Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Cincau Hijau (Cyclea barbata) Pada Tikus Dengan Metode Defekasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
Di

IndonesiacincauhijauyangbernamalatinCycleabarbataMiers

banyak

ditemui di berbagai tempat, mulai dari pasar tradisional sampaisupermarket.Di
beberapadaerah,tanamaninidikenaldengan
namacamcao(Jawa),camcauh(Sunda),juju,

kepleng,krotok,tahulu,

tarawalu,telor,terungkemau(Melayu).Bagi masyarakatIndonesia cincau
dikonsumsi

sebagai


campuran

minuman

yang

hijau

menyegarkan.Ada

empatjeniscincauyangdikenalmasyarakat,yaitu cincau hijau, cincau hitam dan
cincau

minyak

serta

cincau

perdu.


Bentukfisikkeempattanamanini

sangatberbedasatusamalainnya.
NamunmasyarakatIndonesiaamatmenggemarijeniscincauhijau,hal
karenafisikdauncincauhijautipisdanlemassehinggalebihmudah

ini
diremas

untukdijadikan gelatinatauagar-agar. Aromacincauhijau tidak langu. Cincau hijau
yang

berbentuk

agar-agar

berasal

dari


daunnyayangdiremas-

remasdandicampurairmatang.Aircampuran
ituakanberwarnahijau.Setelahdisaringdandibiarkanmengendap,

akan

menghasilkan lapisan agar-agar berwarna hijau (Heny dan Dian, 2004).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophytap

7
Universitas Sumatera Utara


Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Ranales

Famili

: Menispermae

Genus

: Cyclea

Spesies

:Cyclea barbata L. Miers


(Heyne,1987).

2.1.2 Morfologi tumbuhan
Batang

tanaman

ini

bulat,

berdiameter

±

merambatkearahkananpadapohoninangsertatinggi/panjang ±
daunnya

seperti


perisai

berwarnahijau,bagianpangkalnyaberlekukdan

1

cm

dan

5-16 m. Bentuk

atau

jantung,

bagiantengah

melebar


sertaujungnya meruncing. Tepidaunberombak dan permukaan bawahnya berbulu
halus,sedang

permukaan

atasnyaberbulukasardanjarang.Panjangdaunbervariasi±5-16

cmdan

bertulangdaunmenjari (Heny dan Dian, 2004)
Dauncincauhijauyang

dipanenadalahdaunyangtidaktua

dantidakterlalumuda. Pemetikan daunnya harus
tersebut,

Bilatanamanini


melihat kondisi tanaman

rimbundansubur,dedaunnyabolehdipanen

banyak,tetapibilatanamanini

nampakkurusdantidaksubur,

makapemetikannyahanyaakanmerusaktanamancincauhijau itu

sendiri. Bunga

cincau hijau berbentuk kecil dan berkelompok.Bungajantanberwarnahijau
mudayang panjangnya ± 30-40 mm dan mempunyai kelopak bunga sebanyak
4-5kelopak. Sedangkan bunga betinanya lebihkecildenganpanjang
1,0mmdanmempunyai kelopakbunga sebanyak

1-2 kelopak

±0,7-


serta sebuah

8
Universitas Sumatera Utara

kelopak

yang berbulu. Benangsari mempunyaisatutangkaidengankepalasari

bergeromboldiujungnya.Setiapkepalasarimempunyaiempat

sel

yangakanpecahdengansendirinyajika sudahmasak.Buah tanamancincauhijaukecilkecil,berbentukbulat

dan

agak


berbulu.Setiapbuahmengandung1-2

bijiyangkerasberbentuk bulattelur.Akarcincauhijau dapattumbuhmembesarseperti
umbidenganbentuktidakteratur.Dalamkeadaansegar,akar

ini

berdagingdanmengandungbanyakcairan.Padaakaryang
sudahkering,warnakulitluarnya

berubah

menjadi

coklatke

abu-

abuan,mempunyaisisir-sisiryang membujur dan terlihatmenonjol (Taryono,
2003).

2.1.3 Kandungan Kimia Tumbuhan
Secaraumumkandungandauncincauhijau adalah karbohidrat,

lemak,

protein dan senyawa-senyawa lainnya sepertiPolifenol,Flavonoidsertamineralmineral danvitamin- vitamin,diantaranyaKalsium, Fosfor dan Vitamin A serta
Vitamin B (Hatta, 1995)
2.1.4 Kegunaan Kandungan Tumbuhan
2.1.4.1. Polifenol
Polifenol merupkan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagaiantioksidan.

Antioksidan

fenolikbiasanyadigunakanuntuk

mencegahkerusakan akibatreaksioksidasipada makanan,kosmetikdan farmasi serta
plastik. Fungsi polifenol sebagai penangkap danpengikat radikal bebas
darirusaknya ion-ionlogam.Kelompoktersebutsangat mudahlarut dalamair dan
lemaksertadapat

bereaksidengan

vitaminCdanvitaminE.Kelompok-

9
Universitas Sumatera Utara

kelompoksenyawafenolikterdiridariasam-asam

fenolat

flavonoid.Fenolmerupakanzat
antioksidasipemutusrantaiyang

antioksidandarigolongan
akan

berantaisehinggaakan mengendalikan dan
manusiadimanaperoksidasilipid

memotong

perbanyakanreaksi

mengurangi peroksidasi lipid

merupakanreaksi

rantaidenganberbagaiefek

yangberpotensialmerusak

danjugamerupakan

sumberradikalbebas.Efekdariradikalbebas
vivosehinggamenimbulkan

dan

adalah

perusakanjaringanin

penyakitkanker,proses

penuaan,peradangan,

aterosklerosisdan lain sebagainya (Raharjo, 2004).
2.1.4.2. Flavanoid
Senyawaflavonoidmempunyaiikatangula

yang

disebut

aglikon

yang

berikatan dengan berbagai gula dansangatmudahterhidrolisis ataumudahlepasdari
gugus

gulanya.Flavonoidmerupakanantioksidanyang

potensialuntuk

mencegahpembentukanradikalbebas. Senyawatersebut mempunyai

sifat anti

bakteri dananti viral (Raharjo, 2004)
2.1.4.3 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa, bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula
(glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida yang gulanya berupa
glukosa disebut glukosida. Glikosida dibedakan menjadi α- glikosida dan βglikosida. Pada tanaman, glikosida biasanya terdapat dalam bentuk beta.
Pembagian glikosida paling banyak berdasarkan aglikonnya. Umumnya glikosida
mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam
memerlukan panas hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, dkk.,

10
Universitas Sumatera Utara

2007).
2.1.4.4 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae
terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Sebagian
besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan
karena rasanya yang sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam
tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan (Robinson, 1995).
2.1.4.5 Steroida/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isopren dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualen. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks,
kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat (Harbone,
1987).
Triterpenoid adalah senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali
bertitik leleh tinggi dan aktif optik, dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa yaitu
triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Sebagian senyawa
triterpenoid juga merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat, yang
berkhasiat sebagai anti diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit kerusakan
hati dan malaria. Uji kualitatif yang banyak digunakan ialah reaksi LiebermannBurchard yang kebanyakan triterpena dan steroida memberikan warna hijau biru
(Harbone, 1987; Robinson, 1995).

11
Universitas Sumatera Utara

2.2 Simplisia dan Ekstrak
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (DepKes, 2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(DepKes, 2000).
Pembuatan sediaan ekstrak dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat
di simplisia terdapat dalam bentuk yang mempunyai kadar yang tinggi dan hal ini
memudahkan zat berkhasiat dapat diatur dosisnya (Anief, 1999).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam
dua cara yaitu:
a. Cara dingin, yaitu:
1. Maserasi, adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Secarap teknologi termasuk ekstraksi dengan
prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi

12
Universitas Sumatera Utara

kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umunya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali
bahan.
b. Cara Panas
1. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
2. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

13
Universitas Sumatera Utara

5. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama≥30
(

o

C) dan temperatur

sampai titik didih air (DepKes, 2000).

2.3 Uraian Usus Halus
Bagian saluran cerna tempat berlangsungnya pencernaan dan penyerapan
makanan adalah usus halus. Usus halus mulai dari pylorus dan berlingkar-lingkar
dalam rongga perut sampai ke usus besar. Garis tengah usus halus kira-kira 2,5
cm dan panjangnya sekitar 6,35 m. Secara anatomi usus halus dibagi dalam tiga
bagian, yaitu duodenum (kira-kira 25cm), yeyenum (kira-kira 2,5 cm), dan ileum
(kira-kira 3,6 m) (Anwar, 2000).
2.3.1 Histologi
Secara histologik, usus halus terdiri atas beberapa lapisan melingkar,
berupa lapisan otot (musculus) dan lampisan lender (mukosa). Lapisan yang
paling dalam (lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat
(Aiache, dkk., 1993)

Gambar 2.1 Irisan melintang saluran cerna
Lapisan submukosa terdiri atas anyaman jaringan fibrosa yang rapat dan
kuat, mengandung pembuluh darah besar, jaringan saraf (pleksus Meissner) dan

14
Universitas Sumatera Utara

kelenjar penghasil alkali. Dua lapis otot polos, yaitu otot sirkular (bentuk spiral
yang rapat) berperan dalam mengkontraksi usus dan otot longitudinal (spiral
panjang) berperan dalam memendekkan usus. Di dalam lapisan otot ini terdapat
jaringan saraf (pleksus Mienterikus). Lapisan serosa merupakan lapisan terluar
yang melapisi usus dan juga dinding rongga abdomen dimana usus terletak (Asih,
1996).
2.3.2 Gerakan Usus
Agar proses yang terjadi di dalam usus halus berjalan baik dan lancar,
dinding usus harus mencampuradukkan bubur makanan yang diterima dari
lambung dengan cairan usus, dan memaparkan bubur ini kepada permukaan
mukosa usus dan menggerakkan bubur isi usus ke bawah sepanjang usus ke arah
kolon (Anwar, 2000).
Saraf parasimpatik yang intrinsik membebaskan asetilkolin yang memulai
kontraksi usus. Sedangkan saraf-saraf simpatik akan membebaskan noradrenalin
yang akan merelaksasi dinding usus. Saraf parasimpatik yang ekstrinsik
merupakan cabang-cabang dari saraf vagus. Zat-zat kimia endogen yang dapat
menambah gerakan usus adalah gastrin, cholecystokinin, dan angiotensin II.
Adrenalin, noradrenalin dan secretin akan merelaksasi dinding usus. Zat-zat kimia
yang dibebaskan setempat yang dapat menambah gerakan usus adalah histamin,
prostaglandin dan serotonin, namun peran zat-zat kimia ini dalam pengendalian
gerakan usus yang normal tidak jelas (Anwar, 2000).
2.4 Uraian Diare
Diare adalah suatu kondisi yang menunjukkan frekuensi dan konsistensi
buang air besar yang meningkat dibandingkan dengan individu dalam kondisi

15
Universitas Sumatera Utara

pencernaan yang normal. Frekuensi dan konsistensi berbeda-beda pada tiap
individu. Sebagai contoh, beberapa individu defekasi tiga kali sehari, sedangkan
yang lainnya hanya dua atau tiga kali seminggu (Wells, dkk, 2006).
Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi
bubur (chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut
oleh enzim-enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari
90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar
(colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di colon mencerna lagi sisasisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat
diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Airnya juga direabsorpsi
kembali sehingga akhirnya isi usus menjadi lebih padat. Tetapi kadang terjadi
peristaltik usus yang meningkat sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan
masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja.
Penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya
resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi. Pada keadaan normal, proses
reabsorpsi dan sekresi dari air dan elektrolit-elektrolit berlangsung pada waktu
yang sama di sel-sel epitel mukosa. Proses ini diatur oleh beberapa hormon, yaitu
resorpsi oleh enkefalin, sekresi diatur oleh prostaglandin dan neurohormon V.I.P.
(Vasoactive Intestinal Peptide). Biasanya reabsorpsi melebihi sekresi, tetapi
karena suatu sebab sekresi menjadi lebih besar daripada reabsorpsi, oleh karena
itulah diare terjadi (Tan dan Rahardja, 2002).
2.4.1. Klasifikasi diare
Berdasarkan penyebabnya diare dapat dibedakan menjadi berikut:
1. Diare karena infeksi, meliputi :

16
Universitas Sumatera Utara

a. Diare akibat virus, misalnya influenza perut dan travelers diarrhea yang
disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus.
b. Diare akibat bakteri (invasif), dapat disebabkan oleh Salmonella, Shigella,
Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
c. Diare parasiter, dapat disebabkan oleh Entamooeba Hystolitica, Giardia
Lambia, Cryptosporidium dan Cyclospora yang terutama terjadi didaerah
tropis.
d. Diare akibat enterotoksin, penyebabnya adalah kuman-kuman yang
membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah E.Coli dan Vibrio
Cholerae dan yang jarang adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter dan
Entamoeba Hystolitica (Tjay dan Rahardja, 2002).
2. Klasifikasi berdasarkan organ yang terkena infeksi:
a. Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis, media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin, dan lainnya).
3. Klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut atau diare karena infeksi usus yang bersifat mendadak, dan bisa
berlangsung terus selama beberapa hari. Diare ini disebabkan oleh karena
infeksi usus sehingga dapat terjadi pada setiap umur dan bila menyerang
umumnya disebut gastroenteritis infantile.
b. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari dua minggu,
sedangkan diare yang sifatnya menahun diantara diare akut dan diare
kronik disebut diare sub akut (Suharyono, 1991).

17
Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Obat-obat diare
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan
menjadi beberapa kategori, yaitu:
1. Kemoterapeutik, untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab
diare, seperti antibiotik, sulfonamid, kinolon dan furazolidon.
2. Obstipansia, yang dibagi menjadi:
a. zat-zat penekan peristaltik, candu dan alkaloidanya, derivat petidin
(difenoksilat dan loperamid), dan antikolinergik (atropine dan ekstrak
belladonna).
b. adstringen, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak
(tanin) dan tanalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium.
c. adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya dapat
menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri. Yang termasuk
juga dalam golongan ini, antara lain adalah pektin, garam-garam bismuth
dan aluminium.
3. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare (Tjay dan Rahardja, 2002).
Obat antimotilitas (penekan peristaltik) secara luas digunakan sebagai
terapi simtomatis pada diare akut ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin.
difenoksilat dan kodein menstimulasi aktivitas reseptor μ pada neuron mienterikus
dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan konduktasi kaliumnya.
Hal tersebut menghambat pelepasan asetilkolin dari pleksus mienterikus dan
menurunkan motilitas usus. Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek
lokal pada usus karena tidak menembus ke dalam sawar otak. Oleh karena itu

18
Universitas Sumatera Utara

loperamid tidak dapat menyebabkan ketergantungan. Antibiotik, berguna hanya
pada infeksi spesifik tertentu, misalnya pada penyakit kolera dan disentri basiler
yang dapat diterapi dengan tetrasiklin. Kuinolon adalah obat yang lebih baru yang
tampaknya efektif melawan patogen diare yang paling penting (Neal, 2006).
2.5 Loperamid Hidrokloridum
Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang
dua sampai tiga kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat
sehingga tidak menimbulkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan
keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang
berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Loperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke
dalam otak tidak baik, sifat-sifat ini menunjang selektifitas kerjanya. Kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam sesudah minum obat. Masa laten
yang lama ini disebabkan oleh penghambatan motilitas saluran cerna dan karena
obat mengalami sirkulasi enterohepatik (Sardjonodkk., 2004). Loperamid
memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan
longitudinalis usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga
efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut.
Waktu paruh 7-14 jam (Marcellus, 2001). Kurang dari 2% dieliminasi renal tanpa
diubah, 30% dieliminasi fekal tanpa
diubah dan sisanya dieliminasi setelah mengalami metabolisme dalam hati
sebagai glukoroid ke dalam empedu (Bircher dan Lotterer, 1993).
2.6 Minyak Jarak

19
Universitas Sumatera Utara

Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasar dari biji Ricinus
communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus
halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar.
Minyak jarak juga bersifat emolien. Sebagai pencahar obat ini tidak banyak
digunakan lagi karena banyak obat yang lebih aman. Minyak jarak menyebabkan
kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan
induksi diare pada penelitian diare secara eksperimental pada hewan percobaan
(Teke, et al., 2007).
Menurut Katzung (2001), asam risinoleat hasil hidrolisis castor oil,
merupakan iritan lokal yang dapat meningkatkan motilitas usus. Mula kerjanya
cepat dan berlangsung terus sampai senyawa ini diekskresi melalui kolon. Dosis
oleum ricini adalah 2 sampai 3 sendok makan (15 sampai 30 ml), diberikan
sewaktu perut kosong. Efeknya timbul 1 sampai 6 jam setelah pemberian, berupa
pengeluaran buang air besar berbentuk encer (Anwar, 2000).

2.7 Metode-metode Pengujian Antidiare
Ada 3 metode yang biasa digunakan untuk pengujian antidiare, yaitu
(Vogel, 2002) :
1. Metode margens (pengamatan lintas norit)
Sampel dan norit diberikan pada hewan uji yang telah dibuat diare. Kemudian
dalam rentang waktu tertentu hewan dikorbankan, diukur panjang usus
keseluruhan. Hitung persentase lintasan norit dengan cara membandingkan
panjang lintasan norit dengan panjang usus. Jika persentase yang didapat lebih

20
Universitas Sumatera Utara

kecil dari kontrol bahwa dapat disimpulkan bahwa sampel uji memiliki efek
antidiare.
2. Metode pola defekasi
Pada metode ini diamati frekuensi buang air besar, konsistensi feses, massa
feses dan waktu terjadinya diare. Semuanya diamati dalam jangka waktu
tertentu. Jika frekuensi buang air besar lebih kecil, konsistensi feses lebih
padat, massa feses lebih banyak dan waktu diare lebih lama dibandingkan
kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa yang diuji memiliki efek sebaga anti
diare.
3. Secara in vitro
Metode ini digunakan untuk melihat apakah sampel uji dapat membunuh
mikroorganisme penyebab diare. Bisa dilakukan dengan metode cakram atau
tabung. Sampel uji dioleskan pada media yang sudah ditanami mikroba. Jika
terlihat adanya hambatan mikroba uji, maka disimpulkan bahwa sampel uji
memiliki efek antidiare dengan cara membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroba penyebab diare.

21
Universitas Sumatera Utara