Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) Dengan Asam Asetil Salisilat Pada Suhu Tubuh Dan Pengaruhnya Terhadap Outcome Penderita Stroke Iskemik Akut

(1)

BEDA EFEK PARASETAMOL (ASETAMINOFEN) DENGAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA SUHU TUBUH DAN PENGARUHNYA

TERHADAP OUTCOME PENDERITA STROKE ISKEMIK AKUT

T E S I S

CHAIRIL AMIN BATUBARA

097112003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

BEDA EFEK PARASETAMOL (ASETAMINOFEN) DENGAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA SUHU TUBUH DAN PENGARUHNYA

TERHADAP OUTCOME PENDERITA STROKE ISKEMIK AKUT

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Spesialis Saraf Pada Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHAIRIL AMIN BATUBARA 097112003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

Judul Tesis : Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) Dengan Asam Asetil Salisilat Pada Suhu Tubuh Dan Pengaruhnya Terhadap Outcome Penderita Stroke Iskemik Akut

Nama Mahasiswa : CHAIRIL AMIN BATUBARA

Nomor Induk Mahasiswa : 097112003

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) Ketua

Ketua Program Studi Ketua TKP PPDS I

Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) Dr. Zainuddin Amir, SpP(K)


(4)

Tanggal Lulus: 20 September 2001

Telah diuji pada

Tanggal: 20 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)

Anggota : 1. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) 2. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) 4. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

5. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K) 6. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K)

7. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 8. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 9. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S 10. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 11. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S

12. Dr. Dina Listyaningrum, Sp.S, MSi.Med 13. Dr. Aida Fithrie, Sp.S


(5)

BEDA EFEK PARASETAMOL (ASETAMINOFEN) DENGAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA SUHU TUBUH DAN PENGARUHNYA

TERHADAP OUTCOME PENDERITA STROKE ISKEMIK AKUT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 20 September 2011


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik–Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik- Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan dan guru penulis yang tidak pernah bosan dan penuh kesabaran dalam membimbing, mengoreksi, serta selalu memberikan masukan-masukan


(7)

dan arahan selama penulis mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik–Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik-Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan penyelesaian tesis ini.

4. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K) dan Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K), selaku pembimbing penulis yang dengan sabar dan sepenuh hati dalam membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

5. Guru-guru penulis: Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K); Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K); Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; Dr. Cut Aria Arina, Sp.S; Dr. S. Irwansyah, Sp.S; Dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; Dr. Dina Listyaningrum, Sp.S, MSi.Med; Dr. Aida Fithrie, Sp.S dan guru-guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.


(8)

6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik. 7. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui berbagai diskusi dalam beberapa pertemuan formal maupun informal, serta yang selalu memberikan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik–Spesialis Ilmu Penyakit Saraf. 9. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah

bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik–Spesialis Ilmu Penyakit Saraf. 10. Semua pasien stroke iskemik akut yang telah bersedia ikut serta untuk


(9)

11. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi (Alm.) Dr. Achmad Sjukri Batubara, Sp.S (K) dan Dra. Anggreni Lubis yang telah bersusah payah dengan cinta kasih dan pengorbanannya dalam membesarkan, mendidik, membimbing, dan memotivasi serta selalu mendoakan penulis sejak lahir hingga saat ini.

Semoga Allah SWT akan membalas semua jasa-jasa dan perbuatan baik mereka yang telah membantu penulis dengan tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Penulis


(10)

ABSTRAK

Latar Belakang: Suhu tubuh merupakan prediktor outcome pada penderita stroke iskemik akut. Pemberian antipiretik dapat menurunkan suhu tubuh dan dengan demikian dapat memperbaiki outcome penderita stroke iskemik akut.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efek parasetamol dan asam asetil salisilat (AAS) terhadap suhu tubuh dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut.

Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan randomized control-group pretest-post test design. Terdiri dari 2 kelompok, yang pertama diberikan parasetamol 1000 mg dan yang kedua diberikan AAS 500 mg, dengan 15 pasien tiap kelompoknya. Pengukuran suhu tubuh dilakukan 3 kali, pertama sebelum pemberian obat, kemudian 1 dan 3 jam setelahnya. Outcome diukur dengan NIHSS ( ≤ 5 = ringan ; 6-13 = sedang ; > 13 = berat ) dan mRS ( 1-2 = berat; 3-6 = buruk ).

Hasil: Dari 30 sampel yang diperoleh, 15 (50%) mendapat parasetamol dan sisanya 15 (50%) AAS. Parasetamol dan AAS menurunkan suhu tubuh secara bermakna dalam 3 jam pertama (parasetamol p=0,003 dan AAS p=0,013). Tidak terdapat pengaruh bermakna pada perubahan skor outcome NIHSS dan mRS hari ke-14 steeled pemberian parasetamol dan AAS.

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan bahwa parasetamol dan AAS memberikan efek yang sama dalam penurunan suhu tubuh penderita stroke iskemik akut namun tidak berpengaruh pada outcome.

Kata kunci: stroke iskemik akut, parasetamol, asam asetil salisilat, suhu tubuh, outcome


(11)

ABSTRACT

Background: Body temperature is a predictor of outcome in acute ischemic stroke. Treatment with antipyretic may reduce body temperature, therefore improve outcome of acute ischemic stroke.

Objective: This study was performed to determine the difference effect of paracetamol and acetylsalicylic acid (ASA) on body temperature and its impact to the outcome of ischemic stroke patients.

Methods: Randomized, control-group, pretest-postest design was used in this study. The subjects was divided into 2 groups, the first was given paracetamol 1000 mg and the other ASA 500 mg with 15 patients each groups. The measurement of body temperature was done three times, the first before giving the drug, then 1 and 3 hours after that. Outcome was measured by NIHSS ( ≤ 5 = mild ; 6-13 = moderate ; > 13 severe ) and mRS (1-2 = good ; 3-6 = poor).

Results: From the 30 samples obtained, 15 (50%) got paracetamol and the other 15 (50%) ASA. Paracetamol and ASA significantly reduced body temperature in the first 3 hours (p = 0.003 ; p = 0.013). There was no significant effect in the improvement on outcome score NIHSS and mRS at 14 days after giving paracetamol and ASA.

Conclusions: This study suggested that paracetamol and ASA gave equal effect in reducing body temperature of acute ischemic stroke patients but has no effect to the outcome.

Key Words: acute ischemic stroke, paracetamol, asetylsalicylic acid, body temperature, outcome.


(12)

DAFTARISI

Halaman

Lembar Pengesahan Tesis……… i

Ucapan Terima Kasih………..……….. iv

Abstrak……….. viii

Daftar Isi ……….…..……... x

Daftar Singkatan………..…….. xiv

Daftar Gambar………...…...…….. xv

Daftar Tabel……….…...………. xvi

Daftar Grafik………..……….. xvii

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

1. Latar Belakang ……….…………... 1

2. Perumusan Masalah………... 4

3. Tujuan Penelitian………... 4


(13)

5. Manfaat Penelitian ……….. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………..………... 7

1. Stroke Iskemik………..……….. 7

1.1. Definisi………..……….. 7

1.2. Epidemiologi……….……….. 7

1.3. Faktor Risiko……….………. 9

1.4. Klasifikasi………..………..… 10

1.5. Patofisiologi……….………...… 12

2. Suhu Tubuh Normal………....…………..………… 13

2.1. Suhu Inti dan Suhu Kulit………... 13

2.2. Suhu Inti Yang Normal……….…..…………... 13

2.3. Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus…………. 14

3. Demam Pada Stroke Iskemik…...………... 17

4. Parasetamol (Asetaminofen) dan Asam Asetil Salisilat…... 21

5. Kerangka Teori…..……….………... 28


(14)

BAB III. METODE PENELITIAN………... 30

1. Tempat dan Waktu……….…….. 30

2. Subjek Penelitian ………..………... 30

2.1. Populasi Sasaran ………... 30

2.2. Populasi Terjangkau……….. 30

2.3. Besar Sampel………...………... 30

2.4. Kriteria Inklusi………... 31

2.5. Kriteria Eksklusi………... 31

3. Batasan Operasional………..………... 32

4. Instrumen Penelitian………..……….. 34

5. Rancangan……….... 35

6. Pelaksanaan Penelitian………... 35

6.1. Pengambilan Sampel………. 35

6.2. Kerangka Operasional ………... 36

7. Variabel yang Diamati ………... 37

8. Analisa Statistik………..…... 37

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 38


(15)

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian………... 36

1.2. Pengaruh terhadap Rerata Suhu Tubuh………... 40

1.3. Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) dan Asam Asetil Salisilat……….. 43

1.4. Pengaruh terhadap Outcome……… 44

1.5. Perbedaan Outcome antar Kedua Kelompok Perlakuan………....………... 45

2. PEMBAHASAN……… 46

2.1. Karakteristik Subjek Penelitian………. 46

2.2. Pengaruh terhadap Rerata Suhu Tubuh………. 47

2.3. Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) dan AAS…… 47

2.4. Pengaruh terhadap Outcome dan Perbedaan Outcome antar Kedua Kelompok Perlakuan………….. 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….………... 52

1. Kesimpulan……….. 52

2. Saran ………... 53


(16)

LAMPIRAN

1. Lampiran 1: Lembar Penjelasan Kepada Penderita/ Keluarga 2. Lampiran 2: Surat persetujuan Ikut Dalam Penelitian

3. Lampiran 3: Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

4. Lampiran 4: Lembar Pengumpulan Data

5. Lampiran 5: National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) 6. Lampiran 6: Modified Rankin Scale (mRS)

7. Lampiran 7: Data Karakteristik Sampel Penelitian 8. Lampiran 8: Daftar Riwayat Hidup Penulis


(17)

DAFTAR SINGKATAN

cAMP : cyclic Adenosin Mono Phosphat

COX : Cyclooxygenase

COX-1 : Cyclooxygenase-1

COX-2 : Cyclooxygenase-2

COX-3 : Cyclooxygenase-3

IFN : Interferon

IL-1 : Interleukin-1

IL-2 : Interleukin-2

n : Jumlah sampel

NIHSS : National Institutes of Health Stroke Scale

mRS : Modified Rankin Scale

PGE2 : Prostaglandine E2

PERDOSSI : Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

SD : Standar Deviasi


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Perkiraan Rentang Suhu Inti Tubuh Pada Orang Normal. 14

Gambar 2. Bagian-bagian dari Hipotalamus 17

Gambar 3. Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu

di Hipotalamus


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Gambaran karakteristik demografik subjek penelitian 39

Tabel 2. Pengaruh parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terhadap rerata suhu tubuh saat 0, 1 dan 3 jam pada kedua kelompok perlakuan

42

Tabel 3. Beda efek parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terhadap rerata suhu tubuh saat 0, 1 dan 3 jam

43

Tabel 4. Pengaruh terhadap outcome pada kedua kelompok perlakuan 44

Tabel 5. Perbedaan outcomeNIHSS atau mRS antar kedua


(20)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Nilai rerata suhu tubuh: a). Kelompok parasetamol 1000 mg,


(21)

ABSTRAK

Latar Belakang: Suhu tubuh merupakan prediktor outcome pada penderita stroke iskemik akut. Pemberian antipiretik dapat menurunkan suhu tubuh dan dengan demikian dapat memperbaiki outcome penderita stroke iskemik akut.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efek parasetamol dan asam asetil salisilat (AAS) terhadap suhu tubuh dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut.

Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan randomized control-group pretest-post test design. Terdiri dari 2 kelompok, yang pertama diberikan parasetamol 1000 mg dan yang kedua diberikan AAS 500 mg, dengan 15 pasien tiap kelompoknya. Pengukuran suhu tubuh dilakukan 3 kali, pertama sebelum pemberian obat, kemudian 1 dan 3 jam setelahnya. Outcome diukur dengan NIHSS ( ≤ 5 = ringan ; 6-13 = sedang ; > 13 = berat ) dan mRS ( 1-2 = berat; 3-6 = buruk ).

Hasil: Dari 30 sampel yang diperoleh, 15 (50%) mendapat parasetamol dan sisanya 15 (50%) AAS. Parasetamol dan AAS menurunkan suhu tubuh secara bermakna dalam 3 jam pertama (parasetamol p=0,003 dan AAS p=0,013). Tidak terdapat pengaruh bermakna pada perubahan skor outcome NIHSS dan mRS hari ke-14 steeled pemberian parasetamol dan AAS.

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan bahwa parasetamol dan AAS memberikan efek yang sama dalam penurunan suhu tubuh penderita stroke iskemik akut namun tidak berpengaruh pada outcome.

Kata kunci: stroke iskemik akut, parasetamol, asam asetil salisilat, suhu tubuh, outcome


(22)

ABSTRACT

Background: Body temperature is a predictor of outcome in acute ischemic stroke. Treatment with antipyretic may reduce body temperature, therefore improve outcome of acute ischemic stroke.

Objective: This study was performed to determine the difference effect of paracetamol and acetylsalicylic acid (ASA) on body temperature and its impact to the outcome of ischemic stroke patients.

Methods: Randomized, control-group, pretest-postest design was used in this study. The subjects was divided into 2 groups, the first was given paracetamol 1000 mg and the other ASA 500 mg with 15 patients each groups. The measurement of body temperature was done three times, the first before giving the drug, then 1 and 3 hours after that. Outcome was measured by NIHSS ( ≤ 5 = mild ; 6-13 = moderate ; > 13 severe ) and mRS (1-2 = good ; 3-6 = poor).

Results: From the 30 samples obtained, 15 (50%) got paracetamol and the other 15 (50%) ASA. Paracetamol and ASA significantly reduced body temperature in the first 3 hours (p = 0.003 ; p = 0.013). There was no significant effect in the improvement on outcome score NIHSS and mRS at 14 days after giving paracetamol and ASA.

Conclusions: This study suggested that paracetamol and ASA gave equal effect in reducing body temperature of acute ischemic stroke patients but has no effect to the outcome.

Key Words: acute ischemic stroke, paracetamol, asetylsalicylic acid, body temperature, outcome.


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia, sedangkan di negara Barat yang telah maju, stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan kanker.

Stroke adalah penyebab kedua kecacatan berat di seluruh dunia pada usia di atas 60 tahun dan biaya perawatan stroke adalah sangat besar, pada tahun 2004 diperkirakan 53,6 miliar dolar Amerika. (Nasution, 2007)

Di Indonesia, menurut survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama yang harus ditangani segera, tepat dan cermat. (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri PERDOSSI, 1999)

Selama hari pertama fase akut stroke, demam atau suhu yang subfebris dapat terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien. Peningkatan


(24)

suhu dapat memberikan efek yang jelek pada outcome penderita stroke iskemik. (Dippel, dkk, 2001).

Peningkatan suhu dihubungkan dengan volume infark yang luas, tingginya case fatality dan outcome fungsional yang jelek. (Dippel, 2003).

Penelitian pada binatang yang mengalami iskemik otak fokal, hipertermia yang sedang, pada intraiskemik akan memperluas volume infark, dimana hipotermia yang ringan akan mengurangi ukuran infark. (Dippel, dkk, 2001 ; Meden, dkk, 1994 ; Karibe, dkk, 1994)

Suatu meta-analisis menemukan bahwa peningkatan suhu tubuh setelah onset stroke iskemik, secara nyata meningkatkan mortalitas dan morbiditas. (Sulter, dkk, 2004).

Mortalitas yang rendah dan outcome yang lebih baik ditemukan pada penderita dengan hipotermia ringan pada saat dirawat dan outcome yang jelek pada penderita yang hipertermia. Pada tiap peningkatan 10C suhu tubuh maka risiko relatif outcome yang jelek meningkat 2,2 kali. (Reith, dkk, 1996). Penelitian Saini dkk menyimpulkan bahwa hipertermia pada stroke iskemik akut berhubungan dengan outcome klinis yang jelek. Semakin lama hipertermia terjadi dalam minggu pertama, maka semakin jelek prognosisnya. Tindakan yang agresif untuk mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis (Saini, dkk, 2009)


(25)

Mekanisme hipertermia dapat menyebabkan kerusakan otak meliputi peningkatan metabolisme di daerah penumbra, peningkatan pelepasan asam amino excitatory dan radikal bebas, asidosis dan perubahan permeabilitas dari sawar darah otak. (Dippel, dkk, 2001 ; Sulter, dkk, 2004.)

Pada binatang percobaan, induksi hipotermia memberikan efek protektif sampai 1 jam setelah iskemik fokal yang permanen (Hajat, dkk, 2000). Penelitian dari Reith, dkk menunjukkan bahwa mortalitas yang lebih rendah dan outcome yang lebih baik pada pasien dengan hipotermia ringan ( < 36 0C) pada saat masuk (Schwab, dkk, 1998). Pada penderita cedera kepala, induksi hipotermia telah menunjukkan secara signifikan memperbaiki outcome sampai 6 bulan pada pasien dengan skala koma Glasgow saat masuk 5 – 7. (Hajat, dkk, 2000).

Penelitian Dippel dkk menghasilkan bahwa asetaminofen dengan dosis harian 6000 mg setelah stroke iskemik menyebabkan penurunan 0,40C suhu tubuh daripada plasebo pada 12 dan 24 jam, sementara dosis harian 3000 mg tidak memeberikan hasil yang signifikan dalam penurunan suhu tubuh. Disimpulkan bahwa asetaminofen 6000 mg memberikan manfaat yang potensial dalam menurunkan suhu tubuh setelah stroke iskemik akut baik pada pasien normotermia dan subfebris. (Dippel, dkk, 2001 ; Dippel, dkk, 2003).


(26)

Koennecke dan Leistner melakukan penelitian terhadap 44 pasien yang normotermia dengan stroke iskemik akut, dengan pemberian 4 gram asetaminofen dan plasebo. Didapatkan hasil bahwa demam terjadi pada 36,4% pasien di grup plasebo dibandingkan dengan 5% pada grup asetaminofen. Dan mereka menyarankan pemberian antipiretik profilaksis asetaminofen mungkin efektif dalam mencegah terjadinya demam. (Koennecke dan Leistner, 2001 ; Sulter, dkk, 2004).

Penelitian Sulter, dkk selama 9 bulan terhadap 132 pasien stroke iskemik akut menunjukkan bahwa setelah 1 jam pemberian asetaminofen 1000 mg didapatkan hasil yang signifikan terhadap penurunan suhu tubuh dan normotermia dibandingkan dengan asam asetil salisilat 500 mg. Namun setelah 3 jam pemberian, keduanya memberikan efek yang hampir sama, dimana normotermia hanya diperoleh pada 37-38% pasien. (Sulter, dkk, 2004).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian – penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut : Bagaimanakah beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut ?


(27)

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut

3.2 Tujuan Khusus

3.2.1 Untuk mengetahui beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut yang dirawat di bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2.2 Untuk mengetahui efek parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut (pada 0 jam, 1 jam dan 3 jam setelah pemberian) yang dirawat di bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2.3 Untuk mengetahui beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut (pada 0 jam, 1 jam dan 3 jam setelah pemberian) yang dirawat di bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.


