Perlindungan Hukum Terhadap Perusahaan Asuransi Dengan Perusahaan Reasuransi Yang Dicabut Izin Usahanya

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha, mengingat di satu pihak terdapat berbagai resiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya. Di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya.

Usaha asuransi merupakan usaha yang dapat menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha itu juga menyangkut dana masyarakat. Melalui kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan itu, maka industri perasuransian akan memerlukan pembinaan dan pengawasan yang berkesinambungan dari pemerintah dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat.

Perusahaan perasuransian wajib untuk memelihara usaha yang sehat. Namun dalam perkembangannya, ada kalanya perusahaan asuransi tidak dapat melaksanakan usaha dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang - undang, diantaranya masalah kekayaaan perusahaan yang tidak mendukung


(2)

pertumbuhan perusahaan asuransi. Demikian tentunya perusahaan asuransi dapat dinyatakan pailit, sebagaimana yang ditentukan dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disebut UUP) Pasal 20 ayat (1) yaitu dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1), yaitu dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3) bahwa sebelum pencabutan izin usaha, Menteri dapat memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya, maka Menteri berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Dikaitkan dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU) Pasal 2 ayat (5) menyatakan bahwa dalam hal debitur adalah perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai


(3)

lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.1

Jika suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat

Menurut UUP Pasal 18, dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usaha telah dilaksanakan dan apabila pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan termaksud, maka Menteri Keuangan dapat mencabut izin usaha perusahaan. Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri Keuangan dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas. Akan tetapi menurut UUP Pasal 19, apabila perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 4 (empat) bulan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali.

Menurut UUP Pasal 20, dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, maka Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum dapat meminta kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa yang likuiditas merupakan hak utama.

1

Mosgan Situmorang, Laporan Akhir pengkajian Hukum Tentang Aspek Hukum Pemailitan perusahaan Asuransi Di Indonesia (Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi ManusiaRI, 2005), hlm. 1-2.


(4)

memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang berdasarkan undang - undang ini untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan pemegang polis.2

Pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi pemegang polis sebelum dilakukannya pencabutan izin usaha asuransi sudah diatur dengan baik dan mendetail, yakni adanya ketentuan asas spesialisasi, persyaratan bagi direksi dan komisaris untuk dinilai kemampuan dan kepatutan, persyaratan bagi perusahaan asuransi untuk mempekerjakan secara tetap tenaga ahli yang berkualifikasi sesuai bidang asuransi yang memberikan petunjuk perusahaan dikelola secara profesional, pengaturan mengenai batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan, kewajiban perusahaan asuransi untuk diaudit laporan keuangannya oleh akuntan publik, adanya ketentuan bagi perusahaan asuransi menempatkan dana jaminan, kewajiban untuk memiliki dukungan reasuransi, dan adanya ketentuan dasar dalam penyusunan polis. Namun yang berkaitan dengan upaya-upaya pemerintah di dalam memberikan perlindungan bagi pemegang polis dalam pencabutan izin usaha asuransi, di dalam pelaskanaannya Pemerintah masih terbatas penanganannya atas perusahaan asuransi.3

2

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan kelima (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 45.

3

2014, pukul 23:14:51 WIB)


(5)

Berdasarkan uraian tersebut, hal mengenai perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi yang dicabut izin usahanya merupakan sesuatu yang penting untuk diteliti.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimanapengaturan usaha perasuransian di Indonesia ?

2. Bagaimanakah akibat hukum pencabutan izin usaha reasuransi terhadap perusahaan asuransi ?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi yang izin usaha perusahaan reasuransinya dicabut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu:

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan usaha perasuransian di Indonesia.

b. Untuk mengetahui akibat hukum pencabutan izin usaha reasuransi terhadap perusahaan asuransi.

c. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi yang izin usaha perusahaan reasuransinya dicabut.


(6)

2. Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam menangani perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi yang dicabut izin usaha yang terjadi di Indonesia dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, serta pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan Pencabutan Izin Usaha Perasuransian.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam menangani perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi dengan perusahaan reasuransi yang dicabut izin usahanya, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dalam menangani Pencabutan Izin Usaha Perasuransian.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Perusahaan Asuransi Dengan Perusahaan


(7)

Reasuransi Yang Dicabut Izin Usahanya”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.

