domain kognitip mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu :

a. Tingkat tahu (know), bila seseorang hanya mampu menjelaskan secara garis besar
apa yang telah diketahui.
b. Memahami (comprenhension), memahami suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menguraikan materi tersebut secara
benar.
c. Tingkat penerapan (application), bila telah ada kemampuan untuk menggunakan
apa yang telah dipelajari dari suatu situasi kesituasi lain.
d. Tingkat analysis (analysis), bila kemampuan lebih meningkat, ia telah mampu
untuk menerangkan bagian-bagian yang menyusun suatu bentuk pengetahuan
tertentu dan menganalysis satu dari yang lainnya.

e. Tingkat sintesis (syintesis), bila sudah mampu untuk menyusun kembali bentuk
semula maupun kebentuk lain.
f. Tingkat evaluasi (evaluation), merupakan tingkat pengetahuan yang tertinggi telah
ada kemampuan untuk mengetahui secara menyeluruh semua bahan yang
dipelajari.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
yaitu :
a. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang

lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.
b. Tingkat pendidikan
Secara umum orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan
yang lebih luas daripada yang berpendidikan lebih rendah.
c. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan positif
maupun keyakinan yang negatif tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.
d. Fasilitas
Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat memperoleh pengetahuan seseorang
adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain.
e. Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun
jika seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia mampu menyediakan fasilitas
yang lebih baik.

f. Sosial budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi dan sikap seseorang terhadap sesuatu.
2.3.2. Umur
Usia wanita mempengaruhi resiko kehamilan. Anak perempuan berusia

kurang dari 20 tahun dan rentan terhadap terjadinya pre-eklampsi dan eklampsi.
Mereka juga lebih mungkin melahirkan prematur atau bayi dengan berat badan
rendah atau bayi kurang gizi. Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih rentan terhadap
tekanan darah tinggi, preeklampsi dan eklampsi, perdarahan antepartum (plasenta
previa, solusio plasenta) diabetes atau fibroid di dalam rahim serta lebih rentan
terhadap gangguan persalinan sehingga mudah terjadi partus prematur (Dardiantoro,
2007).
Dari penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur ibu dengan
hasil kehamilan. Pada umur < 20 tahun atau ≥ 35 tahun resiko terjadinya prematuritas
dan komplikasi kehamilan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pada
usia < 20 tahun kondisi ibu masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masukan
makanan banyak dipakai untuk ibu yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin
(Rukiyah, 2007).
Dari hasil penelitian Riana Lumban Gaol di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Badrul Aini Medan Tahun 2002-2003, dari 59 ibu yang melahirkan bayi yang
prematur, ibu berusia 20-35 tahun sebanyak 42 orang (71,19%) dan yang berusia 35 tahun sebanyak 17 orang (28,81%). Dari perhitungan Odds Ratio

menunjukkan bahwa umur 35 tahun mempunyai resiko 2,78
(OR=2,779) untuk terjadinya kelahiran prematur dibandingkan ibu dengan umur 2035 tahun.
2.3.3. Paritas

Paritas atau frekuensi ibu melahirkan anak sangat mempengaruhi kesehatan
ibu dan anak, karena kemungkinan terjadinya kesakitan dan kematian maternal, pada
ibu yang baru untuk pertama kalinya hamil agak lebih tinggi daripada ibu-ibu yang
sudah mempunyai anak dua atau tiga. Setelah anak kelima angkanya sangat
menyolok. Pada ibu-ibu dengan paritas tinggi kematian maternal dan kematian anak
menjadi tinggi, karena sering melahirkan maka didapat hal-hal seperti terganggunya
kesehatan karena kurang gizi terjadinya anemia, perdarahan antepartum, kehamilan
ganda, preeklampsi dan eklampsi, terjadinya kekendoran pada dinding rahim juga
kemungkinan-kemungkinan lainnya yang dapat terjadi sehingga dari keadaan tersebut
maka akan mudah menimbulkan penyulit persalinan seperti kelamaan his, partus lama
bahkan partus prematur (Depkes, 2005).
Hasil penelitian Fitriani (2013) di RSUD Dr. Soedarso Pontianak Tahun
2008-2010 dimana ibu yang mengalami prematur lebih banyak ibu multipara 122
orang (37,9 %), ibu nullipara 109 orang (33,9%), ibu primipara 65 orang (20,1%) dan
ibu grandemultipara 26 orang (8,1%).
2.3.4. Jarak antara Persalinan
Pada wanita yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan
(dibawah dua tahun) akan mengalami peningkatan resiko terhadap terjadinya

