Perbedaan Pengaruh Parasetamol Infus Dengan Metamizol Injeksi Terhadap Suhu Tubuh Dan Outcome Pasien Stroke Akut Dengan Hipertermia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

STROKE

1.1 Sejarah singkat
Stroke telah dikenal sejak Mesir kuno. Imhoteb, seorang penggagas
ilmu kedokteran Mesir kuno menjelaskan stroke pada sebuah dokumen
medis yang paling awal, yang dikenal sebagai papirus dari Edwin Smith,
yang berasal sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Deskripsi yang lebih
jelas dari kondisi ini adalah pada tahun 1600an saat Thomas Willis
mengidentifikasi suplai arteri dari otak yaitu “sirkulus Willis” dan
menggunakan terminologi “apopleksi” untuk menjelaskan stroke. Pada
tahun 1800an, anatomis Matthew dan Cruveilher mengilustrasikan lesi
pada stroke. Periode modern dari stroke dimulai pada tahun 1960an saat
C. Miller Fisher menjelaskan secara terperinci pengamatan klinis dan
patologis pada stroke lakunar, carotid artery disease, transient ischemic
attacks dan perdarahan intraserebral. Muridnya Louis Caplan menetapkan
salah


satu

stroke

registry

databases

untuk

mengumpulkan

dan

menganalisa data epidemiologi, klinis, radiologis dan patologis. (Greer,
2007)
1.2 Definisi
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah bahwa
stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional


Universitas Sumatera Utara

otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada
intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh
sebab lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat
infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik,
perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid
(PSA) (Gofir, 2009).
Definisi terbaru stroke yang dikeluarkan oleh American Heart
Association/American Stroke Association adalah sebagai berikut:


Stroke (tidak ditentukan jenisnya) adalah suatu episode dari
disfungsi neurologis yang dianggap disebabkan oleh iskemia atau
hemoragik, bertahan ≥24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki
bukti yang cukup untuk diklasifikasikan.




Stroke

iskemik adalah suatu episode dari disfungsi neurologis

yang disebabkan oleh infark pada serebral, medula spinalis
maupuan infark pada retina (Sacco dkk, 2013).
1.3 Epidemiologi
Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang
per tahun, dimana 20% darinya akan meninggal pada tahun pertama.
Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050.
(Becker, dkk, 2010).
Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari
data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka
morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya

life

Universitas Sumatera Utara

expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular

PERDOSSI, 2009),
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan
bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan
tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan
naik menjadi 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di
Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa
proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991
menunjukkan kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100
penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada
tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).
Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001,
ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri
dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201
orang (15,91%) terdiri dari 98 stroke iskemik dan 103 stroke hemoragik
(Nasution, 2007)
1.4 Faktor Risiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktorfaktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya
stroke. Faktor risiko timbulnya stroke: (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ;
Howard, dkk, 2009).
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a. Umur

Universitas Sumatera Utara

b. Jenis kelamin
c. Ras dan suku bangsa
d. Faktor turunan
e. Berat badan lahir rendah
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Prilaku:
1. Merokok
2. Diet tidak sehat: garam berlebihan, kolesterol, kurang buah
3. Alkoholik
4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
5. Kurang gerak badan
b. Fisiologis
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Stenosis karotis asimtomatik

Universitas Sumatera Utara

1.5 Klasifikasi
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang
berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,1999)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Thrombosis serebri
c. Embolia serebri
2. Stroke Hemoragik
a.


Perdarahan intraserebral

b.

Perdarahan subarakhnoid

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
1. Sistem karotis
2. Sistem vertebrobasiler
IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) :
1. Total Anterior Circulation Infarction
2. Partial Anterior Circulation Infarction
3. Posterior Circulation Infarction

Universitas Sumatera Utara


4. Lacunar Infarction
V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti
TOAST (Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)
1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis)
2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang)
3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)
4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan
5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:
a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi
b. Tidak ada evaluasi
c. Evaluasi tidak lengkap
1.6 Patofisiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh
emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga
disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler,
setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan
suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak
dan infark otak (Becker, dkk, 2010).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian

inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah
ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di
luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel
otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang

Universitas Sumatera Utara

fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat
iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di
luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran
darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah
yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi
dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor
waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsurangsur mengalami kematian (Misbach, 2007)
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):
Tahap 1:
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2:
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3: Inflamasi
Tahap 4: Apoptosis

Universitas Sumatera Utara

2.