E. Tinjauan Pustaka

Kata asuransi dalam bahasa Belanda disebut assurantie yang terdiri dari kata “assurandeur” yang berarti penanggung dan “geassurende” yang berarti tertanggung. Kemdian dalam bahasa Perancis disebut “assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi. Sedangkan dalam bahasa latin disebut

“assecurare” yang berarti menyakinkan orang. Selanjutnya bahasa Inggris kata asuransi disebut “insurance” yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dan “assurance” yang berarti menaggung sesuatu yang pasti terjadi.4

Apalagi dengan lahirnya UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, maka secara perlahan dan bertahap masyarakat Indonesia sudah mulai berminat untuk melakukan usaha Masalah asuransi di Indonesia mengenal dua istilah yakni pertanggungan dan asuransi sendiri. Kedua istilah itu berasal dari bahasa Belanda, yakni

verzekering dan asurantie. Dalam bahasa Inggris juga dikenal dua istilah, yakni

assurantie dan insurance.

4

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 292.


(8)

asuransi baik asuransi terhadap harta kekayaan, benda-benda berharga, maupun jiwanya untuk mengalihkan resiko mereka kepada perusahaan asuransi. Sejalan dengan hal tersebut, saat ini telah tumbuh cukup banyak perusahaan asuransi di Indonesia dengan berbagai jenis usaha asuransi.5

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) dan UUP tidak membakukan salah satu istilah tersebut. Keduanya memakai rumusan pertanggungan atau asuransi (verzekering of asurantie). Istilah penanggung

(verzekering) dan tertanggung (verzekerde). Istilah asuransi melahirkan istilah

assurador atau assurandeur (penanggung) dan geassuraarde (tertanggung).6

Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan ekonomi lainnya.7

Pasal 246 KUHD menyatakan asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang Usaha persuransian sebagai salah satu lembaga keuangan non bank menjadi semakin penting peranannya, karena dari kegiatan usahanya selain memberikan proteksi kepada masyarakat juga merupakan lembaga penghimpun dana yang bersumber dari penerimaan premi asuransi dari masyarakat dimana dana ini dapat diinvestasikan pada sektor-sektor yang produktif dan aman serta diharapkan industri asuransi ini dapat semakin meningkatkan pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.

5

K. Martono dan Budi Eka Tjahjono, Asuransi Transportasi Darat, Laut dan Udara

(Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2011), hlm. 2. 6

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Penerbit FH UII Press, 2006), hlm. 194.

7

Abdul R. Saliman, Hermansyah & Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh, Kasus (Jakarta: Penerbit Prenada Media Group, 2005), hlm. 219.


(9)

tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.

Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dalam asuransi terkandung empat unsur yaitu:8

1. Pihak tertanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur; 2. Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar sejumlah

uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau secara berangsur-angsur apabila terjadi sesuatu yang mengandung unsur tidak tentu;

3. Suatu peristiwa (accident) yang tak tertentu (tidak diketahui sebelumnya); dan

4. Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena peristiwa yang tak tentu.

Menurut UUP Pasal 7, bentuk badan hukum yang diperbolehkan bagi perusahaan asuransi adalah :

1. Untuk perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi, badan hukum yang diperbolehkan perseroan terbatas atau koperasi. Dalam hal perusahaan itu milik negara, bentuk hukumnya adalah perseroan terbatas dan sering disebut perusahaan perseroan (persero).

2. Untuk perusahaan asuransi jiwa, bisa berbentuk perseroan terbatas, atau koperasi, atau usaha bersama (mutual).

3. Untuk perusahaan broker dan perusahaan adjuster, badan hukum yang diperbolehkan perseroan terbatas atau koperasi.

8

Elsi Kartika Sari, & Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Edisi Revisi (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 87.


(10)

4. Bagi perusahaan konsultan aktuaria dan agen asuransi, boleh perseroan terbatas atau koperasi, atau perorangan.

Setiap usaha perasuransian dijalankan oleh perusahaan perasuransian. Perusahaan perasuransian meliputi perusahaan asuransi dan perusahaan penunjang asuransi. Menurut UUP Pasal 4, perusahaan asuransi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis dengan lingkup kegiatannya sebagai berikut :

1. Perusahaan asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.

2. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundangundangan dana pensiun yang berlaku.

