Perlindungan Hukum Bagi Debitur Terhadap Perjanjian Dengan Bank Yang Dicabut Izin Usahanya

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

O L E H

NIM : 050200313 Departemen : Hukum Perdata


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK ... 11

A. Pengertian Bank ... 11

B. Fungsi Bank ... 13

C. Jenis-jenis Bank ... 19

D. Sumber Dana Bank ... 25

E. Hubungan Bank dan Nasabah. ... 28

BAB III : SEKILAS TENTANG BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA ... 40

A. Pencabutan Izin Usaha Bank ... 40

B. Likuidasi Bank ... 47


(3)

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERHADAP PERJANJIAN DENGAN BANK YANG DICABUT IZIN

USAHANYA ... 52

A. Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Baku ... 52

B. Bentuk dan Sifat Hubungan Antara Bank dengan Nasabah ... 61

C. Perlindungan Nasabah Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 ... 74

D. Perlindungan Nasabah Korban Likuidasi ... 80

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85


(4)

ABSTRAK

Januarfi Izhan Harahap ∗∗∗∗

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MH**

Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum **

Bank merupakan salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis di dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien guna mendukung pelaksanaan pembangunan.

Adapun permasalahan yang dikemukakan adalah : sejauh mana asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku dan hubungan antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank ; bagaimana bentuk dan sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank ; bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal terjadinya pencabutan izin usaha bank dan bagaimana pemerintah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank yang lain akibat adanya bank yang terlikuidasi. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.

Dari permasalahan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku yang tak terbatas dapat menciptakan ketidak adilan apabila para pihak mempunyai kedudukan yang tidak seimbang, hal ini terdapat pada hubungan antara bank dengan nasabah debitur dalam pembuatan perjanjian kredit bank. Bentuk dan sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan yang berlandaskan hukum dan kepercayaan, hubungan kreditur-kreditur, hubungan kerahasiaan dan hubungan kehati-hatian dan merupakan perjanjian pinjam meminjam. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa perlindungan terhadap nasabah itu hanya didasarkan pada prinsip kehati-hatian dengan arti bahwa bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketetapan Bank Indonesia. Upaya pemerintah menjaga kepercayaan masyarakat yakni memproses bank yang akan terlikuidasi dan adanya keterbukaan mengenai kesehatan suatu bank.

Untuk itu disarankan untuk mencegah terjadinya klausula perjanjian yang berat sebelah, yaitu dengan cara Bank Indonesia mengeluarkan suatu ketentuan bagi bank-bank umum di Indonesia mengenai klausula-klausula perjanjian kredit bank yang boleh dan tidak boleh dimuat perjanjian baku. Seharusnya asuransi deposito dilaksanakan di dunia perbankan Indonesia. Perlu dibuat suatu undang-undang tersendiri yang merupakan bentuk perlindungan hukum kepada nasabah. Pemerintah perlu mengevaluasi serta memproses bank yang akan terlikuidasi.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

**


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank adalah lembaga kepercayaan, dimana kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. Di samping itu bank merupakan salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis di dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien guna mendukung pelaksanaan pembangunan.

Memperhatikan peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka terhadap lembaga perbankan perlu senantiasa terdapat pembinaan dan pengawasan yang efektif, dengan didasari oleh landasan gerak yang kokoh agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan yang semakin bersifat global, mampu melindungi secara baik dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan, serta tidak terdapat hal-hal yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Keadaan yang demikian dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dana yang tersimpan di bank akan dikelola dengan baik dan aman.

Keinginan masyarakat untuk memperoleh rasa aman tersebut adalah cukup beralasan, mengingat dalam menyimpan uangnya di bank, nasabah tidak memperoleh jaminan yang bersifat material dari bank. Dalam hubungan ini, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia


(6)

perbankan akan menyebabkan ditariknya dana yang disimpan pada bank. Apabila penarikan dana tersebut dilaksanakan oleh sebagian besar nasabah, maka hal tersebut dapat membahayakan eksistensi bank yang bersangkutan, yang pada gilirannya juga membahayakan sistem perbankan secara keseluruhan.

Sejalan dengan karakteristik lembaga perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, maka dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat, khususnya penyimpan dana pada bank, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang antara lain memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengambil langkah-langkah penyelematan bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya. Apabila langkah-langkah tersebut tidak berhasil mengatasi kesulitan bank yang bersangkutan, maka Menteri Keuangan atas rekomendasi Bank Indonesia mencabut izin usaha bank tersebut dan memerintahkan kepada direksi untuk melakukan likuidasi. Dalam hal direksi tidak melaksanakan perintah untuk melikuidasi bank tersebut, maka Menteri Keuangan meminta Pengadilan untuk melikuidasi bank yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila terdapat bank yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi, maka ada berbagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh bank tersebut, salah satunya adalah kewajiban kepada nasabahnya. Dalam hal inilah sering timbul banyak masalah, misalnya saja siapa yang bertanggungjawab terhadap nasabah dan sampai sejauh mana pertanggungjawaban tersebut. Undang-undang Perbankan yang telah ada di Indonesia tidak menjamin bahwa pihak bank dapat menjalankan semua kewajibannya kepada nasabahnya, sehingga pihak nasabah dapatlah dikatakan mempunyai kedudukan yang lemah. Oleh karena itu Pemerintah dengan itikad baik mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara


(7)

Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para nasabah apabila pihak bank melakukan suatu kelalaian yang mengakibatkan bank tersebut harus dilikuidasi.

B. Perumusan Masalah

Yang menjadi permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah :

1. Sejauh mana asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku dan hubungan antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank ?

2. Bagaimana bentuk dan sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank.

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal terjadinya pencabutan izin usaha bank ?

4. Bagaimana pemerintah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank yang lain akibat adanya bank yang terlikuidasi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui sejauh mana asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku dan hubungan antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank.

2. Untuk mengetahui bentuk dan sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah berkaitan dengan pencabutan izin usaha bank.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap nasabah dalam hal terjadinya pencabutan izin usaha bank


(8)

4. Untuk mengetahui bagaimana pemerintah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank yang lain akibat adanya bank-bank yang terlikuidasi.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum bagi debitur terhadap perjanjian dengan bank yang dicabut izin usahanya.

2. Manfaat praktis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya nasabah bank yang terlikuidasi sehingga mendapat perlindungan hukum.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Perlindungan Hukum Bagi Debitur Terhadap Perjanjian Dengan Bank Yang Dicabut Izin Usahanya ini belum pernah dibahas penulis lain dalam topik dan permasalahan yang sama. sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.


(9)

E. Tinjauan Kepustakaan

Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasaran-sasarannya : pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan krja, distribusi pendapatan dan lain-lain. Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industry perbankan menjadi sangat penting.

Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengaturan urat nadi perekonomian nasional. 1 Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sector perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Di samping itu, perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat 2 terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan. 3

Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, di samping menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola secara baik dan hati-hati (prudent). Dikatakan sebagai bisnis penuh risiko (full risk business) karena aktivitasya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.

Besarnya peran yang diemban oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka keran sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis

1

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 130.

2

Hikmahanto Juwana, Analisis Ekonomi atas Hukum Perbankan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Nomor 1-3 Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hal. 86.


(10)

perbankan tanpa didukung atau di back-up dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggungjawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah di sektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam pengembangan infrastruktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan penting dalam memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter. 4

Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan. Mulai dari undang-undang hingga peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia. Bahkan, peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian pun (prudential regulation) sudah sangat memadai. Namun demikian, kelengkapan peraturan terutama menyangkut prinsip kehati-hatian tidaklah cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari segala permasalahan. Buktinya sebagian besar bank nasional (khususnya bank swasta) merupakan bank bermasalah, yang satu per satu masuk kandang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), bahkan lebih tragis lagi beberapa bank swasta nasional terpaksa dilikuidasi pada masa awal krisis ekonomi dan keuangan melanda Indonesia. 5

Salah satu factor yang membuat system perbankan nasional keropos adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang cenderung mengeksploitasi dan/atau

4

Syahril Sabirin, Upaya Keluar Dari Krisis Ekonomi dan Moneter, Orasi Ilmiah Disampaikan pada Acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, tanggal 29 September 2001 di Padang, hal. 5.