perdarahan pada trimester ketiga termasuk karena alasan plasenta previa, anemia atau

kurang darah, ketupan pecah dini, endometriosis masa nifas serta yang terburuk yakni
kematian saat melahirkan (Dian, 2004).
Wanita yang hamil dengan jarak terlalu dekat beresiko tinggi mengalami
komplikasi diantaranya kelahiran prematur, bayi dengan berat badan rendah, bahkan
bayi lahir mati. Meningkatnya resiko ini tidak berkaitan dengan faktor resiko lain,
seperti komplikasi pada kehamilan pertama, usia ibu waktu melahirkan, dan status
ekonomi ibu. Jarak kehamilan terlalu dekat menyebabkan ibu punya waktu yang
terlalu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali kekondisi
semula, barulah merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).
2.3.5. Riwayat Penyakit
1. Penyakit Jantung
Kehamilan yang disertai penyakit jantung selalu saling mempengaruhi karena
kehamilan memberatkan penyakit jantung dan penyakit jantung dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Jantung yang normal dapat
menyesuaikan diri terhadap segala perubahan system jantung dan pembuluh darah
yang disebabkan oleh kehamilan yaitu dorongan diafragma oleh besarnya hamil
sehingga dapat mengubah posisi jantung dan pembuluh darah maka terjadi perubahan
dari kerja jantung. Pada kehamilan terdapat peningkatan denyut jantung ibu untuk
mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim sekitar 10 denyut
setiap menit sehingga selama hamil akan terjadi peningkatan sebanyak 41.172.000

denyutan. Bagi jantung yang normal peningkatan tersebut dapat diimbangi sehingga

tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Pada penyakit
jantung yang disertai kehamilan pertambahan denyut jantung dapat menguras
cadangan kekuatan jantung sehingga terjadi keadaan payah jantung. Akibatnya dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim sehingga dapat
menyebabkan terjadinya keguguran, persalinan prematur atau berat badan lahir
rendah, kematian perinatal, pertumbuhan dan perkembangan bayi mengalami
hambatan intelegensia atau fisik (Manuaba, 1998).
2.

Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (penyakit gula) merupakan kelainan herediter dengan ciri

insufiensi atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi
dan berkurangnya glikogenesis. Penyakit ini akan menyebabkan perubahanperubahan metabolik dan hormonal pada penderita yang juga dipengaruhi oleh
kehamilan, sebaliknya diabetes mempengaruhi kehamilan dan persalinan (Mochtar,
1998).
Sekitar 40-60% ibu yang mengalami Diabetes Mellitus (DM) pada kehamilan
dapat berlanjut mengidap DM setelah persalinan. Karena itu disarankan agar setelah

persalinan pemeriksaan gula darah diulang secara berkala misalnya setiap enam bulan
sekali. Komplikasi pada ibu dan bayi meningkat karena adanya perubahan metabolik.
Bila kadar gula darah ibu tidak terkendali, maka akan terjadi keadaan gula darah ibu
hamil yang tinggi (hiperglikemia) yang dapat menimbulkan risiko pada ibu hamil
tersebut dan janin yang dikandungnya.Dan dilaporkan terjadinya cacat bawaan karena
DM yang tidak diobati pada waktu kehamilan serta juga dapat terjadi kelainan

neurologik dan psikologik di kemudian hari dan bahkan dapat terjadi kematian janin
dalam kandungan. Pada ibu hamil dengan DM

yang tidak diobati pada waktu

kehamilan juga dapat menimbulkan risiko terjadinya penyulit pada kehamilan berupa
pre-eklampsi, lahir prematur, kelainan letak pada janin, cairan ketuban yang
berlebihan (hidramnion) dan infeksi pada saluran kemih (Sriwijaya Post, 2004).
3.

Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi. Wanita


memerlukan zat besi lebih tinggi dari laki-laki karena terjadi menstruasi dengan
perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30
sampai 40 milligram. Disamping itu kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan
plasenta. Semakin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan akan
makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis. Pengaruh anemia pada
masa kehamilan terutama pada janin dapat mengurangi kemampuan metabolisme
tubuh ibu sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim,
akibatnya dapat terjadi abortus, kematian intrauterin, persalinan prematur, berat
badan lahir rendah, kelahiran dengan anemia, terjadi cacat bawaan, bayi mudah
mendapat infeksi dan intelegensi rendah (Manuaba, 1998).
2.3.6. Riwayat Obstetrik
1.

Persalinan Prematur Sebelumnya
Wanita yang pernah melahirkan bayi prematur memiliki resiko yang lebih

tinggi untuk melahirkan bayi prematur pada kehamilan berikutnya.

Penyebab persalinan prematur tidak terdiagnosis dan umumnya multifaktor,

diantaranya karena faktor maternal (status sosial ekonomi rendah, riwayat persalinan
prematur sebelumnya, merokok, penyalahgunaan zat adiktif, riwayat abortus), faktor
uterus (anomali uterus, trauma) serta infeksi vagina. Faktor risiko yang paling
dominan adalah sosial ekonomi yang rendah dan riwayat persalinan prematur
sebelumnya (Kemenkes RI, 2010)
2.

Abortus
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup

diluar kandungan. Menurut Manuaba (2008) Abortus adalah kegagalan kehamilan
sebelum umur 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram.
Abortus mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya
penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat
abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur,
abortus berulang (Ningrum dkk, 2004)
3.

Pre-eklampsi
Pre-eklampsi adalah tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20

minggu disertai dengan protein uria
≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan
dipstick ≥ 1+ (Roeshadi, 2006). Pre -eklampsi terjadi pada 5% kehamilan dan lebih
sering ditemukan pada kehamilan pertama dan pada wanita yang sebelumnya
menderita tekanan darah tinggi atau penyakit pembuluh darah. Bayi yang dilahirkan
dari ibu yang menderita pre-eklampsi, 4-5 kali lebih rentan terhadap kelainan yang

timbul segera setelah lahir. Bayi yang dilahirkan juga mungkin kecil karena adanya
kelainan fungsi plasenta atau karena lahir prematur (Medikastore, 2004).
4.

Mioma Uteri
Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim disertai jaringan ikatnya

sehingga dapat dalam bentuk padat karena jaringan ikatnya yang dominan dan bentuk
lunak jika otot rahimnya dominan. Kejadian mioma uteri sukar ditetapkan karena
tidak semua mioma uteri memberikan keluhan dan memerlukan tindakan operasi.
Sebagian penderita mioma uteri tidak memberikan keluhan apapun dan ditemukan
kebetulan saat pemeriksaan. Sebagian besar mioma uteri ditemukan pada masa
reproduksi karena adanya rangsangan estrogen. Dengan demikian mioma uteri tidak
dijumpai sebelum datang haid (menarche) dan mengalami pengecilan setelah mati
haid (menopause). Bila pada masa menopause tumor yang berasal dari mioma uteri
masih tetap besar atau bertambah besar kemungkinan degenerasi ganas menjadi
sarkoma uteri. Mioma uteri ini dapat menyebabkan berbagai gangguan pertumbuhan
dan perkembangan kehamilan sehingga kehamilan dapat menyebabkan keguguran,
persalinan prematur, gangguan proses persalinan, tertutupnya saluran indung telur
menimbulkan infertilitas dan pada kala ketiga dapat terjadi gangguan pelepasan
plasenta dan perdarahan (Manuaba, 1998).
5.