3. Perusahaan reasuansi hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi ulang. Berdasarkan ketentuan ini, setiap perusahaan asuransi hanya dapat menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan, tidak dimungkinkan adanya suatu perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Menurut ketentuan pasal 4 ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan.

Perusahaan asuransi akan memberikan perlindungan ke tertanggung jika terjadi berbagai resiko di masa mendatang. Pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang dipertanggungkan jika resiko itu benar-benar terjadi. Nilai yang dipertanggungkan adalah besarnya dana yang telah disepakati antara pihak penanggung dan tertanggung dan dituangkan dalam perjanjian yang dikenal


(11)

dengan polis asuransi. Perlindungan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat dimana pun dan dalam kondisi apapun. Kerugian karena kehilangan, bencana alam, perang, huru hara, kebakaran, kecelakaan, dan berbagai peristiwa tidak terduga lainnya dapat muncul secara tiba-tiba. Hal ini menyebabkan seseorang menderita kerugian keuangan yang besar dan bahkan sebagian orang tidak dapat melanjutkan kegiatan lagi, sehingga juga menimbulkan kerugian bagi ahli warisnya. Dengan adanya mekanisme proteksi yang diberikan pihak asuransi, resiko tersebut dapat diminimalisir sehingga mereka yang terkena resiko dapat terus menjalankan aktivitasnya seperti semula.9

Untuk sebagian atau seluruh kerugian finansial yang terkait dengan peristiwa atau resiko yang tidak terduga. perlindungan ini dilaksanakan melalui mekanisme penampungan dimana banyak orang - orang yang rentan terhadap resiko tertentu bergabung bersama ke dalam sebuah penampungan resiko (risk pool). Setiap orang membayar sejumlah kecil uang, yang dikenal sebagai premi, kepada suatu penampungan, yang kemudian digunakan untuk memberi kompensasi kepada individu yang malang yang benar-benar mengalami suatu kerugian. Asuransi mengurangi kerentanan dengan mengganti prospek kerugian yang besar dengan kepastian melakukan pembayaran premi yang kecil dan berkala. Konsep penampungan resiko ini menjadikan asuransi sebuah cara yang

9

Ade Arthesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (Jakarta: Penerbit PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2006), hlm. 236.


(12)

efisien untuk berlindung terhadap tipe resiko tertentu; hal ini juga menyebabkan kerumitan dalam merancang dan menyediakan produk asuransi.10

Perkembangan usaha perasuransian di dunia dewasa ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa betapa jauhnya berkembangan produk-produk asuransi baik komersial maupun sosial yang ditawarkan kepada masyarakat. Dari usaha perasuransian secara konsisten berkembang untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pasar. Beberapa contoh antara lain, asuransi rumah tangga, asuransi kejahatan dan sosial. Dengan menggunakan referensi perkembangan usaha perasuransian di Indonesia seyogyanya mampu untuk segera menyesuaikan diri dalam rangka memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar.11

Putusan pailit dapat dicabut dalam hal harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan termasuk imbalan jasa kurator. Pencabutan kepailitan dilakukan Majelis Hakim yang memutus perkara pailit berdasarkan rekomendasi Hakim Pengawas karena kondisi kekayaan maupun kegiatan usaha dari debitur pailit berada dalam keadaan sangat tidak mampu membayar tagihan - tagihan dari kreditur atau bahkan tidak mempunyai aset sama sekali. Rekomendasi yang dikeluarkan Hakim Pengawas didasarkan pada laporan kurator yang menemukan bahwa harta pailit maupun usaha debitur pailit tidak akan mampu membayar

10

Craig F. Churchill, Dominic Liber, Michael J. Mccord & James Roth, Memberdayakan Asuransi bagi Lembaga Keuangan Mikro: Petunjuk Teknis untuk Mengembangkan dan Menawarkan Asuransi Mikro (Jakarta: International Labour Organization, 2003), hlm. 9.

11

Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013), hlm.131.


(13)

utang-utangnya. Bahkan imbalan jasa kurator pun tidak mencukupi dari hasil penjualan harta debitur pailit.12

Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip dan tahap kedua pemberian izin usaha. Akan tetapi, persetujuan prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut.

Pencabutan kepailitan yang sedemikian dapat dilakukan atas dasar UUKPKPU Pasal 18 ayat (1) : “Dalam hal harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan maka pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditur sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar debitur, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit.”

