Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler
Broiler atau lebih dikenal dengan ayam pedaging adalah ayam jantan atau
betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuaan sebagai
penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Broiler memiliki kelebihan
dan kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar,
bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap ransum cukup tinggi,
sehingga sebagian besar dalam ransum diubah menjadi daging dan pertambahan
bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah memerlukan
pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi
penyakit dan sulit beradaptasi (Murtidjo, 1987).
Ayam broiler merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam broiler memiliki pertumbuhan
dan bobot badan yang sangat cepat dan dapat mencapai bobot hidup 1,4-1,6 Kg.
Secara umum broiler dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain
daripada itu broiler lebih dapat terjangkau masyarakat karena harganya relatif
murah (Rasyaf, 2003).
Kebutuhan Nutrisi Broiler
Untuk keperluan hidup dan produksi, ayam membutuhkan sejumlah
nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan berkualitas,

karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf,1997). Kartadisastra (1994)
menyatakan bahwa jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis
ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Disamping itu

Universitas Sumatera Utara

juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan genetik dan
lingkungan tempat ternak itu dipelihara.
Kebutuhan zat nutrient broiler pada fase yang berbeda tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi broiler
No Jenis Nutrisi
1
2
3
4
5
6

Protein (%)
Energi Metabolisme (kkal)

Lemak (%)
Serat Kasar (%)
Kalsium (%)
Posfor (%)

Fase
Starter
Min 19,0
Min 2900
Maks 7,4
Maks 6,0
0,90 – 1,20
Min 0,40

Finisher
Min 18,0
Min 2900
Maks 8,0
Maks 6,0
0,90 – 1,20

Min 0,40

Sumber: SNI (2006)

Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)
Ikan gabus pasir (Butis amboinensis) merupakan ikan predator
(pemangsa), ikan ini mencari makanan sebagian besar pada malam hari dengan
pola samar untuk membantu ikan tersebut berbaur dengan lingkungan untuk
mendapatkan mangsa. Ikan ini juga dapat meringankan dan menggelapkan
pewarnaan tubuh, memiliki kebiasaan menyelaraskan diri dengan permukaan
padat baik horizontal, vertikal atau terbalik dan sering berenang di posisi terbalik.
Spesies ikan ini mendiami pesisir sungai, muara dan hutan bakau di New Guinea
telah tercatat 300 kilometer ke arah hulu dari muara sungai ikan gabus pasir
ditemukan di atas lumpur berpasir (Allen, 1991).
Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut;
Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis
amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar,
badan 5-5, 5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari
panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala


Universitas Sumatera Utara

bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan
tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).
Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus
pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven
dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi
dan dapat meingkatkan produksi dan nilai gizi telur dan daging
(Stevie et al., 2009).
Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir
Jenis Nutrisi
Gross Energi (K.cal/g)
Kadar air (%)
Protein kasar (%)
Lemak kasar (%)
Bahan kering (%)
Abu (%)
Kalsium (%)
Posfor (%)


Kandungan
3,6341a
7,17b
53,59b
4,32b
92,82b
21,85b
5,86b
0,026b

Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014) dan bLaboratorium Ilmu
Nutrisi dan Pakan Ternak (2014).

Kandungan nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir yang terbaik adalah
dengan metode pengukusan. Nilai nutrisi dengan metode pengukusan dapat dilihat
pada tabel 2. Hasil ini sudah sesuai dengan standar SNI (1996) nilai nutrisi tepung
ikan gabus pasir dengan metode pengukusan termasuk kriteria kualitas sedang
(Vidiana et al., 2014). Menurut SNI (1996) sedang standar persyaratan mutu
tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen yaitu Air
10 %, lemak 8 %, protein 65%, abu 20 %, serat kasar 1,5 % sedangkan standar

persyaratan mutu tepung ikan yang berkualitas rendah yaitu air 12 %, lemak 12%,
protein 45%, abu 30 % dan serat kasar 3%.

Universitas Sumatera Utara

Sistem Pencernaan Ayam
Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan
dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan
makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap
diserap oleh dinding saluran pencernaan (Parakkasi, 1990). Menurut Anggorodi
(1994) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat makanan
dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringanjaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap sebagai
tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam saluran
pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan
sisa makanan sebagai tinja (Tillman et al., 1991).
Unggas khususnya ayam broiler mempunyai saluran pencernaan yang
sederhana karena unggas merupakan hewan monogastrik (berlambung tunggal).
Saluran-saluran pencernaan pada ayam broiler terdiri dari mulut, esophagus,
proventriculus, usus halus, ceca, usus besar, dan kloaka
(Blakely dan Bade, 1998).

Dinyatakan oleh Tillman et al., (1991) bahwa:
a) Pada ayam tidak terjadi proses pengunyahan dalam mulut karena ayam tidak
mempunyai gigi, tetapi di dalam ventrikulus terjadi fungsi yang mirip dengan
gigi yaitu penghancuran makanan.
b) Lambung yang menghasilkan asam lambung (HCl) dan dua enzim pepsin dan
rennin merupakan ruang yang sederhana yang berfungsi sebagai tempat
pencernaan dan penyimpan makanan.

Universitas Sumatera Utara

c) Sebagian besar pencernaan terjadi di dalam usus halus, disini terjadi
pemecahan zat-zat pakan menjadi bentuk yang sederhana, dan hasil
pemecahannya disalurkan ke dalam aliran darah melalui gerakan peristaltik di
dalam usus halus terjadi penyerapan zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh
tubuh.
d) Absorpsi hasil pencernaan makanan terjadi sebagian besar di dalam usus
halus, sebagian bahan-bahan yang tidak diserap dan tidak tercerna dalam usus
halus masuk ke dalam usus besar.
Kecernaan
Menurut Tillman et al., (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau

jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat
makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak dapat
dicerna dan tidak diperlukan (Cullison, 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh
tingkat pemberian ransum, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan,
defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan
pakan dan gangguan saluran pencernaan (Chruch and Pond, 1988). Dinyatakan
oleh Anggorodi (1994) yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju
perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi
ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis
kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan
asam-asam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993).
Kecernaan dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menilai suatu
bahan pakan ternak (Edey, 1983). Selanjutnya dinyatakan bahwa: 1) Semakin
tinggi nilai kecernaan suatu bahan makanan, makin besar zat-zat makanan yang

Universitas Sumatera Utara

diserap. 2) Tingginya kandungan zat-zat makanan, jika nilai kecernaannya rendah
maka tidak akan ada gunanya. 3) Untuk mengetahui seberapa besar zat-zat yang
dikandung makanan ternak yang dapat diserap untuk kebutuhan pokok,

pertumbuhan dan produksi.
Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung
banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat
makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).
Tingkat kecernaan/daya cerna suatu ransum menggambarkan besarnya zatzat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses
hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi
(Ginting, 1992).
Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhakan teknik khusus
karena feses dan urin dikeluarkan secara bersamaan sehingga menyebabkan
bercampurnya N-Urindan feses (Maynard dan Loosli, 1979).
Metode yang digunakan untuk menilai kecernaan yaitu metode
konvensional atau total collecting methods, yang terdiri dari periode pendahuluan
selama 4-10 hari dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan
lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan
(Church dan Pond, 1988). Sedangkan periode koleksi feses dilakukan selama 5-15
hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Tillman et al., 1998). Metode lainnya yaitu
metode kuantitatif (metode indikator) yaitu menambahkan indikator dalam
ransum yang tidak dicerna (Cheeke, 1982).
Metode pembunuhan terhadap ayam broiler untuk koleksi sampel dari
usus besar telah dikembangkan oleh Wiradisastra (1986). Metode pengambilan


Universitas Sumatera Utara

sampel dari usus besar dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan
penyerapan telah terjadi pada usus halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar.
Sejalan dengan pendapat Bielorai et al., (1973), penyerapan zat-zat makanan
terjadi di dalam usus halus. Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih
akurat (Doeschate et al., 1993). Metode kuantitatif ini terdiri dari dua periode
yaitu periode adaptasi dan periode pengambilan sampel.
Kecernaan Bahan Kering
Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada
temperatur 105°C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan
pakan tersebut konstan (Tillman et al., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering
tersebu harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut.
Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak,
konsumsi bahan kering bergantung pada banyaknya faktor, diantaranya adalah
kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan
kandungan serat kasar pakan. Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui
jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari
jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah

bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan
bahan kering (Ranjhan, 1980).
Menurut Tillman et al., (1998) bahan kering terdiri dari bahan organik
yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta bahan anorganik yaitu mineral.
Kandungan bahan kering dalam suatu bahan pakan mempengaruhi nilai gizi.
Semakin tinggi kandungan bahan keringnya, maka nilai gizi bahan pakan tersebut
semakin baik.

Universitas Sumatera Utara

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum
adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat
protein ransum, persentase lemak dan mineral (Anggorodi, 1994).
Kecernaan Bahan Organik
Menurut Parrakasi (1999) bahwa bahan organik merupakan bahan kering
yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam
rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi
bagi ternak. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi
kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat,
protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan
tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses
pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan
mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan
kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan
organik. Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan
bahan organik menurun atau sebaliknya.
Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas
pakan tersebut (Supadmo dan Sutardi, 1997). Kecernaan ransum mempengaruhi
konsumsi ransum, dimana kecernaan ransum yang rendah dapat meningkatkan
konsumsi ransum. Hal ini dikarenakan laju digesta saluran pencernaan akan
semakin cepat dan ransum akan cepat keluar dari saluran pencernaan
(Hapsari, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Kecernaan Protein Kasar
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam
ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai
kecernaan yang rendah pula sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein
tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang
masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).
Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai
kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein
tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang
masuk dalam saluran pencernaan (Parakkasi, 1990).
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Nilai Kecernaan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Dengan Berbagai Teknik Pengolahan Pada Itik Peking Umur 8 Minggu

1 88 52

Pemanfaatan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis Amboinensis) Dalam Ransum Terhadap Karkas Itik Peking Umur 8 Minggu

1 78 69

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 2 43

Pemanfaatan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Sebagai Subsitusi Tepung Ikan Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Broiler

1 7 42

Pemanfaatan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Broiler

0 3 49

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 0 11

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 1 2

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 0 3

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 0 3

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, dan Protein Kasar Ransum yang Mengandung Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) sebagai Substituti Tepung Ikan pada Broiler

0 0 3