Ketuban Pecah Dini
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-

tanda persalinan. Insidens KPD masih cukup tinggi ± 10% persalinan didahului oleh

KPD. Hal ini dapat meningkatkan komplikasi kehamilan pada ibu maupun bayi,
terutama infeksi (Budayasa dkk, 2006).
Penyebab KPD antara lain, serviks inkompeten, ketegangan rahim berlebihan
yang disebabkan oleh kehamilan ganda, kelainan letak janin (letak sunsang, letak
lintang), panggul yang sempit, kelainan bawaan dari selaput ketuban, infeksi yang
menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah. Pecahnya selaput ketuban
disebabkan karena selaput ketuban tidak kuat akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi. Akibatnya selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi
pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim pecah dan mengeluarkan air ketuban
menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim yang
memudahkan terjadinya infeksi asenden. Semakin lama periode laten maka semakin
besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematur dan selanjutnya
meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim
(Manuaba, 1998).
6.

Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim

meliputi bagian serviks yang terlibat pendataran dan pembukaan, dengan demikian
dapat menutupi seluruh atau sebagian dari osteum uteri internum, bagian terdepan
janin sering sekali terkendala memasuki bagian atas panggul sehingga mengganggu
kehamilan, proses persalinan dengan terjadinya perdarahan. Terdapat tiga komplikasi
yang bias terjadi dan dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak pada ibu.

Pertama oleh karena pembentukan segmen rahim secara ritmik terjadilah pelepasan
tapak plasenta dari tempat insersinya lalu terjadi perdarahan yang tidak dapat dicegah
yang terjadi berulang kali sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok. Kedua,
karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat segmen ini
yang tipis maka jaringan trofoblas dengan invasinya dengan mudah menerobos ke
dalam miometrium bahkan ke perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta
akreta dan bahkan inkreta. Ketiga, serviks dan leher bawah rahim yang rapuh dan
kaya pembuluh darah sangat potensial untuk robek dengan disertai perdarahan yang
banyak. Selain itu sering juga terjadi kesalahan letak anak pada plasenta previa
dimana hal ini memaksa diambilnya tindakan operasi dengan segala konsekuensinya.
Komplikasi terhadap bayi baru lahir adalah premature dan kegawatan karena hipoksia
(Chalik, 1998).
7.

Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada

korpus uteri yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan
(Suyono dkk, 2007). Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan
darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguan penyulit
terhadap ibu maupun janin seperti ; berkurangnya darah dalam sirkulasi darah umum,
terjadinya penurunan tekanan darah, peningkatan nadi dan pernafasan, gangguan
pembekuan darah karena terjadi pembekuan intravaskuler yang diikuti hemolisis
darah sehingga fibrinogen makin berkurang yang memudahkan terjadinya
perdarahan, gangguan fungsi ginjal dan terjadi emboli yang menimbulkan komplikasi

sekunder, peningkatan timbunan darah dibelakang plasenta sehingga menimbulkan
rahim kaku, oligouria yang menyebabkan terjadinya sumbatan glomerulus ginjal dan
dapat menimbulkan produksi urin semakin berkurang, infiltrasi darah ke otot rahim
sehingga mengganggu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena atonia uteri
(Manuaba, 1998). Selain itu terjadinya solusio plasenta dapat menimbulkan
komplikasi pada janin berupa asfiksia, berat bayi lahir rendah, prematuritas dan
infeksi (Yoseph, 1996).

2.4. Ciri-ciri Bayi Prematur
2.4.1.

Berat badan < 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm, lingkar kepala
kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm.

2.4.2.

Masa gestasi kurang dari 37 minggu.

2.4.3.

Kepala lebih besar daripada badan.

2.4.4.

Kulit : tipis transparan, rambut lanugo banyak, terutama pada dahi, pelipis,
telinga dan lengan, lemak kulit berkurang, lemak subkutan kurang.

2.4.5.

Otot hipotonik lemah.

2.4.6.

Reflek tonus otot masih lemah, reflek menghisap dan menelan serta reflek
batuk belum sempurna.

2.4.7.