13

Putusan pencabutan pernyataan pailit diumumkan oleh panitera pengadilan niaga dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi dan/atau peninjauan kembali.14

12

Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. TataNusa, 2012), hlm. 128-129.

13

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Pasal 9 dan 10.

14 Ibid


(14)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi.15

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau dalam hal hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16

15

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 20.

16

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperolah gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.


(15)

2. Sumber data

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.17

a. Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perUndang - Undangan di bidang kepailitan, antara lain:

b. KUHD c. UUP d. UUKPKPU

e. Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

(selanjutnya disebut UUPT )

f. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Usaha

Perasuransian (selanjutnya disebut PPPUP).

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.


(16)

dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perUndang - Undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.18

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan 4. Analisis data

18

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan


(17)

saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.19

G. Sistematika penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN USAHA PERASURANSIAN DI INDONESIA Dalam bab ini berisi tentang Pengertian Asuransi, Usaha Perasuransian menurut UU Nomor 2 Tahun 1992, Dasar Hukum Usaha Perasuransian, Bentuk Hukum Usaha Asuransi dan Reasuransi, Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi dan Perizinan Usaha Perasuransian.

BAB III AKIBAT HUKUM PENCABUTAN IZIN USAHA

PERUSAHAAN REASURANSI TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI

19


(18)

Bab ini berisikan tentang Penyebab Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi, Kewenangan Pencabutan Izin dan Akibat Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN

ASURANSI ATAS PENCABUTAN IZIN USAHA

PERUSAHAAN REASURANSI

Bab ini berisi tentang Hubungan Hukum antara Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi, dan Nasabah Perusahaan Asuransi, Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Asuransi atas Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi, Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh oleh Perusahaan Asuransi atas Kerugian Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi dan Tanggung Jawab Perusahaan Reasuransi yang Izin Usahanya Dicabut terhadap Nasabah Perusahaan Asuransi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


(1)

utang-utangnya. Bahkan imbalan jasa kurator pun tidak mencukupi dari hasil penjualan harta debitur pailit.12

Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip dan tahap kedua pemberian izin usaha. Akan tetapi, persetujuan prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut.

Pencabutan kepailitan yang sedemikian dapat dilakukan atas dasar UUKPKPU Pasal 18 ayat (1) : “Dalam hal harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan maka pengadilan atas usul Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditur sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar debitur, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit.”

13

Putusan pencabutan pernyataan pailit diumumkan oleh panitera pengadilan niaga dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi dan/atau peninjauan kembali.14

12

Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. TataNusa, 2012), hlm. 128-129.

13

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Pasal 9 dan 10.

14 Ibid


(2)

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi.15

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau dalam hal hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16

15

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 20.

16

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperolah gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.


(3)

2. Sumber data

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.17

a. Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perUndang - Undangan di bidang kepailitan, antara lain:

b. KUHD c. UUP d. UUKPKPU

e. Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT )

f. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (selanjutnya disebut PPPUP).

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

17

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.


(4)

dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perUndang - Undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.18

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan 4. Analisis data

18

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 24.


(5)

saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.19

G. Sistematika penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN USAHA PERASURANSIAN DI INDONESIA Dalam bab ini berisi tentang Pengertian Asuransi, Usaha Perasuransian menurut UU Nomor 2 Tahun 1992, Dasar Hukum Usaha Perasuransian, Bentuk Hukum Usaha Asuransi dan Reasuransi, Para Pihak dalam Perjanjian Asuransi dan Perizinan Usaha Perasuransian.

BAB III AKIBAT HUKUM PENCABUTAN IZIN USAHA

PERUSAHAAN REASURANSI TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI

19


(6)

Bab ini berisikan tentang Penyebab Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi, Kewenangan Pencabutan Izin dan Akibat Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN

ASURANSI ATAS PENCABUTAN IZIN USAHA

PERUSAHAAN REASURANSI

Bab ini berisi tentang Hubungan Hukum antara Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Asuransi, dan Nasabah Perusahaan Asuransi, Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Perusahaan Asuransi atas Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi, Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh oleh Perusahaan Asuransi atas Kerugian Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi dan Tanggung Jawab Perusahaan Reasuransi yang Izin Usahanya Dicabut terhadap Nasabah Perusahaan Asuransi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.