5


(11)

mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha, di samping factor penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari Bank Indonesia (BI). 6

Dampak dari krisis perbankan dimulai tahun 1997 yang menyebabkan 16 bank dinilai oleh otoritas perbankan tidak mungkin lagi dipertahankan eksistensinya, sehingga dicabut izin usahanya. Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum direvisi dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998), yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan dan mencabut izin usaha bank adalah Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi dari Bank Indonesia. Berdasarkan pengalaman tersebut, dan beberapa Negara lain, tampaknya kegiatan perbankan tidak bisa seluruhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, karena kenyataannya pasar tidak selalu mampu membetulkan dirinya sendiri (self correcting) bila terjadi sesuatu di luar dugaan.7 Oleh karena itu, dukungan kontrol terhadap aktivitas perbankan oleh BI dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik dalam rangka menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan, yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri. Demikianlah kemudian bagian Umum Penjelasan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dinyatakan, agar pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.

Sebagai tindak lanjut dari pencabutan izin usaha, dilakukan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank. Likuidasi terhadap 16 bank tersebut pada saat itu ternyata menimbulkan domino effect antara lain didahului dengan adanya rush di sektor perbankan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk.

6

Susidarto, Reposisi Pengawasan Bank, dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204.htm.


(12)

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode :

1. Kepustakaan (Library Research), yaitu untuk memperoleh ketentuan teoritis dan ketentuan yuridis tentang masalah yang dibahas. Pengertian teoritis penulis dapatkan dengan mempelajari buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel baik di surat kabar ataupun majalah serta seminar atau ceramah yang ada kaitannya dengan isi skripsi ini. Ketentuan yuridis yaitu melalui peraturan-peraturan yang berhubungan dengan isi skripsi ini.

2. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu melakukan penelitian langsung ke lapangan yang menjadi obyek penelitian melalui wawancara terhadap bank yang non dan yang terlikuidasi serta nasabah yang banyak terkena likuidasi.

G. Sistematika Penulisan

Secara singkat, sistematika penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK

Dalam bab ini diuraikan tentang Pengertian Bank, Fungsi Bank, Jenis-jenis Bank, Sumber Dana Bank serta Hubungan Bank dan Nasabah.


(13)

BAB III : SEKILAS TENTANG BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA

Bab ini berisikan tentang Pencabutan Izin Usaha Bank, Likuidasi Bank dan Kepailitan Pada Bank.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERHADAP PERJANJIAN DENGAN BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA

Bab ini merupakan pembahasan yang berisikan tentang Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Baku, Bentuk dan Sifat Hubungan Antara Bank dengan Nasabah, Perlindungan Nasabah Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998, serta Perlindungan Nasabah Korban Likuidasi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN


(14)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BANK

A. Pengertian Bank

Dalam kehidupan sehari-hari hampir setiap orang tahu apa yang dimaksud dengan bank dan apa yang menjadi tanda bahwa sesuatu itu adalah bank. Apabila kita menelusuri sejarah dari terminologi “bank” maka akan ditemukan bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy “banca”

yang berarti bance yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku halaman pasar.

Istilah bank bukan lagi merupakan bahasa asing, tetapi juga telah masuk dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia yaitu :

Bank adalah badan usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 8

Pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian rupa, sehingga perumusannya dalam undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah :

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

8

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 103-104.


(15)

Beberapa ahli juga mengemukakan pendapatnya tentang pengertian bank. Walaupun masing-masing ahli mengemukakan pendapatnya namun pada dasarnya mengacu pada tugas dan fungsi bank. Di sini akan dikutip pendapat beberapa ahli.

Marulak Pardede mengemukakan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang merupakan tempat masyarakat menyimpan dananya yang semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan berupa bunga. 9

Menurut G.M. Verryn Stuart dari bukunya bank politik dalam O.P. Simorangkir merumuskan bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar uang berupa uang giral. 10

Ruddy Tri Santoso memberikan definisi bank adalah suatu industri yang bergerak dibidang kepercayaan, yang dalam hal ini adalah sebagai media perantara keuangan (financial intermediary) antara debitur dan kreditur dana. 11

Dengan demikian bank merupakan lembaga yang berperan sebagai intermediatery antara masyarakat sebagai penyimpan dana dengan masyarakat yang membutuhkan dana untuk keperluan pengembangan usahanya dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan nasional (agent of development). Dalam menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk investasi, bank akan mendapat selisih bunga (spread) dari kredit yang disalurkannya tersebut.

9

Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hal. 1.

10


(16)

B. Fungsi Bank

Fungsi utama dari perbankan dilihat dari sudut peranan ekonomi adalah :

1. Menerima dan menyelenggarakan tabungan-tabungan. Bank-bank memberikan suatu jasa-jasa yang penting dengan menerima uang tabungan atau surat-surat berharga (money instruments) dalam bentuk apapun sampainya ke tangan publik dan mengubahnya ke dalam rekening giro yang fleksibel dan dapat dipakai.

2. Menyelenggarakan pembayaran-pembayaran uang. Melalui cek-cek dan perintah-perintah lainnya untuk pembayaran dana-dana, bank-bank menawarkan cara yang mudah dan efisien untuk penyelesaian transaksi-transaksi.

3. Memberikan pinjaman-pinjaman dan melaksanakan investasi-investasi. Bank-bank menyediakan dana-dana untuk produsen-produsen, konsumen-konsumen dan pemerintah. 4. Menciptakan uang dengan pemberian kredit. Kecuali untuk jumlah uang logam dan mata

uang yang relatif kecil yang dikeluarkan oleh pemerintah, bank-bank menciptakan seluruh uang yang kita pakai dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi kita. 12 Sedangkan fungsi utama perbankan Indonesia menurut Pasal 3 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Wujud dari fungsi tersebut pada perbankan Indonesia tercermin melalui produk jasa yang dihasilkan.

Jasa-jasa perbankan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat.

1. Penghimpunan dana

12


(17)

Penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk simpanan antara lain dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

(1) Giro

Adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.

Penyetoran dana ke suatu rekening giro nasabah dapat dilakukan secara tunai atau melalui cek dan bilyet giro.

a. Cek

Adalah surat perintah nasabah, yang telah distandarisasi bentuknya, kepada bank penyimpan dana untuk membayar sejumlah uang kepada pembawa atau orang yang namanya tercantum di dalam cek tersebut.

b. Bilyet giro

Adalah surat perintah nasabah, yang telah distandarisasi bentuknya, kepada bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya pada bank yang sama atau pada bank lainnya.

(2) Deposito

Adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.


(18)

(3) Sertifikat Deposito

Adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.

(4) Tabungan

Adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

2. Penyaluran dana

Penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan dan kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dasar kredit adalah adanya kepercayaan.

Selain sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, bank umum juga mempunyai jasa-jasa lain sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 antara lain :

1. Menerbitkan surat pengakuan hutang.

2. Membeli dan menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.

b. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih dari kebiasaan dalam perdagangan dimaksud.


(19)

d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI). e. Obligasi.

f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.

g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. 3. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. 4. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank

lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel untuk, cek atau sarana lain.

5. Menerima pembayaran dari tagihan atau surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.

6. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

7. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. 8. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat

berharga yang tidak tercatat dalam bunga efek.

9. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.