SUHU TUBUH NORMAL
2.1.

Suhu inti dan suhu kulit.

Suhu pada jaringan tubuh yang dalam (inti tubuh) tetap konstan
sepanjang hari dalam rentang ± 0,6 0C, kecuali dalam keadaan demam.
Berbeda dengan suhu inti, suhu kulit naik dan turun mengikuti suhu
lingkungan. Suhu kulit penting kerena kemampuannya untuk melepaskan

panas ke lingkungan sekitar (Guyton, dkk, 2006)
Tidak ada satu ketetapan tentang suhu inti yang normal, karena
pengukuran pada banyak orang sehat menunjukkan rentang suhu normal.
Rata-rata suhu inti normal secara umum antara 36,6 0C sampai 37 0C, jika
diukur secara oral akan lebih tinggi 10F (0,6 0C) dibandingkan dengan
secara rektal. Suhu tubuh meningkat selama latihan dan berubah-ubah
pada suhu lingkungan yang ekstrim. Saat produksi panas berlebihan
dalam tubuh karena latihan yang berat, suhu dapat meningkat secara
temporer mencapai 380C sampai 40 0C. Saat tubuh terpapar dengan
dingin yang ekstrim, suhu dapat turun sampai di bawah 35,5 0C (Guyton,
dkk, 2006).
2.2.

Suhu Tubuh Diatur oleh Keseimbangan Produksi dan
Hilangnya Panas Tubuh

Ketika produksi panas lebih besar dari hilangnya panas tubuh maka
akan terjadi hipertemia. Demikian juga sebaliknya. Produksi panas
terutama dihaslikan lewat metabolisme. Hal-hal yang mempengaruhinya
antar lain: (1) metabolime basal dari seluruh sel di tubuh; (2) metabolime

Universitas Sumatera Utara

ekstra yang dihasilkan oleh aktifitas otot; (3) metabolism ekstra yang
dihasilkan oleh efek hormone (tiroksin, growth hormone) pada sel; (4)
metabolisme ekstra dari efek epineprin, norepineprin dan stimulasi
simpatik terhadap sel; (5) metabolisme ekstra yang diperlukan untuk
mencerna, menyerap dan menyimpan makanan (Guyton, dkk, 2006).
Kebanyakan panas dihasilkan di organ dalam terutama hati, otak,
jantung dan otot skletal selama beraktivitas. Kemudian panas ini
menyebar sampai ke kulit dan dilepaskan ke udara sekitar melalui
mekanisme radiasi konduksi dan evaporasi (Guyton, dkk, 2006).

Gambar 1: Mekanisme Hilangnya Panas dari Tubuh.
Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature
Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology
guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.

2.3.

Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus.

Suhu tubuh dikontrol oleh hipotalamus. Sel-sel saraf baik yang
berada di preoptik hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior

Universitas Sumatera Utara

menerima 2 macam sinyal: yang pertama dari nervus perifer yang
merefleksikan reseptor panas/ dingin dan yang lain dari darah yang
mengaliri daerah hipotalamus tersebut. Kedua tipe sinyal ini diintegrasikan
oleh pusat termoregulator dari hipotalamus untuk menjaga suhu tubuh
tetap normal. Pada tubuh yang sehat, suhu tubuh tetap stabil karena
pusat termoregulator dari hipotalamus menyeimbangkan produksi panas
(yang diperoleh dari aktifitas metabolik dalam otot dan liver) dengan
pelepasan panas (dari kulit dan paru-paru). (Dinarello, dkk, 2005)
Suhu tubuh dikendalikan hampir sepenuhnya oleh mekanisme
nervous feedbeck dan hampir semuanya dilakukan melalui pusat
pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus. Area preoptik-hipotalamus
anterior ini terdiri dari sejumlah besar sel-sel saraf yang sensitif terhadap
panas dan sepertiganya terdiri dari sel-sel saraf yang sensitif terhadap
dingin. Saat area preoptik tersebut dirangsang panas, kulit pada seluruh
tubuh akan mengeluarkan keringat yang banyak, sementara pembuluh
darah pada kulit akan berdilatasi. Hal ini sebagai reaksi cepat agar tubuh
dapat melepaskan panas, sehingga membantu mengembalikan suhu
tubuh ke normal. Sebagai tambahan, tubuh juga akan menghambat
produksi panas yang berlebihan (Guyton, dkk, 2006).
Meskipun pengaturan hipotalamus terhadap suhu tubuh sangat
kuat, namun reseptor lain juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh
(yaitu reseptor yang ada di kulit dan jaringan dalam tubuh). Reseptor di
kulit untuk dingin 10 kali lebih banyak daripada reseptor panas, sehingga

Universitas Sumatera Utara

lebih peka terhadap suhu dingin daripada panas. Saat kulit di seluruh
tubuh dirangsang dingin, maka akan terjadi respon untuk meningkatkan
suhu tubuh berupa menggigil, mengurangi produksi keringat dan
vasokontriksi pembuluh darah kulit. Reseptor di jaringan dalam tubuh
terutama terdapat di medula spinalis, organ-organ visera abdomen dan
vena-vena besar dalam abdomen bagian atas dan toraks. Reseptor ini
juga lebih peka terhadap dingin daripada panas. Kepekaan yang lebih
terhadap dingin tersebut

mungkin untuk mencegah agar tubuh tidak

hipotermia (Guyton, dkk, 2006).
Meskipun sinyal sensorik banyak datangnya dari reseptor di perifer,
namun sinyal-sinyal itu akan mempengaruhi suhu tubuh melalui
pengaturan hipotalamus. Area yang distimulasi oleh sinyal-sinyal itu
terletak bilateral di hipotalamus posterior, setentang dengan mammilary
body. Sinyal-sinyal sensorik dari preoptik-hipotalamus anterior juga
ditransmisikan ke area hipotalamus posterior. Di sinilah sinyal-sinyal itu
semua diintegrasikan untuk mengontrol produksi dan penyimpanan panas
dari tubuh (Guyton, dkk, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2: Bagian-bagian dari Hipotalamus.
Dikutip dari: Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany: Thieme Varlag,
2004. hal: 143

3.

DEMAM PADA STROKE
Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas rentang yang

normal, dapat disebabkan oleh abnormalitas dari otak itu sendiri atau
substansi toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton,
dkk, 2006).
Demam pada pasien stroke akut merupakan hal yang biasa terjadi
dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi. Penelitian Georgilis, dkk tahun
1999 mendapatkan dari 330 pasien stroke akut 37,6% ditemukan demam,
22,7% disebabkan oleh infeksi dan 14,8% tanpa adanya infeksi. Pada
beberapa kasus, fokus infeksinya tidak dapat ditemukan, demam tersebut
tidak respon dengan terapi antibiotik empirik dan diperkirakan disebabkan
lesi pada susunan saraf pusat. Pada pasien dengan demam tanpa fokus

Universitas Sumatera Utara

infeksi, karakteristik satu-satunya yang membedakan dengan adanya
infeksi adalah onset demam yang segera (Georgilis, dkk, 1999).
Banyak protein, produk sisa dari protein dan substansi-substansi lain,
terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel
bakteri menyebabkan set-point dari thermostat hipotalamus meningkat.
Substansi yang menyebabkan efek ini disebut pirogen. Pirogen dilepaskan
dari toksin bakteri atau dari jaringan tubuh yang mengalami degenerasi.
Saat set-point dari pusat pengaturan suhu di hipotalamus meningkat dari
normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh akan berjalan,
meliputi penyimpanan suhu dan peningkatan produksi panas. Dalam
beberapa jam setelah set-point meningkat, suhu tubuh juga akan
mencapai level tersebut (Guyton, dkk, 2006).
Sitokin merupakan molekul protein kecil (10.000 – 20.000 Da) yang
mengatur imunitas, inflamasi dan proses hematopoesis. Beberapa sitokin
yang dapat menyebabkan demam disebut sitokin pirogenik (IL-1, IL-6 dan
TNF). Beberapa tipe sel (monosit/makrofag, sel endothelial) dapat
memproduksi sitokin pirogenik, yang kemudian akan memasuki sirkulasi
sistemik. Meskipun efek sistemik dari sitokin yang bersirkulasi dapat
menyebabkan demam dengan menginduksi sintesis PGE 2, sitokin itu juga
dapat menginduksi PGE2 di jaringan perifer. Peningkatan kadar PGE2 di
perifer ini akan menyebabkan mialgia dan atralgia yang sering bersamaan
dengan demam. Namun demikian, induksi PGE2 di otaklah yang memulai
proses peningkatan set-point di hipotalamus (Dinarello, dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3: Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di
Hipotalamus.
Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature
Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology
guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.

Ada 4 reseptor dari PGE2, dan reseptor yang ke 3 lah yang berperan
pada terjadinya demam. Meskipun PGE2 penting pada proses terjadinya
demam,

tapi

PGE2 bukanlah

neurotransmitter.

Adapun

demikian,

pelepasan PGE2 dari endotelium hipotalamus akan merangsang reseptor
PGE2 di sel glial dan hal ini akan menyebabkan pelepasan yang cepat dari
cyclic adenosine 5 - monophosphate (cyclic AMP), yang merupakan
neurotransmitter. Cyclic AMP ini akan menyebabkan peningkatan
termoregulator set-point di hipotalamus (Dinarello, dkk, 2005).
Perangsangan langsung terhadap hipotalamus oleh toksin mikroba
juga dapat terjadi. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negative

Universitas Sumatera Utara

dan asam teichoic dari bakteri gram positif akan merangsang reseptor
yang ada di endothelium hipotalamus (disebut reseptor Toll-like). Aktifasi
langsung reseptor Toll-like ini akan menyebabkan produksi PGE2 dan
demam (Dinarello, dkk, 2005).

Gambar 4: Skema terjadinya Demam.
Dikutip dari: Dinarello CA, Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s
principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005. p: 106.

4. PARASETAMOL DAN METAMIZOL
4.1. Parasetamol (Asetaminofen)
Asetaminofen merupakan obat analgesik, antipiretik dan non
antiinflamasi. Fenasetin merupakan prodrug yang dapat dimetabolisme
menjadi asetaminofen (Katzung, dkk, 2005; Wilmana PF, 2007).

Universitas Sumatera Utara

4.1.1. Mekanisme kerja
Cyclooxigenase

(COX),

enzim

yang

mengkonversi

asam

arakhidonat menjadi endoperoksida (precursor prostaglandin) mempunyai
setidaknya 2 isoform: COX-1 dan COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam
sel-sel non inflamasi sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel
polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya.Obat ini bekerja sebagai
inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer,
yang menyebabkan tidak adanya efek anti inflamasi. Bukti-bukti lain
menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga, COX-3, di
susunan saraf pusat (Katzung, dkk, 2005).
4.1.2. Efek
Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek anti inflamasi dan
antipletelet (Katzung, dkk, 2005).
4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis
Asetaminofen

efektif

untuk indikasi yang

sama

pada

dosis

intermediet dari asam asetil salisilat (efek analgesik dan antipiretik: 300 –
2400 mg/ hari). Diserap dengan baik secara oral dan dimetabolisme di
hepar. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam,
dengan masa paruh 2-3 jam pada orang dengan fungsi hati yang normal,
dan tidak dipengaruhi oleh penyakit pada ginjal. Sebagian besar (80%)
dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan
asam sulfat. Tersebar di seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% terikat
protein plasma. Diekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai

Universitas Sumatera Utara

parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi
(Katzung, dkk, 2005; Wilmana PF, 2007).
4.1.4. Toksisitas
Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan individu
tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis atau pasien dengan
gangguan fungsi hepar yang berat, obat ini merupakan hepatotoksin yang
berbahaya (Katzung, dkk, 2005).
4.1.5. Kontraindikasi
Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi
terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna (dosis besar (> 2000 mg/
hari)). Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat
ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa.
(Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-Díaz S, 2000).
4.2. Metamizol
Metamizol adalah suatu nonsteroid anti-inflamatory drugs (NASID)
dengan efek analgetik dan anti piretik. Metamizol berupa bubuk kristal
berwarna putih atau keputihan, sangat mudah larut dalam air dan alkohol
(Nikolova I, dkk. 2012).
4.2.1. Mekanisme kerja
Tempat kerja dari metamizol masih diperdebatkan apakah di sentral
atau perifer atau keduanya. Efek analgesiknya kemungkinan diperoleh
dari beberapa mekanisme, yang paling jelas dijelaskan adalah ihibisi dari