(28)

3.2.4 Untuk melihat outcome fungsional sesudah diberikan parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat pada hari ke-14 untuk masing - masing kelompok pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di bagian Neurolologi RSUP H. Adam Malik Medan

3.2.5 Untuk melihat gambaran karakteristik demografik dan suhu tubuh penderita stroke iskemik akut yang dirawat di bagian Neurolologi RSUP H. Adam Malik Medan.

4. Hipotesis

4.1. Ada beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut.

4.2. Ada beda pengaruh parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada outcome penderita stroke iskemik akut.

5. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui adanya beda pengaruh parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut, maka dapat dilakukan penatalaksanaan pemberian antipiretik yang tepat pada pasien stroke iskemik akut, sehingga dapat meningkatkan outcome fungsional menjadi lebih baik.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. STROKE ISKEMIK

1.1 Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler (PERDOSSI, 1999 ; Gofir, 2009). Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).

Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003)

1.2 Epidemiologi

Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikatlebih dari 700.000 orang per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050. Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker, dkk, 2010).


(30)

Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke, yang seiring dengan semakin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009)

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1263 kasus stroke terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke hemoragik. (Nasution, 2007)


(31)

1.3 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ; Howard, dkk, 2009).

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi : a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol, kurang buah

3. Alkoholik

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet, amfetamin, pil kontrasepsi


(32)

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi 2. Penyakit jantung 3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus 5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan 8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik 1.4 Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach,1999)

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA) b. Thrombosis serebri

c. Embolia serebri 2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral b. Perdarahan subarachnoid


(33)

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu 1. Transient Ischemic Attack (TIA) 2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah 1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler

IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) : 1. Total Anterior Circulation Infarction 2. Partial Anterior Circulation Infarction 3. Posterior Circulation Infarction 4. Lacunar Infarction

V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST (Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)

1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis) 2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang) 3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan: a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi c. Evaluasi tidak lengkap


(34)

1.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Becker, dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2007) .


(35)

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion b. Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

2. SUHU TUBUH NORMAL

2.1. Suhu inti dan suhu kulit.

Suhu dari jaringan dalam tubuh (inti/ “core” dari tubuh) bertahan dalam rentang yang stabil 37 ± 0,6 0C, kecuali dalam keadaan demam. Suhu kulit, berlawanan dengan suhu inti, naik dan turun mengikuti suhu lingkungan. (Guyton, dkk, 2006)


(36)

2.2. Suhu inti yang normal.

Tidak ada satu ketetapan tentang suhu inti yang normal, karena pengukuran pada banyak orang sehat menunjukkan rentang suhu normal. Rata-rata suhu inti normal secara umum antara 36,6 0C sampai 37 0C jika diukur secara oral dan lebih tinggi 10C jika diukur secara rektal. Suhu tubuh meningkat selama latihan dan berubah-ubah pada suhu lingkungan yang ekstrim. Saat produksi panas berlebih-lebihan dalam tubuh karena latihan yang berat, suhu dapat meningkat secara temporer mencapai 380C sampai 40 0C. Saat tubuh terpapar dengan dingin yang ekstrim, suhu dapat turun sampai di bawah 35,5 0C. (Guyton, dkk, 2006)

Gambar 1. Perkiraan Rentang Suhu Inti Tubuh Pada Orang Normal. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and

Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier Saunders, 2006. p: 889 – 901.


(37)

2.3. Pengaturan Suhu Tubuh Oleh Hipotalamus.

Suhu tubuh dikontrol oleh hipotalamus. Sel-sel saraf baik yang berada di preoptik hipotalamus anterior dan hipotalamus posterior menerima 2 macam sinyal: yang pertama dari nervus perifer yang merefleksikan reseptor panas/ dingin dan yang lain dari darah yang mengaliri daerah hipotalamus tersebut. Kedua tipe sinyal ini diintgrasikan oleh pusat termoregulator dari hipotalamus untuk menjaga suhu tubuh tetap normal. Pada tubuh yang sehat, suhu tubuh tetap stabil karena pusat termoregulator dari hipotalamus menyeimbangkan produksi panas (yang diperoleh dari aktifitas metabolik dalam otot dan liver) dengan pelepasan panas (dari kulit dan paru-paru). (Dinarello, dkk, 2005)

Suhu tubuh dikendalikan hampir sepenuhnya oleh mekanisme nervous feedbeck dan hampir semuanya dilakukan melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus. Area preoptik-hipotalamus anterior ini terdiri dari sejumlah besar sel-sel saraf yang sensitif terhadap panas dan sepertiganya terdiri dari sel-sel saraf yang sensitif terhadap dingin. Sel-sel saraf ini berfungsi sebagai sensor suhu dalam mengontrol suhu tubuh. Saat area preoptik tersebut dirangsang panas, kulit pada seluruh tubuh akan mengeluarkan keringat yang banyak, sementara pembuluh darah pada kulit akan berdilatasi. Hal ini sebagai reaksi cepat agar tubuh dapat melepaskan panas, sehingga membantu mengembalikan suhu tubuh ke normal. Sebagai


(38)

tambahan, tubuh juga akan menghambat produksi panas yang berlebihan (Guyton, dkk, 2006). Penurunan suhu tubuh menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah (untuk menyimpan panas) dan menggigil (untuk menghasilkan panas). (Waxman, 2010).

Meskipun pengaturan hipotalamus terhadap suhu tubuh sangat berpengaruh, namun reseptor lain juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh (yaitu reseptor yang ada di kulit dan jaringan dalam tubuh). Reseptor di kulit untuk dingin 10 kali lebih banyak daripada reseptor panas, sehingga lebih peka terhadap suhu dingin daripada panas. Saat kulit di seluruh tubuh dirangsang dingin, maka akan terjadi respon untuk meningkatkan suhu tubuh berupa menggigil, mengurangi produksi keringat dan vasokontriksi pembuluh darah kulit. Reseptor di jaringan dalam tubuh terutama terdapat di medulla spinalis, organ-organ visera abdomen dan vena-vena besar dalam abdomen bagian atas dan toraks. Reseptor ini juga lebih peka terhadap dingin daripada panas. Kepekaan yang lebih terhadap dingin tersebut mungkin untuk mencegah agar tubuh tidak hipotermia (Guyton, dkk, 2006).

Meskipun sinyal sensorik banyak datangnya dari reseptor di perifer, namun sinyal-sinyal itu akan mempengaruhi suhu tubuh melalui pengaturan hipotalamus. Area yang distimulasi oleh sinyal-sinyal itu terletak bilateral di hipotalamus posterior, setentang dengan mammilary body. Sinyal-sinyal sensorik dari preoptik-hipotalamus anterior juga ditransmisikan ke area


(39)

hipotalamus posterior. Di sinilah sinyal-sinyal itu semua diintegrasikan untuk mengontrol produksi dan penyimpanan panas dari tubuh (Guyton, dkk, 2006).

Gambar 2. Bagian-bagian dari Hipotalamus. Dikutip dari: Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany: Thieme Varlag, 2004. hal: 143

3. DEMAM PADA STROKE ISKEMIK

Demam merupakan peningkatan suhu tubuh di atas rentang yang normal, yang dapat disebabkan oleh abnormalitas dari otak itu sendiri atau substansi toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, dkk, 2006).


(40)

Demam pada pasien stroke akut merupakan hal yang biasa terjadi dan kebanyakan disebabkan oleh infeksi. Penelitian Georgilis, dkk tahun 1999 mendapatkan dari 330 pasien stroke akut 37,6% ditemukan demam, 22,7% disebabkan oleh infeksi dan 14,8% tanpa adanya infeksi . Pada beberapa kasus, fokus infeksinya tidak dapat ditemukan, demam tersebut tidak respon dengan terapi antibiotik empiris dan diperkirakan disebabkan lesi pada susunan saraf pusat. Pada pasien dengan demam tanpa fokus infeksi, karakteristik satu-satunya yang membedakan dengan adanya infeksi adalah onset demam yang segera. (Georgilis, dkk, 1999).

Banyak protein, produk sisa dari protein dan substansi-substansi lain, terutama toksin lipopolisakarida yang dilepaskan dari membrane sel bakteri dapat menyebabkan set-point dari thermostat hipotalamus meningkat. Substansi yang menyebabkan efek ini disebut pirogen. Pirogen dilepaskan dari toksin bakteri atau dari jaringan tubuh yang mengalami degenerasi. Saat set-point dari pusat pengaturan suhu di hipotalamus meningkat dari normal, semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh akan berjalan, meliputi penyimpanan suhu dan peningkatan produksi panas. Dalam beberapa jam setelah set-point meningkat, suhu tubuh juga akan mencapai level tersebut (Guyton, dkk, 2006).


(41)

Gambar 3. Efek Perubahan Set-Point dari Pengaturan Suhu di Hipotalamus. Dikutip dari: Guyton AC and Hall JE. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Mississippi: Elsevier

Saunders, 2006. p: 889 – 901.

Sitokin merupakan molekul protein kecil (10.000 – 20.000 Da) yang mengatur imunitas, inflamasi dan proses hematopoesis. Beberapa sitokin yang dapat menyebabkan demam disebut sitokin pirogenik (IL-1, IL-6 dan TNF). Beberapa tipe sel (monosit/makrofag, sel endothelial, dan lain-lain) dapat memproduksi sitokin pirogenik, yang kemudian akan memasuki sirkulasi sistemik. Meskipun efek sistemik dari sitokin yang bersirkulasi dapat menyebabkan demam dengan menginduksi sintesis PGE2, sitokin itu juga dapat menginduksi PGE2 di jaringan perifer. Peningkatan kadar PGE2 di perifer ini akan menyebabkan mialgia dan atralgia yang sering bersamaan dengan demam. Namun demikian, induksi PGE2 di otaklah yang memulai proses peningkatan set-point di hipotalamus.