10.Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

11.Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain mempunyai fungsi seperti apa yang telah diuraikan di atas, perbankan Indonesia juga mempunyai fungsi sebagai agen pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas


(20)

nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. 13 Fungsi tersebut sebagai penjabaran dari Pasal 4 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yaitu :

“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kea rah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.

C. Jenis-jenis Bank

Ruddy Tri Santoso dalam bukunya Mengenal Dunia Perbankan membedakan bank dalam beberapa kelompok yaitu :

1. Menurut fungsinya :

(1) Bank Sentral, adalah bank yang merupakan badan hukum milik Negara yang tugas pokoknya membantu pemerintah dalam :

- Mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

- Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.

- Mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kartal (uang resmi dari pemerintah, yang berupa uang kertas dan logam).

Tugas-tugas bank yang lainnya adalah :

- Memajukan dan mengawasi perkembangan perkreditan.

- Melakukan pembinaan terhadap bank-bank yang ada di negara tersebut, baik itu bank pemerintah, bank swasta, maupun bank swasta asing.

13

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 86.


(21)

- Bertindak sebagai pemegang kas pemerintah. - Mendorong pengerahan dana masyarakat.

(2) Bank Umum, adalah bank yang sumber utama dananya berasal dari simpanan masyarakat, terutama giro, tabungan dan deposito, serta pemberian kredit jangka pendek dalam penyaluran dananya.

Contoh :

- Bank umum pemerintah : BRI, BNI - Bank umum swasta : BCA, dll - Bank umum asing : Citibank.

(3) Bank Pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama berasal dari penerimaan simpanan dalam bentuk deposito serta commercial paper jangka menengah dan panjang. Usaha utamanya adalah memberikan kredit jangka menengah dan panjang dibidang pembangunan.

(4) Bank Desa, adalah kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya adalah melaksanakan fungsi perkreditan dan penghimpunan dana dalam rangka program pemerintah memajukan sektor pedesaan serta peningkatan produksi pertanian, khususnya pangan.

(5) Bank Perkreditan Rakyat, adalah kantor bank di kota, kecamatan yang merupakan unsur penghimpun dana masyarakat maupun menyalurkan dananya di sektor pertanian/pedesaan.

2. Menurut pemilikannya :

(1) Bank Pemerintah, adalah bank yang seluruh modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan pendiriannya di bawah undang-undang tersendiri. Bank


(22)

pemerintah, atau juga biasa disebut Bank Negara, terdiri dari beberapa jenis, yaitu bank umum, bank tabungan dan bank pembangunan.

(2) Bank Pembangunan Daerah, adalah bank yang pendiriannya berdasarkan Peraturan Daerah Kota dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten di wilyah bersangkutan dan modalnya merupakan harta kekayaan milik pemerintah daerah yang dipisahkan.

Contoh : Bank Sumut.

(3) Bank Swasta Nasiona, adalah bank milik swasta yang didirikan dalam bentuk hukum perseroan terbatas dimana seluruh sahamnya dimiliki oleh WNI dan atau badan-badan hukum di Indonesia, serta pengelolaan manajemennya ditangani oleh para WNI itu sendiri. Bank swasta terdiri dari Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan.

Contoh : BCA, Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain.

(4) Bank Swasta Asing, adalah bank yang didirikan dalam bentuk cabang bank yang sudah ada di luar negeri atau dalam bentuk campuran antara bank asing dengan bank nasional di Indonesia. Di Indonesia bank asing hanya diperkenankan menjalankan operasinya di lima kota besar Indonesia.

(5) Bank Koperasi, adalah bank yang pengoperasiannya berlandaskan hukum koperasi dan anggotanya terdiri dari badan-badan hukum koperasi.


(23)

3. Berdasarkan kegiatan operasionalnya (hubungan formal) :

(1) Bank Devisa, adalah bank yang mempunyai hak dan wewenang yang diberikan oleh Bank Indonesia untuk melakukan transaksi valuta asing dan lalu lintas devisa serta hubungan koresponden dengan bank asing di luar negeri.

Contoh : BCA, Bank Niaga

(2) Bank Swasta Non Devisa, adalah bank yang dalam operasionalnya hanya melaksanakan transaksi di dalam negeri (rupiah) dalam bentuk simpanan dan pinjaman serta tidak melaksanakan transaksi valuta asing atau hubungan dengan luar negeri. Bank Swasta Non Devisa biasanya meminta bantuan bank devisa apabila akan melaksanakan transaksi valuta asing atau hubungan koresponden dengan bank luar. Contoh : YAMA Bank, Guna Bank, Synergy Bank

4. Berdasarkan penciptaan uang giral :

(1) Bank Primer, adalah bank yang dalam kegiatan operasionalnya tidak hanya sekedar mengumpulkan dana dan menyalurkan pinjaman, tetapi juga melaksanakan segala macam transaksi yang berhubungan langsung dengan kas, seperti misalnya yang berhubungan langsung dengan kas, seperti misalnya menerbitkan cheque dan bilyet giro, serta ikut dalam transaksi kliring yang diselenggarakan oleh BI dan merupakan bank yang berdiri sendiri, tidak tergantung bank lain.

Contoh : Lippo, BCA, dan lain-lain.

(2) Bank Sekunder, adalah bank yang kegiatan operasionalnya hanya sekedar melayani transaksi kas langsung, seperti pencairan kuitansi dan pemberian pinjaman. Dalam hal pelayanan transaksi kas yang lain seperti penerbitan cheque dan bilyet giro serta


(24)

keikutsertaannya dalam kliring, bank sekunder biasanya membuka rekening di bank primer untuk membantu transaksinya.

Contoh : Bank Pasar, Bank Desa. 5. Berdasarkan sistem organisasi :

(1) Unit Banking, adalah system organisasi perbankan di mana jasa perbankan hanya diberikan melalui satu kantor bank saja, tidak lebih dan tidak kurang. Satu bank hanya mempunyai satu kantor operasional. Sistem ini timbul dari kebiasaan di mana bank hanya membatasi diri pada pelayanan yang kecil dan pemilik tidak mau dicampuri oleh orang lain. Unit bank merupakan embrio tumbuhnya Branch Banking

karena sifat operasinya yang kecil. Unit bank tidak bias berkembang menjadi besar jika tidak mau membuka diri terhadap pengembangan sistem organisasi yang lain. (2) Branch Banking, adalah sistem operasional bank yang kegiatannya pada dua tempat

atau lebih. Cabang-cabang ini dikendalikan serta diawasi oleh kantor pusatnya.

(3) Correspondent Banking, adalah hubungan sistem antarbank di mana terdapat suatu pengaturan informasi antara bank, sehingga bank-bank kecil mempunyai deposit pada bank-bank besar untuk membantu jasa pelayanannya (misalnya : transfer uang). Correspondent Banking beroperasi baik di dalam satu daerah, juga secara nasional maupun internasional. 14

Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 hanya membedakan bank menurut jenisnya yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Hal ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hanya saja terdapat varian lainnya, yakni Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

14


(25)

Perbedaan terakhir ini didasarkan pada sistem operasi yang dilandasi oleh ketentuan syariah dan bukan berdasarkan jenis usahanya.

Pengertian Bank Umum berdasarkan Pasal 1 angka (3) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 adalah :

Bank yang melakanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (4) disebutkan mengenai pengertian Bank Perkreditan Rakyat, yaitu :

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

D. Sumber Dana Bank

Dalam menjalankan usahanya sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan persoalan bank yang paling utama. Tanpa dana, bank tidak dapat berbuat apa-apa, artinya tidak berfungsi sama sekali. Yang dimaksud dengan dana bank adalah uang tunai yang dimiliki bank ataupun aktiva lancar yang dikuasai bank dan setiap waktu dapat diuangkan. 15

Dana-dana bank yang digunakan sebagai modal operasional bersumber dari :

(1) Dana dari modal sendiri, adalah dana yang berasal dari para pemegang saham bank yakni pemilik bank.