Tulang rawan dan daun telinga immature (elastik daun telinga masih kurang
sempurna).

2.4.8.

Pernafasan tidak teratur, dapat terjadi apnea (gagal nafas).

2.4.9.

Ekstremitas : paha abduksi, sendi lutut/kaki fleksi-lurus.

2.4.10.

Kepala tidak mampu tegak

2.4.11.

Pernafasan sekitar 45 sampai 50 kali/menit, dan frekuensi nadi 100 sampai
140 kali/menit.

2.4.12.

Sering anemia.

2.4.13.

Genetalia belum sempurna, labio minora belum tertutup oleh labia minora
(pada wanita) dan pada laki-laki testis belum turun.

2.4.14.

Garis pada telapak kaki belum jelas dan kulit teraba halus.

2.5. Penyakit yang Sering Terjadi pada Bayi Prematur
2.5.1. Sindrom distress pernafasan, karena pada stadium akhir akan terbentuk
membrane hialin yang melapisi alveolus paru. Sindrom distress pernafasan
sering terdapat pada bayi prematur karena pembentukan surfaktan yang belum
sempurna dimana jumlah dan bentuknya sempurna pada masa gestasi 36
minggu.
2.5.2. Aspirasi pneumonia, keadaan ini disebabkan karena reflex menelan dan batuk
pada bayi prematur belum sempurna.
2.5.3. Perdarahan intraventrikuler yaitu perdarahan spontan pada ventrikel otak
lateral, biasanya terjadi bersamaan dengan terbentuknya membrane hialin di
paru-paru.
2.5.4. Fibroplasia retrolental, disebabkan oleh gangguan oksigen yang berlebihan
yang dikonsumsi oleh bayi prematur.

2.5.5. Hiperbilirubinemia, keadaan ini disebabkan karena hepar pada bayi prematur
yang belum matang serta kerja sirkulasi enterhepatik yang belum sempurna.
2.5.6. Hipotermi/hipertermi sistem pengontrolan suhu masih belum stabil.
2.5.7. Hypoglikemi dan hypocalsemi.
2.5.8. Infeksi.

2.6. Pencegahan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan prematur
antara lain sebagai berikut :
2.6.1. Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda ( kurang dari 17 tahun )
2.6.2. Hindari jarak kehamilan terlalu dekat.
2.6.3. Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal
yang baik.
2.6.4. Anjuran tidak merokok maupun mengkosumsi obat terlarang
2.6.5. Hindari kerja berat dan perlu cukup istrirahat
2.6.6. Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan premature
2.6.7. Kenali dan obati infeksi genital/saluran kencing
2.6.8. Deteksi dan pengamanan faktor resiko terhadap persalinan prematur

2.7. Pengelolaan
Menjadi pemikiran pertama pada pengelolaan persalinan prematur adalah
apakah ini memang persalinan prematur. Selanjutnya mencari penyebabnya dan
menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratorium, ataupun

ultrasonografi meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
presentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital. Bila proses persalinan kurang bulan
masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan segala upaya
pencegahan, maka perlu dipertimbangkan :
2.7.1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi prematur
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2.7.2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesar.
2.7.3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat napas.
2.7.4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi prematur dan kemungkinan hidup atau cacat.
2.7.5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi prematur, dengan
rencana perawatan insentif neonatus.
Ibu hamil yang mempunyai resiko terjadi persalinan prematur atau
menunjukkan tanda-tanda persalinan prematur perlu dilakukan interverensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes.
Manajemen persalinan prematur bergantung pada beberapa faktor.
a.

Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.

b.

Pembukaan serviks.
Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.

c.

Umur kehamilan, makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ
(Tafsiran Berat Janin) > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.

d.

Penyebab/komplikasi presalinan prematur.

e.

Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan prematur, terutama

mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus prematur adalah :
a.

Menghambat proses persalinan prematur dengan pemberian tokolisis

b.

Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid

c.

Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.
Penderita dengan KPD (Ketuban Pecah Dini) atau PPROM (Preterm

Premature Rupture Of the Membrane) dilakukan pengakhiran persalinan pada usia
kehamilan 36 minggu. Untuk usia 32 – 35 minggu jika ada bukti hasil pemeriksaan
maturitas paru, maka kemampuan rumah sakit (tenaga dan fasilitas perinatologi) saat
menetukan kapan sebaiknya kehamilan diakhiri.
Akan tetapi, bila ditemukan adanya bukti infeksi (klinik ataupun laboratorik),
maka pengakhiran persalinan dipercepat/induksi, tanpa melihat usia kehamilan.
Persiapan persalinan prematur perlu pertimbangan berdasar :
a.

Usia Gestasi
Usia gestasi 34 minggu atau lebih: dapat melahirkan singkat dasar/primer,

mengingat prognosis relatif baik, Usia gestasi kurang dari 34 minggu: harus dirujuk
ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatus yang memadai.

b.

Keadaan selaput ketuban
Bila didapat KPD/PPROM dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu,

maka ibu dan keluarga dipersilahkan untuk memilih cara pengelolaan setelah diberi
konseling dengan baik.

2.8. Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama
pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forceps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala.
Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus pervaginam. Seksio
sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan
ibu. Prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea.
Oleh karena itu, seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.
Pada

kehamilan

letak

sungsang

30-34

minggu,

seksio

sesarea

dipertimbangkan. Setelah kehamilan lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan
terjadi karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterm.

2.9. Perawatan Neonatus
Untuk perawatan bayi prematur baru lahir perlu diperhatikan keadaan umum,
biometri, kemampuan bernapas, kelainan fisik, dan kemampuan minum.

Keadaan kritis bayi prematur yang harus dihindari adalah kedinginan,
pernapasan yang tidak adekuat, atau trauma. Suasana hangat diperlukan untuk
mencegah hiportemia pada neonatus ( suhu badan dibawah 36,5 0C), bila mungkin
bayi sebaiknya dirawat cara kanguru untuk menghindari hipotermia. Kemudian
dibuat perencanaan pengobatan dan asupan cairan.
ASI diberikan lebih sering, tetapi bila tidak mungkin, diberikan dengan sonde
atau dipasang infus. Semua bayi baru lahir harus mendapat nutrisi sesuai dengan
kemampuan dan kondisi bayi.
Sebaiknya persalinan bayi terlalu muda atau terlalu kecil berlangsung pada
fasilitas yang adekuat termasuk perawatan perinatal intensif.

2.10. Landasan Teori
Menurut Mosley & Chen konsep mortalitas anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu seperti pada gambar berikut :

Determinan Sosial

Faktor Ibu
1.Umur
2.Paritas
3.Jarak
Kehamilan

Pencemaran
Lingkungan
1.Udara
2.Makanan/air
/jari
3.Kulit/tanah
4.Vektor

Kekurangan
Gizi
1.Kalori
2.Protein
3.Gizimikro

Luka
1.Kecelakaan
2.Luka Yang
Disengaja

Pengendalian
Penyakit
Perorangan
1.Preventif
Perorangan
2.Perawatan
Dokter

Sakit

Gangguan pertumbuhan

Mortalitas

Gambar 2.1. Kerangka Teori Mosley and Chen
Kunci untuk model teori ini adalah identifikasi serangkaian determinan
terdekat atau variabel antara yang secara langsung mempengaruhi risiko morbiditas
dan mortalitas. Untuk mempengaruhi kelangsungan hidup anak, semua determinan
social ekonomi harus melalui variabel-variabel antara yang dikelompokkan ke dalam
lima kategori, yaitu (1) faktor ibu; (2) Pencemaran lingkungan udara; (3) kekurangan
gizi;(4) luka dan (5) pengendalian penyakit perorangan.

2.11. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian
yang telah dimodifikasi dimana berdasarkan pendapat Manuaba, 2008.
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
Variabel Independen
Faktor ibu :
1. Pengetahuan
2. Paritas
3. Jarak antar
kelahiran
4. Riwayat penyakit

Variabel Dependen
Persalinan prematur

Persalinan
tidak prematur

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian