Keragaman Makroalga Di Rataan Terumbu Karang Perairan Pulau Ungge Kabupaten Tapanuli Tengah

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Perairan Pantai

Perairan pantai sangat penting sebagai habitat berbagai jenis organisme. Perairan Pantai merupakan daerah peralihan antara perairan tawar dan laut, terutama di daerah-daerah dekat muara sungai. Sebagai daerah peralihan, Perairan Pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik. Kondisi perairan pantai yang baik, tidak hanya akan menguntungkan secara ekologis, tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat baik secara langsung bagi masyarakat nelayan maupun secara tidak langsung bagi masyarakat lainnya (Tobing, 2009).

2.2Terumbu Karang

Suharsono (1992) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa terumbu karang tersebar di seluruh dunia terutama di perairan tropis sampai dengan lintang 300 atau daerah sub tropis. Terumbu karang tumbuh dan berkembang dengan baik di tempat yang dangkal di daerah tropis. Pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti cahaya matahari, gelombang, perubahan iklim dan faktor geologis. Adanya faktor-faktor lingkungan ini mempengaruhi bentuk terumbu karang.

Kussen (1992) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa di dalam komunitas terumbu karang hubungan antara komponen abiotik dan biotik sangat erat. Fungsi hidup bersama dan simbiosis antara beberapa biota merupakan salah satu karakteristik komunitas terumbu karang, disamping adanya predasi dan kompetisi antara biota penghuni lainnya.

Ekosistem terumbu karang memberi manfaat langsung kepada manusia dengan menyediakan makanan, obat-obatan, bahan bangunan dan bahan lain. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Ia merupakan timbunan masif dari kapur CaCO3 yang terutama telah dihasilkan oleh hewan karang dengan


(2)

tambahan penting dari alga berkapur dan organisme-organisme lain penghasil kapur (Romimohtarto, 2009).

Komunitas makroalga sebagai salah satu komponen penting dari ekosistem terumbu karang, berpotensi menjadi pesaing utama dengan karang. Makroalga jarang dan baru mulai dikaji dalam ekologi terumbu karang pada beberapa tahun terakhir, meskipun peran alga sangat baik dalam membangun terumbu dan kehancuran terumbu. Bahkan sering alga disebut sebagai “biotic reefs” (Nessa, 2011).

2.3Morfologi Makroalga

Makroalga termasuk tumbuhan tingkat rendah (Thallophyta). Tumbuhan ini tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Makroalga dikenal dengan nama ganggang atau rumput laut (Handayani, 2009).

Makroalga umumnya disebut tallus. Tallus makroalga umumnya terdiri atas blade yang memiliki bentuk seperti daun, stipe (bagian yang menyerupai batang) dan holdfast yang merupakan bagian talus yang serupa dengan akar (Sumich, 1992).

Aslan (1998) dalam Oktaviani (2013), menyatakan bahwa bentuk talus makroalga bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut. Percabangan talus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi talus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang talus utama secara berselang-seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada pula yang sederhana dan tidak bercabang.

Sebagian besar alga laut berwarna indah dan ada pula yang bercahaya. Pigmen-pigmen dari kromatofor (chromatophore) menyadap sinar matahari untuk fotosintesis. Atas dasar warna yang dimiliki oleh alga laut yang berbeda antara satu kelompok dan kelompok yang lain, maka pembagian kelas dari divisi Thallophyta yang artinya tumbuh-tumbuhan bertalus ini mengikuti warna yang dimiliki (Romimohtarto, 2009).

Nontji (1993) dalam Oktaviani (2013), menyatakan bahwa secara sepintas banyak alga memperlihatkan bentuk luar seperti mempunyai akar, batang, daun,


(3)

dan bahkan buah. Alga pada hakikatnya tidak mempunyai akar, batang dan daun seperti terdapat pada tumbuhan yang lazim telah dikenal. Seluruh wujud alga itu terdiri dari seperti batang yang disebut “talus”, hanya bentuknya yang beraneka ragam.

2.4 Klasifikasi Makroalga

2.4.1 Chlorophyceae (Alga Hijau)

Dawes (1981) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa Chlorophyceae bersifat bentik dan planktonik. Kebanyakan hidup di periran tawar, namun ada juga bentuk yang terdapat di teresterial dan lautan. Bereproduksi secara seksual dan aseksual. Mempunyai klorofil a dan b, λ, β, γ karoten dan xantofil dengan cadangan makanan berupa kanji dan lemak seperti yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi.

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau, yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga hijau tersebut:

a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut.

b. Ulva mempunyai tallus berebentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karena itu

dinamakan sla laut. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berebentuk cakram pada batu atau pada substrat.

c. Valonia mempunyai tallus yang membentuk gelembung berisi cairan

berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang mati atau batu karang.

d. Dictyosphaera dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat

dinamakan bulung dan dimanfaatkan untuk sayuran.

e. Halimeda, alga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan

kapur di laut.

f. Chaetomorpha mempunyai tallus atau daunnya berbentuk benang yang

menggumpal.

g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang.

h. Udotea tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan Sulawesi, dan alga


(4)

i. Tydemania tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kejelukan 5-30 m di perairan jernih.

j. Bernetella menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan

terumbu karang.

k. Burgesenia mempunyai tallus berbentuk kantung silendrik berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.

l. Neomeris, tumbuh menempel pada substrat dari karang mati di dasar laut. Contoh Makroalga dari filum Chlorophyta

Gambar 1 Klasifikasi

Filum : Plantae Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Caulerpales Famili : Caulerpaceae Genus : Caulerpa Spesies : Caulerpa sp.

2.4.2 Phaeophyceae (Alga Coklat)

Dawes (1981) dalam Candra (1998), menyatakan bahwa umumnya tumbuh sebagai alga bentik, termasuk tumbuhan eukaryotik, menghasilkan zoospora dan


(5)

gamet-gamet biflagellata. Bereproduksi secara seksual dan aseksual. Secara seksual dengan zoospora motil aplanospora immotil atau dengan fusi gamet yang tersusun dengan isogami dan oogami. Mempunyai pigmen klorofil a dan c, β karoten, violasantin dan fukoxantin dengan cadangan makanan berupa laminarin. Jenis Phaeophyceae hampir semua terdapat di perairan laut. Yang termasuk

Phaeophyceae diantaranya adalah Sargassum, Turbinaria, Hormophysa.

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan yakni:

a. Cystoseira sp. yang hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu

karang dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama sama dengan komunitas Sargassum dan Turbinaria.

b. Dictyopteris, hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu

karang dan jarang dijumpai.

c. Dictyota, alga ini tumbuh menempel pada batu karang mati di daerah rataan

terumbu karang.

d. Hormophysa, hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk

cakram kecil. Hidup bercampur dengan Sargassum dan Turbinaria dan hidup di rataan terumbu karang.

e. Hydroclatrhus, tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu

karang dan penyebarannya luas di Indonesia.

f. Padin, tumbuh menempel di batu pada daerah rataan terumbu karang, baik di

tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung.

g. Sargassum, terdapat sangat melimpah mulai dari air surut pada pasut

bulan-setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terbedol dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut ke permukaan laut atau terdampat di bagian atas pantai.

h. Turbinaria, mempunyai cabang-cabang silendrik dengan diameter 2-3 mm


(6)

Gambar 2 Klasifikasi

Filum : Plantae Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Dictyotales Famili : Dictyotaceae Genus : Padina Spesies : Padina sp.

2.4.3. Rhodophyceae (Alga merah)

Rhodophyceae merupakan tumbuhan eukariotik yang tidak menghasilkan sel-sel yang berflagel, bereproduksi secara seksual dengan karpogonia dan spermatia, memiliki klorofil a, b dan mempunyai pigmen fikobilin yang terdiri dari pigmen fikoeritrin dengan cadangan makanan berupa pati fluoridean (Candra, 1998).

Menurut Romimohtarto (2009), di Indonesia tercatat 17 marga terdiri dari 34 jenis. Berikut catatn singkat dari marga-marga alga merah tersebut:

a. Achanthophora, hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya.

b. Actinotrichia, terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang mati.

Sebarannya luas, terdapat pula di padang lamun.

c. Amansia, tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang dan dapat


(7)

d. Amphiroa, tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir atau mempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun.

e. Chondrococcus, tumbuh melekat pada substrat batu di ujung luar rataan

terumbu yang senantiasa terendam air

f. Corallina, alga ini tumbuh di bagian luar terumbu karang yang biasa terkena

ombak langsung.

g. Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut

rata-rata pada pasut bulan-setengah.

h. Galaxaura, tumbuh melekat pada substrat batu di rataan terumbu.

i. Gelidiella, tumbuh menempel pada batu di mintakat pasut atau di bawah

pasut.

j. Gigartina, tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu, terutama di

tempat-tempat yang masih tergenang air pada air surut terendah. k. Gracilaria, terdiri dari tujuh jenis

l. Halymenia, hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu karang yang selalu tergenang air.

m. Hypnea, hidup di habitat berpasir atau berbatu, ada pula yang bersifat epifit.

n. Laurencia, hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang. o. Rhodymenia, hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu. p. Titanophora, jarang dijumpai. Jenis ini terdapat di perairan Sulawesi.

q. Porphyra adalah alga kosmopolitan, alga ini terdapat mulai dari perairan


(8)

Gambar 3 Klasifikasi

Filum : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Hypnales Famili : Hypneaceae Genus : Hypnea Spesies : Hypnea sp.

2.5Habitat Makroalga

Arthur (1972) dalam Kadi (2009), menyatakan bahwa kompleksitas habitat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keragaman jenis. Substrat dasar makroalga yang utama yakni pasir, pecahan karang, karang mati, dan batu karang.

Sebagian besar alga hidup pada ekosistem terumbu karang baik pada daerah rataan terumbu (reef flat) atau lereng terumbu (reef slope) bahkan ada pula yang dapat hidup pada lautan dalam yang sangat sedikit terjangkau oleh sinar matahari. Daerah rataan terumbu karang yang tidak begitu dalam, lebih banyak menerima cahaya matahari dan terjangkau oleh cahaya matahari, sehingga suhu air laut pada daerah tersebut juga lebih tinggi dan arusnya tidak sekuat pada daerah lereng terumbu yang lebih dalam (Candra, 1998).


(9)

Sebagai salah satu organisme yang banyak dijumpai hampir di seluruh pesisir Indonesia, terutama di pesisir yang mempunyai rataan terumbu karang, makroalga menempati posisi sebagai produsen primer yang menyokong kehidupan organisme lain pada tropik level yang lebih tinggi di dalam perairan. Selain itu, makroalga juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya, yaitu sebagai tempat ikan berlindung, biofilter bagi laut, serta dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan. Makroalga umumnya hidup di dasar laut dan substratnya berupa pasir, pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut (Yudasmara, 2011).

2.6 Manfaat Makroalga

Salah satu manfaat alga yang sangat penting adalah sebagai penghasil utama bahan organik di dalam ekosistem perairan. Dalam ekosistem perairan, keberadaan alga merupakan bagian utama dari rantai makanan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang terjadi pada alga. Sebab aktivitas fotosintesis merupakan sumber oksigen terhadap lingkungan perairan di sekitarnya, dimana akan memberikan keuntungan secara langsung terhadap organisme lainnya yang hidup dalam air (Rasyid, 2004).

Disamping itu alga juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan karena alga juga mengandung komposisi zat gizi yang lengkap, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin yang diperlukan oleh manusia. Selain mengandung karbohidrat, protein (7-30%) dan sedikit lemak, rumput laut juga mengandung polisakarida (40-50%). Karbohidrat yang terkandung dalam rumput laut tidak dapat diasimilasi untuk menghasilkan energi, sehingga rumput laut sangat baik digunakan sebagai makanan diet (Kordi, 2010).

Keberadaan makroalga sebagai organisme produser memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama organisme-organisme herbivora di perairan laut. Dari segi ekologi makroalga juga berfungsi sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang. Selain itu juga dapat menunjang kebutuhan hidup manusia (Oktaviani, 2013).


(10)

Keberadaan makroalga di rataan terumbu merupakan sediaan bahan makanan, obat-obatan bagi manusia juga sebagai ladang pakan bagi biota herbivor. Makroalga yang dapat dikonsumsi banyak diperoleh dari marga

Caulerpa, Gracilaria, Gelidiella, Eucheuma, dan Gelidium. Kehadiran, pertumbu

han sampai perkembangbiakan makroalga lebih banyak dijumpai pada substrat yang stabil dan keras, sehingga tidak mudah terkikis oleh arus dan ombak (Kadi, 2006).

Alga coklat yang banyak digunakan sebagai bahan makanan adalah Alaria,

Lami-naria, Sargassum, dan Durvillea. Algae merah yang banyak digunakan

sebagai bahan makanan adalah Porphyra, Palmaria, Chondrus, Gigartina dan

Rhodymenia. Alga hijau terpenting yang banyak digunakan untuk bahan makanan

seperti Monostroma, Ulva, Codium dan Chlorella. Algae hijau-biru yang banyak digunakan untuk bahan makanan adalah Nostoccommune yang di China dikenal dengan nama "yuyucho" (Rasyid, 2004).

2.7Prospek Ekonomi Makroalga

Jenis-jenis alga menjadi penting secara ekonomi disebabkan oleh senyawa polisakarida yang dikandungnya. Jenis-jenis yang mudah diperoleh di perairan Indonesia adalah marga Eucheuma dan Hypnea (penghasil karaginan), Grasilaria

dan Gelidium (penghasil agar), serta Sargassum dan Turbinaria (penghasil

alginat). Rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) atau penghasil agar

(agarofit) masuk ke dalam kelas Rhodophyceae atau alga merah, sedangkan

penghasil alginat (alginofit) berasal dari kelas Phaephyceae (Kordi, 2010).

Alga merupakan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut (Langoy, 2011).

2.8Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Komunitas Makroalga

2.8.1 Suhu

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa temperatur optimal untuk tumbuhan alga dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : berkisar 0–10 °C untuk alga di daerah beriklim hangat dan 15°C–30°C untuk alga hidup di daerah


(11)

tropis. Sulistiyo (1976), menyatakan pertumbuhan yang baik untuk alga di daerah tropis adalah 20°C–30°C.

Chapman (1997) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup pada perairan iklim tropis dan iklim dingin.Perubahan suhu yang ekstrim akan mengakibatkan kematian bagi makroalga, terganggunya tahap-tahap reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan. Dan secara fisiologis suhu rendah mengakibatkan aktivitas biokimia dalam tallus berhenti, sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimia dalam tallus makroalga.

2.8.2 Salinitas

Sebagai adaptasi terhadap fruktuasi salinitas di habitatnya, makroalga dapat mengatur konsentrasi ion di dalam tubuhnya seperti K, Na, Cl dan konsentrasi bahan organik seperti Manitol (alga coklat), Floridoside (alga merah), dan Sukrosa (alga hijau). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar konsentrasi cairan di luar sel dan di dalam sel seimbang (Palallo, 2013).

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30-32 ‰, namun banyak jenis makro alga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis.

2.8.3 Kedalaman

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup di daerah litoral dan sublitoral dengan penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman hingga 200m, namun sebagian besar makroalga dijumpai di berbagai paparan terumbu karang seperti pulau-pulau perairan Sulawesi Selatan.

Nybaken (1992) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa organisme menyenangi lingkungan yang tenang dimana gerakan air yang disebabkan oleh gelombang dan arus relatif kecil. Untuk kedalaman, stasiun ini memiliki kedalaman yang lebih dangkal sehingga memungkinkan intensitas cahaya


(12)

matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi sehingga mempengaruhi produktivitas makroalga.

2.8.4 Nitrat

Aslan (1998) dan Effendi (2003) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa Nitrat (NO3) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa yang stabil. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan. Kadar nitrat dan fosfat di perairan akan mempengaruhi kesuburan gametofit algae coklat (Laminaria nigrescence) juga mengatakan kandungan nitrat rata-rata di perairan laut sebesar 0,5 ppm dan kandungan fosfat lebih rendah dari itu, kedua senyawa tersebut bisa melebihi batas pada wilayah permukaan air.

2.8.5 Fosfat

Belliveau dan Paul (2002) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari detergen. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan Keberadaan nitrogen dapat menstimulir pertumbuhan alga di perairan.


(1)

d. Amphiroa, tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir atau mempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun.

e. Chondrococcus, tumbuh melekat pada substrat batu di ujung luar rataan

terumbu yang senantiasa terendam air

f. Corallina, alga ini tumbuh di bagian luar terumbu karang yang biasa terkena

ombak langsung.

g. Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut

rata-rata pada pasut bulan-setengah.

h. Galaxaura, tumbuh melekat pada substrat batu di rataan terumbu.

i. Gelidiella, tumbuh menempel pada batu di mintakat pasut atau di bawah

pasut.

j. Gigartina, tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu, terutama di

tempat-tempat yang masih tergenang air pada air surut terendah. k. Gracilaria, terdiri dari tujuh jenis

l. Halymenia, hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu karang yang selalu tergenang air.

m. Hypnea, hidup di habitat berpasir atau berbatu, ada pula yang bersifat epifit.

n. Laurencia, hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang. o. Rhodymenia, hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu. p. Titanophora, jarang dijumpai. Jenis ini terdapat di perairan Sulawesi.

q. Porphyra adalah alga kosmopolitan, alga ini terdapat mulai dari perairan


(2)

Gambar 3 Klasifikasi

Filum : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Hypnales Famili : Hypneaceae Genus : Hypnea Spesies : Hypnea sp.

2.5Habitat Makroalga

Arthur (1972) dalam Kadi (2009), menyatakan bahwa kompleksitas habitat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keragaman jenis. Substrat dasar makroalga yang utama yakni pasir, pecahan karang, karang mati, dan batu karang.

Sebagian besar alga hidup pada ekosistem terumbu karang baik pada daerah rataan terumbu (reef flat) atau lereng terumbu (reef slope) bahkan ada pula yang dapat hidup pada lautan dalam yang sangat sedikit terjangkau oleh sinar matahari. Daerah rataan terumbu karang yang tidak begitu dalam, lebih banyak menerima cahaya matahari dan terjangkau oleh cahaya matahari, sehingga suhu air laut pada daerah tersebut juga lebih tinggi dan arusnya tidak sekuat pada daerah lereng terumbu yang lebih dalam (Candra, 1998).


(3)

Sebagai salah satu organisme yang banyak dijumpai hampir di seluruh pesisir Indonesia, terutama di pesisir yang mempunyai rataan terumbu karang, makroalga menempati posisi sebagai produsen primer yang menyokong kehidupan organisme lain pada tropik level yang lebih tinggi di dalam perairan. Selain itu, makroalga juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya, yaitu sebagai tempat ikan berlindung, biofilter bagi laut, serta dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan. Makroalga umumnya hidup di dasar laut dan substratnya berupa pasir, pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut (Yudasmara, 2011).

2.6 Manfaat Makroalga

Salah satu manfaat alga yang sangat penting adalah sebagai penghasil utama bahan organik di dalam ekosistem perairan. Dalam ekosistem perairan, keberadaan alga merupakan bagian utama dari rantai makanan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang terjadi pada alga. Sebab aktivitas fotosintesis merupakan sumber oksigen terhadap lingkungan perairan di sekitarnya, dimana akan memberikan keuntungan secara langsung terhadap organisme lainnya yang hidup dalam air (Rasyid, 2004).

Disamping itu alga juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri makanan karena alga juga mengandung komposisi zat gizi yang lengkap, seperti protein, lemak, mineral, dan vitamin yang diperlukan oleh manusia. Selain mengandung karbohidrat, protein (7-30%) dan sedikit lemak, rumput laut juga mengandung polisakarida (40-50%). Karbohidrat yang terkandung dalam rumput laut tidak dapat diasimilasi untuk menghasilkan energi, sehingga rumput laut sangat baik digunakan sebagai makanan diet (Kordi, 2010).

Keberadaan makroalga sebagai organisme produser memberikan sumbangan yang berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama organisme-organisme herbivora di perairan laut. Dari segi ekologi makroalga juga berfungsi sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang. Selain itu juga dapat menunjang kebutuhan hidup manusia (Oktaviani, 2013).


(4)

Keberadaan makroalga di rataan terumbu merupakan sediaan bahan makanan, obat-obatan bagi manusia juga sebagai ladang pakan bagi biota herbivor. Makroalga yang dapat dikonsumsi banyak diperoleh dari marga

Caulerpa, Gracilaria, Gelidiella, Eucheuma, dan Gelidium. Kehadiran, pertumbu

han sampai perkembangbiakan makroalga lebih banyak dijumpai pada substrat yang stabil dan keras, sehingga tidak mudah terkikis oleh arus dan ombak (Kadi, 2006).

Alga coklat yang banyak digunakan sebagai bahan makanan adalah Alaria,

Lami-naria, Sargassum, dan Durvillea. Algae merah yang banyak digunakan

sebagai bahan makanan adalah Porphyra, Palmaria, Chondrus, Gigartina dan

Rhodymenia. Alga hijau terpenting yang banyak digunakan untuk bahan makanan

seperti Monostroma, Ulva, Codium dan Chlorella. Algae hijau-biru yang banyak digunakan untuk bahan makanan adalah Nostoccommune yang di China dikenal dengan nama "yuyucho" (Rasyid, 2004).

2.7Prospek Ekonomi Makroalga

Jenis-jenis alga menjadi penting secara ekonomi disebabkan oleh senyawa polisakarida yang dikandungnya. Jenis-jenis yang mudah diperoleh di perairan Indonesia adalah marga Eucheuma dan Hypnea (penghasil karaginan), Grasilaria

dan Gelidium (penghasil agar), serta Sargassum dan Turbinaria (penghasil

alginat). Rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) atau penghasil agar

(agarofit) masuk ke dalam kelas Rhodophyceae atau alga merah, sedangkan

penghasil alginat (alginofit) berasal dari kelas Phaephyceae (Kordi, 2010).

Alga merupakan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut (Langoy, 2011).

2.8Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Komunitas

Makroalga 2.8.1 Suhu

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa temperatur optimal untuk tumbuhan alga dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : berkisar 0–10 °C untuk alga di daerah beriklim hangat dan 15°C–30°C untuk alga hidup di daerah


(5)

tropis. Sulistiyo (1976), menyatakan pertumbuhan yang baik untuk alga di daerah tropis adalah 20°C–30°C.

Chapman (1997) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup pada perairan iklim tropis dan iklim dingin.Perubahan suhu yang ekstrim akan mengakibatkan kematian bagi makroalga, terganggunya tahap-tahap reproduksi dan terhambatnya pertumbuhan. Dan secara fisiologis suhu rendah mengakibatkan aktivitas biokimia dalam tallus berhenti, sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya enzim dan hancurnya mekanisme biokimia dalam tallus makroalga.

2.8.2 Salinitas

Sebagai adaptasi terhadap fruktuasi salinitas di habitatnya, makroalga dapat mengatur konsentrasi ion di dalam tubuhnya seperti K, Na, Cl dan konsentrasi bahan organik seperti Manitol (alga coklat), Floridoside (alga merah), dan Sukrosa (alga hijau). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar konsentrasi cairan di luar sel dan di dalam sel seimbang (Palallo, 2013).

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30-32 ‰, namun banyak jenis makro alga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis.

2.8.3 Kedalaman

Luning (1990) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa makroalga hidup di daerah litoral dan sublitoral dengan penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman hingga 200m, namun sebagian besar makroalga dijumpai di berbagai paparan terumbu karang seperti pulau-pulau perairan Sulawesi Selatan.

Nybaken (1992) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa organisme menyenangi lingkungan yang tenang dimana gerakan air yang disebabkan oleh gelombang dan arus relatif kecil. Untuk kedalaman, stasiun ini memiliki kedalaman yang lebih dangkal sehingga memungkinkan intensitas cahaya


(6)

matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi sehingga mempengaruhi produktivitas makroalga.

2.8.4 Nitrat

Aslan (1998) dan Effendi (2003) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa Nitrat (NO3) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa yang stabil. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan. Kadar nitrat dan fosfat di perairan akan mempengaruhi kesuburan gametofit algae coklat (Laminaria nigrescence) juga mengatakan kandungan nitrat rata-rata di perairan laut sebesar 0,5 ppm dan kandungan fosfat lebih rendah dari itu, kedua senyawa tersebut bisa melebihi batas pada wilayah permukaan air.

2.8.5 Fosfat

Belliveau dan Paul (2002) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari detergen. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan Keberadaan nitrogen dapat menstimulir pertumbuhan alga di perairan.