Dana sendiri ini terdiri dari beberapa bagian yaitu :

a. Modal yang disetor, yaitu jumlah uang yang disetor secara efektif oleh para pemegang saham pada saat bank berdiri. Umumnya modal setoran pertama dari para pemilik bank (pemegang saham = stockholders) ini sebagian dipergunakan bank


(26)

untuk sarana perkantoran, peralatan kantor dan promosi untuk menarik minat masyarakat.

b. Cadangan-cadangan, yaitu sebagian dari laba bank yang disisihkan dalam bentuk cadangan modal dan cadangan lainnya yang digunakan untuk menutup timbulnya resiko di kemudian hari.

c. Laba yang ditahan, atau Retained Earnings yang mestinya milik para pemegang saham, tapi oleh mereka sendiri diputuskan untuk tidak dibagi dan dimasukkan kembali dalam modal kerja.

Pada modal yang disetor tidak ada perubahan atau dapat dikatakan bersifat tetap (permanen) dalam arti selamanya tetap mengendap dalam bank dan tidak akan mudah ditarik oleh penyetornya, karena hal itu terjadi sekali saja, yaitu pada waktu berdirinya bank tersebut. Sedangkan perubahan dana dari tahun ke tahun terjadi pada bagian cadangan-cadangan dan laba yang ditahan. Melalui kenaikan kedua bagian tersebut, dapat juga dijadikan indikasi tentang kemajuan bank bersangkutan yang berarti kepercayaan masyarakat bertambah baik dan bank telah dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang diterima bahkan dibutuhkan masyarakat.

(2) Dana Pinjaman dari pihak luar, yaitu pihak yang memberikan pinjaman dana (uang) pada bank terdiri dari 4 (empat) pihak, yaitu :

a. Pinjaman dari bank-bank lain yang dikenal dengan Call Money yaitu pinjaman harian antar bank. Pinjaman ini biasanya diminta bila ada kebutuhan mendesak yang diperlukan bank. Jangka waktu call money ini biasanya tidak lama, yaitu sekitar satu bulan dan bahkan hanya beberapa hari saja. Kadangkala ada yang meminjam hanya satu malam sehingga juga disebut dengan overnight call money.


(27)

b. Pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lain di luar negeri, yang biasanya berbentuk pinjaman jangka menengah panjang. Realisasi pinjaman ini (dari bank atau lembaga-lembaga keuangan internasional) harus melalui persetujuan Bank Indonesia di mana secara tidak langsung Bank Indonesia selaku bank sentral ikut serta mengawasi pelaksanaan pinjaman tersebut demi menjaga solvabilitas bank yang bersangkutan.

c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Bukan Bank. Pinjaman ini kadangkala tidak benar-benar berbentuk pinjaman atau kredit, tetapi lebih banyak berbentuk surat berharga yang dapat diperjual belikan sebelum tanggal jatuh tempo. Misalnya berbentuk Sertifikat Bank atau Deposito on call dengan jangka waktu melebihi 3 bulan dan dapat diperpanjang kembali tanpa mengeluarkan sertifikat baru. Dalam banyak hal, pinjaman seperti ini dapat digolongkan pada sumber dana dari pihak ketiga, yaitu dari masyarakat.

d. Pinjaman dari Bank Sentral (BI). Untuk membiayai usaha masyarakat yang tergolong prioritas apalagi yang berprioritas tinggi seperti kredit investasi pada sektor-sektor yang harus ditunjang sesuai dengan petunjuk Pelita (misalnya pertanian, pangan, perhubungan, industry penunjang sektor pertanian, tekstil, ekspor non migas, kredit-kredit dalam rangka peningkatan kehidupan masyarakat golongan ekonomi lemah, koperasi dan sebagainya) kredit produksi dan modal kerja dan kredit-kredit kecil lainnya, maka Bank Indonesia memberikan bantuan dana yang dikenal dengan nama Kredit Likuiditas.


(28)

(3) Dana dari masyarakat, yaitu dana yang bersumber dari masyarakat luas yang umumnya berbentuk simpanan-simpanan yang disetor oleh penyimpan. 16

Dari ketiga sumber dana bank tersebut, dana-dana masyarakat yang disimpan dalam bank adalah merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan bank dan merupakan tulang punggung dari dana yang harus diolah dan dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan.

E. Hubungan Antara Bank dan Nasabah

Hubungan antara bank dan nasabah berdasarkan pada dua unsur yang saling berkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bias melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya pada produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya, dan bank akan memberikan jasa-jasa perbankan.

undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 mengemukakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Pengerahan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit merupakan dua fungsi utama bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi pemberian kredit tidak mungkin ada tanpa ada fungsi pengerahan dana.

Berdasarkan kedua fungsi tersebut, maka terdapat dua hubungan antara bank dengan nasabah, yaitu :

1. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, artinya bahwa bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat (para penanam dana).

16


(29)

Bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat dilihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan, seperti deposito, tabungan, giro, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum ini dapat tertuang dari dalam bentuk peraturan yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipenuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. Syarat tersebut harus disesuaikan dengan produk perbankan yang ada, karena syarat dari suatu produk perbankan tidak akan sama dengan syarat perbankan lain.

2. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur, artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. 17

Berdasarkan fokus penelitian yang akan dirumuskan dalam skripsi ini, hanya akan diteliti hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana. Hal ini dilakukan atas pertimbangan, penghimpunan dana merupakan jasa utama yang ditawarkan dan dilakukan dalam kegiatan usaha bank secara ideal dana yang berasal dari masyarakat merupakan tulang punggung

(basic) dari dana yang dikelola oleh bank dalam meraih keuntungan.

Dasar hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini terjadi pada saat nasabah menjalin hubungan dengan pihak bank, setelah nasabah melakukan hubungan hukum seperti nasabah membuka rekening tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya.

Dalam hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah penyimpan dana tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur jenis perjanjian ini dalam KUH Perdata.

17


(30)

Karena itu perjanjian-perjanjian untuk nasabah penyimpan dana ini hanya tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dari KUH Perdata mengenai perjanjian, antara lain yaitu Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya persetujuan yang meliputi empat hal yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam melakukan hubungan hukum antara bank dengan nasabah terdapat dua kepentingan yang berbeda dan harus dipertemukan. Pertama, kepentingan bank sebagai badan usaha tentu mencari keuntungan. Kedua, kepentingan nasabah sebagai konsumen jasa perbankan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Kepentingan fisik

2. Kepentingan sosial ekonomi

Kepentingan fisik nasabah penyimpan dana dapat diidentifikasi dari adanya jaminan keamanan terhadap dana yang disimpan di bank yang bersangkutan. Pelayanan baik dalam arti proses pengambilan cepat dan likuiditasnya terjamin. Sedangkan kepentingan sosial ekonomi penyimpan dana menyangkut keuntungan yang diperoleh bagi nasabah penyimpan dana (berupa bunga) yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Hal ini berkaitan erat dengan manajemen bank (dikelola secara professional dan jujur), sehingga dapat memberikan keuntungan yang maksimal terhadap bank khususnya dan nasabah pada umumnya. Karena dana nasabah yang disimpan di bank pada dasarnya merupakan sumber ekonomi bagi para nasabah yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri, keluarga maupun rumah tangganya. 18

18

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentangan Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1993/1994, hal. 16.