(42)

Ada 4 reseptor dari PGE2, dan reseptor yang ke 3 lah yang berperan pada terjadinya demam. Meskipun PGE2 penting pada proses terjadinya demam, tapi PGE2 bukanlah neurotransmitter. Adapun demikian, pelepasan PGE2 dari endotelium hipotalamus akan merangsang reseptor PGE2 di sel glial dan hal ini akan menyebabkan pelepasan yang cepat dari cyclic adenosine 5 - monophosphate (cyclic AMP), yang merupakan neurotransmitter. Cyclic AMP ini akan menyebabkan peningkatan termoregulator set-point di hipotalamus.

Perangsangan langsung terhadap hipotalamus oleh toksin mikroba juga dapat terjadi. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negative dan asam teichoic dari bakteri gram positif akan merangsang reseptor yang ada di endothelium hipotalamus (disebut reseptor Toll-like). Aktifasi langsung reseptor Toll-like ini akan menyebabkan produksi PGE2 dan demam (Dinarello, dkk, 2005).


(43)

Gambar 4. Kronologis Kejadian Yang Diperlukan Untuk Menginduksi Demam. Dikutip dari: Dinarello CA, Gelfand JA. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill, 2005. p: 106.

Disfungsi dari regio preoptik hipotalamus anterior (misalnya karena cedera kepala atau perdarahan) dapat menyebabkan central / neurogenic / hypothalamic fever (Baehr dkk, 2005). Mekanisme perdarahan intraventrikuler dapat mengganggu fungsi hipotalamus dan menyebabkan demam sentral diperkirakan akibat kerusakan langsung dari hemotoksik pada thermoregulatory center. Perdarahan subarakhnoid dapat mengganggu pengaturan suhu berhubungan dengan seringnya muncul cloth yang tebal di sisterna supraselar atau gangguan mekanisme pelepasan panas (Commichau dkk, 2003).


(44)

4. PARASETAMOL(ASETAMINOFEN) DAN ASAM ASETIL SALISILAT

4.1. PARASETAMOL (ASETAMINOFEN)

Asetaminofen merupakan obat analgesik, antipiretik dan non antiinflamasi. Fenasetin merupakan prodrug yang dapat dimetabolisme menjadi asetaminofen.

4.1.1. Mekanisme kerja

Cyclooxigenase (COX), enzim yang mengkonversi asam arakhidonat menjadi endoperoksida (precursor prostaglandin) mempunyai setidaknya 2 isoform: COX-1 dan COX-2. COX-1 terutama bekerja dalam sel-sel non inflamasi sementara COX-2 bekerja dalam limfosit, sel polimorfonuklear dan sel-sel inflamasi lainnya. Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus aminobenzen, dimana obat ini bekerja dengan menghambat enzim COX, terutama sangat selektif pada COX-2, dengan demikian mengurangi jumlah prostaglandin E2 di susunan saraf pusat, maka akan menurunkan set-point di pusat pengaturan suhu di talamus. Obat ini bekerja sebagai inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek antiinflamasi, hal ini karena parasetamol hanya bekerja pada


(45)

lingkungan yang kadar peroksidnya rendah, sementara pada lokasi inflamasi (yang biasanya di perifer) mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. Bukti-bukti lain menunjukkan obat ini dapat menghambat enzim ketiga, COX-3, di susunan saraf pusat. (Katzung, dkk, 2005; Wilmana, dkk, 2007)

4.1.2. Efek

Merupakan analgesik dan antipiretik, tanpa efek antiinflamasi dan antipletelet.

4.1.3. Farmakokinetik dan Penggunaan klinis

Asetaminofen efektif untuk indikasi yang sama pada dosis intermediet dari asam asetil salisilat (efek analgesik dan antipiretik: 300 – 2400 mg/ hari). Diserap dengan baik secara oral dan dimetabolisme di hepar. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam, dengan masa paruh 2 – 3 jam pada orang dengan fungsi hati yang normal, dan tidak dipengaruhi oleh penyakit pada ginjal. Sebagian besar (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Tersebar di seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25% terikat protein plasma. Diekskresikan melalui ginjal, sebagian kecil sebagai


(46)

parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)

4.1.4. Dosis

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/ 5 ml. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 – 1000 mg per kali beri, dengan dosis maksimum 4 gram per hari; untuk anak 6-12 tahun 150 – 300 mg/ kali dengan maksimum 1,2 gram/ hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60 – 120 mg/ kali dan bayi di bawah 1 tahun: 60 mg/ kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Wilmana PF, 2007).

4.1.5. Kontraindikasi

Parasetamol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap obat ini. Perdarahan saluran cerna (dosis besar (> 2000 mg/ hari)). Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. (Wilmana PF, 2007 ; García Rodríguez LA dan Hernández-Díaz S, 2000).


(47)

4.1.6. Toksisitas

Dalam dosis terapeutik, toksisitasnya pada kebanyakan individu tidak ada. Namun pada pemakaian melebihi dosis atau pasien dengan gangguan fungsi hepar yang berat, obat ini merupakan hepatotoksin yang berbahaya (Katzung, dkk, 2005).

4.2. ASAM ASETIL SALISILAT

Asam asetil salisilat merupakan prototipe dari salisilat. Selain sebagai prototipe, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)

4.2.1. Mekanisme kerja

Asam asetil salisilat bekerja dengan menghambat kedua bentuk isoform dari enzim COX dan makanya menurunkan sintesis prostaglandin dan tromboksan dalam tubuh. Perbedaan obat ini dengan obat anti inflamasi nonsteroid yang lainnya ialah obat ini menghambat COX secara irreversibel, sementara yang lainnya reversibel (Katzung, dkk, 2005).


(48)

4.2.2. Efek

Derivat asam arakhidonat merupakan mediator yang penting dari inflamasi, penghambat COX akan mengurangi manifestasi dari inflamasi, meskipun tidak mempunyai efek terhadap kerusakan jaringan yang mendasarinya atau reaksi imunologis. Sintesis prostaglandin di susunan saraf pusat yang distimulasi oleh pirogen, dihambat oleh obat ini sehingga menurunkan demam (efek antipiretik). Mekanisme analgesik obat ini belum sepenuhnya dipahami. Aktifasi sensor nyeri di perifer mungkin berkurang sebagai akibat penurunan produksi prostaglandin di jaringan yang cedera. Obat ini juga mengganggu fungsi keseimbangan prostaglandin, terutama mengurangi prostaglandin-mediated cytoprotection di saluran gastrointestinal (Katzung, dkk, 2005).

4.2.3. Farmakokinetik dan Penggunaan Klinis

Asam asetil salisilat melalui oral diserap dengan baik di lambung dan di intestinal dalam 4-10 menit dan mencapai puncak dalam plasma 30-40 menit. Dihidrolasi di hepar menghasilkan asam salisilat. Metabolit inaktif diekskresikan melalui ginjal. Obat ini mempunyai 3 rentang dosis


(49)

terapeutik: Rentang rendah (< 300 mg/hari), efektif dalam mengurangi agregasi platelet. Dosis intermediet (300-2400 mg/ hari) mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Dan dosis tinggi (2400-4000 mg/ hari) mempunyai efek antiinflamasi. (Katzung, dkk, 2005 ; Jacewicz, dkk, 2008)

4.2.4. Dosis

Asam asetil salisilat tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 500 mg. Dosis yang digunakan:

- Sebagai anti platelet: < 300 mg/ hari

- Sebagai antipiretik dan analgesik: 300 – 2400 mg/ hari untuk dewasa dan 15 – 20 mg/ kg berat badan per kali beri tiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 3,6 gram per hari untuk anak.

- Sebagai antiinflamasi: 2400 – 4000 mg/ hari untuk dewasa dan 100 – 125 mg/ kg berat badan per hari, diberikan tiap 4-6 jam untuk anak. (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)


(50)

4.2.5. Kontraindikasi

Asam asetil salisilat tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat alergi terhadap obat ini, gangguan pernafasan, gangguan keseimbangan asam basa, gangguan hati dan ginjal. Pada penderita hipoprotrombinemia, defisiensi vitamin K dan hemofilia, sebab dapat meinimbulkan perdarahan. Juga pada penderita gastritis, ulkus gaster dan perdarahan saluran cerna. (Wilmana PF, 2007)

4.2.6. Toksisitas

Adverse effect yang paling sering pada dosis antiinflamasi adalah gangguan lambung. Pemakaian yang kronis bisa menyebabkan ulkus gaster, perdarahan gastrointestinal bagian atas dan gangguan ginjal. (Katzung, dkk, 2005)


(51)

5. KERANGKA TEORI

STROKE ISKEMIK AKUT

Dippel, dkk, 2001: Selama hari pertama fase akut stroke, demam dapat terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien.

Dippel, dkk, 2003: Peningkatan suhu dihubungkan dengan volume infark yang luas, tingginya case fatality dan outcome fungsional yang jelek.

PARASETAMOL

(ASETAMINOFEN)

ASAM ASETIL

SALISILAT

SUHU

TUBUH

Sulter, dkk, 2002: Dippel, dkk, 2001: asetaminofen 6000

mg memberikan manfaat yang potensial dalam menurunkan suhu tubuh setelah stroke iskemik akut baik pada pasien normotermia dan subfebris.

 1 jam pemberian: asetaminofen

1000 mg ĺ hasil yang

signifikan Ļ suhu tubuh dan normotermia dibandingkan dengan ASA 500 mg.

 3 jam pemberian: asetaminofen l000 mg & ASA memberikan efek yang hampir sama, dimana normotermia hanya diperoleh pada 37-38% pasien.

Koennecke & Leistner, 2001 ; Sulter, dkk, 2002: menyarankan pemberian antipiretik profilaksis asetaminofen yang mungkin efektif dalam mencegah terjadinya demam.

Reith, dkk, 1996: Tiap peĹ 10C suhu tubuh maka risiko relatif outcome

yang jelek meningkat 2,2 kali. Reith, dkk, 1996: mortalitas yang

lebih rendah dan outcome yang lebih baik pada pasien dengan hipotermia ringan ( < 36

Saini, dkk, 2009: Tindakan yang agresif untuk mencegah dan mengobati hipertermia dapat meningkatkan outcome klinis.

0


(52)

6. KERANGKA KONSEP

STROKE ISKEMIK

AKUT

PARASETAMOL

(ASETAMINOFEN) SUHU

TUBUH

ASAM ASETIL SALISILAT


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU Medan dari tanggal 19 Januari 2011 s.d. 31 Mei 2011.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling konsekutif.

1.1 Populasi Sasaran

Semua penderita stroke iskemik akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan CT-Scan kepala.

1.2 Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke iskemik akut yang sedang dirawat di ruang rawat inap Neurologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik Medan.


(54)

1.3 Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, 2008)

2 n1 = n2 = 2 (Zα + Z) S X1 - X2

Zα = deviat baku alfa (untuk α =0.05  Zα = 1.96)

Z = deviat baku betha (untuk  = 0,10  Z = 1,282)

S = simpangan baku populasi = 0,218

X1 - X2 = perbedaan suhu tubuh yang diinginkan = 0,18

n = 15,42 →15 orang ( tiap kelompok )

1.4 Kriteria Inklusi

1. Semua pasien stroke iskemik fase akut yang dirawat di ruang rawat inap Neurologi RSUP H.Adam Malik Medan yang ditegakkan dengan anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan CT-scan kepala


(55)

1.5 Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang menggunakan steroid atau obat anti inflamasi non steroid atau antibiotik sebelum masuk RS.

2. Pasien dengan penyakit/ gangguan hati dan ginjal, gastritis/ ulkus peptikum dan perdarahan gastro-intestinal.

3. Pasien dengan riwayat alergi terhadap parasetamol atau asam asetil salisilat.

4. Pasien hipotermia (suhu tubuh < 36,5 0C). 5. Pasien dengan keadaan umum yang jelek.

3. Batasan Operasional

3.1 Stroke (WHO,1986) adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007).

3.2 Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003).

3.3 Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke yang berlangsung sampai satu minggu (Misbach,1999)


(56)

3.4 Hipotermia adalah suhu tubuh < 36,5 0C. Normotermia adalah suhu tubuh antara 36,5 0C dan 37,5 0C. Demam/ hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh > 37,5 0C. (Roy dan Ray, 2004 ; Thompson, dkk, 2004). Hiperpireksia adalah peningkatan suhu tubuh > 41,5 0C. (Dinarello, dkk, 2005).

3.5 National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan pengkuran kuantitatif defisit neurologis berkaitan dengan stroke yang dapat memprediksi outcome stroke jangka panjang, terdiri dari 12 pertanyaan—tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria dan inatensi. Nilai skor  5 menunjukkan stroke ringan, 6-13 stroke sedang dan > 13 menunjukkan stroke berat. (William, dkk, 2000 ; Meyer, dkk, 2002 ; Schlegel, dkk, 2003).

3.6 Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala yang menilai outcome secara global dengan rentang nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya terbaring di tempat tidur dan membutuhkan perawatan berkelanjutan), dan 6 (fatal). Nilai mRS 1-2 dikategorikan sebagai outcome baik dan nilai mRS 3-6 dikategorikan sebagai outcome buruk (Millan, dkk, 2007)


(57)

3.7 Parasetamol (Asetaminofen) merupakan derivat para amino fenol dan metabolit dari fenasetin yang mempunyai efek analgesik dan antipiretik serta kurang sebagai antiinflamasi dan antiplatelet, dengan struktur: (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)

3.8 Asam Asetil Salisilat merupakan prototipe dari salisilat yang mempunyai efek antiplatelet, antipiretik, analgesik dan antiinflamasi, dengan struktur: (Katzung, dkk, 2005 ; Wilmana PF, 2007)

3.9 Gangguan hati ditandai dengan peningkatan kadar alanine amino transferase (ALT) / serum glutatamate pyruvate transaminase (SGPT) > 3 kali batas atas nilai normalnya atau aspartate amino transferase (AST) / serum glutatamic-oxaloacetic transaminase (SGOT), alkaline phosphatase (ALP) dan bilirubin total > 2 kali batas atas nilai normalnya (Navarro dan Senior, 2006 ; Dippel, dkk, 2003).


(58)

3.10. Gangguan ginjal ditandai dengan peningkatan kadar serum kreatinin > 1,5 kali nilai normalnya (Bellomo, dkk, 2004).

4. Instrumen Penelitian

4.1 Computed Tomography Scan (CT Scan)

CT Scan yang digunakan adalah X-Ray CT System, merk Hitachi seri W 450. Pembacaan hasil CT scan dilakukan oleh seorang ahli radiologi.

4.2 Pemeriksaan Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa merek One Med Depkes RI, yang dilakukan di axilla selama ± 5 menit.

4.3 Pengukuran Outcome

Studi ini akan menggunakan NIHSS dan mRS sebagai skala pengukuran outcome.

5. Rancangan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan randomized control-group pretest-postest design. Terdiri atas 2 kelompok, yaitu yang akan diberikan parasetamol (asetaminofen) 1000


(59)

mg dan asam asetil salisilat 500 mg. Pengelompokan ini dilakukan secara acak dan tersamar ganda.

Sedian parasetamol berupa tablet 500 mg dan asam asetil salisilat berupa tablet 500 mg. Parasetamol sebanyak 2 tablet (1000 mg) digerus dan dimasukkan ke dalam kapsul, demikian juga asam asetil salisilat 1 tablet (500 mg) digerus dan dimasukkan ke dalam kapsul. Bentuk, ukuran dan warna kapsul dibuat sama sehingga tersamarkan antara kapsul berisi parasetamol 1000 mg dan asam asetil salisilat 500 mg.

6. Pelaksanaan Penelitian a. Pengambilan Sampel

Semua penderita stroke iskemik akut yang masuk ke ruang rawat inap neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah ditegakkan dengan anamnese, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan CT Scan kepala yang diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi, diukur suhu tubuhnya (0 jam) dan dinilai NIHSS serta mRS-nya. Pasien tersebut diberikan parasetamol 1000 mg atau asam asetil salisilat 500 mg yang sudah dikapsulkan. Kemudian 1 jam dan 3 jam kemudian dilakukan pengukuran ulang suhu tubuhnya. Penilaian ulang NIHSS dan mRS dilakukan pada hari ke 14.


(60)

b. Kerangka Operasional

Penderita Stroke

Anamnese, Pemeriksaan

Neurologi, Laboratorium, Head

CT Scan

Stroke Iskemik

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Suhu Tubuh (0 jam)

NIHSS1 dan mRS1

Paracetamol 1000 mg

Outcome fungsional hari ke 14 (NIHSS2 dan mRS2)

Asam Asetil Salisilat 500 mg

Suhu Tubuh 1 jam dan 3 jam


(61)

7. Variabel yang Diamati

Variabel Bebas : paracetamol dan asam asetil salisilat

Variabel Terikat : suhu tubuh, NIHSS dan mRS

8. Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service) 15. Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

8.1 Untuk melihat gambaran karakteristik demografik pada penderita stroke iskemik akut yang menjadi sampel penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

8.2 Untuk melihat pengaruh parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut pada awal (0 jam), 1 jam, dan 3 jam digunakan uji Anova.

8.3 Untuk melihat perbedaan suhu tubuh akibat pemberian parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada awal (0 jam), 1 jam, dan 3 jam digunakan uji T independent dan Mann- Whitney.

8.4 Untuk melihat pengaruh pemberian parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilatpada outcomeNIHSS digunakan uji Wilcoxon.


(62)

8.5 Untuk melihat pengaruh pemberian parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilatpada outcomemRS digunakan uji Wilcoxon. 8.6 Untuk melihat perbedaan outcome NIHSS atau mRS antar kelompok

yang diberi parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat digunakan uji Chi Square.


(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. HASIL PENELITIAN

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruang rawat inap Neurologi FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Mei 2011, terdapat 30 pasien stroke iskemik akut yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

Dari 30 orang penderita stroke iskemik yang ikut dalam penelitian, 15 orang dari keseluruhan sampel adalah pria (50%) dan sisanya adalah wanita. Dari keseluruhan peserta memiliki rerata usia 63,56 ± 2,16 dengan rentang usia 44 tahun hingga 83 tahun, dengan kelompok usia yang terbanyak adalah 56-69 tahun yaitu sebanyak 22 orang (73,4%). Sedangkan jumlah paling sedikit adalah pada kelompok usia 42-55 dan 70-84 tahun yaitu sebanyak masing-masing 4 orang (13,3%).

Kemudian dari 30 orang subjek penelitian, suku yang terbanyak adalah suku Batak yaitu 18 orang (60%). Sedangkan yang paling sedikit adalah suku Aceh yang terdiri dari 3 orang (10%).

Sementara itu tingkat pedidikan yang paling banyak jumlah subjeknya adalah tingkat SLTA yaitu sebanyak 11 orang (36,7%) dan yang paling sedikit adalah pada tingkat sarjana yang berjumlah 4 orang (13,3%).


(64)

Keseluruhan gambaran karakteristik dari subjek penelitian ini disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Gambaran karakteristik demografik subjek penelitian

Variabel Total Parasetamol

1000 mg

Asam Asetil Salisilat 500 mg

N (%) 30 (100) 15 (50) 15 (50)

Jenis kelamin (%) Pria Wanita 15 (50) 15 (50) 5(33,3) 10(66,7) 10 (66,7) 5 (33,3) Umur (%) 42-55 thn 56-69 thn 70-84 thn 4 (13,3) 22 (73,4) 4 (13,3) 2 (6,7) 12 (40,0) 1 (3,3) 2 (6,7) 10 (33,4) 3 (10,0) Suku (%) Batak Jawa Melayu Aceh 18 (60) 5 (16,7) 4 (13,3) 3 (10) 11(36,7) 3 (10) 0 (0) 1 (3,3) 7(23,3) 2 (6,7) 4 (13,3) 2 (6,7) Pendidikan (%) SD SLTP SLTA Sarjana 6(20) 9 (30) 11 (36,7) 4 (13,3) 3 (10) 6 (20) 4 (13,3) 2 (6,7) 3 (10) 3 (10) 7 (23,3) 2 (6,7) Pekerjaan (%) IRT Pensiunan Wiraswasta Petani 14 (46,7) 7 (23,3) 8 (26,7) 1 (3,3) 10 (33,3) 2 (6,7) 3 (10) 0 (0) 4 (13,3) 5 (16,7) 5 (16,7) 1 (3,3)


(65)

1.2. Pengaruh Parasetamol (Asetaminofen) dan Asam Asetil Salisilat Terhadap Rerata Suhu Tubuh Saat 0, 1 dan 3 Jam pada Kedua Kelompok Perlakuan.

Dari 30 orang penderita stroke iskemik yang ikut dalam penelitian, sebelum diberikan perlakuan, didapati 11 orang (73%) demam dan 4 orang (26,7%) normotermia pada kelompok parasetamol (asetaminofen) serta 6 orang (40%) demam dan 9 orang (60%) normotermia pada kelompok asam asetil salisilat.

Nilai rerata suhu tubuh pada awal masuk sebelum diberikan perlakuan (0 jam) 37,8±0,76 0C dan 37,31±0,59 0C pada masing-masing kelompok parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat. Setelah diberikan obat, 1 jam kemudian suhu rerata menjadi 37,47±0,72 0C dan 36,91±0,68 0C, kemudian pengukuran suhu tubuh setelah 3 jam didapati rerata suhu tubuh menjadi 37,03±0,57 0C dan 36,73±0,56 0C pada masing-masing kelompok parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat.


(66)

a)

b)

Grafik 1. Nilai rerata suhu tubuh: a). Kelompok parasetamol 1000 mg, b). Kelompok asam asetil salisilat 500 mg.


(67)

Pada tabel 2, dapat dilihat pengaruh parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terhadap rerata suhu tubuh pada kedua kelompok perlakuan. Berdasarkan uji statistik Anova, terdapat perbedaan suhu tubuh antara awal pengukuran dengan 1 jam dan antara 1 jam dengan 3 jam setelah pemberian antipiretik tetapi tidak bermakna. Perbedaan bermakna dijumpai antara awal pengukuran dan setelah 3 jam pemberian antipiretik (parasetamol (asetaminofen) p=0,003 dan asam asetil salisilat p=0,013).

Parasetamol 1000 mg Asam Asetil Salisilat 500 mg Rerata Suhu

Tubuh Beda Rerata pa) Beda Rerata pb)

T0 terhadap T1 0,37 0,148 0,40 0,083

T1 terhadap T3 0,44 0,089 0,18 0,428

T0 terhadap T3 0,81 0,003* 0,58 0,013*

Ket: a) uji Anova ; *p < 0,05 (signifikan)

T0,1 dan 3: rerata suhu tubuh pada 0, 1 dan 3 jam (37,847 0C; 37,473 0C ; 37,033 0C)

b)

uji Anova; *p < 0,05 (signifikan)

T0,1 dan 3: rerata suhu tubuh pada 0, 1 dan 3 jam (37,313 0C; 36,913 0C ; 36,7330C) Tabel 2. Pengaruh parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat

terhadap rerata suhu tubuh saat 0, 1 dan 3 jam pada kedua kelompok perlakuan.


(68)

1.3. Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) dengan Asam Asetil Salisilat Terhadap Rerata Suhu Tubuh Saat 0, 1 dan 3 Jam pada Kedua Kelompok Perlakuan

Berdasarkan uji t-independent dan Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan efek parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terhadap suhu tubuh pada kedua kelompok perlakuan, baik pada awal pengukuran maupun setelah 1 dan 3 jam pemberian antipiretik tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.

Rerata Suhu Tubuh

Parasetamol

1000 mg

Asam Asetil Salisilat

500 mg p

T0 (n;x±SD) 15 ; 37,84±0,76 15 ; 37,31±0,59 0,410a)

T1 (n;x±SD) 15 ; 37,47±0,72 15 ; 36,91±0,68 0,098b)

T3 (n;x±SD) 15 ; 37,03±0,57 15 ; 36,73±0,56 0,187b)

Keterangan:a) uji t-independent ; b) uji Mann-Whitney ;

n = jumlah sampel ; x = rerata suhu tubuh ; SD = standar deviasi

Tabel 3. Beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat terhadap rerata suhu tubuh saat 0, 1 dan 3 jam pada kedua kelompok perlakuan.


(69)

1.4. Pengaruh Parasetamol (Asetaminofen) dan Asam Asetil Salisilat Terhadap Outcome pada Kedua Kelompok Perlakuan

Uji statistik Wilcoxon dipakai untuk melihat pengaruh pemberian parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat pada outcome NIHSS dan mRS, dimana tidak dijumpai pengaruh/ perubahan bermakna pada outcome NIHSS dan mRS pada hari ke-14 pada masing-masing kelompok perlakuan. Dimana nilai p = 0,317 dan p = 0,317 untuk NIHSS dan mRS pada kelompok parasetamol (asetaminofen) serta p=0,083 dan p=0,317 untuk NIHSS dan mRS pada kelompok asam asetil salisilat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.

Outcome Perubahan n(%) p a)

Parasetamol 1000 mg NIHSS mRS Berubah Tetap Berubah Tetap 4(26,67) 11(73,33) 1(6,67) 14(93,33) 0,317 0,317

Asam Asetil Salisilat 500 mg NIHSS mRS Berubah Tetap Berubah Tetap 3(20,00) 12(80,00) 1(6,67) 14(93,33) 0,083 0,317 a) Uji Wilcoxon


(70)

1.5. Perbedaan Outcome NIHSS atau mRS antar Kedua Kelompok Perlakuan.

Perbedaan outcome NIHSS atau mRS antar kelompok yang diberi parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat dinilai dengan uji statistik Chi Square dan didapati tidak ada perbedaan outcome yang bermakna pada kedua kelompok perlakuan tersebut. Dapat dilihat tabel 5.

Outcome Parasetamol

1000 mg

Asam Asetil

Salisilat500 Mg p a)

NIHSS masuk (n;%) Ringan Sedang Berat 2 (13,3) 9 (60,0) 4 (26,7) 2 (13,3) 10 (66,7) 3 (20,0) 0,907

NIHSS hari ke-14 (n;%) Ringan Sedang Berat 5 (33,3) 5 (33,3) 5 (33,3) 3 (20,0) 11 (73,3) 1 (6,7) 0,067

MRS masuk (n;%) Baik

Buruk

2 (13,3) 13 (86,7)

4 (26,7)

11 (73,3) 0,361 MRS hari ke-14 (n;%)

Baik Buruk

3 (20,0) 12 (80,0)

5 (33,3)

10 (66,7) 0,409 Ket: a) uji Chi-Square

Tabel 5. Perbedaan outcomeNIHSS dan mRS antar kedua kelompok perlakuan


(71)

2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan tujuan untuk mengetahui beda efek parasetamol (asetaminofen) dengan asam asetil salisilat pada suhu tubuh penderita stroke iskemik akut dan pengaruhnya terhadap outcome penderita stroke iskemik akut.

Pada penelitian ini pasien stroke iskemik akut didiagnosa dengan anamnese, pemeriksaan fisik dan neurologis kemudian dilakukan pemeriksaan Head CT-scan yang diikuti dengan pemeriksaan suhu tubuh dan penilaian outcome fungsional. Bagi pasien yang memenuhi kriteria inklusi, akan dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak dan tersamar ganda, untuk kemudian diberikan intervensi berupa pemberian parasetamol (asetaminofen) 1000 mg dan asam asetil salisilat 500 mg. Kemudian dilakukan pengukuran ulang suhu tubuh setelah 1 dan 3 jam kemudian. Dan pada hari ke-14 akan dilakukan penilaian ulang outcome fungsional.

2.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini jumlah subjek penelitian adalah sebanyak 30 orang, dimana dijumpai jumlah pria dan wanita sebanding, yaitu 50% (n=15). Studi dari Sulter dkk, 2004 pada 132 pasien stroke iskemik akut mendapatkan penderita pria sebanyak 62 orang (46,97%) dan perempuan sebanyak 70 orang (53,03%). Studi dari Dippel dkk, 2003 pada 75 pasien stroke iskemik akut menemukan 49 orang (65,3%) pasien laki-laki dan


(72)

perempuan 26 orang (34,7%). Serta studi Dippel dkk, 2001 pada 75 pasien stroke iskemik akut didapati pria sebanyak 42 orang (56%) dan perempuan 33 orang (44%).

Rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 63,56 ± 2,16 tahun dengan rentang usia 44 hingga 83 tahun, dimana kelompok usia terbanyak adalah 56-69 tahun yaitu 22 orang (73,4%). Studi dari Sulter dkk, 2004 menemukan bahwa rerata usia penderita stroke iskemik akut adalah 69 ± 11,5 tahun. Sedangkan studi dari Dippel dkk, 2003 pada pasien stroke iskemik akut menemukan rerata usia 67 ± 13,7 tahun dan Dippel dkk, 2001 dengan rerata usia 70,3 ± 14,3 tahun.

2.2. Pengaruh Parasetamol (Asetaminofen) dan Asam Asetil Salisilat Terhadap Rerata Suhu Tubuh

Pada penelitian ini didapati nilai rerata suhu tubuh pada awal masuk sebelum diberikan perlakuan (0 jam) 37,8±0,76 0C dan 37,3±0,59 0C pada masing-masing kelompok parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat. Studi dari Sulter dkk, 2004 mendapati rerata suhu tubuh pada masing-masing kelompok perlakuan parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat yaitu 37,9±0,29 dan 37,9±0,39 0C.

Dari uji statistik Anova pada penelitian ini, didapati perbedaan suhu tubuh antara awal pengukuran (0 jam) dengan 1 jam dan antara 1 jam dengan 3 jam setelah pemberian antipiretik tetapi tidak bermakna. Perbedaan


(73)

bermakna dijumpai antara awal pengukuran dan setelah 3 jam pemberian antipiretik (parasetamol (asetaminofen) p=0,003 dan asam asetil salisilat p=0,013). Studi Sulter dkk, 2004 terhadap 132 penderita stroke iskemik akut mendapati penurunan suhu tubuh pada kelompok parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat secara bermakna terjadi pada 1 jam setelah pemberian obat (masing-masing p=0,019). Studi Walker dkk, 1986 terhadap 59 anak-anak yang demam mendapati pada kedua kelompok yang diberi parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terjadi penurunan suhu yang signifikan, namun penelitian ini tidak dilakukan pada penderita stroke iskemik akut. (Walker dkk, 1986). Studi dari Dippel dkk, 2003 terhadap 75 pasien penderita stroke iskemik akut yang membandingkan parasetamol (asetaminofen), ibuprofen dan plasebo mendapati pemberian parasetamol (asetaminofen) menghasilkan penurunan suhu tubuh 0,3 0C lebih rendah dari plasebo dalam 24 jam pertama, sementara ibuprofen tidak mempunyai efek yang signifikan pada suhu tubuh dibandingkan plasebo. Demikian juga studi Dippel dkk, 2001 mendapati bahwa parasetamol (asetaminofen) 1000 mg dapat menurunkan suhu tubuh 0,4 0C dibandingkan plasebo.

2.3. Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) Dengan Asam Asetil SalisilatTerhadap Rerata Suhu Tubuh

Pada penelitian ini, berdasarkan uji t-independent dan Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan signifikan dari efek parasetamol (asetaminofen)


(74)

dengan asam asetil salisilat terhadap suhu tubuh pada kedua kelompok perlakuan, baik pada awal pengukuran maupun setelah 1 dan 3 jam pemberian antipiretik tersebut. Studi dari Sulter dkk, 2004 mendapati pemberian parasetamol (asetaminofen) secara signifikan menghasilkan penurunan suhu tubuh yang lebih cepat dibandingkan asam asetil salisilat pada 1 jam setelah diberikan, namun pada 3 jam berikutnya memberikan efek yang sama. Perbedaan yang dijumpai pada studi Sulter dkk, 2004 dimungkinkan karena perbedaan rute pemberian, pada studi Sulter dkk, 2004 parasetamol (asetaminofen) diberikan melalui supositoria dan asam asetil salisilat melalui intravena, sementara pada penelitian ini keduanya diberikan melalui rute yang sama yaitu per oral. Secara umum dapat dijelaskan, pemberian melalui supositoria menghindarkan first-pass effect secara parsial, hal ini karena supositoria cenderung bergerak ke atas dalam rektum dan absorbsi di lokasi itu secara parsial masuk ke sirkulasi portal. Rute intravena memberikan absorbsi yang cepat dan sempurna (bioavibilitas 100%), sementara rute oral absorbsi-nya lambat dan kurang sempurna. (Katzung dkk, 2005). Namun alasan terhadap perbedaan kecepatan kerja antara parasetamol dengan asam asetil salisilat belumlah jelas (Sulter dkk, 2004). Studi lain dari Walker dkk, 1986 terhadap anak-anak yang demam, mendapati efektifitas yang sama antara parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilatpada suhu tubuh antara 38,8 sampai 39,9 0C.


(75)

2.4. Pengaruh Parasetamol (Asetaminofen) Dan Asam Asetil Salisilat terhadap Outcome dan Perbedaan Outcome NIHSS atau mRS pada Kedua Kelompok Perlakuan

Pada penelitian ini, uji statistik Wilcoxon dipakai untuk melihat pengaruh pemberian parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat pada outcome NIHSS dan mRS, dimana tidak dijumpai pengaruh/ perubahan bermakna pada outcome NIHSS dan mRS pada hari ke-14 pada masing-masing kelompok perlakuan. Sementara perbedaan outcome NIHSS atau mRS antar kelompok yang diberi parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat dinilai dengan uji statistik Chi Square dan didapati tidak ada perbedaan outcome yang bermakna pada kedua kelompok perlakuan tersebut.

Beberapa studi klinis telah menguji kegunaan antipiretik dalam menurunkan suhu tubuh dan dalam memperbaiki outcome penderita stroke iskemik. Kasner dkk, 2002 memberikan parasetamol (asetaminofen) 3900 mg per hari pada penderita stroke yang tidak demam, studi tersebut menyimpulkan bahwa pemberian antipiretik dapat mencegah hipertermia atau menimbulkan hipotermia ringan, namun tidak memberikan manfaat klinis (outcome) yang jelas. Studi Dippel dkk, 2001 menguji dosis parasetamol (asetaminofen) yang berbeda pada penelitian klinisnya, didapati bahwa dosis 6000 mg per hari dapat menurunkan suhu tubuh penderita stroke iskemik akut, namun outcome fungsional yang diukur setelah 1 bulan tidak berbeda


(76)

secara signifikan antara dosis 1000 mg, 500 mg dan plasebo. Studi Dippel dkk, 2003 yang membandingkan efek plasebo, ibuprofen dan parasetamol (asetaminofen) juga tidak mendapati bukti bahwa penurunan suhu tubuh yang meningkat secara farmakologis pada penderita stroke iskemik dapat memperbaiki outcome.

Meskipun mengobati demam pada penderita stroke merupakan rasa intuisi (intuitive sense), namun tidak ada data yang menunjukkan bahwa pemberian medikasi (antipiretik) untuk menurunkan suhu tubuh baik pada penderita yang demam ataupun tidak demam memperbaiki outcome neurologis penderita stroke. Mencari dan mengobati penyebab demam merupakan hal yang beralasan. (Adams HP dkk, 2007).


(77)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada peneltian ini disimpulkan bahwa :

1. Terdapat perbedaan bermakna antara awal pengukuran (0 jam) dengan 3 jam setelah pemberian obat antipiretik pada masing-masing kelompok perlakuan, dimana kelompok parasetamol (asetaminofen) 0,810C (p=0,003) dan asam asetil salisilat 0,580C (p=0,013).

2. Tidak terdapat perbedaan efek parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat terhadap suhu tubuh pada kedua kelompok perlakuan, baik pada awal pengukuran maupun setelah 1 dan 3 jam pemberian antipiretik tersebut.

3. Tidak terdapat pengaruh/ perubahan bermakna pada outcome NIHSS dan mRS pada hari ke-14 pada masing-masing kelompok perlakuan. 4. Tidak terdapat perbedaan bermakna dari outcome NIHSS dan mRS

pada hari ke-14 pada kedua kelompok perlakuan tersebut.

5. Hasil studi ini menunjukkan bahwa parasetamol (asetaminofen) dan asam asetil salisilat memberikan efek yang sama dalam penurunan suhu tubuh penderita stroke iskemik akut namun tidak berpengaruh pada outcome.


(78)

2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih banyak untuk lebih mendukung dan menguatkan kesimpulan penelitian ini.

2. Perlu dipertimbangkan efek samping antara parasetamol dan asam asetil salisilat dalam pemeberian antiperetik pada penderita stroke iskemik, dimana kedua obat tersebut memiliki efektifitas yang sama.


(79)

DAFTAR PUSTAKA

Adams HPJ, Bendixen BH, Kappelle LJ, Biller J, Love BB, Gordon DL, Marsh EE. 1993. Classification of subtype of acute ischemic stroke: definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke.;24:35–41.

Adams HPJ, Zoppo GD, Alberts MJ, Bhatt DL, Brass L, Furlan A, et al. 2007 Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic Stroke. Stroke. 2007;38:1655-1711.

Baehr M, Frotscher M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. Germany: Thieme.

Becker, JU. Wira, CR. Arnold, JL. 2010. Stroke, Ischemic. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/793904. Cited at:11/17/2010 Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P. 2004. Acute renal

failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information technology needs: the Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit Care 8 (4): R204–12. doi:10.1186/cc2872. PMID 15312219.

Commichau C, Scarmeas N, Mayer SA. Risk factors for fever in the neurologic intensive care unit. NEUROLOGY 2003;60:837–841.

Dinarello CA, Gelfand JA. 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL and Jameson JL (Ed.). Harrison’s principles of internal medicine. McGraw-Hill. New York. p: 104-108.

Dippel DWJ, Van Breda EJ, Van der Worp HB, Van Gemert HM, Meijer RJ, Kappelle LJ and Koudstaal PJ. 2003. Effect of paracetamol (acetaminophen) and ibuprofen on body temperature in acute ischemic stroke PISA, a phase II double-blind, randomized, placebo-controlled trial. BMC Cardiovascular Disorders, 3:2.


(80)

Dippel DWJ, Van Breda EJ, Van Gemert HM, Van der Worp HB, Meijer RJ and Kappelle LJ. 2001. Effect of paracetamol (acetaminophen) on body temperature in acute ischemic stroke: a double-blind, randomized phase II clinical trial. Stroke, 32:1607-161.

Georgilis K, Plomaritoglou, Dafni U, Bassiakos Y, Vemmos K. 1999. Aetiology of fever in patients with acute stroke. J Intern Med;246:203-209.

García Rodríguez LA, Hernández-Díaz S. 2000. The risk of upper gastrointestinal complications associated with nonsteroidal anti-inflammatory drugs, glucocorticoids, acetaminophen, and combinations of these agents. Arthritis Research and Therapy 3 (2): 98–101. doi:10.1186/ar146. PMID 11178116.

Gofir A. 2009. Definisi Stroke, Anatomi Vaskularisasi Otak dan Patofisiologi Stroke. Dalam: Indera, Noer A, Utomo AB. Manajemen stroke, evidence based medicine. Jakarta.

Guyton AC and Hall JE. 2006. Body Temperature, Temperature Regulation, and Fever. In: Schmitt W and Gruliow R (Ed.). Medical physiology guyton and hall 11th edition. Elsevier Saunders. Mississippi. p: 889 – 901.

Hajat C, Hajat S, Shaerma P. 2000. Effect of Post Strpoke Pyrexia on Strpoke Outcome: A Meta-analysis of Studies in Patients. Stroke;31:410-414. Howard G, Howard FG. 2009. Stroke Epidemiology. In : Goldstein LB (eds). A

primer on stroke prevention and treatment, an overview based on AHA/ ASA guidelines. p: 3-10. Wiley-Blackwell. USA.

Jacewicz M, Nowak TS, Giraldo EA, Pulsinelli WA. 2008. Ischemic Stroke. In: Johnston MV, Gross RA (Ed.). Principles of drug therapy in neurology, second edition. Oxford University Press. New York.

Karibe H, Chen SF, Zarow GJ, Gafni J, Graham SH, Chan PH, Weinstein PR. 1994. Mild intraischemic hypothermia suppresses consumption of endogenous antioxidants after temporary focal ischemia in rats. Brain Res; 649:12–18.


(81)

Kasner SE, Wein T, Piriyawat P, Villar-Cordova CE, Chalela JA, Krieger DW, Morgenstern LB, Kimmel SE, Grotta JC. 2002. Acetaminophen for altering body temperature in acute stroke: a randomized clinical trial. Stroke. 2002;33:130 –134.

Katzung BG, Trevor AJ, Masters SB. 2005. Katzung & Trevor’s Pharmacology, Examination & Board Review, Seventh Edition. Mc Graw Hill. Boston.

Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri PERDOSSI. 1999. Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta.

Koennecke HC and Leistner S. 2001. Prophylactic antipyretic treatment with acetaminophen in acute ischemic stroke: A pilot study. Neurology, 57:2301-2303.

Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S (Ed.) Sagung Seto. Jakarta.

Meden P, Overgaard K, Pedersen H, Boysen G.1994. The influence of body temperature on infarct volume and thrombolytic therapy in a rat embolic stroke model. Brain Res;647:131–138.

Meyer, B.C., Hemmen, T.M., Jackson, C.M. and Lyden, P.D. 2002. Modified National Institute of Health Stroke Scale for Use in Stroke Clinical Trials : Prospective Reliability and Validity. Stroke.33:1261-1266. Millan, M., Sobrino, T., Castellanos, M., Nombela, F., Arenillas, J.F,. Riva, E.,

Cristobo, I., Garcia, M., Vivancos, J., Serena, J., Moro, M.A., Castillo and Davalos, A. 2007. Increased Body Iron Stores are Associated with Poor Outcome After Thrombolytic Treatment in Acute Stroke. Stroke. 38: 90-95

Misbach, J.1999. Stroke : Aspek Diagnostik, Patofisiologi,Manajemen. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta

Misbach,J. 2007. Pandangan Umum Mengenai Stroke. Dalam : Rasyid, A. dan Soertidewi,L (eds). Unit Stroke. Manajemen Stroke Secara Komprehensif. Hal 1-9. Balai Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.


(1)

LEMBAR PERBAIKAN TESIS MAGISTER

BEDA EFEK PARASETAMOL (ASETAMINOFEN) DENGAN ASAM ASETIL SALISILAT PADA SUHU TUBUH DAN PENGARUHNYA

TERHADAP OUTCOME PENDERITA STROKE ISKEMIK AKUT

dr. Chairil Amin Batubara Selasa, 20 September 2011

 Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) Pertanyaan:

Apa yang dimaksud dengan central fever (demam sentral)?

Jawaban :

Central/neurogenic/hypothalamic fever adalah demam akibat disfungsi dari regio preoptik hipotalamus anterior (misalnya karena cedera kepala atau perdarahan) (Baehr dkk, 2005). Mekanisme perdarahan intraventrikuler dapat mengganggu fungsi hipotalamus dan menyebabkan demam sentral diperkirakan akibat kerusakan langsung dari hemotoksik pada thermoregulatory center. Perdarahan subarakhnoid dapat mengganggu pengaturan suhu berhubungan dengan seringnya muncul cloth yang tebal di sisterna supraselar atau gangguan mekanisme pelepasan panas (Commichau dkk, 2003). Telah dicantumkan pada halaman 20.


(2)

 dr. Darlan Djali Chan, Sp.S Pertanyaan:

Reseptor Prostaglandin E2 ada 4 jenis. Mohon dijelaskan apa saja reseptor tersebut?

Jawaban :

Ada 4 reseptor dari prostaglandin E2:

1. Reseptor 1 : memediasi respon stress (sekresi hormone adrenokortikotropin dan prilaku stress)

2. Reseptor 2 : memfasilitasi ovulasi dan fertilisasi, mediasi pembentukan polip intestinal, memfasilitasi transmisi nyeri dengan menghilangkan inhibisi glisinergik, memediasi inflamasi sendi pada arthritis collagen-induced, mensupresi difrensiasi sel dendritik, memfasilitasi recruitment neutrofil melalui produksi G-CSF, membentuk amiloid pada penyakit Alzheimer, memediasi COX 2-induced mammary hyperplasia

3. Reseptor 3 : berperan pada terjadinya demam, mensupresi reaksi alergi tipe 1, memediasi angiogenesis yang berkaitan dengan tumor dan inflamasi kronis, pengaturan sekresi duodenal, menginduksi nyeri endotoxin-elicited , memediasi nyeri berkaitan dengan virus.


(3)

4. Reseptor 4 : memfasilitasi penutupan duktus arteriosus, menginduksi pembentukan tulang, memproteksi dari inflammatory bowel disease, memfasilitasi migrasi dan maturasi sel Langerhans, memediasi inflamasi sendi pada arthritis collagen-induced.

Diketahui/ disetujui:


(4)

 dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) Pertanyaan:

Bagaimana kerja parasetamol sebagai antipiretik?

Jawaban :

Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus aminobenzen, dimana obat ini bekerja dengan menghambat enzim COX, terutama sangat selektif pada COX-2, dengan demikian mengurangi jumlah prostaglandin E2 di susunan saraf pusat, maka akan menurunkan set-point di pusat pengaturan suhu di talamus. Obat ini bekerja sebagai inhibitor yang lemah terhadap enzim COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer, yang menyebabkan tidak adanya efek antiinflamasi, hal ini karena parasetamol hanya bekerja pada lingkungan yang kadar peroksidnya rendah, sementara pada lokasi inflamasi (yang biasanya di perifer) mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. (Dapat dilihat pada hal 21 dan 22)

Diketahui/ disetujui:


(5)

 dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) Saran:

 Agar definisi stroke diambil dari konsensus PERDOSSI! Jawaban :

 Telah disesuaikan dengan konsensus PERDOSSI tentang definisi stroke pada halaman 7.

Diketahui/ disetujui:

(dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K))

 dr. Alfansuri Kadri, Sp.S Saran:

1. Agar dicantumkan di kesimpulan no 1 berapa derajat rerata suhu yang bisa diturunkan!

2. Tabel 1 tidak boleh bersambung, buat menjadi 1 halaman.

Jawaban :

1. Telah dicantumkan pada kesimpulan no 1 halaman 52 berapa derajat rerata suhu yang dapat diturunkan pada tiap kelompok. 2. Tabel 1 telah diperbaiki pada halaman 39.


(6)

 dr. Dina Listyaningrum, MSi.Med, Sp.S Saran:

1. Kesimpulan no 1 agar dipersingkat kata-katanya!

2. Kata “dijumpai” pada kesimpulan tidak lazim digunakan, agar diganti dengan kata “terdapat”!

Jawaban :

1. Kesimpulan no 1 pada halaman 52 sudah dipersingkat kata-katanya sehinga lebih jelas dimengerti.

2. Telah diganti pada kesimpulan halaman 52 kata-kata “dijumpai” menjadi kata “terdapat”.

Diketahui/ disetujui:

(dr. Dina Listyaningrum, MSi.Med, Sp.S)

 dr. Aida Fithrie, Sp.S Saran:

1. Tabel 1 agar dibuat jadi satu halaman, tidak boleh bersambung ke halaman berikutnya!

2. Halaman 42 dan 43, agar penulisan suhu dibuat dalam 2 angka dibelakang koma, karena tidak lazim dibuat sampai 3 angka di belakang koma.

Jawaban :

1. Tabel 1 telah diperbaiki sehingga menjadi satu halaman, yaitu halaman 39.

2. Telah diganti penulisan suhu menjadi 2 angka di belakang koma pada halaman 42 dan 43.

Diketahui/ disetujui: