Perbedaan Pengaruh Parasetamol Infus Dengan Metamizol Injeksi Terhadap Suhu Tubuh Dan Outcome Pasien Stroke Akut Dengan Hipertermia

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Stroke, setelah penyakit jantung dan kanker adalah penyebab
kematian ketiga di Amerika Serikat. Setiap tahun di negara ini terdapat
700.000 kasus stroke (600.000 stroke iskemik dan 100.000 stroke
hemoragik) dengan 175.000 kematian dari kasus ini (Ropper, 2005).
Di Indonesia, menurut survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan yang utama yang harus ditangani segera, tepat dan cermat
(Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri PERDOSSI, 1999).
Sekitar 61% dari pasien dengan stroke iskemik mengalami demam
dalam 48 jam pertama setelah onset dan sebuah studi observasional
menemukan peningkatan suhu tubuh pada 91% kasus setelah perdarahan
intraserebral (KallmünzerB, dkk, 2011). Hal ini tidak berbeda jauh dengan
penelitian Sulter dkk, yang menemukan 58 % pasien stroke iskemik yang
menjadi subjek penelitiannya mengalami peningkatan suhu tubuh pada 48
jam pertama (Sulter, dkk, 2004).
Pada pasien stroke yang datang dengan hipotermia ringan diperoleh
mortalitas yang rendah dan outcome yang lebih baik sedang pada pasien
hipertermia keduanya dijumpai lebih jelek. Untuk setiap peningkatan 10C

suhu tubuh maka risiko relatif outcome yang jelek meningkat sebanyak
2,2 kali (Reith, dkk, 1996). Penelitian Saini dkk, menyimpulkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

hipertermia pada stroke iskemik akut berhubungan dengan outcome klinis
yang jelek. Semakin lama hipertermia terjadi dalam minggu pertama,
maka akan semakin jelek prognosisnya. Tindakan yang agresif untuk
mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis
(Saini dkk, 2009).
Hajat dkk, yang melakukan studi meta analisis menemukan bahwa
peningkatan

suhu

tubuh

setelah

onset


stroke

berkaitan

dengan

peningkatan mortalitas dan morbiditas. Menurut mereka penanganan
untuk

mengatasi

demam

harus

dilakukan

untuk


mencegah

perkembangan stroke (Hajat dkk, 2000). Penelitian dari Reith, dkk
menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih rendah dan outcome yang lebih
baik pada pasien dengan hipotermia ringan (< 360C) pada saat masuk
(Reith, dkk, 1996).
Penelitian Dippel, dkk menemukan bahwa Parasetamol dengan
dosis harian 6000 mg setelah stroke iskemik menyebabkan penurunan
0,40C suhu tubuh daripada plasebo pada 12 dan 24 jam, sementara dosis
harian 3000 mg tidak memberikan hasil yang signifikan dalam penurunan
suhu tubuh. Disimpulkan bahwa Parasetamol 6000 mg memberikan
manfaat yang potensial dalam menurunkan suhu tubuh setelah stroke
iskemik akut baik pada pasien normotermia dan subfebris (Dippel dkk,
2001; Dippel dkk, 2003).
Penelitian oleh Kallmünzer B, dkk yang membandingkan suatu
standard operating procedure (SOP) dengan penanganan konvensional

Universitas Sumatera Utara

untuk mangatasi hiperpireksi pada pasien stroke. Mereka mengunakan 2

macam antipiretik (Parasetamol 1000 mg iv dan metamizol 1000 mg iv)
dan 2 macam physical intervention pada SOP sequential yang mereka
aplikasikan. Hasilnya adalah dengan SOP tersebut, normotermia lebih
cepat dicapai dibanding dengan yang konvensional. Hal lain yang dapat
disimak dari penelitian tersebut adalah bahwa dari 219 kali pemberian
Parasetamol iv, 59,8% mencapai normotermia dan dari 61 pemberian
metamizol iv 60,6% mencapai normotermia satu jam setelah pemberian
obat (Kallmünzer B, dkk, 2011).
Oborilova dkk yang meneliti manfaat dari antipiretik intravena pada
pasien onkologi menemukan bahwa pemberian diklofenak 75 iv,
metamizol 1000 mg dan 2500 mg iv dan proParasetamol 1000 mg dan
2000 mg iv semuanya menyebabkan penurunan suhu tubuh yang
bermakna setelah 60 menit dengan penurunan yang paling besar pada
pemberian metamizol 2500 mg (Oborilova dkk, 2002). Apakah ada
perbedaan yang bermakna dari dari masing-masing regimen, penelitian ini
tidak mencantumkannya.
Peacock dkk, mendapatkan bahwa Parasetamol intra vena memiliki
efikasi dan keamanan yang sama dengan Parasetamol yang diberikan
secara oral. Parasetamol iv bisa digunakan ketika pasien tidak
memungkinkan untuk pemberian secara oral atau jika mengharapkan

onset of action yang lebih cepat (Peacock dkk, 2011).

Hicnhey dkk

menemukan bahwa stroke adalah penyebab utama dispagia, dimana 42%

Universitas Sumatera Utara

sampai 67% pasien stroke mengalami disfagia dalam 3 hari (Hinchey dkk,
2005) sehingga pemberian obat-obatan secara iv memiliki tempat untuk
dijadikan pilihan.
Penelitian dari Reith, dkk menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih
rendah dan outcome yang lebih baik pada pasien dengan hipotermia
ringan (< 36 0C) pada saat masuk (Schwab, dkk, 1998). Pada penderita
cedera kepala, induksi hipotermia telah menunjukkan secara signifikan
memperbaiki outcome sampai 6 bulan pada pasien dengan skala koma
Glasgow saat masuk 5 – 7 (Hajat, dkk, 2000).
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian – penelitian terdahulu seperti
yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah perbedaan pengaruh parasetamol infus dengan metamizol
injeksi pada suhu tubuh dan outcome penderita stroke akut dengan
hipertermia?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan pengaruh Parasetamol infus dengan
metamizol injeksi pada suhu tubuh dan outcome penderita stroke
akut dengan hipertermia.

Universitas Sumatera Utara

3.2 Tujuan Khusus
3.2.1 Untuk mengetahui perbedaan pengaruh Parasetamol infus
dengan metamizol injeksi pada suhu tubuh dan outcome
penderita stroke akut dengan hipertermia yang dirawat di bagian
Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Haji Medan.
3.2.2 Untuk mengetahui pengaruh masing-masing dari Parasetamol
infus dan metamizol injeksi pada suhu tubuh penderita stroke
akut dengan hipertermia yang dirawat di bagian Neurologi

RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Haji Medan, pada 1 jam
dan 3 jam setelah pemberian antipiretik.
3.2.3 Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara Parasetamol
infus dengan metamizol injeksi pada suhu tubuh penderita
stroke akut dengan hipertermia yang dirawat di bagian
Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Haji Medan,
pada 1 jam dan 3 jam setelah pemberian antipiretik.
3.2.4 Untuk

melihat

pengaruh

masing-masing

Parasetamol infus dan metamizol injeksi

dari

pemberian


pada pasien stroke

akut dengan hipertermia di RSUP H. Adam Malik Medan dan
RS Haji Medan, terhadap outcome fungsional pada hari ke-14.
3.2.5 Untuk

melihat

perbedaan

pengaruh

antara

pemberian

Parasetamol infus dengan metamizol injeksi pada pasien stroke
akut dengan hipertermia di RSUP H. Adam Malik Medan dan
RS Haji Medan terhadap outcome fungsional pada hari ke-14


Universitas Sumatera Utara

3.2.6 Untuk melihat gambaran karakteristik demografik penderita
stroke akut

dengan hipertermia di RSUP H. Adam Malik

Medan.dan RS Haji Medan.
4. Hipotesis
1. Ada perbedaan pengaruh Parasetamol infus dengan metamizol
injeksi pada suhu tubuh penderita stroke akut dengan hipertermia.
2. Ada perbedaan pengaruh Parasetamol infus dengan metamizol
injeksi terhadap outcome penderita stroke akut dengan hipertermia.
5. Manfaat Penelitian
5.1. Manfaat untuk peneliti
Peneliti dapat mengetahui

bagaimana perbedaan pengaruh


parasetamol infus dengan metamizol injeksi pada suhu tubuh dan
outcome pada penderita stroke iskemik akut dengan hipertermia.
5.2. Manfaat untuk ilmu pengatahuan
Dengan mengetahui adanya

perbedaan pengaruh parasetamol

infus dengan metamizol injeksi pada suhu tubuh penderita stroke iskemik
akut dengan hipertermia, maka dapat dilakukan penatalaksanaan
hipertermia yang lebih baik pada pasien stroke akut.
5.3. Manfaat untuk masyarakat
Dengan semakin baiknya penatalaksanaan hipertemia pada stroke
yang lebih baik maka anggota masyarakat yang menderita stroke
dengan hipertermia akan diuntungkan.

Universitas Sumatera Utara