(31)

Hubungan hukum antara bank dan nasabah dilandasi oleh asas-asas, baik asas-asas umum dari hukum perjanjian maupun asas-asas khusus. Asas-asas umum yang mendasarinya adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract atau liberty of contract). Asas-asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya. d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). 19

Asas kebebasan berkontrak tidak bersifat mutlak tetapi mempunyai pembatasan. Pembatasan dapat karena adanya campur tangan Negara. Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini menyatakan : “Campur tangan tersebut dapat dating dari negara melalui peraturan perundang-undangan maupun dari pihak pengadilan. Pembatasan melalui peraturan perundang-perundang-undangan menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang”. 20

Dalam hubungan bank dan nasabah terdapat asas-asas khusus yang berlaku, yaitu : 1. Asas Kepercayaan (Fiduciary Relation)

Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 mengatur hubungan bank dan nasabah penyimpan dana bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditur tetapi juga hubungan kepercayaan atau fiduciary relation. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang menyebutkan :

19


(32)

“Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan”.

Ini dimaksudkan agar nasabah penyimpan dana dalam berhubungan dengan bank dalam rangka simpanannya pada bank itu dilandasi oleh kepercayaan bahwa bank akan berkemauan dan berkemampuan untuk membayarkan kembali simpanan para nasabah penyimpan dana itu pada waktu jatuh tempo.

2. Asas Kerahasiaan (Confidentional Relation)

Hubungan bank dan nasabah penyimpan dana juga mempunyai suatu sifat kerahasiaan. Adapun hubungan kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank itu sendiri yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya pada bank tersebut. Adapun rahasia bank yang dimaksud dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 adalah : “Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.

3. Asas Kehati-hatian (Prudential Relation)

Hubungan bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kontraktual antara debitur dan kreditur yang dilandasi oleh asas kehati-hatian. Hal inipun diatur dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yaitu :

Pasal 2 :

“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.


(33)

Pasal 29 ayat (2) :

“Bank wajib memelihara tingat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.

Pasal 29 ayat (3) :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.

Mengenai prinsip kehati-hatian (prudential relation) Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa :

Sekalipun uang yang disimpan oleh nasabah penyimpan dana telah menjadi milik bank sejak disetor dan selama dalam penyimpanan tetapi bank tidak mempunyai kebebasan mutlak untuk menggunakan uang itu kecuali untuk tujuan dan cara yang dapat menjamin bahwa bank nantinya akan mampu membayar kembali dana masyarakat yang disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para penyimpannya. Selain itu karena kedudukan bank yang istimewa dalam masyarakat yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu saja.

Dengan kata lain, hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kontraktual antara debitur dan kreditur oleh asas kehati-hatian.

Bank dalam melaksanakan setiap kegiatannya, akan terlihat adanya dua sisi tanggungjawab, yaitu tanggungjawab yang terletak pada bank itu sendiri dan tanggungjawab yang menjadi beban nasabah penyimpan dana sebagai akibat dari adanya hubungan hukum dengan pihak bank, dimana hak dan kewajiban nasabah tersebut dapat diwujudkan dalam suatu bentuk prestasi. Adapun prestasi yang harus dipenuhi oleh bank dan nasabah adalah prestasi


(34)

yang telah ditentukan dalam perjanjian antara bank dengan nasabah khususnya terhadap deposito ataupun produk lainnya.

Dalam rangka usaha untuk menciptakan praktek perbankan yang sehat dan jujur, kita dapat berpedoman pada kewajiban-kewajiban para pihak, baik pihak bank itu sendiri maupun nasabah.

Adapun kewajiban dari bank terhadap nasabah penyimpan (deposan) adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban bank untuk tetap menjaga rahasia keuangan nasabah.

Salah satu kewajiban yang timbul dari hubungan antara bank dan nasabah adalah kewajiban bank untuk merahasiakan segala transaksi yang terjadi antara bank dan nasabah. Bentuk hubungan transaksi ini wajib dirahasiakan oleh bank kepada pihak manapun.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan memberikan beberapa pengecualian terhadap penerapan ketentuan rahasia bank, yaitu melalui ketentuan yang sifatnya limitatif dengan berlandaskan kepentingan umum dan Negara. Adapun hal-hal yang dikecualikan tersebut adalah :

a. Dalam hal kepentingan perpajakan (Pasal 41 ayat (1)

b. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A ayat (1). c. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42 ayat (1).

d. Untuk kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah (Pasal 43). e. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank (Pasal 44 ayat (1).


(35)

2. Kewajiban bank untuk mengamankan dana nasabah.

Dalam menjalankan usaha kegiatan di bidang perbankan, dan dalam rangka memelihara kemampuan bank untuk pengembalian dana nasabah, bank diwajibkan untuk :

a. Menyisihkan sebagian dana (likuiditas) bank sesuai dengan ketentuan cash ratio/reserve requirement yang ditetapkan Bank Indonesia (primary reserve).

b. Menyisihkan sebagian uang tunai dan sebagian kekayaan yang mudah untuk dicairkan untuk keperluan likuiditas (secondary reserve).

c. Menjaga posisi likuiditas (loan to deposits ratio di bawah 85%).

d. Memelihara aktiva lancar (liquid asset) pada tingkat yang memadai dan aman, melalui penempatan dana pada bank lain, SBI serta surat-surat berharga yang diperdagangkan di bursa terutama obligasi dan menyelenggarakan rapat Asset Liability Management (ALMA) setiap bulan.

e. Penyaluran dana kepada masyarakat benar-benar selektif dan benar-benar menguntungkan serta dapat ditarik kembali sesuai jangka waktu yang diperjanjikan. f. Pada umumnya melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principles)

sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia.

3. Kewajiban bank untuk menerima sejumlah uang dari nasabah.

Sesuai dengan fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dana masyarakat, maka bank berkewajiban untuk menerima sejumlah uang dari nasabah atas produk perbankan yang dipilih, misalnya deposito. Dengan diterimanya sejumlah uang dari nasabah tersebut, maka bank akan menyalurkannya ke dalam produk perbankan yang lain, misalnya pemberian kredit.


(36)

4. Kewajiban untuk melaporkan kegiatan perbankan secara transparan kepada masyarakat. Adapun kewajiban yang dimaksud adalah bank wajib melaporkan kegiatan banknya kepada masyarakat secara transparan, artinya bank wajib melaporkan kegiatan yang perbankan lakukan selama kurun waktu tertentu, dalam bentuk Neraca Rugi/Laba dan Laporan Keuangan. Laporan keuangan perbankan ini dapat dilihat dalam media massa. Hanya saja baru sebgian kecil dari nasabah yang dapat membaca tentang laporan kegiatan perbankan dengan benar.

5. Kewajiban bank untuk mengetahui secara mendalam tentang nasabahnya.

Adapun yang dimaksudkan dengan kewajiban ini adalah bank wajib meminta keterangan bukti diri dari nasabah, dengan maksud mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari apabila seseorang akan mengambil atau menarik uangnya dari bank yang bersangkutan.

Hak nasabah adalah sebagai berikut :

1. Nasabah berhak untuk mengetahui secara terperinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan.

Hak ini merupakan hak utama dari nasabah, karena tanpa penjelasan secara terperinci dari bank melalui customer servicenya, maka sangat sulit nasabah untuk memilih produk perbankan apa yang sesuai dengan kehendaknya, hak-hak apa saja yang akan diterima oleh nasabah apabila nasabah mau menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola. 2. Nasabah berhak untuk mendapatkan bunga atas produk deposito yang telah diperjanjikan

terlebih dahulu.

Dalam praktek perbankan berlaku ketentuan bahwa nasabah yang mau menyimpan dananya pada suatu bank dilakukan bukan dengan cuma-cuma. Nasabah berhak untuk


(37)

menerima bunga atas dana yang disimpan pada bank tersebut. Besarnya bunga ini dapat dilihat pada ketentuan yang berlaku pada setiap bank menurut produk perbankan yang ada.

Sedangkan kewajiban pihak nasabah dalam hubungannya dengan bank, pada umumnya harus memperhatikan penampilan bank tersebut dengan melakukan pemantauan dan analisis terhadap hal-hal penting yang bisa menditeksi gejala dari kemungkinan timbulnya masalah pada bank tersebut, sehingga pihak nasabah dapat menilai sendiri tingkat resiko yang akan dihadapinya apabila akan menyimpan dananya pada bank tersebut.


(38)

BAB III

SEKILAS TENTANG BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA

A. Pencabutan Izin Usaha Bank

Pembubaran badan hukum bank terjadi, di antaranya, karena dicabut izin usahanya, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir, dan penetapan pengadilan. Pembubaran badan hukum dilakukan oleh lembaga tertinggi dalam badan hukum yang bersangkutan, seperti untuk bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas maka pembubaran harus oleh rapat umum pemegang saham, sedangkan untuk bank yang berbadan hukum koperasi maka pembubaran oleh rapat anggota.

Pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh pimpinan Bank Indonesia disebabkan bank tersebut tidak dapat mengatasi kesulitannya atau keadaan bank yang bersangkutan membahayakan sistem perbankan nasional. Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas asset, likuiditas dan rentabilitas serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Sedangkan criteria membahayakan sistem perbankan, yaitu apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai pada bank-bank lainnya. 21

21

Kondisi bank seperti itu disebut telah dan akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga kelangsungan usaha bank dimaksud tidak dapat dilanjutkan. Bank dimaksud menjadi bank gagal yang berakibat dicabut izin usahanya.


(39)

Pencabutan merupakan langkah akhir dari usaha untuk menyehatkan bank yang terkena kesulitan tersebut. Jadi, sebelumnya telah ditempuh langkah-langkah permulaan oleh Bank Indonesia. Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya adalah bank yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut : 22

1. Memiliki predikat kurang sehat atau tidak sehat dalam penilaian tingkat kesehatan bank. 2. Memiliki permasalahan actual dan atau potensial berdasarkan penilaian terhadap

keseluruhan risiko (composite risk).

3. Terdapat pelampauan dan atau pelanggaran batas maksimum pemberian kredit dan menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan bank dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai.

4. Terdapat pelanggaran posisi devisa neto dan menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan bank dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai.

5. Memiliki rasio giro wajib minimum dalam rupiah sama dengan atau lebih besar dari rasio yang ditetapkan untuk giro wajib minimum bank. Namun, bank dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar.

6. Dinilai memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar.

7. Memiliki kredit bermasalah (nonperforming loan) secara netto lebih dari 5% dari total kredit.

Kriteria di atas berpatokan pada ketentuan yang berlaku, seperti ketentuan tingkat kesehatan bank didasarkan pada ketentuan tentang penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan kredit didasarkan pada batas maksimum pemberian kredit. Penetapan bank dengan status dalam pengawasan intensif tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank, seperti pelanggaran pelampauan batas maksimum pemberian kredit dan pelanggaran posisi devisa netto.

Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga dapat dilakukan secara


(40)

alternatif ataupun kumulatif sesuai dengan kondisi bank yang bersangkutan, yaitu meliputi langkah-langkah berupa saran-saran dan langkah tindakan yang lebih aktif :

1. Langkah saran-saran, yang ditujukan kepada pemegang saham dan pengurus, yaitu agar : a. Pemegang saham menambah modal

b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank.

c. Bank menghapusbukukan kredit yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya.

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.

2. Langkah aktif dengan tindakan lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti :

a. Menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain. b. Menjual sebagian harta atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank lain.

Tindakan Bank Indonesia seperti di atas semula diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/76/KEP/DIR tertanggal 3 Oktober 1995 tentang Tindakan Penguasaan Sementara terhadap Bank oleh Bank Indonesia. Saat ini peraturan tersebut telah diganti dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank.

Tindakan Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk dan tidak dapat diartikan sebagai pengambilalihan tanggungjawab perbuatan-perbuatan penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh dewan komisaris dan atau direksi lama dan juga bukan berarti mengambil alih hak dan kewajiban bank. tindakan terhadap bank gagal seperti itu, salah satu pertimbangannya didasarkan karena bank tersebut tidak dapat melanjutkan usahanya sehingga harus dicabut izin


(41)

usahanya. Dalam hal menghadapi bank gagal seperti itu, sekarang penanganannya melibatkan Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga tersebut didirikan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, lembaga tersebutlah yang akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan.

Sejak tanggal pencabutan izin usaha, direksi dan dewan komisaris dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan asset dan kewajiban bank, kecuali atas persetujuan dan atau penugasan Bank Indonesia dan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang, pembayaran biaya kantor serta pembayaran kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dana dengan menggunakan dana lembaga penjamin simpanan. Namun, sebaliknya untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk memutuskan pembubaran badan hukum dan pembentukan tim likuidasi, maka hal tersebut merupakan kewajiban direksi yang wajib segera dilaksanakan, yang selambat-lambatnya enam puluh hari sejak tanggal pencabutan izin usaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam hal direksi tidak menyelenggarakan rapat umum pemegang saham dalam jangka waktu enam puluh hari sejak tanggal pencabutan izin usaha atau dapat menyelenggarakannya, tetapi tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum bank, dan pembentukan tim likuidasi, pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi :

1. Pembubaran badan hukum bank. 2. Penunjukan tim likuidasi


(42)

3. Perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan

4. Perintah agar tim likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia.

Pencabutan izin usaha tersebut harus diumumkan secara luas kepada masyarakat melalui media massa cetak yang mempunyai peredaran luas dan jika bank yang dicabut izin usahanya memiliki kantor di luar negeri, Bank Indonesia memberitahukan kepada otoritas yang berwenang di negara tempat kantor tersebut berada. Dalam hal pencabutan izin usaha terhadap Bank Perkreditan Rakyat, pengumumannya selain seperti biasa, juga dapat dilakukan menempatkannya dalam pengumuman di kantor kecamatan agar memungkinkan masyakat setempat mengetahuinya.

Kewajiban-kewajiban bank yang dicabut izin usahanya, yaitu :

1. Menutup seluruh kantornya dan menghentikan segala kegiatan perbankan sejak tanggal pencabutan izin usaha termaksud.

2. Menyusun neraca penutupan per tanggal pencabutan izin usaha dan diaudit oleh akuntan publik.

3. Menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk bank yang berbentuk perseroan terbatas atau rapat anggota untuk bank yang berbentuk koperasi, untuk memutuskan pembubaran badan hukum bank, dan pembentukan tim likuidasi.

Tindakan tersebut merupakan tindakan terakhir sebelum segala pengurusan bank dan tanggungjawabnya dilakukan oleh tim likuidasi.

Menyangkut pencabutan izin usaha kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri maksudnya adalah pencabutan izin pembukaan kantornya jadi bukan pencabutan izin usaha sebagai badan hukum bank.


(43)

Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha kantor cabang tersebut dalam hal :

1. Kantor cabang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan.

2. Kantor cabang yang bersangkutan ditutup atas permintaan kantor pusatnya.

3. Izin usaha kantor pusat bank yang bersangkutan dicabut dan atau dilikuidasi oleh otoritas yang berwenang di negara asal bank tersebut.

Apabila terjadi pencabutan izin usaha kantor cabang tersebut, diberitahukan kepada bank yang bersangkutan dan otoritas negara asal serta diumumkan dalam surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas. Selain itu, bagi bank yang telah dicabut izin usahanya tersebut berlaku ketentuan bahwa seluruh harta kantor cabang yang bersangkutan diutamakan untuk pembayaran seluruh kewajibannya di Indonesia dan kantor pusat bank yang bersangkutan bertanggungjawab atas pemenuhan kewajiban kantor cabangnya di Indonesia.

Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan kelanjutan dari akibat pencabutan izin usaha tersebut, menyerahkannya kepada tim penyelesai. 23 Tim tersebut memiliki hak, kewajiban dan kewenangan, seperti halnya tim likuidasi. Tim tersebut bekerja paling lambat dua tahun sejak terbentuknya apabila menyelesaikan bank yang dicabut izin usahanya karena kantor cabang bank yang bersangkutan berada dalam keadaan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan atau karena kantor cabang bank yang bersangkutan ditutup atas permintaan kantor pusatnya. Sedangkan apabila kantor cabang yang bersangkutan dicabut izinnya karena dilikuidasi, jangka waktu tugas tim penyelesai selama lima tahun.


(44)

B. Likuidasi Bank

Likuidasi suatu bank merupakan kelanjutan dari pelaksanaan pencabutan izin usaha dari bank tersebut. Likuidasi bank dilakukan dengan cara :

1. Pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan atau penagihan tersebut ; atau

2. Pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.

Pelaksana dari likuidasi, yaitu tim likuidasi, merekalah yang bekerja dalam jangka waktu paling lambat lima tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya tim tersebut menyelesaikan semua hak dan kewajiban dari bank yang dilikuidasi tersebut. Apabila penyelesaian tidak tercapai dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, penyelesaian untuk penjualan harta bank dilakukan secara lelang.

Semua beban tanggungjawab dan kepengurusan bank dalam likuidasi berada dalam tim likuidasi. Dengan demikian, dalam menjalankan tugasnya mereka mempunyai kewenangan dan kewajiban tertentu. Kewenangan yang dimiliki tim dapat kita lihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Bank Indonesia, di antaranya :

1. Mewakili bank dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban bank tersebut (Pasal 10 ayat (3)).

2. Dapat meminta pembatalan kepada pengadilan mengenai segala perbuatan hukum yang merugikan harta bank apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam kurun waktu satu tahun sebelum pencabutan izin usaha (Pasal 14 ayat (1).

Adapun kewajiban dari tim likuidasi, di antaranya :

1. Melakukan pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur.

2. Melakukan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan atau penagihan piutang bank tersebut.


(45)

3. Melakukan pengalihan seluruh harta dan kewajiban bank kepada pihak lain apabila disetujui oleh Bank Indonesia.

4. Menyusun neraca akhir likuidasi (Pasal 19 ayat 1).

5. Melaporkan neraca akhir likuidasi kepada Bank Indonesia serta mempertanggungjawabkannya kepada rapat umum pemegang saham (Pasal 19 ayat (1)). 6. Mengumumkan berakhirnya likuidasi dan menempatkannya pada Berita Negara Republik

Indonesia, memberitahukan kepada instansi yang berwenang, dan memberitahukan kepada Deperindag agar nama badan hukum bank tersebut dicoret dari daftar perusahaan apabila neraca akhir likuidasi telah disetujui oleh Bank Indonesia, dan pertanggungjawabannya telah diterima oleh rapat umum pemegang saham (Pasal 19 ayat (2)).

7. Membubarkan Tim Likuidasi apabila telah selesai menjalankan tugasnya (Pasal 19 ayat (2)).

Selain kewajiban bagi tim likuidasi, juga ada larangan tertentu, yaitu mereka dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dilarang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. Apabila melanggar larangan tersebut, mereka secara pribadi bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut (Pasal 13).

Direksi dan dewan komisaris bank dalam likuidasi sejak terbentuknya tim menjadi nonaktif, tetapi tetap mempunyai kewajiban untuk setiap saat membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi. Tim likuidasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Bank Indonesia. Selaku demikian Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang dari tim likuidasi, memberhentikan dan mengganti anggota tim likuidasi. 24

C. Kepailitan Pada Bank

Menyangkut pembubaran dan likuidasi ada keterkaitan pula dengan kondisi kepailitan. Dalam hal kepailitan pada dasarnya setiap debitur (bank juga dapat bertindak sebagai debitur dalam hal tertentu), baik perorangan maupun badan hukum dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga apabila dia dianggap :


(46)

1. Berada dalam keadaan berhenti membayar, yaitu tidak mampu atau tidak mau membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

2. Telah terdapat dua atau lebih kreditor yang salah seorang dari mereka piutangnya sudah dapat ditagih.

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selain debitur sendiri, juga dapat diajukan oleh seorang kreditur atau lebih, atau oleh jaksa atas dasar kepentingan umum. Khusus dalam hal kepailitan bank, maka yang dapat melakukan permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Kepailitan 1998.25 Ketentuan tersebut merupakan suatu langkah untuk menyinkronkan dengan ketentuan yang berlaku di bidang perbankan, dengan mengingat karakteristik lembaga perbankan yang terutama bergerak sangat terkait sekali dengan dana masyarakat.

Sehubungan dengan karakteristik lembaga perbankan yang mengelola dana masyarakat, apabila bank sebagai debitur berhubungan dengan kepailitan maka :

1. Bank tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan keinginan sendiri. Hal tersebut sangat beralasan guna mencegah agar kondisi seperti itu digunakan oleh pemegang saham sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab terhadap para kreditur, termasuk nasabah para penyimpan dana.

2. Dalam hal terjadi suatu bank dicabut izin usahanya dan dilikuidasi, maka pembayaran atau pengembalian dana diutamakan kepada nasabah penyimpan dana dibandingkan dengan kreditur konkuren lainnya, tetapi tetap dengan tidak mengabaikan pembayaran kewajiban kepada kreditur-kreditur yang harus diistimewakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Bank dalam likuidasi tetap tunduk pada ketentuan rahasia bank.

25


(47)

Dalam kondisi sebagai kreditur, maka bank berdasarkan alasan ketidakmampuan debitur untuk membayar, dapat memohon debiturnya dinyatakan pailit sepanjang debitur tersebut mempunyai lebih dari satu kreditur (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan 1998). Konsekuensi dari pailitnya debitur bank yang bersangkutan, maka :

1. Bank kreditur pemegang hak tanggungan, hak gadai dan hak agunan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 56 Undang-undang Kepailitan). Maksud dari ketentuan tersebut, yaitu bank yang bersangkutan menjadi kreditur separatis, artinya kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit. 2. Bank kreditur yang memegang jaminan perorangan (borgtoch) maka kedudukannya

sebagai kreditur konkuren. Selain itu asset yang didaftarkan dalam jaminan borgtoch


(48)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR TERHADAP

PERJANJIAN DENGAN BANK YANG

DICABUT IZIN USAHANYA

A.

Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Baku

A.1. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan perundangan lainnya tidak ada ketentuan secara tegas menentukan tentang berlakunya “asas kebebasan berkontrak” bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut Hukum Indonesia. Namun tidaklah berarti bahwa asas kebebasan berkontrak itu tidak menguasai hukum perjanjian Indonesia.

Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia dapat kita lihat dari Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia dilarang oleh undang-undang untuk membuat suatu perjanjian.

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menyebutkan asalkan bukan mengenai hal-hal yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, maka setiap orang bebas untuk membuat perjanjian.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan-ketentuan perundang-undangannya juga tidak memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya.


(49)

Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam bentuk akta otentik (dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang berwenang). Misalnya perjanjian kuasa pemegang hipotik harus dibuat dengan akta PPAT.

Dengan demikian sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam suatu bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat dalam bentuk lisan atau secara tertulis atau berbentuk akta di bawah tangan atau akta otentik.

Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal artinya berlaku dan diterima juga oleh Negara-negara lain sebagai salah satu asas yang dipakai dalam buku hokum perjanjian mereka.

Namun perlu diingat bahwa asas kebebasan berkontrak ini tidaklah berlaku mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

1. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak adalah tidak sah apabila dibuat tanpa adanya consensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Hal ini menunjukkan adanya asas “konsensualisme”. Ketentuan Pasal 1320 ini mengandung arti bahwa kebebasan berkontrak itu dibatasi oleh asas konsensualisme.

2. Pasal 1320 ayat (2) menunjukkan bahwa kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian itu sendiri. Bagi seseorang yang menurut undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, sama sekali ia tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian.

3. Pasal 1320 menunjukkan bahwa orang belum dewasa dan yang berada di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.

4. Pasal 1332 memberikan arah mengenai kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian sepanjang menyangkut obyek perjanjian. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas


(50)

untuk memperjanjikan setiap barang apapun, hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.

5. Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya “asas itikad baik” dalam melaksanakan perjanjian. Berlakunya asas itikad baik itu bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tapi juga sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat. Jadi apabila perjanjian itu dilakukan dengan itikad buruk, misalnya penipuan, maka perjanjian itu adalah tidak sah.

Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada hakekatnya banyak dibatasi oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih longgar.

Hubungan antara bank dengan nasabah juga berada dalam ruang lingkup kebebasan berkontrak. Adanya keinginan satu pihak yaitu nasabah, dengan pihak lainnya yaitu bank untuk membuat suatu perjanjian, merupakan dasar terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah.

A.2. Perjanjian Baku

Secara umum suatu perjanjian berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua pihak yang mempunyai kedudukan seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui proses negosiasi diantara mereka.

Namun dewasa ini terlihat bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara dimana pihak yang satu telah mempersiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian


(51)

yang dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui, tanpa ada kebebasan sama sekali pada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.

Perjanjian yang demikian dinamakan Perjanjian Baku atau Perjanjian Standar atau Perjanjian Adhesi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, 26 yang dimaksud dengan perjanjian baku itu adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa didalam prakteknya perjanjian itu tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Perbuatan-perbuatan hokum sejenis yang terjadi secara berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu, kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak, sehingga mudah menyediakannya setiap saat jika masyarakat membutuhkan.

Disini terlihat sifat massal dan konfektif dari perjanjian baku. Perjanjian massal itu diperuntukkan bagi setiap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis itu, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitur yang satu dengan yang lainnya.

Jika debitur menyetujui salah satu syarat-syaratnya maka debitur hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan “isi” sama sekali tidak ada.

Perjanjian baku yang terdapat dalam masyarakat dapat dibedakan dalam empat jenis, yaitu :


(1)

berwenang untuk memerintahkan pelikuidasian sebuah bank (pada Pasal 1365 KUH Perdata terbuka peluang untuk meminta ganti ruginya atas kebijaksanaan yang merugikan pihak lain). 33

Apabila nasabah korban likuidasi bank ini tidak menerima pembayaran simpanannya dalam jumlah yang utuh, menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank mencoba memberikan jalan keluar. Jika terbukti kesulitan keuangan bank atau kegagalan bank disebabkan ulah pemilik bank, maka nasabah penyimpan dana korban likuidasi dapat menuntut harta pribadi para pemilik dan harus menjadi jaminan bagi pembayaran kewajiban bank termasuk kewajiban terhadap para nasabah penyimpan dana.

Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 likuidasi hanya dimaksudkan sebagai The Best Option, yaitu setelah seluruh upaya tidak membuahkan hasil, misalnya negoisasi bank dengan kalangan tertentu atau merger dengan bank lainnya.

Mengingat banyaknya aspek akibat likuidasi bank hendaknya keputusan semacam ini tidak dilakukan secara tiba-tiba. Hal itu antara lain untuk menghindari kerugian yang besar sementara kepercayaan masyarakat kepada bank tetap terjaga. Keterbukaan mengenai kesehatan suatu bank kiranya bisa disebarluaskan melalui berbagai mass media, bulletin dan sebagainya. Sehingga masyarakat bisa memilih bank yang sehat dan terbaik.

Untuk menjaga kepercayaan dan melindungi nasabah dari korban likuidasi serta untuk mengcover kelemahan sistem pengawasan otoritas moneter itu, perlu segera dikembangkan lembaga asuransi deposito yang selama ini masih dalam tahap perkenalan dan sebagai bahan diskusi ilmiah tentang perbankan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat penulis kemukakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku yang tak terbatas dapat menciptakan ketidak adilan apabila para pihak mempunyai kedudukan yang tidak seimbang, hal ini terdapat pada hubungan antara bank dengan nasabah debitur dalam pembuatan perjanjian kredit bank.

2. Bentuk dan sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan yang berlandaskan hukum dan kepercayaan, hubungan kreditur-kreditur, hubungan kerahasiaan dan hubungan kehati-hatian dan merupakan perjanjian pinjam meminjam (Pasal 1754 KUH Perdata).

3. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, maupun dalam KUH Perdata dan UU Kepailitan tidak memberikan pengaturan secara khusus mengenai perlindungan nasabah korban likuidasi. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa perlindungan terhadap nasabah itu hanya didasarkan pada prinsip kehati-hatian dengan arti bahwa bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketetapan Bank Indonesia.

4. Upaya pemerintah dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank yang lain akibat adanya bank yang terlikuidasi yakni dengan cara pemerintah mengevaluasi bank


(3)

yang lebih kuat dan diikutid engan proses konsolidasi baru dilikuidasi, jadi pemerintah harus memproses bank yang akan terlikuidasi. Disamping itu perlu juga adanya keterbukaan mengenai kesehatan suatu bank yang disebarluaskan melalui berbagai mass media, bulletin dan sebagainya, sehingga masyarakat bisa memilih bank yang sehat dan terbaik.

B. Saran

Untuk itu dalam skripsi ini penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Karena KUH Perdata mengakui kebebasan berkontrak, maka dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang berbentuk perjanjian baku, sudah selayaknya Negara atau pemerintah campur tangan untuk mencegah terjadinya klausula perjanjian yang berat sebelah, yaitu dengan cara Bank Indonesia mengeluarkan suatu ketentuan bagi bank-bank umum di Indonesia mengenai klausula-klausula perjanjian kredit bank yang seyogyanya dimuat dan yang tidak boleh dimuat dalam pembuatan perjanjian baku.

2. Dalam hubungan antara bank dengan nasabah krediur, seharusnya asuransi deposito dilaksanakan di dunia perbankan Indonesia, demi menjaga dan melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana, sehingga nantinya terdapat perlindungan yang seimbang bagi bank dan nasabahnya.

3. Perlindungan hukum terhadap nasabah bank di Indonesia dirasakan sangat perlu mengingat Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tidak secara khusus member perlindungan terhadap nasabah terutama apabila bank mengalami kebangkrutan atau dilikuidasi. Untuk itu ada baiknya dibuat suatu undang-undang tersendiri yang merupakan bentuk perlindungan hukum kepada nasabah.


(4)

4. Pemerintah sangat perlu mengevaluasi bank yang lebih kuat dan diikuti dengan proses konsolidasi baru dilikuidasi, jadi pemerintah harus memproses bank yang akan terlikuidasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980.

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, 1994.

Pardede, Marulak, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia (IBI), Jakarta, 1993.

Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Ruddy Tri Santoso, Mengenal Dunia Perbankan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1998. Simorangkir, O.P., Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Nonbank, Penerbit Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2000.

Lain-lain :

Achjar Iljas, BLBI dan Penyelamatan Sistem Perbankan, Media 31 Januari 2000.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentangan Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1993/1994.

Gatot, Ch., Wardoyo, Sekitar Klausula-Klausula Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen Nopember – Desember 1992.


(6)

Hasbullah F. Sjawie, Media Indonesia, 8 Nopember 1997.

Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I/1997, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1997.

Hikmahanto Juwana, Analisis Ekonomi atas Hukum Perbankan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Edisi Nomor 1-3 Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Syahril Sabirin, Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mendukung Pembangunan Nasional, dalam http://www.publikasi.bl.go.id.

Syahril Sabirin, Upaya Keluar Dari Krisis Ekonomi dan Moneter, Orasi Ilmiah Disampaikan pada Acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, tanggal 29 September 2001 di Padang.