Universitas Sumatera Utara

COX, aktivasi dari sistem kontrol desending inhibitory, interaksi dengan
sistem glutamatergik dan pelepasan peptida opioid endogen (Nikolova I,
dkk. 2012).
Mekanisme neurokemikal yang mendasari efek antipiretik yang kuat
dari metamizol tidak sepenuhnya diketahui, tapi ada bukti bahwa ia
bekerja secara sentral pada

pusat pengaturan suhu di hipotalamus

dengan menghambat sintesa dari prostaglandin pada susunan saraf pusat
dapat berkontribusi pada efek antipiretiknya. Namun Malvar dkk
menunjukkan bahwa efek antipiretik dari metamizol tidak melalui
mekanisme penghambatan sintesa prostaglandin E2 di hipotalamus.
Sama halnya dengan pada nosiseptif, efek antipiretik dari metamizol
masih belum di indentifikasi (Nikolova I, dkk. 2012).
4.2.2. Efek
Metamizol memiliki efek analgesik, antipiretik, anti inflamasi yang lemah
dan efek spasmolitik pada otot polos (Nikolova I, dkk. 2012).
4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis
Metamizol secara oral diserap dengan baik mencapai bioavibilitas
hingga 100%. Mengalami hidrolisis non enzimatik di lambung menjadi 4methylaminoantipyrine (MAA) dan mencapai puncak dalam plasma satu
hingga dua jam. Sebagian besar dari dosis yang diberikan akan di
ekskresikan melalui ginjal (90%) dalam bentuk metabolitnya.

Dosis

terapeutiknya yang umum adalah 500mg sampai 1000mg (Nikolova I, dkk.
2012).

Universitas Sumatera Utara

4.2.4. Toksisitas
Metamizol berkaitan dengan agranulositosis yang fatal dengan
insidensi yang rendah. Pada subjek yang sensitif dapat terjadi kolaps,
terutama setelah pemberian injeksi. Karena itu obat ini sebaiknya dibatasi
untuk penanganan nyeri yang tidak dapat ditangani dengan analgesik lain
(Lüllmann H, 2000).

Gambar 5: Antipiretik: acetaminophen, acetylsalicilyc acid dan dipyrone
(metamizol).
Dikutip dari Lüllmann H, Mohr K, Ziegler A,

Bieger D. 2000. Calor Atlas of

Pharmacology. 2nd edition. Georg Thieme Verlag. Stuggart

4.2.5. Kontra Indikasi
Metamizol kontraindikasi diberikan pada pasien yang memiliki
riwayat alergi terhadap obat ini. Juga kontra indikasi untuk pasien dengan
ganguan sistem fungsi hemepoetik, ibu hamil dan menyusui

Universitas Sumatera Utara

Tabel1: perbanding antara Parasetamol dan Metamizol

Sediaan
Dosis

Cara pemberian iv

Kadar Puncak (Tmax)
Waktu Paruh (T1/2)
Metabolisme &
Ekskresi

Parasetamol
Tablet: 500 mg/tablet
Infus: 1000mg/100cc
Tablet: 300-1000 mg/kali; maks 3 kali
Infus: 1000 mg tiap 4-6 jam
Dosis Maksimal 4 gr/hari (dewasa)
Diberikan secara iv per infus dengan
kecepatan 100 cc habis dalam 15
menit
Secara oral: dalam 30 menit
Secara iv: dalam 15 menit
1-3 jam

Metamizol
Tablet: 500 mg/tablet
Injeksi: 1000 mg/2cc/ampul
Tablet: 300-1000 mg/kali; maks 3 kali
Injeksi 1000 mg tiap 6-8 jam
Dosis maksimal 3 gr/hari (dewasa)
Diberikan dengan injeksi iv secara
bolus perlahan 1 ampul habis dalam 5
menit
Secara oral: dicapai dalam 1-2 jam
Secara iv: dicapai dalam ± 8 menit
2,5-3,5 jam

Dimetabolisme oleh hati, dikonjugasi
dengan asam glukuronat dan asam
sulfat.
Metabolitnya antara lain Nacetylimidoquinone dan AM404.
Diekskresi terutama lewat ginjal.

Sediaan oral pertamakali dihidrolisis di
saluran cerna menjadi metabolit
aktifnya metylaminoantitypirine. Dihati
dimetabolisme menjadi metabolit aktif
kedua yaitu aminoantitypirine.
Sebagai besar diekskresi lewat ginjal

Sumber
Wilmana PF, 2007
Wilmana PF, 2007

Wilmana PF, 2007

Wilmana PF, 2007
Wilmana PF, 2007
Nikolova I, dkk. 2012
Wilmana PF, 2007
Katzung, dkk, 2005

Universitas Sumatera Utara

Tabel: perbanding antara Parasetamol dan Metamizol (lanjutan)

Sifat antipiretik

Sifat analgesik

Efek samping

Parasetamol
Kadar dalam plasma: 10-20 mg/L
Cara kerja:
menghambat COX terutama COX-2
sehingga pembentukan PGE2 menurun di
hipotalamus ant.

Metamizol
Kadar dalam plasma: 10 mg/L
Cara kerja:
Menghambat sintesa PGE2 di hipotalamus
ant. dengan menghambat COX-3 (secara
in vitro tidak menghambat COX-1 & COX2)
Kadar dalam plasma: 10 mg/L
Kadar dalam plasma: 10 mg/L
Cara kerja:
Cara kerja:
Menghambat COX-1,2 terutama COX-2.
Menghambat COX-1,2
Metabolitnya AM404 menghambat reuptake Aktivasi sistem desending inhibitory pain
dari kanabinoid endogen (anandanmide)
control system
Metabolit lainnya N-acetylimidoquinone Menstimulasi
pelepasan
endorphin-ᵦ
bekerja menghambat transduksi sinyal di dihipotalamus dan meningkatkan efek
dorsal horne mengurangi nyeri
antinosiseptif dari endorphin
Keracunan akut (200-250 mg/kgBB) dapat Agranulositosis, enemia aplastik
menyebabkan nekrosis hati dan nekrosis trombositopenia tapi sangat rendah.
tubuli renalis

dan

Wilmana PF, 2007
Nikolova I, dkk. 2012

Wilmana PF, 2007
Nikolova I, dkk. 2012
Claesson A, 2013
Kofalvi A, 2008

Wilmana PF, 2007

Universitas Sumatera Utara

60

5. KERANGKA TEORI

STROKE
Kallmünzer B, dkk 2011:
demam terjadi pada 61% kasus
stroke iskemik dan 91% stroke
hemoragik.

Dippel, dkk, 2001:
asetaminofen 6000 mg
memberikan manfaat yang
potensial menurunkan suhu
tubuh setelah stroke iskemik
akut pada pasien
normotermia dan subfebris.

Sulter, dkk, 2004: Pingkatan
suhu tubuh terjadi pada 58%
pasien stroke iskemik pada 48
jam pertama.

HIPERTERMIA
Kallmünzer B, dkk,
2011: pada 1 jam
pertama, 59,8%
pemberian paracetamol
iv dan 60, 6%
pemberian metamizol iv
mencapai normotermia.

Peacock dkk, 2011:
paracetamol intra vena
memiliki efikasi dan
keamanan yang sama
dengan paracetamol yang
diberikan secara oral

PARASETAMOL

METAMIZOL

Reith, dkk, 1996: Tiap pe↑ 10C suhu
tubuh maka risiko relatif outcome
yang jelek meningkat 2,2 kali.
Hajat dkk, 2000: peningkatan suhu
tubuh setelah onset stroke berkaitan
dengan peningkatan mortalitas dan
mobiditas
Saini, dkk, 2009: Tindakan yang
agresif untuk mencegah dan
mengobati
hipertermia
dapat
meningkatkan outcome klinis.

OUTCOME

OUTCOME

6. KERANGKA KONSEP

Universitas Sumatera Utara

61

STROKE

HIPERTERMIA

PARASETAMOL

METAMIZOL

OUTCOME

OUTCOME

BAB III
METODE PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara